1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa Inggris pada

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa Inggris pada era ini merupakan bahasa pemersatu dunia. Literatur-literatur
yang digunakan skala internasional dapat dipastikan menggunakan Bahasa Inggris. Sudah
jamak ditemui kata-kata atau penggunaan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari
seperti slogan, iklan produk, pengumuman dan tanda dengan kata-kata Bahasa Inggris di
area publik. Begitu pula pada penggunaan aplikasi, penggunaan sistem dan komunikasi
sehari-hari masyarakat. Contohnya kosakata cemburu lebih acap disebut “jealous”, dan
banyak contoh lainnya. Penggunaan Bahasa Inggris di setiap aspek kehidupan merupakan
bagian dari era globalisasi.
Syarat agar dapat mengikuti perkembangan di era globalisasi adalah kemampuan
berbahasa Inggris. Oleh karena itu kemampuan dalam berbahasa Inggris merupakan
kebutuhan dasar dalam mengembangkan diri mengikuti perkembangan pengetahuan dan
teknologi di era globalisasi (Alwasilah, 2000).
Mempelajari Bahasa Inggris pada jenjang SD akan mempersiapkan lebih awal
kemampuan
dasar
berbahasa
Inggris
siswa
serta
mempermudah
perkembangan
pengetahuan dan wawasan siswa-siswi. Sebab tujuan pendidikan dasar di Indonesia ialah
mempersiapkan lebih awal pengetahuan dasar siswa sebelum melangkah ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).
Sejauh ini proses pembelajaran Bahasa Inggris pada Sekolah Dasar di Indonesia
mengalami beberapa permasalahan umum. Kakunya metode pengajaran di sekolah diakui
oleh pakar sosiolinguistik dari Universitas Gajah Mada, Kunjana Rahardi. Menurutnya di
Indonesia Bahasa Inggris sebagai bahasa asing terlalu cepat diajarkan yakni sejak kelas 1
SD. Hal itu membuat pemahaman bahasa anak-anak kacau dan fokus pembelajaran bahasa
1
2
juga tidak tepat. Selain itu meski memiliki kemampuan dan semangat untuk memahami
Bahasa Inggris yang luar biasa, kebanyakan pelajar sangat terbebani ketika belajar di
sekolah. Termasuk fenomena yang sama juga terjadi di kalangan guru. Banyak guru yang
malu untuk mempraktekan Bahasa Inggrisnya di hadapan murid (Tribunnews.com, 2014)
Itje Chodijah, pendidik dan pelatih guru Bahasa Inggris nasional menilai bahwa
pembelajaran Bahasa Inggris kepada siswa SD belum didasarkan pada acuan yang jelas
dan penyiapan guru yang tepat. Sesuai panduan dari pemerintah, pendidikan Bahasa
Inggris boleh dilakukan mulai kelas IV SD dan ada pengajar yang memadai. Namun,
pembelajaran Bahasa Inggris di SD dimulai di kelas bawah, yang sebenarnya siswa masih
harus berjuang untuk memantapkan penguasaan berkomunikasi yang baik dan benar dalam
bahasa Indonesia. Praktik di dalam kelas lebih mengikuti materi di dalam buku teks yang
digunakan dan tidak
mengindahkan persyaratan pembelajaran Bahasa Inggris yang
seharusnya (Napitupulu, 2012).
Dalam penelitian Rina Listia dan Sirajuddin Kamal disebutkan bahwa masalah yang
terdapat pada bagian pelaksanaan proses belajar-mengajar Bahasa Inggris di kelas
disebabkan oleh 2 hal. Yang pertama adalah kelemahan guru dalam menangani masalah
siswa di kelas. Yang kedua adalah ketersediaan sarana yang terbatas dari pihak sekolah
(Listia & Kamal, 2013). Permasalahan lain juga muncul seperti fasilitas pembelajaran yang
kurang menunjang, jumlah siswa yang terlalu besar sehingga menyulitkan guru untuk
membimbing siswa berlatih, dan motivasi siswa untuk belajar bahasa inggris sangat rendah
(Harun, 2009).
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana Kupang
Dr. Mans Mandaru di Kupang, mengatakan bahwa kualitas tenaga guru bahasa Inggris
lulusan FKIP di sejumlah perguruan tinggi di NTT tidak berbeda dengan lulusan FKIP di
Jawa. Hanya saja yang menjadi sumber permasalahan rendahnya semangat dan motivasi
3
belajar Bahasa Inggris di daerah adalah masyarakat menilai Bahasa Inggris belum menjadi
kebutuhan yang mendesak. Selain itu buku-buku pelajaran bahasa Inggris di SD terbatas,
termasuk buku pegangan guru, serta tidak ada laboratorium bahasa sehingga tidak memacu
semangat dan motivasi belajar siswa. Bahasa Inggris sudah diajarkan di sekolah dasar di
NTT antara 2000-2007 dari kelas 3-6. Tetapi hampir 100 persen siswa SD belum dapat
berbahasa Inggris (Kompas, 2008).
Beberapa permasalahan tersebut menghambat proses pembelajaran Bahasa Inggris
mencapai hasil maksimal. Garis besar dari kesimpulan masalah antara lain pola pengajaran
yang belum sesuai usia, ketidakmampuan guru memberikan metode belajar yang tepat dan
kurangnya
motivasi.
