KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, DEBU

advertisement
KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PENCEMARAN UDARA Pb, DEBU DAN CO DARI
SEKTOR TRANSPORTASI DARAT
(Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO di jalan tol Cawang-Semanggi Jakarta)
SAPUTRO SATRIYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRACT
Saputro Satriyo. 2012. AIR POLLUTION MANAGEMENT POLICY
DUST AND CO. LAND TRANSPORTATION SECTOR (Case studies of
pollution, dust and CO on the highway Cawang-Semanggi Jakarta). Guided
Surjono H. Sutjahjo, Wonny Ahmad Ridwan and Muhammad Yani
Supervising Commission.
Pb,
Pb
By
as
Along with the fast of development in the city, then the frequency of vehicles
on the highway is also higher, which causes the level of exhaust emissions from
vehicles is also increasing. Increased levels of vehicle exhaust emissions will spread
into the surrounding area and as a result can disrupt public health. Development of
transportation policies that are less well and did not pay attention to aspects of public
health will certainly exacerbate the negative impacts. This study aims to (1) identify
the spread of Pb and dust conditions that exist today, (2) analyze the distribution of Pb,
dust and CO levels to develop environmental management on the impact of air
pollution risk in relation to local public health, and formulate management policy
directives regional environmental impact of air pollution. Methods of analysis used is
descriptive method, laboratory analysis by Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS) and gravimetric, and analysis of hierarchy process (AHP). Results showed that
air pollution from motor vehicles such as carbon monoxide (CO), nitrogen dioxide
(NO2), sulfur oxides (SO2), lead (Pb), dust, generally above the threshold exceeds the
ambient air quality standards, especially noise = 75 dBA, carbon monoxide gas =
3292,5 µg/Nm³ and dust = 218,10 g/m³ on environmental quality standards. Pollutants
is very dangerous to human life because it can cause disease. Pb in plants at 4,3 ppm,
efforts to reduce levels of Pb and dust can be a limitation of the vehicle, entry
restrictions, parking restrictions, regulating traffic zone, day without driving, cycling,
application of new technologies, and planting vegetation. Pb in hair traffic police
officers on duty during: 0,3 ppm five years, ten years of 0,6 ppm and 0,8 ppm fifteen
years. Alternative policies that can be selected in the field of environmental
management of the impact of air pollution in Jakarta is an age restriction of motor
vehicles. The most influential factor is not feasible to use the vehicle first, second and
third the existence of incentives or vegetation maintained disintive Green Open Space
(RTH). Activities must be supervised by the government, in this case the Ministry of
Health, Board of Transportation and the Environment Agency and the Police are the
most important actor role in maintaining air quality in Jakarta.
Keywords: policy, air pollution, motor vehicles, lead, dust and CO, human health.
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PENCEMARAN UDARA Pb, debu dan CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI
DARAT (Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO di jalan tol Cawang-Semanggi
Jakarta)” adalah karya saya sendiri serta atas arahan pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Saputro Satriyo
P99523608/PSL
iii
RINGKASAN
Pencemaran udara merupakan suatu masalah besar di kebanyakan kota besar di
dunia. Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia disamping kota-kota besar
lainnya dengan tingkat pencemaran udara yang cukup tinggi. Seiring dengan pesatnya
laju pembangunan di kota Jakarta, maka frekuensi kendaraan di jalan raya juga
semakin tinggi, yang menyebabkan laju pencemaran udara dari sumber emisi gas
buang dari kendaraan juga semakin meningkat. Ini disebabkan terutama oleh tingginya
pemanfaatan energi fosil di dalam transportasi dan industri, meski konstribusi alam
juga menyokong melalui kejadian seperti letusan gunung berapi dan kebakaran hutan.
Di banyak negara berkembang, konsentrasi CO (karbon monoksida), SO2 (sulfur
dioksida), timbal (Pb), debu dan bahan pencemar lainnya meningkat sebagai suatu
konsekuensi terhadap meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil. Meningkatnya laju
emisi gas buang kendaraan akan menyebar ke wilayah di sekitarnya dan sebagai
akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kebijakan pembangunan
transportasi yang kurang baik serta tidak memperhatikan aspek kesehatan masyarakat
tentu akan memperburuk dampak negatif yang ditimbulkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendesain kebijakan manajemen lingkungan
wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan umum tersebut, maka beberapa kajian yang perlu dilakukan sebagai
tujuan khusus antara lain :
1. Mengidentifikasi kondisi kimiawi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang
ada pada saat ini.
2. Menganalisis tingkat penyebaran Pb, debu dan CO untuk menyusun
manajemen lingkungan pada dampak resiko pencemaran udara dalam kaitan
dengan kesehatan masyarakat setempat.
3. Merumuskan arahan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak
pencemaran udara.
Penelitian dilaksanakan di Propinsi DKI Jakarta khususnya di jalan Cawang
sampai Semanggi yang dimulai bulan Januari 2004 sampai Agustus 2008, tanggal 2
dan 4 November 2011 dan 5 Desember 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pencemar udara yang berasal dari
hasil aktivitas kendaraan bermotor seperti, nitrogen dioksida (NO2), sulfur oksida
(SO2), rata-rata masih berada di bawah batas ambang baku mutu udara ambient,
kecuali gas karbon monoksida yang telah mencapai 3592,5 μg/Nm3 di lokasi
pengamatan jembatan Semanggi, debu yang telah mencapai 218,10 g/m3 di lokasi
pengamatan gedung Kor Lalulintas, Pb mencapai 4,3 ppm pada tanaman percobaan
dan kebisingan sebesar 75 dBA. Sedangkan pada petugas polisi lalulintas jumlah Pb
yang terjerab pada rambutnya sesuai dengan kurun waktu: lima tahun = 0,3 ppm,
sepuluh tahun = 0,6 ppm dan limabelas tahun = 0,8 ppm. Keadaan ini menunjukkan
tingkat kesehatan anggota polisi lalulintas itu perlu segera ditangani mengingat
kandungan Pb pada udara ambient tahun 2011 sebesar 0,28 ppm.
iv
Akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam lokasi pengamatan
menunjukan kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang baku mutu lingkungan.
Demikian pula dalam rambut manusia rata-rata berada di atas batas baku mutu
lingkungan, namun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan yang terakumulasi
dalam tanaman. Kebanyakan menurunkan kadar pencemaran udara terutama Pb yang
berasal dari kendaraan bermotor diperlukan sistem pengelolaan lingkungan yang baik
dengan melibatkan semua pihak melalui beberapa upaya seperti pembatasan usia pakai
kendaraan, larangan masuk, larangan parkir, mengatur zona lalu lintas, hari tanpa
mengemudi, bersepeda, penerapan teknologi baru, dan penanaman vegetasi.
Alternatif kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan wilayah
dampak pencemar udara di Jakarta adalah pembatasan usia pakai kendaraan sebagai
penyebab polutan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah keberadaan vegetasi
sebagai penyerab Pb, debu dan CO sehingga perlu dipertahankan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) dimana pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Kepolisian R.I
merupakan aktor yang paling berperan penting dalam menjaga kualitas udara di Kota
Jakarta.
v
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012.
Hak Cipta dilindungi Undang-undang.
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PENCEMARAN UDARA Pb, DEBU DAN CO DARI
SEKTOR TRANSPORTASI DARAT
(Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO di jalan tol Cawang-Semanggi Jakarta)
SAPUTRO SATRIYO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
vii
Penguji luar Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Etty Riani, MS
2. Dr. Ir. Sobri Effendi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :
1. Dr. M. Nurdin : Sekretaris Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT)
2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto : Dosen pada Departement Teknik Spil dan
Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian IPB
viii
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas
rahmat
dan
hidayah-Nyalah
disertasi
dengan
judul
KEBIJAKAN
PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb, debu dan CO DARI SEKTOR
TRANSPORTASI DARAT (Studi kasus pencemaran Pb, debu dan CO) di jalan tol
Cawang-Semanggi Jakarta) dapat terselesaikan. Disertasi ini bertujuan menghasilkan
model kebijakan pengelolaan pencemaran Udara dan debu yang dapat digunakan oleh
pengambil keputusan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan disertasi ini banyak pihak yang telah
membantu dan memberikan dorongan.
Oleh karena itu dengan rasa tulus dan segala kerendahan hati dihaturkan
penghargaan dan terimakasih kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. sebagai ketua Komisi Pembimbing, Bapak
Dr. Wonny Ahmad Ridwan, SE. MM dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Yani, M.Eng
selaku anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Nuraedi selaku Asisten
komisi pembimbing yang telah bersedia memberikan perhatian, jasa dan budi
baiknya yang sangat besar melalui bimbingan, dorongan dan nasehat kepada
penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
2. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Program Studi PSL yang banyak memotivasi
penulis dan memberikan dukungan moril, nasehat serta pelayanan akademik
selama masa studi.
3.
Jenderal Pol.(Purn). Tan Sri Prof. Drs. Da’i Bachtiar. S.H. AO beserta staf yang
telah memberi izin bagi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian di Jakarta.
4.
Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pasca sarjana IPB yang telah
memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendididkan di IPB.
Demikian pula Dosen dan Staf Akademik yang telah memberikan bantuan
akademik dan non akademik bagi penulis dalam menempuh program strata tiga
ini.
x
5.
Irjen Pol. Dr. H.Untung Sugianto Radjab.Drs.SH., Kapolda Metro Jaya berkenan
ijin memberikan penelitian di Asrama Polri Polantas Jakarta.
6.
Ketua Yayasan Brata Bhakti Polri lebih khusus Bapak Rektor Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya dan Warek dua yang telah memberi ijin bagi penulis
untuk mengikuti program Strata 3 di IPB.
7.
Para Narasumber dari Akademisi, LSM dan Tokohmasyarakat yang telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk berdiskusi dengan penulis dan ikut serta
dalam pelaksanaan Forum Groub Discusion (FGD) serta sebagai pakar dalam
analisis data kebijakan.
8.
Rekan rekan mahasiswa Psl yang telah ikut serta memberikan saran atas
kesempuranan metodologi penelitian dan penulisan disertasi.
9.
Mertuaku, istri, anak-anak, menantu dan cucu-cucuku, serta keluarga yang tak
pernah putus dengan kasihnya membantu do’a, memberi dukungan dan semangat
sampai hari ini. Tidak lupa pula kepada sahabat dan kerabat yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah banyak berkorban dalam suka dan duka, selalu
memberikan dorongan dan selalu mendampingi penulis dengan sabar dan tawakal,
sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan disertasi yang belum sempurna
ini sehingga masih diperlukan kritik saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan buku ini.
Semoga Allah SWT membalas budi baik semuanya, semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Bogor, Januari 2012
Penulis
Saputro Satriyo
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang 15 Nopember 1947, bernama Drs. Saputro
Satriyo, SH.MSi beragama Islam, merupakan putra ketiga dari sembilan bersaudara
Almarhum Bapak RM. Satriyo Reksoatmodjo dan Almarhumah Ibu Rr. Siti Khodijah.
Beristri Hj. Hariyati Saputro binti H. Mursjid berputra tiga, dua putra, satu putri dan
telah memiliki cucu lima orang. Adapun nama-putra-putrinya adalah :
1. Johny Harius Putranto, SE., ST., MT.
2.
Mayor Infantri Didit Hari Prasetio Putro
3. Fika Wiguna Saridewi, SE., S.Ak.
Pendidikan/sekolah yang pernah ditempuh adalah: SMA Paspal lulus tahun
1968, AKABRI Kepolisian (1972), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK-1982),
Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (1987), Sekolah Sospol ABRI - II (1989 dan 1994),
Sarjana Hukum di Denpasar Bali (1989), S2 di UNPAD tahun 1996. Beralamat di
Perumahan Polri Pengadegan Blok Q/4E Pancoran, Jakarta Selatan. Selama
menempuh studi Doktor, penulis pernah berdinas di Lembaga Kepolisian sampai
memasuki purna bhakti pada tahun 2003.
Aktivitas saat ini adalah mengabdi pada Lembaga Swadaya Masyarakat LCKI
(Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia), Kepala Biro Hukum Polda Metrojaya dan
Kepala Biro Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) bertugas selaku dosen
Fakultas Ekonomi di Universitas Bhayangkara Jakarta dan Bekasi serta dosen pada
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................
1
Kerangka Pemikiran ...........................................................................
4
Perumusan Masalah .............................................................................
6
Tujuan Penelitian .................................................................................
10
Manfaat Penelitian ..............................................................................
10
Hipotesis ..............................................................................................
10
Pembatasan Studi .................................................................................
11
Novelty (Kebaruan) .............................................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
13
Komposisi Atmosfer ............................................................................
13
Pencemaran Udara ...............................................................................
14
Sumber Pencemaran Udara .................................................................
16
Partikel ................................................................................................
27
Logam Berat Timbal (Pb) ...................................................................
27
Sumber Timbal (Pb) dan Pencemaran di Udara ..................................
29
Dampak Pencemaran Udara ................................................................
31
Pengaruh Pb terhadap Kesehatan Manusia ..........................................
36
Komposisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.......................................
41
Kondisi Udara ......................................................................................
49 METODE PENELITIAN ..............................................................................
50
Lokasi Penelitian ................................................................................
50
Rancangan Penelitian .........................................................................
51
xiii
Jenis dan Sumber Data ............................................................
52
Metode Pengumpulan Data .....................................................
52
Metode Analisis Data ..............................................................
53
Metode Penelitian AHP ..........................................................
56
Model Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara .............................
62
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .........................................
63
Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan................................................
63
Sarana dan Prasarana ..........................................................................
65
Sarana Transportasi ............................................................................
66
Kualitas Udara di DKI Jakarta.............................................................
69
Suhu udara rata – rata ..........................................................................
70
Kualitas Udara di Bern (Swiss) dan Den Hagg (Belanda) ..................
71
Penyakit Yang Disebabkan Oleh Pencemaran Udara..........................
72
STUDI PENYEBARAN Pb, DEBU DAN KEBISINGAN DI KOTA
JAKARTA ..................................................................................................
74
Pendahuluan ........................................................................................
74
Metode Penelitian ...............................................................................
75
Hasil dan Pembahasan .........................................................................
76
Sumber dan Jenis Bahan Pencemar Udara ..............................
76
Gas Pencemar Udara di Kota Jakarta ......................................
78
Pencemar Udara Pb, Debu dan Kebisingan di Kota Jakarta ...
81
Terjadinya Kebisingan Akibat Kemacetan di Ras Jalan
MT. Haryono /BNN ............................................................................
83
Kesimpulan .........................................................................................
86
STUDI KETERKAITAN PENYEBARAN DAN DEBU DENGAN KESEHATAN
MASYARAKAT .......................................................................................
87
Pendahuluan ........................................................................................
87
Metode Penelitian ................................................................................
88
Hasil dan Pembahasan .........................................................................
90
xiv
Kandungan Pb pada Tanaman ...............................................
91
Kandungan Pb pada Rambut Polisi Yang bertugas
Di Lokasi Penelitian ................................................................
94
Kesimpulan ..........................................................................................
102
KEBIJAKAN MANAJEMEN LINGKUNGAN WILAYAH DAMPAK
PENCEMARAN UDARA...............................................................................
103
Pendahuluan ......................................................................................
103
Metode Penelitian
105
.............................................................................
Analisis Herarki Proses Dapat Menyusun Kebijakan Pengelolaan
Pencemaran Udara................................................................................
119
Patokan Dengan Kota Kembar (Sister City)........................................
120
Pencapaian Target Agar Sesuai Dengan Kadar Udara Di Sister
City Yaitu Kota Beern dan Den Haag Adalah Cukup Panjang ...........
124
Kesimpulan ..........................................................................................
129
Simpulan dan Saran.......................................................................................
131
Simpulan .............................................................................................
131
Saran ....................................................................................................
131
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
133
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
14
1.
Susunan Gas di Atmosfer pada Suhu dan Tekanan Udara Baku ..................
2.
Kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak .....................................
18
3.
Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan .......................
19
4.
Komposisi gas buang kendaraan bermotor berdasarkan % volume
(a) dan rata-rata emisi gas dalam g/km (b) menurut jenis bahan
bakar yang digunakan .............................................................. ..
5.
Konsumsi bahan bakar (premium) dan emisi gas buang kendaraan
Dinas di kota Yogyakarta...............................................................
6.
23
Kandungan gas SO 2 dan NO 2 di empat lokasi pengukuran
di Kota Padang .....................................................................................
7.
21
25
Hasil pemantuan kualitas udara harian di Senayan dan
Pondok Indah DKl Jakarta pada bulan Januari Februari, Juli
dan Agustus 2010 ........................................................................
8.
26
Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia
Jenis Pencemaran udara ......................................................................
33
9.
Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia ..
48
10.
Metoda sampling dan analisis pencemar udara ....................................
52
11.
Intensitas radiasi matahari ....................................................................
53
12. Jenis dan sumber data ..........................................................................
56
13.
Skala komparasi berdasarkan skala Saaty ............................................
59
14.
Luas Wilayah Kotamadya DKI Jakarta Tahun 2009 ...........................
63
15.
Pemanfaatan Lahan di Wilayah DKI Jakarta tahun 2010 ....................
64
16, Luas hijau jalan, hijau kota dan taman di wilayah Propinsi DKI
Jakarta tahun 2010 ...............................................................................
65
17.
Fungsi Jalan, Panjang Jalan, Luas dan Status jalan tahun 2010...........
65
18.
Jumlah Sepeda Motor, Mobil Penumpang, Mobil Beban, dan Bus
Tahun 2005–2010 ................................................................................
xvi
66
19.
Jumlah Kendaraan Angkutan Jenis IV .................................................
20.
Rata – rata jumlah penumpang, jumlah bis yang ada dan
67
yang Beroperasi Tahun 2005 – 2010 ..................................................
67
21.
Panjang Jalan DKI Jakarta tahun 2010 ................................................
68
22.
Luas Jalan DKI Jakarta tahun 2010 .....................................................
68
23. Komponen Pb (ppm) di dalam asap mobil...........................................
70
24. Suhu maksimum dan minimum tahun 2005 – 2010 ............................
70
25.
Tingkat polusi di DKI Jakarta Berrn, Den Haag, Singapura dan
Kuala Lumpur ......................................................................................
72
26.
Metode analisis kualitas udara dan kebisingan ...................................
76
27.
Data hasil pemantauan kuantitatif kendaraan bermotor
di Jakarta tahun 2008/2009 .................................................................
77
28.
Hasil pengukuran SO2 .........................................................................
79
29.
Hasil pengukuran NO2 .........................................................................
80
30.
Hasil pengukuran CO ..........................................................................
81
31.
Hasil pengukuran kandungan Pb pada lima lokasi penelitian..............
82
32.
Hasil pengukuran kandungan Debu pada lima lokasi penelitian .........
83
33.
Hasil pengukuran kandungan kebisingan pada lima lokasi
penelitian ..............................................................................................
34.
84
Jumlah kendaran yang melintas di Kuningan dan Pancoran tanggal
13 Februari 2008 dan tanggal 11 November 2011 ...............................
85
35.
Data Kesehatan Anggota Kor Lalulintas Metro Jaya...........................
90
36.
Korban CO dan Tempat Kejadian Perkara .........................................
91
37. Hasil pengukuran kandungan Pb di setiap jenis tanaman penghijauan
tepi jalan tol Cawang – Semanggi (Februari 2008) .............................
38.
Penjerapan kandungan Pb pada sampel tanaman contoh di lokasi penelitian
selama musim kemarau dan musim hujan tahun 2008.........................
39.
92
93
Hasil analisis kandungan Pb pada rambut pekerja sepanjang jalan
Cawang-Semanggi ...............................................................................
xvii
94
40.
Kasus penyakit ISPA akibat peningkatan jumlah kendaraan di
beberapa lokasi pengamatan di DKI Jakarta ........................................
41.
99
Hubungan antara jumlah kendaraan bermotor dengan gangguan
pendengaran masyarakat pada beberapa lokasi penelitian ...................
xviii
101
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Hubungan kegiatan manusia (rumah tangga dan perusahaan) dengan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan ..................................................
2.
2
Kerangka berpikir analisis tingkat penyebaran konsentrasi Pb, debu
dan kebisingan untuk manajemen lingkungan pada dampak resiko
pencemaran udara menuju Ecocity ......................................................
3.
6
Hubungan antara kecepatan kendaran dan emisi N0 2 dan CO
tanpa peralatan anti pencemaran pada kendaraan ..............................
22
4.
Akumulasi peredaran Pb pada manusia ..............................................
37
5.
Jalur masuk Pb pada manusia ............................................................
38
6.
Peta lokasi penelitian .........................................................................
50
7.
Tahapan Pelaksanaan Penelitian ..........................................................
51
8.
Rising Supply and Demands ...............................................................
54
9.
Kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari sektor
transportasi darat.....................................................................................
55
10. Konsentrasi Pb, debu dan NOx di Jakarta tahun 2008 .........................
69
11.
Perbandingan tingkat polusi DKI Jakarta dengan Sister Citynya ........
72
12.
Kendaraan yang melintas di Bundaran Semanggi Juli 2010 ................
84
13.
Kendaraan yang Melintas di Kuningan dan Pancoran Juli 2010 .........
85
14.
Kandungan Pb pada rambut pekerja sepanjang jalan
Cawang-Semanggi ..............................................................................
15.
95
Perbandingan tingkat konsentrasi Pb pada rambut di lima lokasi
pengamatan ..........................................................................................
96
16. Hasil pengamatan Pb, pada tanggal 13 Februari 2008,
11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ...........................................
17.
97
Hasil pengamatan debu, pada tanggal 13 Februari 2008,
11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ...........................................
98
18. Hasil pengamatan CO , pada tanggal 13 Februari 2008,
11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ...........................................
xix
98
19. Hasil pengamatan bising (dBA), pada tanggal 13 Februari 2008,
11 November 2011 dan 5 Desember 2011 ...........................................
99
20. Regresi dan Korelasi antara jumlah kendaraan terhadap peningkatan
berlalulintas pada gangguan pendengaran masyarakat di DKI Jakarta
100
21. Regresi dan Korelasi antara jumlah kendaraan terhadap peningkatan
berlalulintas pada gangguan pendengaran masyarakat di DKI Jakarta
22.
101
Hirarkhi AHP kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan
CO dari sektor transportasi darat …………………………………….
105
23. Hirarkhi AHP Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu
dan CO Dari Sektor Transportasi Darat di Jakart ...............................
106
Model pengelolaan pencemaran udara ................................................
124
25. Model Powersim ..................................................................................
125
24.
26.
Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb pada 5 tahun
kedepan seperti di Kota Kuala Lumpur ...............................................
27.
Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO pada 5
tahun kedepan seperti di Kota Kuala Lumpur ....................................
28.
127
Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO pada 10 tahun
kedepan seperti di Kota Singapura ......................................................
31.
127
Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb pada 10 tahun
kedepan seperti di Kota Singapura ......................................................
30.
126
Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu pada 5 tahun
kedepan seperti di Kota Kuala Lumpur ..............................................
29.
126
128
Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu pada 10 tahun
kedepan seperti di Kota Singapura ......................................................
xx
128
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan berkelanjutan suatu proses pengolaan sumberdaya alam dan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia generasi saat ini dan generasi
mendatang agar hidupnya sejahtera. Menurut Monash Singh (1993) Pembangunan
berkelanjutan berorentasi pada tiga aspek sekaligus, yaitu: ekonomi, sosial dan
lingkungan (ekologi). Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kecerdasan dan
kesejahteraan pada masyarakatnya secara terus menerus Zen (1979). Masyarakat
yang dinamis dalam kehidupan sehari hari sangat memerlukan transportasi dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Majunya pembangunan disektor transportasi menjadikan kota besar di
Indonesia acap kali terjebak dalam kemacetan berlalulintas. Jakarta sebagai salah
satu kota megapolitan sudah lebih dari satu dekade ini mengalami kemacetan.
