ICU - Universitas Sumatera Utara

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Intensive Care Unit (ICU)
2.1.1
Definisi ICU
Menurut Rab (2007) dalam Pane (2010), ICU adalah ruang rawat di rumah
sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan
mengobati pasien dengan perubahan fisiologis yang cepat memburuk yang
mempunyai intensitas defek fisiologis satu organ ataupun mempengaruhi organ
lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian.
Bersten & Soni (2009) dalam bukunya yang berjudul “Oh’s Intensive Care
Manual” menyebutkan definisi ICU yaitu suatu area di rumah sakit dimana
dilengkapi oleh staf dan peralatan khusus yang tujuannya untuk memberi
pertolongan pada pasien dengan penyakit, cedera, ataupun komplikasi yang dapat
mengancam kehidupan.
ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulitpenyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan
prognosis dubia (Kepmenkes RI, 2010).
2.1.2
Klasifikasi ICU
Berdasarkan “Oh’s Intensive Care Manual” (Bersten & Soni, 2009)
disebutkan bahwa ICU diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Tingkat I
: Terdapat di rumah sakit daerah. ICU pada level ini memberikan
pelayanan berupa resusitasi dan bantuan cardiorespiratory untuk
waktu yang singkat terhadap pasien kritis serta pelayanana berupa
pengawasan dan pencegahan komplikasi pada pasien yang berisiko
dan juga pasien dengan tindakan pembedahan. ICU ini mampu
menyediakan
bantuan
ventilator
mekanik
dan
monitor
cardiovascular invasif untuk periode yang singkat. ICU ini dipimpin
Universitas Sumatera Utara
6
oleh intensive care specialist. ICU ini membutuhkan adanya
kebijakan dalam hal rujukan dan transportasi.
Tingkat II :
Terdapat di rumah sakit umum. ICU ini memberikan pelayanan
intensif yang tinggi, termasuk bantuan hidup multisistem
(multisystem life support). ICU ini harus mempunyai petugas medis
di tempat dan akses fasilitas farmasi, pathology, dan radiology setiap
waktu dibutuhkan, tetapi tidak harus memiliki semua fasilitas terapi
dan pemeriksaan (misalnya: radiologi, pelayanan bedah jantung).
ICU ini terdiri dari kepala ICU dan konsultan. Sama seperti ICU
tingkat I, ICU tingkat II juga harus memiliki kebijakan dalam hal
rujukan dan transportasi.
Tingkat III:
Terdapat pada rumah sakit tersier yang merupakan rumah sakit
rujukan. ICU ini harus memiliki seluruh aspek yang dibutuhkan
untuk pelayanan pasien yang dirujuk untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan. Staf yang dibutuhkan oleh intensivis adalah tenaga
terlatih, perawat critical care, seluruh tenaga professional kesehatan
dan staf ahli lainnya.
Sebagian literatur medis mengkategorikan ICU menjadi “open” dan ”close”.
Analisis yang dilakukan oleh Groeger et al., open mengacu pada unit dimana setiap
dokter dapat menulis perintah medis sedangkan close mengacu pada unit dimana
hanya dokter ICU yang dapat menulis perintah medis. Penelitian lain menambahkan
jenis ketiga dari ICU yaitu “transitional” (Brilliet al., 2001).
Berdasarkan Kepmenkes RI (2010), ICU di Indonesia diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu primer, sekunder, dan tersier. Ketiganya dibedakan berdasarkan
kemampuan pelayanan, ketenagaan, disain, dan peralatan.
Universitas Sumatera Utara
7
A.
Kemampuan Pelayanan
Jenis tenaga dan kelengkapan pelayanan menentukan klasifikasi pelayanan
di rumah sakit tersebut atau sebaliknya seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan kemampuan pelayanan
Kemampuan Pelayanan
No.
Primer
Sekunder
Tersier
1.
2.
3.
Resusitasi jantung
Resusitasi jantung
Resusitasi jantung
paru
paru
paru
Pengelolaan jalan
Pengelolaan jalan
Pengelolaan jalan
napas, termasuk
napas, termasuk
napas, termasuk
intubasi trakeal dan
intubasi trakeal dan
intubasi trakeal dan
ventilasi mekanik
ventilasi mekanik
ventilasi mekanik
Terapi oksigen
Terapi oksigen
Terapi oksigen
Pemasangan kateter
4.
Pemasangan kateter
Pemasangan kateter
vena sentral, arteri,
vena sentral
vena sentral dan arteri
Swan Ganz dan ICP
monitor
Pemantauan ECG,
5.
Pemantauan ECG,
Pemantauan ECG,
pulsoksimeter, dan
pulsoksimeter, dan
pulsoksimeter, dan
tekanan darah non
tekanan darah non
tekanan darah non
invasif dan invasif,
invasif
invasif
Swan Ganz dan ICP
serta echo monitor
6.
