PENGARUH SUHU DAN WAKTU PEMBIUSAN

advertisement
Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2006, hlm .96-101
ISSN 0126-4265
Vol. 33 No. 2
PRODUKSI IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) TIDAK SEGAR
SEBAGAI BAHAN BAKU TEPUNG IKAN PANGAN (Fish Flour)
Mirna Ilza 1)
Diterima tanggal : 15 Maret 2006/ Disetujui Tanggal : 30 April 2006
ABSTRACT
The research is entitled; The production of tongkol (Euthynnus affinis) as fish flour material has been
done in Kabupaten Kepulauan Riau on July 2002. The experiment was conducted to production of unfresh
tongkol as fish flour materials. The research method was survey method at fishing location in Kecamatan
Bintan Timur and hold an interview with TPI manager, exporter and fish trader as primary data. The
secondary data has also been taken from fishery official (Dinas Perikanan). The research result showed that
30% of cath was unutilized (in unfresh condition). To avoid loss of fishermen and fish trader unfresh tongkol
should be processed become fish flour. The fish flour from white meat gave high protein content (67,47%)
than red meat (55,06%).
Key words : unfresh tongkol, red and white meat, fish flour.
PENDAHULUAN
Produksi ikan tongkol (Euthynnus
affinis) pada tahun 2000 di Kabupaten
Kepulauan Riau tercatat 1808,97 ton (Dinas
Perikanan
dan
Kelautan
Kabupaten
Kepulauan Riau 2001), pada tahun 2001
produksinya naik menjadi 2128,2 ton (Dinas
Perikanan
dan
Kelautan
Kabupaten
Kepulauan Riau, 2002).
Ikan tongkol tidak segar adalah ikan
yang mempunyai nilai organoleptik 5
(dengan skor 1 terendah sampai 9 tertinggi)
dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mata agak
tenggelam, biji mata kelabu dan kornea agak
keruh; 2) Insang memucat dan sedikit
berlendir; 3) Dinding perut berubah warna
dan agak lunak; 4) Daging menjadi lunak;
dan 5) Bau segar hilang.
Ikan tongkol merupakan sumber bahan
pangan yang kaya protein dan merupakan
komponen penting dalam makanan. Daging
ikan tongkol memiliki dua macam warna,
yaitu putih dan merah. Murniyati dan
Sunarman (2000) menyatakan kandungan zat
gizi pada ikan tongkol segar pada daging
bewarna merah-putih adalah: air 63,9%65,6%, protein 23,1%-23,6%, lemak 9,3%11,6%, dan abu 1,3%-1,4%. Daging ikan
tongkol relatif mudah dicerna karena jaringan
pengikat rendah dan dibutuhkan untuk
1) Staf Pengajar Jurusan THP Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Riau
pertumbuhan tubuh.
Biasanya daging bewarna merah tidak
disukai konsumen karena dapat berubah
menjadi coklat bila dilakukan pemanasan di
samping baunya yang amis. Berdasarkan
kandungan protein yang lebih tinggi serta
berbagai
jenis
asam
amino
yang
dikandungnya seperti alifatik, aromatik dan
bersulfur, daging ikan tongkol dapat diolah
menjadi tepung ikan.
Tepung ikan dapat diolah dari bahan
baku ikan utuh dan dagingnya saja. Nilai gizi
tepung ikan untuk pakan komersil yang
berasal dari ikan utuh adalah: kadar air 9,2%,
lemak 5,48%, protein 59,53%, dan abu
22,27% (Buwono, 2000). Nilai gizi tepung
ikan pangan dari daging merah tuna segar
yang dihasilkan Hak dkk. (2001) adalah
sebagai berikut: kadar air 7,86%, lemak
3,07%, protein 84,03%, dan abu 1,88%.
Standar mutu tepung ikan untuk
pangan adalah: kadar air maksimum 10%,
kadar lemak maksimum 12%, kadar protein
minimum 60% dan kadar abu maksimum
20% (Standar Nasional Indonesia, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu
tepung ikan pangan adalah: bentuk bahan
baku, kadar air, lemak, protein dan abu serta
teknik
pengolahan
(perebusan
atau
pengukusan,
pelumatan,
pressing,
pengeringan, dan penggilingan).
Berdasarkan latar belakang di atas
penulis tertarik melakukan penelitian tentang:
Produksi ikan tongkol tidak segar sebagai
96
Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar
bahan baku tepung ikan pangan. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui produksi
ikan tongkol tidak segar di Kabupaten
Kepulauan Riau dan mengevaluasi jenis
daging ikan tongkol tidak segar sebagai
bahan baku pembuatan tepung ikan pangan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 1
September sampai 30 Nopember 2002 di
Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Riau.