Kemacetan hampir setiap hari ini terdapat di jalan-jalan arteri maupun jalan tol
dalam kota. Suasana kemacetan yang cukup parah sering kali terjadi pada waktu
masuk dan pulang kerja karyawan di Ibukota.
Berdasarkan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2
Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara pasal 15 perihal
penanggulangan pencemaran udara menyatakan bahwa setiap orang atau
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya
pencemaran udara dan/atau gangguan, wajib melakukan upaya penanggulangan
pecemaran udara. Sanksi akibat melanggar Perda Propinsi DKI Jakarta adalah
pencabutan ijin usaha, dikenakan biaya penanggulangan dan pemulihan, ganti rugi
dan retribusi sebagai bentuk sanksi administratif. Tercantum pada pasal 41 pidana
yaitu dengan dimulainya penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dan
diputus oleh Pengadilan Negeri setempat.
Isi Perda tersebut sangat mengikat pada semua obyek dan Badan Hukum
di wilayah DKI Jakarta. Dampak pertumbuhan populasi penduduk dan
perkembangannya yang terus meningkat dan kepentingan ekonomi yang lebih
dominan dari pada kepentingan ekologi, mendorong kondisi sumberdaya alam dan
1
2
lingkungan menjadi menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Demikian
pula kondisi sumberdaya manusia yang belum memadai, instansi belum berperan
secara tepat, teknologi belum ramah lingkungan dan law enforcement yang masih
rendah serta etika ekologi yang masih dangkal telah menyebabkan kondisi
sumberdaya alam dan lingkungan semakin terpuruk.
Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan secara keseluruhan akan
berpengaruh terhadap kondisi sosial dan ekonomi dalam upaya menyangga
keseimbangan, stabilitas dan produktivitasnya, aktivitas manusia atau kegiatan
pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk, khususnya di wilayah perkotaan
erat kaitannya dengan meningkatnya kebutuhan perumahan, transportasi dan
kegiatan industri. Di lain pihak daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan
adalah sangat terbatas, sehingga dampak dari aktivitas dan kegiatan pembangunan
sering menimbulkan pencemaran baik pada tanah, air maupun udara yang pada
akhirnya bermuara pada manusia sendiri sebagai penerima akibatnya.
Hubungan kegiatan rumah tangga atau perusahaan dengan sumberdaya
alam dan lingkungan terdapat pada Gambar 1.
Perusahaan :
Input
Lingkungan
Lingkungan Tenaga
Kerja Manajemen Mesin
Sumber daya alam
dan Lingkungan :
Udara, Satwa, Air,
Tumbuhan, Tanah,
Manusia, Sosial
Produk
Perusahaan
Output Lingkungan
Limbah dan
Sampah
Gambar 1. Hubungan kegiatan manusia (rumah tangga dan perusahaan) dengan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Modifikasi Djajadingrat 1997).
Pencemaran udara yang diakibatkan oleh sarana transportasi, bersumber
dari bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Bahan bakar minyak dan gas sebagai
sumber energi yang menggerakkan mesin atau peralatan mekanis menghasilkan
3
sisa buangan berupa gas, debu dan asap yang pada tingkat konsentrasi tertentu
berperan sebagai zat pencemar udara (Saeni 1989).
Pencemaran udara merupakan suatu masalah besar di kebanyakan kota
besar di dunia. Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia disamping
kota-kota besar lainnya dengan tingkat pencemaran udara yang cukup tinggi. Ini
disebabkan terutama oleh tingginya pemanfaatan energi fosil di dalam transportasi
dan industri. Di banyak negara berkembang, konsentrasi CO (karbon monoksida),
SO2 (sulfur dioksida), timbal (Pb), debu dan bahan pencemar lainnya meningkat
sebagai suatu konsekuensi terhadap meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil.
Pencemaran udara kota-kota di seluruh Indonesia dari tahun ke tahun
semakin meningkat, bahkan beberapa parameter sudah melampaui ambang batas
baku mutu lingkungan. Kualitas udara perkotaan telah berubah kondisinya akibat
perubahan komposisinya dari komposisi udara alamiahnya menjadi kondisi udara
yang sudah tercemar sehingga tidak dapat menyangga kehidupan. Berdasarkan
hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Air Quality Monitoring
Station (AQMS), dari sepuluh kota besar di Indonesia, enam di antaranya yaitu
Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekanbaru hanya memiliki udara
berkategori baik selama 22 sampai 62 hari dalam setahun atau tidak lebih dari 17
persen. Di Pontianak dan Palangkaraya penduduk harus menghirup udara dengan
kategori berbahaya masing-masing selama 88 dan 22 hari (Cahyono 2008).
Zat pencemar udara, dapat berupa karbon monoksida (CO), oksida-oksida
nitrogen (NOx) dan belerang dioksida (SO2) termasuk timbal (Pb) dan debu
(suspended particulate matter) (Manahan 1994). Pencemaran Pb dan debu pada
konsentrasi tertentu, berpengaruh terhadap tingkat kesehatan manusia dan
aktivitas manusia (ekonomi) serta menurunnya kondisi lingkungan. Kondisi
perubahan konsentrasi Pb, debu dan CO, semakin meningkatnya jumlah penduduk
dan sarana transportasi dikhawatirkan akan menggangu kondisi sosial (kesehatan),
ekonomi (aktivitas atau mata pencaharian) dan lingkungan (sistem yang semakin
penuh) dalam jangka panjang. Kondisi ini dikhawatirkan akan menggangu
lingkungan, kesehatan dan keamanan aktivitas penduduk dan pada saatnya akan
menganggu aktivitas sosial, alam dan lingkungan (Riyadi 1982).
4
Dampak negatif akibat penurunan kualitas udara terhadap kesehatan
manusia yaitu peningkatan penyakit pernapasan (ISPA) dan beberapa penyakit
lainya. Selain itu, pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan materi,
gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak
lingkungan. Untuk hal ini perlu diadakan analisis terhadap tingkat pencemaran Pb,
debu dan CO pada jalan–jalan tertentu yang padat dengan transportasi untuk
menyusun kebijakan pengelolaan pencemarn udara di kota-kota besar di
Indonesia.
Kerangka Pemikiran
Menurut Gold (1980) dan Djajaningrat (1997) bahwa sumberdaya alam
dan lingkungan memiliki tiga peranan pokok yaitu sebagai penyedia materi
(lahan, air, udara), penerimaan limbah dan sampah (termasuk dalam bentuk asap
dan debu), dan penyedia estetika (keindahan khususnya kenyamanan).
Di satu pihak sebagai pemasok limbah dan sampah, lingkungan memiliki
keterbatasan yang ditentukan oleh daya dukungnya (Soemarwoto 1988) serta di
lain pihak manusia sebagai pemakai untuk memenuhi kebutuhannya harus
berkorban. Dalam hal ini dikhawatirkan, pemanfaatan yang berlebihan (over
exploitation) akan merusak dan menurunkan kondisi sumberdaya alam dan
lingkungan setempat.
Manusia akan memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan, untuk
pemukiman dan perumahan, industri, perhubungan dan layanan kota dan jasa
transportasi. Aktivitas dari manusia ini (baik perumahan atau rumahtangga
maupun perusahaan dan industri) akan menghasilkan residu berupa sampah dan
limbah (termasuk hasil pembakaran) dan sarana transportasi baik kendaraan roda
dua maupun kendaraan roda empat atau lebih langsung mengeluarkan asap dan
debu yang pada konsentrasi tertentu dapat mencemari udara.
Pencemaran udara dalam penelitian ini difokuskan pada analisis tingkat
penyebaran konsentrasi Pb, debu dan CO dengan perhitungan, bahan dalam
penelitian tingkat penyebaran pencemar tersebut dikaitkan dengan eksistensi
petugas lalu lintas, pengguna jalan dan pemakai gedung di sekitarnya,
5
pengetahuan tentang pencemaran Pb masih belum memadai dan belum disusun
manajemen lingkungan pada dampak risiko pencemaran udara yang berperan
untuk mengendalikan tingkat kesehatan dan pengaturan penggunaan bahan bakar.
Berdasarkan manajemen lingkungan wilayah dapat disusun strategi pengendalian
(kebijakan, teknologi dan insentif) untuk menyusun strategi pengendalian
pencemaran udara secara terpadu dengan melibatkan pemerintah berikut dapat
menelusuri dampak risiko pencemaran udara serta badan usaha milik negara dan
swasta, dalam upaya melibatkan partisipasi masyarakat seperti halnya pengguna
jalan, pengemudi, penghuni, pemakai gedung juga pihak–pihak lain.
Dengan tetap mengedepankan kepentingan masing – masing dan adaptif
(Michel 2000) untuk menuju kondisi lingkungan udara kota DKI Jakarta yang
bersih, sehat dan nyaman secara berkelanjutan menjadi kondisi lingkungan yang
berwawasan lingkungan telah sesuai dengan program pencanangan Ecocity
(Setiawan 2003). Uraian secara rinci kerangka berpikir analisis manajemen
wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat
seperti terlihat pada Gambar 2.
6
Eco City Jakarta
Kondisi kualitas LH di
Cawang - Semanggi
Kualitas Udara
Pb, debu, SO2
NO2,CO,
Kebisingan
Kesehatan Lingkungan
Masyarakat (Keslingmas)
- Pemerintah
- Masyarakat
[DINAMIS]
Sumber Pencemaran
(Indusri, transportasi,
rumah tangga)
Manajemen Lingkungan Wilayah.
Dampak pencemaran udara dalam
kaitan kesehatan masyasarakat
(pengendalian dan penanggulangan)
Gambar 2. Kerangka berpikir analisis tingkat penyebaran konsentrasi Pb, debu,
CO, dan kebisingan untuk manajemen lingkungan pada dampak resiko
pencemaran udara menuju Ecocity.
Perumusan Masalah
Masalah pencemaran di kota – kota besar di seluruh dunia sudah
menunjukkan perihal yang sangat serius (KTT Johannesburg 2000). Terlebih lagi
pencemaran udara yang disebabkan asap industri maupun asap dan gas buangan
knalpot kendaran bermotor. Jakarta sebagai kota metropolitan, udaranya tercemar
nomor 3 di dunia setelah Bangkok dan Dakka (Salim, 1999). Keadaan
pencemaran udara itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus berkembang tanpa ada
upaya dari pemerintah atau swasta yang peduli terhadap emisi gas buang. Akibat
emisi gas buangan ini banyak penduduk Jakarta Pusat menderita Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA).
7
Kebijakan transportasi di Daerah Khusus Ibukota 40 % didominasi bus
umum, 16% kendaraan pribadi, disusul angkutan jenis pedati, gerobak, kereta
angin, delman sebesar 24 %, lain – lain 14 %, kereta api 2,5 % dan sepeda motor
2%. Kendaraan umum sebagai alat transportasi yang bebas zat pencemar udara
dalam persentase cukup kecil yaitu 2,5 % berupa kereta api rel diesel dan listrik.
(Dirlantas POLRI 2008).
Kondisi serta komposisi jenis kendaraan bermotor yang tidak seimbang ini
menunjukkan signifikansi adanya zat pencemar udara di seluruh ruas jalan arteri
dan jalan tol di DKI Jakarta. Lapisan udara yang menebal di atas permukaan tanah
sering kali disebut asap kabut atau smog. Asap kabut seringkali tampak pada
setiap hari jam – jam padat lalu lintas, terutama di jalan protokol yaitu jalan
Panglima Sudirman, jalan M. Husni Thamrin dan jalan Grogol – Cawang sampai
dengan Cikampek. Seperti diketahui asap kabut itu berasal dari kendaraan
bermotor yang melintas di jalan – jalan tersebut. Asap kabut yang berasal dari
emisi gas buang atau knalpot itu cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, satwa
dan tumbuhan.
Asap knalpot berupa emisi gas buang terdiri berbagai partikel kecil berupa
antara lain: debu yang tersuspensi (total suspendied particulate), debu jatuh (dust
fall), partikel PM10 (partikel < 10 µm) dan partikel 2,5 (partikel < 2,5 µm), unsur
logam berat (timbal). Jenis–jenis gas antara lain : sulfur dioksida (SO2), karbon
monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx) ozon (O3), hidrokarbon (HK), seperti
diketahui lingkungan udara ambien jalan Sudirman dan jalan Jembatan Semanggi
sampai Cikampek telah membentuk asap kabut atau smog. Kabut terbentuk oleh
emisi gas buang dari knalpot kendaraan bermotor yang berlalu-lintas sepanjang
hari. Namun secara alami asap kabut itu dipengaruhi oleh arah angin, cuaca,
kerimbunan pohon di sepanjang jalan dan jumlah kendaraan itu sendiri. Faktor–
faktor angin, cuaca, kerapatan tanaman, jumlah kendaraan bermotor dan kegiatan
bermasyarakat setempat sangat berhubungan dengan dinamika dan pola
penyebaran Pb, debu dan CO dan kebisingan suara di udara.
8
Sumber pencemaran udara utamanya ternyata bukan hanya dari sektor
industri, namun justru sektor transportasi. Konstribusi nyata terhadap pencemaran
NOx mencapai 73,3%; partikel-partikel (total suspendied solid) = 35,4% dan debu
halus dibawah 10 micron. Untuk lebih jelasnya bahwa pencemaran udara dari
transportasi di Jakarta (World Bank 2006) adalah sebagai berikut :
1. Debu (total suspended particulate) sebesar = 34,205 ton / tahun
2. Debu halus < 10 micron (PM 10) sebesar = 13,331 ton / tahun
3. Nitrogen Oksida (NOx) sebesar
= 31,543 ton / tahun
Tingkat penyebaran Pb di udara ditinjau dari sosial ekonomi sangatlah
strategis. Arti strategis adalah penyebaran Pb secara nyata tidak pernah disadari
karena efek kesehatannya cukup lama dan terabsorpsi di bawah lipatan lemak
(Saeni 1989).
Pb (timbal) dapat melayang di udara selama 4-40 hari dan
penyebarannya sejauh 100-1000 km dari sumbernya (Harahap 2003). Indonesia
seperti halnya di Negara-negara berkembang dan miskin lainnya seperti halnya
Indonesia belum tampak serius mencegah maupun berupaya mengatasi
penyebaran racun timbal Pb dan debu ini.
Menurut Saeni (1989) bahan logam berat Pb yang berupa partikel sangat
halus dan sangat berbahaya. Partikel Pb dapat mempengaruhi syaraf, tersimpan
dalam lipatan lemak dan tidak bisa dikeluarkan melalui air seni, feses, maupun
keringat. Jenis penyakit yang ditimbulkan oleh akibat keracunan Pb antara lain
adalah penyakit jantung, penyakit yang berakibat daya pikirnya dibawah normal
rata-rata orang dewasa.
Upaya mengurangi atau mencegah peningkatan buangan pencemar udara
yang mengandung Pb, debu dan CO di permukaan tanah pada jalan arteri Jl.
Sudirman-Jl. M.H.Thamrin, jalan antara Semanggi–Cawang kendati dapat diatasi
dengan berbagai multi disiplin ilmu. Disiplin ilmu yang perlu diterapkan pada
materi ini terlebih dahulu tentang permodelan pola dinamika penyebaran dan debu
akan memudahkan untuk menyusun sistem manejemen dan pengendalian
pencemaran udara oleh unsur Pb, debu dan CO, guna menyusun strategi yang
lebih tepat.
9
Perundang-undangan lingkungan hidup pada Undang-undang nomor 23
tahun 1997 telah menentukan sangsi yang berkaitan dengan penyebab terjadinya
pencemaran udara, hal ini merupakan kebijakan Pemerintah dalam mengatur pola
pengendalian dan masalah-masalah tersebut yang pada dasarnya merupakan
akibat dari kegiatan manusia. Adapun penyebab permasalahannya, antara lain
meliputi :
1. Kebijakan pengendalian pencemaran (udara) yang di dalamnya mengandung
aturan, norma, etika, mekanisme dan prosedur, belum mampu mengendalikan,
mengawasi dan menindaklanjuti pengurangan pencemaran udara Pb, debu dan
CO.
2. Kualitas sumber daya manusia baik sebagai aparat birokrat, pemilik mobil,
industriawan, maupun masyarakat yang berada di sekitar lokasi, belum
memahami akibat pencemaran Pb, debu dan CO yang dapat mengganggu
terhadap kegiatan sosial, ekonomi dan lingkungan kesehatan.
3. Kondisi lingkungan di kota mengalami penurunan kualitas baik secara fisika
maupun kimia. Hal ini akibat kegiatan manusia dalam mengelola
penghidupannya serta membuang sampah dan limbah sampai merusak dan
mencemari udara khususnya oleh Pb, debu dan CO.
Berdasarkan identifikasi masalah pencemaran udara tersebut, maka
perumusan masalahnya dapat disusun sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi kimiawi tingkat pencemaran udara di Tol CawangSemanggi Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor ?
2. Bagaimana tingkat penyebaran Pb, debu dan CO di Tol Cawang-Semanggi
Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor dan dampaknya terhadap
kesehatan masyarakat setempat ?
3. Bagaimana arahan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak
pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor
khususnya Pb, debu dan CO ?
10
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan mendesain kebijakan manajemen
lingkungan wilayah dampak pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka beberapa kajian yang
perlu dilakukan sebagai tujuan khusus antara lain :
1. Mengidentifikasi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang ada pada saat ini.
2. Mengidentifikasi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dan dampaknya
terhadap kesehatan masyarakat setempat.
3. Merumuskan kebijakan pengelolaan transportasi darat untuk mengurangi
pencemaran udara.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi kebijakan pencegahan,
penanggulangan pencemaran dan pengendalian penyebaran Pb, debu dan CO
sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
2. Bagi Dunia Usaha dan Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya dalam pengelolaan kualitas udara.
Memberikan informasi dan peluang bagi dunia usaha untuk berperan serta
dalam pengendalian penyebaran Pb dan debu atas dasar saling membutuhkan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan.
3. Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberikan sumbangan bagi ilmu pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan, khususnya dalam menyusun system manajemen lingkungan
wilayah dampak percemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan
masyarakati secara terintegrasi untuk mewujudkan langit biru, konservasi
Sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
11
Hipotesis
Dalam penelitian ini hipotesisnya disusun sebagai berikut :
1. Di duga terdapat Pb dalam tubuh manusia yang berbeda jumlahnya sejalan
dengan lama paparan
2. Jumlah Pb, debu dan CO sejalan dengan meningkatnya jumah kendaran.
3. Kelayakan pembatasan untuk kendaraan dan peralihan perubahan konsumsi
jenis BBG dapat menurunkan tingkat Pb dan CO.
Pembatasan Studi
Dalam uji rambah serta uji laboratorium (in situ, ex situ) melalui media
tertentu yaitu eceng gondok (Eichornia crassppes), kangkung (Ipomoca reptans
Poir) dan genjer (Limmochoris flava Buchanau).
Informasi pengendalian pencemaran sebagai masukan dalam menyusun
strategi pengendaliannya, pembatasan masalah dalam penelitian ini dikaitkan
dengan kriteria aspek sosial, ekonomi dan tingkat penyebaran Pb, debu dan CO
meliputi : (a) kebijakan (b) sumberdaya manusia (c) kondisi lingkungan udara.
Untuk kebijakan akan dibahas tentang kebijakan (aturan, norma); (1) tingkatan (2)
jenis (3) masa berlaku (4) instansi yang terkait (5) aktor pembuat (6) aktor
penerima (7) masalah yang diatasi (8) dampak yang timbul (9) sangsi (10) insentif
(11) intensitas sosialisasinya.
Untuk Sumberdaya Manusia (SDM) meliputi pemilik industri atau
kendaraan, sopir, masyarakat pengguna dan petugas lapangan (a) resiko yang
pernah dialami (b) untuk SDM pemilik industri atau kendaraan akan diteliti
indikator-indikator, meliputi : (1) tingkat pendidikan (2) pengalaman (3) tingkat
kemampuan (4) kreativitas dan inovasi (5) penggunaan BBM (6) adat istiadat dan
budaya (7) upaya pengurangan emisi (8) persepsi tentang pencemaran udara (9)
resiko yang pernah dialami. (c) untuk SDM masyarakat pengguna, indikatornya
meliputi : (1) tingkat pendidikan (2) pengalaman (3) tingkat kemampuan (4)
kreativitas dan inovasi (5) penggunaan BBM (6) adat isitiadat dan budaya (7)
upaya pengurangan emisi (8) persepsi tentang pencemaran udara (9) resiko yang
pernah dialami. (d) SDM masyarakat untuk kondisi udara akan dibahas dengan
12
indicator-indikator, meliputi: (1) konsentrasi zat pencemar Pb dan debu (2) jumlah
dan jenis kendaraan (3) bahan bakar yang dipakai (4) laju emisi (5) konsentrasi zat
pencemar (6) penentuan stabilitas adapter dan (7) koefisiensi distorsi (8) data
stabilitas atmosfer arah dan kecepatan angin (9) pemakaian bahan bakar.
Pengukuran kondisi udara akan dilakukan di bawah dan di atas lokasi penelitian,
sedangkan pada periode waktu tertentu akan dihitung koefisien tingkat korelasi
dan tingkat determinannya. Analisis terhadap orang yang bermukim dan bertugas
di sekitar jalan yang dilalui kendaraan bermotor, indikatornya meliputi : (1)
tingkat pendidikan (2) pengalaman (3) tingkat kemampuan (4) kreativitas dan
inovasi (5) penggunaan BBM (6) adat istiadat dan budaya (7) upaya pengurangan
emisi (8) persepsi tentang pencemaran udara (9) resiko yang pernah dialami (10)
bau (11) kebisingan.
Novelty (Kebaruan)
Kebaruan dari penelitian ini adalah terumuskannya kebijakan pengelolaan
lingkungan wilayah dampak pencemaran udara khususnya Pb, debu dan CO yang
berasal dari kendaraan bermotor di tol Cawang-Semanggi dan model kebijakan
yang berkelanjutan.
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Atmosfer
Atmosfer merupakan lingkungan fisik dimana manusia dan organisme lain
hidup di permukaan bumi. Tanpa kehadiran atmosfer di atas permukaan bumi ini,
tidak mungkin ada kehidupan di bumi. Fungsi utama atmosfer dalam menopang
kehidupan di permukaan bumi adalah untuk mencegah pemanasan dan
pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu
bagi organisme.
Atmosfer dengan susunan atau komposisi gas-gas yang ada di dalamnya
secara alamiah mampu melakukan kedua fungsi tersebut. Perubahan kandungan
gas-gas tertentu di atmosfer menyebabkan terganggunya kedua fungsi atmosfer
tersebut yang menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan
manusia. Pencemaran udara terutama dari industri dan kendaraan bermotor
apabila tidak dikendalikan dapat menurunkan fungsi atmosfer tersebut. Untuk
menilai apakah udara sudah mengalami pencemaran udara dan tingkat
pencemarannya, maka perlu pengetahuan mengenai komposisi atmosfer.
