pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan

advertisement
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
TANPA BAKAR DENGAN TEKNOLOGI
WANATANI (AGROFORESTRY)
PENGALAMAN AKHMAD
TAMANURUDDIN
Oleh: Indra Nugraha
“Melarang petani untuk tidak
membakar lahan tidaklah bijaksana ketika tidak diberikan jalan
keluar. Membakar adalah pilihan
terakhir agar penghidupannya
tetap berjalan. Meski sebenarnya
dibenci oleh petani “
Berbagai tanaman sayur tumbuh subur di lahan seluas 1,75 hektar di wilayah Kalampangan, Palangka
Raya. Selain cabe, bayam, juga jagung, di lahan gambut ini tumbuh beberapa tanaman keras (karet) dan
buah-buahan seperti pisang, rambutan dan jeruk.
Adalah Akhmad Tamanuruddin, sang pemilik lahan
tersebut. Bertahun-tahun ia mencoba berbagai cara
untuk mengubah gambut menjadi lahan subur sebagai
sumber penghidupannya. Yang menarik, pengelolaan
lahan ini dilakukan tanpa membakar. Keberhasilan
Bapak Akhmad Tamanuruddin dalam menyuburkan
lahan gambut ini menjadi bukti dan jawaban atas anggapan banyak pihak bahwa lahan gambut akan subur
jika lebih dahulu dilakukan pembakaran.
Bapak Akhmad tamanuddin merupakan transmigran
pertama asal Ngawi, Jawa Timur yang ditempatkan di
Palangka Raya tahun 1980. Dengan usia yang relatif
muda (26 tahun), ketika itu beliau merasa tertanUSAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
1
tang untuk berhasil sebagai transmigran. Baginya, kepindahannya ke Palangka Raya dianggap sebagai hijrah untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan
keluarganya. “Malu jika gagal di kampung orang. Bagi
saya, jika sudah niat pantang untuk kembali. Apapun
risikonya harus dijalani “, demikian ujar lelaki kelahiran Ngawi, 6 September 1954. Karena itu, pada awal
kedatangannya beliau harus berjibaku berusaha
sekuat tenaga untuk mengubah lahan gambut agar
bisa didayagunakan. Meski hal ini bukan perkara mudah. Dengan bantuan pemerintah berupa bahan
pangan (beras, kecap dan ikan asin) untuk 2 tahun,
beliau bertekad lahan yang dimiliki bisa ditanami sebelum bantuan pemerintah berakhir.
Sekalipun banyak warga masyarakat yang membakar lahan untuk memulai pengelolaan lahan, beliau
justru konsisten tidak membakar lahannya. Dengan
berbagai daya dan upaya, beliau berusaha mengusahakan lahan gambutnya dapat ditanami untuk membantu memenuhi kebutuhan pangannya, meskipun
hanya untuk satu jenis tanaman padi. “Saya punya
keyakinan bahwa lahan seperti apapun, kalau didayagunakan pasti akan subur. Jadi saya pelajari watakwatak dari setiap jenis tanah yang ada. Kira-kira apa
yang dimaui oleh tanah itu harus kita pelajari. Memang
pengetahuan saya tentang gambut terbatas. Ibarat
dengan binatang, kalau kita mencintai dan memperlakukan tanah dengan baik, Insya Allah akan berhasil,”
katanya.
Bertahan Hidup
Memang pembakaran adalah cara paling murah, mudah dan cepat untuk mengusahakan lahan gambut
dapat ditanami. Terlebih bagi petani yang terbatas
sumberdayanya (uang dan keterampilan). Bagi warga transmigran, ikut membakar lahan untuk mendapatkan abu adalah pilihan terbaik karena bantuan
pangan (jatah hidup) dari pemerintah akan berakhir. Dengan membakar kayu-kayu yang ada, kemudian abunya ditebar di lahan yang akan ditanami. Cara
tersebut cukup efektif membuat tanaman tumbuh.
