KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS

advertisement
KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS
(Studi Komparatif Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi
Kartanegara)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Sulthon Hidayat
NIM: 109033100002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
‫ﺍ‬
a
‫ﻁ‬
ṭ
‫ﺏ‬
b
‫ﻅ‬
ẓ
‫ﺕ‬
t
‫ﻉ‬
‘
‫ﺙ‬
ts
‫ﻍ‬
gh
‫ﺝ‬
j
‫ﻑ‬
f
‫ﺡ‬
ḥ
‫ﻕ‬
q
‫ﺥ‬
kh
‫ﻙ‬
k
‫ﺩ‬
d
‫ﻝ‬
l
‫ﺫ‬
dz
‫ﻡ‬
m
‫ﺭ‬
r
‫ﻥ‬
n
‫ﺯ‬
z
‫ﻭ‬
w
‫ﺱ‬
s
‫ﻩ‬
h
‫ﺵ‬
sy
‫ء‬
’
‫ﺹ‬
ṣ
‫ﻱ‬
y
‫ﺽ‬
ḍ
‫ﺓ‬
h
Vokal Panjang
‫ﺁ‬
Ā
‫ﺍﻯ‬
Ī
‫ﺍﻭ‬
Ū
v
Abstrak
Konsep Integrasi Agama dan Sains (Studi Komparatif Syed Muhammad Naquib
Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara)
Membicarakan tentang integrasi agama dan sains berarti berupaya untuk
memadukan antara sains dan agama untuk menciptakan format baru hubungan
sains dan Islam dalam upaya membangun kembali sains Islam yang selama ini
dipandang tidak ada.
Agama dan sains berbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba
untuk menjelaskan kebenaran. Metode agama umumnya bersifat subyektif,
tergantung pada intuisi/pengalaman pribadi dan otoritas nabi/kitab suci.
Sedangkan sains bersifat obyektif, yang lebih mengandalkan observasi dan
interpretasi terhadap fenomena yang teramati dan dapat diverifikasi.
Tetapi bagi Al-Attas dan Mulyadhi, terdapat titik temu antara agama dan
sains dari sisi ontologis, objek sains bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga
metafisik, sehingga dari sisi epistemologinya sumber sains bukan hanya indra
saja, melainkan akal dan hati.
Meskipun keduanya sama-sama intelektual muslim yang menggagas
tentang perpaduan agama dan sains, mereka mempunyai perbedaan-perbedaan
dalam penjabaran konsep maupun metodologi. Al-Attas dengan integrasi agama
dan sains yang berbasis tasawuf, sedangkan Muyadhi merujuk pada tradisi sains
Islam klasik yang bernuansa filosofis.
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang amat sangat mendalam kepada Allah SWT. atas segala
rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya, para sahabat serta para
pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Alhamdulillah, penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Integrasi Agama
dan Sains (Studi Komparatif Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi
Kartanegara)” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya Ilmiah dalam
bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata
satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk
itu saya merasa perlu menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama peulis sampaikan kepada:
1. Kepada kedua orang tua penulis Abu Yazid dan Warsiyem, yang tak henti
hentinya memberikan do’a demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga
kepada kakak-kakakku, Fitrul Masruroh, Syafi’ Kamaluddin, dan Muhammad
Hikam yang selalu mendukung serta mengingatkan penulis untuk secepatnya
menyelesaikan skripsi.
2. Dr. Edwin Syarif, MA. (Ketua Jurusan Tasawuf dan juga sebagai pembimbing
skripsi), terima kasih telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini dengan baik.
vii
3. Dra. Tien Rohmatin, MA (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam), terima
telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan bantuannya, akhirnya
penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini.
4. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Masri Mansoer, MA dan segenap civitas
akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.
5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA beserta
Jajarannya.
6. Para Dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan ilmu
yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan fakultas Ushuluddin, terima kasih atas sumber daya, dan fasilitas.
7. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan, Nurul zibat, Nurdian syah, Ach
Ilham Zubairy, Moh Ikhwan, Bustakul Khoiri dan teman-teman yang lainnya.
8. Kepada rekan-rekan seperjuangan Aqidah Filsafat angkatan 2009, Sukses
selalu.
9. Terimakasih untuk para senior dan teman-teman Wasiat Jakarta dan Formala
Jabodetabek, untuk kebersamaan dan dukungan kalian.
Ciputat, 14 Juni 2017
Sulthon Hidayat
viii
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan……………………………………………………………..ii
Lembar Pernyataan…………………………………………………………….iii
Pengesahan Panitia Ujian………………………………………………………iv
Pedoman Transliterasi…………………………………………………………..v
Abstrak…………………………………………………………………………..vi
Kata Pengantar………………………………………………………….……...vii
Daftar Isi…………………………………………………………………………ix
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1
B. Identifikasi Masalah……………………………………………………….6
C. Batasan & Rumusan Masalah……………………………………………..8
D. Tujuan Penelitian………………………………………………..…...........8
E. Manfaat Penelitian………………………………………………...............9
F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………..9
G. Metodologi Penelittian…………………………………………………...12
H. Sistematika Penulisan…………………………………………………….13
Bab II Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas & Mulyadhi Kartanegara
A. Syed Muhammad Naquib Al-Attas………………………………………14
1. Riwayat Hidup dan pendidikan………………………..................14
2. Karya-karya……………………………………............................21
3. Pemikiran………………………………………………………...22
B. Mulyadhi Kartanegara……………………………………………………29
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan…………………………………..29
2. Karya-karya………………………………………………………31
3. Pemikiran…………………………………………………...........32
Bab III Paradigma Integrasi Agama dan Sains
A. Pengertian dan Tujuan Integrasi Agama dan Sains………………………37
B. Langkah-langkah untuk mencapai Integrasi Agama dan Sains………….43
C. Faktor Penghambat dan Pendukung Integrasi Agama dan Sains…….......45
Bab IV Konsep Integrasi Agama dan Sains menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara
A. Konsep Integrasi Agama dan Sains menurut Syed Muhammad Naquib AlAttas.............................................................................................................50
1. Konsep Integrasi Agama dan Sains……………………………….50
2. Landasan Integrasi Agama dan Sains……………………………..55
3. Metodologi Integrasi Agama dan Sains…………………………..56
B. Konsep Integrasi Agama dan Sains menurut Mulyadhi Kartanegara…….71
1. Konsep Integrasi Agama dan Sains…………………….................71
2. Landasan Integrasi Agama dan Sains…………………………….76
ix
3. Metodologi Integrasi Agama dan Sains…………………………..77
C. Analisis Persaman dan Perbedaan………………………………………...97
1. Persamaan………………………………………………………..98
2. Perbedaan………………………………………………………..99
Bab V Penutup
A. Kesimpulan……………………………………………………………….102
B. Saran-saran……………………………………………………………….104
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..105
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Melihat perubahan zaman yang semakin berkembang pesat, juga dunia
modernitas yang harus dihadapi umat Islam, salah satu masalah yang dihadapi
umat Islam adalah pertumbuhan sains yang semakin berkembang dan perlahan
mengikis nilai moral dan agama, sehingga bukan lagi sains yang berkembang
mengikuti kebutuhan manusia melainkan manusia yang harus menyesuaikan diri
dengan sains. Umat Islam sudah sepatutnya lebih memperhatikan permasalahan
ini, karena pada perkembangan zaman saat ini, sains sudah tercampuri oleh
budaya Barat yang mencoba melepaskan nilai-nilai agama dari sains sehingga
menyebabkan hilangnya peran agama dalam sains tersebut. Untuk itu perlu
dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman, agar sains tersebut
tidak bebas nilai atau muncul faham sekuralisme. 1 Masyarakan saat ini
beranggapan bahwa “agama” dan “sains” adalah dua entitas yang tidak bisa
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu
dan lainnya, baik dari segi obyek formal-material, metode penelitian, kriteria
kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masingmasing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan ungkapan lain,
sains tidak peduli agama dan agama tidak peduli sains. Begitulah sebuah
gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air selama ini
dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat
1
Al-Attas, Muhammad Naquib, Islam dan Sekuralisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno dkk
(Bandung: Pustaka, 1991), h. 21-22.
1
2
luas, 2 dikotomi ilmu ini menjalar sebagai satu bentuk pembedaan antara sekolah
bercirikhaskan agama di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan
sekolah
umum
dibawah
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(Kemendikbud). Sekolah bercirikhaskan agama secara khusus diwakili oleh
madrasah, sedangkan sekolah bercirikhaskan umum menempati kontradiksinya, 3
menyebabkan munculnya ambivaalensi orientasi pendidikan Islam, terjadi
kesenjangan antara sistem pendidikan Islam, disintegrasi sistem pendidikan islam,
inferioritas pengajar di lembaga pendidikan islam, karena pendidikan Islam selalu
dipandang terbelakang, 4 dan berlanjut dengan kemunduran dalam dunia
pendidikan masyarakat Islam.
Rene Descartes (1596-1650 M) adalah pelopor dikotomi agama dan sains
dan ini tidak bisa dipungkiri. Menurut Descartes, metafisik telah mengalihkan
perhatian manusia dari entitas fisik yang dianggapnya lebih berfaedah. Sehingga
pada gilirannya para Cartesian menolak segala sesuatu yang bersifat metafisik
karena dianggap tidak saintifik. 5 Aku berpikir maka aku ada oleh René Descartes,
menjadi tolok ukur kebenaran sekaligus sumber ilmu pengetahuan bukan lagi dari
ajaran gereja (agama) melainkan rasio dan panca indera (empirisme). Paham
empirisme ini terus berkembang hingga zaman modern atau pencerahan. 6 Berarti
2
Zainal Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi
(Bandung:Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005),h. 20.
3
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2005), h. 2
4
Salahuddin Wahid, dalam Zainudin, dkk., Pendidikan Islam dari paradigma Klasik
hingga Kontemporer, (Malang;UIN Malang Press,2009),h. 96
5
Ahmad Bazli Syafie, “Metafizik Vs Sain; Krisis Pendidikan Barat Modern”, dalam Alhikmah, Bil. 3,(Kuala Lumpur: Forum ISTAC, 2000), h. 10-11
6
Husiaini, A. et. al , Filsafat Ilmu : Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press. 2013), h. 41
3
pada zaman pencerahan, dikotomi agama dan sains terlihat jelas. Ruang lingkup
sains hanya dibatasi pada obyek fisik saja, dapat teramati, terulang, terukur, teruji,
teramalkan, sehingga dikotomi ilmu ini berlanjut pada munculnya paham atau
pemikiran bebas nilai.
Dalam kajian keilmuan Islam, dikotomi agama dan sains tidak akan pernah
ada, justru yang ada adalah sains terintegrasi dalam agama, walaupun tidak semua
prinsip-prinsip sains dijelaskan secara detail dalam agama. Integrasi sains dalam
agama, dapat ditelaah dari adanya ajaran Islam tentang pengetahuan dan suruhan
penelitian. Dalam Islam dapat diketahui dari wahyu pertama, Allah menegaskan
bahwa sumber ilmu itu berasal dari-Nya. Allah mengajarkan manusia apa yang
semula belum diketahuinya (QS. al-Baqarah: 239; ar-Rahmān: 1-4).
              
 
Artinya : Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.
          
Artinya :(Tuhan) yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran.
Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara
.
Hal ini berarti semua yang berasal dari Allah, baik berupa ayat-ayat alQur’an maupun sunnah adalah ilmu yang bermanfaat bagi manusia. Ajaran Islam
dapat diketahui dari ayat al-Qur’an lainnya ialah ajakan atau suruhan manusia
merenungi fenomena alam, psikologi dan sejarah (QS. al-Baqarah: 164;).
4
              
                 
          
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Adanya ajaran-ajaran Islam tersebut menunjukkan bahwa kajian keilmuan
dalam Islam mencakup aspek keagamaan dalam al-Qur’an maupun Sunnah dan
fenomena alam atau sains. 7Bahkan menurut Yusuf Al-Qardhawi, agama dan sains
P6F
P
adalah sama-sama ilmu pengetahuan tanpa ada konflik diantara kedunya. 8
P7F
Semenjak adanya kesenjangan antara agama dan sains, telah banyak sosok
cendekiawan
Muslim
dari
dahulu
hingga
abad
ini
yang
berusaha
mengintegrasikan dikotomi tersebut. Bukan tanpa dasar ternyata dalam khazanah
ilmu pengetahuan Islam klasik, dikotomi antara ilmu dan agama atau fisik dan
metafisik tidak pernah ada, antara lain seperti Ibn Sīnā (370-428 H/980-1037 M),
Nashīr al-Dīn Thūsī (597-672 H/1201-1274 M), Quṭb al-Dīn Syīrāzī(634-710
H/1236-1311 M) dan lain-lain. 9
P8F
7
Nor Wan Daud, W.M, Budaya Ilmu Satu Penjelasan, (Singapura: Pustaka Nasional Pte.
Ltd. 2003),h. 60
8
Yusuf Al-Qardhawi, Islam dan Sekulerisme, terj: Amirullah Kandu & Maman Abd.
Djaliel ,(Bandung: CV Pustaka Setia, cet. I. 2006), h. 82
9
Syayed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam Spiritual; Jembatan Filosofis
dan Relegius MenujuPuncak, terj; Ali Noer Zaman dari The Encouner Man and Nature,
,(Yogyakarta; IRCisoD cet. I. 2006), h.84
5
Menurut Al-Attas tentang integrasi sains muncul karena tidak adanya
landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga sains pun tidak dapat berdiri
bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidak bebas nilai (value free) akan tetapi syarat nilai
(value laden). Pengetahuan yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia,
termasuk masyarakat Islam, telah di waranai corak dan budaya peradaban
Barat.Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang diwarnai
dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang dibawakan dan
disajikan berupa pengetahuan yang semu dan dilebur secara halus dengan yang
asli (the real) sehingga manusia mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan
menerima pengetahuan yang sejati.Karena itu Al-Attas memandang bahwa
peradaban Barat tidak layak untuk di konsumsi sebelum diseterilkan terlebih
dahulu. 10
Disiplin agama dan sains menurut Mulyadhi Kartanegara, tidak mungkin
tercapai hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang memunyai
basis teoritis yang berbeda (sekuler dan religius). Sebaliknya, integrasi harus
diupayakan hingga tingkat epistemologis. Menggabungkan dua himpunan ilmu
yang berbeda tersebut di sebuah lembaga pendidikan seperti yang terjadi selama
ini tanpa diikuti konstruksi epistemologis bukan membuahkan integrasi,
melainkan hanya seperti menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas yang
berjalan sendiri-sendiri. 11Agar integrasi tersebut sampai ketingkat epistemologi,
menurut Mulyadhi integrasi harus dilakukan hingga ketingkat ontologis,
klasifikasi ilmu, dan metodologis. Tiga tingkat integrasi tersebut melahirkan
10
Al-Attas, Muhammad Naquib, Islam dan Sekuralisme, terj. Karsidjo, h. 43
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik,(Bandung: PT
Mizan Pustaka, cet.I. 2005), h. 208-209
11
6
uraian kepada integrasi obyek-obyek ilmu, ilmu teoritis dan praktis, bidangbidang ilmu (metafisika, matematika, dan fisika), sumber ilmu, pengalaman
manusia, metode ilmiah, dan integrasi penjelasan ilmiah. Karena Mulyadhi
termasuk orang yang mengakui adanya epistemologi Islam, terlihat bahwa
integrasi agama dan sains olehnya berada di ruang lingkup epistemologi Islam,
yang dari sisi ontologis obyek sains itu tidak hanya bersifat fisik (indrawi), 12
melainkan juga metafisik. Sehingga dari sisi epistemologisnya sumber sains
adalah indra, akal, dan hati. 13
Dari kajian dan pemikiran integrasi keilmuan dari kedua tokoh di atas
yaitu Muhammad Naquib Al-Atta berbasis tasawuf menyuarakan intuisi sebagai
elemen dasar pencarian ilmu pengetahuan, 14sedangkan Mulyadhi Kartanegara
merujuk pada tradisi sains Islam klasik yang bernuansa filosofis dalam konsep
integrasinya, dari sini penulis akan mengalisis permalahan di atas sehingga bisa
di ketahui perbedaan dan persamaan dari konsep kedua tokoh tersebut.
B. Idetifikasi Masalah
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam idetifikasi masalah penelitian, antara lain
adalah :
12
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, h. 43
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, h. 18
14
Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib AlAttas, terj: Hamid Fahmy dkk, (Bandung: Mizan, cet. I. 2003), h. 160
13
7
1. Sains telah di warnai corak budaya Barat yang mencoba melepaskan nilainilai agama dari sains sehingga menyebabkan hilangnya peran agama dalam
sains.
2. Terjadi pemikiran yang dikotomistik antara agama dan sains yang
menimbulkan banyak masalah: kemanusiaan, lingkungan hingga struktur
keilmuan.
3. Masyarakan saat ini beranggapan bahwa agama dan sains adalah dua entitas
yang tidak bisa dipertemukan.
4. Di Indonesia sendiri dikotomi agama dan sains ini menjalar sebagai satu
bentuk pembedaan antara sekolah bercirikhaskan agama di bawah naungan
Kementerian Agama (Kemenag) dan sekolah umum dibawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
5. Umat Islam kontemporer terputus dengan khazanah Keilmuan Islam klasik.
6. Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara adalah dua tokoh
dari beberapa cendikiawan muslim yang berusahaha mengintegrasikan
agama dan sains.
7. Konsep
integrasi
Muhammad
Naquib
Al-Attas
berbasis
tasawuf,
menyuarakan intuisi sebagai elemen dasar pencarian ilmu pengetahuan
sedangkan Mulyadhi Kartanegara merujuk pada tradisi sains Islam klasik
yang bernuansa filosofis.
8
C. Batasan &Rumusan Masalah
Dengan mempertimbangkan alur latar belakang dan identifikasi masalah di
atas, dan untuk memudahkan menfokuskan kajian ini, penulis akan memberikan
batasan masalah pada konsep integrasi Muhammad Naquib Al-Attas dan
Mulyadhi Kartanegara meliputi persamaan dan perbedaan konsep keduanya, serta
membatasi tahun pemikiran kedua tokoh sampai tahun 2016.
Berdasarkan batasan masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pemikiran integrasi antara agama dan sains menurut
Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara ?
2. Apa perbedaan dan persamaan konsep pemikiran integrasi antara agama dan
sainsmenurut Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara ?
Karena peneletian ini bersifat komparatif maka penulis lebih menfokuskan dua
poin di atas, selain itu kenapa penulis memilih dua tokoh ini karena mereka
memiliki obyek pemikiran yang sama namun dengan konsep pemikiran yang
berbeda.
D. Tujuan Penelitian
Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi “ Konsep Integrasi Agama
dan Ilmu (Studi Komparatif Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan
Mulyadhi Kartanegara)”, bertujuan:
9
1. Mengenal dan memahami konsep pemikiran Syed Muhammad Naquib AlAttas dan Mulyadhi Kartanegara tentang konsep integrasi antara agama dan
sains secara jelas dan memadai.
2. Mengetahui perbedaan dan persamaan konsep integrasi agama dan sains
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara.
.
E. Manfaat penelian
1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
wacana tentang integrasi keilmuan.
2. Sebagai salah satu sumbangan pengetahuan, yang bisa penulis katakan
sebagai hal baru, mengingat kajian terhadap intgrasi keilmuan masih
jarang dikaji oleh banyak kalangan secara spesifik, termasukdikalangan
Fakultas Usuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Disamping itu juga penulisan skripsi ini diharapkan bisa berguna bagi
kegiatan penelitian akademik selanjutnya.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan ini untuk lebih fokus dan terarah, penulis merasa penting
untuk melakukan tinjauan pustaka sebagai bahan acuan dalam melihat perbedaan
dari tulisan-tulisan yang membahas tentang integrasi antara agama dan sains
Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara,
Penulis menemukan buku karya Hamdani berjudul Filsafat Sain,
diungkapakan di dalamnya sejarah lahirnya ilmu pengetahuan, dasar-dasar
10
filsafatnya yang disebut dengan metode ilmiah filsafat sains bagi manusia, sampai
problematika sains pada manusia dan kelestarian alam semesta.