Udara adalah suatu campuran beberapa jenis gas, bukan merupakan
senyawa kimia. Seperti terdapat pada Tabel 1, empat macam gas terbanyak di
udara adalah: nitrogen (78,08%), oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan
karbondioksida (0,03%). Keempat gas tersebut meliputi 99,99% dari volume
udara kering, dan karbondioksida bervariasi volumenya. Disamping keempat gas
tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat kecil,
diantaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan H2S.
Selain mengandung gas, di atmosfer juga terdapat aerosol, salah satu diantaranya
adalah debu, yang sangat bervariasi menurut waktu dan tempat.
13
14
Tabel 1. Susunan Gas di Atmosfer pada Suhu dan
Tekanan Udara Baku
Jenis Gas
3
Simbol Volume (%) Kandungan dalam µg/ Nm
A
B
C
Nitrogen
N2
78,80
9,75 x 10 8
Oksigen
02
20,94
2,99 x 10 8
Argon
Ar
0,93
1,60 x 107
CO2
0,03
5,90 x 105
Karbondioksida
1,60 x 107
Neon
Ne
Helium
He
920
Kripton
Kr
4.100
Hidrogen
H
26 -90
Ozon
O3
10-15
Metana
CH4
1.080
Oksida nitrogen
NOx
0-6
Sulfur dioksida
SO2
2-50
Amonia
NH3
0-15
Karbon monoksida
CO
130
Hidrogen sulfida
H2S
3 – 30
Sumber :
A : Barry and Chorley (1968).
B : Gordon et al. (1998), sampai ketinggian 25 km.
C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m, suhu baku 25 ° C , tekanan udara baku 1
atmosfer.
Pencemaran Udara
Pencemaran dan kerusakan ekosistem udara dewasa ini merupakan
masalah yang bersifat internasional, karena pengaruhnya sangat merugikan bagi
kepentingan masyarakat secara umum, dan terhadap kelangsungan hidup manusia,
hewan maupun tumbuh–tumbuhan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.Kep.02/Men-KLH/1988, yang
15
dimaksudkan dengan pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke udara atau berubahnya tatanan
udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun
hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Harahap (2003), udara bersih yang dihirup manusia dan hewan
merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna atau berasa.
Meskipun demikian udara yang benar–benar bersih sulit didapatkan terutama di
kota besar yang berlalulintas yang padat. Udara yang mengandung zat pencemar
dalam hal ini disebut udara tercemar. Udara yang tercemar tersebut dapat merusak
lingkungan dan kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan berarti berkurangnya
daya dukung alam terhadap kehidupan yang pada gilirannya akan mengurangi
kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Keadaan ini sejalan dengan domain
triaspek pembangunan berkelanjutan yaitu rusaknya suatu ekologi akan
membebani sosial ekonomi masyarakat setempat.
Sedangkan Camp dan Dougherty (1991), memberikan definisi bahwa
sumberdaya alam merupakan obyek-obyek, bahan, kreativitas atau energi yang
terdapat di alam dan dapat digunakan untuk manusia. Kehadiran suatu bahan
kimia di suatu tempat yang tidak tepat atau pada konsentrasi yang tidak tepat,
maka bahan kimia tersebut disebut "pencemar" (Welburn 1990). Jadi ada dimensi
ruang atau tempat dan dimensi konsentrasi yang harus diperhatikan untuk
menyatakan
adanya
pencemaran.
Dimensi
tempat
berhubungan
dengan
keberadaan organisme khususnya manusia. Suatu bahan kimia bukan merupakan
bahan pencemar apabila terdapat di udara dalam hutan yang jauh dari pemukiman,
namun apabila bahan kimia ini hadir di permukiman, maka bahan kimia tersebut
disebut pencemar udara. Dimensi kedua untuk menyatakan suatu bahan kimia
yang hadir di udara merupakan pencemar atau bukan adalah konsentrasinya. HaI
ini didasarkan pada kenyataan bahwa :
16
1. Bahan kimia tertentu khususnya gas secara alami sudah terdapat di
atmosfer.
2. Kegiatan pembangunan khususnya bidang industri dan transportasi mau
tidak mau menghasilkan bahan atau gas pencemar udara. Usaha yang
dilakukan adalah menekan atau mengendalikan bahan atau gas pencemar
yang dihasilkan.
3. Kehadiran gas-gas tertentu di atmosfer pada konsentrasi tertentu justru
menguntungkan, sebaliknya melebihi konsentrasi tertentu gas-gas tersebut
dapat menjadi pencemar udara karena membahayakan kesehatan. Sebagai
contoh, Hartogensis (1977), mengemukakan bahwa ozon (O3) yang
terdapat di alam sampai konsentrasi 0,4 mg/m3 bukan dianggap sebagai
pencemar, tidak berbahaya untuk kesehatan. Di Los Angeles, konsentrasi
O3 sebesar 0,2 sampai 2 mg/m3 merupakan pencemar yang penting karena
menghasilkan
senyawa
kombinasi
dengan
gas pencemar lainnya
menyebabkan penurunan jarak pandang (visibility), iritasi dan kerusakan
tanaman. Perubahan konsentrasi gas-gas tertentu di atmosfer dapat
membahayakan kehidupan manusia, vegetasi atau hewan, dalam keadaan
demikian terjadi pencemaran udara menyatakan bahwa pencemar udara
terjadi apabila atmosfer memiliki komposisi gas-gas yang mengganggu atau
merusak kesehatan atau merusak vegetasi, binatang atau material.
Pencemaran selain berwujud kimiawi juga mempunyai kepentingan
ekonomi dan sosial. Informasi yang tepat perihal tingkat gas fitotoksik dalam
atmosfir yang tercemar masih relatif kurang (Fitter 1990 dalam Hay 1994). Pada
tempat tertentu, kosentrasi akan tergantung atas sejumlah faktor lingkungan
termasuk jarak dari sumber pencemar, topografi, ketinggian dari permukaan laut,
jenis pencemar udara, hujan, radiasi matahari, serta arah dan kecepatan angin.
Para peneliti yang telah menekuni Pb sebagai media pencemar udara cukup
banyak, antara lain adalah: Saeni (1982), Harahap (2003), Siregar (2005), Santosa
(2006) yang membahas fungsi dan peran Pb sebagai zat paling berbahaya terhadap
hewan – ternak dan manusia. Sedangkan yang mencoba secara manajemen guna
17
mecegah dan berupa kebijakan mengelola pencemaran zat beracun ini belum
diketemukan.
Sumber Pencemaran Udara
Ketidak seimbangan antara laju pertambahan jalan dan jumlah kendaraan
di wilayah DKI Jakarta meningkatkan kepadatan lalulintas yang selanjutnya
menyebabkan kemacetan dan pencemaran udara oleh emisi kendaraan bermotor.
Gas buang tersebut antara lain mengandung CO, SO2, NOx, partikulat, Pb dan
berbagai jenis debu. Selain menganggu kesehatan manusia, zat pencemar ini juga
merusak klorofil tanaman (Adiputro 1995). Sumber-sumber pencemar lainnya
adalah pembakaran sampah, proses industri, pembangunan limbah yang
kesemuanya itu mengandung zat pencemar sebesar 60 % dari pencemar yang
dihasilkan terdiri atas karbon monoksida dan sekitar 15 % terdiri dari hidrokarbon
(Fardiaz 1992). Pada beberapa daerah perkotaan, kendaraan bermotor
menghasilkan 85% dari seluruh pencemaran udara yang terjadi. Kendaraan
bermotor merupakan pencemar bergerak yang menghasilkan pencemar CO,
hidrokarbon yang tidak terbakar sempurna, NOx, SOx, Pb dan partikel.
Senyawa pencemar udara berdasarkan sifatnya dibagi menjadi empat
kelompok seperti yang dikemukakan oleh Meetham (1981) yaitu :
1. Senyawa yang bersifat reaktif.
2. Partikel-partikel halus yang tersangga di stratosfer dalam jangka waktu
yang lama.
3. Partikel-partikel kasar yang segera jatuh ke tanah dan yang berbentuk
senyawa organik dan senyawa SO2 akan berfungsi selaku prototipe
senyawa pencemar udara yang lain.
4. Partikel-partikel halus terutama berbentuk kabut yang berasal dari proses
pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna.
Pencemar udara dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan
manusia (man-made pollution). Kejadian atau gejala alam yang dapat menghasilkan
pencemar udara diantaranya: letusan gunung berapi, badai pasir, dan penyebaran
serbuk sari dari tanaman tertentu, yang dapat menyebabkan penyakit asma.
18
Pencemaran udara yang disebabkan oleh manusia tertutama merupakan
hasil dari kegiatan transportasi, industrialisasi dan urbanisasi. Sumber-sumber
pencemar udara adalah:
1. Proses Pemanasan
Proses pemanasan meliputi loncatan listrik, pembakaran gas alam dan bahan
bakar minyak. Pemanasan berupa loncatan listrik dengan suhu yang tinggi dapat
menghasilkan gas NO2. Gas alam sebagian besar adalah metana (CH4) dan sebagian
kecil berupa etana (C2H6) dan propana (C3H8). Pembakaran gas alam dapat
menghasilkan gas CO2 dan CO dan pada suhu tinggi dapat menghasilkan NO2.
Pembakaran bahan bakar minyak (BBM) terutama menghasilkan gas SO2 dan hanya
sedikit sebagai SO3. Abu juga dihasilkan, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil,
kurang dari 0,1%. Gas SO2 yang dihasilkan dari pembakaran BBM, tergantung pada
kandungan sulfur dalam tiap jenis BBM. Kandungan sulfur yang umum dalam tiap
jenis BBM disajikan pada Tabel 2. Bahan bakar padat terutama batubara memiliki
kandungan abu yang tinggi, sulfur sekitar 1% dan kadang-kadang mengandung
fluor sekitar 0,01%. Pembakaran bahan bakar padat khususnya batubara
menghasilkan abu yang sebagian berbentuk abu terbang dan gas SO2. Sebagian
sulfur tidak keluar sebagai SO2, tetapi masih terikat dalam abu.
Tabel 2. Kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak.
No
Jenis Bahan Bakar
1.
Avtur
0,11
2.
Premium
0,01
3.
Minyak tanah
0,03
4.
Solar
0,14
5.
Industrial Diesel Fuel (IDF)
0,07
6.
Industrial Fuel Oil (IFO)
1,65
Sumber : Pertamina U.P. IV Cilacap (2003).
Kandungan Sulfur (%)
19
2. Industri
Jenis pencemar udara yang dihasilkan oleh industri berbeda-beda,
tergantung pada jenis industrinya. Biasanya pencemar udara dari industri dibuang
melalui cerobong (stack) yang tinggi, sehingga pencemar udara dapat terdispersi
secara sempurna di udara. Industri minyak dan gas bumi (migas) menggunakan
cerobong setinggi 75 meter atau Iebih. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
Surabaya menggunakan cerobong setinggi 200 meter agar abu dan gas SO2 yang
terbang ke udara dapat terdispersi secara baik sehingga tidak mencemari udara di
pemukiman sekitarnya. PLTU ini memanfaatkan bahan bakar batubara sekitar
5.000 ton/hari.
Chi-Wen (1999), meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia
dan serat di Taiwan, yang dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi
penduduk terhadap bau yang ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan
adalah senyawa sulfur (SO2, H2S, CS2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa
organik volatil (benzena, toluena, p-Xylene, aseton, dan kloroform). Pengukuran di
udara ambien dilakukan di empat lokasi sekitar industri tersebut. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa di ke empat lokasi pengukuran, H2S dengan rata-rata hasil
pengukuran 7,6 ppm telah melewati ambang batas bau (odorant threshold) sekitar
0,47 ppm, di satu lokasi CS2 pada malam hari dapat mencapai 256 ppm melewati
ambang batas bau sebesar 210 ppm. Pada Tabel 3 disajikan beberapa jenis industri
dengan pencemar udara yang diemisikan.
20
Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan.
Jenis Industri
Pencemaran yang dihasilkan
Industri Baja
Debu, Senyawa Fluoride dan SOâ‚‚
Kilang Minyak Bumi
Hidrokarbon, Senyawa Sulfur, SOâ‚‚, Hâ‚‚S, NO, NOâ‚‚, debu, Merkaptan
Industri Kayu Lapis
Padatan Tersuspensi, Fenol dan Asam Resin
Industri Rayon dan Pulp
Senyawa Sulfur (bahan basah) misalnya CSâ‚‚ , Hâ‚‚S dan Metil Merkaptan
Industri Semen
Debu
Industri Kimia
Tergantung jenis industri kimia, misalnya HCL, Cl₂, NO₂, NH₃ dan pestisida
Industri Pengolahan Karet
NH₃ dan H₂S dan senyawa bau lainnya
Industri Logam dan
Pengecoran Logam
SOâ‚‚, Sulide, Klor, HCl dan debu
Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994)
Vinitnantharat dan Khummorigkol (2003) telah melakukan penelitian deposisi
sulfur dan nitrogen yang disebabkan oleh pencemaran udara industri dan kendaraan di
enam wilayah di Thailand. Penelitian dilakukan baik terhadap deposisi basah dan
deposisi kering. Pengumpulan sampel basah dilakukan dengan menampung air hujan
menggunakan penakar hujan (rain gauge), sedangkan sampel kering dikumpulkan
menggunakan filter empat tahap. Terhadap sampel basah diukur pH (di
tempat), dianalisis S0 4 2- dan N0 3 -, terhadap sampel kering dilakukan analisis
S0 4 2- dan N0 3 . Hasil analisis menunjukkan bahwa pH air hujan berkisar dari
5,5 sampai 6,3 bahkan ada satu wilayah dengan pH lebih rendah dari 5,6 yang
merupakan pH batas hujan asam. Hal ini herarti bahwa telah terjadi hujan asam
akibat sulfur dan nitrogen. Total deposisi sulfur pertahun berkisar dari 0,6 g/m³
sampai 1,5 g/m³, sedangkan total deposisi nitrogen pertahun 0,5 g/m³ sampai
1,2 g/m³. Dari enam lokasi pengkajian, di lima lokasi deposisi sulfur lebih
tinggi daripada deposisi nitrogen, hanya satu lokasi dengan deposisi nitrogen
lebih tinggi daripada deposisi sulfur.
21
3. Kendaraan Bermotor
Kendaraan bermotor baik yang menggunakan bahan bakar bensin
maupun dengan bahan bakar solar (diesel) mengeluarkan gas buang yang
terdiri dari C0 2 , CO, N0 2 , H 2 , hidrokarbon, dan S0 2 . Komposisi gas buang
tersebut dari pembakaran bensin dan solar dalam volume dalam persen volume
disajikan pada Tabel 4. Hill (1984) menyatakan bahwa 75% gas CO di
atmosfer bersumber dari emisi kendaraan bermotor. Oleh karena itu gas
pencemar udara ini merupakan suatu masalah di daerah yang padat lalu-lintas.
Gas ini dapat bertahan di udara selama tiga tahun. Jumlah gas buang yang
diemisikan oleh kendaraan menurut Kor Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya,
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Direktorat LLAJR Ditjen Hubdar,
1998) ditentukan oleh kecepatan kendaraan, umur kendaraan dan perawatan
kendaraan. Pemasangan anti pencemaran pada kendaraan bermotor dapat
menurunkan emisi gas buang.
Hasil penelitian Cicro-Fernandez et al. (1997) di Los Angles menunjukkan
bahwa tingkat kelerengan jalan dan beban penumpang kendaran mempengaruhi
emisi hidrokarbon dan CO. Emisi hidrokarbon meningkat sekitar 0,04 g/ mil
untuk setiap kenaikan tingkat kelerengan 1%, untuk CO meningkat lebih tinggi
yaitu 3,0 g/mil untuk kenaikan tingkat kelerengan yang sama. Untuk kendaraan
yang dipenuhi oleh empat penumpang, pada tingkat kelerengan 4,5%, emisi
hidrokarbon dan CO naik masing-masing 0,07 g/mil dan 10,2 g/mil dibandingkan
dengan kendaraan tanpa penumpang.
Menurut Adel (1995) jumlah pencemar udara yang diemisikan di Jakarta
dari sektor transportasi per tahun sebanyak 373.662 ton CO, 15. 388 ton NO 2 dan
7.476 ton SO2. Dalam kondisi demikian ini, pencemaran udara akibat emisi NO 2
telah melebihi baku mutu udara ambien. Hasil pemantauan kualitas udara pada
tahun 1994/1995 menurut Rax (1995/1996) kandungan SO 2 di tepi jalan raya
berkisar dari 0,002 sampai 0,0013 ppm, sementara NO 2 berkisar dari 0,046
sampai 0,083 ppm. Baku Mutu Udara Ambien menurut Keputusan Gubernur DKI
Jakarta No. 586/1990, untuk SO 2 adalah 0,01 ppm dan NO 2 0,050 ppm. Hal ini
22
berarti bahwa SO 2 masih berada di bawah Baku Mutu Udara Ambien, sedangkan
NO 2 sudah berada di atas Baku Mutu Udara Ambien.
Tabel 4. Komposisi
gas
buang
kendaraan
bermotor berdasarkan % volume (a) dan
rata-rata emisi gas dalam g/km (b)
menurut jenis bahan bakar yang
digunakan.
a. Komposisi gas buang (% volume) b. Rata-rata emisi gas dalam g/km
Jenis gas buang Bensin
Solar
CO
60,00
0,69-2,57
Hidrokarbon
5,90
0,14-2,07
N0 2
2,20
0,68-1,02
S0 2
0,17
0,47
Debu
0,22
1,28
Timbal
0,49
-
Sumber:
Hartogensis
(1977)
Sumber:
Strauss dan
Mainwaring,
1984.
Ketera ngan:
Solar tidak
mengandung
timbal
Jenis gas buang Bensin Solar
CO 2
9,0
9,0
CO
N0 2
4,0
4,0
0,1
9,0
H2
2,0
0,03
Hidrokarbon
0,5
0,02
Nitrogen Oksida
0,06
0,04
S0 2
0,006
0,02
Makin tinggi kecepatan kendaraan, emisi N0 2 makin meningkat,
sementara emisi CO makin rendah. Sebaliknya, makin rendah kecepatan
kendaraan, emisi N0 2 makin rendah sedangkan emisi CO makin tinggi.
Hubungan antara kecepatan kendaraan dan emisi gas CO dan nitrogen oksida
dapat
dilihat
pada
Gambar
3.
Banyaknya
kendaraan
di
perkotaan
menyebabkan gas S0 2 , NO 2 dan CO merupakan gas diantara pencemar
udara yang sering dijumpai pada daerah perkotaan. Pencemar udara tersebut
merupakan pencemar primer yang berasal dari kendaraan bermotor
(Budirahardjo, 1991).
0,1
0,09
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
Gambar 3.
0,0025
CO
Emisi (kg/kendaraan km)
Emisi (kg/kendaraan km)
23
0,002
0,0015
NO2
0,001
0,0005
0
10 20 30 40 50 60 70
10 20 30 40 50 60 70
Kecepatan (km/jam)
kecepatan (km/jam)
Hubungan antara kecepatan kendaran dan emisi NO2 dan CO tanpa
peralatan anti pencemaran pada kendaraan (Sumber: Dit LLAJR
Ditjen. Hubdar 1998).
Hasil studi terhadap kendaraan dinas di kota Yogyakarta (Zudianto dan
Norojono 2002), menunjukkan bahwa dari 406 kendaraan dinas yang terdiri dari
mobil penumpang, kendaraan operasional dan sepeda motor setiap tahun
mengkonsumsi premium sebanyak 457.815 lt. Dari jumlah kendaraan dan
konsumsi premium sebanyak itu, setiap tahun diemisikan NO 2 sebanyak 9.037.268
g, SO 2 sebanyak 672.374 g, dan CO sebanyak 120.496.908 g. Emisi dari tiap jenis
kendaraan disajikan pada Tabel 5.
De Souza (1999) telah melakukan analisis komparatif pencemaran udara
perkotaan yang disebabkan oleh kegiatan transportasi di Bangkok, Meksiko dan
Amerika Serikat (USA). Di Bangkok kadar debu atau Total Suspended Particulate
(TSP) dan Timbal (Pb) telah melampaui tingkat yang aman bagi kesehatan yang
ditetapkan oleh World Health Organization (WHO), sedangkan kadar CO masih
tergolong rendah. Di Meksiko, TSP, CO dan Pb telah melampaui panduan
keamanan kesehatan yang ditetapkan oleh WHO. Di Amerika Serikat (USA)
kriteria pencemaran udara menggunakan batas atas yang ditetapkan oleh
Environrmental Protection Agency (EPA). Di Washington DC pada tahun 1985 ada
17 hari yang melewati batas atas, dan pada tahun 1994 ada tujuh hari yang
melewati batas atas.
24
Tabel 5. Konsumsi bahan bakar (premium) dan
emisi gas buang kendaraan dinas di kota
Yogyakarta.
No
Jenis
Kendaraan
Jumlah
Konsumsi
Premium /
(liter) tahun
Emisi gas buang / (gram) tahun
NO 2
SO 2
CO
1.
Mobil
penumpang
80
138.000
2.724.120
202.675
36.321.60
2.
Kendaraan
Operasional
79
234.600
4.631.004
344.547
61.746.72
3.
Sepeda
Motor
247
85.215
1.682.144
125.152
22.428.59
Jumlah
406
457.815
9.307.268
672.374
120.496.91
Su mb er : Zudian to dan Noro jon o (2002).
Pencemaran udara dari kendaraan bermotor di kota-kota besar
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu diantaranva adalah strategi
manaje men pencemaran udara. Studi dampak strategi manajemen kualitas
udara yang berbeda telah dilakukan di Bangkok, yaitu terhadap beberapa
pencemar udara (Kim Oanh dan Zhang 2003). Pengkajian dilakukan
menggunakan model system asbut fotokimia (photochemical smog model
system) yang disebut UAM-V/SAIMM, untuk mengetahui pencemaran di
derah metropolitan Bangkok melalui beberapa skenario strategi manajemen,
diantaranya adalah pengendalian uap BBM dari stasiun pengisian BBM dan
penggunaan gas alam untuk bahan bakar pembangkit listrik (power plant)
menggantikan minyak diesel. Pengendalian uap BBM di stasiun pengisian
BBM dapat menurunkan pencemaran uap BBM (bensin) dari 2.900 mg/t
menjadi 346 mg/t. Penggantian bahan bakar minyak diesel (heavy oil)
dengan gas alam di pembangkit listrik dapat menurunkan pencemar udara
NO, CO dan Volatile Organic Compound (VOC). Dengan bahan bakar
minyak diesel emisi NO x adalah 0,85%, dengan bahan bakar gas emisi NO x
hanya 0,0313 sampai 0,237 %. Emisi CO sebesar 0,06% dengan penggunaan
bahan bakar minyak diesel dan 0,01 % dengan menggunakan bahan bakar
25
gas. Untuk VOC, emisi sebesar 0,0132 % dengan bahan bakar minyak diesel
dan 0,0006 57 % dengan bahan bakar gas.