7.
Pelaksanaan terapi
Pelaksanaan terapi
Pelaksanaan terapi
secara titrasi
secara titrasi
secara titrasi
Pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi
enteral dan parenteral
enteral dan parenteral
enteral dan parenteral
Universitas Sumatera Utara
8
No.
8.
9.
10.
11.
12.
Kemampuan Pelayanan
Primer
Sekunder
Tersier
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
laboratorium khusus
laboratorium khusus
laboratorium khusus
dengan cepat dan
dengan cepat dan
dengan cepat dan
menyeluruh
menyeluruh
menyeluruh
Melakukan
Melakuakan
Melakukan
fisioterapi dada
fisioterapi dada
fisioterapi dada
Memberikan
Memberikan
Memberikan
tunjangan fungsi
tunjangan fungsi
tunjangan fungsi vital
vital dengan alat-alat
vital dengan alat-alat
dengan alat-alat
portabel selama
portabel selama
portable selama
transportasi pasien
transportasi pasien
transportasi pasien
gawat
gawat
gawat
Melakukan prosedur
Melakukan prosedur
isolasi
isolasi
Melakukan
Melakukan
-
-
hemodialisis intermitten hemodialisis intermitten
dan kontinyu
dan kontinyu
Sumber : Kepmenkes (2010)
B.
Ketenagaan
Tenaga yang terlibat dalam pelayanan di ICU meliputi tenaga dokter
intensivis, dokter spesialis, dokter yang telah mengikuti pelatihan ICU, dan perawat
terlatih di ICU. Tenaga yang terdapat pada masing-masing jenis ICU tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.2 berikut.
Universitas Sumatera Utara
9
Tabel 2.2 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan ketenagaan
Jenis
Klasifikasi Pelayanan
No.
Tenaga
Primer
Sekunder
1.
Kepala
ICU
1. Dokter spesialis 1. Dokter
anestesiologi
Tersier
Dokter intensivis
intensivis
2. Dokter spesialis 2. Dokter
lain yang telah
spesialis
mengikuti
anestesiologi
pelatihan
ICU
(jika
belum
(jika belum ada
ada
dokter
dokter spesialis
intensivis)
anestesiologi)
2.
Tim
medis
1. Dokter spesialis 1. Dokter
1. Dokter spesialis
sebagai
spesialis
(yang
konsultan (yang
(yang
memberikan
dapat dihubungi
memberikan
pelayanan setiap
setiap
pelayanan
diperlukan)
diperlukan)
setiap
2. Dokter jaga 24
jam
dapat
2. Dokter jaga 24
diperlukan)
dengan 2. Dokter
kemampuan
24
resusitasi
dengan
jantung
paru
jam
ALS/ACLS dan
FCCS
kemampuan
bersertifikat
dan FCCS
bantuan
dengan
kemampuan
ALS/ACLS
dasar
jam
jaga
yang
bantuan
dapat
hidup
dan
hidup
lanjut
Universitas Sumatera Utara
10
No.
3.
Klasifikasi Pelayanan
Jenis
Tenaga
Primer
Sekunder
Tersier
Perawat
Perawat terlatih
Minimal 50%
Minimal 75% dari
yang
dari jumlah
jumlah seluruh perawat
bersertifikat
seluruh perawat
di ICU merupakan
bantuan hidup
di ICU
perawat terlatih dan
dasar dan
merupakan
bersertifikat ICU
bantuan hidup
perawat terlatih
lanjut
dan bersertifikat
ICU
4.
Tenaga
1. Tenaga
1. Tenaga
1. Tenaga administrasi
non
administrasi
administrasi
di
medis
di ICU harus
di ICU harus
mempunyai
mempunyai
mempunyai
kemampuan
kemampuan
kemampuan
mengoperasikan
mengoperasi
mengoperasi
komputer
kan
kan
berhubungan dengan
komputer
komputer
masalah administrasi
yang
yang
berhubungan
berhubungan 3. Tenaga kefarmasian
dengan
dengan
4. Tenaga prakarya
masalah
masalah
5. Tenaga kebersihan
administrasi
administrasi
6. Tenaga rekam medik
2. Tenaga
prakarya
3. Tenaga
kebersihan
2. Tenaga
prakarya
3. Tenaga
ICU
harus
yang
2. Tenaga laboratorium
7. Tenaga
kepentingan
untuk
ilmiah
dan penelitian
kebersihan
Sumber : Kepmenkes (2010)
Universitas Sumatera Utara
11
C.
