Vol. 4 No 1 Juni 2012 JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES

advertisement
Vol. 4 No 1 Juni 2012
HUBUNGAN ANEMIA IBU HAMIL TRIMESTER III DENGAN
KEJADIAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR)
(Penelitian Analitik di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. Banyuwangi)
Nurun Nikmah, SST
Abstrac
Anemia pregnancy will influence health of pregnant mother and baby in her pregnant. Some risk because of anemia pregnancy in
baby such as low birth weight, asfiction, defected or even baby born death. The purpose of research is to know the relationship between
anemia of pregnant mother in trimester III whith low birth weight.
This researce used analytical retrospectif. The population is 340 respondents which 184 respondents are the samples by sampling
that used is simple random sampling. The independent variable is anemia of pregnant mother in trimester III and dependen variable is low
birth weight. Collecting data by using secondary data is medical record that is status of anemia pregnant mother and baby born weigh.
The result show that are correlation between anemia of pregnant mother in trimester III whith low birth weight. Hypothesis test with
Lambda detained p = 0,008 and α = 0,05, it means that are correlation between anemia of pregnant mother in trimester III whith low birth
weigh.
By this research, the pregnant mother, medical office, and the stake holder could give more attention to the anemia of pregnant
mother.
Keywords: Anemia of pregnant mother, Low birth weight
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
1
Vol. 4 No 1 Juni 2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hasil konsepsi (Janin, plasenta, darah) membutuhkan zat
besi dalam jumlah besar untuk pembuatan butir - butir darah
merah dan pertumbuhannya (Mochtar, 1998). Masalah gizi
merupakan salah satu masalah kesehatan yang dihadapi bangsa
Indonesia sekarang ini. Masalah gizi dan pangan merupakan
masalah yang mendasar karena secara langsung menentukan
kualitas sumber daya manusia serta dapat meningkatkan derajat
kesehatan (Tarwoto. 2007).
Masalah gizi utama di Indonesia yang belum teratasi,
salah satunya adalah anemia (Tarwoto. 2007). Anemia pada
kehamilan adalah anemia karena kurangnya zat besi, dengan
kadar Hemoglobin kurang dari 11 g% (Manuaba, 1998). Anemia
dalam kehamilan akan menyebabkan abortus, partus prematurus,
BBLR, partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum
karena atonia uteri, syok, infeksi, dan dekompensasi kordis
(Wiknjosastro, 2005). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ialah
bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500
gram (Saifuddin, 2006).
Anemia hamil disebut “potential danger to mother and child”
(potensial membahayakan ibu dan anak), karena itulah anemia
merupakan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam
pelayanan kesehatan pada lini terdepan (Manuaba. 1998).
Depkes RI, 2007 mengungkapkan bahwa upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil
yaitu pemberian tablet Fe sebanyak 90 tablet pada ibu hamil
(Dinkes Banyuwangi, 2009). Keadaan anemia sejak hamil yang
tidak diobati sering berlanjut sampai saat persalinan dan nifas.
Oleh sebab itu, kehamilan dengan anemia ringan perlu perhatian
khusus agar dapat ditanggulangi segera. Masalah atau
komplikasi yang mungkin timbul dapat ditekan dengan
memberikan health education tentang gizi seimbang, makanan
yang mengandung zat besi dan dengan pemantauan kadar Hb.
Oleh karena itu pemeriksaan Hb ibu hamil dilakukan minimal dua
kali selama kehamilan yanitu pada trimester I dan trimester III
(Manuaba, 1998).
Di Indonesia, berdasarkan Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian
neonatal sebesar 20 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab utama
kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
sebanyak 29%. Di propinsi Jawa timur, BBLR masih menjadi
penyebab kematian neonatal tertinggi pada tahun 2001 sebesar
36,23% dan 2002 sebesar 34,72%. Sedangkan di RSUD Dr.
Soetomo pada tahun 2002 dari 232 kasus kematian neonatal
sebesar 78,88% mempunyai bayi dengan BBLR dan pada tahun
2003, 62,87% dari 307 kasus kematian neonatal merupakan
BBLR. Di Indonesia angka BBLR sebesar 10-14 % merupakan
salah satu angka tertinggi di negara sedang berkembang (Shinta,
2008). Depkes RI, 2000 menetapkan bahwa target BBLR pada
sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010
yakni maksimal 7% (Kusumawati, 2004). Faktor dominan
penyebab utama BBLR adalah gizi saat hamil kurang (Manuaba,
1998).
Berdasarkan data dari Direktorat Bina Kesehatan Ibu,
Departemen Kesehatan (Depkes), saat ini angka penderita
Anemia pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan mencapai 40%
(Purwatiningsih, 2009). Njo Tiong Tiat dan Poerwo Soedarmo
menemukan frekuensi anemia dalam kehamilan di Indonesia
yaitu 16,1% pada triwulan I dan 49,9% pada triwulan III (Mochtar,
1998). Frekuensi anemia ibu hamil di Jawa timur yaitu 57,8%
(Amiruddin, 2007), dan frekuensi anemia ibu hamil di Banyuwangi
mencapai 51% (Purwatiningsih, 2009).
Pada pengambilan data di BPS Sri Susiati yang diperoleh
dari pencatatan dan pelaporan medical record berupa register ibu
bersalin tahun 2009, didapatkan Ibu hamil dengan kehamilan
aterm yang bersalin sejumlah 223 orang, terdapat ibu hamil tidak
anemi 103 orang (46,2%) dan ibu hamil yang anemia pada
trimester III adalah 120 orang (53,8%). Ibu hamil yang tidak
anemi pada trimester III melahirkan bayi dengan berat badan lahir
normal 98 bayi (95,1%) dan 5 bayi dengan berat badan lahir
rendah (4,9%). Ibu hamil yang anemi pada trimester III
melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal 99 bayi (82,5%)
dan 21 bayi dengan berat badan lahir rendah (17,5%). Tingginya
anemia ibu hamil di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb disebabkan
karena kurangnya zat besi dalam diet yaitu tidak menghabiskan
jumlah tablet Fe yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan dan
kurangnya penganekaragaman dalam makanan.
Berdasarkan latar belakang dan data awal pada
kenyataan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti apakah
ada hubungan antara anemia ibu hamil dengan kejadian berat
badan lahir rendah di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb Desa
Karangmulyo Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan yang
diajukan adalah apakah “ada hubungan anemia ibu hamil
trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri
Susiyati, Amd, Keb.?”.
Tujuan Penelitian
Diketahuinya hubungan anemia ibu hamil trimester III
dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri susiyati,
Amd. Keb.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran ilmu pengetahuan atau pemecahan suatu masalah,
pada dasarnya menggunakan metode ilmiah (Notoatmodjo,
2002).
Desain Penelitian
Desain penelitian adalah rencana dan rancangan yang dibuat
oleh peneliti sebagai ancang-ancang kegiatan yang dilakukan
(Arikunto, 2002). Penelitian ini merupakan jenis penelitian
korelasional dengan mengamati secara retrospektif jumlah ibu
hamil dengan anemi pada trimester III tanpa memberikan
intervensi tertentu untuk mengkaji hubungan antara anemia ibu
hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di
BPS Sri Susiyati, Amd. Keb.
Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya:
manusia, klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
(Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu
dengan kehamilan trimester III (38 minggu – 40 minggu) dan telah
melahirkan, serta terdaftar pada bagian rekam medik di BPS Sri
Susiyati, Amd. Keb pada periode Januari 2008 – Mei 2010.
Jumlah persalinan pada Januari 2008 - Mei 2010 yaitu 340 orang
(Data Sekunder, Medical Record, 2010).
Sampel
Sampel adalah terdiri dari bagian populasi terjangkau yang
dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling
(Nursalam, 2008). Sampel pada penelitian ini adalah ibu anemia
pada trimester III dan telah melahirkan di Bps Sri Susiyati, Amd.
Keb yaitu sebanyak 340 orang.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
2
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Jumlah Sampel
Perhitungan besar
menggunakan rumus :
n
sampel
pada
penelitian
ini
N
2
1  N d 
Keterangan :
N : Besar populasi
n : Besar sampel
d : tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,05)
(Notoatmojo, 2005)
n
N
2
1  N d 
n=
340
.
1+ 340 (0,05)2
n=
340
.
1+ 340 (0,0025)
n = 340 .
1+ 0,85
n = 340.
1,85
n = 183,78 ≈ 184
Jadi besar sampel yang akan diteliti adalah 184 orang.
Metode Sampling
Untuk memenuhi besar sampel kemudian dilanjutkan dengan
tehnik simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara
acak sederhana (Notoatmojo, 2002).
Variabel
Variabel
Independen
anemia ibu
hamil
trimester III
Variabel
Dependen
BBLR
Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara
operasional berdasarkan karakter yang diamati, memungkinkan
peneliti melakukan observasi atau pengukuran secara cermat
terhadap suatu atau fenomena (Hidayat, 2007).
Tabel 4.1. Definisi Operational
Definisi
Parameter Alat Ukur Skala
Skor
Opersaional
Anemia pada
kehamilan
adalah anemia
karena
kurangnya zat
besi, dengan
kadar
hemoglobin
kurang dari 11
g%.
Trimester III
adalah usia
kehamilan 28 –
40 minggu
Berat Badan
Lahir Rendah
(BBLR) adalah
bayi baru lahir
yang berat
badannya saat
lahir kurang dari
2500 gram
Hasil
pengukuran
kadar
hemoglobin
Konfirmasi
Ordinal 1). Ringan bila Hb
data
10 g% – <11
sekunder
g%
medical
2). Sedang bila Hb
record BPS
8 g% – <10
Sri Susiati,
g%
Amd. Keb.
3). Berat bila Hb <
bulan Januari
8 g%
2008 sampai
Mei 2010
(Register
Kohort).
Hasil
pengukuran
berat badan
Konfirmasi
Nominal 1). Berat
badan
data
lahir normal bila
sekunder
Berat
badan
medical
bayi ≥ 2500
record BPS
gram
Sri Susiati,
2). Berat
badan
Amd. Keb.
lahir
Rendah
bulan Januari
bila Berat badan
2008 sampai
bayi < 2500
Mei 2010
gram
(Buku
persalinan).
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih cermat
(Notoatmodjo, 2002). Instrument yang digunakan pada penelitian
ini adalah register kohort dan buku persalinan.
Lokasi dan waktu
Penelitian di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. Desa
Karangmulyo Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi dan
penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2010.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran data
sekunder dengan cara mengambil data yang berasal dari medical
record yaitu register kohort ibu hamil yang telah melakukan
persalinan dan terdaftar di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb. pada
bulan Januari 2008 sampai Mei 2010.
Pengolahan Data dan Analisis Data
Setelah seluruh data terkumpul,
pengolahan data dengan cara: Editing,
Coding, Data Entry, Cleaning Data
selanjutnya
dilakukan
Analisis Data
Setelah dilakukan pengolahan data kemudian dilakukan
pengujian hipotesis untuk melihat adanya hubungan antara dua
variabel serta menganalisis hubungan data ordinal dengan ordinal
digunakan uji Lambda dengan tingkat kesalahan α = 5%. Proses
Pengambilan Keputusan: Hipotesis pada penelitian ini jika nilai p
≤ 0,05 maka H0 ditolak, artinya ada hubungan antara anemia ibu
hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah
(Soesanto, 2010).
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan disajikan hasil penelitian tenteng
“Hubungan Anemia Ibu Hamil Trimester III dengan Kejadian Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) di BPS Sri Susiyati, Amd. Keb.,
Banyuwangi” yang dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2010. Data
yang digunakan adalah data sekunder dari rekam medik.
Berdasarkan metode pengambilan sampel yaitu sistem random
sampling didapatkan Ibu hamil trimester III sebanyak 184 orang
sesuai dengan kriteria inklusi.
Penyajian data terdiri dari jumlah anemia Ibu hamil
trimester III di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb., serta kejadian berat
badan lahir rendah dari ibu anemi pada trimester III di BPS Sri
Susiyani, Amd. Keb., bulan Januari 2008 sampai Mei 2010.
Setelah penelusuran data sekunder kemudian dilakukan coding,
cleaning data dan dilanjutkan tabulasi data untuk selanjutnya
dianalisis menggunakan uji Lambda.
Tabel 2 Distribusi silang hubungan anemia Ibu hamil trimester III
dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri
Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi bulan Januari 2008
sampai Mei 2010
Berat Badan Lahir
Tingkat
Anemi
BBLR
Total
BBLN
∑
%
∑
%
∑
%
Ringan
8
7,3
102
92,7
110
100
Sedang
20
29,0
49
71,0
69
100
Berat
4
80,0
1
20,0
5
100
Total
32
17,4
152
82,6
184
100
(Sumber data sekunder)
Berdasarkan tabel 5.3 di atas menujukkan bahwa anemia
Ibu hamil trimester III dengan tingkat anemia ringan sebanyak
110 orang (59,8%) dan sebagian besar melahirkan BBLN yaitu
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
3
Vol. 4 No 1 Juni 2012
102 bayi (92,7%), sedangkan Ibu dengan anemia sedang yaitu 69
orang (37,5%) sebagian besar melahirkan BBLN yaitu 49 bayi
(71,0%), dan pada Ibu dengan anemia berat yaitu 5 orang (2,7%)
sebagian besar melahirkan BBLR yaitu 4 bayi (80,0%).
Setelah dilakukan uji statistik korelasi Lambda secara
perhitungan SPSS dengan taraf signifikan 5% didapatkan
probability sebesar 0,08, sehingga ρ < α, maka H0 ditolak yang
artinya ada hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan
kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd.
Keb., Banyuwangi.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Ibu hamil trimester
III dengan anemia ringan 59,8% melahirkan bayi berat badan
lahir rendah sebanyak 7,3%, Ibu hamil trimester III dengan
anemia sedang 37,5% yang melahirkan bayi dengan berat badan
lahir rendah sebanyak 29,0%, dan Ibu hamil trimester III dengan
anemia berat 2,7% melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah sebanyak 80,0%.
Anemia pada Ibu hamil secara tidak langsung menumbang
angka kematian Ibu dan Bayi. Sedangkan BBLR memiliki
persentase menempati urutan kedua setelah asfiksia neonatorum
yaitu sebesar 25-30% (Manuaba, 1998). Menurut Soetjiningsih
(1998), bahwa Ibu dengan kondisi kesehatan yang baik, system
reproduksi yang normal tidak sering menderita sakit dan tidak
menderita gangguan gizi pada masa prahamil maupun saat hamil
akan menghasilkan bayi yang lebih besar dan sehat. Namun
apabila kondisi Ibu sebaliknya akan melahirkan bayi premature,
BBLR, vitalitas yang rendah dan kematian yang tinggi, lebih-lebih
bila Ibu menderita anemia.
Berdasarkan penelitian diatas, didapatkan sebagian besar
bayi dengan berat badan lahir rendah dilahirkan oleh Ibu dengan
anemia berat pada trimester III yaitu 80,0%. Kejadian berat badan
lehir rendah dapat ditanggulangi dengan cara yang lebih efisien
yaitu dengan pencegahan apabila diketahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan berat bayi lahir. Bayi dengan berat badan
lahir normal terbukti mempunyai kualitas fisik, intelegensi maupun
mental yang lebih baik disbanding bayi dengan berat lahir kurang,
sebaliknya bayi dengan berat badan lahir rendah (kurang dari
2500 gram) akan mengalami hambatan perkembangan dan
kemunduran pada fungsi intelektualnya.
Angka anemia Ibu hamil pada trimester III di BPS Sri
Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi masih cukup tinggi,
pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan pada seluruh ibu hamil
yang melakukan kunjungan dan pemberian tablet Fe diberikan
sesuai dengan program pemerintah. Penting untuk mengenali
faktor risiko sedini mungkin, dalam hal ini bidan memegang peran
penting untuk meningkatkan pelayanan yang menyeluruh dan
bermutu dengan bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki sehingga dapat menurunkan angka anemia Ibu hamil dan
kejadian berat badan lahir randah.
Berdasarkan uraian diatas dan hasil penelitian yang telah
diperoleh didapatkan hasil perhitungan uji satistik Lambda
menggunakan metode kompeterisasi SPSS, dengan derajat
kesalahan α = 0,05. Perhitungan SPSS menunjukkan p < α
(0,008 < 0,05), sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan anemia
Ibu hamil trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan disajikan simpulan dan saran dari
penelitian hubungan anemia Ibu hamil trimester III dengan
kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd.
Keb., Banyuwangi pada Januari 2008 sampai Mei 2010.
Kesimpulan
Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Anemia Ibu hamil trimester III di BPS Sri Susiyani, Amd. Keb.,
Banyuwangi diperoleh bahwa besar Ibu hamil trimester III
yang anemia ringan adalah sebesar 59,8%, anemia sedang
sebesar 37,5%, dan anemia berat sebesar 2,7%.
2. Kejadian berat badan lahir rendah di BPS Sri Susiyani, Amd.
Keb., Banyuwangi adalah sebesar 17,4% dan berat badan
lahir normal adalah sebesar 82,6%.
3. Dari analisis Lambda, didapatkan nilai p < α (0,008 < 0,05),
maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan anemia Ibu hamil
trimester III dengan kejadian berat badan lahir rendah di BPS
Sri Susiyani, Amd. Keb., Banyuwangi.
Saran
1. Bagi Peneliti
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat
dijadikan suatu gambaran bagi peneliti selanjutnya dan
dikembangkan lebih mendalam mengingat keterbatasan yang
dimiliki.