Menurut Hadi (1998), pencemar udara di kota sebagian besar
bersumber dari emisi kendaraan bermotor yaitu 60 % sampai 70 %. Hal ini
terutama terjadi di kota-kota besar yang penggunaan kendaraan pribadinya
sangat dominan dibandingkan penggunaan kendaraan umum. Perilaku
berkendaraan akan menentukan tingkat pencemaran udara di perkotaan. Hasil
penelitian di Kota Semarang menunjukkan bahwa dari seluruh mobil pribadi
yang lewat di lima gerbang kota pada pukul 6:30 sampai pukul 8:30, sekitar
50 % sampai 60 % hanya berpenumpang satu orang, dan sekitar 30% sampai
35 % berpenumpang hanya dua orang menandakan bahwa dari perspektif
lingkungan penggunaan. Hal ini kendaraan pribadi tidak efisien, yaitu
berpotensi meningkatkan pencemaran udara. Untuk mengatasi pencemaran
udara
dari
kendaraan,
dapat
dilakukan
dengan
penggunaan
tempat
pengumpulan kendaraan (car pool), kampanye menyukai sepeda, sepeda
motor dan kendaraan umum, pemberlakuan tiga penumpang dalam satu mobil
(three in one), pajak jalan (road pricing) untuk jalan tertentu dan zone
multiguna lahan (mixed used zoning).
Kandungan
pencemar
udara
dari
emisi
kendaraan
bermotor
khususnya SO 2 dan N0 2 dipengaruhi oleh kelembaban nisbi udara dan
radiasi surya. Hasil penelitian di Kota Padang (Dewata, 2001), menunjukkan
bahwa S0 2 rendah pada pagi hari, dan naik pada siang dan sore hari. Hal ini
disebabkan karena pada pagi hari kelembaban nisbi udara tinggi, sehingga S0
2
banyak yang bereaksi dengan uap menjadi H 2 SO 3 . Demikian juga dengan
N0 2 , pada pagi hari konsentrasinya rendah karena sebagian bereaksi dengan
uap air menjadi HN0 3 , namun pada sore hari dapat turun kembali karena
terjadi reaksi fotolistrik yaitu pencerahan gas NO2 oleh radiasi ultraviolet
membentuk NO dan oksigen (Tabel 6).
26
Tabel 6. Kandungan gas SO 2 dan NO 2 di empat
lokasi pengukuran di Kota Padang.
a. Kadar SO 2 (ppm)
Waktu Pengambilan sampel
No.
1
Lokasi
Muaro Kasang
Pagi
(07.00-08.00
WIB)
0,636.10-3
-3
Siang
(13.00-14.00
Sore
(16.00-17.00
WIB)
WIB)
1,42b.10-3
2.550.10-3
-3
3
-3
2
Lubuk Paraku
0,788.10
1,065.10
0.785.10
3
Bukit Lampu
1.023.10-3
0,351.10-3
1.027.10-3
4
Terminal Bus
Lintas Andalas
0,643.10-3
1,350.10-3
0,566.10-3
b. Kadar NO 2 (ppm)
Waktu Pengambilan sampel
No.
Lokasi
Pagi
(07.00-08.00
WIB)
Siang
(13.00-14.00
Sore
(16.00-17.00
WIB)
WIB)
1
Muaro Kasang
7, 736. 10-5
7, 430. 10-5
2. 750. 10-5
2
Lubuk Paraku
5, 340. 10-3
5, 140. 10-3
0. 664. 10-3
3
Bukit Lampu
3. 630. 10-4
3, 820. 10-4
4. 026. 10-4
4
Terminal Bus
Lintas Andalas
3, 530. 10-3
3, 210. 10-3
4, 210. 10-3
Sumber : Dewata (2001)
Pencemar udara di kota Jakarta yang terbesar juga bersumber dari emisi
kendaraan bermotor, terutama SO 2 , NO 2 dan CO dan telah dipantau oleh
Bapedalda DKI Jakarta (2002) di dua lokasi, yaitu di Senayan dan di Pondok
Indah. Hasil pemantauan di Senayan pada bulan Januari, Februari, Juli dan
Agustus 2004 menunjukkan bahwa S0 2 tertinggi 41, 07 µg/Nm3 pada bulan
Februari, NO 2 tertinggi 84, 56 µg/Nm3 pada bulan Agustus dan CO tertinggi 2, 88
27
mg/Nm3 pada bulan Februari. Hasil pemantauan di Pondok Indah pada periode
yang sama menunjukkan bahwa SO 2 tertinggi 38, 95 µg/Nm3 pada bulan Agustus,
NO 2 tertinggi 73, 10 g/Nm3 pada bulan Agustus dan CO tertinggi 3, 54 mg/ Nm3
pada bulan Januari. Dari hasil pemantauan ini nampak bahwa
ada
kecenderungan SO 2 dan NO 2 lebih tinggi pada periode musim kemarau
(Agustus) daripada di musim hujan (Januari atau Februari). Hal ini terjadi
karena kelembaban udara pada musim hujan lebih tinggi dari pada musim
kemarau sehingga SO 2 banyak yang berubah menjadi H 2 S0 3 dan N0 2
berubah menjadi HNO 3 .
Tabel 7. Hasil pemantuan kualitas udara harian
(µg/m3) di Senayan dan Pondok Indah
DKl Jakarta pada bulan Januari Februari,
Juli dan Agustus 2010.
Lokasi
Senayan
Januari
Februari
A
B
A
B
SO 2
7,31
20,18
9,21
41,07
NO 2
-
-
-
-
1,03
2,87
1,15
SO 2
5,71
17,18
3,92
NO 2
29,32 54,31 25,12 59,95
Parameter
CO
Pondok
Indah
CO
1,03
3,54
1,33
Juli
Agustus
A
B
A
B
16,91 36,55 20,75
34,20
49,33 75,34
51,5
84,56
2,88
1,24
2,67
0,92
2,23
26,29
7,77
28,17 17,81
41,52 91,32
3,41
1,11
3,22
38,96
35,33
73,10
0,82
1,94
Sumber : BAPEDALDA DKI Jakarta (2010)
Keterangan: A n ilai te rendah, B nilai tertinggi
Dalam kaitannya dengan pencemaran udara oleh CO (µg/Nm³),
Dolislager (1997) menyatakan bahwa di California dan 10 kota metropolitan
yang tidak dapat mencapai baku mutu kualitas udara ambien nasional pada
musim dingin. Kesepuluh kota tersebut adalah Los Angles, San Diego, San
Francisco, Chico, Sacramento, Bachero-field, Fresno, Modesto, Stockton,
dan South Lake Tahoe. Oleh karena itu untuk menurunkan kadar CO di udara
ambien
digunakan
bahan
bakar
kendaraan
yang
ditambah
oksigen
(oxygenated fuel). Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan bahan
28
bakar yang telah ditambah oksigen tersebut dapat menurunkan CO di udara
ambien 5 % sampai 10%.
Partikel
Partikel adalah benda padat atau cair yang dari suatu massa melalui proses
dispersal dalam media gas dan udara dengan hampir tidak memiliki kecepatan
jauh. Partikel atau debu berdasarkan susunan kimianya dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu partikel atau debu mineral dan zat-zat organik (Ryadi, 1982).
Partikel-partikel dapat berasal dari asap (terutama hasil pembakaran kayu,
sampah, batu bara, kokas dan bahan bakar minyak yang membentuk jelaga) dan
dapat pula partikel-partikel debu halus dan agak kasar yang berasal dari berbagai
kegiatan alami dan manusia. Sifat terpenting partikel adalah ukurannya, yang
berkisar antara 0,0002 – 500 µm. Pada kisaran ukuran tersebut partikel-partikel
dapat berbentuk partikel tersuspensi (suspended particulate) yang keberadaannya
di udara berkisar antara beberapa detik hingga beberapa bulan, tergantung pula
pada keadaan dinamika stratosfer.
Sumber pencemaran partikel berasal dari beberapa aktivitas industri,
pembakaran bahan bakar fosil kendaraan bermotor, badai pasir, pembakaran hutan
serta gunung berapi (alami). Ukuran partikel yang ada di udara berkisar antara
0,0005 – 500 µm dan partikel terkecil akan hilang, karena perpaduan gerak Boven
(1979) dan partikel yang besar akan jatuh akibat gaya gravitasi (Smith 1981).
Pencemaran partikel dapat menimbulkan beberapa permasalahan antara
lain adalah sebagai berikut :
a. Mengganggu kesehatan manusia dan lingkungan,
b. Mempunyai daya pencemaran udara yang luas penyebarannya dan tinggi
seperti Fe, Pb, Cr, Hg, Ni, dan Mn;
c. Partikel dapat menyerap gas, sehingga dapat mempertinggi efek bahaya
dari komponen tersebut.
29
Logam Berat Timbal / Pb (ppm)
Bahan tambahan bertimbal pada premium dan premix terdiri atas cairan
anti letupan (anti knocking agent) yang mengandung scavenger kimiawi, yang
dimaksudkan untuk dapat mengurangi letupan selama proses pemampatan dan
pembakaran di dalam mesin. Bahan yang lazim dipakai adalah tetraetil Pb atau
Pb(C2H5)4, tetrametil Pb atau Pb(CH3)4 atau kombinasi dan campurannya.
Umumnya etilen dibromide (C2H4Br2) dan etilen diklorida (C2H4,CI2)
ditambahkan agar dapat bereaksi dengan sisa senyawa Pb yang tertinggal di dalam
mesin sebagai akibat pembakaran bahan anti letupan tersebut. Campuran dan
kombinasi yang lazim ditambahkan terdiri atas 62% tetraetil Pb (ppm), 18% etilen
bromide, 18% etilen dikhlorida, dan 2% bahan-bahan lainnya. Dari berbagai
senyawa buangan bertimbal yang mengandung gugus halogen tersebut, emisi
senyawa-senyawa PbBrCI dan PbBrCI2 dan PbO adalah yang terbanyak ( masingmasing 32,0% dan 31,4% dari total Pb yang diemisikan sesaat setelah mesin
kendaraan bermotor dihidupkan, dan 12% dan 1,6% dari total Pb pada 18 jam
setelah mesin dihidupkan). Penelitian pencemaran udara oleh Kozak (1993)
mendapat dugaan emisi timbal pada tahun 1991 sebesar 73.154,42 ton, dengan
sebaran menurut sumbernya sebagai berikut: Transportasi 98,61% dan industri
1,39%, sedangkan bagi rumahtangga dan pemusnahan sampah dianggap tidak
menghasilkan emisi timbal.
Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat
terasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Diantaranya yang dibutuhkan sebagai unsur
mikro (Fe, Mn dan Zn) dan logam berat lainnya yang belum diketahui fungsinya
dalam metabolisme tumbuhan (Pb,Cd,Ti). Semua logam berat tersebut dapat
berpotensi mencemari tumbuhan. Smith (1981) juga menerangkan gejala akibat
pencemaran logam berat, yakni klorosis, nekrosis, pada ujung dan sisi daun serta
busuk daun lebih awal. Jumlah timbal di udara dipengaruhi oleh volume dan
kepadatan lalulintas, jarak dari jalan raya serta daerah industri, kecepatan mesin
dan arah angin. Tingginya kandungan timbal pada tumbuhan juga dipengaruhi
oleh proses sedimentasi.
30
Tumbuhan tingkat tinggi relatif lebih tahan terhadap partikel timbal
dibanding algae, tetapi dapat rusak dengan konsentrasi yang rendah dan
membentuk nekrosis (kerusakan jaringan). Dalam hal ini sebagai contoh adalah
tumbuhan Limmocharis flava yang sangat sensitif terhadap pencemaran udara
selama 24 jam, seperti gas SO2, NO2 dan O3. Lilin daun merupakan bagian daun
yang penting yang dapat dipercepat rusaknya oleh angin, abrasi, gesekan dan
interaksi kimia dengan zat pencemar. Morfologi maupun distribusi lilin pada daun
berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap pencemaran udara. Kerusakan
pada permukaan daun (khususnya pada daun lebar) dapat terjadi oleh hujan asam
dengan pH 3 – 3,5 dan konsentrasi sulfat 500 mmol/liter (Cape 1993).
Sumber Timbal (Pb) dan Pencemaran di Udara
Timbal (Pb) secara alami terdapat sebagai sulfida, timbal karbonat, timbal
sulfat, dan timbal flourida, (Ford 1999) Kandungan timbal dalam beberapa batuan
kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki
kandungan timbal kurang lebih 200 ppm. Kandungan timbal batuan intermediet
misalnya andesit, relatif sama dengan batuan eruptif masam yaitu 20 ppm. Batuan
metamorfosa seperti batuan sedimen tertentu misalnya liat melalui kadar timbal
berkisar antara 15 – 20 ppm, sedangkan kandungan rata-rata dalam batuan pasir
(sandstone) dan batu kapur (limesione) berkisar 7 – 10 ppm (Amadio 1989).
Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat-sifatnya
yaitu : a). Timbal mempunyai titik cair yang rendah, sehingga jika digunakan
dalan bentuk cair dibutuhkan dalam bentuk sederhana dan tidak mahal, b). Timbal
merupakan logam lunak, sehingga dapat diubah menjadi berbagai bentuk, c).
Sifat kimia timbal menyebabkan logam tersebut dapat berfungsi sebagai
pelindung jika kontak udara lembab (Fardiaz 1992). Menurut Saeni (1989) timbal
merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah merkuri. Sumber
utama pencemaran udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70% dari total zat
pencemar. Tsalev dan Zaprianof (1985) menyebutkan, 50% pencemaran timbal
berasal dari bahan aditif, sedangkan 48% penyebaran timbal terhadap lingkungan
ditemukan pada bahan pembungkus kabel, zat pewarna pada cat, campuran
31
beberapa logam (alpaka), bahan pelindung terhadap pengaruh pengasaman,
kristal, keramik dan sebagai bahan stabilisator pada plastik dan karet.
Bahan aditif adalah bahan-bahan kimia yang ditambah pada bahan bakar
untuk memperbaiki mutu bakarnya. Bahan-bahan kimia yang ditambahkan
tersebut dimaksudkan sebagai anti letup pada mesin, pencegah korosi, antioksidan
deactivator logam, anti pengembunan dan zat pewarna. Logam timbal merupakan
salah satu bahan aditif yang sering ditambahkan untuk memperbaiki mutu mesin.
Logam timbal terdapat di alam dalam bentuk mineral, sehingga harganya relatif
lebih murah dan lebih mudah diperoleh dibanding bahan aditif yang lain
(Sumartono 1996). Jumlah timbal yang ditambahkan ke dalam bensin berbedabeda untuk tiap negara. Di Indonesia setiap bensin premium yang dijual dengan
nilai oktana 87 dan bensin super dengan nilai oktana 98 mengandung 0,70-0,84 g/l
senyawa tetraetil dan tetrametil. Hal ini berarti sebanyak 0,56-0,63 g senyawa
timbal akan dilepaskan ke udara untuk setiap liter bensin yang dimanfaatkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi timbal di udara yaitu a).
Waktu, suhu, kecepatan dari emisi, ukuran, bentuk, dan kepadatan timbal, b).
Parameter metereologi seperti kecepatan angin, derajat turbulensi dan
kelembaban, dan c). Jarak dari pengambilan contoh dari sumber pencemar
topografi
setempat
seperti
lembah,
bukit
yang
akan
mempengaruhi
penyebarannya.
Saeni (1989) menyebutkan bahwa partikel timbal yang dikeluarkan oleh
asap kendaraan bermotor berukuran antara 0,08-1,0 µg/Nm3 dengan masa tinggal
di udara selama 4-40 hari. Masa tinggal yang lama ini menyebabkan partikel
timbal dapat disebarkan angin hingga mencapai jarak 100-1000 km dari
sumbernya.
Di alam bebas diketahui 200 jenis mineral timbal, tetapi hanya beberapa
saja yang penting, misalnya galena (PbS), rusit (PbCO3) dan aglesit (PbSO4).
Galena yang paling sering digunakan sebagai sumber ekstraksi timbal. Biji
karbonat dan sulfat terbentuk bersama dengan seng (Zn) dalam batuan spalerit,
dan dengan tembaga sebagai kalkopirit, juga sebagai isomorf dari ion-ion
K,Sr,Ba,Cu, dan Na dalam berbagai batuan. Badan dunia WHO telah menetapkan
32
batas maksimal serapan timbal oleh manusia dewasa sebesar 400-450 µg/hari.
Penyebaran bahan pencemar di udara sangat dipengaruhi oleh udara. Walaupun
demikian, sifat tersebut akan mengakibatkan semakin meluasnya daerah yang
terkena pencemaran jika dibandingkan seandainya tidak ada tiupan angin (Odum
1971).
Menurut Fardiaz (1992), terdapat 2 jenis sirkulasi udara yang dapat
memperburuk bahaya zat pencemar yaitu :
1. Pergerakan udara yang disebabkan oleh arus pembalikan udara bagian
yang lebih tinggi ke bagian yang lebih rendah. Pergerakan udara terjadi
secara vertikal, sehingga mengakibatkan bahan pencemar terdapat pada
lokasi yang sama pada jangka waku yang cukup lama.
2. Pergerakan udara yang disebabkan oleh angin. Angin dapat menyebabkan
udara tercemar secara horizontal, sehingga zat pencemaran dapat mencapai
daerah-daerah yang cukup jauh sumbernya.
Dampak Pencemaran Udara
Pencemaran udara dapat berpengaruh terhadap iklim, vegetasi atau tanaman,
hewan dan manusia. Pengaruh terhadap iklim adalah:
1. Meningkatkan suhu rata-rata bumi.
2. Hal ini disebabkan meningkatnya CO2 di atmosfer, dengan istilah yang lebih
popular meningkatnya efek rurnah kaca (green house effect). Belakangan
ini muncui pendapat bahwa peningkatan gas metana CH4 di udara juga
menimbulkan efek rumah kaca, dan salah satu sumber CH4 adalah sawah.
3. Penurunan suhu rata-rata bumi.
Peningkatan partikel padat di udara (debu), jelaga dan lain-lain menghalangi
radiasi surya yang mencapai permukaan bumi dengan cara membaurkannya.
Hal ini menyebabkan penurunan suhu di permukaan bumi.
4. Merangsang terjadinya hujan.
Partikel padat berupa debu dan jelaga di atmosfer dapat bertindak sebagai
inti kondensasi yang dapat merangsang turunnya hujan. Pengaruh
pencemaran udara terhadap tanaman dan hewan relatif kurang diperhatikan.
33
Perhatian yang paling besar adalah adanya pengaruh pencemaran udara
terhadap manusia. Pengaruh pencemaran udara terhadap vegetasi atau
tanaman telah diamati oleh beberapa negara maju. Sebagai contoh, di
Amerika Serikat dilaporkan bahwa gas buangan kendaraan bermotor telah
menurunkan produksi tanaman komersial di ladang-ladang dekat jalan,
beberapa senyawa diketahui telah merusak tanaman diantaranya: N0 2 ; S0 2 ,
etilena fluorida, herbisida, oksida dan hidrokarbon.
Selain mengganggu kesehatan manusia, bahan pencemar udara dari emisi
gas buang kendaraan bemotor juga berdampak negatif terhadap tumbuhan yaitu
merusak klorofil. Hal ini telah diamati oleh Adisaputro et al. (1995) yang
ditandai dengan adanya gejala klorosis dan nekrosis pada daun tanaman
penghijauan di tepi jalan raya di DKl Jakarta. Gejala klorosis dan nekrosis
tersebut diakibatkan oleh reaksi asam yang terbentuk dari emisi gas buang
kendaraan dan uap air di udara dengan Fe dan Mg pada matriks klorofil.
Karliansyah (1999) mengemukakan bahwa pada angsana dan mahoni terdapat
korelasi negatif antara N0 2 dengan kadar klorofii a dan b. Makin. tinggi kadar
N0 2
di udara makin rendah kadar klorofil. Kandungan SO 2 di udara
berkolerasi negatif dengan kandungan klorofil a pada angsana, yang berarti
bahwa SO 2
di udara mempengaruhi kadar klorofil a pada angsana.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa klorofil tumbuhan
atau tanaman khususnya angsana dan mahoni dapat dijadikan bioindikator
pencemaran udara.
Hill (1984) menyebutkan gas CO sebagai gas mematikan, dampaknya
tidak dapat berbalik (irreversible). Dengan demikian kemampuan di arah untuk
membawa oksigen sangat terhambat. NO 2 terbentak pada ruang bakar
kendaraan karena suhunya sangat tinggi. Sementara itu SO 2 berbau tajam,
sangat korosif, terbentuk karena ketidakmurnian bahan bakar kendaraan yang
mengandung belerang. Menurut Forsdyke (1970), baik batu bara maupun
minyak yang merupakan bahan bakar mengandung 1 % sampai Iebih 3 %
34
sulfur. Pembakaran 1.000 kg bahan bakar tersebut dapat menghasilkan SO 2
sebanyak 60 kg yang dibuang ke atmosfer.
Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada
pencemar yang ada di udara. Pada Tabel 8 dimuat beberapa jenis pencemar
udara dan pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill
(1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai
afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat
dibandingkan afinitas O 2 terhadap hemoglobin. Dengan demikian apabila CO
masuk ke dalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk
karboksi-hemoglobin (CO-Hb).
Tabel 8. Beberapa jenis pencemar udara dan
pengaruhnya terhadap manusia. Jenis
Pencemaran udara.
Jenis pencemar udara
Pengaruh terhadap manusia
Karbon monoksida (CO)
Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan
berfikir, penyakit jantung, pusing, sakit kepala dan kematian
Sulfur dioksida (SO 2 )
Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan
dar iritasi mata
Nitrogen oksida (NOX)
Memperberat penyakit jantung, pernafasan, dan iritasi paru-paru.
Hidrokarbon
Mempengaruhi sistem
menyebabkan kanker
Oksigen fotokimia (O 3 )
Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi
kerongkongan dan saluran pernafasan.
Debu (g/m³)
Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan,
batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak.
Ammonia (NH 3 )
Iritasi saluran pernafasan
Hidrogen sulfide (H 2 S)
Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan racun pada
kadar tinggi
pernafasan,
beberapa
jenis
dapat
Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker, kerusakan syaraf dan
kematian
35
Staf dari Research and Education Association (1980) mengemukakan
bahwa SO 2 merupakan gas yang tidak dapat terbakar, tidak eksplosif dan tidak
berwarna, yang dapat mulai dirasakan apabila konsentrasi 0,3 ppm sampai 1
ppm (0,9 - 3 mg/m3). Pada konsentrasi 3 ppm (8,6 mg/m3) sudah menimbulkan
bau tajam dan menimbulkan iritasi yang kuat pada sistem pernafasan,
akibatnya dapat bersifat sementara dan dapat juga bersifat permanen. SO 2
segera terserap dalam sistem pernafasan, gejala iritasi yang sangat kuat yang
diakibatkannya menimbulkan rasa sangat sakit pada orang yang menderita
asma, bronchitis, emfysemia dan penyakit paru-paru. Jain et al. (1993)
mengemukakan bahwa pengaruh SO 2
terhadap manusia dapat berupa
gangguan kesehatan yaitu bronchitis, infeksi saluran pernafasan dan
emfysemia, dari tingkatan yang ringan sampai tingkatan yang sangat parah
yang dapat menyebabkan kematian. Pengaruh SO 2
terhadap kesehatan
manusia dapat bersinergi dengan pencemar udara lain, pada kadar 0,04 ppm
SO 2 secara tunggal tidak menimbulkan gangguan kesehatan berupa bronhitis
dan infeksi saluran pernafasan, namun apabila pada saat yang sama terdapat
padatan tersuspensi total (Total Suspended Particulate) 160 µg/m3 dapat
menyebabkan kematian.