Disain
Pelayanan ICU yang memadai juga ditentukan berdasarkan disain yang baik
dan pengaturan ruang yang adekuat. Disain berdasarkan klasifikasi pelayanan di
ICU dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan disain
Disain
Primer
Sekunder
Tersier
Area pasien
Satu tempat cuci
Satu tempat cuci
Satu tempat cuci
tangan tiap dua
tangan tiap dua
tangan tiap dua
tempat tidur
tempat tidur
tempat tidur
Satu tempat cuci
Satu tempat cuci
Satu tempat cuci
tangan tiap satu
tangan tiap satu
tangan tiap satu
tempat tidur
tempat tidur
tempat tidur
Outlet oksigen
Satu
Dua
Vakum
-
Satu
Dua tiap tempat
Dua tiap tempat
Enam belas tiap
tidur
tidur
tempat tidur
Unit terbuka
12-16 m2
Unit tertutup
16-20 m2
Stop kontak
Tiga tiap tempat
tidur
Tiga tiap tempat
tidur
Area Kerja
Ligkungan
Air Conditioned
Air Conditioned
Air Conditioned
Suhu
23 − 25℃
23 − 25℃
23 − 25℃
Humiditas
50 − 70%
50 − 70%
50 − 70%
Ruang isolasi
-
+
+
+
+
+
+
+
+
Ruang penyimpanan
peralatan dan barang
bersih
Ruang tempat buang
kotoran
Universitas Sumatera Utara
12
Disain
Primer
Sekunder
Tersier
Ruang perawatan
+
+
+
Ruang staf dokter
-
+
+
-
+
+
Terpusat
24 jam
24 jam
Ruang tunggu
keluarga pasien
Laboratorium
Sumber : Kepmenkes (2010)
D.
Peralatan
Peralatan yang memadai termasuk kualitas maupun kuantitasnya sangat
membantu kelancaran pelayanan di ICU. Peralatan yang tersedia pada masingmasing jenis ICU dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan peralatan
Peralatan
Primer
Sekunder
Ventilasi mekanik
Alat hisap
Alat ventilasi manual dan
alat penunjang jalan
nafas
Peralatan akses vaskuler
Tersier
Standard (Sesuai Standard (Sesuai Standard (Sesuai
jumlah bed)
jumlah bed)
jumlah bed)
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed +1)
jumlah bed +1)
bed +1)
+
+
+
+/- (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed)
bed)
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed)
bed)
Peralatan monitor
Invasif :
- Tekanan darah
- Tekanan vena sentral
-
+
Universitas Sumatera Utara
13
Peralatan
-
Primer
Sekunder
Tersier
-
-
+ (Lima unit)
ECG dan laju
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jantung
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
Saturasi oksigen
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
(pulse oxymeter)
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
Tekanan baji arteri
pulmonalis (Swan
Ganz)
Non Invasif :
-
-
Tekanan darah
-
Kaptograf
-
+ (Minimal
satu)
+ (Minimal satu)
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
EEG/ BIS monitor
-
+
+
Defibrilator
+ (Satu unit)
+ (Satu unit)
+ (Satu unit)
Alat pacu jantung
-
-
+
Alat pengatur suhu
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
pasien
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
Peralatan drain toraks
+
+
+
+/+ (2x jumlah
+/+ (2x jumlah
bed/ 3x jumlah
bed/ 3x jumlah
bed)
bed)
Suhu
Pompa infus dan pompa
syringe
+/+
Bronchoscopy
-
Satu unit
Satu unit
Echocardiografi
-
Satu unit
Satu unit
Satu unit
Dua unit
Dua unit
Peralatan portable untuk
transportasi (ventilator +
monitor)
Universitas Sumatera Utara
14
Peralatan
Tempat tidur khusus ICU
Lampu untuk tindakan
Hemodialisis
Primer
Sekunder
Tersier
+ (Sesuai
+ (Sesuai
+ (Sesuai jumlah
jumlah bed)
jumlah bed)
bed)
+ (Minimal
+ (Minimal
satu)
satu)
-
Satu unit
Satu unit
-
Satu unit
Satu unit
+ (Minimal satu)
CRRT (Continuous
Renal Replacement
Therapy)
Sumber : Kepmenkes 2010
2.1.3
Indikasi Masuk dan Keluar ICU
Apabila fasilitas sarana dan prasarana di ICU tidak cukup untuk
menampung seluruh pasien yang ada, maka perlu adanya pemilihan terhadap
pasien-pasien yang memang perlu penanganan dengan segera. Untuk itu perlu
adanya kriteria ataupun indikasi pasien masuk ICU. Selain indikasi masuk ICU juga
diperlukan adanya kriteria ataupun indikasi pasien keluar ICU sehingga pasien yang
memang sudah tidak memerlukan penanganan lagi dapat keluar dari ICU dan
digantikan dengan pasien yang memang lebih memerlukan pelayanan di ICU.
Untuk itu, terdapat beberapa kriteria masuk dan keluar ICU yang telah dibuat oleh
Kepmenkes (2010) yaitu sebagai berikut.
A.