Bahan dan Alat
Ikan yang digunakan sebagai bahan
baku dalam penelitian ini adalah ikan tongkol
tidak segar dengan berat sekitar 500 gram per
ekor. Satu unit percobaan membutuhkan 9
ekor ikan tongkol dengan ulangan 3 kali.
Setelah itu ikan dicuci sampai bersih dan
ditiriskan, selanjutnya dilakukan pemisahan
daging dengan tulang dengan cara difillet
serta pemisahan daging yang bewarna merah
dan putih. Daging ikan yang sudah
dipisahkan diolah menjadi tepung ikan
menurut prosedur Itata (2001), untuk lebih
jelasnya bahan dan alat dapat dilihat pada
prosedur penelitian.
Metode dan Prosedur Penelitian
Proses pembuatan tepung ikan adalah
sebagai berikut: bahan baku daging ikan
dikukus dalam wadah pengukus selama 0,5
jam sejak air mendidih untuk mengkoagulasi
protein dan mengeluarkan air dan lemak yang
terkandung dalam tubuh ikan. Untuk
memperoleh partikel tepung ikan yang lebih
halus dilakukan pelumatan dengan alat
penggiling, kemudian dipres dengan alat
pengepres Yasumatsu Model 27 dengan
tekanan 10kg/cm2 sebanyak 3 kali selama 0,5
menit untuk memisahkan cairan dan lemak
yang masih terkandung dalam daging ikan.
Rendemen
hasil pengepresan segera
dikeringkan di dalam pengering mekanis
pada suhu  850C selama 16 jam untuk
memperoleh kadar air di bawah 10%. Setelah
kering digiling menjadi tepung ikan.
Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006
Parameter yang diukur sesudah
pengolahan adalah sebagai berikut:1) Uji
proksimat yaitu kadar air (Oven), lemak
(Ekstraksi Soxhlet), protein (Kjeldahl), dan
abu (Muffle). 2) Uji organoleptik warna,
tekstur, bau, dan rasa dilakukan 5 orang
panelis terlatih berdasarkan skor 1 (terendah)
sampai 5 (tertinggi). Skor 1 untuk warna
coklat, tekstur menggumpal, bau amis, dan
rasa pahit. Skor 2 untuk warna coklat
kekuning-kuningan,
tekstur
kurang
menggumpal, bau amis agak lemah, dan rasa
pahit diganti rasa ikan yang kuat. Skor 3
untuk warna kekuning-kuningan, tekstur
mulai menggumpal, bau amis lebih lemah,
dan rasa ikan lemah. Skor 4 untuk warna
kuning keputih-putihan, tekstur tidak
menggumpal, bau amis lemah sekali, dan rasa
ikan lemah sekali. Skor 5 untuk warna putih,
tekstur halus tidak menggumpal, tidak berbau
amis, dan rasa ikan hilang.
Rancangan Percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
susunan faktorial dengan 2 faktor A x B.
Faktor A adalah jenis daging ikan tongkol
tidak segar (a0 = utuh/tanpa dipisahkan, a1 =
bewarna merah, a3 = bewarna putih). Faktor
B adalah lama penyimpanan (bo = 0 bulan,
b2 = 1 bulan, b3 = 2 bulan).
Analisis Data
Data kadar air, protein, lemak, dan abu
yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas dan homogenitas, apabila sebaran
data normal dan homogen maka selanjutnya
data tersebut dianalisis dengan analisis
variansi (ANOVA). Untuk uji lanjut
digunakan uji DMRT (Steel dan Torrie,
1984). Hasil perlakuan yang terbaik terutama
berdasarkan pada kandungan protein yang
tertinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
data
survai
hasil
penelitian 30% (57,21 ton) dari hasil
tangkapan 171,63 ton ikan tongkol pada
bulan Juli 2002 di Kabupaten Kepulauan
Riau berada dalam kondisi tidak segar. Ikan
tidak segar berasal dari ikan yang terluka
pada waktu penangkapan, kurangnya sarana
pendinginan, ikan yang tergencet atau
terhimpit pada waktu penumpukan dalam
97
Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar
palka atau “Cool Box”, sisa sortiran untuk
diekspor dan ikan yang tidak terjual selama
beberapa hari (lebih tiga hari) di pasar.