Dalam kaitannya dengan pencemaran udara akibat kebakaran hutan,
Nukman (1998) mengemukakan adanya beberapa penyakit yang mungkin
timbul, sesuai dengan jenis pencemar udara. Gas, SO 2 dan NOx menyebabkan
iritasi saluran pernafasan seperti pharyngais, tracheitis dan bronhitis dan juga
pseumonionis dan ashmatis. Partikel silika akibat pembakaran batubara dan
kayu dapat menyebabkan bronhitis kronis, emfysemia dan pneumocosis. Gas
CO menyebabkan asphyxia dan hypoxia, sedangkan hidrokarbon aromatik
sebagai hasil pembakaran batubara dan kayu dapat menyebabkan gejala
karsinogen. Partikulat yang dapat masuk ke saluran pernafasan adalah yang
berukuran kurang dari 10 pm (PM 10 ). Dalam jangka panjang dapat
menyebabkan penyakit saluran pernafasan, iritasi mata dan iritasi kulit.
36
Landis dan Ming-Ho (1995), menyatakan bahwa toksisitas pencemar
udara terhadap manusia dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor perkembangan,
penyakit, gaya hidup dan nutrisi. Biaya yang timbul akibat pencemaran udara
dapat dihitung melalui biaya pengobatan dan biaya perawatan kesehatan serta
kehilangan pendapatan karena sakit. IBRD (1994) telah melakukan penelitian
biaya kesehatan pencemar udara akibat kendaraan di Jakarta. Parameter
kualitas udara yang diteliti adalah Total Suspended Solid (TSP), timbal (Pb),
nitrogen oksida (NO x ). TSP menyebabkan infeksi saluran pernafasan atas
dan penyakit saluran pernafasan kronis yang berperan signifikan terhadap
mortalitas dan gangguan kesehatan. Pb menyebabkan hipertensi, penyakit
jantung koroner dan penurunan IQ pada anak-anak, sedangkan NO x
menyebabkan gangguan pernafasan. Biaya ekonomi total per tahun akibat
pergaruh TSP, Pb dan NO x yang dihitung menggunakan nilai perawatan
kesehatan dan kehilangan upah, berkisar dari yang terendah US $ 97.000.000
sampai yang tertinggi US$ 425.000.000, dengan nilai tengah US$
220.000.000. Sedangkan menurut Walhi (2011) kerugian akibat kemacetan di
Jakarta selama 3 tahun terakhir ini sebesar Rp. 35.000.000.000.000.
Dampak gas buang kendaraan bermotor terhadap kesehatan jaringan
gusi telah diteliti oleh Endaryanto et al. (1995) di dua lokasi di Kotamadya
Yogyakarta dan satu lokasi di satu desa Kabupaten Sleman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terdapat endapan timbal (Pb) pada gusi orangorang di Pingit, di terminal bis Umbulharjo (Yogyakarta) dan di desa
Bumirejo (Kabupaten Sleman), masing-masing 0,386 ug/g, 0,140 ug/g dan
0,09 ug/g. Kandungan timah hitam pada gusi tersebut telah melebihi batas
toksisitas kritis endapan timbal di gusi yaitu 0,047 ug/g, terlihat adanya
gejala pigmentasi gusi pada 37,63% sampel yang diperiksa.
Pencemaran udara oleh SO 2 dan NO 2 sebagai pencemar primer,
selanjutnya menyebabkan dampak lanjutan berupa adanya deposisi asam baik
deposisi kering maupun deposisi basah. Hal ini terjadi karena SO 2 dan NO 2
melalui reaksi kimia masing-masing menjadi asam sulit dan asam nitrit. Deposisi
37
basah turun sebagai asam yang terlarut dalam air hujan yang ditunjukkan oleh
nilai pH air hujan. Hujan asam terjadi apabila pH air hujan < 5,6. Deposisi kering
berupa butiran-butiran asam yang turun ke permukaan pepohonan, bangunan dan
dapat juga masuk ke pernafasan pada keadaan cuaca cerah atau berawan. Dampak
selanjutnya dari deposisi asam adalah meningkatnya keasaman tanah, air danau
yang akan mempengaruhi makhluk hidup seperti tumbuhan dan ikan. Di beberapa
daerah di Indonesia yaitu Tanjung Karang, Citeko, Bandung, Surabaya,
Palangkaraya dan Winangun, pH air hujan sudah di bawah 5 (KLH 2001). Untuk
kota Bandung, hasil pemantauan sampai tahun 1992 pH air hujan > 5,6 dan hasil
pemantauan tahun 1996 sampai tahun 1998 pH air hujan antara 5,0 sampai 6,5 dan
pada tahun 1999 pH air hujan < 5,6. Hujan asam dilaporkan telah merusak biota
beberapa danau di Amerika Serikat (Hill 1984).
Pengaruh Pb Terhadap Kesehatan Manusia
Timah hitam atau lebih sering disebut timbal (Pb) adalah salah satu jenis
logam berat. Warnanya putih ke abu-abuan dan sudah dikenal sejak ribuan tahun
lalu. Bangsa Romawi menggunakannya sebagai bahan konstruksi untuk pipa dan
saluran air. Pb dapat berupa dalam 2 bentuk: inorganic dan organic. Dalam
bentuk inorganik Pb bisa dipakai untuk industri baterei, cat, percetakan, gelas,
polivinyl, plastik, pelapis kabel dan mainan anak-anak. Dan dalam bentuk organik
Pb dipakai untuk industri perminyakan. Dalam persenyawaannya Pb dapat berupa
lead alkyl compound: TML (tetra methil lead), TEL (tetra ethyl lead). TEL
dipakai untuk anti knocking agent yang berfungsi menaikkan angka oktan setelah
melalui proses blending. Setiap penambahan 0,1 gr/l pada bahan bakar angka
oktan naik 1,5 – 2 satuan angka oktan (KPBB 1999).
Di antara Pb yang masuk ke udara ada yang langsung masuk ke
permukaan tanah atau ke vegetasi. Ada juga yang dalam beberapa waktu
melayang-layang di udara, namun akan jatuh juga ke permukaan bumi akhirnya
masuk ke dalam tubuh manusia. Partikel-partikel Pb dapat mengganggu kesehatan
manusia di antaranya pengurangan sel-sel darah merah, penurunan dan
penghambatan sintesis heme yang menyebabkan anemia (Rustiawan 1994).
38
Pb yang ada di udara memiliki peluang yang besar untuk terserap masuk
ke dalam tubuh manusia yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Menurut
Gornarso (2004) Jalur masuk Pb masuk ke dalam tubuh manusia dapat melalui
saluran pencernaan, kulit, dan alat pernapasan melalui proses absorpsi
(absorpsion). Setelah masuk di dalam tubuh, selanjutnya didistribusikan ke
seluruh bagian tubuh dan diikuti oleh proses metabolisme yang pada akhirnya
menghasilkan zat-zat metabolik di dalam tubuh. Hasil proses metabolisme
tersebut sebagian terakumulasi di dalam tubuh dan sebagian tereliminasi keluar
dari tubuh. Pb yang absorpsi masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan
ada yang langsung tereliminasi ke luar tubuh melalui feses dan ada yang
terdistribusikan ke dalam tubuh melalui hati, selanjutnya ke empedu atau dari hati
masuk ke dalam peredaran daran dan limpa. Di dalam peredaran darah kemudian
tersimpan di dalam jaringan tulang, lemak, dan bagian organ tubuh lainnya. Selain
itu, di melalui peredaran darah dan limfah, Pb didistribusikan ke dalam ginjal dan
selanjutnya keluar dari tubuh melalui urin atau masuk ke dalam paru-paru dan
dikeluarkan kembali melalui saluran pernapasan. Pb yang masuk ke dalam tubuh
juga sebagian tersimpan di dalam cairan di luar sel. Adapun jalur masuk dan
mekanisme peredaran Pb pada manusia seperti terlihat pada Gambar 4 dan 5.
39
Gambar 4. Akumulasi peredaran Pb pada manusia (www.numbeo.com/pollution
2005).
Saluran
Pencernaan
Hati
Kulit dan Alat
Pernapasan
Peredaran Darah
dan Limfah
Ginjal
Paru-Paru
Jaringan tulang,
Lemak, dan
Berbagai Organ
Cairan diluar
Sel
DISTRIBUSI/
METABOLISME
URIN
FECES
Metabolisme
Metabolik
Empedu
Tersimpan
ABSORPTION
UDARA
DIHEMBUS
ELIMINASI
Gambar 5. Jalur masuk Pb pada manusia (http://geo.ugm.ac.id/archives/69 Mei
2008).
40
Kerugian yang ditimbulkan dari kasus pencemaran udara, lebih terasa jika
ditinjau dari aspek kesehatan. Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb
dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein
dan menghambat pembuatan haemoglobin. Gejala keracunan akut didapati bila
tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau
diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan,
konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang dan
gangguan penglihatan.
Dari setiap unsur dalam komponen polutan udara berpeluang merugikan
bagi kesehatan setiap organisme. Pb sebagai salah satu komponen polutan udara
mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dan hewan dengan mengganggu
fungsi ginjal, saluran pencernaan, dan sistem saraf pada remaja, menurunkan
fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa
abnormal dan aborsi spontan. Selain juga menurunkan Intellegent Quotient (IQ)
pada anak – anak, menurunkan kemampuan berkonsentrasi, gangguan pernapasan,
kanker paru–paru dan alergi. Dalam laporan Bank Dunia 1992, diketahui bahwa
pencemaran udara akibat Pb, menimbulkan 350 kasus penyakit jantung koroner,
62.000 kasus hipertensi dan menurunkankan IQ hingga 300.000 point. Juga Pb
menurunkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen (KPBB 1999).
Konsentrasi Pb dalam darah (PbB) pada taraf 40 – 50 ug/dL mampu
menghambat sintesis hemoglobin yang pada akhirnya merusak hemoglobin darah.
Debu Pb yang terhirup secara akumulatif dapat mengganggu fungsi ginjal, alat
reproduksi serta menyebabkan tekanan darah tinggi bahkan stress. Standar WHO
ambang batas kandungan Pb dalam darah 20 mikrogr/100 cc darah untuk dewasa
dan 10 – 30 mikrogr/100 cc anak-anak. Tingkat keracunan Pb dapat dipengaruhi
oleh umur, jenis kelamin dan musim. Makin muda seseorang semakin rentan
terhadap keracunan Pb, perempuan lebih rentan daripada laki-laki, dan musim
panas
semakin
meningkatkan
daya
racun
pada
anak-anak.
Dengan
mempertimbangkan tingkat bahaya/keracunan dari Pb, dalam permasalahan
pencemaran udara, perlu dipertimbangkan kembali untuk mengurangi bahkan
menghilangkan penggunaan bahan bakar dengan tambahan Pb. Di negara maju
41
seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang fenomena ini telah diantisipasi dengan
dilarangnya penggunaan bensin berPb sekitar 15-20 tahun yang lalu, sedang di
negara ASEAN: Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina mulai melarang
penggunaan bahan bakar ber Pb sejak 5 tahun lalu.
Dampak yang ditimbulkan oleh timbal, menurut Umar dalam PKBB
(1999) adalah dapat meracuni sistem pembentukan darah merah, karena dapat
menimbulkan gangguan pembentukan sel darah merah. Pada anak kecil, timbal
dapat menimbulkan penurunan kemampuan otak. Sedangkan pada orang dewasa
diduga timbal dapat menimbulkan gangguan tekanan darah tinggi, serta keracunan
jaringan lainnya. Beliau menegaskan bahwa setiap kenaikan 1 mikrogr/m3 darah,
Pb dapat menurunkan 0,975 skor IQ seorang anak. Sedang menurut Saeni dalam
PKBB (1999), menyatakan bahwa keracunan timbal selain mempengaruhi sistem
saraf, intelegensia dan pertumbuhan anak-anak, juga dapat menyebabkan
kelumpuhan. Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, anemia, dan sakit di
perut. Menurut Saeni, berdasarkan penelitian partikel timbal yang dikeluarkan
kendaraan bermotor bermasa tinggal di udara 4-40 hari. Masa tinggal yang cukup
lama ini menyebabkan partikel timbal dapat disebarkan oleh angin hingga 1001000 km dari sumbernya. Selain itu dikatakan pula bahwa zat bersifat racun yang
sering mencemari lingkungan adalah: merkury (Hg), kadmium (Cd), tembaga
(Cu), timbal (Pb). Dan rata – rata akan terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku,
jaringan lemak dan rambut.
Selanjutnya menurut Saeni (2000) Pb dapat menimbulkan efek keracunan
di dalam tubuh manusia. Keracunan yang disebabkan oleh keberadaan logam Pb
dalam tubuh mempengaruhi banyak jaringan dan organ tubuh. Organ-organ tubuh
banyak menjadi sasaran dari peristiwa keracunan logam Pb adalah sistem syaraf,
sistem ginjal, sistem reproduksi, sistem endoktrin dan jantung. Setiap bagian yang
diserang oleh racun Pb akan memperlihatkan efek yang berbeda-beda.
42
a. Efek Pb pada Sistem Syaraf
Di antara semua sistem pada organ tubuh, sistem syaraf merupakan sistem
yang paling sensitif terhadap daya racun yang dibawa oleh logam Pb. Pengamatan
yang dilakukan pada pekerja tambang dan pengolahan logam Pb menunjukkan
bahwa pengaruh dari keracunan Pb dapat menimbulkan kerusakan pada otak.
Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak sebagai akibat keracunan Pb
adalah epilepsi, kerusakan pada otak besar dan delirium yaitu sejenis penyakit
gula.
b. Efek Pb terhadap sistem Urinaria
Senyawa – senyawa Pb yang larut dalam darah akan dibawa oleh darah ke
seluruh tubuh. Pada peredarannya darah akan terus masuk ke glomerulus yang
merupakan bagian dari ginjal.
c. Efek Pb pada Hewan dan Tumbuhan
Lebih intensif sedangkan dampak Pb dan debu terhadap manusia diamati
pada hewan dan tanaman relatif kurang diperhatikan. Perhatian yang paling besar
adalah terjadinya pengaruh pencemaran udara terhadap manusia. Pengaruh
pencemaran udara terhadap vegetasi atau tanaman telah dialami beberapa negara
maju. Menurut Harahap (2003) telah terjadi kerusakan daun – daun teh oleh Pb di
pergunungan Gunung Mas, Bogor.
d. Kerugian Secara Ekonomi
Landsi Don Ming-Ho (1995), menyatakan bahwa Toksistan pencemaran
udara terhadap manusia dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor perkembangan,
penyakit, gaya hidup dan mutasi. Biaya yang timbul akibat pencemaran udara
termasuk Pb dapat dihitung melalui biaya pengobatan dan biaya kesehatan serta
kehilangan pendapatan karena sakit. IBRD (1994) telah melakukan penelitian
biaya kesehatan pencemar udara akibat kendaraan di Jakarta. Parameter kualitas
udara yang diteliti adalah total suspended solid (TSP), timbal (Pb) Nitrogen
Oksida (NOx). TSP menyebabkan infeksi pernafasan atas (ISPA) dan penyakit
saluran pernapasan kronis yang berperan signifikan terhadap mortalitas dan
43
gangguan kesehatan. Pb menyebabkan hipertensi, penyakit jantung koroner dan
penurunan IQ pada anak-anak, sedangkan NOx menyebabkan gangguan
pernapasan. Biaya ekonomi total akibat pengaruh TSP, Pb dan NOx yang dihitung
menggunakan nilai kesehatan dan kehilangan upah, berkisar dari yang terendah
US $ 97.000.000 sampai yang tertinggi US $ 925.000.000, dengan nilai tengah
US $ 220.000.000.
Komposisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Menurut Tugaswaty (1997), emisi kendaraan bermotor mengandung
berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya
tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan
bakar, suhu operasi dan faktor lain yang semuanya ini membuat pola emisi
menjadi rumit. Jenis bahan bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin dengan
bahan bakar bensin maupun bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya
berbeda proporsinya karena perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu
terlihat asap dari knalpot kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang
umumnya tidak terlihat pada kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin.
Walaupun gas buang kendaraan bermotor terutama terdiri dari senyawa yang tidak
berbahaya seperti nitrogen, karbon dioksida dan uap air, tetapi didalamnya
terkandung juga senyawa lain dengan jumlah yang cukup besar yang dapat
membahayakan gas buang membahayakan kesehatan maupun lingkungan.
Bahan pencemar yang terutama terdapat di dalam gas buang buang
kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa
hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat
debu termasuk timbal (Pb). Bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dan timbal
organik, dilepaskan keudara karena adanya penguapan dari sistem bahan bakar.
Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat meningkatkan kadar partikular debu
yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan rem. Setelah berada di
udara, beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor
dapat berubah karena terjadinya suatu reaksi, misalnya dengan sinar matahari dan
uap air, atau juga antara senyawa-senyawa tersebut satu sama lain. Proses reaksi
44
tersebut ada yang berlangsung cepat dan terjadi saat itu juga di lingkungan jalan
raya, dan adapula yang berlangsung dengan lambat. Reaksi kimia di atmosfer
kadangkala berlangsung dalam suatu rantai reaksi yang panjang dan rumit, dan
menghasilkan produk akhir yang dapat lebih aktif atau lebih lemah dibandingkan
senyawa aslinya. Sebagai contoh, adanya reaksi di udara yang mengubah nitrogen
monoksida (NO) yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor
menjadi nitrogen dioksida (NO 2 ) yang lebih reaktif, dan reaksi kimia antara
berbagai oksida nitrogen dengan senyawa hidrokarbon yang menghasilkan ozon
dan oksida lain, yang dapat menyebabkan asap awan fotokimi (photochemical
smog). Pembentukan smog ini kadang tidak terjadi di tempat asal sumber (kota),
tetapi dapat terbentuk di pinggiran kota. Jarak pembentukan smog ini tergantung
pada kondisi reaksi dan kecepatan angin (Tugaswaty 1997).
Untuk bahan pencemar yang sifatnya lebih stabil sperti limbah (Pb),
beberapa hidrokarbon-halogen dan hidrokarbon poliaromatik, dapat jatuh ke tanah
bersama air hujan atau mengendap bersama debu, dan mengkontaminasi tanah dan
air. Senyawa tersebut selanjutnya juga dapat masuk ke dalam rantai makanan
yang pada akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia melalui sayuran, susu ternak,
dan produk lainnya dari ternak hewan. Karena banyak industri makanan saat ini
akan dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan pada masyarakat kota
maupun desa. Emisi gas buang kendaraan bermotor juga cenderung membuat
kondisi tanah dan air menjadi asam. Pengalaman di negara maju membuktikan
bahwa kondisi seperti ini dapat menyebabkan terlepasnya ikatan tanah atau
sedimen dengan beberapa mineral/logam, sehingga logam tersebut dapat
mencemari lingkungan (Tugaswaty 1997).
Pengaruh Pencemaran Udara terhadap Kesehatan Manusia
Kesadaran masyarakat akan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan
bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak
seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal
laut, kendaraan bermotor saat ini maupun dikemudian hari akan terus menjadi
sumber yang dominan dari pencemaran udara di perkotaan. Di DKI Jakarta,
45
kontribusi bahan pencemar dari kendaraan bermotor ke udara adalah sekitar 70 %
(Tugaswaty 1997).
Selanjutnya Tugaswaty (1997) menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi
ruang udara yang aman untuk penduduk Jakarta yang disebabkan oleh gas buang
kendaraan bermotor. Penyebab utamanya tak lain adalah ± 2,5 juta knalpot
kendaraan bermotor yang setiap harinya memacetkan jalanan di Jakarta. Dari 63
% kendaraan yang beroperasi di Jakarta merupakan jenis kendaraan yang
menghasilkan gas buang tinggi. Dari knalpotnya terhitung setiap tahunnya
membuang 600 ton polutan timbal. Dan kelompok masyarakat yang paling rentan
tentu saja para pekerja informal yang setiap harinya mengais penghidupan di
jalanan. Sebut saja tukang asong, pengamen, pengemudi bajaj, bus kota, mikrolet
dan metro mini. Kelompok masyarakat inilah yang setiap harinya berhadapan
dengan zat-zat maut yang disemprotkan kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya.
Adapun bahan-bahan pencemar udara yang mengganggu kesehatan manusia
adalah:
1. Bahan-Bahan Pencemar yang Terutama Mengganggu Saluran Pernafasan
Organ pernafasan merupakan bagian yang diperkirakan paling
banyak mendapatkan pengaruh karena yang pertama berhubungan dengan
bahan pencemar udara. Sejumlah senyawa spesifik yang berasal dari gas
buang kendaraan bermotor seperti oksida-oksida sulfur dan nitrogen,
partikulat dan senyawa-senyawa oksidan, dapat menyebabkan iritasi dan
radang pada saluran pernafasan. Walaupun kadar oksida sulfur di dalam
gas buang kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin relatif kecil,
tetapi tetap berperan karena jumlah kendaraan bermotor dengan bahan
bakar solar makin meningkat. Selain itu menurut studi epidemiologi,
oksida sulfur bersama dengan partikulat bersifat sinergetik sehingga dapat
lebih meningkatkan bahaya terhadap kesehatan (Saeni 2000).
46
a. Oksida sulfur dan partikulat
Sulfur dioksida (SO 2 ) merupakan gas buang yang larut dalam air
yang langsung dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian besar
saluran ke paru-paru. Karena partikulat di dalam gas buang kendaraan
bermotor berukuran kecil, partikulat tersebut dapat masuk sampai ke
dalam alveoli paru-paru dan bagian lain yang sempit. Partikulat gas buang
kendaraan bermotor terutama terdiri jelaga (hidrokarbon yang tidak
terbakar) dan senyawa anorganik (senyawa-senyawa logam, nitrat dan
sulfat). Sulfur dioksida di atmosfer dapat berubah menjadi kabut asam
sulfat (H 2 SO 4 ) dan partikulat sulfat. Sifat iritasi terhadap saluran
pernafasan, menyebabkan SO 2 dan partikulat dapat membengkaknya
membran mukosa dan pembentukan mukosa dapat meningkatnya
hambatan aliran udara pada saluran pernafasan. Kondisi ini akan menjadi
lebih parah bagi kelompok yang peka, seperti penderita penyakit jantung
atau paru-paru dan para lanjut usia.
b. Oksida Nitrogen
Diantara berbagai jenis oksida nitrogen yang ada di udara, nitrogen
dioksida (NO 2 ) merupakan gas yang paling beracun. Karena larutan NO 2
dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan SO 2 , maka NO 2 akan
dapat menembus ke dalam saluran pernafasan lebih dalam. Bagian dari
saluran yang pertama kali dipengaruhi adalah membran mukosa dan
jaringan paru. Organ lain yang dapat dicapai oleh NO 2 dari paru adalah
melalui aliran darah. Karena data epidemilogi tentang resiko pengaruh
NO 2 terhadap kesehatan manusia sampai saat ini belum lengkap, maka
evaluasinya banyak didasarkan pada hasil studi eksprimental. Berdasarkan
studi menggunakan binatang percobaan, pengaruh yang membahayakan
seperti misalnya meningkatnya kepekaan terhadap radang saluran
pernafasan, dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 μg/ m 3 .
Percobaan pada manusia menyatakan bahwa kadar NO 2 sebsar 250 μg/
47
m 3 dan 500 μg/ m 3 dapat mengganggu fungsi saluran pernafasan pada
penderita asma dan orang sehat.
c. Ozon dan oksida lainnya
Karena ozon lebih rendah lagi larutannya dibandingkan SO 2
maupun NO 2 , maka hampir semua ozon dapat menembus sampai alveoli.