Kriteria masuk
Berdasarkan Kepmenkes (2010), pada dasarnya pasien yang dirawat di ICU
adalah pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan reversibel (pulih
kembali). Pasien yang layak dirawat di ICU adalah:
1.
Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care.
2.
Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan, terus menerus, dan metode terapi titrasi.
Universitas Sumatera Utara
15
3.
Pasien sakit kritis yang memerlukan pantauan kontinyu dan tindakan segera
untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Namun, karena terdapat adanya keterbatasan dalam hal fasilitas di ICU,
maka berlakulah tiga asas prioritas. Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas satu) lebih didahulukan dibandingkan dengan
pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas tiga). Perlu
diperhatikan bahwa dalam menentukan prioritas pasien masuk ICU sebaiknya
ditentukan berdasarkan penilaian objektif terhadap berat dan prognosis penyakitnya
(Kepmenkes, 2010).
Marik (2015) dalam bukunya yang berjudul “Evidence-Based Critical
Care” menyebutkan bahwa terdapat empat prioritas dalam menentukan pasien
masuk ke ICU. Prioritas pertama yang akan memberikan hasil yang sangat
bermanfaat jika dirawat di ICU sedangkan prioritas empat tidak akan memberikan
manfaat sama sekali jika dirawat di ICU.
a.
Prioritas satu
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif dan pengawasa yang tidak selalu tersedia di luar
ICU. Contohnya pasien yang membutuhkan bantuan ventilator, pemberian
infus obat vasoaktif yang diberikan secara titrasi terus menerus, dll (Marik,
2015). Suatu institusi juga dapat membuat kriteria spesifik misalnya derajat
hipoksemia ataupun hipotensi dibawah tekanan darah tertentu. Pasien yang
tergolong dalam prioritas satu, umumnya memerlukan terapi yang tidak
mempunyai batas (Kepmenkes, 2010).
b.
Prioritas dua
Kelompok ini merupakan pasien yang memerlukan pelayanan pemantauan
canggih di ICU dan merupakan pasien yang berisiko untuk memerlukan
terapi intensif secara tiba-tiba. Contohnya pasien dengan penyakit jantung,
paru-paru, ginjal, atau penyakit sistem saraf pusat dimana pasien tersebut
memiliki penyakit yang berat dan akut atau pasien yang menjalani bedah
Universitas Sumatera Utara
16
mayor (Marik, 2015). Sama halnya dengan pasien yang tergolong dalam
prioritas pertama, pasien yang tergolong dalam prioritas dua juga
memerlukan terapi yang tidak mempunyai batas. Hal ini disebabkan karena
kondisi medis pasien golongan prioritas kedua senantiasa berubah
(Kepmenkes, 2010).
c.
Prioritas tiga
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta pasien tidak stabil status
kesehatannya
sebelumnya,
yang
disebabkan
oleh
penyakit
yang
mendasarinya atau penyakit akut yang dapat mengurangi kemungkinan
kesembuhan dan manfaat dari perawatan di ICU. Pasien ini dapat menerima
perawatan intensif untuk mengurangi penyakit akutnya tetapi usaha dengan
tujuan terapi diberhentikan sebentar misalnya untuk pemasangan intubasi
atau resusitasi jantung paru. Contoh pasien pada prioritas tiga ini yaitu
pasien dengan keganasan metastatik dengan komplikasi infeksi, pericardial
tamponade atau obstruksi jalan nafas, atau pasien dengan penyakit jantung
atau paru pada stadium terakhir dengan komplikasi penyakit yang berat dan
akut (Marik, 2015). Pasien yang tergolong dalam prioritas tiga mamiliki
kemungkinan sembuh dan/ atau manfaat terapi yang sangat kecil
(Kepmenkes, 2010).
d.
Prioritas empat
Pasien pada prioritas empat ini merupakan pasien yang secara umum tidak
tepat untuk masuk ICU. Indikasi masuk pasien ini seharusnya berdasarkan
individu tersebut, pada keadaan yang tidak biasa, dan atas kebijaksanaan
pimpinan. Pasien ini dapat digantikan apabila memenuhi kategori berikut:

Manfaat perawatan di ICU sedikit atau bahkan tidak ada (dibandingkan
dengan perawatan yang tidak di ICU) yang didasarkan atas intervensi
aktif yang berisiko rendah yang tidak bisa dengan aman dipindahkan ke
ruangan non-ICU.
Contohnya: pasien dengan peripheral vascular
Universitas Sumatera Utara
17
surgery, diabetic ketoacidosis dengan keadaan hemodinamik yang
stabil, conscious drug overdose, mild congestive heart failure, dll.

Pasien dengan penyakit terminal, penyakit yang irreversibel.