2. Bagi Ibu hamil/ Masyarakat
Diharapkan Ibu hamil lebih memperhatikan kesehatannya
terutama kadar hemoglobinnya yaitu dengan rutin minum
tablet Fe yang diberikan tenaga kesehatan, dan diminum
secara baik dan benar, serta memperhatikan asupan gizi
yang sesuai yaitu 4 sehat 5 sempurna, di mana kadar
hemoglobin Ibu hamil mempengaruhi berat badan bayi lahir.
3. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Informasi tentang hubungan anemia Ibu hamil dengan
kejadian berat badan lahir rendah diharapkan dapat dijadikan
acuan untuk lebih memperhatikan kadar hemoglobin Ibu
hamil agar Ibu hamil tidak terjadi anemi dan diharapkan bisa
menurunkan kejadian berat badan lahir rendah, sehingga
diharapkan tanaga kesehatan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amirudin, Ridwan. 2007. Anemia defisiensi zat besi pada ibu
hamil
di
indonesia
(evidence
based).
http://ridwanamiruddin.wordpress.com. kamis 29 April 2010
jam 09.00 WIB.
2. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta
3. Bahar, Asrul. 2001. Makanan dan Gizi. Surabaya: UNESA
University Press.
4. Dinkes Banyuwangi. 2009. Pelayanan Kesehatan.
http://dinkes.banyuwangikab.go.id. Rabu, 5 mei 2010, jam
20.30 WIB.
5. Hidayat, A. Aziz Alimun. 2007. Metode Penelitian Kebidanan
Teknik Analisis Data. Jakarta : Rineka Cipta.
6. Indah. 2009. Masalah Ibu Hamil. http://www.enformasi.
Minggu 28 Februari 2010 jam 10.00 WIB.
7. Khoirudin.
2010.
Pemeriksaan
Darah
Rutin.
http://keperawatankomunitas.blogspot.com. Kamis, , 29 April
2010 jam 10.30 WIB.
8. Kurniawan. 2010. Hemoglobin. http://idi.wikipedia.org.
Selasa, 21 maret 2010, jam 14.30 WIB.
9. Kusumawati. 2004. Pengaruh BBLR Terhadap Penurunan
Kecerdasan. http://free-pdfebooks.com. Rabu, 5 mei 2010,
jam 21.00 WIB.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
4
Vol. 4 No 1 Juni 2012
10. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit
Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikna
Bidan. Jakarta : EGC.
11. Muchtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi
dan Obstetri Patologi, Jilid I. Jakarta : EGC.
12. Notoatmodjo,
Soekidjo.2002.
Metodologi
Penelitian
Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
13. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
14. Novita. 2010. Kehamilan. http://idi.wikipedia.org. Rabu, 5 mei
2010, jam 20.00 WIB.
15. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
16. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
17. Purwatiningsih. 2009. Bahaya Anemia Pada Kehamilan.
http://www.grahapermataibu.com. Minggu, 28 Februari 2010
jam 10.30 WIB.
18. Saifudin, Abdul Bari, dkk. 2006. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bida Pustaka. Sarwono Prawihardjo.
19. Shinta. 2008. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
http://kuliahbidan.wordpress.com. Minggu, 28 Februari 2010
jam 11.00 WIB.
20. Tarwoto, Wasnidar. 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu
Hamil, Konsep dan Penatalaksanaannya. Jakarta: Trans Info
Media.
21. Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro Hardjo.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
5
Vol. 4 No 1 Juni 2012
HUBUNGAN KETERATURAN ANC DENGAN KEJADIAN PRE EKLAMPSIA PADA IBU NIFAS
Di Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya
(Sherly Jeniawati, Queen Khoirun Nisa Mairo, Ni’matul Ainiyah)
ABSTRAK
Preeklampsi merupakan penyakit yang melibatkan banyak sistem, ditandai hamokonsentrasi, hipertensi dan proteinurine.
Faktor predisposisi antara lain kurangnya kesadaran akan pentingnya keteraturan Antenatal Care (ANC). Masalah penelitian ini adalah
meningkatnya kejadian preeklampsia pada ibu nifas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Keteraturan ANC dengan Kejadian
Preeklampsi pada Ibu Nifas di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan
menggunakan metode Case Control. Dengan populasi dan sampel ibu nifas yang dirawat di Nifas IRD Lantai 2 RSUD DR Soetomo
Surabaya pada bulan Mei 2011 berjumlah 41 orang. Cara pengambilan sample menggunakan Simple Random Sampling. Instrumen
pengumpul data adalah kuesioner dan rekam medik, kemudian di analisis menggunakan tabel distribusi frekuensi dan tabel silang.
Variabel penelitian ini adalah keteraturan ANC dan kejadian pre eklampsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 responden yang
teratur ANC 5 ibu nifas mengalami pre eklampsi dan dari 17 responden yang tidak teratur ANC 10 ibu nifas mengalami pre eklampsi
dengan perhitungan statistik menunjukkan bahwa keteraturan ANC berhubungan dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas dengan uji
khi – kuadrat nilai kemaknaan α = 0,05 didapatkan bahwa χ2 hitung = 4,66 dan χ2 tabel = 3,84. Kesimpulan dari penelitian ini Keteraturan
ANC pada ibu nifas sebagian besar adalah teratur melakukan ANC, Kejadian preeklampsi pada ibu nifas sebagian besar adalah tidak
terjadi preeklampsi, Ada hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi pada ibu nifas. Saran dalam penelitian ini lebih
ditujukan kepada tenaga kesehatan, institusi pendidikan dan peneliti selanjutnya, sebagai upaya deteksi dini adanya komplikasi pada
kehamilan agar tidak berlanjut ke masa nifas serta menekan angka kejadian preeklampsi.
Kata Kunci : Keteraturan ANC, Preeklampsi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
6
Vol. 4 No 1 Juni 2012
PENDAHULUAN
Masa nifas adalah masa pulih kembali setelah
melahirkan mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat
kandungan kembali seperti pra hamil. Lamanya antara 3-6
minggu (Mochtar, 1998). Selama masa pemulihan tersebut
berlangsung ibu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun psikologis, namun jika tidak dilakukan pendampingan
melalui asuhan kebidanan maka tidak menutup kemungkinan
akan terjadi keadaan patologis (Sulistyawati,2009). Masa nifas
masa yang sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk
melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang
maksimal dapat menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah
bahkan dapat berlanjut pada komplikasi nifas (Sulistyowati,
2009).
Perhatian terhadap ibu dalam sebuah keluarga perlu
mendapat perhatian khusus karena Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia masih sangat tinggi bahkan tertinggi di antara negaranegara Association of South East Asian Nation (ASEAN). Untuk
mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDGs) pada
tahun 2015, antara lain mengenai Angka Kematian Ibu (AKI)
sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 KH, perlu upaya
percepatan yang lebih besar dan kerja keras karena kondisi saat
ini, AKI 307 per 100.000 KH dan AKB 34 per 1.000 KH.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Diperkirakan
60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan,
dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama.
Bidan dituntut untuk melakukan asuhan kabidanan yang dapat
mendeteksi dini komplikasi pada ibu nifas (Suherni dkk, 2009).
Eklampsi dan pre eklampsi merupakan penyebab
kematian ibu nomor satu. Untuk itu ibu harus waspada terhadap
munculnya gejala pre eklampsi pada masa nifas pada hari ke
satu sampai hari ke 28. Resiko ini ditandai dengan munculnya
tekanan darah tinggi, oedema dan pada pemeriksaan
laboratorium urine mengandung protein (Indiarti, 2009). Ibu dalam
48 jam sesudah persalinan yang mengeluh nyeri kepala hebat,
penglihatan kabur dan nyeri epigastrik perlu di curigai adanya pre
eklampsi berat atau eklampsi pasca persalinan (Sujiyatini, 2010).
Preeklampsi pada kehamilan dan persalinan sebagian besar
berlanjut pada masa nifas (Fraser, 2009). Pada ibu nifas kejang
dapat terjadi untuk pertama kalinya setelah melahirkan.oleh
karena itu pasien harus diobservasi dengan seksama (WHO,
2001).
Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2008
menyebut kan presentase cakupan pelayanan ANC di Propinsi
Jawa Timur mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir,
71,82% (2005), 81,79% (2006), 82,7% (2007), 84,32% (2008).
Namun cakupan tersebut belum memenuhi target SPM sebesar
90%.Antenatal care (ANC) merupakan suatu upaya pemeriksaan
terhadap wanita hamil guna menyiapkan menyiapkan sebaik –
baiknya fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak
dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga keadaan mereka
sehat dan normal tidak hanya fisik tetapi juga mental
(Wiknjosastro, H, 2002). ANC menjadi salah satu program
kebijakan Departemen Kesehatan yaitu dengan mengupayakan
pelayanan obstetrik sedekat mungkin kepada semua ibu hamil,
dengan program ANC ini diharapkan terjadi penurunan angka
kematian ibu (AKI) karena pada umumnya ukuran yang dipakai
untuk menilai baik buruknya keadaan pelayanan kebidanan
(Maternal Care ) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian
meternal (Maternal Mortality) atau AKI (Wiknjosastro, H, 2002).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan
tanda-tanda dini pre eklampsi,dan dalam hal itu harus dilakukan
penanganan semestinya. Walaupun timbulnya pre eklampsi tidak
dapat dicegah sepenuhnya,namun frekuensinya dapat dikurangi
dengan pemberian penerangan secukupnya dan pelaksanaan
pengawasan yang baik pada wanita hamil (Prawirohardjo,2010).
Frekuensi pre eklampsi untuk tiap negara berbeda-beda
karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah
primigravida, keadaan sosial-ekonomi, perbedaan kriterium dalam
penentuan diagnosis, dan lain-lain. Pre eklampsi diperkirakan
secara luas menyerang 3 – 5% kehamilan (Robert & Cooper,
2001) atau satu dari sepuluh kehamilan. Dalam kepustakaan
frekuensi dilaporkan berkisar antara 3-10% (Prawirohardjo,
2007). Di indonesia eklampsi di samping perdarahan dan infeksi
masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab
kematian perinatal yang tinggi (Winkjosastro, 2007). Tahun 2005
(AKM) di rumah sakit seluruh indonesia akibat eklampsia atau pre
eklampsia sebesar 44,91% (98,379 dari 170.725) (Rizal, 2005).
Di Indonesia, pre-eklamsia masih merupakan salah satu
penyebab utama kematian maternal dan kematian perinatal yang
tinggi. Zuspan (1978) dan Arulkumeran (1995) melaporkan angka
kejadian pre-eklamsia di dunia sebesar (0-13 %), di Singapura
(0,13-6,6 %) dan di Indonesia (3,4-8,5 %). Di Surabaya di
perkirakan jumlah kematian pada ibu akibat pre eklampsia 20 %
dan kematian perinatal akibat pre eklampsia berkisar 28 %
(Romjoni, 2009).
Berdasarkan data laporan tahunan di Instalasi Rawat Darurat
RSU Dr. Soetomo Surabayapada tahun 2009 jumlah persalinan
adalah 2310 persalinan. Dan jumlah kejadian pre eklampsi
sebanyak 323 orang (13,98%). Pada tahun 2010 jumlah
persalinan adalah 2084 persalinan. Dan jumlah kejadian pre
eklampsia sebanyak 306 orang (14,68%) dari jumlah persalinan.
Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari 10 responden
ibu nifas dengan pre eklampsi di Nifas Instalasi Rawat Darurat
RSUD Dr. Soetomo Surabaya terdapat 6 (60%) tidak teratur
melakukan pemeriksaan kehamilan dan 4 (40%) teratur
melakukan pemeriksaan kehamilan.
Berdasarkan uraian data tersebut, maka masalah penelitian
adalah meningkatnya kejadian pre eklampsia oleh karena tingkat
keteraturan dalam memeriksakan kehamilan. Maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan keteraturan
ANC dengan kejadian pre eklampsi pada ibu nifas.
METODE
Jenis penelitian ini termasuk survei analitik, yaitu suatu
penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan dan
situasi. Pada umumnya berusaha menjawab apa dan mengapa
(Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan keadaan subjek (Outcome)
dan waktunya penelitian ini mempunyai rancang bangun case
control yaitu suatu penelitian (Survey) analitik yang menyangkut
bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan “retrospektive”. Dengan kata lain, efek (penyakit atau
status kesehatan) di identifikasi pada saat ini, kemudian faktor
resiko diidentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu
(Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini adalah penelitian analitik
dengan menggunakan metode pendekatan case control.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
7
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya
manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
(Nursalam, 2008).
Populasi dalam penelitian ini adalah Semua ibu nifas yang di
rawat di Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya pada
bulan Mei 2011 sebanyak 90 responden.
Sampel adalah sebagian yang di ambil dari
keseluruhan subjek yang teliti yang di anggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmojo, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian ibu nifas yang di rawat di Nifas IRD RSUD Dr Soetomo
Surabaya pada bulan Mei 2011 sebanyak 41 responden. Teknik
sampling adalah suatu cara yang di tempuh dalam pengambilan
sampel (Nursalam dan Siti Pariani, 2000) .
Dalam penelitian ini pengambilan sampel di lakukan secara
acak sederhana (simple random sampling). Untuk mencapai
sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak melalui proses
pengundian.
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota –
anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh
kelompok lain (Notoatmodjo, 2005)
Variabel pada penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas (indipendent) :
Variabel bebas adalah stimulasi aktivasi yang dimanipulasi
oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada
variabel
tergantung
(Nursalam
dan
Siti
Pariani,2001).Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
keteraturan ANC
2. Variabel Tergantung (Dependent)
Variabel tergantung adalah respon atau output. Sebagai
variabel respon berarti variabel ini akan muncul sebagai
akibat dari manipulasi suatu variabel bebas (Nursalam dan
Siti Pariani, 2001). Variabel tergantung pada penelitian ini
adalah kejadian pre eklampsi pada ibu nifas
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar kegiatan
tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Arikunto,
2002).
Sumber data dalam penelitian ini adalah status ibu nifas atau
rekam medik untuk mendapatkan data pre eklampsi. Dan
instrumen penelitian ini adalah kuesioner untuk data tentang
keteraturan ANC. Kuesioner diartikan sebagai daftar pertanyaan
yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana
responden (dalam hal angket) dan interviewer (dalam hal
wawancara) tinggal memberikan jawaban atau dengan
memberikan tanda – tanda tertentu (Notoatmodjo, 2005).
A. Data Umum
1. Karakteristik Ibu Berdasarkan Usia Responden
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden Di Ruang Nifas
IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011
Usia Responden
< 20 tahun
20 - 35 tahun
>35 tahun
Jumlah
Sumber: Data Primer
2. Karakteristik Ibu Berdasarkan Paritas Responden
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Paritas Responden Di Ruang Nifas
IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011
No.
Paritas Responden
Frekuensi
Prosentase (%)
1.
Primipara
24
58,54
2.
Multipara
12
29,27
3.
Grandemulti
5
12,19
Jumlah
41
100,00
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden sebagian besar yaitu 24 responden (58,54 %) adalah
primipara. Pada ibu yang primipara atau belum pernah
melahirkan tidak memiliki pengalaman melahirkan sehingga ibu
lebih memilih melahirkan di rumah sakit atau fasilitas yang
lengkap karena jika terjadi komplikasi lebih cepat ditangani.
3. Karakteristik Ibu Berdasarkan Pendidikan Responden
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden Di Ruang
Nifas IRD Lantai2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei
2011
Pendidikan
No.
Frekuensi
Prosentase (%)
Responden
1.
Dasar
2
4,88
2.
Menengah
31
75,61
3.
Tinggi
8
19,51
Jumlah
41
100,00
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden hampir seluruhnya yaitu 31 responden (75,61 %)
berpendidikan terakhir menengah. Faktor pendidikan
berpengaruh terhadap pengetahuan serta informasi yang di dapat
ibu. Pada ibu yang berpendidikan menengah termasuk memiliki
pengetahuan yang baik tentang kesehatan sehingga ibu lebih
memilih untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik
dengan fasilitas yang lengkap yaitu dengan memeriksakan diri ke
rumah sakit.
4. Karakteristik Ibu Berdasarkan Pekerjaan Responden
HASIL
No.
1.
2.
3.
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden sebagian besar yaitu 21 responden (51,22 %) berusia
20-35 tahun. Usia 20 – 35 tahun merupakan usia reproduksi
sehat sehingga banyak orang memilih rentang usia tersebut
sebagai usia yang tepat untuk hamil dan melahirkan dimana usia
tersebut organ reproduksi wanita masih normal dan berfungsi
dengan baik.
Frekuensi
11
21
9
41
Prosentase (%)
26,83
51,22
21,95
100,00
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden Di Ruang
Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei
2011
Pekerjaan
No.
Frekuensi
Prosentase (%)
Responden
1.
Tidak Bekerja
15
36,59
2.
Bekerja
26
63,41
Jumlah
41
100,00
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden sebagian besar yaitu 26 responden (63,41 %) ibu
bekerja. Hal ini dikarenakan pada ibu yang berkerja terutama
yang yang memiliki jaminan kesehatan dapat memanfaatkan
fasilitas yang diberikan di pelayanan kesehatan seperti rumah
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
8
Vol. 4 No 1 Juni 2012
sakit sehingga ibu lebih memilih memeriksakan diri ke tempat
yang dapat menerima jaminan kesehatan.