Selanjutnya selain buku penusis juga menemukan karya akademik berupa
tesis ditulis oleh Masykur Arif mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, lulus tahun 2014.
Adapun judul tesis tersebut berjudul,Titik Temu Islam dan Sains (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Naquib Al-Attas dan Amin Abdullah), penelitian ini berisi
tentang kontruksi pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai titik temu Islam dan
Ilmu, meliputi perbedaan dan persamaannya. Di dalam penelitian ini didapatkan
temuan bahwa Muhammad Naquib Al-Attas menemukan asumsi-asumsi filosofismetafisik yang menjadi landasan sains Barat modern, dan juga menemukan
baginya Islam tidak mengenal sekuralisme, oleh ituharus berkembang sesuai
tujuan akhirnya yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan demi
kemanusian, maka Islamisasi sain sangatlah diperlukan. Sedangkan menurut
Amin Abdullah Islam mengalami kemunduran karena dikotomisasi keilmuan,
oleh karena itu relasi Islam dan sains hendaknya menggunakan relasi integrasi
inter koneksi, melaui pendekatan iterkoneksi truth claim dapat dihindari.
Tidak hanya itu penulis juga menemukan karya akademik yang ditulis oleh
Khoirul Ikhwan mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, tahun 2002 yang menulis
skripsi tentang Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Sekularisasi,
yang membahas tentang definisi sekuler, sekularisasi, sekularisme menurut
Muhammad Naquib Al-Attas, selanjutnya mengungkap timbulnya sekularisasi
dan tujuan sekularisasi serta menjelaskan sekularisme dalam perspektif Islam.
Dalam pembahasannya ia menyinggung adab tetapi hanya sepintas saja.
11
Selanjutnya penulis juga menemukan karya akademik berbentuk skripsi
yang ditulis oleh Abdul Ghofur mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Tahun 2008
tentang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas), ia membahas faktor yang melatar belakangi gagasan Islamisasi
ilmu dan juga tentang pandangan Al-Attas terhadap epistemology Islam dengan
Barat.
Penulisan karya akademik tentang Mulyadhi Kartanegara ditulis oleh
Abdullah Suntani menulis dalam sebuah Seminar Nasional bertema Integrasi
Keilmuan di Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berlangsung di
Auditorium Utama yang berjudul “Integrasi Ilmu Tak Sekedar Menyatukan Ilmu
Sekuler dan Agama”, dalam Acara Milad Fakutas Syariah dan Hukum (FSH) ke
43 pada tangal 5/5/2010.
Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan yang
di atas adalah bahwa penulis menfokuskan tulisan terhadap pembahasan mengenai
perbedaan dan persamaan konsep integrasi Islam dan ilmu Syed Muhammad
Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara agar nanti dapat ditemukan bentuk
integrasi yang ideal khususnya untuk Indonesia, dan umumnya untuk seluruh
akademika islam yang ada.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah pendekatan filosofis dengan teknik pengumpulan data
kepustakaan (library research) atau kualitatif. Adapun sumber-sumber data yang
digunakan selama penelitian ada dua ketegori, yaitu primer dan sekunder. Data-
12
data primer yang digunakan seperti karya dari Muhammad Naquib Al-Attas dan
Mulyadhi Kartanegara,Islam dan Skularisme yang diterjemahkan dari buku
aslinya yang berbahasa inggris Islam and Secularism yang diterjemahkan oleh
Karsidjo Djodosuwarno, dan juga dari buku Mulyadhi Gerbang Kearifan; Sebuah
Pengantar Filsafat Islam (2002), Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat
Islam (2002),
Menyibak Tirai
Kejahilan; Pengantar
EpistemologiIslam
(2003),Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik (2005), dan karya-karyanya
yang lain jika dibutuhkan.
Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari yang membahas
pemikiran dari Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara, serta
karya tulis yang terdapat dalam jurnal, majalah, koran atau karya tulis lainnya
yang terkait dengan tema tulisan ini
Dalam pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif-analitik,
yaitu menggunakan sumber-sumber yang ada, lalu mendeskripsikannya, kemudian
dianalisis mengenai bagaimana pemkiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan
Mulyadhi Kartanegara tentang integrasi agama dan sains sekaligus titik temunya..
Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,
2007. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddinyang diterbitkan
Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
13
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermuda pembahasan masalah dalam skripsi ini, penulis
membagimenjadi beberapa bab dan masing-masing sub-bab, yaitu sebagai berikut:
BabI
:Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, idetifikasi
masalah,batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Otobiografi Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Mulyadhi
Kartanegara, meliputi riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya serta
pemikirannya
Bab III : Pengertian dan tujuan integrasi agama dan sains meliputi langkahlangkah integrasi dan kendala integrasi
Bab IV: Membahas konsep integrasi agama dan sains menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas dan Mulyadhi Kartanegara dan selanjutnya Analisis
Komparatif konsep integrasi agama dan sains, yang meliputi persamaan dan
perbedaan.
Bab V : Penutup merupakan kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan
masalah yang ada, serta saran-saran untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II
BIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN
MULYADHI KARTANEGARA
A. Muhammad Naquib Al-Attas
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Syed Muhammad Naquib al-Attas bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin
Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 di Bogor, Jawa Barat,
Indonesia. 1 Pada waktu itu Negara Indonesia masih dalam jajahan atau tekanan
bangsa Belanda. Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakaknya bernama Syed Hussain al-Attas, mantan wakil rektor di Universitas
Malaya dan ahli di bidang sosiologi. Sedangkan adiknya, Syed Zaid al-Attas
adalah seorang insinyur teknik kimia dan mantan dosen pada Institut Teknologi
MARA.
Bila dilihat dari garis keturunannya, Naquib al-Attas termasuk orang yang
beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik ayah maupun ibu
merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya bernama Sharifah Raquan
binti Syed Muhammad al Aydarus yang masih keturunan kerabat para raja sunda
di Singaparna, Jawa Barat. Sedangkan ayahnya SyedAli al-Attas masih tergolong
bangsawan di Johor. Syed Ali al-Attas sebenarnya berasal dari Arab yang
silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal di
kalangan sayyid.
1
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), h.1
14
15
Dalam Tradisi Islam, orang yang mendapat gelar Sayyid merupakan
keturunan langsung dari Rasulullah. Wan Muhammad Daud mencatat bahwa
silsilah keluarga Naquib al-Attas dapat dilacak hingga ribuan tahun ke belakang
melalui silsilah Sayyid dalam keluarga Ba’lawi di Hadramaut dengan silsilah yang
sampai kepada Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Silsilah resmi
keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan
bahwa beliau merupakan keturunan ke-37 dari Nabi Muhammad SAW. 2
Syed Abdullah al-Attas sebagai seorang kakak Syed Naquib al-Attas
adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya di Indonesia, bahkan hingga
ke Arabia. Salah seorang pengikutnya adalah Syed Hassan Fad’ak yang pernah
dilantik menjadi penasehat agama saudara laki-laki Raja Abdullah dari Yordania
yakni Amir Faisal yang kemudian dikenal sebagai ahli hukum kontemporer.
Sedangkan neneknya, bernama Ruqayah Hanum, yang termasuk keturunan
bangsawan Turki yang sebelumnya menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik
bungsu Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895). Sultan tersebut, menikah dengan
Khadijah (adik Ruqayyah) dan menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid
wafat, Ruqayyah menikah lagi dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai
seorang anak yang bernama Syed Ali al-Attas. 3
Ketika Syed Naquib al-Attas berusia 5 tahun, ia diajak orang tuanya
bermigrasi ke Malaysia. Di sini al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar
2
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h.1-2
3
Muhammad Fathoni, “Filsafat Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Naquib Al-Attas”,
Retrieved Oktober 14, 2016, From http://dokumen.tips/documents/konsep-pendidikan-menurutnaquib-al.html
16
Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang
kurang menguntungkan yakni ketika jepang menguasai Malaysia, maka al-Attas
dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan
pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi (Jawa Barat) selama 5 tahun.
Di tempat ini al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi
Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di
Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsyabandiyah. 4
Setelah itu, pada tahun 1946 ia kembali ke Johor Baru dan tinggal bersama
paman (saudara ayahnya) yang lain lagi yang bernama Engku Abdul Aziz (kala
itu menjabat sebagai Menteri Johor Baru), lalu ikut dengan Datuk Onn yang
kemudian menjadi Menteri Besar Johor Baru yang sekaligus menjadi ketua umum
UMNO pertama. Pada tahun 1946 ia belajar di Bukit Zahrah School kemudian di
English Johor Baru (1946-1949 M). Setelah tamat dari sana ia memasuki Dinas
Tentara
sebagai
Perwira
kader
dalam
Laskar
Melayu-Inggris.
Karena
kepiwaiannya akhirnya ia pun diikutkan pada pendidikan dan latihan kemiliteran
di Eaton Hall, Chester Inggris, kemudian ke Royal Militery Academy Sandhurst
Inggris (1952-1959 M.) sampai akhirnya ia mencapai pangkat letnan. Karena
merasa bukan bidangnya, maka ia keluar dari Dinas Militer untuk selanjutnya
kuliah lagi ke Universitas Malaya (1957-1959 M.) pada Fakultas Kajian Ilmuilmu Sosial (social sciences studies), lalu ia melanjutkan lagi studinya ke McGill
4
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,
teoritis dan Praktis cet.2, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 118
17
University, Montreal, Kanada sampai mendapatkan gelar Master of Art (M.A),
dengan nilai yang membanggakan dalam bidang Teologi dan Metafisika Islam. 5
Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, Naquib alAttas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah Rangkaian Ruba’iyat.
Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua
yang sekarang menjadi karya klasik adalah Some Aspect of Sufism as Understood
and Practiced among the Malays, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian
Sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Selama yang menulis buku kedua ini demi
memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, Naquib al-Attas melanglang buana ke
seantero Malaysia dengan menjumpai tokoh-tokoh penting sufi agar bisa
mengetahui ajaran dan praktek tasawuf mereka.
Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui
Canada Counsel Fellowship memberinya beasiswa untuk belajar di Institute of
Islamic Studies, University McGill, Montreal yang didirikan oleh Wilfred
Cantwell Smith. Di universitas inilah Naquib al-Attas berkenalan dengan
beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur
Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Hossein Nasr(Iran).
6
Tahun 1962, Naquib Al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang
berjudul Raniry and the Wujūdiyyah of 17th Century Acheh. Sebelumnya ia sangat
tertarik dengan praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga
5
Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.10
6
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, teoritis
dan Praktis, h. 49
18
wajar bila tesisnya berjudul “Raniri and the Wujudiyyah”. Salah satu alasannya
adalah ia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di Indonesia
bukan dilaksanakan oleh Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam itu
sendiri. 7 Tidak lama kemudian pada tahun 1963-1964 melalui sponsor Sir Richard
Winstert dan Sir Morimer Wheeler dari British Academy ia berkesempatan untuk
melanjutkan studinya di School of Oriental and African Studies, University of
London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di
universitas ini ia juga menekuni teologi dan metafisika Islam. 8Di sinilah ia
bertemu dengan Martin Lings, seorang Profesor Inggris yang sangat berpengaruh
pada diri Naquib al-Attas, walaupun hanya sebatas tataran metodologis. Salah satu
pengaruh yang besar dalam diri Naquib al-Attas adalah asumsi yang menyatakan
bahwa terdapat integritas antara realitas metafisik, kosmologi dan psikologi.
Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Profesor Martin
Lings, Naquib al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D
(Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam
dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri
dengan predikat cumlaude. 9 Disertasi tersebut telah diterbitkan sebagai buku
dengan judul Mysticism of Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri adalah seorang
ilmwuan dan tokoh sufi yang hidup pada masa keemasannya.
7
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu,
(Bandung: Mizan,1990), h.689
8
Ismail SM, “Paradigma Pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib alAttas”dalam jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.271-272
9
Hasan Mu’arif Ambary et,al, Suplemen Ensiklopedi Islam (Jakarta: P.T. Ichtiar
Baru Van Hoevoe, 1995), h.78
19
Sekembalinya dari Inggris, al-Attas mengabdikan dirinya di almamaternya
dulu, yaitu Universitas Malaya, sebagai dosen tetap. Maka, sejak itulah ia mulai
menunjukkan kehebatan dan kecemerlangannya. Pada tahun 1968-1970 ia
menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu, saat
itu ia sempat merancang dasar-dasar bahasa Malaysia untuk fakultas Sastra. Ia
termasuk salah seorang pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun
1970. Kemudian pada tahun 1970-1973 ia menjabat Dekan Fakultas Sastra, dan
pada tanggal 24 Januari 1972 dikukuhkan sebagai professor Bahasa dan
Kesusastraan Melayu, dengan membacakan pidato ilmiah dengan judul: ”Islam
dalam sejarah dan kebudayaan Melayu”.
Otoritas kepakaran al-Attas dalam berbagai bidang itu, seperti filsafat,
sejarah dan sastra telah diakui oleh dunia internasional, seperti pada tahun 1970 ia
dilantik oleh para filsuf Amerika Serikat sebagai International Member American
Philosophical Association. Al-Attas juga pernah diundang ceramah di Temple
University Philadelphia, Amerika Serikat dengan topic Islam in Southeast Asia:
Rationality
Versus
Iconography
(September
1971)
dan
di
Institut
Vostokovedunia, Moskow, Rusia, dengan topik “The Role of Islam in History of
Culture of the Malays” (Oktober 1971). Juga pernah menjadi pimpinan panel
bagian Islam di Asia Tenggara dalam XXIX Congres International des Orientalis,
Paris (Juli 1973). Kemudian ia pun rajin menghadiri kongres seniman
Internasional sebagai tenaga ahli panel mengenai Islam, filsafat, dan kebudayaan,
baik yang diadakan oleh UNESCO, maupun badan-badan ilmiah dunia lainnya.
20
Ia juga ikut mengembangkan pemikirannya untuk pendirian Universitas
Islam kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jeddah, Saudi Arabia, bahkan
terlaksananya konferensi tentang pendidikan Islam sedunia I di Makkah tersebut
diilhami oleh gagasan al-Attas yang menyatakan bahwa persoalan yang paling
urgen dihadapi umat Islam saat ini adalah persoalan ilmu pengetahuan.
Gagasannya ini di tuangkannya ke dalam surat yang dikirimnya ke sekretariat
Islam di Jeddah tertanggal 15 Mei 1973. Ia juga menjabat sebagai Direktur
Institut Pemikiran dan Tamaddun Islam (The Institut of Islamic Thought and
Civilization/ ISTAC) Malaysia yang di badaninya sendiri kelahirannya sejak
lama, sebagai perwujudan dan obsesi atau cita-cita intelektualnya.
Pada tahun 1975, kerajaan Iran memberikan anugerah tertinggi dalam
bidang ilmiah sebagai sarjana akademi falsafah maharaja Iran, fellow of the
Imperial Iranian Academy of Philosophy. Al attas pun pernah diangkat menjadi
anggota di berbagai badan ilmiah internasional lainnya, seperti:
1. Member of International Congress of the VII Centenary of St. Thomas
Aquinas.
2. Member of International Congress of the VII Centany of St. Bonaventura
da Bognaregia.
3. Member Malaysia Delegate International Congress on the Millinary of alBiruni.
4. Principal Consultant World of Islam Festival Congress.
5. Sectional Chairman for Education World of Islam Festival Congress.
21
Pada Konferensi Islam sedunia I, Al-Attas sebagai pemakalah utama dengan
judul: “Preliminary Thought on The Nature of Knowledge and the Definition and
Aims of Education”. Maka pada konferensi kedua di Islamabad, Pakistan pada
tanggal 15 -20 Maret 1980, ia kembali mengulang dan mengelaborasi
pemikirannya. 10
2. Karya-karya
Unsur yang paling penting yang dapat di jadikan sebagai dasar dalam
mempertimbangkan kualitas dan bobot serta keilmuan seseorang adalah terletak
pada karya-karya yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk tulisan maupun
lain sebagainya, dari kualitas, maupun kuantitas.
Ditinjau dari prespektif ini, maka Al-Attas tergolong kepada intelektual
yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan dalam
berbagai bidang keilmuan, yang jumlahnya mencapai sekitar 22 buah dengan 30
makalah.
Adapun karya-karya al-attas tersebut yang antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Rangkaian Ruba’iyyat, Kuala Lumpur: Dewan dan Pustaka, 1959.
2. Some Aspect of Sufism as Understood and Practical among the
Malays, Singapore: MSRI, 1963.
3. The Origin of the Malay Shair, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1968.
10
Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h.11-13.
22
4. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ABIM, 1978; untuk edisi
Indonesia diterbitkan Bandung: Pustaka, 1981.
5. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic
Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ABIM, 1980.
6.
Islam, Secularism and Philosophy of the Nature, 1985.
7. Islam and the Philosophy of Science, 1989; sedangkan untuk edisi
Indonesia dengan judul Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzami,
Bandung: Mizan, 1995. 11
8. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1995. 12
Dan masih banyak lagi karya-karya beliau, samping itu kebanyakan karyanya
sudah diterjemahkan dalam beberapa bahasa yang antara lainnya seperti: Jerman,
Perancis, Arab, Urdu, Turki, Persia, Korea, Jepang, Indonesia, dan lain-lain.
3. Pemikiran
a) Kebebasan Manusia
Manusia merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan, sehingga
sebelum berbicara tentang pendidikan maka sangat penting sekali untuk
membahas
tentang
manusia.
Manusia
sering
disebut
sebagai
makhluk
monodualistik, karena manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh;
11
Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas h.16-17.
12
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 10-13
23
artinya makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. 13 Jadi jelas, menurut Al Attas
bahwa diri berkaitan erat dengan jasad dan ruh. Oleh karena itu pada satu sisi, ia
dianggap jiwa rasional (al-nafs al-natiqqah) ketika berhubungan dengan ruh dan
pada sisi lain, sebagai jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyyah 14) ketika
berberhubungan dengan jasad. Pilihan dan sikap manusia bergantung aspek mana
yang menjadi perioritas utama sehingga inilah yang akan menentukan nasib akhir
yang akan mereka terima, baik di dunia yang terbuka ini maupun nanti di
akhirat. 15 Sedangkan menurut Munir Mulkhan Al-nafs mempunyai dua daya
sebagai sebuah bagian kesempurnaan manusia yaitu daya berfikir yang disebut
akal yang berpusat dikepala dan daya rasa yang berpusat di kalbu. 16 Kedua daya
inilah, yang membuat manusia mempunyai kebebasan untuk mengelola diri,
lingkungan dan alam kehidupannya.
Menurut Al-Attas manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud
jasmaniah dan ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah
mengatur jagad. Dia terpadukan sebagai satu kesatuan, dan dengan adanya saling
keterkaitan antara fakultas ruhaniah dengan fakultas jasmaniah serta inderanya, ia
membimbing dan memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. 17 Sehingga dia
mendefinisikan manusia sebagai “al-Hayawanun Nathiq” yang dalam hal ini
Nathiq diartikan rasional sehingga manusia sering disebut “binatang rasional”.
Manusia mempunyai fakultas batin yang merumuskan makna-makna dan
13
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 94
14
Naquib Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah ; King Abdul
Aziz University), 1979, h. 25
15
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Pendidikan Islam
dan Dakwah, (Yogjakarta ; Sipress), 1993. h. 136.
