Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab I menjelaskan Pendahuluan yang berisi Latar
Belakang,
Rumusan
Masalah,
Tujuan
Penelitian,
Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan Tesis
1.1. Latar Belakang
Indonesia terdiri dari 17.840 pulau yang terletak
diantara benua Asia dan Australia serta samudra
Hindia dan Samudra Pasifik. Pertemuan dua lempeng
Eurasia-Pacific dan Indo-Australia juga menjadikan
wilayah Indonesia sebagai kawasan ring of fire. Deretan
127 gunung api dan 76 diantaranya sangat aktif dan
berada diwilayah padat penduduk. Dengan 250 juta
jiwa tinggal di wilayah ini maka tingkat risiko bencana
menjadi sangat tinggi. Dapat dikatakan Indonesia
secara geografis, geologis, hidrologis dan demografi
rawan
bencana
(Direktorat
Jenderal
Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, 2010).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana, dikenal tiga
jenis ancaman bencana Pertama ancaman bencana
alam (natural disasters) meliputi ancaman bencana
letusan
gunung
berapi,
gempa
bumi,
kekeringan,
tayphon (angin topan) dan tsunami, banjir, longsor dan
kebakaran hutan dan lahan. Kedua, ancaman bencana
non alam. Yaitu meliputi wabah penyakit, mala-praktek
teknologi
dan
kelaparan.
Ketiga,
Bencana
Sosial
meliputi kerusuhan sosial dan konflik sosial.
1
Pada aras internasional, masalah kebencanaan
menjadi agenda penting dunia. Tahun 2005 dalam
Konferensi Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana
(World Conference on Disaster Reduction) di Kobe
Jepang,
168
negara
termasuk
Indonesia
menandatangani pesetujuan global bagi pengurangan
risiko bencana yang dituangkan dalam Hyogo Frame
Work for Action (HFA) 2005 – 2015. Ada tiga tujuan
strategis dan lima pilar prioritas kegiatan HFA. Tujuan
strategi tersebut adalah: pertama Integrasi yang lebih
efektif pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan
pembangunan secara berkelanjutan, perencanaan dan
penyusunan program pada semua jenjang dengan
secara
khusus
pencegahan
memberikan
bencana,
mitigasi,
penekanan
kesiapsiagaan
pada
dan
pengurangan kerentananan.
Kedua,
pengembangan
dan
penguatan
kelembagaan, mekanisme dan kapasitas pada semua
tingkat secara lebih khusus pada tingkat masyarakat,
yang dapat secara sistematis memberikan sumbangan
terhadap pembangunan dalam menghadapi bahaya.
Ketiga,
kerjasama
sistematis
dari
pendekatan
pengurangan risiko bencana ke dalam rencana dan
pelaksanaan program tanggap darurat, respon dan
program pemulihan di dalam proses rekonstruksi dari
masyarakat yang terkena bencana.
Lima prioritas kegiatan The Hyogo Frame Work for
Action (HFA) 2005-2015 adalah pertama, memastikan
bahwa
pengurangan
risiko
bencana
ditempatkan
sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar
institusional yang kuat dalam pelaksanaannya. Kedua,
2
mengidentifikasi, mengevaluasi dan memonitor risikorisiko
bencana
dan
meningkatkan
pemanfaatan
peringatan dini. Ketiga, menggunakan pengetahuan,
inovasi dan pendidikan untuk membangun suatu
budaya aman dan ketahanan pada semua tingkatan.
mengurangi
Keempat,
faktor-faktor
risiko
dasar.
Kelima, memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana
dengan respon yang efektif pada semua tingkatan.