Contohnya: pasien dengan kerusakan otak berat yang irreversibel,
irreversible multiorgan sistem failure, keganasan metastatik yang tidak
respon terhadap kemoterapi dan/ atau teapi radiasi, brain dead nonorgan donor, pasien dengan keadaan vegetatif yang menetap, pasien
yang tidak sadar secara menetap, dll.
Kelompok ini termasuk pasien yang menolak untuk dirawat di ICU dan/
atau monitor infasif dan lebih memilih perawatan yang aman saja.
Kelompok ini mengecualikan pada pasien yang mengalami kematian
batang otak tetapi akan mendonorkan organnya (pasien ini
membutuhkan monitor infasif dan/ atau perawatan di ICU).
Prioritas yang disebutkan oleh Marik sama saja dengan prioritas yang
disebutkan oleh Kepmenkes. Namun, terdapat sedikit perbedaan yaitu pembagian
prioritas yang disebutkan oleh Marik terdapat empat prioritas sedangkan menurut
Kepmenkes terdapat tiga prioritas ditambah satu kriteria pasien yang termasuk
dalam pengecualian (yang merupakan prioritas empat menurut Marik).
B.
Kriteria Keluar
Berikut ini beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengeluarkan
pasien dari pelayanan ICU (Keputusan direktur jenderal bina upaya kesehatan,
2011):
a.
Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga
tidak membutuhkan terapi atau pemantauan intensif yang lebih lanjut.
b.
Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberikan hasil yang berarti bagi pasien.
Universitas Sumatera Utara
18
2.1.4 Informed Consent
Keputusan direktur jenderal bina upaya kesehatan (2011) menyebutkan
bahwa sebelum masuk maupun keluar dari ICU, diperlukan adanya penjelasan
kepada pasien dan/ atau keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan maupun
prognosis penyakit pasien. Penjelasan tersebut akan dilakukan oleh kepala ICU atau
dokter yang bertugas. Setelah mendapatkan penjelasan, maka pasien dan/ atau
keluarga akan menentukan apakah akan menerima atau menolak tindakan yang
dianjurkan oleh dokter. Kemudian pasien dan/ atau keluarga akan menandatangani
suatu surat yang berisi pernyataan menerima ataupun menolak suatu tindakan yang
dianjurkan.
2.2
Kematian
2.2.1
Definisi
Soenarjo et al. (2013) dalam bukunya yang berjudul “Anestesiologi”
menyebutkan beberapa definisi kematian, yaitu :
A.
Mati klinis atau mati somatis
Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta
berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat
dilakukan resusitasi jantung paru dan kemudian dapat diikuti dengan
pemulihan semua fungsi.
B.
Mati sosial
Mati sosial terjadi pada penderita dengan kerusakan otak yang berat oleh
sebab apapun dan tidak reversibel, penderita tidak sadar dan tidak dapat
memberi respon terhadap rangsang/ berbicara, tetapi jika dilakukan
pemeriksaan EEG masih tampak aktivitas otak dan beberapa refleks masih
positif. Bahkan mungkin masih dapat terjadi siklus tidur dan bangun, tetapi
secara sosial sudah tidak dapat memberi respon/ berinteraksi. Keadaan ini
disebut juga keadaan vegetatif yang menetap atau sindroma apalika.
Universitas Sumatera Utara
19
C.
Mati biologis
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis
tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ
tubuh secara biologis akan mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paruparu, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya tahan hidup tiap organ
berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi secara tidak
bersamaan.
D.
Mati otak (mati batang otak)
Mati otak terjadi kerusakan irreversibel serebrum dan bagian otak lain
termasuk batang otak. Pada kondisi ini refleks saraf otak negatif, tidak ada
nafas spontan (karena pusat nafas terletak di batang otak). Mati otak terjadi
karena hipoksia otak yang terjadi karena penurunan aliran darah otak.
Dalam penentuan mati otak (Brain Death Certification), hal pertama yang
penting untuk dilakukan adalah menentukan adanya mekanisme spesifik
yang mendahului sebelum terjadinya mati otak misalnya mengetahui adanya
kerusakan struktur otak yang dapat dilihat dari CT atau MRI. Disamping itu,
perlu disingkirkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran atau mengganggu penilaian kesadaran, seperti : syok, hipotensi,
hipotermi < 32℃ , ensefalitis, SGB (Sindrom Guillain-Barre), penggunaan
obat-obatan (Soenarjo et al., 2013).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan (tes klinis) berikut ini (Soenarjo et al.,
2013):
1.
Hilangnya fungsi otak/ serebral yang ditandai dengan : koma, syok,
hipotensi, tidak ada respon terhadap rangsang, tidak bergerak.
2.
Hilangnya fungsi batang otak yang ditandai dengan hasil negatif dari
ketujuh tes fungsi batang otak.
Universitas Sumatera Utara
20
Ketujuh tes fungsi batang otak tersebut yaitu:
a)
Tidak ada respon terhadap nyeri.