16
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung ; Mizan), 1996, h.37
17
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 85-86
24
perumusan makna yang melibatkan penilaian, pembedaan, dan penjelasan inilah
menurut Al Attas yang membentuk rasionalitas. 18
Dalam konteks bahwa manusia mempunyai kebebasan, Al Attas
menyatakan bahwa ketika manusia mengambil atau memilih untuk menerima
amanah 19 itu, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa
memiliki kebebasan untuk memilih yang sebaliknya. Artinya setiap orang sudah
menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut. Al Attas
menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi pada saat itu. Jadi menurut Al Attas,
walaupun manusia diberi kemampuan untuk mengikuti atau menolak perintah
Allah SWT yang termaktub dalam hukum agama (syariat), manusia tetap tidak
bisa menolak kehendak Allah SWT. 20
b) Islamisasi Ilmu
Gagasan Islamisasi Ilmu yang menurutnya merupakan bagian dari
“revolusi epistemologis”. Karena menurut Al Attas sejarah epistemologis
Islamisasi Ilmu adalah berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari keraguan,
prasangka, dan argumentasi kosong menuju pencampaian keyakinan dan
kebenaran mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material. 21
Islamisasi Ilmu merupakan pembebasan manusia atau individu dari
takhayul dan kekangan sekularisme agar manusia kembali ke fitrah insaniahnya.
Ada beberapa realitas yang menjadi dasar gagasan ini diantaranya adalah
18
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 37
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 100
20
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 102
21
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 336
19
25
bergesernya peradaban Islam ke Barat dan didominasi serta hegemoni
pengetahuan yang dilandasi kebudayaan dan peradaban Barat yang tersebar
seluruh kehidupan umat manusia di dunia termasuk umat Islam. Al Attas
menjelaskan bahwa Ilmu pengetahuan itu tidak ada yang bersifat netral atau bebas
nilai. Sehingga Ilmu pengetahuan yang tersebar di seluruh belahan dunia tidak
bisa lepas dari corak dan budaya Barat. Atau dengan kata lain telah terjadi
deislamisasi.
Bagi Al-Attas peradaban Barat telah kehilangan hakekat sehingga
mengacaukan hidup manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan. Karena
pengetahuan mereka didasarkan pada skeptimisme lalu di Ilmiahkan dengan
metodologi. 22
Secara ringkas, gagasan Islamisasi merupakan upaya dekonstruksi
terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian di dekonstruksi ke dalam sistem
pengetahuan Islam. Atau upaya “desekularisasi” ilmu yang dilandasi dengan
epistemologi Islam. Desekularisasi berarti kita perlu membersihkan unsur-unsur
yang menyimpang sehingga ilmu pengetahuan yang ada benar-benar “Islamic”.
Al Attas menjelaskan dalam Islamisasi pengetahuan harus dimulai dari
Islamisasi bahasa. Atau Islamisasi harus diawali dari mengislamkan simbolsimbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran. 23 Dari bahasa inilah
menurutnya yang dapat mempengaruhi akal dan cara berfikir seseorang.
22
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 336
23
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, h. 317
26
Berangkat dari akal dan cara berfikir atau cara pandang inilah landasan untuk
memulai Islamisasi.
Konsep Islamisasi ini menurut Al-Attas harus dibangun dan dibina di atas
satu kerangka filsafat, metafisika dan epistemologi menurut pandangan Islam.
Untuk menopang hal ini maka harus didukung pemahaman terhadap tradisi
keilmuan Islam seperti tasawuf, kalam, teologi. Pemahamannya yang cukup kuat
terhadap tradisi melayu dan Indonesia dan dipraktekkan langsung dalam
universitasnya
(ISTAC) semakin
menegaskan
bahwa
konsep
Islamisasi
Pengetahuan Al Attas adalah sebuah konsep yang operasional, di mana konsep
Islamisasi sampai hari ini cukup memberikan warna dalam corak pemikiran Umat
Islam.
c) Pendidikan Islam
Keberagaman khasanah pemikiran Islam, juga membawa perbedaan para
pemikir di dalam menggunakan istilah pendidikan Islam. Ada menggunakan
istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
istilah ta’dib lebih tepat untuk mengartikan pendidikan Islam. 24
Menurut Al-Attas, ada beberapa kosa kata yang merupakan konsep kunci
untuk membangun konsep pendidikan yaitu: makna (ma’na), ilmu (‘ilm), keadilan
(‘adl), kebijaksanaan (hikmah), tindakan (‘amal), kebenaran atau ketepatan sesuai
dengan fakta (haqq), nalar (Nathiq), jiwa (nafs), hati (qalb), pikiran (‘aql), tatanan
24
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam, h.64
27
hirarkhis dalam penciptaan (maratib dan darajat), kata-kata, tanda-tanda dan
simbol-simbol (ayat) dan interpretasi (tafsir dan ta’wil) 25
Adapun konsep kunci yang merupakan inti pendidikan dan proses
pendidikan adalah Adab. Karena Adab adalah disiplin tubuh, jiwa, dan ruh yang
menegaskan pengenalan dan pengakuan mengenai posisi yang tepat mengenai
hubungannya dengan potensi Jasmani, intelektual dan ruhaniyah. 26 Adab diartikan
juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, yakni pencapaian sifat-sifat yang baik oleh
pikiran dan jiwa untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru,
yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari kehinaan. 27
Istilah ta’dib adalah paling tepat untuk mengartikan pendidikan Islam,
karena ta’dib sasaran pendidikannya adalah manusia. Adapun Pendidikan itu
meliputi unsur pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Ketiga unsur
tersebut sudah masuk dalam konsep ta’dib. Menurut Al-Attas, ta’dib merupakan
bentuk mashdar dari addaba yang berarti memberi adab atau pendidikan. jadi
adab yang diturunkan dari akar yang sama dengan ta’dib diartikan sebagai lukisan
(masyhad) yang mampu member contoh yang baik, karena pada akhirnya nanti
akan berahir pada pengakuan atas berbagai pelajaran baik (maratib) dalam tata
tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan dan perbuatan
yang sesuai dengan
pengakuan itu. 28
25
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam, h.64 h. 52
26
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam, h.64h. 52-53
27
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam, h.64 h, 53
28
Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), Pustaka,
Bandung, 1981, h 221
28
Mengingat makna pengetahuan dan pendidikan hanya berkenaan dengan
manusia saja dan lebih luas adalah masyarakat, maka pengenalan dan pengakuan
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan mesti
paling utama diterapkan pada pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri
tentang tempatnya yang tepat yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam
kehidupan
sehubungan
dengan
dirinya,
keluarganya,
kelompoknya,
komunitasnyadan masyarakatnya, serta kepada disiplin pribadinya di dalam
mengaktualisasikan dalam dirinya pengenalan dan pengakuan. Hal ini berarti
bahwa dia mesti mengetahui tempatnya di dalam tatanan kemanusiaan yang mesti
dipahami sebagai teratur secara hirarkhis dan sah ke dalam berbagai derajat
(darajat) keutamaan berdasarkan kriteria Al-Qur’an tentang akal, ilmu dan
kebaikan (ihsan) dan mesti bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan cara
yang positif, dipujikan dan terpuji. Pengenalan diri pribadi yang dipenuhi dalam
pengakuan diri inilah yang didefinisikan di sini sebagai adab. Apabila kita berkata
bahwa pengakuan merupakan unsur fundamental dalam pengenalan yang benar,
dan bahwa pengakuan tentang apa-apa yang dikenali inilah yang menjadikan
pendidikan. 29
Tujuan pendidikan menurut Al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Ismail SM
bahwa tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan
dalam diri sendiri sebagai manusia maupun sebagai diri individu. Ismail SM
menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah lebih berorientasi pada
29
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, , h 62-63
29
Individu. 30 Al Attas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah
untuk membentuk dan menghasilkan manusia yang “baik”. Baik dalam konsep
manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yakni meliputi kehidupan
material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia, telah
mengikat perjanjian (mitsaq) individual secara kolektif dengan Tuhan serta telah
mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan. Hal ini berarti bahwa sebelum
manusia memperoleh bentuk jasmaniah ia telah dilengkapi dengan kemampuan
ilmu pengetahuan ruhaniah. 31
Dengan demikian tujuan pendidikan muslim adalah menciptakan manusia
yang baik dan berbudi luhur, yang menyembah Allah dalam pengertian yang
benar, membangun struktur kehidupan dunia sesuai dengan syari’ah dan
melaksanakan untuk menjunjung imannya. 32 Kalau di lihat secara cermat dari
konsep pendidikannya Al Attas, maka tujuan akhir pendidikan adalah membentuk
manusia paripurna.
B. Mulyadhi Kartanegara
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Mulyadhi Kartanegara lahir pada 11 Juni 1959 M di lingkungan religius
(pesantren) kampung Dukuh Kecamatan Legok di arah Selatan kota Tanggerang.
Adapun pendidikan formalnya, setelah tamat SDN Legok (1971), berlanjut belajar
di sekolah PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) di Tanggerang (1972-1975).
30
Ismail SM, “Paradigma Pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib alAttas”dalam jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, h 283
31
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h 55
32
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 85
30
Setelah merasa bosan sekolah di PGAN dan pindah keluar daerahnya di sekolah
SP (Sekolah Persiapan) IAIN di Ciputat. Dibandingkan dengan sekolah
sebelumnya, selama dua tahun di SP IAIN telah membawanya pada
perkembangan intelektual yang lumayan. Tahun 1977 sewaktu berumur 18 tahun
beliau telah mempunyai karya tulis sebagai tugas akhir untuk kelulusan dari SP
IAIN yang berjudul Menuju Jalur Kehidupan. Pada tahun 1978 Mulyadhi
diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan mendapat gelar Drs (1984). Ia mendapat tugas dari Departemen
Agama RI untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri (1986), dengan beasiswa
dari Ford Foundation untuk English International Course di Davis California,
dan Fullbright Foundation Scholarship untuk program Master di University of
Chicago, USA. Gelar master diraih pada tahun 1989 dengan tesis The Mystical
Reflection of Rumi. Pada tahun 1996 Mulyadhi meraih gelar Doktor dari
universitas yang sama dengan judul disertasi The Mukhtasar Siwân al-Hikma of
‘Umar B. Sahlân al -Sâwî Arabic Text and Introduction, yang berisi sekitar 1000
kata mutiara dari 60 filsuf Yunani dan 13 filsuf Muslim.
Berkenaan dengan profesi atau karir yang dijalaninya, Mulyadhi aktif
mengajar di berbagai Perguruan Tinggi dan Universitas, antara lain: Program
Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Islamic College for Advanced
Studies (ICAS) cabang London, Universitas Paramadina Jakarta, Universitas
Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), STT Apostolos, dan
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarya. Selain itu, juga aktif sebagai Direktur di
Center for Islamic Philosophichal Studies and Information (CIPSI) Jakarta. Tahun
31
2001-2003,dan
juga
menjabat
sebagai
Direktur Pelaksana di
Program
Pascasarjana: Pusat Kajian Agama Lintas Budaya UGM Jakarta. 33
2. Karya-karya
Unsur yang paling penting yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam
mempertimbangkan kualitas dan bobot serta keilmuan seseorang adalah terletak
pada karya-karya yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk tulisan maupun
lain sebagainya, dari kualitas, maupun kuantitas.
Ditinjau dari prespektif ini, maka Mulyadhi tergolong kepada intelektual
yang sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya berupa tulisan dalam
berbagai bidang keilmuan.
Adapun karya-karya Mulyadhi tersebut yang antara lain adalah sebagai
berikut;
1. Renungan Mistik Jalâl al -Dîn Rum i(Pustaka Jaya,1986)
2.
Sejarah Filsafat Islam, terj. (Pustaka Jaya, 1987),
3.
Moslem Scholar
4.
Biologi dan Fisika (Departemen Agama, 1998),
and
Heros (MSSG
Chicago,
1994),
5. The Venture of Islam II, (terjemahan, Paramadina, 2002), Menembus
Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam (Mizan, 2002),
6. Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (UIN Press, 2003),
Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam (Mizan,
2003),
33
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Arasy,Mizan.2005), h. 7
32
7. Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik (Arasy Mizan, 2005),
8.
Seni Mengukir Kata; Kiat-kiat Menulis Kreatif dan Efektif (Mlc, 2005),
Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Ilsam (Lentera Hati,
2006),
9.
Menyelami Lubuk Tasawuf (Erlangga, 2006),
Selain aktif menulis, dan berpartisipasi dalam berbagai seminar, dalam maupun
luar negeri, ia juga termasuk rajin menyajikan kuliah jejaring sosial (facebook),
terutama kuliah di bidang tasawuf dan filsafat
3. Pemikiran
Mengetahui pemikirannya dari karya-karyanya sangat penting untuk bisa
membuka pengetahuan kita tentang sosoknya. Mulyadhi Kartanegara telah
menulis sejumlah buku dalam rangka mengembangkan pemikirannya dan juga
membagikan setiap ilmu yang dimilikinya, antara lain tentang:
1. Tuhan
Bagi Mulyadhi ke-Esa-an Tuhan tercermin dalam kesatuan perintah (amr)
yang mengendalikan kosmos, dan memang kenyataannya hanya ada satu sistem
yang berlaku pada alam semesta dalam suatu saat. Alam semesta masih eksis
sampai sekarang menunjukkan hanya ada satu sistem kontrol, bukan sebaliknya
yang memang tidak terbukti secara ilmiah. 34 Tuhan tidak jauh, impersonal, dan
sibuk memikirkan dirinya sendiri sebagaimana Neoplatonis, melainkan Tuhan
yang akrab, mengetahui, sekaligus perhatian terhadap kelangsungan dan
34
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan
Alam, (Jakarta: Erlangga. 2007), h. 3-4
33
kesejahteraan makhluk-Nya. 35 Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang, walau
pun jika Dia ingin melakukan hal tersebut maka tiada kekuatan yang mampu
menghalangi-Nya. 36 Tuhan tidak butuh sesuatu dari makhluk, kewajiban yang
dipikulkan kepada manusia dan jin tidak menyiratkan ada kepentingan-Nya disitu.
Tuhan adalah al-Ghanî (Maha Kaya) dan selain-Nya adalah al-Faqîr (yang butuh)
kepada-Nya. 37
Dalam kaitannya dengan alam, Tuhan adalah transenden sekaligus imanen.
Dia transenden karena mengatasi atau melampaui alam dan tidak identik dengan
alam. Namun, Tuhan juga imanen karena kehadirannya dapat dirasakan di manamana tanpa harus bersifat berbilang. Dia bagaikan matahari yang bisa dilihat
diberbagai tempat di muka bumi ini dan akan dirasakan kehadiran-Nya, tetapi
tanpa harus sama dengan bumi ataupun berbilang. 38
2. Manusia
Selain sebagai makhluk fisik, manusia juga makhluk spiritual yang
ditiupkan roh Tuhan ke dalam dirinya, sehingga dibandingkan makhluk lain,
manusia bisa menerima wahyu, ilham, meneruskan hidup setelah kematian,
melakukan perenungan abstrak, dan mengetahui sesuatu yang ma’qūlāt. Dengan
demikian, manusia menempati posisi yang unik antara alam semesta dan Tuhan
yang memungkinkan ia bisa berkomunikasi dengan keduanya. Ia semacam
35
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan
Alam, h. 4-5
36
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan
Alam, h. 5
37
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan
Alam, h. 6
38
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan
Alam, h. 7
34
“astrolab” yang akan tersingkap ketersembunyian rahasia Tuhan dalam bentuk
simbolis. Manusia adalah makhluk dua dimensi yang sempurna, dan di antara
seluruh manusia, Muhammad SAW adalah contoh manusia sempurna. Selain itu,
hanya manusia yang memiliki jiwa rasional (dibandingkan dengan hewan
lainnya), sehingga ia mampu mengambil premis rasional yang berguna untuk
membimbing, mengatur, dan menguasai daya dari jiwa yang lebih rendah. Atas
beberapa keistimewaannya manusia disebut sebagai khalîfah. Dengan perannya
sebagai khalîfah, manusia dikaruniakan kebebasan dan ilmu pengetahuan. 39
3. Alam
Alam semesta dan makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk
mencintai dan dicintai adalah ciptaan Allah. 40 Alam adalah tanda-tanda (āyāt)
Allah, oleh karena itu alam semesta bukanlah realitas terakhir sebagaimana
disangkakan para ilmuwan alam yang ateis dan sekular. Alam semesta diciptakan
dengan tidak melalui keniscayaan sebagaimana dikatakan kelompok Neoplatonis,
tetapi ia diciptakan melalui kehendak bebas-Nya dan terencana. Alam semesta
tidak abadi sebagaimana disangkakan oleh Aristoteles, al-Fārābî, maupun Ibn
Sînā. Alam dicipta dari tiada (creatio ex nihilo) seperti diasumsikan para teolog
(mutakallimūn) dan didukung oleh teori fisikal astronomi modern seperti yang
dikembangkan oleh Huble dengan teori big bang-nya. Sejak kejadian pada
peristiwa big bang, alam semesta berkembang secara rentetan evolitif yang
39
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan
Alam, h. 12-14
40
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006),
h. 273
35
perlahan. Dalam perkembangan yang perlahan ini, maka teori yang cocok
menurut Mulyadhi adalah yang dikemukakan oleh Mullā Shadrā sebagai “gerak
taran-substansial” (al-Harakah al-Jauhariyyah), yakni perubahan menuju ke arah
lebih sempurna, bukan hanya pada level aksiden, tetapi juga substansial. Dan ini
tercermin pada perubahan gas hidrogen menjadi kerak bumi yang keras di atas
mana kita hidup. Gerak evolutif ini pun terjadi pada bumi atau yang biasa disebut
“evolusi geologis”. Selain evolusi geologis ini, juga terjadi sebagai konsekuensi
logisnya, evolusi pada tingkat biologis, sebagaimana yang dikemukakan Rumî,
Miskawaih, dan Darwin 41
Alam semesta diatur melalui sunah Allah, bukan hukum alam (natural law).
Sunnah Allah berbeda dengan hukum alam, sunah Allah mengizinkan kreatifitas
sementara hal ini tidak terjadi pada hukum alam, apalagi hukum alam ala Newton
yang mekanistik. Sunnah Allah adalah kebiasaan (al-Ghzzâlî menyebutnya adat)
atau cara Allah dalam menyelenggarakan alam, sehingga kemungkinan mukjizat
dapat mengambil tempat, tidak seperti hukum alam yang sangat sulit bagi
mukjizat untuk mengambil tempatnya. Jika hukum alam mengandaikan sebuah
aturan yang tidak mungkin dilanggar, maka dalam sunah atau adat pelanggaran
kebiasaan bukan sebuah kemustahilan. Justru karena adanya pengecualian itulah
adat menjadi adat, bukan sebuah aturan yang tidak bisa diubah. 42
4. Tasawuf
41
42
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 8-9
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam, h. 9
36
Pengaruh modernisasi begitu berarti setelah sains modern beserta
teknologinya mengambil pandangan sekuler khususnya positivisme ala Comte
sebagai dasar filosofisnya. Sehingga manusia modern dalam berbagai bentuknya
naturalisme, materialisme, positivism mengalami krisis spiritual. 43Mereka
menolak dunia nonfisik yang diyakini adanya oleh para sufi. Krisis spiritual pada
gilirannya menimbulkan disorientasi yaitu dalam perspektif sufistik kehilangan
arah mau ke mana bahkan asalnya dari mana. Sehingga hanya berkutat di satu
dunia ini saja, seakan tidak punya asal dan tempat untuk kembali (disoriented).
Ketika berinteraksi dengan alam sekitar, yang diperhatikan adalah aspek biofisik
dan ekonomis, tidak memperhatikan aspek nonfisik (spiritual), akibatnya
menimbulkan krisis ekologis yang mengganggu ekosistem alam sampai taraf
mengkhawatirkan, ini hanya terjadi pada masa modern. 44
Tasawuf dalam pandangan Mulyadhi berpotensi untuk menyembuhkan
penyakit manusia modern tersebut. Secara potensial maupun aktual, tasawuf dapat
mengarahkan manusia modern yang telah kehilangan orientasi dan memberikan
pengertian komprehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. 45 Sedangkan
krisis ekologis, tasawuf dapat mengajarkan bahwa alam bukanlah objek mati yang
bisa dieksploitasi semaunya tanpa hormat, melainkan alam adalah makhluk hidup
yang memiliki kemampuan mencintai dan dicintai, maka tasawuf bisa dijadikan
sarana pencerahan hakikat alam semesta, sehingga manusia memperlakukannya
secara santun dan penuh cinta. 46
43
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 264
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h 268
45
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf , h. 172
46
Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf; Sebuah Pengantar,
(Jakarta: Ushul Press, cet. I. 2009), h. 132
44
BAB III
PARADIGMA INTEGRASI AGAMA DAN SAINS
A. Pengertian dan Tujuan Integrasi Agama dan Sains
Membicarakan tentang integrasi agama dan sains berarti berupaya untuk
memadukan antara sains dan agama untuk menciptakan format baru hubungan sains
dan Islam dalam upaya membangun kembali sains Islam yang selama ini dipandang
tidak ada.