Dari analisis keragamaman dapat
diketahui bahwa interaksi perlakuan jenis
daging dan lama penyimpanan berpengaruh
nyata (P < 0.05) terhadap kadar air, protein,
lemak, dan nilai organoleptik. Selanjutnya
dari analisis keragaman diketahui bahwa
perlakuan jenis daging berpengaruh nyata
(P < 0.05) terhadap kadar abu, tetapi
perlakuan
lama
penyimpanan
tidak
berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap kadar
abu. Untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa
interaksi perlakuan jenis daging ikan dan
lama penyimpanan berpengaruh nyata (P <
0.05) terhadap kadar air tepung ikan. Kadar
air yang tertinggi (7,87%) terdapat pada
perlakuan daging utuh dengan lama
penyimpanan 2 bulan yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan daging merah dengan
lama penyimpanan 2 bulan (7,82%) dan
perlakuan daging merah dengan lama
penyimpanan 2 bulan (7,81%). Setelah itu
diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan
lama penyimpanan 1 bulan (7,79%) yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan daging
utuh dengan lama penyimpanan 0 bulan
(7,74%) serta tidak berbeda nyata dengan
daging merah dengan lama penyimpanan 1
bulan (7,73%), daging putih dengan lama
penyimpanan 0 bulan (77,7%) dan 1 bulan
(7,75%). Selanjutnya diikuti oleh perlakuan
daging merah dengan lama penyimpanan 0
bulan (7,66%).
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa
interaksi perlakuan jenis daging ikan dan
lama penyimpanan berpengaruh nyata (P <
0.05) terhadap kadar protein tepung ikan.
Kadar protein yang tertinggi (67,47 %)
terdapat pada perlakuan daging putih dengan
lama penyimpanan 0 bulan yang tidak
berbeda nyata dengan lama penyimpanan 1
bulan (6,45%), setelah itu diikuti oleh
perlakuan daging putih dengan lama
penyimpanan 2 bulan (67,37%). Selanjutnya
diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan
lama penyimpanan 0 bulan (59,14%), 1 bulan
(58,89%) dan 2 bulan (58,67%). Lebih lanjut
Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006
diikuti oleh perlakuan daging merah dengan
lama penyimpanan 0 bulan (55,06%), 1 bulan
(53,33%), dan 2 bulan (51,21%).
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa
interaksi perlakuan jenis daging ikan dan
lama penyimpanan berpengaruh nyata (P <
0.05) terhadap kadar lemak tepung ikan.
Kadar lemak yang tertinggi (8,06%) terdapat
pada perlakuan daging merah dengan lama
penyimpanan 0 bulan. Setelah itu diikuti oleh
perlakuan daging merah
dengan lama
penyimpanan 1 bulan (7,93%) yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan daging utuh
selama penyimpanan 0 bulan (7,89%).
Selanjutnya diikuti oleh perlakuan daging
utuh dengan lama penyimpanan 1 bulan
(7,79%) yang tidak berbeda nyata dengan
lama penyimpanan 2 bulan (7,77%) dan tidak
berbeda nyata dengan daging merah dengan
lama penyimpanan 2 bulan (7,81%). Lebih
lanjut diikuti oleh perlakuan daging putih
dengan lama penyimpanan 0 bulan (7,57%),
lama penyimpanan 1 bulan (7,45%), dan 2
bulan (7,35%).
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa
interaksi perlakuan jenis daging ikan dan
lama penyimpanan berpengaruh nyata (P <
0.05) terhadap nilai organoleptik tepung ikan.
Nilai organoleptik yang tertinggi (4,87)
terdapat pada perlakuan daging putih dengan
lama penyimpanan 0 bulan yang tidak
berbeda nyata dengan lama penyimpanan 1
bulan (4,85), setelah itu diikuti oleh
perlakuan daging putih dengan lama
penyimpanan 2 bulan (4,75). Selanjutnya
diikuti oleh perlakuan daging utuh dengan
lama penyimpanan 0 bulan (3,94), 2 bulan
(3,89) dan 2 bulan (3,77). Lebih lanjut diikuti
oleh perlakuan daging merah dengan lama
penyimpanan 0 bulan (2,56), 1 bulan (2,33),
dan 2 bulan (2,21).
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa
perlakuan jenis daging ikan berpengaruh
nyata (P < 0.05) terhadap kadar abu tepung
ikan,
sedangkan
perlakuan
lama
penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P >
0.05) terhadap kadar abu tepung ikan. Kadar
abu yang tertinggi (2,47%) terdapat pada
perlakuan ikan utuh yang tidak berbeda nyata
dengan kadar abu daging putih (2,46%),
kemudian diikuti oleh perlakuan daging
merah (2,33%).
