haji sebagai ibadah korban - Kanwil Kemenag Provinsi Maluku Utara

advertisement
HAJI SEBAGAI IBADAH KORBAN
Oleh : Yamin Latief Tjokra, S.HI, M.Pd.
(Wakil Ketua PW. GP Ansor Prov. Maluku Utara)
(Staf Madrasah Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Maluku Utara)
Sejak ibadah haji dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim (Abraham) sekitar 3600 tahun lalu, jumlah
penziarah ke Baitullah di Mekah dari tahun ke tahunnya terus bertambah. Penambahan ini terus meningkat
pada masa umat Nabi Muhamad, seiring dengan semakin menyebar dan meluasnya dakwah dan kekuasaan
Islam. Sebagaimana kita ketahui tradisi ritual haji ini tetap dipelihara dan dilanjutkan pada masa kenabian
Muhammad. Pada saat ini, dimana hampir tidak ada satu wilayahpun di ”kolong langit” ini yang tidak tersentuh
dakwah Islam, maka jumlah jemaah yang hadir ke tanah suci tersebut tiap tahunnya telah mencapai jutaan
orang. Dan khusus dengan jemaah haji asal Indonesia, maka ia merupakan jemaah yang terbesar
dibandingkan jemaah-jemaah dari negara Islam lainnya.
Haji di negeri ini merupakan ibadah yang memiliki tempat khusus di hati dan pandangan
masyarakatnya, baik secara personal maupun sosial. Secara personal banyak sekali masyarakat Indonesia
yang merindukan untuk dapat hadir di rumah Allah tersebut agar dapat beribadah secara khusyuk dan
mendapat ”ganjaran” yang besar. Terbayang di lubuk hati mereka, betapa mereka dapat merasakan kehadiran
Tuhan lewat aura yang dipancarkan oleh kota suci tersebut pada bulan haji. Mereka seakan-akan dapat
berhadapan langsung dengan Sang Maha Hadir untuk menyampaikan keinginan mereka dan sekaligus
memohon ampunan kepada-Nya. Kerinduan ini tentunya bukan hanya milik mereka yang berkelebihan secara
ekonomi, tetapi juga mereka yang kesehariannya hidup dalam kesederhanaan. Sering kita dengar orang-orang
yang keserahiannya hidup dalam kesederhanaan, tetapi mampu berangkat haji dengan cara berjerih-payah
menyisihkan sebagian hartanya selama bertahun-tahun.
Dari sisi sosial, ada penghargaan yang lebih, yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka yang
telah berhaji. Hal ini dapat dilihat dari gelar Haji yang diberikan kepada mereka. Dalam interaksi sosial,
masyarakat juga akan lebih menghargai dan menghormati para Haji ini. Bagi masyarakat, seorang haji adalah
pribadi yang telah memiliki kadar keislaman dan keimanan yang lebih tinggi; pengetahuan agama yang luas;
dan kemempuan ekonomi yang lebih. Wajar, jika kemudian para Haji ini memiliki status sosial yang tinggi di
lingkungan masyarakatnya. Mereka biasanya dikategorikan sebagai sesepuh atau tokoh masyarakat.
Lebih lanjut, haji juga akan memberikan dampak kepada kehidupan ekonomi dan politik seseorang.
Dalam kehidupan ekonomi, seorang haji akan lebih mudah melakukan interaksi bisnis dengan masyarakat,
karena dianggap sebagai orang yang dapat dipercaya dan dermawan.
Sedangkan dalam kehidupan politik, tidak jarang haji digunakan oleh pejabat atau elit politik sebagai
simbol untuk dapat memperoleh dukungan politis, terutama menjelang momen-momen tertentu, seperti
menjelang pilkada dan pemilu. Hal ini
dimungkinkan karena haji merupakan simbol yang dapat
membangkitkan afinitas sosial dan religi sebagian kelompok masyarakat.
Sebenarnya, penghormatan masyarakat yang tinggi terhadap para Haji ini bukan tanpa alasan.
Mereka berharap bahwa kelebihan-kelebihan yang ada pada para Haji tersebut akan memberi dampak pada
1
kehidupan sosial mereka. Mereka berharap, para Haji setelah pulang dari Mekah bukan hanya memiliki
kesalehan personal tetapi juga kesalehan sosial.
