BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan masyarakat

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan masyarakat diatur berdasarkan nilai-nilai dan serta norma sosial
sebagai pedoman perilaku anggota masyarakat agar kehidupan sosial menjadi
tertib. Walaupun demikian, ada sebagian anggota masyarakat yang berperilaku
tidak sejalan terhadap nilai-nilai dan norma sosial tersebut. Perilaku yang tidak
sejalan dengan nilai-nilai dan norma sosial disebabkan oleh :
1. Unsur kesengajaan karena nilai-nilai dan norma sosial dianggap sebagai
ikatan yang mengurangi kebebasan perilaku mereka, atau perilaku
konformis dianggap tidak menguntungkan bagi kepentingan pribadinya;
2. Unsur ketidaktahuannya karena tidak tersosialisasinya seperangkat nilainilai dan norma sosial yang ada.1
Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, maka perlu adanya
pengenalan nilai-nilai serta norma sosial agar anggota masyarakat dapat mengenal
dan memahami tatanan nilai serta norma sosial tersebut. Proses pengenalan
tatanan nilai-nilai serta norma sosial berlangsung selama masyarakat masih ada,
hal ini disebabkan oleh keinginan masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat
1
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial (Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 151.
2
bertahan, sebab tanpa ketertiban sosial maka kehidupan sosial tidak akan bertahan
lama.
Tertib sosial tidak terwujud dengan sendirinya, akan tetapi tertib sosial
selalu diusahakan melalui :
1. Melakukan transfer nilai-nilai dan norma sosial melalui proses sosialisasi
kepada masing-masing individu warga masyarakat, sebab melalui proses
sosialisasi ini nilai-nilai dan norma sosial dapat ditanamkan ke dalam
keyakinan tiap-tiap individu warga masyarakat;
2. Melakukan kontrol sosial, yaitu sarana-sarana pemaksa (sanksi) yang
dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan fisik atau psikis jika proses
sosialisasi yang dilaksanakan tidak menghasilkan dampak ketertiban
sebagaimana yang diharapkan dalam kehidupan masyarakat.2
Kehidupan masyarakat adat khusus di Bali dipengaruhi oleh budaya yang
sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Hukum adat yang
hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai
keagamaan. Hukum adat Bali yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu, selalu
mengusahakan keseimbangan hidup antara Tuhan, manusia serta alam yang
dikonsepsikan dalam ajaran agama hindu yang di kenal dengan ajaran Tri Hita
Karana. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang dianggap mengganggu
keseimbangan tersebut adalah merupakan pelanggaran hukum adat dan prajuru
desa adat wajib mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan keseimbangan
tersebut melalui penerapan hukum adat.
Kaitan antara hukum adat dan agama sebenarnya pernah dikemukakan oleh
Van Vollenhoven, bahwa “hukum adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu demikian
2
Ibid. hal. 153.
3
kuatnya ke dalam adat istiadat”.3 Keterkaitan antara adat dengan agama di Bali
nampak jelas dari pola penerapan sanksi adatnya selalu dikaitkan dengan
pelaksanaan ritual keagamaan, dalam arti bahwa ketaatan masyarakat adat di Bali
pada hukum adatnya tidak hanya dikokohkan oleh sanksi yang bersifat lahiriah,
tetapi juga sanksi yang bersifat batiniah. Ariawan berpendapat bahwa :
Keterkaitan antara hukum adat dan agama dalam penjatuhan “sanksi adat”
untuk delik-delik adat tertentu yang pelaksanaannya banyak berupa
kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan tertentu. Semua ini
tentunya dilandasi dan berhubungan pula dengan nilai dasar filosofis reaksi
adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat karena
perasaan kotor (leteh).4
Masalah kehidupan beragama di dalam masyarakat merupakan masalah
yang sangat peka (sensitive) di antara masalah sosial budaya lainnya. Sesuatu
masalah sosial akan menjadi semakin ruwet (complicated) jika masalah tersebut
menyangkut masalah agama dan kehidupan beragama.5 Masalah tersebut dapat
ditanggulangi melalui pembinaan jiwa keagamaan.
Pembinaan jiwa keagamaan pada umumnya tidaklah lahir dari kesadaran
obyektif atas dasar pilihan dalam arti polos. Ini merupakan kenyataan sosial
masyarakat Indonesia yang religious, kolektif, dan komunal yang turut
memberikan warna dalam mempertebal keimanan terhadap agama yang
dipeluknya sebagai akibat pembinaan dan warisan dari lingkungan
sosialnya.6
3
Van Vollenhoven, 1981, Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking Van Het Adatrecht),
Terjemahan Koninklijk Institut Voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI,
Djambatan, Jakarta, hal. 131.
4
I Gusti Ketut Ariawan, 1992, Eksistensi Delik Hukum Adat Bali Dalam Rangka
Pembentukan Hukum Pidana Nasional, Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10.
5
Zaidan Djauhari, 1986, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Departemen
Agama RI., Jakarta, hal. 52
6
Ibid.
4
Dalam masyarakat tidak dipungkiri sering terjadi perbedaan kepentingan di
antara warganya atau di antara golongan-golongan tertentu, dimana dalam
pemenuhan kepentingan tersebut tidak jarang menimbulkan suatu pelanggaranpelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah disepakati oleh masyarakat
itu sendiri. Masyarakat adat berusaha untuk terus tetap menjalankan apa yang
menjadi tradisi pada masyarakat sebelumnya. Masyarakat biasa menganggap
bahwa apa yang telah disepakati sebagai peraturan hidup mereka, juga dijadikan
pedoman dan pegangan dalam berlangsungnya kehidupan. Kepercayaan dan
keyakinan menjadi sumber pedoman utama dari awal terbentuknya peraturan yang
di taati oleh masing-masing masyarakat adat.
Dalam
rangkaian
menegakkan
aturan-aturan
adat
agar
kehidupan
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan oleh masyarakat yang
bersangkutan, maka sangat diperlukan suatu mekanisme pengendalian sosial.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa :
Mekanisme pengendalian sosial (mechanism of social control) adalah segala
proses yang direncanakan maupun tidak direncanakan untuk mendidik,
mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan
diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang
bersangkutan.7
Salah satu bentuk pengendalian sosial yang efektif pada masyarakat adalah
dengan menerapkan peraturan hukum adat beserta sanksinya. Peraturan adat
merupakan nilai-nilai yang terbentuk atau tercipta dalam suatu masyarakat yang
saling
7
berhubungan
dengan
perilaku
manusia,
apabila
dilanggar
akan
Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 179.