98
Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar
Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006
Tabel 1. Rata-rata Kadar Air (%), Protein (%), Lemak (%) dan Abu (%) serta Nilai Organoleptik Tepung
Ikan
Parameter Yang
Diukur
Lama Penyimpanan
0 bulan
Air (%)
1 bulan
2 bulan
0 bulan
Protein (%)
1 bulan
2 bulan
Lemak (%)
0 bulan
1 bulan
2 bulan
Abu (%)
0 bulan
1 bulan
2 bulan
Rata-rata
0 bulan
Nilai Organoleptik
1 bulan
2 bulan
Utuh
A
7,74 a
A
7.79 a
B
7.87 a
Jenis Daging Ikan
Warna Merah
C
7.66 b
A
7.73 a
B
7.81 a
Warna Putih
A
7.77 a
A
7.75 a
B
7.82 a
A
59.14 a
B
58.89 a
C
58.67 a
A
55.06 b
B
55.33 b
C
51.21 b
A
67.47 c
A
67.45 c
B
67.37 c
A
7.89 a
B
7.79 a
B
7.77 a
C
8.06 b
A
7.93 a
B
7.81 b
A
7.57 c
A
7.45 c
C
7.35 c
2.44
2.49
2.47
2.47
2.36
2.33
2.31
2.33
2.47
2.45
2.45
2.46
A
3.94 a
B
3.89 a
B
3.77 a
A
2.56 b
B
2.33 a
B
2.21 b
A
4.87 c
A
4.85 c
C
4.75 c
Keterangan : Huruf kecil yang tidak sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05). Huruf besar
yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)
Berdasarkan kadar protein yang
tertinggi (67,47%) yang terdapat pada
perlakuan daging putih dengan lama
penyimpanan 0 bulan yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan 1 bulan, dengan
memperhitungkan kadar air 7,77%, kadar
lemak 7,57%, kadar abu 2,46% dan nilai
organoleptik yang tertinggi (4,87) pada
perlakuan yang sama, berarti tepung ikan
yang dihasilkan dari bahan dari ikan tongkol
tidak segar yang bewarna daging putih
memenuhi syarat mutu tepung ikan pangan
dengan kandungan protein melebihi 60%.
Protein
merupakan
komponen
terpenting dalam tepung ikan pangan. Salah
satu tujuan utama untuk memproduksi
tepung ikan untuk dijadikan bahan pangan
adalah untuk memenuhi kebutuhan protein
hewani manusia khususnya dari hasil
perikanan. Tingkat mutu tepung ikan pangan
sangat ditentukan dari kadar protein yang
dihasilkan. Makin tinggi kadar protein yang
dihasilkan makin tinggi mutu tepung ikan
pangan.
Menurut macam asam amino yang
membentuknya, protein tepung ikan tongkol
dapat digolongkan ke dalam protein
komplek yaitu protein yang mengandung
asam-asam amino essensial lengkap baik
macam maupun jumlahnya sehingga dapat
menjamin pertumbuhan dan mempertahan
kehidupan
jaringan
manusia
serta
99
Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar
mempunyai nilai biologis yang tinggi (Hak
dkk.,2001). Berdasarkan kandungan protein,
tepung ikan hasil pengolahan ini dapat
dijadikan sumber pengkayaan (enrichment)
protein pada pembuatan bubur bayi, biskuit,
mie, cracker, snack, dan kerupuk.
Protein sebagai zat pembangun, yaitu
merupakan pembangun jaringan baru sangat
dibutuhkan oleh manusia pada setiap tingkat
kehidupan, mulai dari dalam kandungan,
bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa,
orang sakit dan dalam taraf penyembuhan,
paruh baya dan lanjut usia, semuanya
membutuhkan protein untuk mempertahan
kehidupan yang sehat. Apabila macam dan
jumlahnya
tidak
memadai
akan
menimbulkan gejala-gejala kurang protein
yang dapat menimbulkan penyakit dan
menurunkan tingkat kecerdasan manusia.
Tepung ikan sebagai bahan pangan
yang mengandung protein, lemak, mineral
dan vitamin dapat dijadikan sebagai bahan
pangan untuk pemenuhan kebutuhan gizi,
pemelihara kesehatan dan meningkatkan
kecerdasan manusia. Semuanya ini bisa
diperoleh
melalui
makanan
yang
difortifikasi (Fortified Foods) sesuai dengan
kebutuhan manusia.
Makanan pendamping ASI yang
dibuat dalam bentuk biskuit yang terdiri
tepung ikan 30%, tepung talas atau tepung
ubi jalar 10% ditambah bahan-bahan lain
berupa shortening, margarin, garam, baking
powder, gula halus, kunig telur, ovalet, dan
air dengan perbandingan tertentu dapat
diberikan pada balita (Prihananto dkk.,
2004).