Hal ini dilakukan dengan memberi tekanan pada supra orbita atau
pada sternum dengan ibu jari. Positif jika tidak ada gerakan pada
salah satu ekstremitas.
b) Pupil tidak respon terhadap cahaya.
Terlebih dahulu pastikan bahwa penderita tidak mendapat tetes
mata antikolinergik sebelumnya. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan mengarahkan cahaya pada kedua pupil secara bergantian,
lalu lihat respon pupil. Positif jika tidak ada kontraksi pupil pada
kedua mata.
c)
Tidak ada refleks kornea.
Tes ini dilakukan dengan menyentuhkan kornea dengan kapas
basah. Jika tidak ada respon, maka coba beri tekanan dengan cotton
bud basah secara hati-hati. Positif jika tidak ada kontraksi otot
sekitar (musculus orbicularis oculi).
d) Tidak ada refleks okulo sefalik (doll eye reflex).
Tes ini tidak boleh dilakukan jika ada trauma vertebra servikal. Tes
ini dilakukan dengan cara memegang kepala dengan tetap
membuka kelopak mata lalu gerakkan kepala ke kanan dan kiri
90ᵒ. Positif apabila mata tidak ikut bergerak walaupun kepala
digelengkan (tetap terfiksasi).
e)
Tidak ada refleks muntah dan batuk.
Tes ini dilakukan dengan menggunakan spatula yang akan
menekan lidah dan menyentuh bagian posterior faring dengan
spatula lain. Masukkan suction catheter lewat pipa endotrakeal
Universitas Sumatera Utara
21
untuk menstimulasi trakea. Positif apabila tidak terjadi refleks
muntah ataupun batuk.
f)
Tidak ada refleks okulo-vestibular (caloric test).
Periksa telinga dengan otoskop untuk pastikan membrana timpani
baik, naikkan kepala dari tempat tidur 30ᵒ masukkan dengan
suction catheter 50 ml air dingin/ es pelan-pelan (selama 15-30
detik) ke dalam telinga. Perhatikan deviasi pupil kearah telinga
yang sedang diirigasi, perhatikan selama satu menit. Tidak ada
gerakan mata berarti tes positif.
g) Tes apneu.
Beri oksigen 100% selama 10-20 menit sebelum tes. Periksa
analisa gas darah untuk menentukan PaCO2 dasar. Monitor ECG,
tekanan darah, dan saturasi oksigen untuk memastikan tekanan
sistolik di atas 90 mmHg dan saturasi oksigen di atas 90% selama
tes berlangsung. Jika terjadi penurunan tekanan darah maupun
saturasi oksigen maka ventilator harus segera disambungkan
kembali. Beri insuflasi oksigen 6 liter/menit dengan suction
catheter lewat pipa endotrakea, lepaskan hubungan dengan
ventilator dan amati adakah nafas spontan selama 5-8 menit, lalu
periksa analisa gas darah lagi sebelum dihubungkan kembali
dengan ventilator.
Hasil positif jika tidak ada gerak nafas selama dilepas dari
ventilator dan ada kenaikan PCO2> 50 mmHg atau kenaikan > 20
mmHg. Jika belum terjadi kenaikan PCO2 seperti yang diinginkan,
dapat diulangi dengan memperpanjang periode lepas ventilator
sampai 10 menit.
Universitas Sumatera Utara
22
2.2.2
Fase Kematian
Kematian dibagi menjadi dua fase (Soenarjo et al., 2013), yaitu :
a.
Somatic death (Kematian somatik) merupakan fase kematian dimana tidak
didapati tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan,
suhu badan yang menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak dalam
rekaman EEG.
b.
Biological death (Kematian bioligik) merupakan fase kematian yang terjadi
akibat lanjutan dari fase kematian somatik yang berlangsung dalam dua jam.
Fase kematian ini ditandai dengan kematian sel.
2.2.3
Tanda-Tanda Kematian
Terdapat dua pembagian tanda-tanda kematian, yaitu tanda kematian dini
dan tanda kematian lanjut (Soenarjo et al., 2013).
a.
b.
2.3
Tanda kematian dini:
1.
Pernafasan berhenti > 10 menit.
2.
Sirkulasi berhenti 15 menit.
3.
Kulit pucat.
4.
Tonus otot hilang.
5.
Kornea kering dalam 10 menit.
Tanda kematian lanjut/ tanda pasti kematian:
1.
Livor mortis (lebam mayat).
2.
Rigor mortis (kaku mayat).
3.
Algor mortis (penurunan suhu tubuh).
4.
Dekomposisi (pembusukan).
5.
Adiposera, lilin mayat.
6.
Mummifikasi.