Ozon merupakan senyawa oksidan yang paling kuat dibandingkan NO 2
dan bereaksi kuat dengan jaringan tubuh. Evaluasi tentang dampak ozon
dan oksidan lainnya terhadap kesehatan yang dilakukan oleh WHO task
group menyatakan pemajanan oksidan fotokimia pada kadar 200-500
μg/m³ dalam waktu singkat dapat merusak fungsi paru-paru anak,
meningkat frekwensi serangan asma dan iritasi mata, serta menurunkan
kinerja para olahragawan.
2. Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik
Banyak senyawa kimia dalam gas buang kendaraan bermotor yang
dapat menimbulkan pengaruh sistemik karena setelah diabsorbsi oleh paru,
bahan pencemar tersebut dibawa oleh aliran darah atau cairan getah bening ke
bagian tubuh lainnya, sehingga dapat membahayakan setiap organ di dalam
tubuh. Senyawa-senyawa yang masuk ke dalam hidung dan ada dalam mukosa
bronkial juga dapat terbawa oleh darah atau tertelan masuk tenggorokan dan
diabsorbsi masuk ke saluran pencernaan. Selain itu ada pula penambahan yang
tidak langsung (additive), misalnya melalui makanan, seperti timah hitam.
Diantara senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gas kendaraan bermotor
yang dapat menimbulkan pengaruh sistemik, yang paling penting adalah
karbon monoksida dan timbal.
a. Karbon Monoksida
Karbon monoksida dapat terikat dengan haemoglobin darah lebih
kuat dibandingkan dari oksigen membentuk karboksihaemoglobin
(COHb), sehingga menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen ke
jaringan tubuh. Pajanan CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung
(sistem kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ
48
tubuh yang peka terhadap kekurangan oksigen. Pengaruh CO terhadap
sistem kardiovaskuler cukup nyata teramati walaupun dalam kadar rendah.
Penderita penyakit jantung dan penyakit paru merupakan kelompok yang
paling peka terhadap pajanan CO. Studi eksperimen terhadap pasien
jantung dan penyakit pasien paru, menemukan adanya hambatan pasokan
oksigen ke jantung selama melakukan latihan gerak badan pada kadar
COHb yang cukup rendah 2,7 %. Pengaruh pajanan CO kadar rendah pada
sistem syaraf dipelajari dengan suatu uji psikologi. Walaupun diakui
interpretasi dari hasil uji seperti ini sulit ditemukan bahwa kadar COHb 16
% dianggap membahayakan kesehatan. Pengaruh bahaya ini tidak
ditemukan pada kadar COHb sebesar 5%. Pengaruh terhadap janin pada
prinsipnya adalah karena pajanan CO pada kadar tinggi dapat
menyebabkan kurangnya pasokan oksigen pada ibu hamil yang
konsekuennya akan menurunkan tekanan oksigen di dalam plasenta dan
juga pada janin dan darah. Hal ini dapat menyebabkan kelahiran prematur
atau bayi lahir dengan berat badan rendah dibandingkan normal.
Menurut evaluasi WHO, kelompok penduduk yang peka (penderita
penyakit jantung atau paru-paru) tidak boleh terpajan oleh CO dengan ka
dar yang dapat membentuk COHb di atas 2,5%. Kondisi ini ekivalen
dengan pajanan oleh CO dengan kadar sebesar 35 mg/m 3 selama 1 jam,
dan 20 mg/ m 3 selama 8 jam. Oleh karena itu, untuk menghindari
tercapainya kadar COHb 2,5-3,0 % WHO menyarankan pajanan CO tidak
boleh melampaui 25 ppm (29 mg/m 3 ) untuk waktu 1 jam dan 10 ppm
(11,5 mg/m 3 ) untuk waktu 8 jam.
b. Timbal
Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk
timbal organik (tetraetil-Pb atau tetrametil-Pb). Pada pembakaran bensin,
timbal organik ini berubah bentuk menjadi timbal anorganik. Timbal yang
dikeluarkan sebagai gas buang kendaraan bermotor merupakan partikelpartikel yang berukuran sekitar 0,01 μm. Partikel-partikel timbal ini akan
49
bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih besar, dan keluar
sebagai gas buang atau mengendap pada knalpot.
Pengaruh Pb pada kesehatan yang terutama adalah pada sintesa
haemoglobin dan sistem pada syaraf pusat maupun syaraf tepi. Pengaruh
pada sistem pembentukkan Hb darah yang dapat menyebabkan anemia,
ditemukan pada kadar Pb-darah kelompok dewasa 60-80 μg/ 100 ml dan
kelompok anak > 40 μg/ 100 ml. Pada kadar Pb-darah kelompok dewasa
sekitar 40 μg/ 100 ml diamati telah ada gangguan terhadap sintesa Hb,
seperti meningkatnya ekskresi asam aminolevulinat (ALA). Pengaruh
pada enzim §-ALAD dapat diamati pada kadar Pb-darah sekitar 10 μg/ 100
ml. Akumulasi protoporfirin dalam eritrosit (FEP) yang merupakan akibat
dari terhambatnya aktivitas enzim ferrochelatase, dapat terlihat pada
wanita edngan kadar Pb-darah 20- 30 μg/ 100 ml, pada pria dengan kadar
25-35 μg/ 100 ml, dan pada anak dengan kadar > 15 μg/ 100 ml. Pengaruh
Pb terhadap hambatan aktivitas enzim ALAD tidak menyatakan adanya
keracunan yang membahayakan, tetapi dapat menunjukkan adanya
pajanan Pb terhadap tubuh. Meningkatnya ekskresi ALA dan akumulasi
FEP adalam urin mencerminkan adanya kerusakan fungsi fisiologi yang
pada akhirnya dapat merusak fungsi metokhondrial.
Pengaruh pada syaraf otak anak diamati pada kadar 60 μg/ 100 ml,
yang dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan mental anak.
Penelitian pada pengaruh Pb yang dikaitkan IQ anak telah banyak
dilakukan tetapi hasilnya belum konsisten. Sistem syaraf pusat anak lebih
peka dibandingkan dengan orang dewasa. Gangguan terhadap fungsi
syaraf orang dewasa berdasarkan uji psikologi diamati pada kadar Pb
darah 50 μg/100 ml. Sedangkan gangguan sistem syaraf tepi diamati pada
kadar Pb darah 30 μg/100 ml. Timbal dapat menembus plasenta, dan
karena perkembangan otak yang khususnya peka terhadap logam ini, maka
janinlah yang terutama mendapat resiko.
50
3. Bahan-Bahan Pencemar yang Dicurigai Menimbulkan Kanker
Pembakaran didalam mesin menghasilkan berbagai bahan pencemar
dalam bentuk gas dan partikulat yang umumnya berukuran lebih kecil dari
2μm. Beberapa dari bahan-bahan pencemar ini merupakan senyawa-senyawa
yang bersifat karsinogenik dan mutagenik, seperti etilen, formaldehid,
benzena, metil nitrit dan hidrokarbon poliaromatik (PAH). Mesin solar akan
menghasilkan partikulat dan senyawa-senyawa yang dapat terikat dalam
partikulat seperti PAH, 10 kali lebih besar dibandingkan dengan mesin bensin
yang mengandung timbal. Untuk beberapa senyawa lain seperti benzena,
etilen, formaldehid, benzo(a)pyrene dan metil nitrit, kadar di dalam emisi
mesin bensin akan sama besarnya dengan mesin solar. Emisi kendaraan
bermotor yang mengandung senyawa karsinogenik diperkirakan dapat
menimbulkan tumor pada organ lain selain paru.
Mengingat polusi udara yang berasal dari buangan kendaraan bermotor
sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, maka sebagai resiko kesehatan
yang diderita manusia (Fardiaz 1992) telah menyusun beberapa jenis
pencemaran udara seperti pada Tabel 9.
Kondisi Udara
Menurut Riyadi (1982), bahwa pencemaran udara umumnya diberi batasan
sebagai udara yang mengandung satu atau lebih zat kimia dalam konsentrasi yang
cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan pada manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan dan harta benda. Ada 2 jenis zat pencemar yaitu :
1.
Zat Pencemar Primer
Zat pencemar primer yaitu zat kimia yang langsung mengkontaminasi
udara dalam konsentrasi yang membahayakan. Zat tersebut dapat berasal dari
komponen udara alamiah seperti karbon dioksida, yang kadarnya meningkat
diatas konsentrasi normal atau karena sesuatu yang tidak biasanya ditemukan
dalam udara, misalnya timbal.
51
Tabel 9. Beberapa jenis pencemar udara dan
pengaruhnya terhadap manusia.
Jenis Pencemaran Udara
Pengaruh Terhadap Manusia
Karbon monoksida (CO)
Menurunkan kemampuan darah membawa
oksigen, melemahkan berpikir, penyakit
jantung, pusing dan kematian, kelelahan
dan sakit kepala
Sulfur dioksida (SO2)
Memperberat penyakit saluran pernapasan,
melemahkan pernafasan dan iritasi mata
Nitrogen oksida (NOx)
Memperberat penyakit jantung
pernafasan, dan iritasi paru-paru
Hidrokarbon
Mempengaruhi
sistem
pernapasan,
beberapa jenis dapat menyebabkan kanker
Oksigen fortokimia (O3)
Memperbesar penyakit jantung dan
pernafasan,
iritasi
mata,
iritasi
kerongkongan dan saluran pernafasan
Debu
Penyakit kanker, memperberat penyakit
jantung dan pernafasan, batuk, iritasi
kerongkongan dan dada tak enak
Amonia (NH3)
Iritasi saluran pernapasan
Hidrogen Sulfida (H2S)
Mabuk (pusing) iritasi mata dan
kerongkongan dan racun pada kadar tinggi
Logam dan Senyawa Logam
Menyebabkan
penyakit
pernapasan,
kanker, kerusakan syaraf dan kematian
dan
Sumber : Hartogensis (1997), Fardiaz (1992), Nukman (1998), Holper dan Noonan (2000).
2.
Zat Pencemar Sekunder
Zat pencemar sekunder yaitu zat kimia berbahaya yang berbentuk di
atmosfir melalui reaksi kimia diantara komponen – komponen udara. Ada pun
jenis-jenis bahan pencemar udara dan sumbernya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. SO2, berasal dari pembakaran rumahtangga, pembangkit tenaga listrik,
kilang minyak, pabrik baja, pabrik batu bata, pabrik pengecoran logam.
52
b. Total Suspended Particulate (TSP), berasal dari pembakaran domestik,
emisi kendaraan bermotor, pabrik gas, pembangkit tenaga listrik, kilang
minyak, tempat pembakaran sampah.
c. Hidrokarbon, berasal dari emisi kendaraan bermotor dan kilang minyak.
d. NOx, berasal dari emisi kendaraan bermotor, pabrik pengolahan asam
nitrat pabrik baja dan logam, pabrik pupuk.
e. CO, berasal dari emisi kendaraan bermotor.
f. NH3, berasal dari pabrik pengubahan ammonia.
g. CO2, berasal dari sisa-sisa pembakaran domestik dan industri, emisi
kendaraan bermotor.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian tentang manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran
udara dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat terkait, tingkat penyebaran
Pb, debu dan CO yang disebabkan oleh kendaraan bermotor di jalan Cawang
sampai Semanggi (Propinsi DKI Jakarta). Lokasi penelitian ini disajikan pada
Gambar 6. Dasar pertimbangan penentuan lokasi antara lain :
1. Titik pengamatan merupakan jalan protokol dengan tingkat arus lalu lintas
yang cukup tinggi.
2. Lokasi pengamatan juga merupakan pusat kegiatan manusia seperti
perkantoran dan jasa dengan aktivitas kegiatan yang cukup tinggi.
Gambar 6. Peta lokasi penelitian
53
54
Rancangan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada :
1) Identifikasi kondisi (kimiawi) tingkat penyebaran konsentrasi Pb dan debu
pada sekitar lima titik pengamatan pada periode waktu tertentu terhadap
kendaraan roda dua atau lebih yang menggunakan bahan bakar minyak bensin
(premium) dan solar yang melewati Cawang – Semanggi.
2) Mengidentifikasi pola pemantauan tingkat penyebaran Pb, debu dan CO yang
dilakukan pada saat ini (pola ambient sesaat dan non sesaat peralatan
elektronik) yang melalui jalan Cawang – Semanggi dan jalan lain sebagai
pembanding tingkat penyebaran.
3) Berdasarkan data lapangan selanjutnya diolah melalui bantuan komputer
dengan bantuan mesin pengelola komputer dengan software sistem program
statistik semantik. Tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada
Gambar7.
Tingkat
Pencemaran Udara di
DKI Jakarta
Analisis Deskriptif
Dibandingkan dengan Baku
Mutu Lingkungan
Tingkat Penyebaran
Pb, debu dan CO
Analisis Deskriptif
Dibandingkan dengan Baku
Mutu Lingkungan
Manajemen Dampak resiko
Pencemaran Udara Terhadap
Kesehatan Masyarakat
Analysis Hierarchy Process (AHP)
Arahan Kebijakan Manajemen Lingkungan
Wilayah Dampak Pencemaran Udara
Gambar 7. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
55
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi dua yaitu data sekunder dan data primer. Untuk data
sekunder, dicatat dan dikumpulkan dari buku-buku ilmiah, jurnal, laporan hasil
penelitian, dokumen dan perundingan serta dokumen pendukung lainnya.
Sedangkan data primer diperoleh langsung dari lapangan baik melalui wawancara
(interview), daftar pertanyaan (questioner) maupun pengamatan (observation).
Untuk pengamatan lapangan terhadap obyek baik aspek fisika, kimia dan biologi
dilakukan secara in-situ (uji langsung di lapangan) dan ex-situ (uji laboratorium).
Dalam penelitian ini dibatasi pada 3 kelompok yaitu: 1) Kebijakan 2) Sumber
daya manusia dan 3) Kondisi lingkungan (udara) di lokasi penelitian.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke lapangan
untuk memperoleh partikulat di udara dengan cara ditangkap dengan
menggunakan pipa hisap dan media penyaring. Partikulat yang tersuspensi pada
kertas saring dilakukan analisis dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom
(SSA) yang digunakan untuk menganalisis unsur–unsur logam.
Tabel 10. Metoda sampling dan analisis pencemar udara
1
Pencemaran
Udara
Debu (g/m³)
2
Pb (ppm)
3
CO (µg/Nm³)
No.
Metoda Analisis
Hasil
Metoda SNI
Gravimetri
High Volume
Sampler
1,4 μg /Nm3
SNI 16-7058-2004
0,06 mg / m3
SNI 13-6974-2003
3593 μg /
Nm3
SNI 09-7118.3-2005
NDIR
Sumber: http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/5946
56
Stabilitas atmosfer ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap intensitas
radiasi matahari dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Intensitas radiasi matahari
Siang (Radiasi Matahari)
Kuat
Sedang Lemah
2
A
A-B
B
2-3
A–B
B
C
3-5
B
B-C
C
5–6
C
C-D
D
6
C
D
D
Keterangan : A = kuat
B = sedang
C = lemah
U 10 m/dtk
Malam (Awan Tipis)
Mendung
Terang
E
F
E
F
D
E
D
D
D
D
D = sangat terang
E = mendung
F = terang
Data Pb, debu dan CO dikumpulkan dengan cara studi pustaka atau studi
literatur dari berbagai instansi seperti Dinas Pengelolaan Lingkungan Daerah,
Rumah sakit atau Puskesmas, Kepolisian dan Dinas Perhubungan Kota Jakarta
selama 3 tahun terakhir (2008 - 2010).
Dalam merumuskan arahan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dari
dampak pencemaran udara, metode pengumpulan data yang digunakan adalah
melalui pembagian angket kuesioner pada masing-masing pakar yang terkait
dengan penelitian (pakar dari Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup,
Perguruan Tinggi, Kepolisian dan Masyarakat). Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan variabel-variabel kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan
lingkungan wilayah dampak pencemaran udara Pb, debu dan CO.
Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah analisis parameter fisika dan kimia
dilakukan untuk analisis laboratorium Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Selanjutnya di interpretasikan dengan merujuk pada prosedur sebagaimana yang
tertera dalam baku mutu lingkungan dan membandingkan dengan pustaka terkait
dengan strategi atau pola pemantauan dan penanganan penyebaran Pb, debu dan
CO di lingkungan Kota DKI Jakarta. Permodelan dimulai dari bentuk model
keseimbangan bahan, secara garis besar oleh Umaly dalam Ridwan diutamakan
57
terjadi alur antara penyediaan (supply) dan kebutuhan (demands) sebagaimana
tertera pada Suparlan (PTIK 2001) Gambar 8. Setelah dimengerti model makro
materi uji pencemaran udara ini disusun permodelan yang sesuai dengan model
penelitian yaitu alternatif kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan
CO dari sektor transportasi darat (Gambar 9).
Environmental
Rising
Supply
Demands
Ecological – Economy Impact
Suparlan (PTIK 2001)
Gambar 8 : Rising Supply and Demands
58
Mulai
Data polusi
udara
Analisis
tumbuhan tertentu
yang
menjerab Pb dan TSP
Laboratorium
IPB
Data fisik
Analisis
hierarki
proses
YA
Potensi > 0
TIDAK
Tidak dilakukan
disain
kebijakan
Data CH Kondisi
jalan tol dalam
Analisis jenis kendaraan yang
melintas
Jumlah
kendaraan
bermotor
Waktu
macet
Analisis polusi udara
Beban udara
tercemar diatas
ambang baku mutu
TIDAK
Tidak dilakukan
disain kebijakan
YA
Kebijakan
lingkungan
RTH yang dapat
mereduksi
pencemaran
Selesai
Gambar 9. Diagram alir kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan
CO dari sektor transportasi darat.
59
Tabel 13. Jenis dan sumber data
No Tujuan Penelitian
Jenis
Data
1. Mengidentifikasi
kondisi kimiawi
tingkat Penyebaran
Pb dan debu yang
ada pada saat ini.
Primer
Sekunder
2. Menganalisis tingkat Primer
penyebaran Pb dan
debu untuk
menyusun
manajemen
lingkungan pada
dampak risiko
pencemaran udara
dalam kaitan dengan Sekunder
kesehatan
masyarakat
setempat.
3. Merumuskan arahan Primer
kebijakan
manajemen
lingkungan wilayah
dampak pencemaran
udara.
Bentuk Data
Sumber Data
Analisis Data
Hasil
Pengukuran
Langsung di
Lokasi
Penelitian
Tingkat
Penyebaran Pb
dan Debu
Laporan, Hasil
Penelitian
Hasil
Pengukuran
Langsung di
Lokasi
Penelitian
Tingkat
Penyebaran Pb
dan Debu
Laporan, Hasil
Penelitian
• Dinas
Lingkungan
Hidup
• Kepolisian
• Dinas
Kesehatan
• Masyarakat
• Analisis
Parameter
Fisika dan
Kimia
• Analisis
Deskriptif
• Analisis
Regresi
• Dinas
Lingkungan
Hidup
• Kepolisian
• Dinas
Kesehatan
• Masyarakat
• Analisis
Parameter
Fisika dan
Kimia
• Analisis
Deskriptif
Hasil
wawancara
dengan pakar
• Dinas
Lingkungan
Hidup
• Kepolisian
• Dinas
Kesehatan
• Perguruan
Tinggi
• Masyarakat
Analytical
Hierarchy
Process (AHP)
Metode Penelitian AHP
Untuk merumuskan kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak
pencemaran udara digunakan pendekatan Analisis Hierarki Proses (AHP). AHP
digunakan dalam pengambilan keputusan atas permasalahan yang dilakukan
secara kelompok dan permasalahan yang belum dilakukan. AHP yang
dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan
situasi kompleks dan tidak berstruktur ke dalam bagian komponen yang tersusun
secara hierarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP
60
memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari
komponen dalam hierarki yang telah disusun. Keharusan nilai numerik pada
setiap variabel masalah membantu pengambil keputusan mempertahankan pola
pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Penyusunan secara hierarki
dalam AHP mencerminkan pemikiran untuk memilahkan elemen sistem dalam
berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa pada tiap
tingkat. Tingkat puncak yang disebut fokus hanya satu elemen yaitu sasaran
keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat berikutnya masing–masing dapat
memiliki beberapa elemen. Dikarenakan elemen dalam suatu tingkat akan
dibandingkan satu dengan yang lainnya terhadap suatu kriteria yang berada di
tingkat atas, maka elemen dalam setiap tingkat harus dari derajat besaran yang
sama.
Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks
tak struktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau
variabel ke dalam suatu hierarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan ada
setiap variabel dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai
pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas
tertinggi dalam mempengaruhi hasil.
a. Prinsip dasar AHP
Prinsip dasar penyelesaian persoalan dengan metode AHP adalah
decomposition, comparative judgment, synthesis of priority, dan logical
consistency.
•
Decomposition
Decomposition adalah proses pemecahan persoalan menjadi unsurunsurnya. Pemecahan dilanjutkan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak
dapat dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa
tingkatan dari persoalan tersebut untuk mendapatkan hasil yang akurat.
61
•
Comparative judgment
Comparative
judgment
adalah
membuat
penilaian
tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya
dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena
akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian dapat
disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison.
•
Synthesis of Priority
Synthesis of priority adalah menentukan peringkat elemen-elemen
menurut relatif pentingnya. Penentuan peringkat dilakukan dengan cara
mencari eigenvector pada setiap matrik pairwise comparison untuk
mendapatkan local priority. Karena matrik pairwise comparison terdapat
pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus
dilakukan sintesis di antara local priority. Pengurutan elemen-elemen
menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority
setting.
•
Logical Consistency
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek
yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan
relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyekobyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi logis menjamin
bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan
secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
•
Komparasi berpasangan
Penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan
pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan judgment melalui
pembandingan.
Nilai tingkat kepentingan ini dinyatakan dalam bentuk kualitatif
dengan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya.
Untuk menguantifikasikan digunakan skala penilaian. Menurut Saaty
(1993), skala penilaian 1 sampai 9 merupakan yang terbaik berdasarkan
nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute
62
Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13. Skala komparasi berdasarkan skala Saaty (1993)
Tingkat Kepentingan
Definisi
1
Sama pentingnya
3
Sedikit lebih penting
5
Jelas lebih penting
7
Sangat jelas lebih penting
9
Mutlak lebih penting
2, 4, 6, 8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
1/ (1- 9)
Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 – 9.
Sumber : Saaty (1993)
b.
Langkah-langkah Penyelesaian
•
Matriks pendapat individu
Pada penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen
keputusan disetiap tingkat hierarki keputusan dilakukan dengan judgment
melalui komparasi berpasangan. Nilai yang didapat disusun dalam bentuk
matrik individu dan gabungan yang kemudian diolah untuk mendapatkan
peringkat.
Jika C1, C1, …….. Cn merupakan set elemen suatu tingkat keputusan
dalam hierarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi
berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk
matrik A yang berukuran n x n. Apabila Ci dibandingkan dengan Cj, maka
aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan
nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj. Nilai matriks aij = 1/ a1j, yaitu
nilai kebalikan dari nilai matriks aij. Untuk i = j , maka nilai matriks aij =
aji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1.
Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen
C1, C1, …….. Cn untuk ij = 1, 2, 3, ……n dan ij adalah sebagai berikut :
63
Hasil Transformasi Matriks Pendapat
C1
C2
C3
..
C1
1
a12
a13
..