Memperkuat
kapasitas-kapasitas
pada
tingkat
komunitas untuk mengurangi risiko bencana pada
tingkat
lokal,
dimana
individu
dan
komunitas
memobilisir sumberdaya lokal untuk upaya mengurangi
kerentanan terhadap bahaya. Secara khusus, pada
kontek pendidikan, pengurangan risiko bencana sesuai
HFA, pendidikan merupakan capaian tujuan kunci bagi
penggunaan
pengetahuan,
inovasi
dan
pendidikan
untuk membangun budaya aman dan ketahanan di
semua
tingkatan
(Direktorat
Jenderal
Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, 2010).
Belajar dari runtutan bencana gempa bumi Aceh
dan Nias tahun 2004, Gempa Bumi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Jogjakarta tahun 2006, erupsi Merapi,
Tsunami Pangadaran Jawa Barat tahun 2006 dan
berbagai
bencana
lainnya,
maka
pemerintah
menerbitkan kebijakan khusus manajemen bencana.
Hyogo Framework for Action kemudian dirativikasi oleh
pemerintah
Undang
Indonesia
Nomor
dengan
24
menyusun
Tahun
2007
Undangtentang
Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah
Nomor
21
Tahun
2008
tentang
Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
3
Laporan
Direktorat
assessment
Pendidikan
Jenderal Manajemen Sekolah Dasar dan Menengah
(2010), ada 1.306 kejadian bencana selama lima tahun
terakhir. Dampaknya adalah secara kuantitatif 70%
sekolah di Indonesia berada di risiko sedang hingga
tinggi bencana. Sampai dengan tahun 2011, 194.844
ruang kelas di bawah Kementerian Pendidikan dalam
kondisi rusak berat. Sementara 208.214 ruang kelas di
Kementerian Agama rusak berat, sisanya 51.036 rusak
ringan
(Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana/BNPB,
2012).
Kejadian
merenggut
juga
berdampak
jiwa
bencana
selain
langsung
pada
meningkatnya kerentanan sekolah dan seluruh civitas
sekolah dan menghambat pencapaian pembangunan
nasional di bidang pendidikan dan capaian Millenium
Development Goals tahun 2015 (2010). Khususnya
capaian
kedua
pendidikan
dan
dasar
ketiga
untuk
yakni
semua
mewujudkan
dan
mendorong
kesetaraan gender.
Situasi diatas merupakan ancaman serius atas
amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang. Pasal 20, Pasal
21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 32 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjamin atas hak dasar warga negara di bidang
pendidikan
(UUD
penyelenggaraan
1945,
sekolah
di
2002).
Jaminan
“situasi
apapun”
4
merupakan hak dasar warga dan musti dijamin oleh
Negara. Sebagaimana dituangkan didalam Bab IV. Hak
dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat,
dan Pemerintah, Pasal 5 Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2003 (Depdiknas,
2003).
Penyelenggaraan pendidikan dasar untuk semua
juga
menjadi
perhatian
dunia
sesuai
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1948 dan deklarasi PBB
tentang Hak Atas Pembangunan yang di adopsi oleh
Sidang Umum PBB Desember 1986. Hak pendidikan ini
diperkuat didalam Keputusan Konferensi UNESCO di
Yom Tien Thailand tahun 1990. Konsep Gerakan The
Education for All (EFA) diwujudkan dalam Forum
Pendidikan Dunia (The World Education Forum) di
Dakkar tahun 2000. Dalam forum tersebut, 164 negara
menandatangani
dan
didukung
lembaga
pengembangan, civil society dan sektor swasta di
tingkat internasional untuk mencapai 6 (enam) sasaran
EFA pada tahun 2015.
(1) Expand early childhood care & education. (2)
Provide free & compulsory primary education for all. (3)
Promote learning and life skills for young people &
adults. (4) Increase adult literacy by 50 per cent. (5)
Achieve gender parity by 2005, gender equality by
2015. (6) Improve the quality of education.