5
mendapatkan sanksi. Menurut hukum adat, segala perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan hukum adat sering disebut dengan “delik adat”.
Suardana menyatakan bahwa delik adat merupakan suatu perbuatan sepihak
dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau mengganggu
persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau
terhadap masyarakat sebagai kesatuan.8
Definisi delik adat juga diberikan oleh Widnyana yang menyatakan bahwa :
Delik adat adalah segala perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan
kepatuhan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran
masyarakat yang bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan
yang dilakukan oleh seorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang
dilakukan oleh pengurus adat itu sendiri, perbuatan mana dipandang dapat
menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta
menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat.9
Lesquillier dalam disertasinya “Het Adat Delectenrecht in de Magische
Wereldbeschouwing” mengemukakan bahwa reaksi adat berupa sanksi adat
merupakan tindakan-tindakan yang digunakan untuk mengembalikan ketentraman
magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang
ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat”.10
Sanksi adat berfungsi sebagai menjaga keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat, di samping itu juga sanksi adat juga berfungsi sebagai pengikat dan
memberi rasa jera atas pelanggaran hukum yang dibuat. Sanksi hukum adat tidak
8
Suardana, 2007, Delik dan Sanksi Adat Dalam Perspektif Hukum Nasional, dalam
Sudantra, & Parwata, Oka, Editor, Wicara Lan Pamidanda, Udayana University Press, Denpasar,
hal. 75.
9
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, hal.
5-6.
10
Suardana, Op.cit..,hal. 76.
6
berbeda jauh tujuannya dengan hukum yang berlaku di masyarakat umum artinya
hukum adat memiliki tujuan yang universal, namun jenis hukum dan bagaimana
hukum itu dijalankan serta sanksi-sanksi atas pelanggaran hukum adat itu sendiri
yang sesuai dengan budaya masyarakat dalam memberlakukan peraturan adat
tersebut. Penerapan sanksi adat yang dimaksud baik berupa sanksi denda, sanksi
fisik, maupun sanksi psikologi yang bersifat moral dan spiritual. Sanksi adat yang
diterapkan tetap berpedoman pada asas keadilan dan komunalitas, sehingga sanksi
tersebut tidak dianggap perbuatan balas dendam, akan tetapi merupakan proses
sebagai akibat dari reaksi adat untuk mengembalikan keseimbangan dalam
masyarakat.
Sanksi adat dalam hukum adat Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3
golongan (tri danda) antara lain :
1. Arta danda
Yaitu golongan sanksi berupa pembayaran uang atau penggantian barang.
Seperti Dedosan saha panikel-nikelnya miwal panikel urunan
2. Sangaskara danda
Yaitu sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu untuk mengembalikan
keseimbangan magis dan dilakukan sesuai dengan ajaran agama Hindu).
Seperti
kewajiban
melaksanakan
upacara
mecaru,
pemarisuda,
prayascita, dan lain-lain.
3. Jiwa danda, yaitu golongan sanksi berupa penderitaan jasmani dan atau
rohani/jiwa. Seperti Mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas,
nyuaka (minta maaf).
7
Demikian pula dalam Awig-awig desa pakraman saat ini terdapat sanksisanksi adat yang masih berlaku, antara lain :
1. Denda
2. Membuat upacara agama/pembersih (maprayascita)
3. Diberhentikan sebagai warga desa (karma desa/banjar)
4. Dirampas (kerampag)
5. Ngingu atau nyanguin banjar (menjamu banjar)
6. Mengawinkan.11
Pasal 1 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang
Desa Pakraman, menyatakan bahwa :
Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak megurus rumah tangganya sendiri.
Berdasrkan pengertian tersebut, P. Wayan Windia juga memberikan
pendapatnya yang menyatakan bahwa :
Desa pakraman memiliki peran dalam menyelesaikan permasalahan yang
muncul di desa pakraman. Warga desa yang terbukti melakukan
pelanggaran adat, akan tetapi bersikukuh dengan pendiriannya, tidak
bersedia mentaati keputusan rapat, dapat dijatuhi sanksi oleh desa
pakraman, mulai dari sanksi yang paling ringan berupa permintaan maaf
(pangaksama), sampai yang paling berat seperti diberhentikan dan
dikucilkan sebagai warga desa pakraman (kasepekang).12
11
12
I Made Widnyana, Op.cit.., hal. 21.
P. Wayan Windia, 2010, Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi, Udayana University
Press, Denpasar, hal. 17.
8
Berdasarkan data yang dikemukakan oleh P. Wayan Windia13 bahwa jumlah
konflik yang terjadi di desa Pakraman dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005
sebanyak 112 konflik yang tersebar di 9 kabupaten, dengan rincian sebagai
berikut :
Tabel 1
Jumlah Konflik Desa Pakraman
Klasifikasi konflik berdasarkan pihak-pihak
Kabupaten
Jumlah
KAD
KDKD
KDLL
KDP
KDKT
Karangasem
5
10
1
1
-
17
Klungkung
1
4
2
2
-
9
Bangli
1
8
1
-
-
10
Gianyar
13
18
6
-
2
39
Badung
2
6
2
1
-
11
Denpasar
1
1
-
-
-
2
Tabanan
5
5
-
4
-
14
Buleleng
4
4
-
-
-
8
Jemberana
-
1
1
-
-
2
22
57
13
8
2
112
19,6%
50,9%
11,6%
7,1%
1,8%
100%
Jumlah
%
Sumber : Wayan P. Windia dalam Wicara Lan Pamidanda Hal.134.
13
P.Wayan Windia, 2007, “Menyelesaikan Konflik Adat”, dalam Sudantra, & Parwata,
Oka, Op.cit.., hal. 134-135.
9
Berdasarkan data tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai konflik adat
adalah sebanyak 57 kasus (50,9%), dan Kabupaten Gianyar memiliki konflik adat
yang terbanyak dari kabupaten yang lain yaitu sebesar 18 kasus.