Hanya risikonya, bahan baku untuk mendapatkan abu
semakin berkurang. Kayu semakin sulit didapat, hingga warga juga terpaksa membakar kelakai. Namun
cara ini membuat abu yang didapat semakin sedikit.
Bahkan tidak jarang untuk mendapatkan kayu, warga
membakar kawasan hutan yang dilindungi dan lokasinya semakin jauh. Padahal produksi yang dihasilkan tidak banyak. Untuk tanaman padi, rata-rata 2
ton/hektar.
Namun apa yang dibayangkan dan dipikirkan tidaklah
sesuai dengan kenyataan yang ada. Lahan 2 hektar
yang digunakan untuk rumah dan pekarangan seluas seperempat hektar dan sisanya untuk lahan usaha,
kondisinya jauh dari memuaskan. Masih banyak puing-puing kayu sisa penebangan dengan ukuran yang
besar. “Sedikit demi sedikit saya kumpulkan supaya lahannya bersih, dan secara bertahap dicangkul dan dikerjakan secara manual. Pakai cangkul, kapak, juga parang,” ujar lelaki yang akrab disapa Taman saat ditemui
Tim LESTARI. Saat itu, hampir semua jenis tanaman
pada awalnya sulit tumbuh di lahan gambut. Termasuk di lahan pekarangan. Mengingat kadar asamnya
masih tinggi. Keadaan inilah yang mendorong masyarakat melakukan pembakaran agar kayu-kayu sisa
pembukaan lahan cepat hilang dan unsur haranya
dapat mempercepat kesuburan lahan. Baik warga
lokal maupun transmigran melakukan pembakaran
karena memang tidak membutuhkan biaya tinggi.
Terlebih waktu itu tidak ada larangan dari pemerintah.
Keadaan inilah yang membuat banyak warga transmigran seangkatan dengan beliau yang putus asa.
Setidaknya hampir 50 persen transmigran yang bera-
Foto:
Taman, petani agroforestri
yang sukes kelola lahan gambut tanpa membakar.
2
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
Foto:
Taman sedang menggarap
lahannya
da di Kalampangan waktu itu akhirnya memutuskan
untuk kembali ke tanah Jawa. Sebab, bantuan pangan
yang diberikan pemerintah sudah mulai berkurang,
sementara hasil tanaman tidak sebanding dengan
biaya dan sumberdaya yang dikeluarkan. Bahkan di
beberapa lokasi, sejumlah lahan terbengkalai karena
tidak dapat digarap. Pak Taman mengatakan, “selama
lima tahun tinggal di sini praktis tidak ada rumput yang
tumbuh. Setelah ada kelakai dan pakis yang kemudian
dikupas, dicangkul di atasnya dan dijadikan abu untuk
ditaburkan di lahan. Sehingga tumbuhlah rumput. Hanya pembakaran ini dapat dikendalikan hingga tidak
sampai menjalar kemana-mana. Kalau dikumpulkan
abu itu paling-paling dapat tiga ember saja.” katanya.
Namun Bapak Taman tak melakukan hal tersebut.
Beliau berkeyakinan tak ingin merusak lahan. Sebab menurutnya, lahan jika terus menerus dibakar
akan mengakibatkan konstruksinya rusak. Permukaan
tanah akan terus menurun. Karena itu lah, beliau
mencari berbagai cara untuk tetap menanam tanpa
membakar. Mengingat permukaan tanah yang semakin menurun, akan merusak ekosistem dan ekologi,
serta kondisi hidrologi. Beliau menyadari risiko ini
sehingga langkah yang diambil adalah dengan cara
membeli tanah subur untuk ditaburkan sebagai unsur hara.