Bagian
penting
dalam
pendidikan
adalah
siswa.
Bagaimana
memunculkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran agar dapat mencapai target
pembelajaran merupakan pertanyaan utama bagi peneliti. Peneliti memilih fokus pada
motivasi murid. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa segala bentuk metode pembelajaran
yang diberikan bila tidak mampu memicu motivasi siswa hanya akan mengakibatkan target
pembelajaran tidak tercapai dengan sempurna.
Metode belajar yang tepat dapat membantu guru dalam proses pengajaran dan
membantu siswa memahami pelajaran dengan lebih baik. Diperlukan metode belajar yang
tepat agar dapat memunculkan motivasi belajar siswa. Tidak bisa dipungkiri bahwa
motivasi belajar menjadi salah satu penentu keberhasilan proses pembelajaran. Meski
memiliki segala fasilitas dan kemampuan dasar yang mencukupi, apabila tidak ada
motivasi dalam belajar maka kemungkinan besar target belajar tidak akan tercapai.
Mempertimbangkan usia perkembangan siswa menjadi hal yang penting sebab
metode belajar yang sesuai dengan umur perkembangan akan memicu motivasi siswa
dalam belajar. Piaget menyatakan bahwa pengetahuan tentang perangkat sosial – bahasa,
nilai-nilai, peraturan, moralitas dan sistem simbol (seperti membaca dan matematika) –
4
hanya dapat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain (Slavin, 2005). Usia anak kelas 5
sekolah dasar di Indonesia berkisar antara 10 sampai 12 tahun. Dalam teori perkembangan
kognisi Piaget usia tersebut merupakan usia akhir tahap operasi konkret dan usia awal
tahap operasi formal.
Pada rentang usia 10 sampai 12 tahun adalah anak-anak sudah memiliki salah satu
dari beberapa perkembangan kognisi yang akan cukup berpengaruh pada proses
pembelajaran yaitu pemikiran yang sudah tidak terpusat lagi (decentered thought).
Decentered thought merupakan kemampuan pemikiran yang memungkinkan anak-anak
memahami ketika orang lain dapat memiliki persepsi atau pola pikir yang berbeda dari
mereka (Slavin 2009). Hal ini mampu membantu mereka dalam proses belajar bahasa,
terutama metode belajar dalam kelompok.
Selaras dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa pembelajaran mendahului
perkembangan. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan merupakan proses yang
bergantung pada sistem tanda (sign system) yang mengiringi selama individu tumbuh dan
membantu individu mendapatkan informasi (Slavin, 2009). Vygotsky menegaskan bahwa
perkembangan kognitif berkaitan erat dengan mendapatkan informasi dari pihak lain.
Vygotsky juga menerangkan konsep mengenai scaffolding. Scaffolding adalah dukungan
bantuan dalam proses belajar oleh teman yang lebih kompeten atau orang dewasa (Slavin,
2009). Proses belajar dengan scaffolding menjadi bagian dalam pembelajaran kooperatif
(co-operative learning).
Salah satu turunan dari co-operative learning adalah metode belajar jigsaw. Metode
belajar jigsaw memberikan kesempatan belajar dengan dukungan kelompok. Pokok
pencapaian
pembelajaran
bahasa
adalah
keterampilan
berbicara,
menulis,
dan
mendengarkan (Nurhayati, 2008). Melalui metode belajar jigsaw yang terdapat unsur
5
scaffolding dalam prosesnya, pencapaian ketiga keterampilan ini akan dapat terbantu
bersama dengan teman sebaya yang lebih kompeten dalam kelompok jigsaw.
Proses belajar yang menggunakan metode belajar jigsaw akan meningkatkan
motivasi siswa dalam mempelajari keterampilan berbahasa Inggris. Hal ini disebabkan
metode belajar Jigsaw sebagai turunan dari co-operative learning memiliki struktur tujuan
kooperatif. Tujuan kooperatif adalah menciptakan situasi di mana satu-satunya cara
anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah dengan kesuksesan kelompok
mereka. Oleh sebab itu, untuk meraih tujuan personal mereka, anggota kelompok harus
membantu teman satu timnya agar menjadikan kelompok mereka berhasil dan yang paling
memungkinkan adalah dengan mendorong anggota satu kelompoknya untuk melakukan
usaha maksimal (Slavin, 2005).
Berdasarkan uraian yang telah peneliti paparkan, peneliti tertarik untuk meneliti
secara empiris keterkaitan antara penggunaan metode belajar jigsaw pada mata pelajaran
Bahasa Inggris dengan motivasi belajar.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik pengaruh metode belajar
jigsaw pada mata pelajaran Bahasa Inggris terhadap motivasi belajar pada Siswa Kelas 5
SD Negeri 1 Srandakan Bantul Yogyakarta.
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap disiplin
ilmu psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan. Penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk penelitian-penelitian selanjutnya serta
mengetahui bagaimana hubungan antara kedua variabel tersebut dalam teori dan
aplikasi nyata.
6
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dengan adanya informasi
mengenai pengaruh metode pembelajaran kooperatif jigsaw terhadap motivasi dalam
proses belajar mengajar Bahasa Inggris. Metode belajar jigsaw merupakan metode
belajar interaktif dan dukungan teman sebaya (scaffolding). Diharapkan melalui
interaksi dan scaffolding antar siswa dalam metode belajar jigsaw dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa.
Download