B. Data Khusus
1.Data Keteraturan ANC
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Ibu Nifas berdasarkan keteraturan
ANC di Ruang Nifas IRD Lantai 2 RSUD Dr Soetomo
Surabaya Bulan Mei 2011
Keteraturan ANC
∑
(%)
Teratur
58,54
Tidak Teratur
24
41,46
17
Jumlah
41
100,00
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden sebagian besar 24 ibu nifas (58,54 %) adalah teratur
melakukan ANC.
2. Data Ibu Nifas Berdasarkan Kejadian Preeklamsi pada Ibu
Nifas
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Ibu Nifas berdasarkan kejadian
preeklampsi pada ibu nifas di Ruang Nifas IRD Lantai 2
RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011
Ibu nifas berdasarkan
∑
(%)
kejadian preeklampsi pada
ibu nifas
Preeklampsi
36,58
Tidak terjadi preeklampsi
15
63,42
26
Jumlah
41
100,00
Sumber : Data Sekunder
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden sebagian besar 26 ibu nifas (63,42 %) tidak
mengalami preeklampsi
3.Hubungan Antara Keteraturan
Preeklampsi Pada Ibu Nifas
ANC
dengan
Kejadian
Tabel 4.7 Tabel Silang Keteraturan ANC dengan Kejadian
Preeklampsi pada Ibu Nifas di Ruang Nifas IRD Lantai 2
RSUD Dr Soetomo Surabaya Bulan Mei 2011
Keteraturan
ANC
Teratur
Tidak teratur
Jumlah
Kejadian Preeklampsi
Preeklampsi
Tidak terjadi
Preeklampsi
∑
%
∑
%
5
12,20
19
46,34
10
24,39
7
17,07
15
36,59
26
63,41
Jumlah
∑
24
17
41
%
100,00
100,00
100,00
Dari tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa dari kelompok
responden teratur melakukan ANC hampir setengahnya 19 ibu
nifas (46,34%) tidak mengalami preeklampsi dan dari kelompok
responden tidak teratur melakukan ANC, sebagian kecil 10 ibu
nifas (24,39 %) mengalami preeklampsi.
Dari data yang sudah ditabulasi, kemudian dianalisis untuk
mengetahui hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian
preeklampsia pada ibu nifas dengan menggunakan uji chi-square.
Syarat terpenuhinya uji chi-square yaitu tidak boleh ada sebuah
sel pun yang mempunyai nilai (E) < 5. Dari hasil perhitungan tidak
terdapat sel yang mempunyai nilai (E) < 5 sehingga memenuhi
syarat uji chi-square.
Berdasarkan hasil perhitungan data dengan uji chi-square,
didapatkan bahwa χ2 hitung = 4,66 dengan α = 0,05, df=1 dan χ2
tabel = 3,84 sehingga χ2 hitung (4,66) > χ2 tabel (3,84), maka H1
diterima artinya ada hubungan antara keteraturan ANC dengan
kejadian preeklampsi pada ibu nifas.
PEMBAHASAN
1. Keteraturan ANC
Hasil penelitian pada tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa
dari 41 responden sebagian besar 24 ibu nifas (58,54 %) adalah
teratur melakukan ANC
Menurut Saifuddin (2002) Keteraturan ANC adalah
kedisiplinan / kepatuhan ibu hamil untuk melakukan pengawasan
sebelum anak lahir terutama ditujukan kepada anak. Kunjungan
antenatal untuk pemanfaatan dan pengawasan kesejahteraan ibu
dan anak minimal empat kali selama kehamilan dalam waktu
sebagai berikut : Satu kali kunjungan selama trimester satu (< 14
minggu), Satu kali kunjungan selam trimester kedua (antara
minggu 14 – 28 ), Dua kali kunjungan selama trimester ketiga
(antara minggu 28 – 36 dan sesudah minggu ke 36 ). Menurut
Saifuddin (2002) Tujuan dari ANC yaitu untuk Memantau
kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan
tumbuh kembang janin. Meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan fisik, maternal dan sosial ibu dan bayi. Mengenal
secara dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi selama
hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan. Mempersiapkan persalinan cukup bulan,
melahirkan dengan selamat ibu maupun bayinya dengan trauma
seminimal mungkin, serta menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu dan perinatal. Banyak faktor yang mempengaruhi
ibu dalam pemeriksaan kehamilan antara lain tingkat
pengetahuan ibu, lingkungan serta faktor pekerjaan ibu yang
berpengaruh terhadap keteraturan pemeriksaan kehamilan.
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian
besar ibu nifas memiliki riwayat teratur melakukan ANC yaitu
minimal empat kali melakukan kunjungan selama kehamilan. Hal
ini dikarenakan faktor pendidikan dan sosial ekonomi yaitu hampir
seluruhnya ibu nifas memiliki pendidikan menengah serta dari
sosial ekonomi, dilihat dari pekerjaan sebagian besar ibu bekerja.
Sehingga kesadaran akan pentingnya melakukan kunjungan
antenatal secara teratur guna mangetahui masalah – masalah
maupun kelainan – kelainan yang mungkin ada atau timbul
selama kehamilan segera dapat dicegah dan diatasi. Sedangkan
pada ibu yang tidak teratur melakukan kunjungan ANC hal ini
kemungkinan dikarenakan tingkat sosial ekonomi dan
pengetahuan ibu yang rendah.
2. Kejadian Preeklampsi pada Ibu Nifas
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa dari 41
responden sebagian besar 26 ibu nifas (63,42 %) tidak
mengalami preeklampsi
Menurut Prawirohardjo (2010) Pre eklampsia ialah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinurine
yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi
dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya,
misalnya pada mola hidatidosa.
Menurut Fraser (2009) Preeklampsi pada kehamilan dan
persalinan sebagian besar berlanjut pada masa nifas. Pada ibu
nifas kejang dapat terjadi untuk pertama kalinya setelah
melahirkan. Oleh karena itu pasien harus diobservasi dengan
seksama. Faktor – faktor predisposisi pre eklampsi pada ibu nifas
antara lain faktor internal seperti Usia, Paritas, Obesitas, Pre
eklampsia pada kehamilan sebelumnya, Riwayat hipertensi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
9
Vol. 4 No 1 Juni 2012
kronik, DM. Sedangkan faktor eksternal seperti Riwayat
eklampsia keluarga, Sosio Ekonomi dan Keteraturan ANC.
Usia yang beresiko terkena preeklampsi adalah usia <
18 tahun atau > 35 tahun (Bobak, 2004). Pada kehamilan < 18
tahun, keadaan alat reproduksi yang belum siap untuk menerima
kehamilan akan meningkatkan terjadinya keracunan kehamilan,
dalam bentuk preeklampsi dan eklampsi (Manuaba, 1998).
Sedangakn pada usia 35 tahun atau lebih, dimana pada usia
tersebut terjadi perubahan pada jaringan dan alat – alat
kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi. Selain itu ada
kecenderungan didapatkan penyakit lain dalam tubuh ibu, antara
lain salah satunya tekanan darah tinggi dan eklampsia (Rochjati,
P, 2003)
Faktor resiko lain yang berkaitan dengan preeklampsi
adalah paritas. Dimana pada primigravida frekuensinya lebih
tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
primigravida muda (Wiknjosastro, H, 2002). Wanita yang baru
menjadi ibu atau dengan pasangan baru mempunyai risiko 6
sampai 8 kali mudah terkena preeklampsi daripada multigravida
(Bobak, 2004).
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar
ibu nifas tidak mengalami preeklampsi. hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh faktor predisposisi preeklampsi seperti faktor
usia yaitu sebagian besar ibu memiliki usia reproduksi sehat dan
sebagian besar ibu memiliki kesadaran akan pentingnya
melakukan kunjungan antenatal secara teratur guna mengetahui
masalah – masalah maupun kelainan – kelainan yang mungkin
ada atau timbul selama hamil segera dapat dicegah dan diatasi
sehingga tidak berlanjut ke masa nifas. Sedangkan pada ibu yang
preeklampsi dapat dilihat sebagian besar ibu nifas adalah
primipara serta dapat disebabkan ibu nifas memiliki riwayat
preeklampsi pada kehamilan sebelumya, hamil dengan
hidramnion, selain itu juga adanya faktor, usia, pendidikan dan
pekerjaan yang menyertai ibu.
3. Hubungan antara Keteraturan ANC dengan Kejadian
Preeklampsia Pada Ibu Nifas
Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan keteraturan ANC dengan kejadian preeklampsi.
Dari tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa dari kelompok responden
teratur melakukan ANC hampir setengahnya 19 ibu nifas
(46,34%) tidak mengalami preeklampsi dan dari kelompok
responden tidak teratur melakukan ANC, sebagian kecil 10 ibu
nifas (24,39 %) mengalami preeklampsi.
Menurut Prawirohardjo (2010) pemeriksaan antenatal yang
teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre eklampsi,
dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya.
Walaupun timbulnya pre eklampsi tidak dapat
dicegah
sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan
pemberian penerangan
secukupnya dan pelaksanaan
pengawasan yang baik pada wanita hamil.
Teori ini di dukung oleh Fairlie, Sibay, 1993 dalam Bobak
(2004) yang mengatakan bahwa prognosis pre eklampsia
meningkat pada ibu yang hanya mendapat sedikit perawatan
antenatal atau ibu yang sama sekali tidak mendapat perawatan
prenatal.
Antenatal care merupakan upaya pemeriksaan
terhadap wanita hamil guna menyiapkan sebaik-baiknya fisik dan
mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas, sehingga post partum mereka sehat
dan normal. Tidak hanya fisik akan tetapi juga mental
(Wiknjosastro, H, 2002).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan ChiSquare didapatkan χ2 hitung = 4,66 dengan α = 0,05, df=1 dan χ2
tabel = 3,84 sehingga χ2 hitung (4,66) > χ2 tabel (3,84), maka H1
diterima artinya ada hubungan antara keteraturan ANC dengan
kejadian preeklampsi pada ibu nifas.
Penelitian ini sesuai dengan teori Menurut Prawirohardjo
(2010) yaitu pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat
menemukan tanda-tanda dini pre eklampsi, dan dalam hal itu
harus dilakukan penanganan semestinya. Walaupun ada 5 ibu
nifas dari 24 responden dari kelompok teratur melakukan ANC
dan terjadi preeklampsi hal ini dikarenakan banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian preeklampsi selain keteraturan ANC
yaitu usia, paritas serta riwayat preeklampsi.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis hasil penelitian, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Keteraturan ANC pada ibu nifas sebagian besar adalah teratur
melakukan ANC
2. Kejadian preeklampsi pada ibu nifas sebagian besar adalah
tidak terjadi preeklampsi
3. Ada hubungan antara keteraturan ANC dengan kejadian
preeklampsi pada ibu nifas
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
10
Angsar, D, 2004. Kuliah Dasar “Hipertensi dalam
Kehamilan” Edisi II. Surabaya : Airlangga pers.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Asrinah, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Persalinan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas
Normal. Jakarta : EGC.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. 2004. Buku Ajar Keperawatan
Maternitas. Jakarta: EGC.
Cuningham, F. Gary, 2005. Obstetri Wiliams. Jakarta : EGC.
Fraser, D. Margaret A. Cooper (Ed). 2009. Myles Buku Ajar
Bidan. Edisi 14. Cetakan 1. Jakarta : EGC.
Harker dan Moore, 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi
Edisi 2 Penerjemah Joko Suyono. Jakarta : Hipokrates.
Hidayat, Aziz. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan
Teknik Analisis Data. Jakarta: EGC.
Indiarti, M.T. 2009. Langsing & Sehat Pasca Melahirkan Ala
Selebritis. Yogyakarta: Genius Publisher.
Jordan, Sue, 2003. Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC
Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi,
Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan
& Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta:
EGC.
Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Penulisan Skripsi,
Thesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Penulisan Skripsi, Thesis dan
Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Nursalam dan Siti Pariani, 2001. Pendekatan Praktis
Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Vol. 4 No 1 Juni 2012
18. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. YBP-SP
19. Potter, P. A, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan.
Jakarta : EGC.
20. Rochjati, Poedji. 2003. Srining Anternatal Pada Ibu Hamil,
Pengendalian Faktor Risiko, Deteksi Dini Ibu Hamil Resiko
Tinggi. Surabaya : Airlangga University Press.
21. Saifuddin, A. B., 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Ksehatan Maternan dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Biro
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
22. Salmah, dkk. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta:
EGC
23. Sujiyatini, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan II (Persalinan).
Yogyakarta: Rohima Press.
24. Suherni, dkk. 2009. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta:
Fitramaya.
25. Sulistyawati, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada
Ibu Nifas. Yogyakarta : ANDI.
26. Varney, Helen, Jon M. Kriebs, Carolyn L. Gregor. 2006.
Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4 volume 1. Jakarta.
EGC
27. Wijayarini, M. A., 2001, Safe Motherhood Modul Eklampsia
Materi Pendidikan Kebidanan. Jakarta : EGC.
28. Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
11
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri
Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan
Personal Hygene Organ Reproduksi
((1)Ria Yukotan
Matun Nadhiroh,S.SiT., M.P.H
(1)Mahasiswa D.III Kebidanan Insan Se Agung Bangkalan
(2)Dosen D.III Kebidanan Insan Se Agung Bangkalan
(2)A’im
ABSTRAK
Personal hygene organ reproduksi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menjaga kebersihan organ reproduksi.
Tindakan tersebut akan bersifat langgeng jika didasari oleh pengetahuan yang baik dan sikap yang positif tentang kesehatan reproduksi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja
dengan personal hygene organ reproduksi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan desain cross sectional. Populasinya adalah remaja putri di
Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan sebanyak 125 0rang. Dengan tehnik sampling simple random sampling.
Besar sampel 95 responden. Varabel independennya adalah pengetahuan dan sikap. Variabel dependennya adalah personal hygene
organ reproduksi. Pengolahan datanya menggunakan distribusi frekuensi, tabulasi silang, uji statistiknya dengan rank spearmann dan chi
square.
Hasil penelitian dari 95 responden diperoleh sebanyak 75 remaja putri (78,95%) memiliki pengetahuan baik, sebanyak 67
remaja putri (70,53%) memiliki sikap negatif, sebanyak 77 remaja putri (80%) melakukan personal hygene organ reproduksi.
Berdasarkan uji statistik rank spearman menunjukkan bahwa p=0,002 < α=0,05 artinya ada hubungan pengetahuan dengan personal
hygene organ reproduksi. Dan berdasarkan uji chi square menunjukkan p=0,835 > α=0,05 artinya tidak ada hubungan sikap dengan
personal hygene organ reproduksi.
Maka dari itu bidan sebagai tenaga kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai pendidik dalam
memberikan pendidikan kesehatan tentang kesehatan reproduksi remaja khususnya di lingkup pondok pesantren.
Kata kunci : Pengetahuan, Sikap dan Personal hygene organ reproduksi
ABSTRAC
Personal hygene of reproduction organt is an action that which done to keep clean reproduction organt. This action could be
everlasting which based by a good knowledge and postive behaviour about reproduction health. The destination of this eksperiment is to
know the knowledge correlation and the girl youth behaviour about reproduction health with personal hygene.
In this experiment used analitic experiment kinds with cross sectional experiment design. The populations use the girls youth
in Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan for about 125 girl. The sample technique used simple random sampling.
The sampel are 95 respondent. Independent variable is knowledge and behaviour. The dependent variable is personal hygene of
reproduction organt. The data processing uses frequencies distribution, cross tabs, and statistic test is rank spearmann and chi square.
The experiment result from 95 respondent got from 75 (78,95) had good knowledge, 67 (70,53%) young girls had negative
behaviour in youth reproduction health. In 77 (80%) young girls did personal hygene of reproduction organt. Based statistic test rank
spearmann showed that p=0,002 < α=0,05 it means that there is correlations betwen knowledge and personal hygena of reproduction
organt. Based chi square test showed that p=0,835 > α=0,005) it means that there is not correlations betwen behaviour and personal
hygene.
So midwife as healhty labour hope can develope their role as teacher in giving healthy education and conselling about youth
reproduction health especially in pondok pesantren environment.
Keyword : knowledge, Attitude, Personal hygene
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
12
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Latar Belakang
Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan
dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri
seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi perubahan
perubahan psikologik serta kognitif. Untuk tercapainya tumbuh
kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya.
Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan
hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan
Biofisikopsikososial (Soetjiningsih, 2004).
Seiring dengan perubahan organ-organ reproduksi yang
semakin matang pada remaja, menyebabkan dorongan dan
gairah seksual remaja makin kuat dalam dirinya. Padahal dalam
kenyataanya remaja belum mampu mengolah informasi yang
diterima tersebut secara benar. Akibatnya perilaku seksual
remaja seringkali tidak terkontrol dengan baik (Dariyo, 2004). Hal
ini terbukti dengan survei kesehatan reproduksi remaja indonesia
(SKRI) tahun 2007 persentase perempuan dan lelaki yang
memiliki pengalaman seks untuk pertama kali pada usia <15
tahun sebanyak 1,0%, usia 16 tahun sebanyak 0,8%, usia 17
tahun sebanyak 1,2%, usia 18 tahun sebanyak 0,5%, usia 19
tahun sebanyak 0,1%. Serta alasan melakukan hubungan
seksual pertama kali sebelum menikah pada remaja usia 15-24
tahun ialah untuk perempuan alasan tertinggi adalah karena
terjadi begitu saja sebanyak 38,4%, dipaksa oleh pasangan
sebanyak 21,2%. Sedangkan pada lelaki, alasan tertinggi ialah
karena ingin tahu sebanyak 51,3%, terjadi begitu saja sebanyak
25,8%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku
seksual remaja yang seperti itu nantinya akan mengancam
kesehatan reproduksi remaja dan pada akhirnya akan memicu
timbulnya infeksi menular seksual yang merupakan salah satu
masalah kesehatan yang dialami oleh remaja dan memerlukan
perhatian khusus dari pemerintah atau badan kesehatan lainnya.