Agama dan sains berbeda dalam metodologi ketika keduanya mencoba untuk
menjelaskan kebenaran. Metode agama umumnya bersifat subyektif, tergantung pada
intuisi/pengalaman pribadi dan otoritas nabi/kitab suci. Sedangkan sains bersifat
obyektif, yang lebih mengandalkan observasi dan interpretasi terhadap fenomena
yang teramati dan dapat diverifikasi. 1
Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk menjadikan ajaran
agama Islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan lil’alamin. Bagi komunitas
Muslim, Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradaban secara
menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan
manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk di
dalamnya ilmu pengetahuan. 2 Sedangkan yang terjadi pada intelektual spiritual Barat,
menurut Hossein Nasr, itu disebabkan karena Barat telah menduniawikan
1
Iis Arifudin, Integrasi Sains dan Agama serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam,
Volume 1, Nomor 1, Desember 2016/1438
2
Nasim Butt, Science and Muslim Society, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sains dan
masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 h, 69
37
38
(mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak dengan yang metafisik.
Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang berbeda.
Salah satu implikasi di atas memunculkan banyak reaksi dari beberapa pihak,
sains modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi kalangan pendidikan Islam,
kemudian, hal ini menjadi isu yang besar: yakni dikotomi agama dan sains. Isu ini
hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya kesadaran di kalangan
dunia Islam yang dihadapkan dengan sains modern. Yakni model pengkajian alam
semesta yang dikembangkan oleh filosof dan Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh
belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di wilayah teknologi. 3
Istilah Islamisasi untuk pertama kali sangat populer ketika Konferensi Dunia
yang pertama kali tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada
April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang
bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya. 4 Islamisasi
dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan
tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas.
Sedang Islamisasi dalam kontek sains adalah suatau upaya integrasi wawasan
objek sains yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi kehidupan kaum
Muslimin.5 Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut dilakukan dengan
3
Osman Bakar, “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic
Science, diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 h.214
4
Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990) ,
h. 867
5
A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), h.
86
39
cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan melakukan
eliminasi,
perubahan,
reintrepetasi,
dan
penyesuaian
terhadap
komponen-
komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrdview Islam), serta menetapkan
nilai-nilainya. Dengan demikian usaha integrasi ini, bagi umat Islam tidak perlu
berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan khazanah
Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena terdapat
beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan modern.
Bagi Osman Bakar, integrasi sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model
alternatif bagi sains modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang
mencakup alam semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam. 6
Beberapa prinsip dalam Islam di antaranya sebagai berikut :
1. Kajian tidak ditujukan kepada kepentingan praktis, tetapi didelegasi untuk tujuantujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan ini akan mampu
menghantarkan umat pada peningkatan iman kepada Tuhan yang menciptakan
ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut.
2. Melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme.
Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius secara
diferensial.
6
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science, h.
214-235
40
3. Semua sumber pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-qur’an di
samping fenomena alam. 7
Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling melengkapi (complentary),
yang pada tahap selanjutnya membutuhkan pada susunan langkah-langkah praktis
dalam usaha integrasi agama dan sains
Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah
sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk.
Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar
Peradaban, membagi dua masalah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif
dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif
bersifat konkret dan radikal,
biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan
urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah
kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai
pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan. 8
Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan
perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis
sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari
kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampaisampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya.
Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja
untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri.
7
8
Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan” , Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991) , h. 58
Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007) cet.I hal 216
41
Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan hanya
sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.
James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human Direction,
adalah ilmuan yang bependapat bahwa fenomena sekuleristik ini telah menjadi
kecenderungan umum masyarakat modern. Menurut keduanya, masa depan manusia
adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan menjadi impersonal.
Jika dilacak, munculnya
kecenderungan masyarakat modern kearah
sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang
kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang
diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak
rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan halhal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak sadar
telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari hal-hal
mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada jaringan
sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis. Jika sudah
demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn moral dan
kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai Ilahiyah
(Transenden). 9
Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran
berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial Society
dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi yang
9
Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217
42
serba mekanis dan otomatis bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun,
justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa kebermaknaan
hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup yang dihasilkan
iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari
ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan keagamaannya meluncur pada
post-Cristian Era dengan mengembangkan pola hidup sekulerisasi. Mereka berpaling
dari “dunia sana” dan hanya memusatkan pada “disini dan sekarang ini”. Karena
mereka memuja kemakmuran material yang disimbolkan dengan penguasaan uang,
maka agama paling dominan dalam kehidupannya diistilahkan dengan The Religion
of Money.10
Kita menyadari fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum
mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai
Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur dan
rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat Islam
mengeksploitasi
ajarannya
demi
memuluskan
kepentingan
pribadi
maupun
golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran
pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat
Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam
diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini
berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin
dan pemersatu umat menjadi tereduksi.
10
Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 218
43
B. Langkah-Langkah Integrasi Agama dan Sains
Ketika mengeluarkan suatu ide besar yang dikemukakan oleh para intelektual
atau ilmuwan pasti ada suatu cara maupun langkah-langkah yang harus dilakukan
agar tercapai suatu hal yang diinginkan. Dengan begitu penulis mengambil salah satu
langkah dari tokoh yang memiliki konsep tentang integrasi. Ismail Raji Al-faruqi
sebagai tokoh pemabaharu Islam yang membahas tentang integrasi agama dan sains
memberikan suatu langkah-langkah yang sistematis untuk mencapai ide tersebut,
diantaranya 11:
1.
Penguasaan Disiplin Ilmu Modern : Penguraian Kategoris mengenai
disiplin-disiplin ilmu dalam kemajuannya di zaman sekarang harus dipecah menjadi
kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema, dan
tema-tema yang mencerminkan daftar isi dalam sebuah buku teks (pelajaran) dalam
bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan
2. Survei Disiplin Ilmu : Apabila kategori-kategori disiplin ilmu telah dipilahpilah, maka suatu survei secara menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu,
seperti mengenai asal-usul dan perkembangannya serta pertumbuhan metodologinya,
perluasan cakrawala wawasannya, sumbangan-sumbangan pemikiran yangberikan
oleh para tokoh utama, memberikan bibliografi dengan singkat, dan mencantumkan
11
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka,
1984), h.98-118
44
karya-karya tepenting. Langkah-langkah ini diperlukan bagi para sarjana-sarjana
Muslim agar mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern
3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi di langkah yang ketiga ini,
sebelum kita mengetahui secara jauh ilmu-ilmu pengetahuan modern diperlukan
penguasaan ilmu-ilmu ilmiah warisan para ilmuwan Islam dari nenek moyang kita.
Hal itu diperlukan karena sebagai titik awal usaha yang dilakukan untuk
mengIslamkan ilmu-ilmu modern.
4.
Penguasaan Khasanah Ilmiah Islam Tahap Analisa apabila antalogi-
antalogi sudah disiapkan dengan baik, maka langkah selanjutnya yang harus diambil
untuk memahami warisan ilmu-ilmu Islam adalah melakukan suatu analisa sesuai
dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masa kini atau sesuai dengan
perspektif dari masing-masing bidang keilmuan
5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu ari
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pemikir Islam terdahulu, secara
bersamaan telah memfokuskan permasalahan pada perkembangan ilmu pengetahuan
yang dikaitkan dengan khasanah keIslaman. Maka dari itu, relevansi khasanah Islam
menurut Al-Faruqi bisa dilakukan dengan mengajukan tiga persoalan, yaitu:
a. Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari alquran hingga
ke pemikiran-pemikiran kaum modernis masa kini kepada seluruh
permasalahan yang telah dicakup oleh disiplin ilmu modern?
b. Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil
yang dicapai oleh ilmu-ilmu Barat tersebut, atau sampai dimanakah
45
tingkat pemenuhan, kekurangan serta kelebihan khasanah Islam itu
dibandingkan dengan wawasan dan ruang lingkup disiplin ilmu Barat
modern tersebut
c. Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau
bahkan tidak diperhatikan sama sekali oleh warisan ilmu-ilmu Islam,
ke arah manakah kaum Muslim harus mengusahakan untuk mengisi
kekurangan itu, kemudian merumuskan kembali permasalahanpermasalahan yang dihadapi dan memperluas visi disiplin ilmu
tersebut
6. Penilaian Kritis Terhadap Ilmu Modern: Tingkat perkembangan dan masa
kini
Setelah menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh ilmu modern
dan ilmu-ilmu warisan Islam mulai dari metodologi, prinsip, tema, permasalahan dan
hasil-hasil yang telah dicapai harus diidentifikasi, disurvei dan di analisa, dan setelah
relevansi Islam telah dijelaskan dan ditegaskan. Langkah selanjutnya yang harus
dilakukan adalah memberikan suatu penilaian (baik dalam hal perbaikan, penabahan,
perubahan atau ada suatu yang dihapus) terhadap disiplin ilmu serta memberikan
suatu analisa yang mendalam dilihat dari sudut pandang Islam.
C. Faktor Penghambat dan Pendukung Integrasi Agama dan Sains
Usaha-usaha yang dilakukan para pakar ilmuwan Muslim dengan berbagai
upaya yang dilakukan menghasilkan berbagai gagasan yang terkonsentrasikan pada
46
usaha integrasi agama dan sains. Berbagai macam faktor pendukung diupayakan
pengamatan dan penelitian tentang berbagai faktor yang ditimbulkan seiring dengan
semakin pesatnya kemajuan peradaban Barat.
Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai
peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada dalam
krisis. Padahal, berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara tentang sains
modern dan penerapannya. Memang, kedengarannya agak berlebihan, tapi dalam
kenyataannya sains modern bisa menerangkan berbagai persoalan modern tepatnya
krisis global masa kini. Tentang alienasi individual, rusaknya lingkungan manusia,
dan sebagainya. Masalah-masalah inilah bersama masalah-masalah lain yang saling
mempengaruhi dan terakumulasi dalam apa yang sekarang sering disebut krisis
global. Dan jika disebut peradaban modern, itu artinya bagian terbesar dari negaranegara di dunia; karena hampir seluruh Negara kecil atau besar dengan sadar atau
terpaksa sedang atau telah berjalan ke arahnya. Dengarlah Gregory Bateson:
12
“Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh
dari kekeliruan-kekeliruan epistimologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi,
malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa. Di atas
segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan
perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masan
mendatang.”
12
Syed M. Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.38
47
Kalau krisis-krisis ini didaftar secara lebih terinci, maka akan didapatkan
daftar yang amat panjang. Contoh pertama dan mungkin yang terbesar adalah krisis
lingkungan. Ekosistem alam kita berada dalam keadaan yang amat labil. Karena
terlalu banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, baik direncanakan maupun
tidak. Efek rumah kaca akibat banyaknya gas karbondioksida hasil pembakaran bahan
bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain
adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada
penggunaan penyegar, misalnya “ deodoran” dan “ aerosol”. Meskipun jumlahnya
kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari
serangan sinar ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan
bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Ada perkiraan yang
menyebutkan bahwa pengurangan ozon akan mencapai tiga persen pada tahun 2000,
dan lebih dari sepuluh persen pada tahun 2050. pada 1986 telah ditemukan lubang
ozon di atmosfer di atas antartika yang ternyata meluasnya lebih cepat dari dugaan
semula. Lalu, atmosfer di Eropa saat ini mendapat tambahan sulfur satu gram lebih
tiap satu meter persegi sebagai polusi udara. Ini bisa mengakibatkan hujan asam yang
merusakkan hutan-hutan dan perairan. Tanah-tanah produktif di Dunia Ketiga
berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengankan. Setiap tahunnya,
enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Tiga dasawarsa mendatang
berarti gurun telah bertambah seluas Saudi Arabia. Keadaan ini tidak mendukung tata
kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. 13
13
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Pustaka Salman), 1987, h. 88
48
Kemudian secara rinci Mujammil Qomar mengatakan bahwa yang
diakibatkan oleh dikotomi agama dan sains menyebabkan :
1. Kegagalan merumuskan Tauhid dan bertauhid
2. Lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam.
3. Adanya dikotomi kurikulum
4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan
5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality
ganda dalam arti kemuyrikan, kemunafikan, kemunafikan yang
melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran , sikap, cita-cita
dan perilaku yang disebut sekulerisme.
6. Rusaknya sistem pengelolaan lembaga pendidikan
7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda,
yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat
yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materealistik.
8. Lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam.
9. Lahirnya Da’i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuknya
yang
memisahkan
kehidupan
sosial
politik-ekonomi
ilmu
pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam, agama urusan dan
berkaitan dengan akhirat dan ilmu-ilmu teknologi untuk urusan
49
dunia. 14
Demikian bahaya yang selalu mengancam dan terisolir kandasnya
integrasi agama dan sains sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan
kekuatan pendidikan dominasi Barat yang mengancam kelangsungan hidup umat
manusia. Akibat-akibat yang harus disadari adalah dengan penerapan pendidikan
yang dikotomik itu pihak yang mengalami kerusakan atau kerugian bukan sekedar
sistem dan lembaga pendidikan Islam saja, melainkan juga merugikan alumni
pendidikan Islam, peradaban Islam, dan suasana kehidupan umat. Semua
komponen ini tertimpa penderitaan yang berkepanjangan.
14
Amrullah Ahmad, Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih
Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1991), hal. 94
BAB IV
KONSEP INTEGRASI AGAMA DAN SAINS MENURUT SYED
MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN MULYADHI KARTANEGARA
A. Muhammad Naquib Al-Attas
1. Konsep Integrasi Agama dan Sains
Membandingkan antara Islam dengan filsafat dan ilmu pengetahuan
kontemporer, sebagaimana yang disadari oleh al-Attas terdapat persamaan khususnya
dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode, kesatuan cara mengetahui
secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai
fondasi kognitif bagai filsafat sains; proses dan filsafat sains. Al-Attas menegaskan
bahwa terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent
worldviews).1 Wolrdview Islam merupakan pandangan Islam tentang realitas dan
kebenaran yang bukan hanya tampak oleh mata tapi juga hati kita yang mampu
menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud
yang total baik yang fisik atau metafisik maka wolrdview Islam berarti pandangan
Islam tentang wujud (ru‟yat al-Islam lil-wujud).2
1
Syed Muhammad Naquib al-Attas Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet.
Ke-1, h.189
2
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and
Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam ( Kuala Lumpur: ISTAC,
2001), h. 2
50
51
Terdapat perbedaan yang sangat fundamental yang tidak mungkin
dikompromikan antara pandangan Islam dan Barat. Worldview Islam tidak
berdasarkan dikotomis seperti obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstualkontekstual. Akan tetapi, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode tauhidi di
mana terdapat kesatuan antara kaedah empiris, rasional, deduktif dan induktif,
sebagaiman para sarjana pada masa silam menggunakan berbagai metode dalam
penyelidikan mereka. Realitas dan kebenaran dalam konsep Islam bukan semata-mata
fikiran tentang alam inderawi dan peranan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan
budaya sebagaimana yang ada dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia yang
hanya menaruh perhatian terhadap dunia empiris saja. Tetapi lebih dari itu, memaknai
realitas dan kebenaran berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang empiris dan
non empiris. Dengan demikian, wolrdview Islam mencakup dunia akhirat, yang mana
aspek dunia tidak boleh terpisah dan harus dikorelasikan dengan cara yang sangat
mendalam kepada aspek akhirat, dengan keyakinan bahwa aspek akhirat merupakan
yang terakhir dan final. Worldview Islam bersumber kepada wahyu yang didukung
oleh akal dan intuisi. Substansi keimanan dan pengamalan ibadahnya, doktrinnya
serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad
SAW .
Permasalahan yang sangat krusial umat Islam adalah bagaimana menemukan
kembali konsep dasar Islam dalam menghadapi sains yang sekuleristik menjadi
Islami.
52
Naquib al-Attas beranggapan bahwa solusi dari permasalahan yang kita (Umat
Islam) hadapi adalah dengan konsep integrasi agama dan sains yaitu Islamisasi.
Menurut al-Attas, pada awalnya sains
ada pada bentuknya yang Islam. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, bentuk fithrah sains sedidit demi sedikit
berubah. Perubahan itu terjadi bersamaan dengan proses sekulerisasi masyarakat yang
terjadi di Eropa yang beberapa Tahun kemudian diekspor kedunia Islam. Definisi
sekulerisasi yang menurut Naquib al-Attas paling sesuai adalah definisi yang
diberikan oleh seorang teolog Belanda, Coernelius Van Peursen yang pernah
menjabat Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Leiden. Van peursen mendefinisikan
sekulerisasi sebagai Pembebasan seseorang, pertama dari kontrol religius dan
kemudian metafisis, terhadap pemikiran dan bahasanya.3 Berarti menurut Van
peursen ada dua aspek yang sangat penting dalam isu sekulerisasi ini : pemikiran dan
bahasa, tentu kita dapat mengerti aspek sekulerisasi pemikiran karena seseorang
melakukan segala sesuatunya sesuai dengan pemikirannya. Berarti, jika pemikirannya
sudah sekuler, pandangan-hidupnya juga akan sekuler. Jika ia sudah sampai pada
tigkat ini, maka ia akan berpendapat bahwa dirinya adalah segalanya, dan tidak ada
otoritas yang lebih tinggi lagi adri dirinya. Dengan demikian, amal-amalnya pun akan
dikerjakan sesuai dengan hatinya sendiri. Inilah proses pergantian fokus dari tuhan
kepada manusia seperti yang telah termaktub dalam inti filsafat Humanisme.4
3
4
Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerisme, h. 17
Ismail Fajrie Alatas, Konsep Ilmu dalam Islam, (jakarta Diwani Publissing 2006), h. 278
53
Setelah membahas pemikiran kemudian dari segi bahasa menurut isu
sekulerisasi yang berkembang. Bahasa adalah sebuah fenomena kultural dimana
bahasa terbentuk berdasarkan pengalaman historis dan kultural sebuah bangsa,.
Karena adanya perbedaan pengalaman antara satu bangsa dengan bangsa yang
lainnya, maka bahasanya pun juga banyak berbeda. Yang dimaksud perbedaan di sini
adalah dari segi semantik, sehingga banyak kita jumpai konsep-konsep serta
terminologi yang terdapat disatu bahasa, namun tidak terdapat bahasa yang lain.
Salah satu contoh adalah kesulitan yang dihadapi oleh para penerjemah bahasa Arab
menuju Bahasa Inggris. Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat metafisis akibat
keberadaan al-Qur‟an, sedangkan bahasa Inggris telah berubah menjadi bahasa yang
sangat teknis, mekanis dan anti-metafisis. Oleh karena itu banyak kata-kata kunci dari
bahasa Arab yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa inggris karena ketiadaan
konsep yang sama. Salah satu contoh yang paling konkret adalah kata qalb, fu‟ad dan
lubb. Seseorang yang akan menerjemahkan kata ini kedalam bahasa Inggris akan
sangat kesulitan untuk melakukannya karena ketiadaan perbedaan antara terminologi
tersebut. Kata yang dapat mendeskripsikan ketiganya hanyalah heart atau hati.
Sedangkan dalam bahasa Arab, ketiga terminolog itu mendeskripkan tingkatan hati
yang berbeda-beda. Namun karena ketiadaan terminologi yang sama dalam bahasa
Inggris, maka ketiga kata tersebut hanya dapat diterjemahkan dengan satu kata: heart.