Desa Pakraman Keramas merupakan salah satu desa pakraman yang ada di
kabupaten Gianyar. Pengendalian sosial di Desa Pakraman Keramas dilakukan
dengan menerapkan Awig-awig dan Peraremnya yang lebih banyak mengandung
sanksi moral terhadap pelanggarnya. Sanksi yang diterapkan di Desa Pakraman
Keramas selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan, hal ini dapat dilihat dari
penerapan sanksi adat Prayascitta kepada salah seorang warga masyarakat pada
saat dilangsungkannya upacara Piodalan di pura. Penerapan sanksi adat
Prayascita ini dapat dilihat dari kasus yang dialami seorang pemangku, dimana
pemangku tersebut dalam kondisi mabuk karena minuman yang beralkohol
sehingga mengeluarkan kata-kata berupa caci maki. Pada saat bersamaan anak
kandungnya marah terhadap sikap dan tingkah laku orang tuanya, oleh karena itu
terjadilah perkelahian antara anak kandung dan ayah (pemangku), akibatnya
kejadian itu dilaporkan kepada Bendesa. Berdasarkan hasil rapat prajuru dengan
keluarga Dadya diputuskan untuk melakukan upacara Prayascita dan Pawintenan
yang bertujuan untuk mengukuhkan kembali status kepemangkuannya. Selain itu
ada juga penerapan sanksi seperti Arta danda adalah sanksi dalam wujud materi,
berupa uang atau benda yang mempunyai nilai ekonomi, seperti beras atau benda
lainnya. Tetapi apabila denda (dedosan) tidak dibayar dalam tempo yang sudah
ditentukan, Awig-awig Desa Pakraman Keramas menentukan Pamidanda yang
lebih berat lagi secara berjenjang, yaitu katikelang (hutangnya dilipatgandakan)
10
dan kerampang (hartanya disita untuk melunasi utangnya kepada desa). Dalam
Hukum Adat Bali bentuk sanksi demikian dikwalifikasikan sebagai artha danda.
Penelitian ini sangat penting dilakukan karena begitu banyaknya sanksisanksi yang diterapkan selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan seperti yang
diatur dalam Awig-awig dan Perarem Desa Pakraman Keramas. Penerapan sanksi
adat ini memerlukan kesadaran hukum masyarakat agar dapat menjamin
kehidupan Desa Pakraman Keramas yang tertib, aman, dan sejahtera.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang peranan sanksi adat dengan judul penelitian “Hakikat dan
peranan sanksi adat dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap
Awig-awig (studi kasus di Desa Pakraman Keramas Kecamatan Blahbatuh
Kabupaten Gianyar)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang akan
dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
2.
Apakah hakikat sanksi adat dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas?
Bagaimanakah peranan sanksi adat terhadap kesadaran hukum
masyarakat Desa Pakraman Keramas?
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Hakikat dan Peranan sanksi adat
dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap Awig-awig Desa
Pakraman Keramas. Secara khusus penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah
11
yang berkenaan dengan hakikat sanksi adat dalam Awig-awig Desa Pakraman
Keramas dan peranannya dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
1.4. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Demikian
pula halnya dengan penelitian ini, memiliki maksud dan tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Adapun tujuan dalam penelitian ini, yaitu :
1.4.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis hakikat dan peranan sanksi adat dalam meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat terhadap Awig-awig, Desa Pakraman
Keramas, Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui hakikat sanksi adat dalam Awig-awig Desa
Pakraman Keramas.
b. Untuk mengetahui peranan sanksi adat terhadap kesadaran
hukum masyarakat Desa Pakraman Keramas.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
12
1.5.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum adat,
serta dapat digunakan sebagai acuan oleh pihak-pihak yang ingin melakukan
penelitian lebih mendalam tentang hakikat dan peranan sanksi adat dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di Desa Pakraman Keramas
1.5.2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan desa pakraman
pada khususnya sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
kebijakan yang berkaitan dengan penyelesaian permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat adat.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan adat.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Penerapan sanksi adat bertujuan untuk pemulihan keseimbangan materil dan
spiritual. Penerapan sanksi adat ini selalu mengutamakan kerukunan dan rasa
kepatutan dalam masyarakat (asas paras paros salulung sabayantaka) serta
dilaksanakan
bertahap
sesuai
dengan
kesalahan
pelanggaran
(wenang
masorsinggih manut kasisipan ipun) dengan didasari atas falsafah Tri Hita
Karana. Untuk menunjukkan originalitas penelitian ini, maka dibawah ini
disajikan beberapa hasil penelitian yang berkenaan dengan penerapan sanksi adat
Adapun penelitian-penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan hakikat dan
13
peranan sanksi adat dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, antara
lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Kurniawati dalam bentuk tesis Tahun
2006 dengan judul penerapan sanksi adat Kesepekang ditinjau dari
hukum pidana adat dan hukum positif (studi kasus di Desa
Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng) dari
Universitas Muhammadiyah Malang. Permasalahan yang diangkat dalam
penelitiannya, antara lain :
a. Bagaimana proses penerapan sanksi adat kesepekang dalam
masyarakat adat, khususnya di desa pakraman Kubutambahan
Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng?
b. Bagaimana kedudukan sanksi adat bagaimana kedudukan sanksi adat
menurut ketentuan hukum positif di Indonesia?
2. Penelitian yang dilakukan oleh Budi Kresna Aryawan dalam bentuk tesis
Tahun 2006 dengan judul penerapan sanksi terhadap pelanggaran Awigawig desa adat oleh krama desa adat Mengwi Kecamatan Mengwi
Kabupaten Badung Propinsi Bali dari Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian
tersebut antara lain :
a. Bagaimana penerapan sanksi Awig-awig Desa Adat Mengwi
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat
Mengwi?
14
b. Bagaimanakah hambatan-hambatnnya dalam penerapan sanksi Awigawig desa adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama
Desa Adat Mengwi?
3. Penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Roy Mahendra Putra dalam
bentuk tesis tahun 2009 dengan judul penyelesaian pelanggaran adat di
Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali
dari
Program
Pascasarjana
Universitas
Diponegoro,
Semarang.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut, antara lain :
a. Jenis-jenis perbuatan apa yang dapat digolongkan ke dalam
pelanggaran adat menurut hukum adat Bali?
b. Bagaimana
pelaksanaan
penyelesaian
pelanggaran
adat
di
Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng menurut hukum adat
Bali?
4. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Kurma dalam bentuk Tesis
Tahun 2006 dengan judul Upacara Prayascitta dalam menyelesaikan
pelanggaran adat di Desa Pakraman Keramas (Sebuah Studi kasus) dari
Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Adapun
rumusan masalah yang diangkat antara lain :
a. Bagaimana bentuk upakara Prayascitta dalam menyelesaikan
pelanggaran adat di Desa Pakraman Keramas?
b. Apa fungsi upakara Prayascitta di dalam pelanggaran adat di Desa
Pakraman Keramas?
c. Apa makna upacara Prayascitta dalam Agama Hindu?
15
5. Penelitian yang dilakukan oleh Wayan Resmini dalam bentuk Disertasi
Tahun 2013 dengan judul lembaga penyelesaian sengketa dan penerapan
sanksi adat desa pakraman di Bali dalam perspektif pembaharuan
hukum pidana nasional dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang. Dalam penelitiannya menekankan peran
penting penerapan hukum adat dalam hukum pidana nasional.
Penyelesaian sengketa melalui hukum adat dapat membantu beban badan
peradilan dalam menangani berbagai kasus hukum yang cenderung
semakin menumpuk dengan jumlah hakim yang terbatas. Dengan
diakuinya keberadaan lembaga penyelesaian sengketa dan penerapan
sanksi adat dalam pembaharuan hukum pidana nasional akan membawa
peradilan adat kepada tempat yang lebih terhormat.
Berdasarkan pemaparan judul dan rumusan masalah yang telah dikaji dalam
penelitian sebelumnya, khususnya mengenai hakikat dan peranan sanksi adat
dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap Awig-awig Desa
Pakraman Keramas belum pernah dilakukan penelitian, sehingga masih relevan
untuk dilakukan penelitian. Atas pertimbangan tersebut, maka penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul hakikat dan peranan sanksi adat dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap Awig-awig Desa Pakraman
Keramas Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar.
16
1.7. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir
1.7.1. Landasan Teoritis
Dalam setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis. Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
norma-norrma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk
membahas permasalahan penelitian”.14
Secara garis besarnya, ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in
books dan studi law in action, dan tersimpul dari uraian dari Roman
Tomasic berikut ini : The focus of the sociology of law, however it is
defined, need to be seen as the studi of the law in action rather the
traditional lawyer is concern with the law in the books.15
Untuk mengkaji permasalahan hukum secara lebih mendalam, maka
diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.16
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta
atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut
14
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unud, 2013, Pedoman
Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Unud, Denpasar, hal. 44.
15
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo, Persada, Jakarta, hal 197.
16
Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 19.
17
merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara
empiris. Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori
merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji
kebenarannya.17
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.18
Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara
perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
kerangka fikir (Frame of thinking) dalam memahami serta menangani
permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.19
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk
dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.20 Dalam membahas
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, akan digunakan teori, asasasas hukum, pendapat sarjana serta norma-norma hukum sebagai landasannya.
Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang
digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam suatu penelitian.
17
Soerjono Sukamto, Op.cit.., hal 30.
18
J.J.J. M. Wuisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI
Press, Jakarta, hal 203.
19
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo,1988, Teori dan Strategi Pembangunan
Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, hal 12.
20
hal 35.
Lexy J. Moleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
18
Dalam Penelitian ini digunakan landasan teoritis berupa Teori Sistem Hukum
(Legal Sistem Theory) dari Lawrence M. Friedman, Ajaran mengenai penanganan
perkara adat dari Moh. Koesnoe, Fungsi Hukum serta Konsep Kesadaran Hukum.
Landasan teori tersebut berfungsi sebagai sarana dalam mengkaji permasalahan
yang ada.
1.
Teori Sistem Hukum (Legal Sistem Theory) dari Lawrence M. Friedman
Suatu peraturan perundang-undangan hendaknya memenuhi Teori Sistem
Hukum seperti yang dikemukakan oleh L. M. Friedman yang meliputi :21
a. Struktur Hukum (legal structure)
b. Substansi Hukum (legal substance)
c. Budaya Hukum (legal culture)
Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu
negara.22
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Lawrence M. Friedman bahwa “a legal
sistem in actual operation is a complex organism in which structure, substance,
and culture interact”.23
Komponen substansi hukum (legal substance) terdiri dari aturan substantif
dan aturan tentang bagaimana lembaga-lembaga harus bertindak. Hal ini dapat
21
H. R. Otje Salman Soemodiningrat dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum
(Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), selanjutnya disebut H. R. Otje Salman
Soemodiningrat dan Anthon F Susanto I, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.153-154.
22
23
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 26.
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal Sistem : A Social Science Perspective, Rusell
Sage Foundation, New York, hal. 16.
19
dilihat dari pernyataan Lawrence M. Friedman bahwa “The substance is
composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”.24
Substansi yang dimaksud adalah aturan atau norma, substansi juga berarti produk
atau aturan baru yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam hukum itu, yang
dipakai pada waktu melaksanakan. Dalam hal ini substansi hukum yang dimaksud
adalah aturan atau norma-norma yang ada dalam Awig-awig baik bidang
parhyangan, pawongan dan palemahan.
Komponen struktur hukum (legal structure) merupakan unsur nyata dari
hukum. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Lawrence M. Friedman bahwa
“Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal sistem .... The
structure of a sistem is its skeletal fremework, it is the elements shape, the
institutional body of the sistem”.25 Artinya struktur dalam sebuah kerangka
permanen, atau unsur tubuh lembaga dengan berbagai fungsinya dalam rangka
mendukung bekerjanya hukum tersebut. Dalam hal ini adalah institusi penegak
hukum yang merupakan unsur nyata dari suatu hukum.