Saat ini infeksi menular seksual (IMS) yang paling banyak
ditemukan adalah syphilis dan gonorrhea. Prevalensi infeksi
menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota
Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak
37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%, Di kota Surabaya
prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan
gonorrhea 19,8%, Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea
29,8%, syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian
syphilis terus meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini
terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan pada
tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%,
sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 22,1%.
Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah remaja
usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular
dari ibunya (Lestari, 2008).
Selain klamidia, sifilismaupungonore, infeksi Human
Immunodefficiency
Virus
/ Acquired Immune Defficiency Syndrom (HIV/ AIDS) saat ini
menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadian yang terus
bertambah dari waktu ke waktu. Diperkirakan jumlah orang
dengan HIV di Indonesia pada akhir tahun 2003 mencapai
90.000-130.000 orang.
Sampai dengan desember 2008,
pengidap HIV positif yang terdeteksi sebanyak 6.015 kasus.
Sedangkan kumulatif kasus AIDS sebanyak 16.110 atau terdapat
tambahan 4.969 kasus baru selama tahun 2008.
Kematian karena AIDS hingga tahun 2008 sebanyak 3.362
kematian (Depkes, 2009). Salah satu dari upaya tersebut maka
peneliti akan bermaksud mengadakan penelitian mengenai
hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang kesehatan
reproduksi dengan personal hygene organ reproduksi di Pondok
Pesantren Putri Al-Hidayah dengan pertimbangan bahwa dalam
lingkup pondok pesantren tidak ada konsep pembelajaran
kesehatan reproduksi. Serta kurangnya akses untuk
mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar
menjawab pertanyaan what. Apabila pengetahuan mempunyai
sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk
mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat
disusun secara sistematis dan diakui secara umum, maka
terbentuklah disiplin ilmu (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan
merupakan segala apa tentang alam yang dapat dialami atau
dianjurkan sehingga orang yang berpengetahuan itu diartikan
sebagai orang yang banyak mengetahui atau menyaksikan,
mengalami dan banyak diajari (Makmun, 2000).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dari beberapa
pengertian pengetahuan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan merupakan hasil dari tahu manusia yang diperoleh
melalui pengamatan indra sehingga hasil dari tahu tersebut akan
digunakan untuk mengkaji objek tertentu dan nantinya akan
menjadi suatu disiplin ilmu.
Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pengetahuan dapat dibagi
menjadi 6, meliputi :
1. Tahu (Know)
2. Memahami (Comprehension)
3. Aplikasi (Application)
4. Analisa
5. Sintesis (Syntesis)
6. Evaluasi (Evaluation)
Menurut Anwar (2007) faktorfaktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang meliputi : Faktor Internal : Pendidkan,
Minat, Intelegensi. Faktor Eksternal : media masa, pengalaman,
sosial budaya, lingkungan, penyuluhan, informasi.
Menurut Arikunto ( 2005) kriteria pengetahuan yaitu
pengukuran pengetahuan yang dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi
yang ingin diukur dari subjek peneliti atau responden kedalam
pengetahuan yang ingin atau diukur dapat disesuaikan dengan
tingkatan tersebut diatas, sedangkan diketahui atau diukur dapat
disesuaikan dengan tingaktan tersebut diatas, sedangkan kualitas
pengetahuan pada masing-masing tingkat pengetahuan dapat
dilakukan dengan kriteria, yaitu :
1. Tingkat pengetahuan baik jika jawaban responden dari
kuesioner yang benar 76 – 100%
2. Tingkat pengetahuan cukup jika jawaban responden
dari kuesioner yang benar 56 – 75%
3. Tingkat pengetahuan kurang jika jawaban responden dari
kuesioner yang benar <56%
Konsep Dasar Sikap
Pengertian sikap menurut Azwar (2003) sebagai berikut:
sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipasif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi
sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap
stimuli sosial yang telah di kondisikan. Sikap seseorang terhadap
suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Sikap tidak lain
adalah efek atau penilaian positif atau negative terhadap suatu
objek. Menurut Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa sikap
merupakan kesiapan/kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian sikap di atas, dapat di
katakan sikap adalah penilaian tentang suatu objek sehingga
orang tersebut dapat memihak atau tidak memihak terhadap
suatu objek.
Azwar (2003) merumuskan komponen sikap terdiri dari
komponen kognitif (kepercayaan atau beliefs), komponen
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
13
Vol. 4 No 1 Juni 2012
emosional (perasaan atau efektif) dan komponen perilaku
(tindakan).
1. Komponen Kognitif
Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku
atau apa yang benar bagi objek sikap.
2. Komponen Afektif
Menyangkut masalah emosional subyektif seseorang
terhadap suatu objek sikap. Secara umum komponen ini di
samakan dengan perasaan yang di miliki terhadap sesuatu.
Namaun pengertian perasaan pribadi sering kali sangat
berbeda perwujudannya bila di kaitkan dengan sikap.
3. Komponen Perilaku
Dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau
kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang
berkaitan dengan objek sikap yang di hadapinya. Kaitan ini
mempengaruhi perilaku.
Dalam Notoatmodjo (2005) sikap teriri dari empat tingkatan, yaitu:
1. Menerima (receiving). Di artikan bahwa orang (subyek) mau
dan memperhatikan stimulus yang di berikan (objek).
2. Merespon (resporiding). Artinya memberikan jawaban apabila
di Tanya, mengerjakan tugas yang di berikan.
3. Menghargai (valuing). Di artikan mengajak orang lain
mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap
suatu masalah.
Bertanggung jawab (responsible). Artinya bertanggung jawab
atas segala yang telah di pilihnya dengan segala resiko
Konsep Dasar Remaja
Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak
menuju dewasa, dimana remaja adalah mereka yang mencakup
usia 10-19 tahun dan belum menikah. Masa remaja disebut pula
masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanakkanak dengan masa dewasa. Pada peride ini terjadi perubahan
besar dan essensial mengenai kematangan rohaniah dan
jasmaniah terutama fungsi seksualnya (Depkes RI, 2003).
Menurut Hurlock yang dikutip oleh dariyo (2004)
menyatakan bahwa Istilah adolescence atau remaja berasal dari
kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi
dewasa. Menurut Piaget, secara psikologis masa remaja adalah
masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa,
usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang
yang lebih tua melainkan berada di tingkatan yang sama.
Dari beberapa definisi remaja diatas maka remaja dapat
diartikan sebagai masa peralihan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Dalam masa peralihan ini terjadi
perubahan psikis dan fisik yang menyertai sehingga pada masa
ini sangat penting bagi remaja dalam kehidupannya.
Hurlock berpendapat bahwa remaja terbagi atas dua masa
yaitu remaja awal adalah individu yang berusia 13 atau 14-17
tahun dan remaja akhir adalah individu yang berusia 17-21 tahun
(Dariyo, 2004). Yusuf (2002) menyebutkan bahwa batasan
remaja dibagi menjadi tiga yaitu remaja awal, madya dan akhir.
Remaja awal adalah individu yang berusia 12-15 tahun. Remaja
madya adalah individu yang berusia 15-18 tahun. Remaja akhir
adalah individu yang berusia 19-22 dan sesudahnya.
Tahap Perkembangan Remaja
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan hormon pada remaja putri menyebabkan
mereka mulai mengalami menstruasi. Pertumbuhan
payudara dan munculnya tanda kelamin sekunder seringkali
menyebabkan kecanggungan bagi remaja karena ia harus
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi
pada dirinya (Sarwono, 2002).
2. Perkembangan Psikis
Perkembangan psikis pada masa remaja biasanya ditandai
dengan keadaan emosi yang tidak stabil dan tidak terkendali,
kecenderungan untuk menyendiri, kesadaran untuk merawat
diri sendiri dalam hal penampilan, meragukan konsep dan
keyakinan akan religiusnya, meningkatnya keingintahuan
tentang seks, dansebagainya (Dariyo, 2004).
Dariyo pada tahun 2004 menjelaskan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan remaja terdiri dari 3 faktor,
yaitu :
1. Faktor endogen
Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan
fisik maupun psikis dipengaruhi oleh fakto internal yang
bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya,
misalnya : postur tubuh, bakat-minat, kecerdasan,
kepribadian. Kondisi fisik atau psikis yang sehat, normal dan
baik menjadi predisposisi bagi perkembangan berikutnya.
2. Faktor Eksogen
Pandangan factor eksogen menyatakan bahwa
perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi
oleh factor yang berasal dari luar diri individu itu sendiri, yang
berupa lingkungan fisik maupun lingkungan social.
Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan fasilitas,
letak geografis, cuaca dan iklim. Sedangkan lingkungan
social adalah lingkungan dimana remaja mengadakan relasi/
interaksi dengan individu atau sekelompk individu lainnya.
3. Interaksi antara Indogen dan Eksogen
Kedua faktor ini saling berpengaruh sehingga terjadi
interaksi antara factor internal dan eksternal yang
membentuk kemudian mempengaruhi perkembangan
individu. Oleh karena itu dalam memandang dan
memprediksi perkembangan seseorang harus melibatkan
kedua factor tersbut secara utuh.
Menurut Sarwono (2000) faktor-faktor yang berperan
dalam permasalahan seksual pada remaja adalah :
1. Meningkatnya libido seksualitas
2. Penundaan usia perkawinan
3. Tabu dan larangan
4. Kurangnya informasi tentang seks
5. Pergaulan yang semakin bebas
Konsep Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan
dengan fungsi, peran dan sistem reproduksi (Rostina, 2008).
Menurut Kartono dalam Nastiti (2009) kesehatan reproduksi
remaja adalah keadaan sehat yang menyeluruh meliputi aspek
fisik, mental dan sosial serta tidak ada penyakit, gangguan yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses
reproduksi itu sendiri.
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat
yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang
dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata
berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga
sehat secara mental serta sosial kultural (Rostina, 2008).
Moeliono (2003) menjelaskan bahwa komponen kesehatan
reproduksi remaja terdiri dari :
1. Organ Reproduksi
Organ reproduksi adalah bagian tubuh yang berfungsi
untuk melanjutkan keturunan. Organ reproduksi pada wanita
meliputi indung telur (ovarium), umbai-umbai (fimbrae), saluran
telur (tuba falopi), rahim (uterus), leher rahim (serviks), liang
kemaluan (vagina), bibir kelamin (labia). Organ reproduksi
pada laki-laki meliputi batang zakar (penis), saluran kencing
(uretra), kantong pelir (skrotum), epididimis, saluran sperma
dan kelenjar prostat.
2. Menstruasi atau haid
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
14
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Menstruasi atau haid adalah proses keluarnya cairan
bercampur
darah dari vagina perempuan. Cairan ini
berasal dari dinding Rahim
perempuan yang luruh.
Menstruasi kadang-kadang disertai rasa sakit/
mules, bau
badan, emosi, dll. Pada waktu haid, pakailah pembalut, yang
harus sering diganti (sekitar 4 jam sekali) & cuci vagina
dengan
bersih.
3. Kehamilan pada remaja
Hubungan seks satu kali saja bisa mengakibatkan
kehamilan yang tak diharapkan dan atau penyakit. Kehamilan
bisa terjadi karena organ reproduksi sudah matang, tetapi
tidak berarti remaja siap secara fisik, mental dan sosial untuk
mengandung, melahirkan, dan mengasuh bayi. Karena akan
banyak persoalan muncul.
4. Onani atau mastrubasi
Onani adalah aktivitas menyentuh atau meraba bagian
tubuh dengan tujuan untuk merangsang secara seksual
dirinya sendiri. Aktivitas ini dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan. Menurut pertimbangan medis onani tidak
membahayakan kesehatan selama tidak merusak bagian
tubuh. Mitos yang mengatakan bahwa onani dapat
menyebabkan kabutaan, kerusakan syaraf dan kemandulan
adalah tidak benar. Secara psikologis onani banyak
menimbulkan dampak antara lain ketagihan, pikiran terus
mengarah pada masalah seks sehingga konsentrasi
menurun, dapat mengganggu aktivitas belajar, membuat
orang cepat lelah dan menurunkan produktivitas karena
onani menghabiskan energi.
5. Penyakit Menular Seksual
Hubungan seks satu kali saja juga bisa menularkan
penyakit bila dilakukan dengan orang yang sudah tertular
salah satu penyakit. Ada banyak sekali jenis penyakit
menular seksual dari yang paling ringan sampai yang paling
berbahaya sehingga perlu penanganan oleh dokter. Macammacam penyakit menular seksual antara lain adalah syphillis
(raja singa), gonorre, herpes genitalis, dan lain-lain. Akibat
penyakit menular seksual adalah infeksi saluran reproduksi,
kemandulan, keguguran kandungan, kanker mulut rahim, dan
cacat janin. Cara pencegahannya dengan tidak melakukan
hubungan seks pada usia remaja dan tidak bergantiganti
pasangan seks (Masri, 2009).
6. HIV/ AIDS
Salah satu virus yang bisa ditularkan melalui
hubungan
seksual
adalah
HIV/AIDS
(Human
Immunodefficiency Virus/ Acquired Immune Defficiency
Syndrome). HIV adalah virus yang merusak kekebalan tubuh.
AIDS kumpulan gejala penyakit karena infeksi yang
memperlemah sistem kekebalan tubuh. Karena system
kekebalan tubuh rusak maka tubuh tidak dapat menolak
berbagai penyakit yang datang dan akhirnya tubuh diserang
berbagai penyakit yang biasanya bisa dilawan tubuh (diare,
tbc, dll). HIV ditularkan hanya melalui cairan tubuh orang
yang sudah terinfeksi: cairan dari vagina/ sperma dan cairan
darah. Virus HIV hanya bisa diketahui melalui test darah .
Penularannya cukup lama yaitu 5 - 10 tahun. Selama itu
penderita tidak terlihat sakit, tapi setelah itu bisa sakit parah
dan meninggal.
Konsep Personal Hygene Organ Reproduksi
Wanita mempunyai organ reproduksi yang berfungsi sebagai
jalan masuk sperma ke dalam tubuh perempuan dan sebagai
pelindung organ kelamin dalam dari berbagai organisme
penyebab infeksi. Organisme penyebab infeksi dapat masuk ke
organ dalam perempuan karena saluran reproduksi perempuan
memiliki lubang yang berhubungan dengan dunia luar, sehingga
mikroorganismepenyebab penyakit bisa masuk dan menyebakan
infeksi. Anatomi organ reproduksi perempuan terdiri atas vulva,
vagina, serviks, rahim, saluran telur, dan indung telur
(Wiknjosastro, 2005).
Alat reproduksi merupakan salah satu organ tubuh yang
sensitif dan memerlukan perawatan khusus. Pengetahuan dan
perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam
memelihara kesehatan reproduksi. Adapun cara menjaga
kebersihan organ reproduksi menurut ari (2010) antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Setelah Buang Air Kecil Atau Buang Air Besar
Usahakan untuk selalu mencuci bagian luar alat
kelamin dengan air dan sabun. Dan siramlah dengan air
dengan arah depan ke belakang dan bukan sebaliknya.
Hal ini untuk mencegah masuknya kuman dari dubur ke
vagina.
Kebersihan Pakaian Dalam
Sepatutnya dalam sehari, minimal mengganti pakaian
dalam sebanyak dua kali untuk menjaga kebersihan. Selain
itu pilihlah bahan celana dalam yang dapat mudah menyerap
keringat, karena jika tidak jamur bisa menempel di alat
kelamin. Hindari untuk saling bertukar pakaian dalam dengan
orang lain bahkan itu keluarga sendiri, karena setiap orang
memiliki kondisi kelamin yang berbeda.
Menggunakan Toilet Umum
Siramlah sebelum menggunakan (flushing), Hal ini
untuk mencegah penularan jika ada pengguna lainnya adalah
penderita penyakit kelamin. Sebaiknya gunakan selalu air
yang keluar melalui keran atau tissu dan hindari penggunaan
dari bak atau ember, karena menurut penelitian air yang
tergenang di toilet umum mengandung 70% jamur candida
albicans (penyebab keputihan dan rasa gatal pada vagina).
Merawat Rambut yang Tumbuh di Sekitar Alat Kelamin
Hindari membersihkan bulu di daerah kemaluan
dengan cara mencabut karena akan ada lubang pada bekas
bulu kemaluan tersebut dan menjadi jalan masuk bakteri,
kuman, dan jamur. Selanjutnya dapat menimbulkan iritasi dan
penyakit kulit. Perawatan bulu itu disarankan untuk dirapikan
saja dengan memendekkan, dengan gunting atau dicukur
tetapi sebelumnya menggunakan busa sabun terlebih dahulu
dan menggunakan alat cukur khusus yang lembut, dan sudah
dibersihkan dengan sabun dan air hangat.
Menurut Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta pada
tahun 2010 yang menyatakan bahwa dengan mencukur bulu
pubis, kebersihan bulu pubis akan selalu terjaga, sehingga
tidak menjadi media kehidupan kutu dan jasad renik, serta
aroma yang tidak sedap. Rambut-rambut tersebut berfungsi
untuk kesehatan alat kelamin, yaitu berguna untuk
merangsang pertumbuhan bakteri baik yang melawan bakteri
jahat serta menghalangi masuknya benda asing kecil ke
dalam vagina, Sehingga perlu rajin menjaganya agar tidak
menjadi sarang kutu dan jamur.