Beliau membeli tanah subur dari kawasan Tangkiling dan Kereng yang dicampur dengan pupuk kimia
maupun organik. Kemudian ditaburkan di lahan gambut. Meskipun pada awal mempraktikkan hal tersebut tidak juga membuahkan hasil, tidak menyurutkan
beliau untuk terus berusaha. Motivasi menjadi transmigran sukses inilah yang menjadi modal beliau untuk tidak pantang menyerah. Kemudian beliau mengubah cara pengolahan lahannya. Tanah subur yang
dibeli tak lantas ditabur begitu saja. Beliau terlebih
dahulu melubangi lahan gambut yang akan ditanami
menjadi semacam pot tanaman. Ketika akan mena-
nam, segenggam tanah subur yang sudah dicampur
pupuk dimasukkan ke dalamnya kemudian didiamkan
selama dua minggu. Setelah itu, beliau mulai menanam bibit berbagai jenis sayuran.
“Rupanya kalau langsung ditabur jadi pemborosan besar. Media tanah juga tidak langsung ditanami. Sebab
kan ada unsur kapur yang panas dan akan menjadikan
tanaman mati. Setiap menanam begitu. Sehingga lama-lama bisa subur seperti sekarang ini. Kalau habis
menggunakan tanah subur ini, jangan dibakar. Karena
tanah subur bisa mati dan jadi bata. Terus menerus
diberi kapur dan pupuk kandang,” ujarnya.
Bapak Taman mengatakan, dengan metode pengolahan lahan yang dilakukan memang membutuhkan
waktu dan proses yang cukup lama. Butuh kesabaran yang ekstra. Apalagi ketika awal mempraktikkan
berkali-kali mengalami kegagalan. Bahkan beliau sebenarnya juga hampir menyerah dan berniat untuk
pulang ke Jawa. Dengan modal yang sudah tidak ada,
akhirnya beliau bekerja sebagai kuli bangunan. Upah
hasil kerjanya dikumpulkan untuk ongkos pulang ke
Jawa. Namun teringat tekadnya untuk berhasil, maka
beliau tidak larut dengan keputusasaannya. Bahkan
keinginan tersebut akhirnya tak sempat terjadi. Beliau
mengenang, “suatu malam di tahun 1981, saya dengar
siaran RRI Palangka Raya. Dinas Pendidikan membuka
penerimaan tenaga guru. Keesokan hari, saya memutuskan ikut mendaftar berbekal ijazah SLA”.
Rupanya nasib baik menghampiri Taman. Setelah
mengikuti berbagai seleksi, beliau diterima menjadi
tenaga pengajar di Sekolah Dasar. Lahan garapan tidak terolah selama beberapa tahun sebab beliau ditugaskan di Kabupaten Muara Teweh, jauh dari Kota
Palangka Raya. Lahan garapan akhirnya dikuasakan
kepada kelompok petani yang ada di Kalampangan.
Hanya sekali dalam setahun, beliau rutin mengunjungi lahannya agar tak hilang dan sebagai bentuk kecin-
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
3
taannya pada lahannya. Setelah lima tahun menjadi
guru Sekolah Dasar di Muara Teweh, beliau dipindahkan ke Palangka Raya. Sambil terus mengajar, beliau
aktif melakukan berbagai percobaan untuk membuat
lahannya menjadi subur dan dapat ditanami.
“Tahun 1990-an baru mulai terlihat kesuburannya.
Sekalipun diusahakan selama 10 tahun, namun dari
segi biaya – sesungguhnya lebih murah dibanding
membakar. Kupas bakar itu nilai ekonominya tinggi. Itu
kalau membakar tenaganya dan upahnya berapa juta?
Nah itu pun setelah dikupas bakar, dicangkul lagi. Kalau saya berpikir itu lebih mahal, karena kalau tanah
sudah menurun, maka kesuburannya sulit dipulihkan”
paparnya.