C2 1 / a12
1
a23
..
C3 1 / a13 1 / a23
1
..
..
..
..
..
..
Cn 1 / a1n 1 / a2n
1 / a3n
..
•
Cn
a1n
a2n
a3n
..
1
Matriks pendapat gabungan
Matriks pendapat gabungan (G), merupakan susunan matriks baru
yang elemen-elemen matriksnya (gij) berasal dari rata-rata geometrik pada
elemen matriks pendapat individu (aij) yang risiko konsistensinya (CR)
memenuhi persyaratan. Formulasi nilai rata-rata geometrik adalah sbb. :
m
g ij =
m
∏
a
k =1
ij ( k
)
.................................................................................. (2)
Keterangan :
gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j
aij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i dan kolom ke-j
untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang
memenuhi persyaratan ke-k.
ij
= 1, 2, …..…………. n
k
= 1, 2, …………….. m
m
= jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan
•
Pengolahan horizontal
Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemenelemen keputusan pada tingkat hierarki keputusan. Tahapan perhitungan
yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukkan pada persamaanpersamaan berikut :
Perkalian baris (Zi) dengan rumus :
Zi =
m
m
∏a
k =1
ij ( k )
.................................................................................
(3)
64
Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen (VPi) dengan rumus:
m
∏ a ij(k )
n
VP i
k =1
m
n
∑ n ∏ a ij(k)
i=1 k =1
=
................................................................
(4)
Perhitungan nilai eigen maksimum (λmak) dengan rumus :
( )
( )
VA = a ij × VP , dengan VA = va i .................................... (5)
VB =
VA , dengan VB = (vb ) .........................................
i
VP i
λ max =
1
n
(6)
n
∑
i=1
vb i , untuk i = 1, 2, 3, …. N...........................
(7)
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
λ max − n
..........................................................................
n− 1
CI =
(8)
Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus :
CR
=
CI
RI
................................................................................
(9)
Dengan RI : Indeks Acak (Random Index)
Nilai Indeks Acak (RI) bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Untuk
lebih jelasnya, indeks acak untuk orde tertentu dapat dilihat di bawah.
Orde (n)
RI
1
2
3
4
5
0,00 0,00 0,58 0,90 1,12
6
7
8
9
10
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0.1
merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi baik dan dapat
dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolok
ukur bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan dalam suatu matrik
pendapat.
65
•
Pengolahan Vertikal
Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh
setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran
utama (ultimate goal). Jika didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh
elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka:
s
CVij = ∑ CHijt (i −1) × VWt (i −1)
................................................................ (10)
t =1
Untuk :
i = 1, 2, 3, ……………. p
j = 1, 2, 3, ……………. r
t = 1, 2, 3, ……………. s
Keterangan :
s
∑ CH
ijt ( i − 1)
= nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i
t =1
terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i –1),
yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal.
= nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i1) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil
pengolahan vertikal.
p
= jumlah tingkat hierarki keputusan
r
= jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i
s
= jumlah elemen yang ada pada tingkat ke- (i - 1).
Jika di dalam hierarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak
VWt (i − 1)
berhubungan, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas
untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan sebagai berikut :
(
)
CV i = CV ij , untuk j = 1, 2, 3, ………. s ................................... (11)
Model Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara
Model yang diuraikan pada hal 127 adalah input proses output yang akan
dikembangkan dalam bentuk Powersim atau Model Loop (Ford 1999).
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan
Propinsi DKI Jakarta yang memiliki luas daratan 662,33 km2 (6.623.300
ha) dan luas lautan 6.977,5 km2, memiliki 27 sungai dan kanal. Secara
administrasi Propinsi DKI Jakarta dibagi dalam 6 wilayah dengan luas daratan
seperti tertera pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas Wilayah Kotamadya DKI Jakarta tahun 2009
Luas (km2)
Persen (%)
Jakarta Selatan
141,27
21,33
2.
Jakarta Timur
188,03
28,39
3.
Jakarta Pusat
48,13
7,27
4.
Jakarta Barat
129,54
19,56
5.
Jakarta Utara
146,66
22,14
6.
Kepulauan Seribu
8,70
1,31
662,33
100
No
Wilayah
1.
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (2009)
Tabel 14, menunjukkan bahwa wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan
luas daratan masing-masing 28,39 % dan 21,33 %, sedangkan Jakarta Utara
mencapai 22,14%, termasuk gugusan Kepulauan Seribu. Secara umum topografi
kota Jakarta memiliki kelerengan datar dengan jenis tanah aluvial, beberapa lokasi
lahannya berawa, tergolong iklim panas dengan suhu rata-rata 28,7 oC (siang hari)
dan 26,0 oC (malam hari), curah hujan rata-rata 2.288,9 mm per tahun dengan
tingkat kelembaban udara mencapai 76,4 % dengan kecepatan angin rata-rata 3,5
m per detik (BPS DKI Jakarta, 2005). Pemanfaatan lahan kota Jakarta, sebagian
besar difungsikan untuk kawasan permukiman seluas 65,72 % dengan fasilitas
perkantoran dan pergudangan seluas 11,94 %. Tabel 15 menunjukkan bahwa
lahan untuk lain-lain seperti sarana dan prasarana waduk, situ dan rawa mencapai
15,54 %, lahan untuk perumahan mencapai 43.475,09 ha dan untuk penghijauan
66
67
kota (pertamanan) hanya 1,82%, Karena semakin meningkatnya jumlah penduduk
dan konsekuensinya, lahan yang diperoleh untuk perumahan juga meningkat.
Tabel 15. Pemanfaatan Lahan di Wilayah DKI Jakarta tahun 2009
No
Peruntukan
Luas (ha)
Persen
43.475,09
65,72
1.
Perumahan
2.
Industri
3.228,21
4,88
3.
Perkantoran & Pergudangan
7.898,54
11,94
4.
Pertamanan
1.270,14
1,92
5.
Lain-lainnya
10.280,02
15,54
Jumlah
66.152,00
100
Sumber : BPS DKI Jakarta (2010), Ditjen Bangda (2010)
Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta yang mencapai 66.152,00 ha lahan
untuk taman penghijauan 2.052,41 ha, untuk jalur hijau jalan seluas 557,83 ha dan
jalur hijau kota seluas 1.295,55 ha (Tabel 16), sehingga hanya tersedia 0,6% saja
luas wilayah DKI yang diperuntukkan sarana penghijauan.
Tabel 16 menunjukkan sebagian besar lahan 2.052,41 ha (52,55%) untuk
taman dan 33,17% untuk hijauan kota. Hal ini dengan tujuan untuk menunjang
Ruang Terbuka Hijau (RTH), keindahan, pengurangan, pencemaran udara
sekaligus mengantisipasi panas pada siang hari yang suhunya panas mencapai
28,70C. Dengan semakin meningkatnya kegiatan di perkotaan yang sejalan
dengan meningkatnya volume sampah dan timbal yang menyebabkan terjadinya
pencemaran (termasuk SOx, CO, dan NOx), dengan adanya hijauan dari pohon
atau pertamanan dapat diserap, sehingga kondisi lingkungan terjaga dari
kerusakan dan pencemaran.
68
Tabel 16. Luas hijau jalan, hijau kota dan taman di
wilayah Propinsi DKI Jakarta tahun 2009
No
1.
Peruntukan Lahan
Jalur hijau jalan
Luas (ha)
557.83
Persen
14,28
2.
Jalur hijau kota
1.295,55
33,17
3.
Pertamanan
2.052,41
52,55
Jumlah
3.905,79
100,00
Sumber : BPS DKI Jakarta (2010)
Hutan kota pada dasarnya sebagai hijauan untuk mengendalikan
menurunnya kondisi Sumber Daya Alam dan lingkungan. Eksistensi sumberdaya
alam dan lingkungan tergantung dari tingkat kegiatan atau perilaku manusia itu
sendiri yang berpengaruh terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
Sarana dan Prasarana
Menurut BPS DKI Jakarta (2009), bahwa panjang jalan DKI Jakarta dalam
4 klasifikasi, jalan tol sepanjang 94.180 m, jalan Negara 162.036 m, jalan Provinsi
1.495.850,99 m dan jalan kotamadya 5.884.691,78 m. Mengenai fungsi jalan (tol,
arteri, primer, kolektor primer, kolektor sekunder dan kotamadya), panjang jalan
(m), luas (m2) dan status jalan (Nasional, Propinsi, Kotamadya). Pada Tabel 17
dapat dilihat bahwa panjang di DKI Jakarta mencapai 7.361.378,77 m atau seluas
47.776.463,46 m2.
Tabel 17. Fungsi Jalan, Panjang Jalan, Luas dan Status jalan tahun 2009
No
1
2
3
4
5
6
Fungsi Jalan
Panjang (m)
Luas (m2)
Tol
Arteri primer
Kolektor Primer
Arteri Sekunder
Kolektor Sekunder
Kotamadya
94.180,00
102.139,25
55.130,75
514.013,97
963.816,02
5.920.098,78
2.078.300,00
2.102.530,10
860.669,00
8.553.786,09
8.120.635,31
26.060.560,96
Jumlah
7.361.378,77
47.776.463,46
Status Jalan
Tol
Nasional
Nasional
Propinsi
Propinsi
Kotamadya
Sumber : Sub Dinas Bina Program DPU DKI Jakarta, BPS DKI Jakarta (2010).
69
Sarana Transportasi
Meningkatnya kegiatan masyarakat berarti meningkat pula sarana
transportasi yang tersedia juga di Jakarta. Karena tidak ada pembatasan
pemakaian usia dari kendaraan bermotor, maka tampak semakin tahun semakin
macet, padat merayap di setiap jalanan di Propinsi DKI Jakarta. Demikian pula
dengan meningkatnya kegiatan manusia di Ibukota, salah satu kebutuhan vital
adalah sarana transportasi berupa sepeda motor, mobil penumpang, mobil beban
dan bus, dari tahun 2005 – 2010 cenderung meningkat (Tabel 18).
Tabel 18. Jumlah Sepeda Motor, Mobil Penumpang,
Mobil Beban, dan Bus Tahun 2005–2010
(Diluar Kendaraan TNI, POLRI, Corp
diplomatik)
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sepeda
Motor
(unit)
2.055.332
1.527.906
1.543.603
1.619.516
1.813.136
2.257.194
Mobil
Penumpang
(unit)
1.095.170
1.520.264
965.058
1.052.802
1.130.496
1.195.871
Mobil
Beban
(unit)
380.788
319.301
320.438
334.013
347.443
366.221
Bus
Jumlah
(unit)
311.371
253.718
253.574
253.593
253.593
254.849
(unit)
3.842.661
3.053.189
3.082.673
3.259.924
3.544.668
4.074.135
Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya dan BPS DKI Jakarta (2010)
Tabel 18 terlihat, bahwa jumlah sarana transportasi selama 6 tahun dari
tahun 2005 – 2010 cenderung meningkat. Tahun 2005 jumlahnya 3.842.661 unit
dan tahun 2010 menjadi 4.074.135 unit (2,31%). Konsekuensinya pemakaian
bahan bakar (bensin dan solar) juga meningkat dan residu berupa asap dan debu
juga meningkat. Mungkin juga untuk kendaraan angkutan jenis IV seperti bemo,
bajaj, dan toyoko ( jenis bemo ) sejak tahun 2005 – 2010 mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Secara rinci terdapat pada Tabel 19.
70
Table 19. Jumlah Kendaraan Angkutan Jenis IV :
Bemo, Bajaj dan Truk Tahun 2005 – 2010
Tahun
Bemo
(unit)
Bajaj
(unit)
Truk
(unit)
Total
(unit)
2005
967
14.831
500
16.298
2006
813
14.612
500
15.925
2007
-
14.612
100
14.712
2008
-
14.612
100
14.712
2009
970
14.612
500
16.082
2010
989
14.612
500
16.101
Sumber : Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta
Keterangan : - = data tidak tersedia
Tabel 19 menunjukkan kendaraan jenis bajaj mengalami peningkatan.
Untuk bemo sebanyak 967 unit (2005) meningkat menjadi 989 unit (2010) ada
peningkatan 5,94 %. Jumlah bajaj dan truk relatif tetap. Kendaraan jenis IV ini
sama dengan kendaraan lain yang berbahan bakar bensin dan aksesnya
mengeluarkan gas (CO2, SO2, NO2) dan asap serta debu yang mencemari udara.
Demikian halnya bis kota (bis besar) yang ada yang beroperasi serta jumlah rata –
rata penumpang tahun 2005 – 2010 seperti terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Rata – rata jumlah penumpang, jumlah bis yang ada
dan yang beroperasi tahun 2005 - 2010
Tahun
Jumlah
Rata-rata
Penumpang
Jumlah
Bus (unit)
Jumlah Bus yang
Beroperasi (unit)
2005
1.697.942
4.530
2.278
2006
1.686.762
4.522
2.263
2007
3.907.950
6.454
5.243
2008
3.822.362
5.411
4.822
2009
3.382.621
5.402
4.239
2010
2.962.570
4.914
4.398
Sumber: DKI Jakarta dalam angka (2010)
71
Tabel 20 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan yang beroperasi dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan peningkatan dari 2.278 unit
(2005) menjadi 4.398 unit (2010) ada peningkatan sebesar 2.120 unit (2,1%).
Peningkatan jumlah armada ini implikasinya, pemakai bahan bakar (BB) juga
meningkat dan residu (asap, debu dan debunya juga meningkat).
Ada pun jumlah kendaraan yang lewat jalan tol Cawang – Semanggi tahun
2002 mencapai 102.061. 143 unit (15,58 %) dari total kendaran yang lewat
mencapai 654.816.970 unit. Jumlah kendaraan ini ada pengaruhnya terhadap
emisi gas (asap), sedangkan panjang dan luas jalan (menurut premi jalan) secara
rinci tertera pada Tabel 21 dan Tabel 22.
Tabel 21. Panjang Jalan DKI Jakarta tahun 2010
Jenis Jalan (m2)
Kotamadya
Tol
Negara
Propinsi
Kotamadya
Total
Jakarta Selatan
9.648
53.740,00
347.020,70
1.570.445,85
1.980.890,55
Jakarta Timur
30.642
30.458,00
375.410,47
1.603.578,12
2.066.088,59
Jakarta Pusat
6.380
13.286,75
236.419,60
645.288,96
901.375,31
Jakarta Barat
12.882
29.075,25
269.248,97
970.086,55
1.281.292,77
Jakarta Utara
34.592
29.476,00
247.751,25
1.095.292,30
1.407.111,55
Total
94.180
162.036,00 1.495.850,99
5.884.691,78
7.636.758,77
Tabel 22. Luas Jalan DKI Jakarta tahun 2010
Jenis Jalan (m2)
Kotamadya
Tol
Negara
Propinsi
Kotamadya
Total
Jakarta Selatan
174.312
965.164,80
3.681.675,80
6.559.465,25 11.420.617,85
Jakarta Timur
859.556
766.160,56
4.443.003,14
6.585.678,00 16.654.397,77
Jakarta Pusat
114.840
360.989,80
3.613.863,50
2.664.220,74
6.753.914,04
Jakarta Barat
231.876
464.404,00
2.526.442,91
4.147.433,86
3.370.156,77
Jakarta Utara
697.716
492.368,00
2.469.836,65
5.909.356,43
9.569.277,08
Total
2.078.300 3.049.087,16 16.734.822,00 25.906.154,28 47.768.363,44
Sumber : Sub Dinas Bina Program DPU DKI Jakarta
72
Panjang dan luas jalan dilewati kendaraan (sarana transportasi) dengan
tingkat kepadatan yang berbeda–beda. Konsekuensinya kualitas udaranya akan
tercemar oleh asap, gas dan debu yang juga berbeda–beda.
Kualitas Udara di DKI Jakarta
Kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dan Jakarta
khususnya sudah sangat buruk. Penyebab utamanya ternyata bukan hanya sektor
industri, namun justru sektor transportasi yang mencemari udara paling parah.
Kontribusinya terhadap pencemaran NOx mencapai 73,3 %. Secara rinci seperti
tertera pada Gambar 10.
Pb (ppm)
debu (g/m³)
NOx (ppm)
Gambar 10. Konsentrasi debu (g/Nm³), Pb (ppm) dan NOx di Jakarta tahun 2008.
Dari Gambar 10, terlihat bahwa NOx sebagai zat pencemar yang
dihasilkan oleh transportasi cukup besar yaitu 73,3 %, sedangkan Pb yang
dihasilkan oleh 10 industri sebagai penghasil zat pencemar mencapai 55,5 % dan
pada Pb rumah tangga penghasil zat pencemar mencapai 20,8% (UI 2005).
Komponen Pb dan debu dalam kondisi yang terdapat dalam jumlah yang tinggi
oleh asap mobil dalam bentuk susunan kimianya seperti PbBrCl, PbBr2, terdapat
pada Tabel 23.
73
Tabel 23. Komponen Pb (ppm) di dalam asap mobil
Komponen Pb
PbBrCl
PbBrCl.2PbO
PbCl2
Pb(OH)CI
PbBr2
PbBrCl2.2PbO
Pb (OH) Br
PbOx
PbCO3
PbBr2.2PbO
PbCO3.2PbO
Persen dari partikel Pb di dalam
asap
Segera setelah
18 jam setelah
starter
starter
32.0
31.4
10.7
7.7
5.5
5.2
2.2
2.2
1.2
1.1
1.0
12.0
1.6
8.3
7.2
0.5
5.6
0.1
21.2
13.8
0.1
29.6
Sumber: Stoker dan Seager (1972), DKI Jakarta dalam angka
(2009).
Suhu udara rata – rata
Sejak tahun 2005 suhu udara maksimum 31,7 0C, minimum 25,3 0C dan
tahun 2010, suhu rata-rata maksimum 32,4 0C, untuk suhu maksimum ada
peningkatan 0,70 0C dan minimum sebesar 22,2 0C uraian secara rinci, terdapat
pada Tabel 24.
Tabel 24. Suhu maksimum dan minimum tahun
2005 – 2010.
Tahun
Suhu Rata-Rata
Maksimum (0C)
Suhu Rata-Rata
Minimum (0C)
2005
31.7
25.3
2006
31.4
25.4
2007
33.9
22.2
2008
33.9
22.2
2009
30.8
26.1
2010
32.4
26.1
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (2011).
74
Keadaan iklim terakhir di DKI Jakarta (2010) curah hujan per tahun 2010,
sebagai berikut, curah hujan : 2.288,9 mm, tekanan 1.010,1 mbs, kelembaban
76,40 dan arah angin 45 (points), kecepatan angin 4,5 M/SE, awan (okta) dan
untuk suhu maksimum 28,7 oC dan minimum 26,0 oC atau rata-rata suhunya 27,5
o
C (BPS DKI Jakarta 2010). Dengan demikian DKI Jakarta tergolong iklim panas
dan untuk mengantisipasi kenaikan suhu tersebut, sesuai dengan peraturan
tataruang dibangun pertamanan seluas 1.270.11 ha (1,91 %) dan hijauan kota,
sekaligus menata landscape untuk keindahan dan ekstetika. Mengingat lahan yang
disosilasisasi relatif kecil (1,91%), maka dengan meningkatnya kendaraan, residu
yang dibuang berupa asap dan debu akan semakin besar dan pada tingkat
konsentrasi akan menganggu kesehatan manusia termasuk satwa dan tumbuhan
serta pembangunan. Dalam hal ini hutan kota sebagai ecocity perlu ditunjang
dengan pertamanan atau landscape kebersihan, kesehatan dan kenyamanan.
Kualitas Udara di Bern (Swiss) dan Den Haag (Belanda)
Untuk menuju kota Jakarta yang berpolusi rendah dilakukan patok duga
dengan berbagai kota di Luar Negeri (Kuala Lumpur, Singapura, Bernn, dan Den
Haag), Kota kota tersebut dijadikan tolak ukur keberhasilan pengelolaan kualitas
udara DKI Jakarta.
Agar tolak ukur keberhasilan tersebut dapat tercapat Pemerintah
Kotamadya DKI Jakarta telah berupaya melaksanakan Peraturan Bersama
Mendagri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2003 dan Nomor
1138/Menkes/PB/VII/2003 antara lain upaya mencapai udara bersih pada suatu
kota sehat wajib memenuhi indikator sebagai berikut :
1.
Memenuhi standar Indikator Standar Pencemaran Udara (ISPU).
2.
Kendaraan bermotor memenuhi syarat emisi gas buang.
3.
Peningkatan penggunaan bahan bakar yang memenuhi syarat.
4.
Penurunan kasus gangguan pernapasan atas (ISPA / pneumonia).
5.
Penurunan kasus Tuber culose baru (Setda Provinsi DKI Jakarta.2007-hal
569).
75
Tingkat pencemaran udara di Kota Kuala Lumpur, Singapura, Bernn dan
Den Hagg, sebagai indikator keberhasilan pengelolaan pencemaran udara DKI
Jakarta adalah seperti terlihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Tingkat polusi di DKI Jakarta, Bern, Den Haag, Singapura dan Kuala
Lumpur.
Polusi
Bern
Den Haag
Singapore
1
Polusi Udara
37,50
62,50
2
Debu
12,50
0,00
Kuala
Lumpur
70,00
25,00
25,00
65,00
75,00
3
Kebisingan
31,25
12,50
87,50
70,00
62,50
4
Kualitas Udara
87,50
62,50
37,50
30,00
12,50
5
Sampah
93,75
62,50
50,00
40,00
25,00
100,00
75,00
75,00
35,00
37,50
No.
6
Tingkat kebersihan
Jakarta
87,50
Sumber : www.numbeo.com/pollution, 2011
Gambar 11. Perbandingan tingkat polusi DKI Jakarta dengan Sister City-nya.
Penyakit yang Disebabkan oleh Pencemaran Udara.
Penyakit yang banyak diderita oleh penduduk di sepanjang jalan Cawang –
Semanggi, Jakarta adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) sesuai data
yang terhimpun sebagai berikut:
76
1. Pusat Kesehatan Masyarakat Senayan tahun 2009 menyatakan bahwa
penduduk terkena penyakit ISPA sebanyak 587 orang dan tahun 2010
sampai Juli 2006 sebanyak 323 orang.
2. Pusat Kesehatan Masyarakat Setia Budi tahun 2009 menyatakan bahwa
penduduk yang terkena penyakit ISPA sebanyak 2139 orang dan tahun
2010 sampai Juli 2006 sebanyak 523 orang.
3. Pusat Kesehatan Masyarakat Tebet tahun 2009 menyatakan bahwa
penduduk yang terkena panyakit ISPA sebesar 1352 orang dan tahun 2010
sampai Juli 2010 sebesar 639 orang.
4. Pusat Kesehatan Masyarakat Pangadegan tahun 2009 penduduk yang
terkena penyakit ISPA sebesar 1473 Tahun 2010 sampai 2009 sampai Juli
2010 sebesar 725 orang.
5. Pusat Kesehatan Masyarakat Bendungan Hilir penduduk yang terkena
penyakit ISPA tahun 1134 orang dan tahun 2010, sampai Juli 2010 sebesar
725 orang.
6. Pusat Kesehatan Masyarakat Mampang Prapatan tahun 2009 penduduk
yang terkena penyakit ISPA sebesar 1674 orang dan sampai Juli 2010
sebesar 837 orang.