Pemakaian Pantyliner
Pemakaian pantyliner tidak dianjurkan digunakan
setiap hari, sebaiknya Pantyliner hanya digunakan ketika
keputihan. Akan lebih baik jika membawa celana dalam
pengganti dari pada menggunakan pantyliner tiap hari.
Hindari Menggunakan Celana Dalam dan Celana Jeans
yang Sangat Ketat.
Memakai celana dalam dan celana jeans yang terlalu
ketat di wilayah selangkangan dapat menyebabkan kulit
susah untuk bernafas dan akhirnya dapat menyebabkan
daerah tersebut berkeringat, lembab, mudah terkena jamur
dan teriritasi.
Hindari Untuk Menyemprot Minyak Wangi atau Parfum ke
dalam Vagina
Hal ini jangan di lakukan karena untuk menstabilkan
tingkat keasaman vagina, di mana vagina itu sendiri
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
15
Vol. 4 No 1 Juni 2012
8.
9.
terdapat lendir yang berfungsi untuk menghadang bakteri
yang masuk ke vagina.
Setia Pada Pasangan Sendiri
Hal ini juga merupakan salah satu tips menjaga dan
merawat alat kelamin, karena dengan sering melakukan
hubungan seks bebeda-beda pasangan maka kemungkinan
akan berisiko terkena penyakit kelamin.
Mengganti Pembalut
Bagi para wanita yang sedang menstruasi/haid untuk
tidak malas mengganti pembalut karena ketika menstruasi
kuman-kuman mudah untuk masuk dan pembalut yang
telah ada gumpalan darah merupakan tempat
berkembangnya jamur dan bakteri. Usahakan untuk
mengganti setiap 4 jam sekali, 2-3 kali sehari atau sudah
merasa tidak nyaman. Jangan lupa bersihkan vagina
sebelumnya ketika mengganti pembalut.
10. Pemeriksaan Rutin
Usahakan untuk selalu melakukan pemeriksaan rutin
pada alat kelamin. Jika terdapat sesuatu yang tidak seperti
biasanya dan tidak terasa nyaman seperti munculnya
benjolan kecil di sekitar alat kelamin, segera konsultasikan
ke dokter juga. dan Jika ada perubahan warna, kadang
disertai bau yang kurang sedap dan gatal-gatal pada alat
kelamin, segeralah berkonsultasi ke dokter.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Personal Hygiene Organ
Reproduksi Menurut Notoatmodjo (2007) dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu:
1. Faktor internal
Yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang
bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat pendidikan,
tingkat emosional, konsep diri, jenis kelamin dan
sebagainya.
2. Faktor eksternal
Yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku
seseorang dalam menjaga kesehatan organ reproduksi,
karena seseorang akan cenderung menyesuaikan dan
mengikuti perilaku hygiene organ reproduksi sesuai dengan
kebiasaan yang ada di lingkungannya.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers
tahun 1974 yang dikutip oleh Suryani (2008) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku
baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni:
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut
menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek)
terlebih dahulu.
2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya
stimulut tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku.
5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap
stimulus.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian
analitik. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah
cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada
waktu pengukuran atau observasi data variabel independent dan
variabel dependent hanya satu kali pada satu saat. Populasi
penelitian ini adalah semua remaja putri yang berada di Pondok
Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan sebanyak 95
orang.
Dalam penelitian ini tidak menggunakan tehnik sampling karena
besar sampel adalah total populasi. Sampel diambil dari total
populasi sebanyak 95 remaja putri di Pondok pesantren putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan.
Kriteria Inklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Remaja putri
2. Berada di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan
Bangkalan
3. Bersedia menjadi responden
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Putri
Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan pada bulan Mei sampai Juni
2011. Hasil penelitian ini merupakan gambaran karakteristik
responden dari variabel yang diteliti meliputi pengetahuan dan
sikap remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja serta
personal hygene organ reproduksi.
Data Umum
a. Umur Remaja Putri
Tabel 1 Distribusi frekuensi usia remaja putri di
Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni
2011
Usia
14-15 Tahun
16-17 Tahun
18-19 Tahun
Total
Frekuensi
29
54
12
95
Persentase (%)
30,53
56,84
12,63
100
Dari tabel
1 tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar remaja putri di Pondok pesantren putri
Al-Hidayah berusia 16-17 tahun sebanyak 54 orang atau
56,84%.
b. Pendidikan Terakhir Orang Tua
Tabel 2 Distribusi frekuensi pendidikan terakhir
orang tua
remaja putri di Pondok
Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan
Bangkalan Pada Bulan Juni 2011
No
1.
2.
3.
4.
5.
Tingkat
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi
Total
Ayah
0
59
22
9
5
95
Frekuensi
(%)
Ibu
0
4
62,11 67
23,16 20
9,47
2
5,26
2
100
95
(%)
4,21
70,53
21,05
2,11
2,11
100
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar
pendidikan orang tua adalah Sekolah Dasar (SD)
sebanyak 59 ayah atau 62,11% dan sebanyak 67 ibu
(70,53).
c. Data Asal Tempat Tinggal
Tabel 3 Distribusi frekuensi asal tempat tinggal
remaja putri Di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan pada
bulan Juni 2011
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
16
No
Asal Tempat
Frekuensi
Persentase
Vol. 4 No 1 Juni 2012
1.
2.
Tinggal
Bangkalan
Luar
Kota
Bangkalan
Total
4
91
(%)
4,22
95,78
95
100
Dari tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar
remaja putri di Pondok pesantren putri Al-hidayah
jangkebuan Bangkalan berasal dari luar kota Bangkalan
yaitu 95,78% atau sebanyak 91 orang.
2. Data Khusus
a. Pengetahuan
Tabel 5 Distribusi frekuensi pengetahuan responden
tentang kesehatan reproduksi remaja putri
di Pondok pesantren Putri Al-Hidayah
Jangkebuan-Bangkalan pada bulan Juni
2011
N
o
Tingkat
Pengetahuan
Pengetahua
n
Baik
Frekuen
si
Persentase
(%)
Cukup
Kurang
1
Baik
75
78,95
2
Cukup
17
17,89
3
Kurang
3
3,16
95
100
Total
d. Tabulasi silang pengetahuan dengan personal hygene
organ reproduksi
Tabel 8 Tabulasi silang pengetahuan remaja putri
dengan personal hygene organ reproduksi
di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan reproduksi pada
bulan Juni 2011
1.
2.
Personal hygene
organ reproduksi
Melakukan
Tidak melakukan
Jumlah
f
%
3
14,8
6
22,2
2
100
7
4
1
8
3
1
8
18,9
5
9
5
10
0
10
0
10
0
10
0
1
1
4
0
81.0
5
Persentase (%)
29,47
70,53
100
Dari tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar
remaja putri di pondok Pesantren Putri Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan memiliki sikap negatif 71,58%
atau sebanyak 68 orang.
c. Personal hygene organ reproduksi
Tabel 7 Distribusi frekuensi personal hygene organ
reproduksi remaja putri di Pondok
Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan
Bangkalan pada bulan Juni 2011
No
7
7
85,1
4
77,7
8
Total
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 74
remaja putri yang memiliki pengetahuan baik tentang
kesehatan reproduksi remaja, yang melakukan personal
hygene organ reproduksi sebanyak 63 orang (85,14%).
Dan sisanya sebanyak 11 remaja putri atau 14,86% tidak
melakukan personal hygene organ reproduksi. Dari 18
remaja putri yang memiliki pengetahuan baik dan
melakukan personal hygene organ reproduksi sebanyak
14 orang (77,78%). Dan sebanyak 4 orang (22,22%)
tidak melakukan personal hygene organ reproduksi. Dari
3 remaja putri yang memiliki pengetahuan kurang tidak
ada yang melakukan personal hygene organ reproduksi.
b. Sikap
Tabel 6 Distribusi frekunsi sikap remaja putri
tentang kesehatan reproduksi
remaja di Pondok Pesantren
Putri Al-Hidayah JangkebuanBangkalan pada bulan Juni 2011
Frekuensi
27
67
95
6
3
1
4
0
Jumlah
Berdasarkan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar remaja putri di Pondok Pesantren Putri
Al-Hidayah memiliki pengetahuan yang baik tentang
kesehatan reproduksi remaja yaitu sebanyak 75 orang
atau 78,95%.
No Sikap
1. Positif
2. Negatif
Jumlah
Personal
hygene
organ reproduksi
Melakuka Tidak
n
Melakuka
n
f
%
f
%
Frekuensi
77
18
95
e. Tabulasi silang sikap dengan personal hygene organ
reproduksi
Tabel 4.9 Tabulasi silang sikap dengan personal
hygene organ reproduksi remaja
putri di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan
pada bulan Juni 2011
Persentase
(%)
80
20
100
Berdasarkan tabel 7 dapat disimpulkan
bahwa 80% atau sebanyak 76 remaja putri di Pondok
Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan
melakukan personal hygene organ reproduksi.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
17
Sikap
Positif
Negatif
Jumlah
Personal hygene organ
reproduksi
Melakukan
Tidak
Melakukan
f
%
f
%
23
54
77
82,14
80,60
81,05
5
13
18
17,86
19,40
18,95
Total
f
%
28
67
95
100
100
100
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa dari 28
remaja putri yang memiliki sikap positif tentang kesehatan
Vol. 4 No 1 Juni 2012
reproduksi remaja dan melakukan personal hygene organ
reproduksi sebanyak 23 orang (82,14%). Sisanya
sebanyak 5 orang remaja(17,86%) tidak melakukan
personal hygene organ reproduksi. Dari 67 remaja putri
yang memiliki sikap negatif, dan yang melakukan personal
hygene organ reproduksi sebanyak 54 orang (80,60%).
Sisanya sebanyak 13 orang (19,40%) tidak melakukan
personal hygene organ reproduksi.
f.
Hubungan pengetahuan dengan personal hygene
organ reproduksi di Pondok pesantren putri Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan pada bulan Juni 2011
Tabel 4.10 Hubungan pengetahuan dengan personal
hygene organ reproduksi di
Pondok pesantren putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan
pada bulan Juni 2011
Pengetahuan p.hygene
pengetahuan Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
p.hygene
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
.318**
.
.002
95
95
.318**
1.000
.002
.
95
95
Dari tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai probability
lebih kecil dari tingkat signifikan (0,002 < 0,005) berarti ada
hubungan pengetahuan dengan personal hygene organ
reproduksi.
g. Hubungan sikap dengan personal hygene organ reproduksi di
Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan
Tabel 5.1 Hubungan sikap dengan personal hygene
organ reproduksi di Pondok
pesantren
putri
Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan
Value df
Pearson ChiSquare
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
Fisher's Exact
Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid
Casesb
Asymp.
Sig. (2sided)
.238a 1
.626
.044 1
.835
.243 1
.622
Exact Sig. Exact Sig.
(2-sided) (1-sided)
.782
.235 1
.425
.627
95
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa nilai probability lebih
besar dari nilai signifikan (0,835 > 0,005) berarti tidak ada
hubungan antara sikap remaja putri dengan personal hygene
organ reproduksi.
Pembahasan
Setelah diperoleh hasil pengumpulan data dan tabulasi
silang serta uji statistik maka dapat diketahui hubungan
pengetahuan dan
sikap remaja putri tentang kesehatan
reproduksi remaja dengan personal hygene organ reproduksi di
Pondok Pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan.
Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :
Pengetahuan Remaja putri
Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan hasil bahwa
sebagian besar remaja putri di Podok pesantren putri Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan memiliki pengetahuan yang baik tentang
kesehatan reproduksi remaja dengan jumlah 75 orang atau
78,95%.
Pengetahuan remaja yang baik bisa disebabkan
karena pendidikan. Menurut Anwar (2007) menyatakan bahwa
pendidikan adalah salas satu usaha sadar dan terencana untuk
mengembangkan potensi manusia agar menjadi manusia yang
memiliki kecerdasan, kekuatan spiritual serta keterampilan. Selain
itu, tingkat pengetahuan juga bisa dipengaruhi oleh adanya
informasi, karena tingkat pengetahuan itu sendiri mampu
dikembangkan manusia disebabkan karena dua hal, yakni :
pertama kemampuan berfikir manusia menurut suatu alur
kerangka berfikir tertentu atau disebut juga dengan penalaran,
sebab kedua manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar
belakangi informasi tersebut, karena dengan memperoleh
informasi akan menguatkan keyakinan seseorang untuk
mencapai tujuan (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian serta teori yang sudah
dikemukakan, maka pendidikan yang dimiliki oleh remaja
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan, dalam hal ini remaja
memiliki pendidikan sesuai dengan usianya (14-19 tahun).
Sehingga remaja putri di Pondok pesantren putri Al-hidayah
memilki pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi
remaja. Selain itu informasi juga mempengaruhi pengetahuan
remaja dalam pemahaman kesehatan reproduksi. Dengan
adanya informasi ini diharapkan dapat menunjang pengetahuan
yang dimilikinya selain dari pendidikan yang dikenyam oleh
remaja. Informasi yang didapat oleh remaja bersumber dari
adanya fasilitas kesehatan dan PIKER yang ada di lingkup
pondok pesantren. Mengingat bahwa masa remaja adalah masa
dimana setiap remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar,
rasa keingintahuan yang besar mengakibatkan remaja akan
mencari informasi baik melalui pendidikan yang dijalani, media
massa ataupun pengalaman yang didapatnya dari orang lain
tentang kesehatan reproduksi remaja.
Dengan pengetahuan remaja yang baik tentang
kesehatan reproduksi remaja diharapkan setiap remaja tidak akan
salah pengertian tentang kesehatan reproduksi remaja. Sehingga
dengan pengetahuan yang baik senantiasa akan membawa
remaja untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menganggu
ataupun mengancam organ kesehatan reproduksinya. Remaja
putri dengan pengetahuan yang kurang tentang kesehatan
reproduksi mengakibatkan remaja putri tidak memiliki dasar yang
melandasi sikap dan tindakannya dalam melakukan personal
hygene organ reproduksi. Pengetahuan yang kurang tersebut
bisa bersumber dari orang tua yang memiliki informasi yang
sangat minimal akan kesehatan reproduksi sehingga bepengaruh
dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja.
Selain itu faktor budaya yang ada di lingkungan asal
tempat tinggal juga bepengaruh dalam tingkat pengetahuan
remaja putri tentang kesehatan reproduksi remaja. Masyarakat
desa yang cendrung mentabukan ha-hal yang berkaitan dengan
pendidikan kesehatan reproduksi,berusaha untuk menghindarkan
remaja putri dari konsep kesehatan reproduksi sebab masyarakat
desa menganggap bahwa pendidikan kesehatan reproduksi
hanya diperuntukkan bagi remaja putri yang sudah menikah, dan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
18
Vol. 4 No 1 Juni 2012
masyarkat desa juga beranggapan bahwa jika remaja putri
diberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja dikhawatirkan
remaja putri menyalahgunakan informasi yang telah didapatnya.
Sikap
Dari hasil pengumpulan data pada tabel 4.6 yang
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri di pondok
Pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan memiliki sikap
negatif tentang kesehatan reproduksi remaja yaitu 80,60% atau
sebanyak 67 orang.
Sikap negatif yang dimiliki remaja putri dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pengaruh
orang lain yang di anggap penting. Orang lain di sekitar kita
merupakan salah satu di antara komponen sosial yang ikut
mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang di anggap penting,
seseorang yang di harapkan persetujuannya bagi setiap gerak
tingkah dan pendapat, sesorang yang tidak ingin di kecewakan
atau seseorang yang berarti khusus (significant others), akan
banyak mempengaruhi pembentukan sikap terhadap sesuatu
(Azwar, 2003).
Selain itu Azwar (2003) juga menyatakan bahwa faktor
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Karena
kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya
dan hanya kepribadian individu yang mapan dan kuatlah yang
dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan
sikap individual.
Dalam hal ini sesuai dengan tabel 4.2 yang
menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua adalah
Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 59 ayah atau 62,11% dan
sebanyak 67 ibu (70,53%). Tingkat pendidikan orang tua akan
berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimilikinya, hal ini akan
berdampak bagi orang tua dalam memberikan pendidikan
kesehatan reproduksi remaja. Apabila orang tua memberikan
informasi yang benar, maka remaja tentu akan memilki penilaian
yang positif seputar kesehatan reproduksi remaja, Namun
sebaliknya jika orang tua memberikan informasi yang tidak benar
seputar kesehatan reproduksi remaja maka tidak menutup
kemungkinan remaja akan memiliki penilaian negatif terhadap
kesehatan reproduksi remaja.
Selain itu faktor kebudayaan yang juga
mempengaruhi sikap remaja mengakibatkan remaja memiliki
penilaian negatif. Hal ini terjadi akibat sebagian besar remaja putri
di pondok Pesantren putri A-Hidayah berasal dari daerah
pedesaan yang berada dalam lingkup Kabupaten Bangkalan.
Masyarakat desa memiliki pengetahuan yang kurang tentang
kesehatan reproduksi remaja akibat kurangnya informasi tentang
kesehatan reproduksi remaja sehingga menghambat
perkembangan sikap terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
Selain itu masyarakat desa juga memiliki tradisi-tradisi yang dapat
menghambat pembentukan sikap remaja.
Namun hal ini tidak sama dengan sikap positif yang
dimiliki oleh beberapa remaja putri. Remaja putri dengan sikap
postif senantiasa mampu menerima, mengolah dan menganalisa
informasi tentang konsep kesehatan reproduksi remaja secara
benar yang diperolehnya dari orang tua, lingkungan, lingkup
pendidikan dan media massa. Maka dari itu diharapkan remaja
putri dengan sikap positif dapat memberikan informasi yang benar
di lingkup pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan
Bangkalan
Personal hygene organ reproduksi
Berdasarkan hasil pengumpulan data pada tabel 4.7
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri sebanyak di
Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah Jangkebuan-Bangkalan
melakukan personal hygene organ reproduksi yaitu sebanyak
80% atau 76 orang.