Dari
penjelasan
diatas,
narasi
konsep
dan
implementasi Hyogo Frame Work for Action, Education
for All, Millenium Development Goals (MDG’s) terkait
pengurangan
risiko
bencana
dan
jaminan
hak
5
pendidikan menekankan nilai-nilai lokalitas invidu
maupun
komunitas,
perempuan,
perspektif
anak-anak,
ability/berkebutuhan
lanjut
khusus.
gender
usia
Dua
dan
yakni
different
perspektif
ini
menjadi acuan untuk menuntun ketepatan respon
berdasarkan kebutuhan, akses dan partisipasi yang
berbeda bagi setiap korban bencana (Badawi, 2013).
Termasuk keyakinan bahwa setiap korban bencana
secara gender memiliki karaktek paparan bencana yang
berbeda tergantung pada kontek lokal baik secara
ekonomi, politik, sosial dan budaya (Badawi, 2012).
Problem
kebencanaan
diakui
menghambat
capaian pembangunan akses, mutu dan akuntabilitas
pendidikan. Laporan Human Development Indexs (HDI)
yang dikeluarkan oleh UNDP tahun 2011, Indonesia
berada pada peringkat 124 dari 178 negara. Tahun
2013 peringkat HDI Indonesia naik menjadi 121 dari
186 negara. Peringkatnya di bawah Filipina (114) dan
Thailand (103) dan sedikit diatas Vietnam (127) (UNDP,
2012). Problem faktor risiko bencana maupun akses,
mutu
dan
akuntabilitas
pendidikan
menghadapi
tantangan posisi wilayah dan penduduk Indonesia yang
tersebar di puluhan ribu pulau besar-kecil mulai dari
Sabang sampai Merauke (Djalal, 2011). Sementara
sistem
infrastruktur,
akuntabilitas
dan
kinerja
birokrasi di bidang pendidikan dan pemerintahan juga
belum cukup merata kemampuannya antar daerah
paska ditetapkannya kebijakan otonomi daerah (Tilaar,
2006).
Khususnya
mengintegrasikan
kemampuan
kebencanaan
dengan
di
dalam
pendidikan
6
dengan perspektif lingkungan dan gender (Badawi,
2013).
Selaras
dengan
hal
tersebut,
Tilaar
(2006)
menegaskan bahwa Negara (pemerintah pusat dan
pemerintah daerah) wajib menjalankan (1). Tersedianya
sarana seperti gedung dan tempat pelaksanaan wajib
belajar
lainnya
(appealability)
(2).
Keterjangkauan
(accessibility) sarana pelaksanaan wajib belajar. (3).
Penerimaan
bentuk
(acceptability)
kelembagaan
yaitu
diterima
pendidikan
oleh
tidaknya
rakyat
(4).
Kesesuaian (adaptability) yaitu kesesuaian lembagalembaga pendidikan dengan kebutuhan lingkungannya
(2006:164-165). Khusus tentang adaptability, di dalam
Latar Belakang Surat Edaran Direktorat Jenderal
Manajemen
Pendidikan
Kementerian
Pendidikan
70a/MPN/SE/2010
Pengurangan
Dasar
Risiko
Menengah
Nasional
tentang
Bencana
dan
Nomor
Pengarusutamaan
di
Sekolah
(2010),
mengakui bahwa:
Rendah kesiapsiagaan komunitas sekolah dan
minimnya pengetahuan tentang bencana alam, yang
disebabkan karena: (1). Belum ada kebijakan nasional
dibidang
pendidikan
tentang
penanggulangan
bencana (2). Di era desentralisasi pendidikan: upayaupaya pengurangan risiko bencana ke dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah belum banyak dilakukan. (3).
Baru ada beberapa propinsi yang sudah memiliki
kebijakan dalam bentuk peraturan daseran tentang
penanggulangan bencana.
Sementara tujuan dari Surat Edaran ini lebih
pada capaian non fisik pada semua jenis bencana
sesuai dengan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana:
7
Strategi
Pengarusutamaan
Pengurangan
Risiko
Bencana di Sekolah secara umum berarti rencana
kegiatan jangka panjang yang diutamakan untuk
pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah,
agar
dapat
digunakan
sebagai
acuan
mengintegrasikan materi pembelajaran pendidikan
kebencanaan kedalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan, bagi semua satuan pendidikan dasar dan
menengah.