Komponen budaya hukum (legal culture) merupakan sikap perilaku manusia,
kebiasaan-kebiasaan yang dapat membentuk kekuatan-kekuatan sosial untuk
mentaati hukum atau sebaliknya melanggar hukum. Budaya hukum bagian dari
budaya pada umumnya, berupa adat istiadat, pandangan, cara berpikir dan
bertingkah laku, kesemuanya itu dapat membentuk kekuatan sosial yang bergerak
mendekati hukum dan cara-cara tertentu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan
Lawrence M. Friedman bahwa “Legal culture refers, then, to those parts of
24
Ibid., hal. 14.
25
Ibid.
20
general culture, customs, opinion, ways of doing and thinking, that bend social
forces toward or away from the law and in particular ways”.26 Artinya budaya
hukum adalah bentuk prilaku masyarakat bagaimana hukum digunakan, dipatuhi
dan ditaati.
Menurut H. L. A. Hart bahwa “a legal sistem is the union of primary and
secondary rules”.27
hukum merupakan persatuan antara aturan primer dan
sekunder. Aturan primer (primary rules) mengatur perilaku manusia untuk
bertindak atau tidak bertindak, sedangkan aturan sekunder (secondary rules)
merupakan aturan yang ditujukan kepada pejabat dan yang ditetapkan untuk
mempengaruhi pengoperasian aturan utama. Aturan sekunder menangani tiga
masalah yaitu :
1. Aturan tentang validitas/sahnya suatu peraturan (rule of recognition);
2. Aturan tentang perubahan suatu peraturan (rule of change);
3. Aturan tentang bagaimana menyelesaikan sengketa hukum (rule of
adjudication).
Legal sistem Theory di Indonesia dijabarkan lebih lanjut oleh Soerjono
Soekanto yang dikenal dengan nama efektivitas hukum. Inti pendapat Soerjono
Soekanto adalah hukum berlaku efektif ditentukan oleh lima faktor. Kelima faktor
yang menentukan efektivitas berlakunya hukum adalah :
a. Faktor Hukumnya sendiri.
26
Ibid, hal. 15.
27
HAL. L.. A. Hart, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, London, hal. 91.
21
b. Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.28
Apabila hukum berlaku efektif maka akan menimbulkan perubahan, dan
perubahan itu dapat dikatagorikan sebagai perubahan sosial. Dalam hal ini
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa “dalam setiap proses perubahan senantiasa
akan dijumpai faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang berasal
dari dalam masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat
tersebut”.29 Teori Sistem Hukum (legal system Theory) digunakan untuk mengkaji
Hakikat dan Penerapan sanksi adat menurut Awig-awig Desa Pakraman Keramas.
2.
Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat Dari Moh. Koesnoe
Menurut Moh. Koesnoe, ada dua cara dalam menangani perkara adat yaitu
dengan cara menyelesaikan dan memutus. Menyelesaikan diartikan bahwa segala
persoalan yang menyangkut kepentingan bersama hendaknya dipecahkan
bersama-sama secara musyawarah mufakat oleh anggota-anggotannya atas dasar
kebulatan kehendak bersama. Musyawarah merupakan tindakan seseorang
28
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8.
29
hal. 17.
Soerjono Soekanto, 1993, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
22
bersama orang lainnya untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas
suatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakatnya. Kemudian
mufakat digunakan dalam penyelesaian perbedaan kepentingan-kepentingan
pribadi seseorang terhadap orang lain, sebaiknya dilakukan atas dasar
perundingan antara yang bersangkutan. Diupayakan sampai ada persamaan
pendirian mengenai hal yang dipermasalahkan melalui suatu proses pemufakatan.
Mufakat yang dikehendaki oleh adat, bukanlah mufakat asal mufakat saja,
mufakat itu hanya suatu cara atau alat adalah sesuatu yang menurut alur dan patut,
oleh sebab itu suatu mufakat yang tidak berdasarkan alur dan patut adalah hampa
dan kosong. Disini bukan soal “menang-kalah” dari salah satu pihak, melainkan
kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu sehingga masing-masing
pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan secara tenang, tentram dan
sejahtera.
Memutus dimaksudkan bahwa tidak semua perkara adat dapat diselesaikan,
terutama segi-segi yang membahayakan kehidupan bersama begitu berat, sehingga
perlu adanya langkah-langkah yang bersifat tegas dan jelas. Dalam hal ini,
pengambilan keputusan tidak boleh secara sewenang-wenang, akan tetapi harus
mengutamakan asas musyawarah mufakat, keputusan yang di ambil harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Dalam ajaran memutus ini hak dan kewajiban masing-masing pihak mendapat
perhatian pokok dalam memberi keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi.
Hak-hak dan kewajiban masing-masing dirumuskan secara rinci dan tegas, tanpa
23
mempertimbangkan apakah pihak-pihak yang bersangkutan akan kembali atau
tidak dalam kehidupan seperti semula. Ajaran memutus lebih menitik beratkan
pada pertimbangan-pertimbangan akal sehat dan apa yang sebanarnya. Kedua
ajaran itu menekankan pentingnya faktor teknik, pikiran dan perasaan.30
Penyelesaian pelanggaran adat dengan menggunakan hukum adat, berarti
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, kemudian menerapkannya
secara adil dan bijaksana. Dalam penyelesaian pelanggaran adat tidak ada yang
menang atau kalah, melainkan diupayakan agar keseimbangan yang terganggu
pulih kembali, dan para pihak yang bersengketa dapat berhubungan secara
harmonis. Upaya untuk menyelesaikan pelanggaran adat dengan pendekatan
hukum adat yaitu berdasarkan asas rukun, patut dan laras.
Asas rukun merupakan suatu asas yang berhubungan erat dengan pandangan
hidup dan sikap seseorang dalam menghadapi hidup bersama di dalam suatu
lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram,
dan sejahtera.31 Penerapan asas rukun dalam penyelesaian pelanggaran adat
dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula,
status dan kehormatannya, serta terwujudnya hubungan yang harmonis sesama
krama desa.
Asas patut menekankan perhatian pada status para pihak, agar dapat
diselamatkan nama baiknya setelah terjadinya pelanggaran adat. “Pendekatan asas
30
Koesno, Mohal., 1979, Catatan-cataran Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga
University Press, Surabaya, hal. 49
31
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University
Press, Denpasar, hal. 78.