Akibat dari ketidak tepatan penerjemahan, maka pemahaman seseorang akan suatu
hal juga akan tidak tepat. “ Atas dasar inilah, Al-Attas mendefinisikan sebagai : “
Pembebasan manusia dari tradsi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang
54
bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan
bahasanya “ juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler
dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud
fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi
bodoh akan tujuan yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya,
sehingga perlu suatu proses menuju bentuk asalnya ( Fithrah) yang tidak sekuat
proses evolusi dan devolusi.5
Dalam definisi di atas, terdapat dua aspek yang perlu diungkapkan lebih
lanjut. Pada tingkat individu, konsekuensi dari integrasi adalah pengakuan terhadap
Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita
baik pada tingkat kolektif, sosial dan historis.6 Pengakuan terhadap derajat dari
tingkat Nabi Muhammad yang begitu tinggi, akan diresapinya dan dipikirkannya,
sehingga tidak akan mungkin terlontar dari lisannya bahwa “Nabi Muhammad
adalah manusia biasa”. Seseorang yang terdidik secara Islami tidak akan berani
melontarkan kata-kata yang seperti ini. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati
dan diri, dia akan mengakui ketinggian posisi Nabi yang juga telah diakui oleh Allah
Swt.
Pada saat pengakuan itu sudah terpatri, maka dengan sendirinya, pribadi dan
kehidupan Nabi Muhammad akan menjadi simbol dan realisasi kesempurnaan
5
6
Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekulerism, h. 45
Syed. Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan sekulerisme, h. 47
55
moralitas dan etika.7 Dengan demikian ia akan menyontoh kesempurnaan tersebut,
dalam upayanya untuk menyempurnakan dirinya sendiri.
Pengertian integrasi pada tingkat individu ini, sangat berhubungan dengan
konsep adab. Al-Attas beranggapan bahwa dilema yang dihadapi umat Islam telah
membentuk lingkaran setan yang didahului dengan sekulerisasi sains.8
2. Landasan Integrasi Agama dan Sains
Integrasi agama dan sains adalah kerja-kerja kognitif dan spiritual yang terjadi
secara
bersamaan
tanpa
ada
celah
waktu.
Sebelum
“memisahkan
“dan
“mengeluarkan” ide-ide dan konsep-konsep yang tidak Islami, seseorang pertamatama harus mampu mengidentifikasikan semua itu dan memiliki pemahaman yang
mendalam mengenai pandangan dunia Islam berikut semua elemen dan konsep
kuncinya.9 Proses ini menurut Al-Attas senada dengan kalimat lā Ilāha Illallāllah
(Tiada Tuhan Selain Allah) yang berisi dua klaus yang tersambung dalam satu
kalimat. Klaus yang pertama lā Ilāha (Tiada Tuhan) adalah sebuah penolakan dari
konsep-konsep serta elemen ketuhanan yang ada dialam semesta ini. Sedangkan klaus
yang kedua Illallāllah (Selain Allah) adalah afirmasi bahwa Allah adalah satusatunya Tuhan yang ada dan yang diakui. Kedua aksi ini, penolakan dan afirmasi
7
Syed. Muhammad Naquib al-Attas ,Islam dan sekulerisme , h. 45
Syed. Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
9
Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib Al-Attas, h 339
8
56
terjadi secara simultan sehingga tidak terdapat celah yang kosong antara kedua aksi
tersebut. Dengan demikian, integrasi agama dan sains juga bekerja secara simultan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, integrasi yang digagas oleh Al-Attas ini
bisa dikatakan sebagai dekonstruksi atas sekularisasi dan melanjtukannya dengan
melakukan rekonstruksi dengan cara meletakkan pondasi ontologi yang kokoh yang
didasarkan atas prinsip kesatuan tauhid, yaitu bahwa semua pengetahuan berasal dari
Allah. Dari prinsip ini secara aksiologis diletakkan nilai-nilai moralitas adab,
kemudian secara epistemologis dimulai denga bahasa, dibangun kerangka keilmuwan
dengan cara mengintegrasikan semua sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu,
intuisi, rasio, maupun empiri.10
Setelah mengetaui secara mendalam mengenai pandangan hidup Islam dan
Barat serta konsep dan landasan integrasi agama dan sains, maka proses integrasi
baru bisa dilaksanakan.
3. Metodologi Integrasi Agama dan Sains
Metodologi Al-Attas dalam integrasi agama dan sains itu melalui tahap
pengklasifikasian yang tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan sains,
kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia.
10
Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu Perspektif Mullā Shadrā, (Yogyakarta: Kahfi Offset,
2010), h.74
57
Klasifikasi ini terbagi kedalam beberapa kategori umum bergantung pada
berbagai pertimbangan. Dalam hal ini al-Attas mengklasifikasikan berdasarkan caracara untuk mempelajarinya terbagi menjadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma‟rîfah)
dan ilmu sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk
mewujudkan keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si
pengenal dan kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.11
Iluminasi (Ma‟rîfah) adalah ilmu yang diberkan Allah. Sebagai karunia-Nya
kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal ibadah serta
kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah. Berdasarkan
ilmu yang benar.12 Manusia menerima ilmu ini melalui dzāuq dan kasf. Dzāuq yaitu
pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara langsung. Sedangkan kasf yaitu
penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki kandungan ilmu ini dengan
sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan ruhani.
Iluminasi ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu
yang diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan
ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang
yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known) melalui
perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah terlebih
dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan keinginan
11
A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan
Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19
12
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 80
58
untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi batinnya.
Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan sendirinya
mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui sesuatu
yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas dan
tingkat yang ingin diketahuinya.
Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa
manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas,
ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Qur‟an, yang kemudian dipahami dan diamalkan
oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Qur‟an dan sunnah ini disebut
dengan syari‟at, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu
Ladunni dan Hikmāh. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi merupakan
ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua formulasi sains
dan aktivitas umat.
Sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insan berdasarkan daya usaha
akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan pegkajian
indera jasmani terhadap obyek-obyek yang bersifat materi.13 Pengamatan indera
terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk memberi atau menerapkan
objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena sering terjadi bahwa informasi yang
ditangkap oleh pengamatan indera konvensional adalah keliru. Misalnya suara
gemuruh dari halilintar yang kita dengar belum tentu terjadi pada saat kita
13
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78
59
mendengarnya. Dengan demikian diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat
pengalaman inderawi menjadi obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang
pertama kali metode observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering
dipakai oleh pengetahuan jenis apapun.14
Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan
inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif untuk
menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya objek.
Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan sebagainya.
Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajrîbat) tentang hal-hal yang belum
jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang dilakukan oleh al-Biruni
untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan dengan memanfaatkan rumusrumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling bumi yang sangat akurat bahkan
dibandingkan dengan ukuran modern.
Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki,
pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya pengamatan
indra, ia tidak akan mampu menembus objek-objek non fisik karena sifatnya yang
indrawi. Padahal objek-objek non-indrawi tersebut tidak sedikit. Disinilah
keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi kelemahan-kelemahan
sains tersebut.
14
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke- 1, h.97
60
Sains bersifat empiris dan pencapaiannya menempuh jalan-jalan yang
betingkat-tingkat ilmu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha Qadim adalah
tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa
keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk mencarinya, dan
keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi logisnya kemudian
adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari ilmu pengetahuan.
Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi manusia untuk menguasai
seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Walaupun
demikian, al-Attas mengajak umat Islam untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain,
oleh karenanya umat Islam harus mampu membangun dan mengatur sistem
pendidikan yang mampu mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu
dikalsifikasilan menjadi Fardhu „Ain dan Fardhū Kifayāh.15 Ilmu iluminasi
(Ma‟rifāt ) merupakan ilmu Fardhu „Ain, artinya ilmu yang harus dipelajari oleh
setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan
menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.16 Sedangkan ilmu
pengetahuan merupakan ilmu Fardhū Kifayāh. Maksudnya yaitu ilmu pengetahuan
yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja, maka apabila
15
h. 270
16
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-
Attas.h.157
61
sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah kewajiban bagi
yang lain.
Konsep ilmu Fardhū „Ain dan Fardhū Kifayāh harus dipahami secara lebih
mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu jangan
dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi umat Islam
dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena seperti yang
diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasan-batasan yang
berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat membantu dalam
mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih bermakna bagi orang
yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa ilmu itu tidak
perlu dipisah-pisahkan 17 tidaklah tepat.
Untuk lebih mudah memahami konsep fardhū „ain dan fardhū kifayah dalam
konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci:
1. Fardhū „Ain
Al-Attas menyatakan bahwa fardhu „ain bukanlah kumpulan ilmu yang
kaku dan tertutup.18 Ruang lingkup fardhu „ain sangat luas sesuai dengan tanggung
jawab spiritual, sosial, dan profesionalisme seseorang.19 Dengan demikian, karena
17
Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18
18
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas, h.273
19
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas., h. 276
62
Islam mewajibkan mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya
merupakan sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang Muslim diwajibkan
menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi
tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan menghitung.
Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu „ain adalah ilmuilmu agama yaitu sebagai berikut:
a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsîr dan Ta‟wîl )
b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul
sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya.
c) Asy-Syari‟ah;
undang-undang
hukum,
prinsip-prinsip,
dan
praktek-praktek Islam (Islām, Imān, dan Ihsān).
d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta
tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhîd).20
Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu „ain bukanlah
suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia harus dipelajari
harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti diketahui dalam waktu
yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat dilakukan dengan cara bertahap
(gradual). Di samping itu, ilmu fardhu „ain bersifat dinamis dan berkembang sesuai
dengan kemapuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya.
20
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas., h. 277
63
2. Fardhū Kifayah
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah tidak
diwajibkan kepada setiap indvidu Muslim untuk mempelajarinya. Kewajiban itu
gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah memnuhi kewajiban
tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang memnuhi kewajiban itu, maka
seluruh umat Islam harus turut bertanggng jawab dan menanggung resiko atas segala
kesuatu yang ditimbulkannya. Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan
memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk
mempelajarinya dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan
untuk kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah
manjadi:21
a. Ilmu-ilmu kemanusiaan,
b. Ilmu-ilmu alam,
c. Ilmu-ilmu terapan,
d. Ilmu-ilmu teknologi,
e. Perbandingan agama,
f. Kebudayaan dan peradaban Barat,
g. Ilmu-ilmu linguistik
h. Sejarah Islam,
21
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91
64
Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah bermaksud
untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari dan dikuasi oleh
umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan oleh Al-Attas bahwa semua ilmu
datang dari Allah,22 yang tidak terhitung jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman
halnya ilmu fardhu „ain bersifat dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga
bahkan lebih bersifat dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan
perubahan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.
Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh
kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki manusia
adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari sisi
sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam jiwa
manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah sampainya
jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan.23
Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan bukan
hanya objek materil tetapi juga non-materil, atau makna dari realitas objek. Artinya,
subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam menentukan apa
yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia bukan dalam diri
objek.24 Konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi Barat yang
positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa makna
22
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42
23
Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 43
24
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.44
65
pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara objektif, dan
otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya, manusia bersikap
pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi.25
Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna
objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan
fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui
panca indra (al-khawass ai-khamsāh), akal sehat (al-„aql as-Salim ), kabar yang
benar (al-Khābar as-Shādiq), dan intuisi (Ilhām).26 Panca indera (al-Khāwass al
Kamsāh) menurut al-Attas sepakat dengan Iqbal yang menyatakan bahwa Islam tidak
pernah mengecilkan peranan indra, yang pada dasarnya merupakan saluran yang
sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris.
Bahkan al-Attas juga menganggap bahwa indra sebagai instrumen pokok bagi
jiwa dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat dan ilmu Allah swt, indra
disini mengacu pada pengamatan dan persepsi lima indra lahir, yakni perasaan tubuh,
pencium perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran, yang semua berfungsi
mempersepsikan hal-hal partikular dalam alam lahir. Namun, terkait dengan panca
indra lahir ini ada lima indra batin yang secara bathiniyyah mempersepsikan cita-cita
indrawi dan maknanya, menyatukan, atau memilahkan, mengkonsepsi gagasan
25
A. Khudlori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet.
Ke-1, h.261
26
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib alAttas. h, 158
66
tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan interaksi terhadapnya.
Kelima indra batin ini adalah indera umum, representasi, estimasi, pengingat kembali
dan imajinasi. Dalam hal ini persepsi adalah rupa (form) dari objek lahiriyah, yakni
representasi realitas atau inderawi, bukan realitas itu sendiri. Apa yang disebut
realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang diabstraksikan oleh indra, yang
disebut „rupa‟ ( form), bukan realitas itu sesungguhnya dalam dirinya sendiri yang
disebut „makna‟. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek indrawi adalah
bahwa „rupa‟ merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra lahir dan
kemudian oleh indra batin, sedang „makna‟ adalah apa yang dipersepsi indra batin
dari objek tanpa terlebih dahulu dipersepsi indra lahir.27
Adapun mengenai masalah akal, Al-Attas menambah dengan kata shifat
“sehat” setelah perkataan akal ( Sound Reason). Hal ini disebabkan akal manusia
memiliki tendensi menghasilkan pemikiran yang tidak benar atau tidak tepat.
Disamping itu, akal manusia dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa salah
atau kurang tepat ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami realitas
spiritual melalui daya lain yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.
Akal sehat bukan sekedar unsur-unsur indrawi atau fakultas mental yang
secara logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi
citra akliyah yang dapat dipahami, atau yang melakukan kerja abstraksi fakta-fakta
27
Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h. 35-36
67
dan data indrawi serta hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini adalah substansi
ruhaniyah yang melekat dalam organ pemahaman yang disebut hati (qalb) yang
merupakan tempat terjadinya intuisi. Jadi, apa yang disebutkan diatas baru
merupakan bagian dari aspek akal.
Kemudian mengenai otoritas berita yang benar merupakan sumber lain yang
dapat diklsifikasikan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah berita yang terbukti
secara berkesinambungan (continue) oleh orang-orang yang memilki ahlak yang
mulia, yang tidak mungkin menimbulkan pemikiran bagi orang bahwa mereka akan
melakukan dan menyebarkan kesalahan . contoh hadits mutawatir. Kedua, berita
absolut yang dibawa oleh Nabi yang berdasarkan wahyu.
Berkenaan dengan intuisi itu sendiri, al-Attas tidak membatasi pada
pengenalan langsung tanpa perantara, oleh subjek yang mengenali tentang dirinya
sendiri, keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal
universal nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga mencakup
pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi
Tuhan, serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi; bahkan dalam tingkat yang
lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri.28 Intuisi tidak datang
pada sembarang orang, tapi ia diperoleh oleh orang-orang yang hatinya telah bersih,
telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.29 Kemampuan menerima
28
29
Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains.h. 37
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, ke-2, h. 108
68
secara langsung itu diperoleh melalui latihan, yang dalam Islam disebut riyādhāh.
Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan
Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat
dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak
sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indra dan bukan lewat
akal, melainkan lewat hati.30 Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan secara
terus menerus hakekat realitas, untuk kemudian selam pereenungan mendalam ini dan
dengan kehendak-Nya, kesadaran akan dirinya dan kesadaran subjektifnya
terhapuskan, lalu masuk kedalam kedirian yang lebuih tinggi, baqa‟ dalam Tuhan.
Ketika kembali kepada keadaan manusiawi dan subyektifnya, yang bersangkutan
kehilangan apa yang ditemukan, tetapi ilmu tentang apa yang ia temukan,
pengalaman ruhani yang dialami selama baqa‟ , tetap ada pada dirinya.31
Meskipun pengalaman intuitif tidak bisa dikomunikasikan, akan tetapi
pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya
dapat transformasikan. Intuisi terdiri pelbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah
yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka,
sedangkan yang tertinggi dialami oleh para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa semua
ilmu pengetahuan ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemeerhatinya
adalah sesuatau yang dicapai melalui intuisi.
30
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002) h. 58
31
Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains. h. 38
69
Adapun yang digunakan al-Attas dalam proses integrasi agama dan sains
setelah apa yang dijelaskan diatas, selanjutnya adalah proses atau langkah yang saling
berkaitan, yaitu:
1. Proses Verifikasi, yaitu mengenali dan memisahkan unsur-unsur (4 unsur yang
telah disebutkan sebelumnya) yang dibentuk oleh budaya dan peradaban Barat,
kemudian dipisahkan dan diasingkan dari tubuh pengetahuan kontemporer85
khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam,
fisika, ilmu-ilmu terapan juga harus dislamkan, khusunya dalam penafsiranpenafsiran akan fakta-fakta dalam formulasi teori-teori.
Menurut al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam, maka fakta
menjadi tidak benar. Selain itu, sains modern harus diperiksa dengan teliti. Ini
mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari sains modern, beserta aspek-aspek
empiris, dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai-nilai dan etika, penafsiran
historis tersebut, bangunan teori, praduga berkaitan dengan dunia dan rasionalitas
proses-proses ilmiah, klasifikasinya, batasannya, hubungan dan keterkaitannya
dengan hubungan dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.32
2. Memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep kunci.33 Dengan masuknya itu,
maka akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi.
32
Syed Muhammad Naquib al-Attas Prolegomena to the Methaphisics of Islam and
Exposition of Fundamental Elements of the Worldview of Islam, h. 114
33
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib AlAttas h. 337
70
Selanjutnya, al-Attas juga merincikan dan beberapa konsep dasar Islam yang harus
dituangkan ke dalam setiap cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam
adalah seperti berikut ini :34
a. Konsep agama (Dîn)
b. Konsep manusia (Insan)
c. Konsep ilmu („Ilm dan Ma‟rifālh)
d. Konsep kearifan (Hikmah)
e. Konsep keadilan („Adl )
f. Konsep prbuatan yang benar („ Amal sebagai adab)
g. Konsep universitas (Kulliyah-Jami‟ah )
Dalam penerapan prktisnya sangat terkait dengan dunia pendidikan. Konsep
agama (dîn) menunjukkan kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan
dalam prose pendidikan. Konsep manusia (insan) kepada ruang lingkup. Konsep ilmu
(„ ilm dan ma‟rifālh) mengacu kepada isi. Konsep kearifan (hikmāh) kepada kreteria
dalam hubungannya dengan konsep manusia (insan) dan ilmu (ilm dan ma‟rifāh).
Konsep keadilan ( „adl ) kepada pengembangan dalam hubungannya dengan konsep
kearifan (hikmāh). Konsep perbuatan yang benar („ amal sebagai adab) kepada
metode dalam hununggannya dengan konsep agama (dîn) – konsep keadilan ( „adl ).
Konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) dianggap penting karena berfungsi sebagai
34
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sukelarisme, h. 233
71
implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan untuk tingkat
rendah.
Selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep kunci Islam, misalnya
konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) yaitu harus ditransformasikan kepada para
mahasiswa yang belajar di Universitas.
Al-attas menolak pandangan yang menyatakan bahwa integrasi sains dan
agama tidak bisa tercapai dengan melakukan stempelan Islami pada sains. Usaha
yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak berfaedah sebab unsur
asing atau kuman penyakit itu masih terdapat pada tubuh Islam dan sains itu. Ia cuma
akan menghasilkan sesuatu yang Islam pun bukan dan sekuler pun bukan.35
B. Mulyadhi Kartanegara
1. Konsep Integrasi Agama dan Sains
Menurut Mulyadhi dikotomi agama dan sains berdampak negatif dari kaca
mata agama, disiplin ilmu umum seperti fisika, matematika, biologi, dan lain-lain
dianggap profan dan netral. Muatan agama hanya terdapat pada, misalnya, tafsir,
hadits, fiqih dan lain-lain. Padahal menurut Mulyadhi dalam mengamati fenomena
alam (objek ilmu umum) dapat dengan mudah menjumpai nilai-nilai agama.36 Ini
35
36
Rosnani Hashim, gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer, h. 35
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 20-21
72
tidak berarti disiplin ilmu agama dipandang rendah dibandingkan ilmu umum.