Terkait dengan terbitnya surat edaran tersebut,
Badan Penanggulangan Bencana juga menerbitkan
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 04 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana,
tertanggal 30 April 2012. Dengan latar belakang yang
tidak jauh beda, peraturan Kepala BNPB ini memiliki
tujuan lebih teknis dengan menggunakan kerangka
kerja struktural (fisik) dan non struktural (non fisik)
khusus pada bahaya bencana Gempa Bumi dan
Tsunami:
(1). Mengidentifikasi lokasi sekolah/madrasah pada
prioritas rawan bencana gempa bumi dan tsunami;
(2).
Memberikan
acuan
dalam
penerapan
Sekolah/Madrasah Aman dari bencana baik secara
struktural dan non struktural (2012).
Dari penjelasan diatas, kondisi ideal yang hendak
dicapai dari kebijakan pengurangan risiko bencana di
bidang pendidikan adalah pertama, sekolah mampu
mengidentifikasi
kerentanan
dan
kapasitas
yang
dimiliki sesuai dengan kapasitas lokal. Kedua, sekolah
mampu
mengintegrasikan
materi
pembelajaran
pendidikan kebencanaan dalam kurikulum satuan
pendidikan
mampu
dasar
dan
mengenali,
menengah.
menyusun
Ketiga,
dan
sekolah
mengevaluasi
program pengurangan risiko bencana di sekolah baik
8
secara
fisik
(structural),
maupun
non
fisik
(non-
structural) dalam bentuk berbagai kebijakan di satuan
pendidikan. Keempat, sekolah mampu membangun
kerjasama masyarakat (multi-actor partnership) dengan
di
dukung
oleh
pemerintahan
daerah
setempat.
Keempat hal tersebut idealnya mampu diintegrasikan
secara operasional oleh satuan pendidikan dalam
konsep
Manajemen
Berbasis
Sekolah
(MBS)
dan
Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 23 Tahun 2003.
Kemampuan ini oleh disebut Tilaar (2006) sebagai
kemampuan adaptability sekolah atau Mulyasa (2012)
sekolah terintegrasi dengan kebutuhan lingkungan.
Pada kontek implementasi manajemen bencana
di sekolah di kawasan Merapi, berdasarkan data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB per tanggal
30 November 2010, erupsi Merapi mengakibatkan
setidaknya 61.154 jiwa mengungsi, 341 jiwa meninggal
dan 368 jiwa harus rawat inap. Awan panas dan
material letusan Merapi juga menyebabkan 3.307
bangunan rumah, sekolah, puskesmas dan pasar
rusak.
Nilai
kerugian
mencapai
Rp
4,23
triliun
(Kompas, 2012). Sekurangnya ada 156 sekolah tingkat
SD. SMP dan SMA rusak berat di kabupaten Magelang,
Klaten dan Boyolali di Provinsi Jawa Tengah serta di
Kabupaten
Sleman,
(Republika.co.id,
Daerah
2011).
Istimewa
Sementara
Yogyakarta
guru
yang
mengungsi setidaknya 1.882 orang dengan jumlah
siswa sebanyak 18.345 orang (Republika.co.id, 2010).
Erupsi Merapi tahun 2010 memaksa anak-anak
harus berpindah-pindah mengungsi mengikuti orang
tua mereka setidaknya selama 48 hari. Sehingga
9
penyelenggaraan sekolah dilakukan secara darurat di
wilayah pengungsian (wawancara dengan Giya guru SD
Negeri Keningar 2 dan Tarmuji Kepada Desa Keningar).
Situasi
pengungsian
berpindah-pindah
yang
disebabkan kenaikan intensitas aktifitas erupsi Merapi
juga menjadi kendala utama penyelenggaraan sekolah
darurat.