24
patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak
masing-masing sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan
status dan kehormatannya selaku krama desa”.32
Asas laras mengandung anjuran untuk memperhatikan kenyataan dan
perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi tradisi secara
turun temurun.33 Penggunaan asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan
tempat, waktu, dan keadaan sehingga putusan terhadap konflik adat diterima oleh
para pihak dan masyarakat.
Penerapan asas-asas tersebut dalam penyelesaian pelanggaran adat,
berpedoman pada :
1. Pemuka adat sebagai Hakim Perdamaian Desa harus berusaha
mengarahkan para pihak supaya mau saling mengerti, saling member dan
saling menerima, saling menjaga perasaan satu sama lain, saling
berkorban dan saling memaafkan.
2. Para pemuka adat sebagai Hakim Perdamaian Desa, perlu mengetahui
bahwa penyelesaian persoalan berdasarkan prinsip-prinsip adat tidak
bertujuan mendapatkan kalah menang, melainkan untuk mengembalikan
keadaan harmonis yang terganggu, sehingga masing-masing pihak dapat
hidup bersama kembali dalam ikatan keseluruhan secara tenang, tenteram
dan damai.
32
Ibid., hal. 80.
33
Ibid., Op.cit., hal. 81.
25
3. Pemuka adat sebagai Hakim Perdamaian Desa, harus berusaha
menempatkan status para pihak pada tempatnya.
4. Pemuka adat sebagai Hakim Perdamaian Desa harus berusaha
memberikan pemecahan atau penyelesaian terhadap persoalan para pihak
berdasarkan hasil musyawarah dan atau mufakat sehingga pemecahan
yang diberikan dapat melegakan para pihak dan juga masyarakat.
5. Dalam mencari pemecahan terhadap persoalan adat yang dihadapi,
pemuka adat sebagai Hakim Perdamaian Desa dapat berpedoman pada
pengalaman-pengalaman di masa lampau. Untuk itu, para pemuka adat
dapat pula minta nasehat dan petunjuk dari para tetua-tetua adat yang
berpengalaman.
6. Para pemuka adat sebagai Hakim Perdamaian Desa juga perlu
memperhatikan keadaan-keadaan yang telah berubah dan berusaha
memahami rasa keadilan dan kepatutan yang hidup pada masyarakat di
saat itu.34
Ajaran mengenai penanganan perkara adat dari Moh. Koesno ini digunakan
untuk mengkaji permasalahan mengenai hakikat dan pernanan sanksi adat
menurut Awig-awig Desa Pakraman Keramas.
3.
Fungsi Hukum
Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum ada
pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun, dan bagaimanapun keadaan
masyarakat tersebut. Artinya eksistensi hukum bersifat sangat universal, terlepas
34
Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University
Press, Denpasar, hal. 80-81.
26
dari keadaan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna
masyarakatnya
(hukum
juga
memiliki
sifat
khas,
tergantung
dengan
perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas).
Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham mengenai fungsi
dan peran hukum dalam masyarakat yaitu :
a. Fungsi hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan (justifikasi)
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, artinya hukum
sebagai sarana pengendali sosial;
b. Fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan
dalam masyarakat.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan
sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,
damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan
individu dan masyarakat dapat terlindungi. Hukum dapat berperan di depan untuk
memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan
ketertiban bagi seluruh masyarakat.
Menurut Subekti bahwa “hukum tidak hanya dapat dipakai untuk
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang
dipandangnya tidak sesuai lagi, serta menciptakan pola-pola kelakuan baru”.35
Hukum memiliki fungsi yang sangat penting dalam mewujudkan perdamaian dan
35
Suteki, 2013, Hukum dan Alih Teknologi, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 14.
27
ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Menurut Otje Salman Soemodiningrat
bahwa fungsi hukum dibagi menjadi 4 (empat), antara lain :
a. Hukum sebagai pedoman perilaku masyarakat
b. Hukum sebagai pengawasan atau pengendalian sosial (social control)
c. Hukum sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement), dan
d. Rekayasa sosial (social engineering).36
Fungsi hukum ini digunakan untuk mengkaji peranan sanksi adat dalam
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
4.
Konsep Kesadaran Hukum
Menurut Salman Soemodiningrat bahwa “Suatu aturan hukum hanya akan
efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. 37 Walaupun
hukum yang dibuat itu memenuhi persyaratan yang ditentukan secara filosofis dan
yuridis, tetapi kalau kesadaran hukum masyarakat tidak mempunyai respon yang
baik untuk mentaati dan mematuhi peraturan hukum tidak ada, maka peraturan
hukum yang dibuat itu tidak akan efektif berlakunya.38
Efektivitas suatu aturan hukum, selain berisikan norma-norma yang hidup
dalam masyarakat juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesadaran
hukum masyarakat. Tujuan dari hukum adalah tercapainya keadilan, ketertiban
36
H. R. Otje Salman Soemodiningrat, 1999, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, selanjutnya
disebut H. R. Otje Salman Soemodiningrat II, Alumni, Bandung, hal. 37-38.
37
H. R. Otje Salman Soemodiningrat I, Op.cit. hal. 72.
38
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
hal. 97.
28
dan kepastian. “selain kepastian hukum juga diharapkan suatu kesadaran hukum,
karena kesadaran hukum terkait dengan ketaatan terhadap hukum”.39
Batasan-batasan terhadap kesadaran hukum adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan terhadap hukum
2. Penghayatan fungsi hukum, dan
3. Ketaatan terhadap hukum.40
Batasan-batasan mengenai kesadaran hukum juga diberikan oleh Soerjono
Soekanto yaitu :
Derajat tinggi rendahnya kepatuhan hukum terhadap hukum positif tertulis
ditentukan oleh tingkat kesadaran hukum yang didasarkan pada faktor-faktor
sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang peraturan,
2. Pemahaman hukum,
3. Sikap hukum, dan
4. Pola perilaku hukum.41
Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa ketaatan hukum terbentuk dari
adanya sikap hukum (legal attitude) dan pola perilaku hukum (legal behavior).
Yang dimaksud dengan sikap hukum (legal attitude) dan pola perilaku hukum
(legal behavior).
39
H. R. Otje Salman Soemodiningrat I, Op.cit.., hal. 52.
40
Simposium BPHN, 1975, “Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi”, Jakarta,
dalam Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press,
Malang, hal. 34.