Ironi Ibadah Haji
Namun ironisnya, sebagaimana disinyalir oleh Djohan Effendi (2004) dalam bukunya Menemukan
Makna Hidup, masih banyak kasus di banyak tempat, ada orang yang berkali-kali pergi haji, namun
tetangganya yang sakit dan tak punya biaya saja ia tutup mata. Pun juga dalam kehidupan sehari-hari masih
kita lihat seorang pejabat publik yang diberi amanat untuk memberdayakan, menyahterakan dan melindungi
rakyatnya, setelah melakukan haji, ternyata tetap saja melakukan tindakan yang membodohi, menyengsarakan
dan menjalimi rakyat. Ia masih saja tetap melakukan korupsi, mark up proyek, penggusuran dan berselingkuh
dengan pemilik modal demi kepentingan pribadi. Yang lebih tragis lagi terkadang mereka ini berangkat haji
dengan menggunakan ”uang rakyat” dengan dalih sebagai pemimpin atau pemandu jemaah. Lantas apa
maknanya berhaji, terlebih bagi mereka yang telah berkali-kali, kalau hajinya tidak memiliki implikasi sosial.
Sejatinya ritual haji harus berdampak kepada kehidupan sosial seseorang, karena hampir semua
praktik ibadah tersebut mengandung penekanan untuk menjaga kemaslahatan dan kemanusiaan. Sebut saja
praktek Ihram, yaitu niat melakukan haji di Miqat Makany dengan menanggalkan pakaian keseharian dan
mengenakan pakaian yang serba putih tanpa berjahit. Ini merupakan simbol dari pengakuan Islam terhadap
kesederajatan (egalitarian) umat manusia. Di sini para jemaah diajarkan bahwa semua manusia sama
dihadapan Allah, tidak ada perbedaan manusia yang satu dengan yang lainnya kecuali takwanya.
Sebagaimana kita ketahui pakaian pada realitasnya berfungsi sebagai pembeda antara seseorang dan
sekelompok lainnya, yang dapat mengantar pada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pada saat
haji, masing-masing identitas pribadi dan kelompok yang telah menjadikan manusia terkotak-kotak
berdasarkan letak geografis, etnis, warna kulit, status sosial dan lain-lainnya, dilebur dan diganti dengan
identitas baru yang bersifat universal, yaitu sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang pada saatnya akan kembali
kepada-Nya dengan meninggalkan segala yang dimilikinya. Kemudian praktek Thawaf, sebuah gerakan
mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, menggambarkan ketundukan jagad dan seisinya kepada hukum Allah
(sunnatullah), baik berkenaan dengan hukum alam maupun kemasyrakatan. Selain itu, thawaf juga
mencerminkan larut dan berbaurnya umat manusia dalam upaya mencapai satu tujuan yang sama, yakni
berada dalam lingkungan-Nya. Sa’i, berlari-lari kecil antara bukit Shofa dan Marwah merupakan simbol dari
usaha anak manusia yang tidak kenal putus asa dari rahmat Allah. Wukuf di ’Arafah, yaitu berhenti atau
berdiam diri sampai terbenamnya matahari di ’Arafah, sebuah padang luas dan gersang. Disini, di tempat
dimana Adam dan Hawa dipertemukan kembali di Jabal Rahmah (bukit ’Arafah) merupakan simbol kasih
sayang dan usaha manusia menemukan jati dirinya yang sejati. Dan yang terakhir Jumrah, melempar kerikil di
Mina, merupakan simbol dari kebencian manusia terhadap Syaitan dan usaha memeranginya, yang selama ini
selalu mengajak dan melakukan tipu daya terhadap manusia agar ia terjerembab jatuh dalam kehinaan dan
kejaliman.
Haji dan Korban
Hal lain lagi yang perlu diperhatikan lagi adalah, bahwa ibadah haji yang bersumber dari tradisi
keagamaan Nabi Ibrahim, sangat terkait dengan ibadah korban. Karenanya Hari Raya Haji (’Idul ’Adlha)
dikenal juga dengan sebutan Hari Raya Korban (’Idul Qurban).
2
Dalam ritual korban yang menjadi esensi bukanlah materi korban itu, melainkan sikap takwa dari
pelakunya. Allah Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji sama sekali tidak membutuhkan korban dalam artian
sesajen atau sakramen. Yang Ia pandang adalah keikhlasan dan kerelaan seseorang dalam upayanya
mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj/22 ayat 37
yang berbunyi :”Tidaklah bakal sampai kepada Allah daging korban itu, dan tidak pula darahnya! Tetapi yang
bakal sampai kepada-Nya ialah takwa dari kamu”.