Padahal
situasi
tersebut
dialami
oleh
setidaknya 61.54 jiwa serta 156 sekolah di Kawasan
Rawan Bencana (KRB) III dengan radius di atas 20
kilometer dari puncak Merapi. Salah satunya Desa
Keningar Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang yang
hanya 4 kilometer dari puncak Merapi.
Berdasarkan laporan penelitian awal penulis
yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Studi
Gender (PPSG) Universitas Kristen Satya Wacana tahun
2013,
menunjukkan
fakta-fakta
Pertama,
Secara
khusus SD Negeri Keningar 1 dan 2 belum mengenal
konsep-konsep pengurangan bencana meski mereka
sadar bahwa sekolah mereka berada langsung di
wilayah
risiko
paparan
bencana
erupsi
Merapi.
Pemetaan kerentanan dan kapasitas sekolah belum
pernah
dilakukan
ataupun
di
perintahkah
oleh
Kemendiknas. Bahkan Kepala sekolah dan guru belum
mengetahui jika ada edaran dari Kemendiknas tentang
Strategi
Pengarusutamaan
Pengurangan
Risiko
Bencana di Sekolah maupun dari Peraturan Kepala
BNPB tentang hal yang sama.
Kedua, belum ada pendidikan, pelatihan maupun
simulasi bencana kepada guru, kepala sekolah yang
mengajar dan tinggal di wilayah rentan bencana.
Pengajaran tentang kebencanaan kepada siswa atas
10
inisiatif Kepala Sekolah dilekatkan pada guru olah raga,
itupun
masih
sangat
terbatas.
perintah
Ketiga,
pengungsian bagi siswa sekolah inisiatifnya masih pada
kepala
sekolah
Pendidikan
bukan
Nasional
perintah
dari
Kabupaten
Kementerian
Magelang.
Secara
khusus, sampai letusan besar tanggal 26 Okober 2013
sore hari, anak anak
pagi harinya masih masuk
sekolah, tetapi kemudian kepala sekolah berinisiatif
untuk memulangkan anak lebih awal. Meski telah ada
perintah untuk mengungsi dari Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian/BPPTK sejak
25
Oktober
setempat
2010
belum
(BPPTK,
2010).
memberikan
Kemendiknas
perintah
untuk
meliburkan sekolah. Kejadian yang sama dialami oleh
SD Negeri Keningar 1 dan 2 pada waktu letusan Merapi
di tahun 2004 yang terjadi tepat jam sekolah (sekitar
jam 12 siang). Arah tujuan lokasi pengungsian juga
tidak jelas dan sangat tergantung pada orang tua anak,
tokoh masyarakat setempat maupun pertimbangan
personal lainnya.
Keempat,
kebencanaan.
sekolah
belum
Pengelolaan
terintegrasi
sekolah
dengan
darurat
juga
merupakan inisiatif kepala sekolah, guru dan tokoh
masyarakat
sekaligus
setempat
pengungsi.
yang
mereka
Kesiapan
juga
korban
penyelenggaraan
sekolah darurat yang terpadu dengan shelter, dapur
umum, pusat pengobatan dan healing centre, faktanya
belum berjalan efektif (Badawi, 2013).
Kelima, minim dokumen rujukan baik dalam
bentuk
kebijakan
operasional
maupun
dukungan
penelitian ilmiah. Dokumen penelitian risiko bencana
11
letusan Merapi yang banyak tersedia adalah dalam
perspektif manusia secara umum, ekologi maupun
geologi. Penelitian-penelitian ilmiah tentang peta risiko
bencana dan manajemen bencana letusan Merapi bagi
insititusi dan civitas sekolah maupun pusat pendidikan
belum tersedia. Padahal ketersediaan dokumen rujukan
dalam bentuk penelitian akan menjadi tumpuan hidup
mati ratusan sekolah dan pusat pendidikan dan
puluhan ribu civitas akademik di berbagai level berada
di wilayah risiko tinggi paparan ancaman bencana
letusan Merapi.