Prevalensi penyebab kematian di ICU
Berdasarkan data yang diperoleh
Society of Critical Care Medicine
(SCCM) (2006), tiga penyebab utama kematian di ICU adalah gagal organ mutipel
Universitas Sumatera Utara
23
(Multiple Organ Failure/ MOF), cardiovascular failure, dan sepsis. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Agalu et al. (2014), penyakit cardiovascular
merupakan jenis penyakit yang paling sering masuk di ICU dan juga mempunyai
angka kematian yang signifikan jika dibandingkan dengan jenis penyakit lainnya
yang dirawat di ICU.
2.3.1
Gagal Organ Multipel (Multiple Organ Failure/ MOF)
SOCCA (Society of Critical Care Anesthesiologists) pada tahun 2013,
menyebutkan sindrom disfungsi organ multipel (Multiple Organ Dysfunction
Syndrome/ MODS) atau gagal organ multipel (Multiple Organ Failure/ MOF)
sebagai suatu adanya perubahan fungsi organ pada beberapa sistem sehingga
homeostasis tidak dapat dicapai tanpa intervensi (Birdi & Popovich, 2013).
Angka kejadian MOF di ICU pada populasi yang berisiko tinggi pada
umumnya hampir sama atau setara di seluruh dunia yaitu 11%. Di Amerika Serikat,
MOF didiagnosis pada 15-18% pasien yang masuk ke ICU. MOF merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien yang dirawat di ICU non-koroner
(Herwanto &Amin, 2009).
Faktor risiko utama terjadinya MODS adalah sepsis dan Sistemic
Inflammatory Response Syndromes (SIRS), beratnya penyakit (berdasarkan Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation/ APACHE II dan III), syok dan
hipotensi berkepanjangan, terdapat fokus jaringan mati, trauma berat, operasi berat,
adanya gagal hati stadium akhir, infark usus, disfungsi hati, usia > 65 tahun, dan
penyalahgunaan alkohol. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian lain yang
dilakukan oleh Offner dan Moore, Moore et al, dan Sauaia et al menekankan bahwa
faktor risiko MODS pada pasien-pasien trauma meliputi transfusi darah masif,
trauma abdomen mayor, dan fraktur multipel (Herwanto & Amin, 2009).
2.3.2
Heart Failure
Heart failure (HF) adalah suatu sindrom yang kompleks yang disebabkan
oleh gangguan struktural atau fungsional terhadap pengisian ventrikel atau ejeksi
darah (Yancy et al., 2013). Menurut NICE (National Institute for Health and Care
Universitas Sumatera Utara
24
Excellence) (2014), HF merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak mampu
memopa darah yang cukup untuk mencapai kebutuhan seluruh tubuh. Fauci et al.
(2009) dalam bukunya yang berjudul “Harrison’s Manual of Medicine”
menyebutkan bahwa definisi HF yaitu sebagai suatu kondisi dimana jantung tidak
mampu untuk memompakan darah yang cukup untuk metabolisme jaringan atau
jantung dapat memompakan darah tetapi hanya dari peningkatan tekanan pengisian
yang abnormal.
Data yang diperoleh dari WHO (2012) dalam Widagdo & Karim (2012)
menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 17 juta atau sekitar 48% dari total
kematian di dunia disebabkan oleh penyakit cardiovaskular. Sekitar 5-10% risiko
kematian Congestive Heart Failure (CHF) ringan dan pada CHF berat risiko
kematian berkisar 30-40%. Berdasarkan AHA (American Heart Association)
statistical update (Roger, Veronique L. et al., 2012) bahwa pada tahun 2008, satu
dari sembilan kematian di Amerika Serikat terjadi akibat HF. AHA juga
memperkirakan bahwa sekitar delapan juta jiwa akan bertambah menderita CHF
pada tahun 2030. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika memiliki manifestasi klinis dari
HF dan prevalensinya terus meningkat. Walaupun survival rate telah meningkat,
namun angka mortalitas HF masih tetap tinggi yaitu sekitar 50% dalam lima tahun
diagnosis. Pada penelitian ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities), angka
kematian setelah tiga puluh hari, satu tahun, lima tahun dirawat di rumah sakit yaitu
berturut-turut 10,4%, 22%, dan 42,3% (Yancyet al., 2013). Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Indonesia tahun 2013 dalam Widagdo & Karim (2015), menunjukkan
bahwa CHF merupakan penyakit penyebab kematian di Indonesia dengan kisaran
angka 9,7% dari keseluruhan penyakit jantung.
Meskipun banyak kondisi yang dapat menyebabkan HF (coronary artery
disease, hypertension, cardiomyopathy, valvular and congenital heart disease,
arrhythmias, pericardial disease, myocarditis, pulmonary hypertension, dan
cardiotoxic substance – termasuk alkohol), namun penyebab utama HF di negara
barat adalah ischaemic heart disease (Mosterd & Hoes, 2007).