Keduanya harus dianggap mulia dan setara, yang satu menjadi ayat kauniyyah (ilmu
umum) dan yang satu lagi menjadi ayat qauliyyah (ilmu agama), yang setatusnya
bersatu sebagai ayat-ayat Allah untuk dijadikan sebagai objek ilmu.37
Dikotomi sains dan agama juga membuat kelompok pendukungnya masingmasing berada pada dua titik ekstrim yang berbeda. Sains modern (ilmu umum)
menganggap objek ilmu yang valid hanya yang bisa diobservasi oleh indra zahir,
sebaliknya bagi pendukung ilmu agama justru objek nonfisik seperti Tuhan dan
malaikat (ataupun jiwa) merupakan objek mulia, menguatkan dan meningkatkan
status ilmiah para pengkajinya, juga akan mendapatkan kebahagiaan yang luar bisa.38
Kontras dengan kedua kubu tersebut, bagi ilmuwan Muslim klasik metafisika adalah
mahkota ilmu, sedangkan bagi saintis Barat fisika adalah sains sejati yang harus
diteladani tanpa mempedulikan objek matematik dan metafisik. Ketimpangan ini
menjadi problem serius terhadap sistem klasifikasi ilmu yang seimbang antara ilmu
metafisika dan fisika. Secara praktis, contohnya pada jurusan psikologi, apakah
psikologi termasuk ilmu empiris (mengikuti sistem klasifikasi Barat) atau ilmu
metafisika atau filsafat (dalam tradisi keilmuan Islam) yang jiwa pada dirinya
dipandang sebagai substansi immaterial atau metafisika, bukan hanya sebagai fungsi
otak menurut asumsi neurolog modern.39
37
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 22
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 22-25
39
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 26-27
38
73
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan metodologi ilmiah. Sains modern
pada dasarnya hanya mengenal satu metodologi ilmiah yang disebut observasi atau
eksperimen indrawi yang ketat. Sedangkan metode rasional maupun logis dianggap
apriori, apalagi metode intuitif yang dianggap subjektif bahkan halusinatif. Akhirnya,
yang difokuskan hanya sebab material dan efisien dari sebuah objek, sedangkan
sebab formal dan final tidak dihiraukan dengan alasan bahwa sebab formal dan final
berkaitan dengan makna, tidak dengan fakta. Pengalaman intelektual, intuitif, mistik,
mimpi, dan religius tidak diperhitungkan sebagai data ilmiah. Sebaliknya, penekanan
yang terlalu kuat terhadap pengalaman mistik dan religius, oleh sementara ulama
sering mengabaikan pentingnya pengalaman indrawi dan rasional.40 Untuk itu
Mulyadhi mengupayakan sebuah integrasi (atau reintegrasi) yang bersifat
rekonstruksi (menata ulang) sistem keilmuan secara holistik agar tidak terjadi
problem seperti yang tersebut di atas. Singkatnya, rekonstruksi yang dimaksudkan
Mulyadhi dapat ditegaskan yaitu meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada
tradisi intelektual Islam yang telah dibina selama lebih dari satu millenium oleh para
filosof dan ilmuwan Muslim klasik.41 Sedangkan holistik dapat dikatakan bahwa
dilihat dari aspek ontologis, objek sains bukan hanya fisik tetapi juga nonfisik seperti
Tuhan, malaikat, dan jiwa baik jiwa binatang dan planet-planet maupun manusia
sebagai substansi yang immateriil.
40
41
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 28-31
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 130
74
Walaupun demikian, integrasi harus diupayakan hingga tingkat epistemologis,
jika tidak maka yang terjadi hanya menghimpun dalam ruang yang sama dua entitas
yang berjalan sendiri-sendiri.42 Untuk mencapai tingkat integrasi epistemologis
tersebut, integrasi harus diupayakan dengan tiga langkah. Pertama, Integrasi
Ontologis: Basis ontologis yang dipilih sangat menentukan corak epistemologis yang
dibangunnya. Tidak percayanya seorang ilmuwan terhadap keberadaan entitas
metafisik menyebabkan subject-matter ilmu (sains) hanya terbatas pada bidang fisikempiris (dunia positif). Klasifikasi
dan metode keilmuan juga akan berkompas
dengan pandangan ontologis tersebut. Sebaliknya, Al-Fārābî (w. 950) misalnya
percaya bahwa yang ada (maujūdāt) ini membentang dari yang metafisik sampai pada
yang fisik dan membentuk apa yang disebut marātib al-wujūd dalam istilah Ibn
Sab‟in. Dengan kepercayaan status ontologis sedemikian, maka subject-matter ilmu
mereka tidak hanya terbatas pada bidang fisik-empiris.
Kedua, Integrasi klasifikasi berpadanan dengan integrasi ontologis. Ibn Sîna
dan al-Fārābi sepakat untuk membagi yang ada (maujūdād) ke dalam tiga kategori:
(1) objek yang tidak berkaitan dengan materi dan gerak, yang menghasilkan
kelompok ilmu metafisika. (2) objek yang berkaitan dengan materi dan gerak, dan
menghasilkan kelompok ilmu fisika. (3) objek yang pada dirinya immaterial tetapi
kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak, ini disebut objek matematik dan
menghasilkan ilmu matematika. Dari pembagian jenis wujud tersebut sebagai basis
ontologis, muncullah tiga kelompok besar ilmu yaitu, ilmu metafisika, matematika,
42
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 208-209
75
dan ilmu-ilmu alam. Al-Fārābî membangun tiga kelompok ilmu menjadi dua bagian
besar, ilmu agama (naqli) dan ilmu-ilmu rasional („aqli). Ilmu naqli terdiri dari (1)
tafsir al-Qur‟an dan hadits, (2) ilmu fiqh yang meliputi fiqh farā‟id dan ushul fiqh, (3)
ilmu kalam, (4) tafsir ayat-ayat mutasyābihāt, (5) tasawuf, (6) tabir mimpi (ta‟bîr alru‟yah). Ilmu „aqli (rasional) terbagi pada empat bagian yaitu, logika, fisika,
matematika, dan metafisika. Sedangkan ilmu praktis menurut Ibn Khaldūn adalah
etika, ekonomi, dan politik, dan termasuk ilmu budaya („ulūm al-umrān) yaitu ilmu
sosiologi.43
Ketiga, Integrasi Metodologis: Integrasi sains dan agama dalam level
metodologis yang tentunya dalam aplikasinya berhubungan dengan integrasi
ontologis dan klasifikasi ilmu. Metode ilmiah yang dikehendaki para ilmuwan Barat
berbeda dengan para ilmuwan Muslim. Ilmuwan Barat hanya menggunakan metode
ilmiahnya dengan observasi yang bisa dijangkau oleh indera manusia. Sedangkan
ilmuwan Muslim menggunakan tiga metode (1) metode observasi atau eksperimen
(tajrîbî) seperti halnya yang digunakan di Barat, (2) metodologi demonstratif atau
logis (burhānî), dan (3) metodologi intuitif (irfāni) yang masing-masing bersumber
pada indera, akal, dan hati.44 Sehingga terdapat perbedaan yang akhirnya
menghasilkan hasil yang berbeda.
43
44
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu., h. 211-214
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 218-223
76
2. Landasan Integrasi Agama dan Sains
Bagi Mulyadhi tauhid merupakan prinsip paling utama dari prinsip-prinsip
epistemologi Islam, juga menjadi asas pemersatu bagi integrasi sains dan agama.
Bagi filosof Muslim, keesaan Tuhan (tauhîd) tidak boleh terkesan adanya komposisi
apalagi dualis pada diri-Nya. Bagi Ibn Sînā misalnya, esensi dan eksistensi pada diri
Tuhan adalah tunggal karena Dia tidak memiliki genus dan spesies sebagaimana
wujud selain-Nya.45 Tauhid tentu tidak lepas dari lafaz syahadat lā Ilāha Illallāllah,
bagi para sufi kata “ilāh” di situ berarti “hakikat” (realitas), sehingga “lā Ilāha
Illallāllah” bisa berarti “tidak ada realitas yang betul-betul sejati kecuali Allah”.
Mulyadhi menyimpulkan bahwa bagi sufi dan filosof pemilik sejati wujud adalah
Tuhan, realitas sejati yang al-Haqq menurut para sufi dan wajib al-Wujūd menurut
para filosof, yang wujud-Nya senantiasa actual.46
Menurut Mulyadhi, tauhid filosofis khususnya penafsiran ke-Esa-an Tuhan ala
Mullā Shadrā dalam konsep Wahdahtu al-Wujūd adalah paling cocok dijadikan basis
integrasi, terutama bagi status ontologis. Menurut Mullā Shadrā segala wujud yang
ada pada hakikatnya adalah sama dan dari sumber yang sama. Perbedaanya hanya
pada gradasi (Tasykîk al-Wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya.
Sehingga, wujud apa pun yang diketahui manusia (spiritual mau pun materiil)
mempunyai status ontologis yang sama-sama kuat dan riil. Wujud menurut Mullā
Shadrā tidak perlu pembuktian karena bersifat badîhî, yakni terbukti dengan
45
46
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 33
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 33-35
77
sendirinya, sehingga tidak membutuhkan definisi apa pun.47 Konsep kesatuan wujud
ala Mullā Shadrā ini menurut Mulyadhi membuat segala tingkat wujud boleh menjadi
objek yang valid bagi ilmu karena realitas ontologis mereka telah ditetapkan.
Sehingga, wujud tersebut tidak bisa dipisahkan dangan kategori riil dan tidak riil,
nyata atau ilusi.48
3. Metodologi Integrasi Agama dan sains
Menurut Mulyadhi dikotomi yang terjadi antara agama dan sains masih bisa
diatasi dengan cara menemukan basis yang sama bagi keduanya, yaitu baik agama
dan sains sama-sama mengkaji ayat (tanda) Allah, hanya saja yang pertama mengkaji
ayat qauliyyah (nash, baik al-Qur‟an maupun hadis) dan yang satunya lagi mengkaji
ayat kauniyyah (alam). Dilihat dari kedudukan keduanya sebagai sama-sama
mengkaji ayat-ayat Allah, maka keduanya memiliki hubungan yang sama dengan
sumbernya, para ulama (ilmuwan) memandang alam sebagai kitab besar dan alQur‟an sebagai kitab kecil, sehingga masing-masing memiliki sakralitas.49
Walaupun qauliyyah dan kauniyyah adalah sama-sama ayat Allah, Mulyadhi
tidak menafikan perbedaan karakter dari keduanya. Karena perbedaan tersebut,
metode penyelidikan dan klasifikasi kedua ilmu tersebut juga berbeda. Dari sudut
epistemologis, metode untuk memahami al-Qur‟an disebut bayānî, yang menekankan
47
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 35-37
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 37
49
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 48-49
48
78
otoritas nash dan dijustifikasi oleh naluri penarikan kesimpulan (istidhlāl). Ini bisa
dilakukan secara langsung (tidak dinalarkan) dan tidak langsung (perlu dinalarkan).
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayānî adalah nash. Metode bayānî ini
menempuh dua jalan, yaitu berpegang teguh pada radaksi lafal nash dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab sebagai alat analisisnya, dan menggunakan logika
melalui empat tahap: (1) Berpegang pada tujuan pokok diturunkannya nash. Caranya
dengan menggunakan induksi tematis, disini akal berperan besar. (2) Berpegang pada
„illat yang melekat pada nash. Cara yang kedua ini menimbulkan metode yang
disebut qiyās dan istiẖsān. Istihsān adalah berpaling dari makna yang jelas ke makna
samar karena adanya alasan yang kuat. (3) Berpegang pada kajian sekunder teks,
yang mendukung terlaksananya tujuan pokok teks. Sarana yang digunakan untuk
menemukan tujuan sekunder disebut istidhlāl (mencari dalil di luar nash), berbeda
dengan istinbāth (mencari dalil dari dalam nash). (4) Berpegang pada diamnya
syariat, sehingga permasalahan ditetapkan melalui istishāb, yakni berdasarkan
keadaan yang berlaku sebelumnya selama tidak ada dalil yang menunjukkan
perubahannya. Demikianlah keempat tahap tersebut, tetapi karena dari sudut filosofis
nash memiliki makna batiniah, maka digunakan metode ta‟wîl atau hermeneutik yang
menurut sementara kelompok boleh dilakukan karena bahasa kitab suci bersifat
simbolis. Jika terlihat ketidakcocokan pada kitab suci dengan kebenaran ilmiah dan
filosofis, bagi Mulyadhi dapat di atasi dengan metode ta‟wîl.50
50
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 49-51
79
Bagi sains modern, hanya objek fisiklah yang dijadikannya sasaran penelitian
dan bisa diteliti secara objektif, sedangkan objek nonfisik adalah sebaliknya dan
dianggap tidak ilmiah. Berbeda dengan epistemologi Islam, yang objek penelitiannya
bukan hanya yang fisik, sebagaimana empat hierarki wujud (Martabat al-Maujūdāt)
sebagai berikut:
Pertama, Tuhan menjadi hirearki wujud puncak dari sebab keberadaan selainNya. Di sini, Tuhan dikatakan sebagai sebab, dan tentunya sebab lebih unggul dari
akibat. Berbeda dengan akibat, sebab adalah berdiri sendiri dan oleh Suhrawardî
disebut dengan istilah al-Ghanî (tidak butuh pada yang lain), sedangkan akibat
disebut al-Faqîr (bergantung pada yang lain). Keberadaan Tuhan oleh para filosof
dibuktikan secara demonstratif. Ibn Sînā, misalnya mengatakan, “karena alam pada
dasarnya adalah potensi (Mumkin al-Wujūd), dan sebagai potensi ia tidak bisa
mengadakan dirinya sendiri, maka ketika alam mewujud seperti sekarang ini, mau
tidak mau harus dicari agen yang bertanggung jawab atas keberadaannya itu.” Agen
yang dimaksudkan adalah Tuhan, Sang Sebab Pertama. Karena telah dibuktikan
keunggulan sebab dari akibat, maka status ontologis Tuhan lebih fundamental dan
esensial daripada status ontologis alam.
Kedua, para malaikat menempati posisi kedua setelah Tuhan. Bagi para
filosof Muslim, para malaikat mempunyai fungsi yang lebih daripada apa yang
digambarkan oleh agama. Malaikat Jibril misalnya, diidentifikasi sebagai akal aktif
80
yang dunia materiil tidak mewujud jika tidak diberinya “bentuk” (shūrah),51
sekalipun ia telah memiliki unsur materiil, yaitu potensi murni. Jadi, akal aktif
menjadi “sebab langsung” bagi terwujudnya dunia materiil, sementara Tuhan
merupakan “sebab akhir” yang jauh daripadanya. Oleh karena ia sebagai sebab
langsung bagi keberadaan materiil, maka akal aktif memiliki status ontologis yang
lebih utama dan sah dijadikan objek kajian ilmiah yang cocok dengan
karakteristiknya.
Ketiga, Benda-benda langit ini dianggap berbeda kedudukannya dengan bendabenda bumi. Dan status ontologisnya lebih tinggi dan istimewa dibandingkan bumi.
Baik al-Fārābî, Ibn Sînā, maupun Ibn Rusyd meyakini adanya jiwa bintang atau
planet sebagai benda angkasa yang berpengaruh signifikan terhadap dunia di bawah
bulan. Pandangan demikian tentu berbeda dengan kita pada abad ini, untuk itu
Mulyadhi menjelaskan bahwa walaupun bumi tidak jauh berbeda derajat ontologisnya
dengan planet lain, tetapi terdapat perbedaannya dengan bintang dan temasuk
matahari. Bumi memantulkan cahaya matahari, sementara matahari memancarkan
sendiri cahayanya, dan ia memberikan kehidupan atau energy pada benda di bumi
seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Di sini, kelihatanlah dan bisa dimengerti
mengapastatus ontologis benda-benda langi dikatakan lebih fundamental dari pada
bumi.
51
M. Sa‟id Syaikh, Kamus Filsafat Islam, ter: Machnun Husein dari buku A Dictionari of
Muslim Philosophy, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. I. 1991), h. 85-86
81
Keempat, benda-benda bumi. Benda bumi yang
dibagi kepada mineral,
tumbuhan, dan hewan, menurut Mulyadhi tidak perlu berargumen karena status
ontologisnya telah diakui secara universal, baik di kalangan pemikir Barat modern
maupun dalam epistemologi Islam.52
Adapun yang dimaksud dengan klarifikasi objek-objek ilmu ini adalah sebuah
sistem terpadu objek-objek ilmu yang berkesinambungan, dari objek bersifat
metafisik, imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan secara parsial, ketika
objek-objek ilmu hanya dibatasi pada bagian-bagian tertentu saja, dengan
mengabaikan objek-objek lainnya. Sesuai dengan doktrin Wahdah al-Wujūd, maka
wujud-wujud yang mengisi rangkaian atau hierarki wujud ini merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan atau diperlakukan secara pilih kasih, tanpa
menodai keutuhan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam sebuah sistem epistemologi
yang holistik semua rangkaian wujud ini harus diperlakukan sama. Demikian juga
status ontologis mereka harus dipandang sama-sama kuat dan riil.53
Integrasi bidang atau disiplin ilmu adalah konsekuensi logis dari integrasi
objek-objek ilmu. Karena lingkup objek ilmu begitu luas dan beragam, maka bidang
ilmu yang berpadanan dengannya juga demikian. Seperti terbentuknya tiga kelompok
besar ilmu pengetahuan oleh Ibn Sîna dan al-Fārābi,54 yang secara organik terkait erat
dengan tiga kelompok utama objek ilmu yaitu metafisika, fisika, dan matematika.
52
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 62-67
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu,h. 67
54
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 28-29
53
82
Metafisika ini dibagi oleh Ibn Khaldūn menjadi lima bagian: Pertama, pengkajian
wujud sebagai wujud (ontologis). Kajian ini disebut juga sebagai filsafat pertama (alfalsafah al-ūlā), yang telah melahirkan dua aliran besar dalam filsafat Islam, yaitu
eksistensialis dan esensialis.55 Selain itu, juga melahirkan pemilahan wujud ke dalam
tiga kategori, yaitu wājib al-wujūd, mumkin al-wujūd, dan mumtani‟ al-wujūd.
Kedua, Mulyadhi mengatakan: Yakni bidang yang mempelajari materi umum
yang memengaruhi benda-benda materiil maupun spiritual seperti kuiditas, kesatauan,
pluralitas, dan kemungkinan. Di sini sebenarnya kita berhubungan dengan konsepkonsep filosofis dan matematis, dan telah banyak dipergunakan oleh para filosof
dalam debat mereka tentang esensi (kuiditas/māhiyyah) dan eksistensi (wujud) dan,
seperti telah disinggung, telah menimbulkan dua aliran besar filsafat, yaitu
eksistensialisme dan esensialisme.56
Ketiga, mempelajari asal-usul benda-benda dan menentukan bahwa apakah
mereka entitas spiritual atau sebaliknya. Ini merupakan kajian kosmologi filosofis
Islam dengan persoalan utamanya adalah bagaimana makhluk spiritual seperti akal,
malaikat, dan jiwa muncul atau berhubungan dengan Tuhan Yang Esa. Pembahasan
ini pada gilirannya menghasilkan cabang metafisika yang berbicara tentang malaikat
55
56
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.75-76
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.77-78
83
(angelologi) pada khususnya, dan teori emanasi pada umumnya oleh filosof Muslim
seperti al-Fārābî, Ibn Sînā dan Suhrawardî.57
Keempat, mempelajari bagaimana benda-benda yang ada muncul dari entitasentitas spiritual dan mempelajari susunan mereka. Kajian ini berbeda dengan para
fisikawan dan astronom modern, yang seakan-akan ingin mengatakan alam semesta
lahir dari dirinya sendiri, Mulyadhi mengatakan:
Pandangan para filosof Muslim tentang asal-usul ruhani alam semesta,
sekalipun perlu diperbaiki atau direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu astrofisika
modern, tetapi memiliki keunggulan atas pandangan Barat modern karena dengan itu
mereka mampu menjelaskan secara filosofis pertanyaan dari mana alam semsta ini
berasal, dan tidak dibiarkan begitu saja sebagaimana dalam fisika modern.58
Kelima, mempelajari keadaan jiwa setelah berpisahnya dari badan, dan
kembalinya ia ke asalnya. Kajian ini melahirkan teori-teori tentang jiwa dari filosof
Muslim, seperti sl-Fârâbî, Ibn Sînâ, al-„Âmirî, Ibn Bâjjah, Ibn Rusyd (w.1198),
Rūmî,59 Mullâ Shadrâ, dan Iqbâl. Umumnya mereka tersebut memahami jiwa sebagai
substansi immateriil, namun pada masa modern, apalagi setelah psikologi terpisah
dari filsafat, dianggaptidak ilmiah. Menurut Mulyadhi,
57
ini
bagian
yang
tidak
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.78-79
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 82
59
Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Dîn Rūmî; Guru Sufi Penyair Agung, terj: Ilham B.