Temuan-temuan
awal
diatas,
menunjukkan
bahwa kondisi ideal sebagaimana di tetapkan dalam
kebijakan
pengarusutamaan
pengurangan
risiko
bencana di sekolah, khususnya di SD Negeri Keningar
1
dan
2
belum
manajemen
resilience
tercapai.
bencana
(daya
yang
tahan)
Pelaksanaan
strategi
terintegrasi
sekolah
masih
berbasis
jauh
dari
harapan. Kondisi ini dialami oleh semua sekolah di
wilayah risiko tinggi bencana erupsi Merapi (Badawi,
2013).
Penyebab
utama
belum
berjalannya
pengarusutamaan bencana di sekolah secara umum
adalah birokratik-sentralistik dan sub-ordinasi birokrasi
pendidikan dan problem partisipasi (Rivai, et, al.,
2009). Faktor lain adalah rendahnya penghargaan dan
adaptasi kebijakan atas pengalaman kepala sekolah,
guru,
orang
tua
murid
dan
masyarakat
dalam
mengelola bencana (Badawi, 2013)
Telah
ada
inisiatif
pemerintah
lokal
untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Diantaranya adalah
Surat
Keputusan
Bupati
Sleman
Nomor
253/kep
12
KDH/A/2011 tentang Penggabungan dan Ganti Nama
Kelembagaan Sekolah Dasar tertanggal 29 Juli 2011.
Surat keputusan ini ditujukan bagi total 224 Sekolah di
Kabupaten
Sleman
Merapi. Re-grouping
yang
terkena
dampak
erupsi
dilakukan bagi sekolah yang
berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang
berada diradius di bawah 20 kilometer dari puncak
Merapi. Re-grouping 224 sekolah ini terdiri dari Taman
Kanak-Kanak 72 TK, 90 Sekolah Dasar, SMP/MTS 26
sekolah, jenjang SMA/MA 16 sekolah, 15 SMK dan SLB
5 sekolah. Pilihan kebijakan tersebut juga masih perlu
dikaji,
melihat
perdebatan
dan
penolakan
civitas
sekolah, siswa, orang tua, guru maupun stakeholder
karena tidak menyelesaikan problem utama. Yaitu
tingginya kerentanan dan rendahnya kapasitas sekolah
terkait bencana. Apalagi belum tersedia peta risiko
bencana
di
sekolah-sekolah
tersebut
yang
tentu
berbeda-beda bentuk paparan dan intensitasnya.
Berdasarkan situasi problematik di atas, peneliti
tertarik
untuk
mengkaji
bagaimana
pengalaman
penyelenggaraan sekolah darurat di SD Negeri Keningar
1 dan 2 ini bisa menjadi modal untuk membangun
kebutuhan
strategi
manajemen
sekolah
yang
terintegrasi dengan konsep Early Warning System
Merapi secara umum. Penelitian berbasis pengalaman
sekolah dalam penanganan bencana erupsi Merapi
tahun
2010
Kecamatan
di
SD
Dukun
Negeri
Keningar
Kabupaten
01
dan
Magelang
02
juga
merupakan penelitian pengembangan (Sugiyono, 2013)
pada tingkat awal untuk mengisi kekosongan khazanah
penelitian di issues terkait. Focus penelitian adalah
13
merumuskan strategi manajemen sekolah berbasis
bencana erupsi Merapi di SD Negeri Keningar 01 dan
02 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang
1.2.
1.
Masalah Penelitian
Bagaimana peta risiko bencana erupsi Merapi di
SD Negeri Keningar 01 dan 02 Kecamatan Dukun
Kabupaten Magelang?
2.
Bagaimana rumusan strategi manajemen sekolah
berbasis bencana bagi SD Negeri Keningar 01 dan
02 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang?