Berdasarkan
standar
Codex
Alimentarius Commission (1994), makanan
pelengkap untuk bayi dan anak-anak yang
mempunyai kandungan protein lebih dari
15% dengan mutu protein tidak kurang dari
80% mutu protein kasein, sebelum diberikan
dapat diencerkan dengan menggunakan air.
Jika makanan pelengkap untuk bayi dan
anak-anak dengan mutu dan kandungan
protein yang kurang dari standar maka
sebelum diberikan kepada bayi dan anakanak harus diencerkan dengan menggunakan
susu.
Formula yang digunakan Rieuwpassa
dan Soukotta (2006) dalam pembuatan
Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006
biskuit adalah; konsentrat protein ikan 20%,
terigu 25%, susu skim 15%, gula bubuk
20%, margarin 10%, kuning telur 10%,
ditambah baking powder 1% dan esens
mocca ½ sendok. Berdasarkan zat-zat gizi
dan uji mikrobiologis serta kandungan asamasam amino, maka produk ini layak
dikonsumsi oleh balita karena komposisi
gizinya masuk dalam kisaran spesifikasi
persyaratan mutu untuk biskuit bayi dan
balita menurut standar FAO/WHO untuk
makanan tambahan bayi dan anak-anak
FAO/WHO, 1972).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian 30% (57,21
ton) dari hasil tangkapan 171,63 ton ikan
tongkol di Kabupaten Kepulauan Riau
berada dalam kondisi tidak segar. Untuk
meningkatkan nilai gizi dan nilai
ekonomis, ikan tongkol tidak segar dapat
diolah menjadi tepung ikan pangan.
2. Tepung ikan pangan yang terbaik
dihasilkan dari perlakuan jenis daging
putih dan lama penyimpanan 0 bulan atau
1 bulan
didapat kandungan protein
67,47%, air 7,77%, lemak 7,57%, abu
2,46% serta nilai organoleptik 4,87.
3. Tepung daging putih ikan tongkol dapat
dijadikan sumber bahan pangan karena
kualitasnya sama dengan tepung ikan
pangan komersil yaitu kandungan
proteinnya melebihi 60%.
Saran
Tepung ikan pangan yang dihasilkan
dari ikan tongkol tidak segar disarankan
untuk digunakan sebagai bahan baku
pengolahan lebih lanjut sebagai pengkayaan
(enrichment) protein seperti pembuatan
bubur bayi, biskuit, mie, cracker, snack, dan
kerupuk.
100
Produksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Tidak Segar
DAFTAR PUSTAKA
Buwono, I. D., 2000. Kebutuhan Asam
Amino Esensial dalam Ransum Ikan
Kanisius. Yogyakarta. 112 hal.
Codex Alimentarius Commission, 1994,
Codex Alimentarius Food Special
Dietary Use (Including Foods for
Infant and Children). FAO-WHO.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Kepulauan Riau, 2001. Laporan Data
2000. Tanjung Pinang. 47 hal.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Kepulauan Riau, 2002. Laporan Data
2001. Tanjung Pinang. 49 hal.
Hak, N., Taswir, Murdinah, dan Saleh, 2001.
Pengolahan Ikan Mutu Pangan dari
Daging
Merah
Tuna.
Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 4: 57
– 61.
Itata, S. A., 2001. Fish Meal and Oil.
Presquera. Santiago, Chili. 17 p.
Murniyati, A.S. dan Sunarman, 2000.
Pendinginan,
Pembekuan
dan
Pengawetan
Ikan.
Kanisius.
Yogyakarta. 220 hal.
Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33, No 2 Juli 2006
PAG/FAO/WHO,1972. PAG Guideline on
Protein Rich Mixtures for Use
Supplementary
Foods.
PAG
Guideline No. 8.
Prihananto, V., H. Dwiyanti, N. Aini dan G.
Wijonarko, 2004. Uji Biologis
Makanan Pendamping Asi (MP-ASI)
Berbahan Baku Pati Talas dengan
Suplementasi Tepung Ikan dan
Tepung Sumber Vitamin A. Majalah
Ilmiah Unsoed 2: 29-38.
Riewpassa, F. dan L. M. Soukotta, 2006.
Dampak
Pemberian
Biskuit
Konsentrat Protein Ikan dan Probiotik
Terhadap Status Gizi Anak Balita
Kurang Gizi. Ichthyos 1: 1-6.
Standar
Nasional
Indonesia,
1994.
Direktorat
Jenderal
Perikanan.
Jakarta. 85 hal.
Steel, R. G. D. and J. H. Torrie, 1984.
Principles
and
Procedures
of
Statistics. McGraw-Hill International
Book Company. Singapore. 547 p.
101
Download