Perilaku kesehatan yang mencakup personal hygene
organ reproduksi tidak terlepas dari perilaku pemeliharaan
kesehatan (health maintenance) yang merupakan perilaku
seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak
sakit dan usaha penyembuhan ketika sakit (Notoatmodjo, 2007).
Maka dari itu setiap remaja melakukan personal hygene
organ reproduksi, hal ini bertujuan untuk memelihara organ
reproduksi agar terhindar dari berbagi macam penyakit kelamin.
Dalam memelihara organ reproduksi banyak sekali hal-hal yang
perlu diperhatikan dan diketahui oleh remaja terkait dengan hal
tersebut misalnya cara merawat organ reproduksi yang baik dan
benar. Perawatan terhadap organ reproduksi yang dilakukan
remaja dimulai dari saat menstruasi, perawatan sehari-hari,
pemeriksaan rutin ke tenaga kesehatan dan perilaku seksual
yang sehat serta pencegahan terhadap penyakit kelamin.
Hubungan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
remaja dengan personal hygene organ reproduksi
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak
66,32% atau sebanyak 63 remaja yang melakukan personal
hygene organ reproduksi adalah remaja yang memiliki
pengetahuan baik tentang kesehatan reproduksi remaja.
Berdasarkan uji statistic rank sperarmann antara pengetahuan
dengan personal hygene organ reproduksi remaja dengan hasil
nilai probability lebih kecil dari tingkat signifikan (0,002 < 0,05),
hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan
dengan personal hygene organ reproduksi.
Sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh
Notoatmodjo (2005) yaitu pengetahuan merupakan hasil dari tahu
manusia yang nantinya akan menjadi pedoman terbentuknya
perilaku manusia. Soekanto pada tahun 2004 menjelaskan
bahwa pengetahuan adalah kesan manusia sebagai hasil
pengguna panca inderanya, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (beliefe), takhayul (superstitions) dan peneranganpenerangan yang keliru (mis informations). Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang.
Dengan adanya pengetahuan yang baik akan
mendorong setiap remaja putri untuk melakukan tindakan sesuai
dengan apa yang sudah diketahuinya. Dalam hal ini sebagian
besar remaja putri di Pondok pesantren putri Al-hidayah
Jangkebuan Bangkalan memiliki pengetahuan yang baik tentang
kesehatan reproduksi remaja dan melakukan personal hygene
organ reproduksi. maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan dengan personal hygene organ reproduksi.
Hubungan sikap dengan personal hygene organ reproduksi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa
sebanyak 56,84% atau 54 remaja putri yang melakukan personal
hygene organ reproduksi adalah remaja yang memiliki sikap
negatif tentang kesehatan reproduksi remaja. Berdasarkan uji
satatistik koefisien kontingensi menunjukkan bahwa nilai
probability lebih besar dari tingkat signifikan (1,000 > 0,005),
artinya tidak ada hubungan antara sikap dengan personal hygene
organ reproduksi.
Tidak adanya hubungan antara sikap dengan personal
hygene tersebut terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap atau respon manusia terhadap objek tertentu.
Adapun hal-hal yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut
Azwar (2003) adalah pengaruh orang lain yang di anggap penting
orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang
yang di anggap penting, seseorang yang di harapkan
persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat,
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
19
Vol. 4 No 1 Juni 2012
sesorang yang tidak ingin di kecewakan atau seseorang yang
berarti khusus (significant others), akan banyak mempengaruhi
pembentukan sikap terhadap sesuatu.
Selain itu pengaruh kebudayaan juga berperan dalam
pembentukan sikap. Kebudayaan dimana kita hidup dan di
besarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
sikap kita. Karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok
masyarakat asuhannya dan hanya kepribadian individu yang
mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominansi
kebudayaan dalam pembentukan sikap individual (Azwar, 2003).
Personal hygene organ reproduksi yang termasuk
dalam konsep dasar perilaku manusia, terkait dengan faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku manusia dalam bidang
kesehatan yang dinyatakan oleh Suryani (2008) meliputi
pengetahuan, sikap, dinamika kelompok, tersedianya fasilitas
kesehatan, dan sikap serta perilaku petugas kesehatan.
Komponen-komponen yang mempengaruhi perilaku manusia itu
akan memberikan kontribusi dalam pembentukan perilaku
manusia dalam bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Roger dalam Dariyo (2004) yang mengatakan bahwa
perilaku yang didasari dengan pengetahuan yang baik, kesadaran
dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng.
Akan tetapi sebagian besar remaja putri yang berada
di Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan Bangkalan
memilki pengetahuan yang baik, memilki sikap negatif tentang
kesehatan reproduksi remaja namun melakukan personal hygene
organ reproduksi. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
Roger dalam Dariyo (2004) maka dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa personal hygene yang dilakukan oleh
remaja putri tidak akan bersifat langgeng sebab mereka hanya
memiliki pengetahuan yang baik tanpa dilandasi dengan sikap
positif tentang kesehatan reproduksi remaja.
Sebenarnya setiap perilaku manusia hendaknya
dilandasi dengan pengetahuan yang baik serta sikap yang positif.
Akan tetapi setiap manusia memilki karakter yang berbeda-beda
terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan,
sikap dan personal hygene organ reproduksi. Misalnya tingkat
pendidikan, tingkat emosional, jenis kelamin, media massa,
lingkungan, sosial budaya dan konsep diri setiap manusia.
Oleh karena itu diharapkan setiap remaja mampu
memberikan penilaian positif terhadap kesehatan reproduksi
remaja walaupun mereka telah memiliki pengetahuan yang baik
dan melakukan personal hygene dengan baik pula, hal ini
bertujuan untuk menyempurnakan perilaku kesehatan remaja
putri di lingkup Pondok pesantren putri Al-Hidayah Jangkebuan
Bangkalan. Sehingga diharapkan remaja akan bersikap positf
tentang apa yang telah diketahuinya dan pada akhirnya remaja
akan mampu menjaga kesehatan pada organ reproduksinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis
hubungan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang
kesehatan reproduksi remaja dengan personal hygene
organ reproduksi dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut:
2. Pengetahuan remaja putri di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan mayoritas memiliki
pengetahuan baik sebanyak 75 orang (78,95%).
3. Sikap remaja putri di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayah
Jangkebuan Bangkalan mayoritas memiliki sikap negatif
sebanyak 67 orang (70,53%).
4. Sebagian besar remaja putri di Pondok Pesantren Putri AlHidayah Jangkebuan Bangkalan melakukan personal
hygene organ reproduksi sebanyak 77 orang (80%).
5.
6.
Terdapat hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi remaja dengan personal hygene organ
reproduksi sesuai uji statistik rank spearman dengan nilai
probability lebih kecil dari nilai signifikan (0,002 < 0,005).
Tidak ada hubungan antara sikap tentang kesehatan
reproduksi remaja dengan personal hygene organ
reproduksi sesuai uji statistic koefisien kontingensi dengan
nilai probability lebih besar dari nilai signifikan (1,000 >
0,005).
Saran
1. Bagi Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan diharapkan dapat
meningkatkan perannya sebagai tenaga pendidik dalam
memberikan pendidikan kesehatan dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi remaja khususnya di lingkup podok
pesantren melalui penyuluhan.
2. Remaja
Diharapkan remaja mampu menyikapi dengan baik tentang
kesehatan reproduksi remaja sesuai dengan pengetahuan
yang dimilikinya.
3. Institusi Pondok Pesantren
Diharapkan institusi pondok pesantren dapat memasukkan
materi pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum
pendidikan agar remaja putri tidak menyikapi negatif
mengenai kesehatan reproduksi remaja.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
20
Soetjiningsih, 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Perma
salahannya,
Jakarta:Sagung seto.
Dariyo, A, 2004. Psikologi Perkembaangan Remaja,
Bogor:Ghalia
Indonesia
Notoadmodjo, S, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan,
Jakarta : Rineka
Cipta.
Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, Jakarta : PT
Rineka Cipta
http://arispurnomo.com/ diakses tanggal 20 maret 2011
Bahiyatun, 2010. Psikologi Ibu Dan Anak, Jakarta : EGC
Dinda, 2010,Kesehatan Remaja Indonesia.http//www.elsam.
or.id.html
diakses tanggal 11 februari 2011
Hidayat, 2009. Mata Kuliah
KDMhttp://hidayat2.wordpress.com/2009/03/20/23/
Diakses tanggal 2 Mei 2011
Machfoedz,I. 2008. Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Pro
mosi Kesehatan
Edisi ke-2. Yogyakarta : Fitramaya.
Hal:38-40
Manuaba, I.G.B, 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi
Remaja, Jakarta:Arcan
Merenstein, G, dkk ,2002. Pegangan Pediatrik Edisi 17,
Jakarta : Widya Medika
Notoatmojo, S, 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan,
Jakarta : PT Asdi
Mahasatya
Rini, 2010.Departemen Kesehatan RI. Laporan triwulan
kasus AIDS
sampai dengan 31 Maret 2009,
Direktorat
jenderal
P2PL
Depkes
RI, Jakarta: Indonesia, dilihat 11Februari 201
1,
<http://www.nsa.net.au>
Rini, 2010.Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan
dasar (RISKESDAS) 2007,
laporan nasional 2007,
badan
penelitian
dan
pengembangan
kesehatan,
Jakarta: Indonesia, dilihat 11
Februari 2011,<http://www.nsa.net.au>
Vol. 4 No 1 Juni 2012
15. Rini, 2010.World Health Organization (WHO). Adolescent
friendly health
service, an agenda for change,
Geneva: Switzerland. 2002, dilihat 11
februari
2011,http://www.nsa.net.au.
16. Rizza, N, 2010. Hubungan Penggunaan Media Massa
Dengan Tingkat
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
Remaja Di SMAN 8 Surakarta, DIV
Kebidanan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
17. Soesanto, W. 2010. Biostatistik Penelitian Kesehatan,
Surabaya: Dua tujuh
18. Sugono, D. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Pusat Bahasa
19. Suryani, E, 2008. Psikologi Ibu Dan Anak, Yogyakarta :
Fitramaya
20. Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010. Kesehatan
Remaja Problem Dan
Solusinya, Jakarta: Salemba
Medika.
21. Vivin, 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Remaja
Tentang Menstruasi
Dengan Perawatan Vagina
Selama
Menstruasi
Di
SMPN
1
Arosbaya
Kabupaten Bangkalan, Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Insan
Unggul, Surabaya.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
21
Vol. 4 No 1 Juni 2012
HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPIUTIK DAN PERAN KELUARGA DENGAN RESPON HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH
DI RUANG CEMPAKA
(RAWAT INAP ANAK) RSUD SAMPANG
CORRELATION BETWEEN THERAPEUTIC COMMUNICATION AND FAMILY ROLE AND PRE-SCHOOL CHILD RESPOND TO
HOSPITALIZATION AT CEMPAKA ROOM
(HOSPITAL ROOM FOR CHILDREN) RSUD SAMPANG
(1)Liana
Velayati Ash-Shiddiqi, (2) Syiddatul B.,S.Kep.Ns
STIKES Insan Se Agung Bangkalan
(2)Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
(1)Mahasiswa
ABSTRAK
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang terencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan. Komunikasi terapiutik dan peran keluaga mempengaruhi persepsi anak terhadap hospitalisasi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di
ruang cempaka RSUD Sampang periode April-Mei 2011.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan metode cross sectional. Populasi penelitian ini adalah
keluarga dan anak usia prasekolah di ruang cempaka sebanyak 23 orang yang diambil secara systematic sampling. Teknik pengumpulan
data yaitu observasi dan kuesioner, analisis dengan tabel tabulasi silang dilanjutkan dengan uji statistik Lambda.
Berdasarkan hasil penelitian, anak menunjukkan respon positif ketika memperoleh komunikasi terapiutik baik. Uji Lambda
diperoleh hasil ρ:0,014<α:0,05 sehingga ada hubungan antara komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah.
Sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memperoleh peran keluarga baik menunjukkan respon positif. Berdasarkan uji
Lambda diperoleh hasil ρ:0,013<α:0,05 sehingga ada hubungan antara peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah.
Komunikasi terapiutik perlu diberikan dalam upaya mendukung respon positif hospitalisasi. Keluarga juga perlu memberikan peran
yang dibutuhkan anak supaya tercipta respon positif.
Kata kunci : Komunikasi Terapiutik – Peran Keluarga – Hospitalisasi
ABSTRACT
Hospitalization is a process, either planned or emergency, requiring a child to stay in hospital, having therapy and health care.
Nurse therapeutic communication and family that is done by nurse implicates child’s perception to hospitalization. This research aims to
know correlations therapeutic communication and family role and pre-school child respond to hospitalization at Cempaka room (hospital
room for children) RSUD Sampang period from April to May 2011.
Design that is used in this research is analytical research with cross sectional method. Population of this research was family and
pre-school children that were taken care in Cempaka room, 23 peoples taken by systematic sampling. Data collection techniques of
observation and questionnaires, the analysis by cross tabulation tables followed by Lambda statistics test.
Based on the result, children give positive respond when they are given good therapeutic communication. Lambda test result
ρ:0.014 <α:0.05, from this result it can be concluded that there is correlation between therapeutic communication and pre-school children
responds to hospitalization. Other result indicates that pre-school children gave more positive responds to better family role. Lambda test
results ρ:0.013 < α:0.05, from this result it can be concluded that there is correlation between family role and pre-school child respond to
hospitalization.
Therapeutic communication needs to be given in support of a positive response to hospitalization. Families also need to give the
role a child needs in order to create a positive response.
Key words: Therapeutic Communication – Family Roles – Hospitalization
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
22
Vol. 4 No 1 Juni 2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu
alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk
tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi
pada anak dapat menyebabkan kecemasan pada semua
tingkatan usia. Penyebab kecemasan dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor dari petugas; perawat, dokter dan tenaga
kesehatan lainnya; lingkungan baru maupun keluarga yang
mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas
dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan dan biaya
perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung
terhadap anak, secara psikologis anak akan merasakan
perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi selama
perawatan(1).
Kecemasan yang timbul dapat mempengaruhi kondisi
psikologis anak. Masa anak-anak merupakan masa pertumbuhan
dan perkembangan. Dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan diperlukan stimulasi supaya pertumbuhan dan
perkembangan dapat berjalan dengan baik. Anak yang
mengalami hospitalisasi juga perlu diberikan stimulasi
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan
dengan kuantitas fisik individu anak, sedangkan perkembangan
dihasilkan melalui proses pematangan dan proses belajar dari
lingkungannya. Apabila terjadi kecemasan hospitalisasi maka
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Rumah sakit sebagai tempat sementara anak selama
sakit, diharapkan memiliki ruangan bermain supaya anak merasa
betah di rumah sakit dan dapat menjalankan aktifitas bermainnya.
Warna cat di rumah sakit seharusnya dibuat menarik agar anak
betah selama proses perawatan. Masih ada beberapa rumah
sakit yang belum memiliki ruang bermain sehingga anak tidak
dapat beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit, bahkan dapat
menimbulkan penolakan terhadap tindakan keperawatan. Dalam
masa pertumbuhan, anak usia prasekolah sering mengalami sakit
dan mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit. Untuk tetap
mempertahankan pertumbuhan anak, seharusnya anak yang
dihospitalisasi memberikan respon yang baik selama berada di
rumah sakit. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak anak
usia prasekolah berespons negatif selama berada di rumah sakit.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. S. Bennett di
rumah sakit anak-anak Ontario Timur Canada pada 12 Januari
2005 terdapat 126 dari 165 anak yang menunjukkan respon stres
selama berada di rumah sakit. Data di RSUD Syarifah Ambami
Rato Ebu Bangkalan periode Januari-Desember 2010 terdapat
1248 pasien anak yang di rawat inap di Irna E dengan anak usia
prasekolah berjumlah 221 anak. Sedangkan jumlah anak usia
prasekolah yang di rawat inap pada bulan November 2010Januari 2011 yaitu 33 anak. Saat dilakukan pengkajian tanggal 22
Februari 2011, terdapat satu anak usia prasekolah dari 9 anak
yang di rawat inap. Respon yang timbul dari anak tersebut yaitu
tidak kooperatif dengan menolak dokter memeriksa tubuh anak.
Anak juga tidak kooperatif dengan menolak dan menghindar saat
dilakukan tindakan keperawatan walau sudah dilakukan
komunikasi terapiutik dan orang tua berada di samping anak.
Data lain didapatkan di ruang rawat inap anak RSUD kabupaten
Sampang periode Januari-Desember 2010, anak usia prasekolah
yang dirawat berjumlah 365 anak dengan rerata perbulan
berjumlah 30 anak.
Persepsi sakit dan hospitalisasi anak usia prasekolah
adalah merasa sebagai hukuman sehingga anak merasa malu,
bersalah atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul
karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam
integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi
agresif, dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan
mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan
perawat, dan ketergantungan pada orang tua atau pada keluarga.