Buah dari Kesabaran
Biaya yang dibutuhkan Bapak Taman untuk mengolah
lahan seluas 1,75 hektar meliputi pembelian tanah
subur dua truk sebesar Rp. 1,5 juta, 20 sak kapur
seharga Rp. 1 juta dan biaya lain adalah pupuk, disesuaikan dengan kebutuhan. Namun biaya yang dikeluarkan tersebut jauh lebih sedikit jika dibandingkan
dengan hasil tani yang melimpah. Beliau mengaku
mendapat banyak keuntungan dengan konsep wanatani yang dikembangkan dengan tanpa membakar.
Dari hasil tanaman yang dijual, rata-rata keuntungan
yang diperoleh sekitar Rp. 2 juta perbulan.
Beliau mengemukakan, “ciri-ciri tanah yang subur adalah rumput berkembang baik. Pasti itu. Sebaliknya jika
tanah yang tidak subur, jangankan tanaman, rumput
pun enggan hidup. Itu rumput saya semprot dengan
herbisida agar kering. Kalau sudah lapuk, membuat
tanah menjadi gembur. Jadi herbisida kalau disemprotkan selain mematikan gulma, juga tanah menjadi
gembur. Rumput dan kotoran itu jika tidak dibersihkan
jangan dianggap petani itu pemalas. Karena rumput
dan kotoran akan berproses menjadi unsur hara. Jadi
sudah tinggal pelapukan saja.”
Keberhasilan Bapak Taman mengembangkan lahannya dengan tanpa membakar membutuhkan waktu 20 tahun. Menurutnya 10 tahun pertama adalah
tahapan paling kritis karena pada periode ini merupakan pra-kondisi untuk mengubah karakter lahan
yang asam. Dibutuhkan sumberdaya cukup dan kesabaran dari petani. Mengingat meski berbagai input
diberikan, tidak menutup kemungkinan juga akan
gagal. Terutama ancaman api dari lokasi petani yang
mengolah lahan dengan membakar. Lahan menunjukkan tanda-tanda tanah menjadi subur itu setelah
sepuluh tahun. Memang tidak langsung melainkan
berkembang sedikit demi sedikit. Beliau merasa puas
akan kesuburan lahannya menjelang tahun 1990-an,
setelah keberhasilan penanaman bawang dan seledri.
Bapak Taman mengakui bahwa kesuksesannya menemukan metode pengolahan lahan tanpa bakar tidak terlepas dari banyak belajar. Namun yang tidak
4
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
kalah penting adalah modal kesabaran dan pantang
menyerah. Sebab menurutnya manusia hidup diberi
otak dan daya pikir. Beliau belajar bertahun-tahun
dengan mengamati dari berbagai kegagalan yang dialami. Beliau mengibaratkan bahwa sebagai kekayaan,
tanah itu seperti anak yang harus dijaga, dirawat dan
dicintai. “Misalnya jika ada kegagalan, perlu dicari
penyebabnya. Apakah kurang subur, kena penyakit, dan
lainnya. Sehingga dapat segera dicarikan solusinya. Tidak selalu harus pakai pupuk dan obat-obatan. Jadi
saya itu belajar dari pengalaman, ilmu saya adalah fakta di lahan”, kata kakek empat cucu tersebut.
Bapak Taman telah membuktikan kemampuannya
mengolah gambut sebagai lahan budidaya pertanian
yang subur tanpa harus membakar. Banyak warga
masyarakat baik di Kalampangan maupun wilayah
lain yang tertarik untuk menerapkan cara pengolahan yang dilakukan beliau. Hanya saja terbentur
dengan ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang memadai. Mahalnya biaya untuk membeli
tanah yang subur, kapur dan pupuk dan dukungan
sarana pengangkut dan tiadanya dukungan pemerintah, membuat petani tetap membakar untuk mengolah lahannya. Beliau mengatakan, “melarang petani
untuk tidak membakar lahan tidaklah bijaksana ketika
tidak diberikan jalan keluar. Membakar adalah pilihan
terakhir agar penghidupannya tetap berjalan. Meski sebenarnya dibenci oleh petani“.
Download