1.3.
1.
Tujuan Penelitian
Merumuskan peta risiko bencana erupsi Merapi di
sekolah SD Negeri Keningar 01 dan 02 Kecamatan
dukun Kabupaten Magelang.
2.
Merumuskan strategi manajemen sekolah berbasis
bencana bagi SD Negeri Keningar 01 dan 02
Kecamatan dukun Kabupaten Magelang.
1.4. Manfaat Penelitian
1.
Menjadi rujukan standar pemetaan risiko bencana
dan strategi manajemen sekolah dan institusi
pendidikan khususnya SD Negeri Keningar 1 dan 2
Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, ataupun
sekolah
lain
dengan
karakter
risiko
bencana
sejenis.
2.
Menjadi rujukan bagi Kementerian Pendidikan
dalam menerapkan kebijakan program pendidikan
penguatan sekolah khususnya pemetaan risiko
bencana dan strategi manajemen sekolah berbasis
bencana di Merapi.
14
3.
Menjadi acuan bagi guru, kepala sekolah dan
pejabat
dibidang
pendidikan
dalam
penyusun
materi dan kurikulum bagi sekolah-sekolah di
wilayah risiko tinggi bencana erupsi.
4.
Menjadi rujukan replikasi dan adaptasi penelitianpenelitian lanjutan pada risiko bencana lainnya
sesuai dengan UU N0. 24 tahun 2007 tentang
Pananggulangan Bencana.
5.
Menjadi
acuan
BPPTK,
Badan
Geologi,
Kementerian Pendidikan dan pemerintahan dalam
mengembangkan Sistem Peringatan Dini Bencana
Merapi
dan
pengelolaan
pengungsi
yang
terintegrasi dengan kebutuhan sekolah, shelter,
pusat
kesehatan,
dapur
umum
dan
pusat
rehabilitasi korban dalam perspektif gender dan
kepentingan anak dan sekolah.
1.5.
Sistematika Penulisan Tesis
Penulisan tesis akan diuraikan secara deskriptif
merujuk pada bab-bab sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan menguraikan tentang (1). Latar
Belakang Masalah (2). Masalah Penelitian (3). Tujuan
Penelitian
(4).
Manfaat
Penelitian
(5)
Sistimatika
Penulisan.
Bab
II
Mendeskripsikan
menguraikan
konsep-konsep
Kajian
Pustaka
tentang:
(1).
yang
Erupsi
Merapi (2). Strategi Manajemen Sekolah (3). Analisis
Bencana (4). Kerangka Pikir (5). Produk Penelitian.
Bab III mendeskripsikan tentang (1). Lokasi dan Waktu
Penelitian. (2). Jenis Penelitian (3). Metode Penelitian
15
(4). Analisis Penelitian. (5). Keabsahan dan Keajegan
Penelitian. (6). Tahapan Penelitian.
Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian, Strategi
Manajemen Sekolah Berbasis Bencana meliputi (1).
Peta Risiko Bencana SD Negeri Keningar 1 dan 2
Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang: Peta Bahaya,
Peta Kerentanan dan Kapasitas Sekolah, Kebutuhan
dan
Peran,
serta
Prioritas
Sekolah.
(2).
Strategi
Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi di
SD Negeri Keningar 1 dan 2: Integrasi Manajemen
Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi.
Bab V Simpulan dan Saran Operasional. Dalam bab ini
diuraikan (1). Rumusan simpulan secara luas dan
cermat hasil deskripsi data dan analisis data dari babbab sebelumnya. (2). Keterbatasan-keterbatasan di
dalam pelaksanaan penelitian (3). Rumusan saran
secara operasional untuk implementasi tindak lanjut
atas simpulan tesis.
Pada bagian akhir berikan Daftar Pustaka sebagai
sumber rujukan penelitian, serta Lampiran-lampiran
proses dan hasil penelitian.
16
Download