Meskipun faktor risiko HF yang berhubungan dengan hypertensi (tekanan
darah sistol >140 mmHg atau diastol >90 mmHg atau pengobatan dengan
Universitas Sumatera Utara
25
antihypertensi) lebih kecil daripada yang berhubungan dengan myocardiac infark,
namun hypertensi memberikan kontribusi yang lebih sering terjadinya HF. Obesitas
(body mass index>30 𝑘𝑔/𝑚2 ) meningkatkan dua kali risiko terjadinya HF.
Abnormalitas katup, penyakit jantung (hypertropi ventrikel kiri serta dilatasi
ventrikel), riwayat keluarga HF, faktor risiko konvensional (merokok, diabetes,
obesitas), dan juga gangguan ekstrakardiak (renal dysfunction serta penyakit
obstruksi paru) juga akan meningkatkan risiko terjadinya HF (Mosterd & Hoes,
2007).
Manifestasi utama HF adalah dyspnea dan kelelahan yang dapat membatasi
toleransi latihan dan retensi cairan, yang dapat menyebabkan terjadinya pulmonary
congestion dan/ atau splanchnic congestion dan/ atau edema perifer (Yancy et al.,
2013). Gejala yang ditimbulkan pada HF berupa fatigue dan dyspnea akibat perfusi
ke jaringan perifer yang tidak adekuat. Sedangkan akibat peningkatan tekanan
pengisian intracardiac maka akan menimbulkan gejala berupa orthopnea,
paroxysmal nocturnal dyspnea, serta edema perifer (Fauci et al., 2009).
2.3.3
Sepsis
Surviving Sepsis Campaign (SSC) mendefinisikan sepsis sebagai adanya
suatu infeksi bersama dengan manifestasi infeksi sistemik (Dellinger et al., 2013).
Sepsis merupakan alasan yang paling sering digunakan di dunia untuk
dirawat di ICU. Dalam dua dekade terakhir ini, insidensi terjadinya sepsis di
Amerika Serikat termasuk dalam sepuluh penyebab kematian tersering. Angka
kejadian sepsis di Amerika Serikat yaitu sekitar 750.000 kasus setiap tahunnya
dengan 225.000 diantaranya merupakan kasus yang fatal (Marik, 2011).
Pneumonia merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan
terjadinya severe sepsis yang dijumpai pada setengah dari seluruh kasus yang ada,
lalu diikuti oleh infeksi intraabdomen dan infeksi saluran kemih. Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pneumonia merupakan gram positif yang paling sering
dijumpai dari hasil kultur darah, sementara Escherichia coli, Klebsiella sp., dan
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif yang paling sering
menyebabkan terjadinya sepsis. Suatu penelitian epidemiology tentang sepsis
Universitas Sumatera Utara
26
menunjukkan bahwa dari tahun 1979 sampai tahun 2000, infeksi bakteri gram
positif lebih sering menyebabkan terjadinya sepsis dibandingkan bakteri gram
negatif. Namun, pada penelitian terbaru yang melibatkan 14.000 pasien di ICU di
75 negara, bakteri gram negatif dijumpai pada 62% pasien dengan severe sepsis,
bakteri gram positif dijumpai pada 47% pasien, dan fungi dijumpai pada 19% pasien
(Angus & Poll, 2013).
Faktor risiko terjadinya severe sepsis tergantung pada kecenderungan pasien
terhadap infeksi dan juga terhadap kemungkinan terjadinya disfungsi organ jika
terjadi infeksi. Terdapat banyak faktor risiko terjadinya infeksi yang paling sering
mempercepat terjadinya severe sepsis dan septic shock, termasuk penyakit kronik
(misalnya acquired immunodeficiency syndrome, chronic obstructive pulmonary
disease, dan penyakit keganasan lain) dan penggunaan immunosuppressive agent
(Angus &Poll, 2013).
Sistemik Inflammatory Response Syndrom (SIRS) jika ditemukan dua atau
lebih dari tanda-tanda berikut ini :

Demam (temperatur oral > 38℃) atau hypotermi (temperatur oral < 36℃)

Tachypnea (>24 kali/menit)

Tachycardia (>90 kali/menit)

Leukositosis (>12.000/µL), leukopenia (<4.000/µ)
Dikatakan sepsis jika dijumpai tanda-tanda SIRS dengan bukti ataupun dugaan
penyebab infeksi mikroba. Severe sepsis yaitu tanda-tanda sepsis dengan satu atau
lebih tanda-tanda disfungsi organ. Septic shock merupakan sepsis dengan tekanan
darah arteri <90 mmHg atau 40 mmHg dibawah tekanan darah normal selama satu
jam walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan atau membutuhkan vasopressor
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg atau tekanan arteri ratarata ≥ 70 mmHg (Fauci et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
Download