Saenong dari buku The Mystical Reflections of Jalal al-Dîn Rūmî,(Jakarta Selatan: Teraju, cet. I.
2004), h. 87
58
84
terpisahkan dari upaya menemukan integrasi ilmu, khususnya dari segi bidang-bidang
ilmu.60
Selain itu, topik metafisika yang juga mendapat perhatian intens oleh para
filosof Muslim adalah alam imajinal (mitsāl), yang berada diantara alam materiil dan
spiritual. Alam ini adalah tempat bertemunya bentuk fisik dengan bentuk ruhani. Di
sini, entitas ruhani dimaterikan, sehinngga bisa mengambil bentuk fisik seperti
penampakan Jibril pada Nabi Muhammad Saw, sedangkan entitas fisik dimurnikan
atau dispiritualkan. Di alam ini tidak diperkenankan masuknya unsur materi kecuali
dalam bentuk image (citra) fisik, bukan fisikalitas itu sendiri.61
Dalam epistemologi Islam, ilmuwan-ilmuwan Muslim mengakui tiga macam
alat ilmu yang mampu menguak segala jenis objek ilmu, baik yang bersifat fisik
maupun nonfisik, yaitu indra, akal, dan hati (intuisi). Berbeda dengan neurologi
modern, menurut para filosof Muslim, indra merupakan kecakapan (daya) jiwa, yang
dimiliki setiap hewan (termasuk manusia), dan bukan sekadar kecakapan fisik seperti
dibayangkan ilmuwan modern. Jadi, bersama dengan gerak (harakah), indra (sensasi)
merupakan kecakapan jiwa manusia.62
Setelah menguraikan fungsi dan kelebihan masing-masing indra seperti
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba, Mulyadhi mengatakan
bahwa selain memiliki unsur kognitif, (sebagai sumber ilmu) indra juga memiliki
60
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 82-85
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 85
62
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 100-102
61
85
fungsi lain yang barangkali lebih vital daripada fungsi kognitif, yaitu sebagai
instrumen kelangsungan hidup (survival). Dalam upaya untuk bertahan hidup,
manusia melakukan dua hal: mendapatkan sesuatu atau menghindarkannya, dan
untuk melakukan dua hal tersebut indra sangat berperan penting. Oleh karena itu,
indra bukan hanya menjadi sumber pengetahuan bagi manusia, sekaligus juga alat
efektif untuk membantu manusia untuk bertahan hidup.63
Sebagai sumber sains, indra manusia mampu menggali beragam informasi.
Meskipun begitu, ia memiliki kelemahan, misalnya mata, ia hanya bisa menangkap
dan kemudian menterjemahkan gelombang cahaya dalam frekuensi 400 - 700
nanometer, tidak lebih dari itu. Sehingga sinar kosmik, sinar x, sinar gamma,
inframerah, dan ultraviolet luput darinya. Demikian juga indra lainnya, juga memiliki
keterbatasannya masing-masing. Keterbatasannya yang paling nyata adalah tidak bisa
mencerap entitas-entitas nonfisik. Untuk itu, dibutuhkan alat lain agar gambaran suatu
realitas menjadi utuh dan integral,64 antara lain sumber ilmu kedua, yaitu akal.
Menurut para filosof Muslim, akal merupakan kecakapan jiwa/mental yang khas
baginya.65 Kekuatan khas akal yang tidak berhubungan atau berdasar pada
pengindraan adalah kemampuannya mengabstrak dari konsep universal yang sudah
diabstrak dari benda konkret sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang tidak
bersangkutan dengan benda fisik. Misalnya, memahami perasaan sedih, gembira,
63
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 102-107
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 105-106
65
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h.21-24
64
86
kecewa, dan sebagainya. Selain itu, ia juga mampu mengkomunikasikan pikiran,
perasaan, gagasan, dan lain-lain melalui simbol-simbol (bahasa) ciptaannya. Ketika
kemampuan akal bisa mengabstrak dan mengenali esensi dari apa yang ditemuinya di
alam ini, tentu saja indra sangat membantu akal dengan cara mengajukan pertanyaan
berdasarkan kategori-kategori mental yang dimilikinya seperti kategori ruang, waktu,
substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas sehingga muncullah pertanyaan apa, di
mana, mengapa, siapa, beberapa, yang mana, dan lain-lain.66 Dengan demikian, akal
mampu memahami konsep yang diabstrak dari benda fisik seperti matematik, juga
yang diabstrak dari yang telah abstrak yaitu metafisik. Jadi, keberadaan objek
ma‟qūlât seperti malaikat dan Tuhan dapat ditangkap oleh akal melalui penalaran
rasional yang disebut silogisme, khususnya silogisme yang menggunakan dalil-dalil
burhānî (demonstratif). 67
Walaupun demikian, akal juga memiliki keterbatasan fundamental. Ibn
Khaldūn mengatakan, “sebagai timbangan emas dan perak, akal adalah sempurna;
tapi masalahnya bisakah timbangan emas dipakai untuk menimbang gunung?” Jadi,
pada sektor tertentu akal menjadi bungkam, sehingga, seperti Ibn Sînā dan Mullā
Shadrā, walaupun akal dijadikannya sebagai alat primer dalam penelitian ilmiah
filosofis, mereka masih mengakui adanya daya lain dimiliki manusia selain akal dan
indra, yaitu hati (intuisi) yang terkadang bisa melakukan apa yang tidak bisa
dilakukan akal. Bagi Bergson dan Rūmî, ketidakmampuan akal menembus realitas
66
67
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 107
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 108-110
87
karena ketergantungannya pada kata-kata (simbol).68 Pengenalan rasional terhadap
sebuah objek diperoleh melalui “representasi” yang kadang benar (kalau berkorelasi
positif), kadang keliru (kalau berkorelasi negatif). Modus pengetahuan seperti itu
tidak bisa membawa pada kepastian. Para filosof Isyraqî menyebut jenis pengetahuan
rasional sebagai ilmu hushūlî (acquerid knowledge). Berbeda dengan pengetahuan
rasional, pengetahuan intuitif disebut hudhūrî karena objek yang diamatinya hadir
dalam jiwa si pengamat, sehingga ia menjadi identik dengannya, yaitu seseorang
mengetahui secara langsung dan akrab dengan objek tanpa melalui konsep-konsep
atau representasi apa pun. Ada pun akal yang bekerja melalui kategori-kategori
mental yang subjektif, ia hanya mengetahui secara global dan tidak langsung. Dengan
demikian, intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan indrawi sebagai suatu
kesatuan sumber ilmu yang manusia miliki, dan banyak memberi tambahan informasi
yang lebih akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda
dengan akal dan indrawi. Adapun contoh keunggulan intuisi atas akal seperti kitab
Matsnawi oleh Jalāl al-Dîn Rūmî (w. 1273) yang memuat 36.000 bait sebagai hasil
pengalaman mistik setelah melakukan ritual sufistik hingga mencapai ekstase. Contoh
lain adalah karya Ibn „Arabî berjudul Risālah al-Anwār fi mā Yumnāh Shahib alKhalwā min al-Asrār. Melalui zikirnya Ibn „Arabî memasuki dunia mineral dan
tumbuhan hingga diperkenalkan dengan segala manfaatnya, baik bersifat medis
maupun nutritif. Selain itu, ia juga melihat surga, „Arasy dan dunia gaib lainnya yang
68
Mulyadhi Kartanegara, Jalal al-Dîn Rūmi, h. 75
88
akal bungkam mengenai hal itu. Sekitar 23 dunia disingkapkan kepadanya yang bisa
dilihat pada karyanya tersebut.69
Meskipun tinggi pengalaman sufi, itu baru awal dari pengalaman spiritual
para nabi. Baik al-Fārābî maupun Ibn Sînā mengakui tingkatan kenabian yang
dialami manusia. Ada kenabian tingkat yang lebih rendah (lesser prophethood),
seperti yang mungkin dialami oleh para wali/sufi, tetapi ada juga tingkat kenabian
yang lebih tinggi, seperti dialami oleh para nabi. Wahyu atau kenabian adalah puncak
pengalaman spiritual yang dicapai oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw.
Dengan demikian, Al-Quran sebagai sesuatu yang diterima dalam peristiwa kenabian
merupakan puncak pengalaman intuitif manusia yang tertinggi. Oleh karena itu,
dipandang sebagai salah satu sumber ilmu yang paling otoritatif, khususnya bagi ilmu
naqliyyah, apalagi yang menyangkut masalah akhirat dan setelah perceraian jiwa dan
jasad. Bagi al-„Âmîrî dan Ibn Sînā, wahyulah paling otoritatif untuk itu, sedangkan
akal hanya mampu membuktikan kekekalan dan kemampuan jiwa untuk bisa survival
setelah percerainnya dengan jasad.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengkaji berbagai objek
ilmu baik yang fisik maupun nonfisik, filosof Muslim mengakui empat sumber ilmu
yang terpadu dan saling melengkapi, yaitu indra, akal, hati, dan kitab suci (al-
69
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 110-113
89
Qur‟an). Keempat sumber ilmu ini membentuk satu kesatuan sumber ilmu yang
diakui manfaat dan keabsahannya yang tidak bisa dipisahkan.70
Adapun untuk dipaparkan bagaimana cara menggunakan alat-alat untuk
mendapatkan ilmu (indra, akal, dan hati) didayagunakan secara benar menurut
objeknya masing-masing. Juga metode yang digunakan dalam memahami al-Quran.
Sehingga pengetahuan yang didapatkan adalah “ilmiah”, khususnya ilmiah menurut
para ilmuwan Muslim. Untuk objek fisik, tidak cukup hanya diamati sebagaimana
yang dilakukan sehari-hari. Disamping indrawi memiliki kelebihan yang sama-sama
tidak kita nafikan, ia juga memiliki kelelamahan. Agar pengamatan indrawi lebih
objektif, maka muncul metode observasi indrawi untuk menyempurnakannya,
langkahnya menurut Mulyadhi adalah melakukan pengukuran, menggunakan alat
bantu, dan eksperimen. Namun, sistem pandangan keilmuan yang integral tidak hanya
menuntut objek fisik, tetapi juga nonfisik dengan dua cara, yaitu secara intelektual
melalui penyelidikan akal dan intuitif melalui pengalaman mistik atau “pengamatan”
hati (intuisi). Pertama, penyelidikan akal melalui metode-metode logis yang terdiri
dari burhānî (demonstratif), yaitu mengkaji silogisme yang menghasilkan
pengetahuan pasti; jadalî (dialektik), yaitu semacam penalaran analogis (silogisme)
yang menunjukkan bagaimana mematahkan atau membungkam lawan bicara;
mugālithî (sofistik), yaitu silogisme yang mengajarkan lawan dari kebenaran atau
mengaburkan kebenaran sehingga bisa membingungkan musuhnya; khithābi (retorik),
70
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 114-115
90
yang mengajarkan bagaimana mempengaruhi massa sehingga membuat mereka
tersugesti untuk melakukan suatu anjuran; syi‟rî (puitis), yaitu semacam silogisme
yang mengajarkan kiasan atau perumpamaan untuk mendorong atau menghindarkan
seseorang untuk melakukan sesuatu. Di antara bermacam metode logika tersebut,
metode demonstratiflah yang digunakan dalam dunia ilmiah.71
Silogisme-silogisme di atas merupakan cara mengambil kesimpulan yang
belum diketahui dari premis yang telah diketahui. Contohnya, setiap Mukmin tidak
korupsi, Nazaruddin melakukan korupsi, maka Nazaruddin bukan Mukmin. Kalimat
pertama disebut premis mayor dan yang kedua disebut premis minor, sedangkan
kalimat terakhir adalah kesimpulan. Adapun kedua premis di atas dihubungkan oleh
terma “korupsi” yang disebut sebagai middle term (al-hadd al-ausath). Middle term
mesti ada untuk memenuhi syarat tertentu agar kesimpulan dapat ditarik dengan
sempurna. Selain itu, kebenaran dan kualitas premis sangat penting untuk
menunjukkan pringkat silogismenya. Premis yang diambil dari kebenaran primer dan
langsung akan membawa pada kesimpulan yang benar dan pasti. Jika tidak, maka
silogismenya turun dari demonstratif menjadi dialektik. Dan, jika premisnya
kebenaran semu, yang dicapai adalah pringkat silogisme sofistik, hingga seterusnya
ke tingkat retorik dan puitis.72 Filosof Muslim menunjukkan contoh-contoh yang
keliru agar seseorang tidak terkena kekeliruan logis dalam mengambil kesimpulan.
71
72
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 138
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 139-140
91
Sehingga pemahaman akal terhadap objek ma‟qūlāt tidak keliru,73 sebagaimana objek
fisik dapat ditangkap oleh indra zahir manusia.
Metode lain
yang
bersifat non indrawi dan supra rasional adalah „irfānî.
Metode ini menurut tokohnya seperti Suhrawardî, Ibn „Arabî, dan Mullā Shadrā
mampu menangkap makna dari suatu objek secara keseluruhan. Tidak seperti akal
yang hanya menangkap bentuk eksternal/artifisial dari suatu objek abstrak yang
mereka sebut dengan shūrah atau shuwar. Metode „irfānî tidak tidak didasarkan pada
pengamatan indrawi atau intelektual (akal), tetapi lebih pada pengamat intuisi.
Pengamatan intuitif adalah pengenalan langsung (tanpa mediasi), baik yang berupa
konsep ataupun representasi.74 Sehingga dikatakan, terjadinya “identik” antara si
mengetahui dengan yang diketahui. Dengan kata lain, objek yang diteliti hadir dalam
jiwa seseorang (hudhurî), atau disebut juga ‟ilm hudhurî, lawan dari „ilm hushūlî atau
ilmu perolehan. Kualitas „ilm hudhurî ini bergantung pada tingkat kesempurnaan
seseorang. Semakin bersih zahir batin seseorang dari dosa, semakin siap ia menerima
dan menyongsong iluminasi (pencahayaan) dari Tuhan, bukan dengan mempertajam
pencerapan indra atau olah nalar.75
Dalam kategori ilmu intuitif atau hudhuri adalah “kenabian”. Nabi-nabi
adalah yang kualitas kepribadiannya menerima ilmuminasi dari Tuhan begitu tinggi.
Sehingga apa yang diterimanya tersebut begitu baik, akurat, dan sempurna
73
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 140-141
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 142-143
75
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 143-145
74
92
sebagaimana al-Quran. Namun, menurut Mulyadhi karena ia adalah ayat (tandatanda), maka ia bersifat simbolis atau memiliki makna spiritual (ma‟nawiyah).
Sehingga, penafsiran bahkan penafsiran ulang terbuka baginya, atau jika perlu ta‟wil.
Penafsiran terhadap kitab suci (al-Qur‟an) telah menghasilkan metode ilmiah Islam
yang disebut metode bayānî.76
Dalam rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis, ada beberapa
cara yang ditempuh oleh ahli tafsir dan ulama lainnya. (1) Tafsîr, mengubah redaksi
bahasanya dengan redaksi bahasa lain, baik yang sama kedudukannya dalam bahasa
Arab atau sepadan pengertiannya dengan bahasa asing; (2) Ta‟wîl, menjelaskan
makna sebuah ayat setelah menghilangkan makna esoterisnya; (3) Tashrîf, melakukan
pengubahan kata yang berimplikasi pada penambahan dan pengurangan; (4) Tafri‟,
mengembangkan sebuah objek dengan partisi-partisi atau sub-sub bahasa; (5) Jam‟,
menggabungkan yang terpisah; (6) Tafrîq, memisah-misahkan hal yang telah
terhimpun. Misalnya, memisahkan cuplikan ayat dari konteks keseluruhannya.77
Metode ilmiah tajrîbî, burhānî, „irfānî, dan bayānî yang merupakan kesatuan
padu dalam epistemologi Islam harus dipertahan dan dikembangkan jika tidak mau
terjadi disintegrasi metodologis. Keempat metode tersebut adalah sah dan ilmiah,
sekalipun objek penelitiannya tidak hanya yang fisik. Perbedaannya hanya pada sifat
76
77
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 145-146
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 146
93
objek penelitiannya. Diharapkan dengan keempat metode tersebut, seluruh rangkaian
objek dari yang fisik hingga metafisik dapat diketahui dengan cermat dan baik.78
Ada empat penjelasan ilmiah Aristotelian yang telah dipangkas oleh saintis
modern sedemikian rupa. Sehingga penjelasan ilmiah hanya melingkar-lingkar pada
yang kasatmata. Empat sebab atau prinsip penjelasan ilmiah Aristotelian tersebut
adalah: pertama, sebab efisien: yaitu sumber dari sebuah perubahan (gerak), atau
menurut Muhammad Taqi Mizbah Yazdî adalah sebuah wujud (maujūd) lewat mana
wujud yang lain (akibat) dihasilkan, termasuk agen alami yang mempunyai pengaruh
atas gerakan dan perubahan dari benda jasmani. Bagi Aristoteles dan pengikutnya
(peripatetik), Tuhanlah sebagai sebab efisien alam semesta. Selain Tuhan, akal aktif
juga dapat dikatakan sebagai sebab efisien. Sebab efisien ini bisa diterapkan pada
objek apa saja, baik budaya maupun objek fisik lainnya.79
Kedua, sebab final, yaitu tujuan akhir bagi sebab sesuatu itu dilakukan atau
diadakan.yang untuk mencapainya sesuatu itu dilakukan. Tidak seperti sains modern,
dalam epistemologi Islam, didapat beberapa jawaban atas pertanyaan untuk apa alam
ini diciptakan. Misalnya, alam diciptakan dengan tujuan tertentu (bi al-haqq) bukan
kebetulan atau tanpa tujuan (bi al-bāthil). Juga, ia diciptakan sebagai tanda (ayat)
Allah, yang menunjukkan keberadaan-Nya, kebesaran, kebijaksanaan, dan sifat-Nya
yang lain. Bahkan banyak sufi mengatakan alam semesta tak lain dari manifestasi
78
79
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 147
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h.153-155
94
(tajalliyāt) sifat-sifat ilahi.80 Selain sebagai tanda (ayat) Allah, juga diciptakan untuk
tujuan menghasilkan manusia khususnya dalam bentuknya yang sempurna (al-insān
al-kāmil) seperti yang diwakili oleh Nabi Muhammad Saw. Hadis qudsi mengatakan
laulāka wa laulāka mā khalaqtu a‟lām kulluhā.81 Dengan demikian, penciptaan alam
memiliki tujuan, bukan “kekuatan buta” oleh Schopenhour, juga kekuatan alam tanpa
tujuan tertentu seperti yang dibayangkan Darwin.82
Dalam wacana kosmologi kontemporer, sebenarnya ditemukan apa yang
dikenal sebagai prinsip antropis (anthropic principle). Walaupun dalam prinsip ini
memahami adanya tujuan terencana dari penciptaan alam yang puncaknya adalah
manusia. Namun, para ilmuwan modern ada yang ragu, tidak peduli, bahkan
membantah adanya campur tangan Tuhan. Meskipun begitu, bagi yang yakin bahwa
alam semesta diciptakan dengan tujuan tertentu, teori antropik di atas bisa dijadikan
sebagai jawaban alternatif terhadap sebab final penciptaan alam semesta,
sebagaimana dalam hadis qudsi di atas.