Hospitalisasi menjadi hal yang tidak mudah bagi anak
karena mengalami perpisahan dengan lingkungan rumah yang
lebih menekankan bermain. Bermain merupakan hal yang sangat
penting dalam usia tumbuh kembang. Bermain dapat membantu
perkembangan sensorik dan motorik, membantu perkembangan
kognitif, meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreatifitas,
meningkatkan kesadaran diri (2). Hospitalisasi dapat
mempengaruhi proses bermain sehingga dapat mempengaruhi
proses perkembangan anak. Hospitalisasi dapat menimbulkan
trauma pada anak antara lain menimbulkan cemas, marah dan
nyeri. Keadaan ini dapat menimbulkan reaksi menolak makan,
menangis, bahkan menolak untuk dilakukan tindakan
keperawatan. Respon tersebut dapat menimbulkan kesulitan
pada proses pelaksanaan program terapi dan prosedur asuhan
keperawatan. Jika terdapat penolakan pada tindakan
keperawatan, maka akan lama dalam proses penyembuhan. Jika
respon tersebut dapat dihindari, maka stres berkurang dan dapat
membantu mempercepat proses penyembuhan.
Selama anak mengalami hospitalisasi diperlukan
dukungan dari keluarga karena keluarga adalah unsur penting
dalam perawatan, khususnya perawatan pada anak. Peran serta
perawat dalam memahami bahwa keluarga sebagai tempat
tinggal atau konstanta tetap dalam kehidupan anak (4).
Kehidupan anak juga ditentukan keberadaanya bentuk dukungan
keluarga, hal ini dapat terlihat bila dukungan keluarga yang
sangat baik maka pertumbuhan dan perkembangan anak relatif
stabil, tetapi apabila dukungan keluarga kurang baik, maka anak
akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat mengganggu
psikologis anak. Pentingnya keterlibatan keluarga dapat
mempengaruhi proses kesembuhan anak. Keterlibatan orang tua
dan kemampuan keluarga dalam merawat merupakan dasar
dalam pemberian asuhan keperawatan yang berfokus pada
keluarga. Perawat dengan memfasilitasi keluarga dapat
membantu proses pemyembuhan pada anak yang sakit selama di
rumah sakit (2).
Dalam mengurangi respon hospitalisasi pada anak maka
perawat harus memberikan komunikasi terapiutik yaitu dengan
memberi tahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi
kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksaan yang
akan digunakan, menggunakan nada suara, bicara lambat,
memberi salam pada anak. Intervensi keperawatan diarahkan
terhadap peningkatan sikap kooperatif anak terhadap tindakantindakan yang bersifat invasif dan memiliki pengaruh besar
terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Asuhan
keperawatan tersebut bertujuan untuk mencapai proses
penyembuhan secara efektif dan efisien dalam arti proses
penyembuhan dapat berlangsung dalam waktu relatif pendek (3).
Banyak faktor yang mempengaruhi proses komunikasi.
Agar komunikasi dapat berjalan baik, komunikasi harus sesuai
dengan situasi, waktu yang tepat dan diungkapkan dengan jelas
(4).
Peneliyian ini bertujuan mengetahui hubungan komunikasi
terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak
usia prasekolah di ruang cempaka (rawat inap anak) RSUD
Sampang.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Komunikasi Terapiutik
Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang
menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara
membangun hubungan antar sesama; melalui pertukaran
informasi; untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain;
serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (6)..
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
23
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Menurut Arwani (2002), komunikasi terapiutik adalah
komunikasi perawat dengan pasien yang direncanakan, disengaja
dan merupakan tindakan profesional yang bertujuan untuk
mengetahui kebutuhan pasien sehingga tujuan keperawatan
dapat tercapai.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi dengan Anak
Dalam proses komunikasi kemungkinan ada hambatan
selama komunikasi, karena selama proses komunikasi
melibatkan beberapa komponen dalam komunikasi dan
dipengaruhi oleh beberapa factor(2).di antaranya:
1. Pendidikan
Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk
berbuat dan mendapatkan informasi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup. Sebagaimana umumnya
semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
menerima informasi dan makin bagus pengetahuan yang
dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara
efektif akan dapat dilakukannya. Dalam komunikasi dengan
anak atau orang tua juga perlu diperhatikan tingkat
pendidikan khususnya orang tua karena berbagai informasi
akan mudah diterima jika bahasa yang disampaikan sesuai
dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya.
2. Pengetahuan
Merupakan proses belajar dengan menggunakan
panca indera yang dilakukan seseorang terhadap objek
tertentu untuk dapat menghasilkan pengetahuan
keterampilan. Faktor pengetahuan tersebut dalam proses
komunikasi dapat mempengaruhinya hal ini dapat
diperlihatkan apabila seseorang pengetahuan cukup, maka
informasi yang disampaikan akan jelas dan mudah diterima
oleh penerima akan tetapi apabila pengetahuan kurang
akan menghasilkan informasi yang kurang.
3. Sikap
Sikap dalam komunikasi dapat mempengaruhi
proses komunikasi berjalan efektif atau tidak, hal tersebut
dapat ditunjukkan seseorang yang memiliki sikap kurang
baik akan menyebabkan pendengar kurang percaya
terhadap komunikator, demikian sebaliknya apabila dalam
komunikasi menunjukkan sikap yang baik maka dapat
menunjukkan kepercayaan dari penerima pesan atau
informasi. Sikap yang diharapkan dalam komunikasi
tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai dan
lain-lain, kesemuanya dapat mendukung berhasilnya
komunikasi terapiutik.
4. Usia Tumbuh Kembang
Faktor usia ini dapat mempengaruhi proses
komunikasi, hal ini dapat ditunjukkan semakin tinggi usia
perkembangan anak kemampuan dalam komunikasi
semakin komplek dan sempurna yang dapat dilihat dari
perkembangan bahasa anak.
5. Status Kesehatan Anak
Status kesehatan sakit dapat berpengaruh dalam
komunikasi, hal ini dapat diperlihatkan ketika anak sakit atau
mengalami gangguan psikologis maka cenderung anak
kurang komunikatif atau sangat pasif, dengan demikian
dalam komunikasi membutuhkan kesiapan secara fisik dan
psikologis untuk mencapai komunikasi yang efektif.
6. Sistem Sosial
Sistem sosial yang dimaksud disini adalah budaya
yang ada di masyarakat, dimana setiap daerah yang
memiliki budaya atau cara komunikasi yang berbeda. Hal
tersebut dapat juga mempengaruhi proses komunikasi
seperti orang Batak dangan orang Madura ketika
berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda dan samasama tidak memahami bahasa daerah maka akan merasa
kesulitan untuk mencapai tujuan dari komunikasi.
7.
8.
Saluran
Saluran ini merupakan faktor luar yang berpengaruh
dalam proses komunikasi seperti intonasi suara, sikap tubuh
dan sebagainya semuanya akan dapat memberikan
pengaruh dalam proses komunikasi, sebagai contoh apabila
kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara atau
intonasi jelas maka sangat mudah kita menerima informasi
atau pesan yang disampaikan. Demikian sebaliknya apabila
kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara yang
tidak jelas kita akan kesulitan menerima pesan atau
informasi yang disampaikan.
Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di
sekitar area, lingkungan dalam komunikasi yang dimaksud
disini dapat berupa situasi, ataupun lokasi yang ada.
Lingkungan yang baik atau tenang akan memberikan
dampak berhasilnya tujuan komunikasi sedangkan
lingkungan yang kurang baik akan memberikan dampak
yang kurang. Hal ini dapat kita contohkan apabila kita
berkomunikasi dengan anak pada tempat yang gaduh
misalnya atau tempat yang bising, maka proses komunikasi
tidak akan bisa berjalan dengan baik, kemungkinan sulit kita
berkomunikasi secara efektif karena suara yang tidak jelas,
sehingga pesan yang akan disampaikan sulit diterima oleh
anak.
Konsep Keluarga
Keluarga didefinisikan dengan beberapa cara pandang.
Keluarga dapat dipandang sebagai tempat pemenuhan
kebutuhan biologis bagi para anggotanya. Cara pandang dari
sudut psikologis keluarga adalah tempat berinteraksi dan
berkembangnya kepribadian anggota keluarga. Secara ekonomi
keluarga dianggap sebagai unit yang produktif dalam
menyediakan materi bagi anggotanya dan secara sosial adalah
unit yang bereaksi terhadap lingkungan yang lebih luas.
Keluarga merupakan unsur penting dalam merawat anak
mengingat anak sebagian dari keluarga kehidupan anak dapat
ditentukan oleh lingkungan keluarga, untuk itu keperawatan anak
harus mengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau sebagai
konstanta tetap dalam kehidupan anak(2).
Peran Pengasuhan
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada
seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik
secara formal maupun informal, sedangkan posisi adalah
keberadaan seseorang dalam sistem sosial. Peran juga diartikan
sebagai kemampuan individu untuk mengontrol atau
mempengaruhi atau mengubah perilaku orang lain. Peran dapat
dipelajari melalui proses sosialisasi selama tahapan
perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar
anggota keluarga. Peran yang dipelajari akan mendapat
penguatan melalui pemberian penghargaan baik kasih sayang
yang diberikan, perhatian dan persahabatan.
Pada dasarnya tujuan pengasuhan orang tua adalah
mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan
kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan
kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan
mendorong kemampuan peningkatan berperilaku sesuai dengan
nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua
menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari melalui
pendidikan secara formal, melainkan berdasarkan pengalaman
dalam menjalankan peran tersebut secara trial and error dan
mempelajari pengalaman orang lain atau orang tua terdahulu.
Orang tua harus mempunyai rasa percaya diri yang besar dalam
menjalankan peran pengasuhan ini, terutama dalam pemahaman
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, pemenuhan
kebutuhan makanan dan pemeliharaan kebersihan perseorangan,
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
24
Vol. 4 No 1 Juni 2012
penggunaan alat permainan sebagai stimulus pertumbuhan dan
perkembangan serta komunikasi efektif yang diperlukan dalam
berinteraksi dengan anak dan anggota keluarga lainnya.
konflik psikoseksual dan takut terhadap mutilasi,
menyebabkan anak terutama takut terhadap
pengukuran suhu rektal dan kateterisasi urine.
Reaksi terhadap Hospitalisasi
a. Mekanisme pertahanan utama anak usia prasekolah
adalah regresi. Mereka akan bereaksi terhadap
perpisahan dengan regresi dan menolak untuk bekerja
sama.
b. Anak usia prasekolah merasa kehilangan kendali
karena mereka mengalami kehilangan kekuatan
mereka sendiri.
c. Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri mengarah
kepada rasa takut terhadap mutilasi dan prosedur
yang menyakitkan.
d. Keterbatasan
pengetahuan
mengenai
tubuh
meningkatkan rasa takut yang khas sebagai contoh
takut terhadap kastrasi (dicetuskan oleh enema,
pengukuran suhu rektal dan kateter) dan takut bahwa
kerusakan kulit (misal jalur intravena dan prosedur
pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam
tubuhnya menjadi bocor.
e. Anak
usia
prasekolah
menginterpretasikan
hospitalisasi sebagai hukuman dan perpisahan
dengan orang tua sebagai kehilangan kasih sayang.
2
Konsep Hospitalisasi pada Anak
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu
alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk
tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak
dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut
beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat
traumatik dan penuh stres (5).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap krisis-krisis dipengaruhi (4) oleh:
1. Usia perkembangan mereka.
2. Pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit,
perpisahan atau hospitalisasi.
3. Keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan.
4. Keparahan diagnosis.
5. Sistem pendukung yang ada.
Konsep Anak Usia Prasekolah
Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 tahun
sampai dengan 6 tahun(5) Sedangkan menurut Hidayat (2005),
anak usia prasekolah adalah anak yang telah mencapai usia
antara 2,5 tahun sampai 5 tahun.
Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Anak usia presekolah
Perkembangan Psikososial (Erikson) anak pada usia
prasekolah disebut “inisiatif versus rasa bersalah”. Dengan
dukungan orang tua dalam imajinasi dan aktifitas, anak berupaya
menguasai perasaan inisiatif. Anak mengembangkan perasaan
bersalah ketika orang tua membuat anak merasa bahwa imajinasi
dan aktifitasnya tidak dapat diterima. Ansietas dan ketakutan
terjadi ketika pemikiran dan aktifitas anak tidak sesuai dengan
harapan orang tua (7).
Perkembangan psikoseksual (Freud) anak usia prasekolah
yaitu genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang
sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin
perempuan dan laki-laki dengan mengetahui perbedaan alat
kelamin (5) .
Perkembangan kognitif (Piaget) dalam Supartini (2004)
berada pada tahap praoperasional. Anak prasekolah berada pada
fase peralihan antara preconceptual dan intuitive thought. Pada
fase preconceptual, anak sering menggunakan satu istilah untuk
beberapa orang yang punya ciri yang yang sama. Sedangkan
pada fase intuitive thought, anak sudah bisa memberi alasan
pada tindakan yang dilakukannya. Anak prasekolah berasumsi
bahwa orang lain berpikir seperti mereka sehingga perlu menggali
pengertian mereka dengan pendekatan nonverbal.
Perkembangan moral (Kohlberg) anak prasekolah berada
pada fase preconventional yang terdiri dari tiga tahapan. Tahap
satu didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak, yaitu
kebaikan adalah seperti apa yang saya mau. Tahap dua yaitu
orientasi hukuman dan ketaatan. Tahap tiga yaitu anak berfokus
pada motif yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan (5).
Penyakit dan Hospitalisasi
1
Reaksi terhadap Penyakit
a. Anak usia prasekolah merasa fenomena nyata yang
tidak berhubungan sebagai penyebab penyakit.
b. Cara berpikir magis menyebabkan anak usia
prasekolah memandang penyakit sebagai suatu
hukuman. Selain itu, anak usia prasekolah mengalami
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu pengumpulan data variabel independen dan
variabel dependen dilaksanakan dalam waktu bersamaan pada
satu waktu
Populasinya adalah keluarga dan anak usia prasekolah di
ruang cempaka (rawat inap anak) RSUD kabupaten Sampang
bulan April-Mei 2011. Dalam penelitian ini menggunakan
Probability Sampling, systematic sampling sehingga didapatkan
sampel sebanyak 23 responden.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penyajian data yang ditampilkan meliputi data umum dan data
khusus. Data umum menampilkan status pekerjaan orangtua,
tingkat pendidikan orangtua, usia orangtua, dan karakteristik anak.
Data Khusus
1. Komunikasi Terapiutik
Komunikasi terapiutik diperoleh dengan mengobservasi
komunikasi terapiutik yang dilakukan perawat terhadap anak usia
prasekolah ketika melaksanakan tindakan invasif .
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Penerapan Komunikasi Terapiutik di
ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011
Komunikasi Terapiutik
Frekuensi
Prosentase (%)
Kurang
6
26.1
Cukup
10
43.5
Baik
7
30.4
Total
23
100
2. Peran Keluarga
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Peran Keluarga terhadap Anak Usia
Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang
bulan Mei 2011
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
25
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Peran
Keluarga
Frekuensi
Prosentase (%)
Kurang
1
4.3
Cukup
12
52.2
Respon Hospitalisasi Anak
Negatif
Positif
Σ
%
Σ
%
6
100
0
0
8
80
2
20
0
0
7
100
14
60.9
9
39.1
Komunikasi
Terapiutik
Kurang
Cukup
Baik
Total
Baik
10
43.5
Total
23
100
Σ
6
10
7
23
Total
%
100
100
100
100
3. Respon Hospitalisasi Anak
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Respon Hospitalisasi anak usia
Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang
bulan Mei 2011
Respon
Hospitalisasi
Frekuensi
Presentase (%)
Negatif
14
60.9
Positif
9
39.1
Total
23
100
Tabel 1 Tabulasi silang Komunikasi Terapiutik dengan Respon
Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah ruang Cempaka
RSUD Sampang bulan Mei 2011
Berdasarkan tabel di atas, seluruh anak (100%) yang
memperoleh komunikasi terapiutik kurang menunjukkan respon
negatif dan seluruh anak (100%) yang memperoleh komunikasi
terapiutik baik menunjukkan respon positif. Dari 10 anak yang
diberikan komunikasi cukup, sebagian besar (80%) menunjukkan
respon negatif sedangkan sisanya (20%) anak menunjukkan
respon positif. Jadi, kecenderungan komunikasi terapiutik baik
akan memberikan respon anak positif dan komunikasi terapiutik
kurang menunjukkan respon negatif.
Tabel 2 Tabulasi Silang Peran Keluarga terhadap Anak Usia
Prasekolah dengan Respon Hospitalisasi
Anak Usia Prasekolah di ruang Cempaka
RSUD Sampang bulan Mei 2011
Respon Hospitalisasi Anak
Negatif
Peran Keluarga
Positif
Total
Σ
%
Σ
%
Σ
%
Kurang
1
100
0
0
1
100
Cukup
11
91.67
1
8.33
12
100
Baik
2
20
8
80
10
100
Total
14
60.9
9
39.1
23
100
Berdasarkan tabel di atas, seluruh anak (100%) yang
memperoleh peran keluarga kurang menunjukkan respon negatif.
Dari 12 keluarga yang memberikan peran cukup, sebagian besar
anak (91,67%) menunjukkan respon negatif dan sisanya (8,33%)
anak menunjukkan respon positif. Dari 10 keluarga yang
memberikan peran baik, sebagian besar anak (80%)
menunjukkan respon positif dan sisanya (20%) anak
menunjukkan respon negatif. Jadi, kecenderungan peran
keluarga baik akan memberikan respon hospitalisasi baik dan
peran keluarga keluarga kurang memberikan respon hospitalisasi
negatif.
HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN RESPON
HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH
Berdasarkan hasil uji statistik Lambda untuk mencari
hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak
usia prasekolah, didapatkan nilai ρ (nilai probability)=0,014.