41
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres,
Jakarta,, hal. 272.
29
Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena
adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau
menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sedangkan pola perilaku hukum
merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat
apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.42
Setelah peraturan adat disahkan dalam hal ini adalah penetapan Awig-awig,
maka masyarakat dianggap mengetahui isi dari norma yang ada dalam Awig-awig
tersebut, baik perilaku yang dilarang maupun perilaku yang diperbolehkan dalam
bidang parhyangan, pawongan dan palemahan, sehingga pengetahuan terhadap
norma yang diatur dalam Awig-awig merupakan unsur penting dalam awal proses
kesadaran hukum itu sendiri. Pemahaman hukum berkaitan dengan pengertian
dari adanya norma dalam Awig-awig tersebut, baik dari segi tujuan yang ingin
dicapai maupun manfaatnya bagi yang diaturnya.
Kesadaran hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan hukum
masyarakat itu sendiri. Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan
seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang diwujudkan dalam bentuk
prilaku nyata, sedangkan kesadaran hukum masyarakat dipengaruhi oleh beberapa
indikator
seperti
pengetahuan
masyarakat
terhadap
aturan,
pemahaman
masyarakat terhadap aturan, sikap hukum masyarakat terhadap aturan dan pola
perilaku hukum masyarakat terhadap aturan.
Dalam Kamus Pintar Bahasa Indonesia, yang disebut dengan “kesadaran
hukum adalah kesadaran seseorang akan nilai-nilai yang terdapat dalam diri
42
Muslan Abdurrahman, Op cit, hal. 36.
30
manusia mengenai hukum yang ada, kesadaran seseorang akan pengetahuan
bahwa suatu prilaku tertentu diatur oleh hukum”.43 Berdasarkan uraian tersebut,
maka batasan-batasan kesadaran hukum yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah :
1. Pengetahuan masyarakat terhadap peraturan adat dalam hal ini adalah
pengetahuan terhadap isi Awig-awig Desa Pakraman Keramas;
2. Pemahaman masyarakat terhadap peraturan adat, dalam hal ini berkaitan
dengan tujuan dan manfaat dari ditetapkannya norma yang termuat dalam
Awig-awig Desa Pakraman Keramas;
3. Sikap Hukum masyarakat dalam hal menghargai peraturan adat yang
termuat dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas; dan
4. Pola hukum masyarakat terkait dengan pelaksanaan dari peraturan adat
yang termuat dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas.
43
Istiyono Wahyu Y. & Ostaria Silaban, 2006, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Karisma
Publishing Group, Jakarta, hal. 499.
31
1.7.2. Kerangka Berpikir
HAKIKAT DAN PERANAN SANKSI ADAT DALAM MENINGKATKAN
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TERHADAP AWIG-AWIG (STUDI
KASUS DI DESA PAKRAMAN KERAMAS KECAMATAN BLAHBATUH
KABUPATEN GIANYAR
Latar Belakang
1. Perubahan pola hidup dan tingkah laku masyarakat di Desa Pakraman Keramas
diikuti dengan aturan yang ditetapkan dalam Awig-awig yang berpedoman pada
konsep Tri Hita Karana.
2. Sanksi adat Desa Pakraman Keramas diharapkan dapat memberikan efek jera
sehingga mampu meingkatkan kesadaran hukum masyarakat
HAKIKAT SANKSI ADAT
1. Teori Sistem Hukum
a. Substansi Hukum
b. Struktur Hukum
c. Budaya Hukum
SANKSI ADAT DAPAT
MENINGKATKAN KESADARAN
HUKUM MASYARAKAT
1. Teori Sistem Hukum
a. Substansi Hukum
b. Struktur Hukum
c. Budaya Hukum
2. Ajaran Penanganan Perkara Adat
(Moh. Koesnoe)
a. Menyelesaikan
b. Memutus
3. Fungsi Hukum
4. Konsep Kesadaran Hukum
Hasil :
Peranan Sanksi Adat di Desa Pakraman Keramas tidak hanya memiliki
tujuan untuk mengembalikan keseimbangan desa dan memberikan efek
jera, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
terhadap Awig-awig Desa Pakraman Keramas
32
Keterangan :
Kehidupan masyarakat adat di Bali dipengaruhi oleh budaya yang berkaitan
erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Hukum adat yang hidup dan diakui
dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai keagamaan.
Peraturan adat merupakan nilai-nilai yang terbentuk atau tercipta dalam suatu
masyarakat yang saling berhubungan dengan perilaku manusia dimana apabila ada
yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi.
Dalam masyarakat sering terjadi perbedaan kepentingan di antara warganya
atau di antara golongan-golongan tertentu, dimana dalam pemenuhan kepentingan
tersebut tidak jarang menimbulkan suatu pelanggaran-pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan yang telah disepakati. Oleh karena itu perlu adanya suatu
rangkaian atas penyelesaian terhadap pelanggaran aturan-aturan yang berlaku.
Dalam menegakkan aturan-aturan adat agar kehidupan masyarakat sesuai dengan
nilai-nilai yang diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan, maka diperlukan
suatu mekanisme pengendalian sosial. Salah satu bentuk pengendalian sosial yang
efektif bagi masyarakat adalah sanksi adat. Hakikat sanksi adat menurut Awigawig dapat dilihat dari 3 hal yaitu bentuk sanksi adat, tujuan sanksi adat dan
penerapan sanksi adat yang termuat dalam Awig-awig. Hakikat sanksi adat
menurut Awig-awig Desa Pakraman Keramas dikaji secara mendalam dengan
menggunakan Teori sistem Hukum (Legal Sistem Theory), dan ajaran Moh.
Koesnoe dengan memperhatikan asas rukun, patut dan laras.