Ketakwaan sebagai indikator diterimanya korban tidak hanya terkait dengan aspek personal tetapi juga
sosial. Aspek personal terkait dengan keimanan kepada Allah dalam kegaiban. Meskipun kita tidak dapat
melihat secara kasat mata, namun kita selalu menyadari kehadirannya dimanapun dan kapanpun kita berada.
Sedangkan aspek sosial terkait dengan tingkah laku yang baik dan terpuji (akhlaqul karimah) seseorang.
Aspek sosial ini merupakan implikasi dari kesadaran atau keimanan kepada Allah, zat Yang Maha Hadir.
Seseorang yang sadar akan hal tersebut akan selalu berhati-hati dan mempertimbangkan segala tingkah
lakunya. Ia sadar tak sekejappun ia akan lepas dari pengawasan Allah. Selain itu, iapun meyakini bahwa
setiap perilakunya akan memperoleh konsekwensi hukum, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karenanya, setiap korban dalam artian usaha mendekatkan diri kepada Allah akan senatiasa
terhambat atau bahkan mungkin menjauhkan seseorang dari-Nya tanpa dilandasi keimanan dan diiringi
dengan perbuatan baik kepada sesama manusia. Dalam ayat lain Allah menegaskan :”Bukanlah harta dan
anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami, tetapi hanyalah orang yang beriman dan berbuat
kebaikan; mereka itulah yang mendapat pahala berlipat ganda atas segala yang mereka kerjakan ...” (Q.S. 34 :
37).
Dalam kaitannya dengan ibadah haji, maka tanpa dilandasi dua hal tersebut di atas, ia akan menjadi
ibadah yang sia-sia, yang tidak mendapat apa-apa orang yang berhaji kecuali kelelahan dan berkurangnya
kekayaan. Dan keinginannya untuk berjumpa dengan Allah di kediamannya, Baitullah di Mekah akan ditolak.
”Barangsiapa ingin berjumpa dengan Tuhannya hendaklah ia berbuat baik dan janganlah dalam berbakti
kepada Tuhannya itu ia mempersekutukan-Nya dengan seseorang siapapun juga (Q.S. 18 : 110), demikian
penjelasan Allah.
Dengan demikian jelaslah, bahwa ibadah haji bukan hanya menuntut pelakunya untuk berkorban demi
kepentingan personal yang bersifat spiritual, yaitu membelanjakan sebagian harta kekayaannya untuk
berangkat haji ke Mekah dan secara bersungguh-sungguh menunaikan segala rukunnya disana agar
memperoleh kedekatan dan merasakan kebersamaan kehadiratnya (communion with God). Tetapi yang juga
penting dan utama adalah berkorban untuk mengekang hawa nafsu individualnya sendiri, demi mewujudkan
kehidupan sosial yang lebih baik. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbuat baik terhadap sesama,
terutama membantu mereka yang membutuhkan.
Dalam konteksnya yang lebih luas dan mendalam, kiranya menarik memperhatikan usulan Djohan
Effendi kepada mereka yang pernah berangat haji, agar bersedia berkorban diri untuk tidak pergi haji berkalikali, sehingga uang ongkos naik haji dapat digunakan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Bagi beliau,
berulang-ulang pergi haji tidak akan memiliki makna yang signifikan bagi pelakunya, jika hajinya tersebut tidak
berimplikasi dalam kehidupan sosial. Bahkan beliau mengingatkan mereka yang telah berulang-ulang pergi
haji, tetapi makna dan kualitas haji tidak bersambungan dengan kualitas hidup keseharian sebagai sebuah
pertanda hajinya belum diterima Allah. Wallahu a’lam.
3
*****
Penulis adalah alumni Pondok Peasantren An-Najah Bekasi Cabang dari Pondok Pesantren Darunnajah
Ulujami Jakarta. Tahun 2005 menyelesaikan S1 jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah di
STAIN Ternate, dan pada tahun 2006 penulis diangkat menjadi PNS. Pada tahun 2009 penulis
mendapatkan Beasiswa dan melanjutkan Studi S2 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Program
Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP). Sewaktu kuliah S1 pernah aktif di Organisasi PMII dan
sekarang sebagai Wakil Ketua PW. GP Ansor Provinsi Maluku Utara.
4
Download