Dikarenakan nilai ρ (nilai probability)=0,014 < α (uji
signifikansi)=0,05, maka dapat diinterpretasikan H0 ditolak, H1
diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia
prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang.
HUBUNGAN PERAN KELUARGA DENGAN
HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH
RESPON
Berdasarkan hasil uji statistik Lambda untuk mencari
hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia
prasekolah, didapatkan nilai ρ (nilai probability)=0,013.
Dikarenakan nilai ρ (nilai probability)=0,013 < α (uji
signifikansi)=0,05, maka dapat diinterpretasikan bahwa H0
ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia
prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang.
Komunikasi Terapiutik
Komunikasi terapiutik yang diberikan meliputi memberikan
sikap yang baik dalam berkomunikasi, cara berkomunikasi
dengan baik dan melibatkan orang tua, melakukan tahapan
komunikasi dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian,
komunikasi terapiutik di ruang Cempaka (rawat inap anak) RSUD
Sampang didapatkan 6 anak memperoleh komunikasi terapiutik
kurang (26,1%), 10 anak memperoleh komunikasi terapiutik
cukup (43,5%) dan 7 anak memperoleh komunikasi terapiutik baik
(30,4%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya
sebagian anak yang memperoleh komunikasi terapiutik saat
dilakukan tindakan invasif. Hal ini dimungkinkan karena
banyaknya jumlah pasien anak di ruang cempaka sehingga
mengakibatkan perawat hanya memiliki waktu singkat dalam
berinteraksi dengan anak saat dilakukan tindakan invasif. Akan
tetapi, perawat tetap menyapa anak dengan ramah sebelum
melakukan tindakan.
Komunikasi terapiutik dapat meningkatkan hubungan
perawat dan pasien. Hal ini sesuai teori Christina (2008) tentang
manfaat komunikasi terapiutik yaitu mendorong dan
menganjurkan kerja sama antara perawat dengan pasien melalui
hubungan perawat-pasien; mengidentifikasi, mengungkapkan
perasaan, dan mengkaji masalah dan mengevaluasi tindakan
yang dilakukan oleh perawat.
Komunikasi terapiutik mengakibatkan anak tidak takut
kepada perawat sehingga dapat tercipta hubungan yang baik
antara anak-perawat. Hubungan yang baik dapat memudahkan
perawat dalam mengidentifikasi dan mengkaji masalah yang
dirasakan pasien. Dengan demikian diharapkan perawat dapat
mengambil tindakan keperawatan yang tepat dan dapat
membantu mempercepat proses penyembuhan anak yang di
rawat.
Peran Keluarga
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
26
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Berdasarkan hasil penelitian, peran keluarga di ruang
Cempaka didapatkan 1 keluarga memberikan peran kurang
(4,3%), 12 keluarga memberikan peran cukup (52,2%) dan 10
keluarga memberikan peran baik (43,5%). Hal ini menunjukkan
bahwa keluarga pasien rerata memberikan peran baik dalam
mengasuh dan menjaga anak yang berada di rumah sakit. Peran
yang diberikan meliputi menerima dan mengelola kondisi anak,
memenuhi kebutuhan perkembangan anak. Di ruang cempaka,
semua anak usia prasekolah dirawat dan ditunggu oleh ibu.
Pendidikan responden rerata di bawah SMA dan usia responden
masih tergolong muda. Akan tetapi, fakta tersebut tidak
mempengaruhi kualitas responden dalam mengasuh anak saat
berada di rumah sakit. Orang tua selalu berada disamping anak
dan menjaga anak. Hal ini sesuai teori Wong, Perry dan
Hockenberry (2002) yang menyatakan bahwa keluarga
merupakan unsur penting dalam merawat anak mengingat anak
sebagian dari keluarga, kehidupan anak dapat ditentukan oleh
lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan orang yang paling dekat dengan anak
sehingga dengan peran keluarga, anak lebih mudah dalam
menerima asuhan keperawatan dan dapat mempercepat proses
kesembuhan anak. Keberadaan keluarga disamping anak akan
mengurangi kecemasan anak terhadap perpisahan sehingga
anak dapat berespon positif terhadap hospitalisasi.
Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah
Berdasarkan hasil penelitian, respon hospitalisasi anak usia
prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang yaitu 14 anak
menunjukkan respon negatif (60,9%) dan 9 anak menunjukkan
respon positif (39,1%). Respon negatif hospitalisasi yang
ditunjukkan meliputi menangis, menolak makan, sering bertanya,
menolak bekerja sama selama proses perawatan. Hal ini sesuai
dengan teori Wong (2008) yang mengatakan anak prasekolah
dapat menunjukkan kecemasan akibat perpisahan dengan cara
menangis, menolak makan, sering bertanya, menolak bekerja
sama selama proses perawatan.
Respon hospitalisasi terjadi karena stres akibat perubahan
dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan, mekanisme
koping anak yang terbatas dalam menghadapi stres hospitalisasi.
Hospitalisasi menjadi stressor karena anak mengalami
perpisahan dengan lingkungan rumah yang biasa diisi dengan
kegiatan bermain. Bermain merupakan hal yang sangat penting
dalam usia tumbuh kembang anak karena dapat membantu
perkembangan sensorik dan motorik, membantu perkembangan
kognitif, meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreativitas,
meningkatkan kesadaran diri. Hospitalisasi dapat mengganggu
proses bermain sehingga anak berespon negatif terhadap
hospitalisasi. Rumah sakit sebagai tempat sementara anak ketika
sakit, akan lebih baik jika dilengkapi fasilitas ruang bermain anak
sehingga anak tetap bisa bermain. Perbedaan lingkungan rumah
sakit dengan lingkungan rumah juga menjadi stres pada anak,
salah satunya warna cat rumah sakit. Akan lebih baik jika warna
cat dibuat menarik supaya anak merasa nyaman berada di rumah
sakit.
Menurut Eric Erikson, masa prasekolah merupakan masa
inisiatif versus rasa bersalah. Pemikiran imajinasi anak
berkembang dan anak aktif dalam setiap aktifitasnya. Anak usia
prasekolah merasa sakit sebagai fenomena nyata yang tidak
berhubungan dengan penyebab sakitnya. Cara berpikir magis
anak usia prasekolah memandang penyakit sebagai suatu
hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah atau takut. Takut
terhadap cedera tubuh dan nyeri mengarah pada ketakutan
terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan dapat
mengancam integritas tubuhnya. Anak usia prasekolah memiliki
keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh sehingga takut
bahwa kerusakan kulit (misal jalur intravena dan prosedur
pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya
menjadi rusak. Hal ini menyebabkan reaksi agresif dengan marah
dan berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat dan
ketergantungan pada orang tua atau pada keluarga. Dalam
mengurangi respon negatif akibat hospitalisasi, maka dibutuhkan
peran keluarga dan komunikasi terapiutik perawat. Peran
keluarga dan komunikasi terapiutik perawat dapat memfasilitasi
adaptasi sehingga stres berkurang. Apabila stres berkurang,
maka dapat membantu proses penyembuhan.
Hubungan Komunikasi Terapiutik dengan Respon
Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah
Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi terapiutik kurang
menyebabkan respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 6
sedangkan respon hospitalisasi baik menyebabkan respon
hospitalisasi positif sebanyak 7. Hal ini sesuai teori Nursalam
(2003) yang menyatakan kinerja perawat adalah memberikan
stimulus atau memfasilitasi koping pasien agar menjadi
konstruktif.
Dalam melakukan komunikasi terapiutik, diperlukan
keikhlasan, empati dan kehangatan. Perawat yang mampu
menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai
sikap yang dia punya terhadap pasien sehingga mampu
mengkomunikasikannya secara tepat. Perawat tidak akan pernah
menolak pikiran negatif dari pasien bahkan ia akan berusaha
berinteraksi dengan pasien. Dengan empati, perawat dapat
memahami dan menerima perasaan yang dialami pasien.
Suasana yang hangat dan tanpa adanya ancaman menunjukkan
adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien, sehingga
pasien akan mengekspresikan perasaannya. Kondisi ini akan
membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk
mengetahui kebutuhan pasien. Dengan demikian, perawat dapat
mengambil tindakan yang tepat dalam asuhan keperawatan.
Komunikasi terapiutik yang dilakukan perawat dapat
mengurangi stres hospitalisasi yang dialami anak sehingga dapat
membantu proses penyembuhan. Cemas karena perpisahan
dapat menimbulkan disstres hospitalisasi dan gangguan adaptasi.
Perawat dapat memfasilitasi adaptasi dengan memberikan
komunikasi terapiutik saat dilakukan tindakan invasif sehingga
stres berkurang dan dapat membantu proses penyembuhan
anak.
Komunikasi terapiutik merupakan salah satu kunci bagi
respon hospitalisasi anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji
statistik Lambda, nilai ρ (0,014) < α (0,05) sehingga ada
hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak
usia prasekolah. Wong (2008) mengatakan faktor yang dapat
mempengaruhi stres hospitalisasi anak seperti usia
perkembangan anak; pengalaman anak sebelumnya dengan
hospitalisasi, penyakit, perpisahan; keterampilan koping yang
mereka miliki dan dapatkan; keparahan diagnosis; sistem
pendukung yang ada.
Menyadari pentingnya komunikasi terapiutik, maka perawat
perlu melakukan komunikasi terapiutik kepada anak saat
melakukan tindakan invasif. Anak prasekolah yang diberikan
komunikasi terapiutik memiliki respon hospitalisasi yang positif.
Jadi, terdapat hubungan komunikasi terapiutik dengan respon
hospitalisasi anak usia prasekolah.
Hubungan Peran Keluarga dengan Respon Hospitalisasi
Anak Usia Prasekolah
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hubungan peran
keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di
ruang Cempaka RSUD Sampang yaitu peran keluarga kurang
dengan respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 1, peran
keluarga cukup dengan respon hospitalisasi anak negatif
sebanyak 11, peran keluarga baik namun respon hospitalisasi
anak negatif sebanyak 2, peran keluarga cukup namun respon
hospitalisasi anak positif sebanyak 1 dan peran keluarga baik
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
27
Vol. 4 No 1 Juni 2012
dengan respon hopitalisasi anak positif sebanyak 8. Hasil uji
statistik Lambda, nilai ρ (0,013) < α (0,05) maka dapat
diinterpretasikan bahwa H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat
disimpulkan ada hubungan peran keluarga dengan respon
hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD
Sampang.
Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Supartini (2004)
yaitu keluarga mempunyai pengaruh besar dalam pemeliharaan
dan peningkatan status anak karena pada dasarnya tugas dan
fungsi keluarga adalah merawat fisik anak, mendidik anak untuk
menyesuaikan diri dengan budaya dan menerima tanggung jawab
atas kesejahteraan anak baik secara fisik maupun psikologis.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi hospitalisasi yaitu
perpisahan. Salah satu perpisahan yang diakibatkan oleh
hospitalisasi yaitu perpisahan dengan anggota keluarga. Anak
terbiasa bermain dengan saudaranya ketika di rumah. Ketika di
rumah sakit, anak tidak bertemu dengan saudaranya dan tidak
dapat bermain sehingga anak semakin berespons negatif
terhadap hospitalisasi.
Ketika anak dihospitalisasi, orang tua menunjukkan respon
cemas dan takut, sedih, frustrasi. Perasaan cemas dan takut
terhadap kondisi anaknya muncul pada saat orang tua melihat
anak mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan
darah, injeksi, infus dan prosedur invasif lainnya. Perasaan sedih
muncul ketika anak dalam kondisi terminal dan orang tua
mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk
sembuh. Kondisi anak yang dirawat cukup lama dan dirasakan
tidak mengalami perubahan serta tidak adekuatnya dukungan
orang tua baik dari keluarga maupun kerabat lainnya
mengakibatkan orang tua merasa putus asa bahkan frustrasi.
Keluarga terutama ibu lebih memahami dan lebih dekat
dengan anak. Dengan kedekatan itu, maka anak lebih tenang
karena ibunya berada disampingnya dan akan berdampak positif
terhadap kondisi psikologis anak sehingga anak dapat
memberikan adaptasi terhadap respon perpisahan dengan baik
dan memberikan respon positif terhadap hospitalisasi. Stressor
hospitalisasi menyebabkan stres hospitalisasi sehingga terjadi
gangguan adaptasi. Peran keluarga dapat memfasilitasi adaptasi
anak sehingga stres berkurang dan dapat mempercepat proses
kesembuhan.
Menyadari pentingnya peran keluarga terutama ibu, maka
keluarga perlu melakukan peran yang diperlukan anak selama
anak dirawat di rumah sakit. Anak prasekolah yang diberikan
peran yang dibutuhkan selama sakit, memiliki respon hospitalisasi
yang positif. Jadi terdapat hubungan antara peran keluarga
dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dirumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Di ruang cempaka RSUD Sampang, sebagian besar (43,5%)
anak usia prasekolah memperoleh komunikasi terapiutik
kriteria cukup.
2. Di ruang cempaka RSUD Sampang, rerata keluarga
memberikan peran kepada anak usia prasekolah dengan
kriteria cukup yaitu 12 orang (52,2 %).
3. Di ruang cempaka RSUD Sampang, anak usia prasekolah
yang menunjukkan respon negatif terhadap hospitalisasi
sebanyak 14 anak (60,9 %).
4. Ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon
hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD
Sampang. Respon positif anak paling banyak terjadi pada
anak yang diberikan komunikasi terapiutik dengan kriteria
baik.
5. Ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi
anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang.
Respon positif anak paling banyak terjadi pada anak yang
diberikan peran keluarga dengan kriteria baik.
Saran
Bagi Petugas Kesehatan
1. Diharapkan perawat memberikan komunikasi terapiutik saat
melakukan tindakan invasif.
2. Untuk pasien anak yang telah direncanakan masuk rumah
sakit, 1-2 hari sebelum dirawat, anak diorientasikan dengan
situasi rumah sakit menggunakan miniatur bangunan rumah
sakit.
3. Perawat bekerjasama dengan rumah sakit dan sesuai
kebijakan rumah sakit menyiapkan ruang rawat sesuai
dengan tahap usia anak dan jenis penyakit.
4. Perawat hendaknya memberikan dukungan kepada
keluarga anak.
5. Pada hari pertama dirawat, perawat melakukan tindakan :
a. Memperkenalkan perawat dan dokter yang akan
merawatnya.
b. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat
yang ada beserta fasilitas yang bisa digunakan.
c. Kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi
teman sekamarnya.
6. Perawat berupaya meminimalkan stressor atau penyebab
stress.
a. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan
dapat dilakukan dengan cara :
1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam
perawatan anak dengan cara membolehkan
mereka untuk tinggal bersama anak selama 24
jam (rooming in).
2) Jika tidak mungkin untuk rooming in, hendaknya
memberi kesempatan orang tua untuk melihat
anak
setiap
saat
dengan
maksud
mempertahankan kontak antarmereka.
3) Memodifikasi ruang perawatan dengan cara
membuat situasi ruang rawat seperti di rumah.
4) Mempertahankan kontak dengan lingkungan
sekolah dengan tetap menjalin komunikasi
dengan teman sekolah atau teman bermain di
rumah.
b. Mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat
dilakukan dengan cara:
1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat
kooperatif terhadap petugas kesehatan.
2) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya
untuk mengurangi ketergantungan.
c. Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan
nyeri dapat dilakukan dengan cara :
1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua
untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa
nyeri.
2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum
melakukan persiapan fisik anak.
3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua
pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur
yang menimbulkan rasa nyeri.
4) Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan
utama dalam mengurangi rasa takut akibat
prosedur yang menyakitkan.
5) Pada tindakan prosedur pembedahan, lakukan
persiapan khusus jauh sebelumnya apabila
memungkinkan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
28
Vol. 4 No 1 Juni 2012
Bagi Keluarga
1. Keluarga memberikan peran yang dibutuhkan anak selama
berada di rumah sakit.
2. Keluarga terutama ibu hendaknya selalu berada di samping
anak selama anak dihospitalisasi.
Bagi Instansi Rumah Sakit
1. Cat rumah sakit dibuat menarik supaya anak merasa
nyaman berada di rumah sakit.
2. Jumlah perawat ditambah supaya saat melakukan tindakan
invasif, perawat memiliki waktu lebih banyak dan dapat
memberikan komunikasi terapiutik kepada anak.
3. Memberikan kebijakan mengatur ruang rawat inap sesuai
dengan tahap usia anak dan jenis penyakit.
Bagi Penulis Selanjutnya
1. Jumlah sampel dalam penelitian ini terbatas sehingga perlu
adanya penelitian lebih lanjut tentang hubungan komunikasi
terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi
anak usia prasekolah dengan jumlah sampel yang lebih
representatif.
2. Perlu menggunakan alat ukur yang telah teruji validitas dan
reabilitasnya dalam permasalahan yang serupa.
3. Dapat mengkaji faktor-faktor yang nantinya akan muncul
masalah-masalah baru dan mampu kita temukan
pemecahan dari persoalan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nursalam, dkk (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak
(Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Wong, Donna L.,dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Wong Volume 1. Ed 6. Jakarta : EGC.
Supartini, Yupi (2000). “Persepsi Perawat tentang Stres
Orang Tua selama Anaknya dirawat di Rumah Sakit”.
Disampaikan pada seminar hasil riset keperawatan dan
kesehatan. Konsorsium Ilmu Kesehatan, Jakarta.
Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Muscari, Mary E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan
Pediatrik. Jakarta : EGC.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
29
Download