Efektivitas suatu aturan hukum, selain berisikan norma-norma yang hidup
dalam masyarakat juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesadaran
33
hukum masyarakat. Sanksi adat selain menimbulkan efek jera bagi pelanggar,
sanksi adat juga memiliki peranan untuk meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat. Peranan sanksi adat dalam meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat dikaji secara mendalam dengan menggunakan teori sistem hukum,
ajaran Moh. Koesnoe, fungsi hukum dan konsep kesadaran hukun itu sendiri. Dari
hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat melalui pembaharuan perilaku masyarakat yang
mengarah pada kepatuhan dan ketaatan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dilihat hasilnya adalah Peranan
Sanksi Adat di Desa Pakraman Keramas tidak hanya memiliki tujuan untuk
mengembalikan keseimbangan desa dan memberikan efek jera, tetapi juga dapat
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap Awig-awig Desa Pakraman
Keramas
1.8. Metode Penelitian
1.8.1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu
penelitain hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku (behavior) anggota
masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat. Perilaku itu meliputi
perbuatan yang seharusnya dipatuhi, bersifat perintah maupun larangan.44
44
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 155.
34
Dalam penelitian hukum dengan aspek empiris, hukum dikonsepkan sebagai
suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata. Dalam
konteks ini hukum tidak semata-mata dikonsepkan sebagai suatu gejala
normatif yang otonom, sebagai ius constituendum (law as what ought to be),
dan tidak pula semata-mata sebagai ius constitutum (law as what it is in the
book), akan tetapi secara empiris sebagai ius operatum (law as what it is in
society).45
Penelitian empiris ini berguna untuk mengetahui peranan sanksi adat
dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di Desa Pakraman
Keramas dengan mengacu pada Awig-awig Desa Pakraman Keramas
Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar.
1.8.2.
Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris dapat dibedakan menurut sifatnya yaitu
eksploratif, deskriptif dan eksplanatoris. Dalam penelitian hakikat dan
peranan sanksi adat dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
terhadap Awig-awig Desa Pakraman Keramas Kecamatan Blahbatuh
Kabupaten Gianyar adalah penelitian yang bersifat deskriptif.
Penelitian deskriptif pada umumnya bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau
untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menetukan ada
45
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Loc.cit., hal 34.
35
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat.46
Penelitian ini menggunakan teori-teori, ketentuan peraturan, normanorma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal,
doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan
jumlahnya cukup memadai, segingga dalam penelitian ini hipotesis tidak
mutlak diperlukan.47
1.8.3.
Data dan Sumber Data
Data dan Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang bersumber dari pihak-pihak yang
terlibat dalam kasus atau masalah yang menjadi obyek penelitian
atau data lapangan (Field Research), diperoleh langsung dari
sumber pertama di lapangan yaitu dari informan serta yang
dianggap paling tahu dan yang mengalami langsung tentang
pelaksanaan performans right Awig-awig Desa Pakraman
Keramas.
46
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.cit. hal 25.
47
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Loc.cit., hal 34-35.
36
2. Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan (Library Research) yaitu suatu data yang diperoleh
tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan
bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam
bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan
resmi
atau
risalah
dalam
pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan
hukum primer terdiri dari Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No.5 Tahun 1979
Tentang pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa, Peraturan Daerah Propinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Revisi Atas Peraturan Daerah
Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman,
Awig-awig dan Pararem Desa Pakraman Keramas.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-
37
kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan, literatur-literatur yang berkaitan
dengan hukum adat, makalah atau hasil penelitian yang
berkaitan dengan hakikat dan peranan sanksi adat, Awig-awig
desa pakraman, dan kesadaran hukum masyarakat.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yaitu terdiri dari kamus-kamus hukum
serperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa
Inggris dan Black Law Dictionary.
1.8.4.
Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data Primer
Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan studi
lapangan yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan cara
observasi langsung yaitu dengan mengadakan pengamatan secara
langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang
diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi sebenarnya
maupun dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan
seperti interview (wawancara).
Interview adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta
keterangan dan penjelasan-penjelasan sambil menilai jawaban-
38
jawabannya, sekaligus
interview mengadakan paraphrase,
mengingat dan mencatat jawaban-jawabannya.48
2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi
kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian usaha untuk
memperoleh
data
dengan
jalan
membaca,
menelaah,
mengklasifikasikan dan dilakukan pemahaman terhadap bahanbahan hukum berupa peraturan, konvensi, serta buku-buku
literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Hasil dari pengkajian tersebut kemudian dibuat
ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian
suatu dokumen.
1.8.5.
Lokasi Penelitian dan Teknik Penentuan Sampel Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian adalah di Desa Pakraman Keramas,
Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pemilihan lokasi
penelitian ini dengan dasar pertimbangan bahwa Desa Pakraman
Keramas yang merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten
Gianyar yang memiliki presentase konflik adat yang cukup besar.
Dalam penerapan sanksi adatnya, Desa Pakraman Keramas lebih
menekankan pada sanksi moral dengan tujuan mengembalikan
48
Ronny Hanitijo, 2002, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, hal 72.
39
kesucian dan keseimbangan desa. Alasan lainnya yaitu di Desa
Pekraman Keramas terdiri dari enam banjar. Salah satu banjar
yaitu Banjar Lebah, mayoritas kramanya adalah Non Hindu
(Islam) yang tetap taat dan patuh terhadap aturan (Awig-awig)
Desa Pakraman Keramas. Dengan demikian, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian di desa tersebut.
2. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik non probability sampling yaitu tidak
semua subyek atau individu mendapat kemungkinan yang sama
untuk dijadikan informan.49 Dari beberapa jenis teknik non
probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Snowball Sampling. Dalam teknik Snowball Sampling, pertamatama peneliti menentukan informan kunci dan informan
selanjutnya dipilih berdasarkan rekomendasi dari informan kunci.
Informan kunci yang dipakai dalam penelitian ini adalah Bendesa
Adat Desa Pakraman Keramas Kecamatan Blahbatuh Kabupaten
Gianyar.
1.8.6.
Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris ada 2 (dua) model
analisis yaitu analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif tergantung
49
Bahder Johan Nasution, Op.cit.. hal. 156.
40
dari sifat penelitian dan sifat data yang dikumpulkan peneliti. Dalam
penelitian ini, oleh karena bersifat deskriptif, maka analisis data yang
digunakan adalah analisis data kualitatif.
Analisis
data
kualitatif
yaitu
analisis
data
dengan
cara
mengumpulkan data yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi
angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat
diukur dalam struktur klasifikasi serta pengumpulan datanya menggunakan
pedoman wawancara dan observasi. Keseluruhan data yang terkumpul, akan
diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis. Proses
analisis dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data dilapangan
kemudian akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.
Download