Ketiga, sebab materiil, yaitu sebagai sebab di mana sesuatu itu datang atau
sebab di mana sebuah perubahan terjadi. Sebab materiil berbicara tentang materi yang
menyusun sebuah objek. Sebab materiil ini harus ada disetiap objek yang diteliti,
tetapi materi ini sangat bergantung kepada bentuk dan si pemberi bentuk agar bisa
terlihat seperti sekarang ini. Pada alam semesta, menurut Aristoteles sebab
80
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 156
Mulyadhi Kartanegara , Menembus Batas Waktu, h. 44-45
82
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 157
81
95
materiilnya adalah “materi utama” (al-hāyūlā). Materi utama ini bukan, misalnya, air,
api, angin dan sebagainya, ia adalah potensi, yaitu berpotensi untuk mengaktual atau
sebaliknya. Oleh karena itu Ibn Sînā menyebut alam semesta sebagai mumkin alwujūd, yaitu wujud potensial yang untuk mengaktual memerlukan agen aktual yang
disebut wajib al-wujūd.83
Pengubahan potensi keaktualitas hanya mungkin apabila potensi tersebut diberi
bentuk (shūrah). Oleh karena itu, para filosof Muslim merasa penting menjelaskan
sebab keempat, yaitu sebab formal, yaitu sebab kemana sesuatu itu diubah, yang
dengannya berbagai objek memperoleh sifat khasnya masing-masing. Tanpa diberi
atau bergabungnya bentuk dan materi, materi alam tetap menjadi potensi dan tidak
mengaktual seperti sekarang ini. Pemberi bentuk tersebut adalah akal aktif, yang
sering disebut wāhib al-shuwar (pemberi bentuk).84 Keempat penjelasan ilmiah di
atas ilustrasinya seperti patung yang dibuat oleh seorang pemahat (sebab efisien).
Caranya dengan membuat beberapa perubahan pada perunggu (sebab materiil)
dengan tujuan untuk membuat sebuah objek yang menarik dan indah (sebab
finalnya), sehingga perunggu tersebut memperoleh bentuk khusus (sebab formal) dari
sebuah patung.85
Dalam alam pikiran modern, sebab materil dan formal dianggap kuno, tanpa
nilai atau makna yang besar kecuali dalam estetika. Sebab final juga demikian,
83
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 158-160
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara dari A History of Islamic
Philosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, cet. I. 1987), h. 137
85
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 150
84
96
apalagi dalam fisika, karena memang sebagian besar penelitian mencontohi fisika
yang ide tentang tujuan tidak memiliki tempat. Sebab formal, sebagaimana sebab
final, juga disingkirkan karena dipandang tidak menjelaskan fakta, tetapi berbicara
tentang makna yang tidak dibutuhkan oleh sains.86 Sedangkan sebab efisien masih
diperhatikan, namun dipahami dalam pengertian imanen, yaitu alam berasal dari
dirinya sendiri, tidak lebih dari itu. Sains modern hanya menjawab pertanyaan
“bagaimana”. Padahal, bagi kaum Muslimin, misalnya, pertanyaan tentang apa tujuan
alam diciptakan begitu bermakna. Hal demikian menyebabkan penjelasan ilmiah
tidak lengkap dan tidak memberi “orientasi” yang berguna bagi manusia, serta
menodai rasa ingin tahu manusia.141
Dari sudut pandang keilmuan yang integral dan holistik, keempat prinsip
(sebab) penjelasan ilmiah itu harus dikembalikan, alasannya agar sebuah objek
yangditeliti menjadi komprehensif.87 Dalam lipatan sejarah pemikiran Islam, keempat
prinsip penjelasan ilmiah tersebut mendapat perhatian serius, mulai dari al-Kindî
hingga Ibn Khaldūn, dan bahkan hingga pemikir Muslim kontemporer seperti
Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Thabathaba‟i, dan lain-lain.88 Sains
modern menderita banyak akibat hanya memperhatikan pada sebab efisien, kini
86
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 151
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 142
88
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 123-126
87
97
ilmuwan Barat mulai menyadarinya, sehingga mencoba melengkapinya dengan
menggunakan tradisi Timur.89
Menurut Al-Kindî, keempat penjelasan ilmiah tersebut menjawab pertanyaan
apakah, apa, yang mana dan mengapa. Keempatnya pertanyaan itu akan menjelaskan
tentang keberadaan (dari sesuatu), jenis dari setiap yang ada yang memiliki sebuah
genus, perbedaannya yang khas, dan tentang sebab final yang absolut.90 Akhirnya,
diperolehlah pengetahuan penuh tentang definisi dari setiap objek yang diteliti. Juga,
dengan menjelaskan keempat sebab tersebut, akan memperoleh pengetahuan yang
holistik dan komprehensif dari suatu objek yang diteliti, dan akhirnya secara tidak
langsung melebur menjadi satu.
C. Analisis Persamaan dan Perbedaan
Selama ini di kalangan Islam telah terjadi suatu pandangan yang membedakan
antara kailmuan Islam dan sains modern. Ada perlakukan diskriminatif terhadap dua
jenis ilmu tersebut. Umat Islam seolah terbelah antara mereka yang berpandangan
positif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an sambil memandang negatif yang lainnya, dan
mereka yang berpandangan positif terhadap sains sembari memandang negatif
terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an. Kenyataan itu telah melahirkan pandangan dan
perlakuan yang berbeda terhadap ilmuwan.
89
90
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 153
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu. h. 160
98
Karena itu perlu ada usaha untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang
data, memikirkan kembali argument dan rasional yang berkaitan dengan persoalam
tersebut dan menilai kembali kesimpulan dan penafsiran, memproyeksi kembali
tujuan-tujuan dan melakuakan semua itu sedemikian rupa sehingga memperkaya
wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita, yang mencoba memecahkan masalahmasalah yang timbul karena perjumpaan Islam dan sains moderns sebelumnya.
Al-Attas dan Mulyadhi merupakan cendikiawan yang memiliki kesamaan
pemikiran bahwa untuk mengatasi masalah yang dihadapi umat di antaranya yaitu
dikotomi pendidikan, merosotnya moral umat, adalah dengan cara integrasi agama
dan sains.
Dari kedua pemikir diatas dapat dianalisa bahwa ada persamaan dan
perbedaan dalam kerangka pemikiran mereka tentang integrasi agama dan sains.
1. Persamaan
Dilihat dari Landasan integrasi agama dan sains, Al-Attas dan Mulyadhi sama
dan satu konsep yang berlandasakan prinsip metafisik, ontologi, epistimologi, dan
aksiologi dengan konsep tauhid sebagai kuncinya. Al-Attas mendukung metode tauhid di
mana terdapat kesatuan antara kaidah empiris, rasional, deduktif dan induktif. Dia juga
menyarankan agar memakai metode tafsir dan ta‟wil sebagai metode pendekatan untuk
ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sama halnya dengan Mulyadhi, yang bisa direkam
dari integrasi ala Mulyadhi adalah, tauhid wahdah al-wujūd oleh seorang saintis
99
ketika melihat beragam aspek alam sekaligus cabang ilmunya, tergambar adanya satu
kesatuan dari seluruh realitas, termasuk dirinya sendiri di dalamnya. Mulyadhi juga
menginginkan adanya keterlibatan agama (metafisis-filosofis) terhadap sains. Namun,
keterlibatan ini tidaklah melebur dan menyatukan diri secara mutlak, metodologi
(cara memperoleh dan mengolahnya) tetap berbeda, kecuali dilihat dari sudut
pandang status ontologis, yang di situ membuat sains dan agama kelihatannya bisa
dirajut. Sehingga, epistemologi Islam sekaligus menjadi epistemologi sains.
Keduanya sepakat bahwa konsep integrasi agama dan sains merupakan solusi
dari masalah yang dialami umat. Yaitu dengan melakukan pembedahan ulang atas
nilai sains yang dikotomik dengan menyesuaikan dengan padangan Islam. Hal ini
bisa dilihat dari karya-kaya mereka Islam and Sekulerism dan integrasi ilmu serta
karaya lainya.
2. Perbedaan
Meskipun sama-sama mengemukakan ide tentang integrasi agama dan sains,
tetapi tak dapat dipungkiri kalau terdapat beberapa perbedaan antara kedua tokoh
tersebut diantaranya adalah:
1. Konsep integrasi Al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradsi magis,
mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam)
dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasanya.
Sedangkan konsep integrasi Mulyadhi adalah reintegrasi, yang bersifat
100
rekonstruksi (menata ulang) sistem keilmuan secara holistik, rekonstruksi
yang dimaksudkan Mulyadhi dapat ditegaskan yaitu meramu secara kritis
bahan-bahan yang ada pada tradisi intelektual Islam yang telah dibina
selama lebih dari satu millenium oleh para filosof dan ilmuwan Muslim
klasik.
2. Dalam metodologi, Al-Attas memisahkan unsur-unsur yang dibentuk
budaya peradaban barat dan memaskukan elemen-elemen Islam.
Sebagaimana telah dijelaskan Al-Attas Sumber dan metode sains menurtu
Al-attas ada 3 yaitu: Indera-indra lahir dan batin, Akal dan intuisi, otoritas.
Adapun untuk penerapan praktis memasukan elemen-elemen Islam sangat
terkait dengan dunia pendidikan. Konsep agama (dîn) menunjukkan
kepada maksud mencari pengetahuan dan keterlibatan dalam prose
pendidikan. Konsep manusia (insān) kepada ruang lingkup. Konsep ilmu
(„ ilm dan ma‟rifāh) mengacu kepada isi. Konsep kearifan (hikmāh)
kepada kreteria dalam hubungannya dengan konsep manusia (insān) dan
ilmu (ilm dan ma‟rifāh). Konsep keadilan ( „adl ) kepada pengembangan
dalam hubungannya dengan konsep kearifan (hikmāh). Konsep perbuatan
yang benar („amal sebagai adab) kepada metode dalam hubunggannya
dengan konsep agama (dîn) – konsep keadilan ( „adl ). Konsep universitas
(kulliyāh-jami‟āh)
dianggap
penting
karena
berfungsi
sebagai
implementasi semua konsep itu dan menjadi model sistem pendidikan
untuk tingkat rendah. Selanjutnya manurut al-Attas memasukkan konsep
101
kunci Islam, misalnya konsep universitas (kulliyāh-jami‟āh) yaitu harus
ditransformasikan kepada para mahasiswa yang belajar di Universitas.
Adapun Mulyadhi Mengintegrasikan agama dan sains yang telah
terdikotomi adalah dengan cara menemukan basis yang sama bagi sains
tersebut terkait sumber dan metode ilmiah menurut mulyadhi ada 4 yaitu;
tajrîbî, burhānî, „irfānî, dan bayānî yang merupakan kesatuan padu dalam
epistemologi Islam dan juga bisa menjadi sumber sains sehingga nanti
bisa menyatukan diri walaupun tidak secara mutlak.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
bisa disimpulkan bahwa Islam merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Allah.
Sehingga antara manusia dengan Allah terbingkai dalam mikrokosmos dan makrokosmos.
Saluran yang dipakai dalam hubungan itu adalah sains. Maka Islam dan sains merupakan
rangkaian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mencapai kebenaran. Pencapaian sains
didapatkan melalui hidayah Allah dan usaha manusia itu sendiri. Idealnya muslim yang
berpegang teguh pada Islam akan meraih kesuksesan dalam berfikir.
Adapun dikotomi agama dan sains yang terjadi selama ini, ternyata pada masa kejayaan
khasanah keilmuan Islam pada masa lampau tidak pernah terjadi. Penyebab dari permasalahan
ini adalah munculnya pemikiran dan budaya Barat yang meleburkan diri pada sains. Barat telah
berhasil meracuni pikiran Muslim melalui kebudayaan yang masuk ke tubuh umat Islam dengan
sains modernnya yang sangat maju dan sekuler. Seperti halnya lembaga pendidikan Islam di
Indonesia sendiri hampir semua terkontaminasi oleh budaya Barat sehingga terdapat
kecendrungan sinis terhadap keilmuan Islam dan itu berlanjut dengan kemunduran dalam dunia
pendidikan masyarakat Islam.
Melihat kenyataan ini maka para Cendikiawan Muslim mempunyai pandangan tersendiri
dalam menyatukan agama dan sains dengan cara integrasi, seperti Muhammad Naquib Al-Attas
dan Mulyadhi Kartanegara dengan konsep integrasinya yang telah dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya dengan persamaan dan perbedaan konsep integrasinya.
102
103
. Persamaan
Kriteria
Muhammad Naquib Al-Attas
Mulyadhi Kartanegara
Ontologi, epistemologi, aksiologi,
Ontologi, epistemologi, aksiologi,
dan tauhid sebagai konsep kunci
dan tauhid sebagai konsep kunci
Landasan Integrasi
Pebedaan
Kriteria
Konsep
Metodologi
Muhammad Naquib Al-Attas
Mulyadhi Kartanegara
Pembebasan manusia dari tradsi
magis, mitologis, animistis, kulturReintegrasi, yang bersifat rekonstruksi
nasional (yang bertentangan dengan
(menata ulang) sistem keilmuan
Islam) dan dari belenggu paham
secara holistik
sekuler terhadap pemikiran dan
bahasanya
Memisahkan unsur-unsur yang
dibentuk budaya peradaban barat
Menemukan basis yang sama bagi
dan memaskukan elemen-elemen
sains dengan tradisi intelektual Islam
Islam
Dari kajian dan pemikiran integrasi dari kedua tokoh di atas bisa disimpukan bahwa
integrasi Muhammad Naquib Al-Atta itu berbasis tasawuf yang menyuarakan intuisi sebagai
elemen dasar sedangkan Mulyadhi Kartanegara merujuk pada tradisi sains Islam klasik yang
bernuansa filosofis. Walaupun berbeda dalam metodologi namun mereka sama berpendapat
bahwa sains yang dianggap skuler ini bisa disatu padukan kembali karena sains menurut
Mulyadhi bukan sekedar fakta namun juga plus ilmuwan, sains juga bisa menempati sisi objektif
dan sujektif sekaligus. Sehingga sains pun bisa dinaturisasikan kembali seperti pada masa
keemasan keilmuan Islam klasik yang integral.
104
B. Saran-saran
Kajian Integrasi agama dan sains ini tentu tidak sempurna, sehingga diperlukan kajiankajian yang lebih mendalam mengenai tema tersebut dengan membandingkan konsep beberapa
tokoh sehingga bisa didapatkan sebuah bentuk yang ideal, karena kajian ini menyangkut tentang
tujuan hidup, sejarah, dan nilai Islam yang berorientasi membangkitkan kembali masyarakat dari
kemunduran yang disebakan oleh dikotomi antara agama dan sains.
Adapun yang tidak kalah pentingnya ialah mengimplementasikan dalam dunia
pendidikan segala hasil penelitian ini. Sehingga konsep ini bermanfaat.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syeh Muhammad Naquib. Islam dan Sekuralisme. terj. Karsidjo
Djojosuwarno dkk. Bandung: Pustaka, 1991.
________________, Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan, 1995.
________________, Konsep Pendidikan dalam Islam; suatu rangka pikir pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:Mizan, 1994.
________________, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan,1990
________________, Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah ; King Abdul
Aziz University, 1979.
________________, Prolegomena to the Methaphisics of Islam and Expo sition
Fundamental Elements of the Worldview of Islam Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.
of
Alatas, Ismail Fajrie. Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Diwani Publissing 2006.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung:
Pustaka, 1984.
Al-Qardhawi, Yusuf. Islam dan Sekulerisme, terj: Amirullah Kandu & Maman
Abd. Djaliel, Bandung: CV Pustaka Setia, 2006. cet. Ke-I.
Ahmad, Amrullah Kerangka dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara cita dan fakta,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991.
Ambary, Hasan Mu’arif. et, al, Suplemen Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar
Baru Van Hoevoe, 1995.
Assegaf, Abd. Rachman. Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004 cet. Ke-1.
Badaruddin, Kema. Filsafat Pendidikan Islam, Analisis Pemikiran Prof.Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Bagir, Zainal Abidin, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi
Bandung:Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press
Yogyakarta, 2005.
105
106
Butt, Nasim, “ Scince and Muslim Society ”, terj, Masdar Hilmi:
Sanins
masyarakat Islam, Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996, cet. Ke-1
dan
Bakar, Osman “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of
Islamic science”, terj oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay
tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah,
1994 cet. Ke-1
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara dari A History of
Islamic Philosophy, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987 cet. Ke-I.
Fathoni, Muhammad, “Filsafat Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Naquib Al-Attas”,
Retrieved Oktober 14, 2016, From http://dokumen.tips/documents/konseppendidikan-menurut-naquib-al.html.
Hashim, Rosnani. gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Komtemporer. No. 6 Thn. 2.
Jakarta : Juli-September, 2005.
Husiaini, A. et. al , Filsafat Ilmu : Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani
Press. 2013.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik,
Arasy,Mizan.2005.
________________, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam,
Jakarta: Erlangga. 2007.
________________, Menyelami Lubuk Tasawuf, Ahmad Ta’yudin & Singgih Agung
(ed), Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006.
________________, Menembus Batas Waktu. Panorama Fisafat Islam. Bandung:
Mizan,. 2002.
________________, Menyibak Tirai Kejahilan. Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
________________, Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf; Sebuah Pengantar, Agus
Darmaji (ed), (Jakarta: Ushul Press, cet. I. 2009.
________________, Jalal al-Dîn Rūmî; Guru Sufi Penyair Agung, terj: Ilham B.
Saenong dari buku The Mystical Reflections of Jalal al-Dîn Rūmî,Jakarta
Selatan: Teraju,. 2004. cet. Ke-I
Kuswanjono, Arqom, Integrasi Ilmu Perspektif Mullā Shadrā, Yogyakarta: Kahfi
Offset, 2010
107
Mulyanto, “ Islamisasi Ilmu pengetahuan” , Ulumul Qur’an, no.9, vol. II/1991
Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2005
Mikhael Dua A. Sony Keraf dan, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis,
Yogyakarta: Kanisius, 2001, cet, ke-1
Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan,
1990
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung : Mizan, 1995.
Nasr, Syayed Hossein, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam Spiritual; Jembatan
Filosofis dan Relegius Menuju Puncak, terj; Ali Noer Zaman dari The
Encouner Man and Nature, Yogyakarta; IRCisoD 2006. cet. Ke-I.
Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam. Pustaka Salman, 1987.
Syafie, Ahmad Bazli, “Metafizik Vs Sain; Krisis Pendidikan Barat Modern”, dalam
Al-hikmah, Bil. 3, Kuala Lumpur: Forum ISTAC, 2000.
Soleh, A. Khudlori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
cet. Ke-1.
Samsul Nizar dan Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,
teoritis dan Praktis cet.2, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Syaikh,M. Sa’id Kamus Filsafat Islam, ter: Machnun Husein dari buku A Dictionari
of Muslim Philosophy, Jakarta: Rajawali Pers, cet. I. 1991.
Suharton, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005.
Saefudin, A.M. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan,
1990.
SM, Ismail “Paradigma Pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib alAttas”dalam jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, 2001.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai
Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, (ed), Budaya Ilmu Satu Penjelasan, Singapura:
Pustaka Nasional Pte. Ltd. 2003.
108
_________________, The Educational Philosophy And Practice of Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.
________________, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Syed M. Naquib AlAttas, Bandung: Mizan, 2003.
Zainuddin, dkk (ed), Pendidikan Islam dari paradigma klasik Hingga Kontemporer,
Malang;UIN Malang Press, 2009.
Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007
cet. ke-I.
Download