Sebanyak 8.359 orang menderita batuk-batuk, demam, panas tinggi dan
menderita penyakit influensa. Penyakit ISPA ini beresiko beristirahat berarti
tidak bekerja selama tiga hari. Kondisi kepala keluarga yang tidak bekerja sangat
mempengaruhi pendapatan ekonomi keluarga. Keluarga yang menderita ISPA
sebesar 39,7% ialah anak-anak dan 38,6% adalah orang dewasa.
STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI
KOTA JAKARTA
Abstrak
Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke
tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang batas.
Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat terhadap
lingkungan terutama kesehatan manusia, menimbulkan bau, kerusakan materi, dan
dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi kimia pencemaran udara di Kota Jakarta yang
berasal dari kendaraan bermotor. Metode analisis menggunakan metode
pengukuran kualitas udara dan kebisingan di ruas tol dalam kota kemudian
hasilnya dibandingkan dengan baku mutu kualitas udara ambient (Kep. Gub. DKI
Jakarta No. 551 / Tahun 2001). Bahan pencemar udara yang berasal dari hasil
aktivitas kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida
(NO2), sulfur oksida (SO2), timbal (Pb), debu, dan kebisingan. Bahan pencemar
udara yang berasal dari aktivitas kendaraan bermotor pada beberapa lokasi
pengamatan di Jakarta secara umum rata-rata masih berada di bawah ambang
batas baku mutu udara ambient, kecuali gas karbon monoksida yang telah
mencapai 3592,5 μg/Nm3 di lokasi pengamatan jembatan semanggi dan debu
mencapai 218,10 μg/ Nm3 di lokasi pengamatan gedung Kor Lalulintas.
Keyword: Kualitas udara, penyebaran Pb, debu dan bising.
Pendahuluan
Pencemaran udara merupakan suatu masalah besar di kebanyakan kota
besar di dunia. Hal ini disebabkan terutama oleh adanya bahan bakar minyak yang
digunakan di dalam transportasi dan industri meski konstribusi alam juga
menyokong melalui kejadian seperti letusan gunung berapi dan kebakaran hutan.
Di banyak negara berkembang seperti Indonesia, konsentrasi bahan pencemar
udara yang berasal dari kendaraan bermotor meningkat sebagai suatu konsekuensi
terhadap meningkatnya pembakaran bahan bakar fosil.
Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke
tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang batas.
Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Air
Quality Monitoring Station (AQMS), dari sepuluh kota besar di Indonesia, enam
di antaranya yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekanbaru
hanya memiliki udara berkategori baik selama 22 sampai 62 hari dalam setahun
77
78
atau tidak lebih dari 17 persen. Di Pontianak dan Palangkaraya penduduk harus
menghirup udara dengan kategori berbahaya masing-masing selama 88 dan 22
hari.
Menurunnya kualitas udara tersebut di atas terutama disebabkan
penggunaan bahan bakar fosil untuk sarana transportasi dan industri yang
umumnya terpusat di kota-kota besar, di samping kegiatan rumah tangga dan
kebakaran hutan/lahan. Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup
berat terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu menurunnya fungsi
paru, peningkatan penyakit pernapasan, dampak karsinogen, dan beberapa
penyakit lainya. Selain itu, pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan
materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak
lingkungan. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan bahan pencemar udara
terhadap kesehatan manusia, maka perlu dilakukan penelitian mengenai bahanbahan pencemaran udara yang berasal dari aktivitas kendaraan bermotor
khususnya di Kota Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
kimia pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor.
Metode Penelitian
Pengukuran kualitas udara dilakukan di lokasi penelitian yang mewakili
lokasi sumber dampak dan di sekitar areal kegiatan yang mempunyai peluang
untuk menerima dampak dari kegiatan transportasi. Parameter kualitas udara yang
diukur adalah Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), Karbonmonoksida
(CO), Timbal (Pb) dan debu (g/m³). Pengambilan contoh di lapangan digunakan
dengan menggunakan gas sampler untuk gas dan dust sampler untuk debu (g/m³).
Metode analisis paramater kualitas udara dapat dilihat pada Tabel 26.
79
Tabel 26. Metode analisis kualitas udara dan kebisingan
No
Parameter
1
2
Karbon Monoksida (CO)
Nitrogen Oksida (NO 2 )
COx meter, Sibata
SNI 19-4841-1996
Waktu
Pengukuran
1 jam
1 jam
3
Sulfur Dioksida (SO 2 )
SNI 19-4174-1996
1 jam
4
Ozon (O 3 )
Timah Hitam (Pb)
Debu
Kebisingan
SNI 19-4842-1998
1 jam
SNI 19-2966-1992
SNI 19-4840-1998
SNI 19-165-1989
24 jam
24 jam
Siang dan
malam hari
5
6
7
Metode analisis
Sumber : SK Gubernur DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001
Hasil analisis dibandingkan dengan baku mutu lingkungan berdasarkan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 tahun 2001. Jumlah titik
pengambilan sample kualitas udara ada 5 titik di lokasi penelitian. Pengukuran
kebisisngan menggunakan alat sound level meter. Pengukuran kebisingan
dilakukan siang dan malam hari. Lokasi pengamatan ada 5 titik di lokasi
penelitian. Cara pengukuran dan interpretasinya dilakukan menurut prosedur yang
tertera dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001 tentang
Penetapan Baku Mutu Kualitas Udara Ambient, Baku Mutu Tingkatan Kebisingan
dalam Wilayah DKI Jakarta. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan “Leq”
(level equivalent) pada pusat-pusat aktivitas yang ada untuk memperkirakan
tingkat kebisingan yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan yang diamati.
Hasil dan Pembahasan
Sumber dan Jenis Bahan Pencemar Udara
Kesadaran masyarakat akan pencemaran udara akibat gas buang kendaraan
bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak
seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal
laut, kendaraan bermotor saat ini maupun di kemudian hari akan terus menjadi
sumber yang dominan dari pencemaran udara di perkotaan. Di DKI Jakarta,
80
kontribusi bahan pencemar dari kendaraan bermotor ke udara adalah sekitar 70%
(Tugaswaty 1997).
Hasil pemantauan terhadap jumlah (kuantitas) kendaraan bermotor
berdasarkan jenisnya dengan waktu pengambilan sampel di musim kemarau
antara bulan April sampai bulan Oktober dan musim hujan antara bulan
November sampai Maret tahun 2009 seperti pada Tabel 27. Untuk mengetahui
korelasi tingkat pencemaran udara pada musim kemarau yaitu April sampai
dengan Oktober dan musim hujan pada bulan November sampai dengan Maret.
Tabel 27. Data hasil pemantauan kuantitatif kendaraan bermotor di
Jakarta tahun 2008/2009.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Jenis
Kendaraan
Bermotor
Truk
Bus
Sedan
Minibus
Sepeda Motor
Tronton
Lain-lain
Bulan
April – Oktober November – Maret
268.800
556.800
647.625
595.350
764.000
98.167
156.300
176.303
284.220
572.674
432.976
761.491
72.143
132.480
Sumber : Kor Polisi Lalu - Lintas Metro Jaya (2009)
Pada musim hujan partikel Pb, debu dan CO sangat terpengaruh oleh
adanya H2O dan pada musim kemarau sangat terpengaruh oleh arah angin. Arah
angin pada wilayah penelitian bertiup dari arah Timur ke Barat (BMG 2009).
Penyebaran bahan pencemar udara dari sumber pencemar ke lingkungan
sekitarnya dapat melalui proses difusi, proses konveksi atau kombinasi kedua
proses tersebut. Proses difusi terjadi pada waktu tidak ada angin, sehingga
penyebaran pencemar udara hanya tergantung dari perbedaan konsentrasi
pencemar antara lokasi dan gradien konsentrasi dan difusivitas zat pencemar
udara. Proses penyebaran zat pencemar secara konveksi ditentukan oleh arah dan
kecepatan angin.
81
Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia,
atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan
manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau
merusak properti (Canter 1979).
Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun
kegiatan manusia. Beberapa definisi gangguan fisik seperti polusi suara, panas,
radiasi atau polusi cahaya dianggap sebagai polusi udara. Sifat alami udara
mengakibatkan dampak pencemaran udara dapat bersifat langsung dan lokal,
regional, maupun global. Pencemar udara dibedakan menjadi pencemar primer
dan pencemar sekunder. Pencemar primer adalah substansi pencemar yang
ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara. Karbon monoksida adalah
sebuah contoh dari pencemar udara primer karena ia merupakan hasil dari
pembakaran. Pencemar sekunder adalah substansi pencemar yang terbentuk dari
reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer. Pembentukan ozon dalam smog
fotokimia adalah sebuah contoh dari pencemaran udara sekunder (Hill 1978).
Gas Pencemar Udara di Kota Jakarta
a. Sulfur Dioksida (SO2)
Sumber pencemaran gas SO2 di Jakarta terutama disebabkan oleh bahan
bakar minyak (BBM) yang digunakan oleh para pemilik kendaraan bermotor yang
banyak mengandung belerang (S). Dalam pembakaran di mesin mobil S
bersenyawa dengan O2 membentuk gas SO2. Konsentrasi gas SO2 yang besar di
lokasi Jembatan Semanggi disebabkan oleh padatnya lalu-lintas yang juga
merupakan persimpangan jalan raya dari arah Blok M ke Harmoni dan dari
Grogol ke Cawang sedangkan di lokasi Gedung Kor lalulintas Jl. MT Haryono
juga merupakan daerah di sekitar simpang jalan dari Cawang ke Grogol dan dari
Pasar Minggu ke Manggarai yang selalu padat lalu-lintas.
Daerah-daerah lain Depan Gedung LIPI, Gedung Graha Mustika, dan Kor
Lalulintas kandungan SO2 terkecil, karena pelataran yang luas sekitar gedung Kor
Lalulintas MABES POLRI mengakibatkan gas SO2 terencerkan dengan baik.
82
Kisaran konsentrasi rataan SO2 udara dari 18,94 μg/Nm3 (di Kor Lantas
Mabes Polri) sampai 72,83 μg/Nm3 (di Jembatan Semanggi). Kadar gas SO2 di
lokasi penelitian telah melampaui baku mutu udara (>10 μg/Nm3).
Kondisi
kandungan SO2 di lokasi penelitiaan secara detail dapat dilihat pada Table 28.
Tabel 28. Hasil pengukuran SO2 di lokasi Penelitian
SO2 (μg/Nm3)
No
Lokasi
Rataan
A
B
1
BNN
21.3
16.6
18.94
2
Kor Lalulintas
74.1
67.6
70.81
3
LIPI
54.6
56.2
55.41
4
Mustika Ratu
42.9
41.7
42.29
5 Jembatan Semanggi
Baku Mutu Lingkungan
(BML) (PP 41/99)
71.6
74.1
72.83
900
Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Pebruari 2008
b. Gas Nitrogen Dioksida (NO2)
Kandungan gas NO2 tertinggi adalah di lokasi Jembatan Semanggi dan
berikutnya adalah lokasi di depan Gedung LIPI. Di kedua lokasi ini kendaraan
melaju cukup cepat, sehingga reaksi oksidasi.
N2 + O2 -> 2NO
2NO + O2 -> 2NO2
Reaksi tersebut mengakibatkan konsentrasi NO2 di kedua lokasi lebih
tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Sesuai dengan konsentrasi gas NO2.
Kisaran rataan kandungan gas NO2 di lokasi penelitian dari 44,59 μg/Nm3 (Kor
Lantas Mabes Polri) sampai 80,37 μg/Nm3 (Jembatan Semanggi). Dari kisaran
rataan kandungan gas NO2 di udara, daerah lokasi penelitian masih di bawah baku
mutu udara (>3 μg/Nm3), dengan demikian di lokasi penelitian tidak mengalami
pencemaran NO2 secara serius.
83
Kondisi kandungan NO2 di lokasi penelitiaan secara detail dapat dilihat
pada Tabel 29.
Tabel 29. Hasil pengukuran NO2 di lokasi Penelitian
NO2 (μg/Nm3)
No
Lokasi
Rataan
A
B
1 BNN
41.6
47.6
44.59
2 Kor Lalulintas
52.1
55.5
53.8
3 LIPI
73.8
72.2
72.99
4 Mustika Ratu
45.2
48.5
46.84
Jembatan
5
82.6
78.2
80.37
Semanggi
Baku Mutu Lingkungn
400
(BML) (PP 41/99)
Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Pebruari 2008
c. Gas Karbon Monoksida / CO
Lokasi yang memiliki konsentrasi CO tertinggi adalah Jembatan Semanggi
menyusul lokasi depan Gedung LIPI. Dengan kepadatan dan kemacetan lalulintas, oksidasi bahan bakar dilakukan secara tidak sempurna, sehingga terbentuk
gas CO.
Reaksi bahan bakar + O2 -> CO2 + CO + H2O
Konsentrasi gas CO yang terendah terdapat di lokasi Kor Lantas POLRI,
yang disebabkan karena kelancaran lalu lintas, maka oksidasi bahan bakar relatif
lebih sempurna, sehingga pembentukan gas CO rendah. Di samping itu di lokasi
ini daerah kosong cukup luas, sehingga zat pencemar CO mengalami pengenceran
yang cukup baik.
Konsentrasi gas CO berkisar dari 1778 μg/Nm3 (di lokasi BADAN
NARKOTIKA NASIONAL) dan tertinggi sebesar 3592,5 μg/Nm3 (di lokasi
Jembatan Semanggi). Konsentrasi gas CO di ruas jalan pada lokasi penelitian
masih di bawah ambang baku mutu udara DKI (lebih kecil dari 30000 μg/Nm3).
Adapun hasil pengukuran gas CO disajikan pada Tabel 30.
84
Tabel 30. Hasil pengukuran CO (µg/Nm³) di lokasi Penelitian
No
Lokasi Pengukuran
CO (μg /Nm3)
A
B
Rataan
1
BNN
1716
1840
1778
2
Kor Lalulintas
2567
2750
2659
3
LIPI
3150
2450
2800
4
Mustika Ratu
2250
2250
2250
5
Jembatan Semanggi
3416
3769
3593
Baku Mutu Lingkungan
(BML) (PP 41/99)
30000
Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Pebruari 2008
Pencemar Udara Pb, debu dan Kebisingan di Kota Jakarta
a. Pb
Lima lokasi penelitian berdasarkan wilayah, untuk parameter Pb yang
memiliki tingkat penyebaran Pb tinggi dan mendekati baku mutu adalah Jembatan
Semanggi sebesar 1,34 μg/Nm3 dan Halaman Gedung LIPI sebesar 1,30 μg/Nm3
(BMU tahun 1999 sebesar 2 μg/Nm3) dan tiga lokasi masih jauh dibawah ambang
batas (Mustika Ratu 1,08 μg/Nm3, MT Haryono 0,99 μg /Nm3 dan BNN sebesar
0,87 μg/Nm3). Perbedaan konsentrasi kandungan Pb lebih disebabkan oleh
perbedaan jumlah kendaraan yang melintas di kawasan tersebut dan keadaan
green area (RTH) sebagai penjerap polusi. Kawasan Jembatan Semanggi dan
LIPI kendaraan yang melintas lebih banyak dibanding dengan kawasan lain, hal
ini diperparah lagi dengan keadaan green area/RTH khususnya jumlah pohon
sebagai penyerap polusi tidak memadai (apabila dibandingkan dengan syarat
minimal 30% ruang terbuka hijau).
Konsentrasi rataan uap Pb udara di lokasi penelitian berkisar dari 0,72
μg/Nm3 (di lokasi Jembatan Semanggi). Walaupun demikian kisaran konsentrasi
uap Pb ini masih di bawah baku mutu (lebih besar dari 0,02 μg/Nm3).
85
Rincian hasil pengukuran Pb di lima lokasi penelitian dapat dilihat pada
Table 31.
Tabel 31. Hasil pengukuran Pb di lokasi penelitian.
No
Lokasi
1
BNN
2
Kor Lalulintas
3
LIPI
4
Mustika Ratu
5
Jembatan Semanggi
Baku Mutu Pb (BML)
(PP 41/99)
Pb (μg/Nm3)
A
0.87
0.99
1.3
1.08
1.34
B
0.56
1.07
1.33
0.98
1.46
Rataan
0.72
1.03
1.32
1.03
1.4
2
Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Februari 2008.
b. Debu
Kandungan debu di lokasi penelitian berasal dari knalpot mobil, terutama
yang berbahan bakar solar. Di samping itu debu juga berasal dari jalan-jalan raya
yang terbang ke atas tertiup angin. Kandungan debu terbesar di lokasi gedung
Wisma Milenia disebabkan oleh padatnya lalu-lintas dan kemacetan di daerah ini.
Kadar debu yang terendah terletak di lokasi MABES POLRI/BNN.
Keadaan ini disebabkan oleh daerah kosong yang luas, sehingga debu akan
disebarkan angin ke seluruh ruang kosong tersebut.
Kisaran rataan kadar debu di lokasi penelitian dari 173,15 μg/Nm3 (di
lokasi BNN) dan tertinggi 218,10 μg/Nm3 (di lokasi gedung Kor Lantas).
Walaupun demikian konsentrasi debu (μg/Nm³) ini masih di bawah ambang baku
mutu udara DKI (lebih kecil dari 260 μg/Nm3).
Parameter debu lokasi yang memiliki tingkat pencemaran tinggi dan
mendekati nilai ambang batas adalah kawasan MT Haryono yaitu sebesar 224,5
μg/Nm3, kawasan gedung Mustika Ratu sebesar 214,8 μg/Nm3 dan kawasan
Semanggi sebesar 212,4 μg/Nm3, Sedangkan wilayah kawasan gedung LIPI dan
BNN masih relatif jauh dibawah ambang batas. Rincian hasil pengukuran debu di
lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Table 32.
86
Tabel 32. Hasil pengukuran debu di lokasi penelitian.
No
Lokasi
1
BNN
2
Kor Lalulintas
3
LIPI
4
Mustika Ratu
5
Jembatan Semanggi
Baku Mutu (PP 41/99)
Debu (µg/Nm3)
A
B
169,8 176,5
224,5 211,7
209,7 198,5
214,8 197,4
212,4 204,7
230
Rataan
173,2
218,1
204,1
206,1
208,6
Keterangan: A diukur pada tanggal 25 Januari dan B 13 Februari 2008.
c. Kebisingan
Urutan tingkat kebisingan di lokasi penelitian (dari paling rendah ke yang
tertinggi) adalah: Jembatan Semanggi (68,7 – 69,5 dBA), LIPI (69,8 – 70,4 dBA),
Mustika Ratu (71,8 – 72,6 dBA), BNN (74,5 – 76,3 dBA) dan Kor Lalulintas
(74,6 – 76,3 dBA). Hampir semua lokasi penelitian telah melebihi ambang batas
baku mutu yang telah ditetapkan oleh MENLH tahun 1996 yaitu sebesar 70 dBA.
Rincian hasil pengukuran kebisingan di lima lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 33.
Tabel 33. Hasil pengukuran kebisingan di lokasi penelitian.
No
1
2
3
4
5
Lokasi
BNN
Kor Lalulintas
LIPI
Mustika Ratu
Jembatan Semanggi
Baku Mutu Lingkungan (PP 41/99)
Kebisingan (dBA)
75.4
75.45
70.1
72.2
69.1
70
Keterangan: diukur pada tanggal 13 Februari 2008.
Sumber kebisingan di lokasi penelitian relatif seragam. Hampir semua
lokasi memiliki kebisingan yang sudah melewati ambang batas baku mutu
kebisingan.
Kebisingan yang melampaui ambang batas di lokasi BNN, Kor
Lalulintas, LIPI, Mustika Ratu, dan Jembatan Semanggi. Tingkat kebisingan yang
terjadi di lima lokasi umumnya disebabkan oleh kepadatan lalu lintas. Tingkat
87
kepadatan lalulintas di Bundaran Semanggi pada bulan Juli 2010 adalah, seperti
terlihat pada Gambar 12.
Unit
Gambar 12. Hasil pengamatan 23 Juli 2010, data kendaraan yang melintas di
Bundaran Semanggi Juli 2010.
Sedangkan parameter kebisingan (dBA), wilayah yang memiliki tingkat
pencemaran tinggi dan telah melewati nilai ambang batas seluruh lokasi
pengambilan sampel seperti yang tersaji pada Gambar 13.
Unit
Gambar 13. Hasil pengamatan 30 Juli 2010, kendaraan yang Melintas di Kuningan
dan Pancoran.
88
Jumlah kendaran yang melintas di tempat yang sama pada tanggal 13
Februari 2008 dan tanggal 11 November 2011 dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Jumlah kendaran yang melintas di
Kuningan dan Pancoran tanggal 13
Februari 2008 dan tanggal 11 November
2011.
13 Februari 2008
Sedan
Minibus
Waktu
Bus
0–5
>5
0–5
Truk
>5
Sepeda
Motor
Tron
ton
Jumlah
Kendaraan
0–5
>5
TOTAL
08.00-10.00
413
258
1.815
207
261
283
2.964
142
2.228
4.115
6.343
12.00-14.00
502
213
2.175
298
214
539
3.686
328
2.675
5.278
7.953
17.00-20.00
512
341
2.371
283
380
334
3.473
163
2.883
4.974
7.857
TOTAL
1.427
812
6.359
788
855
1.156
10.123
633
7.786
14.367
22.153
Bus
Truk
11 November 2011
Sedan
Minibus
Waktu
0–5
>5
0–5
>5
Sepeda
Motor
Tron
ton
Jumlah
Kendaraan
0–5
TOTAL
>5
08.00-10.00
1.542
659
2.360
821
174
203
11.753
7
3.902
13.697
17.599
12.00-14.00
1.118
906
4.203
914
113
357
8.755
11
5.321
11.238
16.559
17.00-20.00
2.060
2.130
4.6.23
1.831
122
219
10.764
14
6.683
15.181
21.864
TOTAL
4.720
3.695
11.186
3.566
409
1.092
31.272
32
15.906
40.116
56.022
Sumber : Hasil pengamatan Jumlah kendaran yang melintas di Kuningan dan Pancoran tanggal 13 Februari 2008 dan 11
November 2011.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahan pencemar udara yang berasal dari hasil aktivitas kendaraan bermotor
seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur oksida
(SO2), timbal (Pb), debu, dan kebisingan.
2. Bahan pencemar udara yang berasal dari aktivitas kendaraan bermotor pada
beberapa lokasi pengamatan di DKI Jakarta secara umum rata-rata masih
berada di bawah batas ambang baku mutu udara ambient, kecuali gas
89
karbon monoksida yang telah mencapai 3592,5 (µg/Nm³) di lokasi
pengamatan Jembatan Semanggi dan debu yang telah mencapai 218,10
(g/m³) di lokasi pengamatan gedung Kor Lalulintas.
3. Perkembangan jumlah kendaraan yang melintas di Kuningan dan Pancoran
meningkat 200% (dalam kurun waktu 3 tahun lebih).
STUDI KETERKAITAN PENYEBARAN Pb, DEBU dan CO
DENGAN KESEHATAN MASYARAKAT
Abstrak
Jumlah kendaraan yang beroperasi di Kota Jakarta dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan, hal ini menyebabkan emisi gas buang dari kendaraan
bermotor juga meningkat, khususnya Pb, debu dan CO, yang akan berdampak
negatif terhadap kesehatan masyarakat. Kondisi ini diperparah oleh adanya
kebijakan pembangunan transportasi yang kurang baik, yaitu manajemen
transportasi yang kurang tepat serta tidak memperhatikan aspek kesehatan
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyebaran Pb,
debu dan CO dalam menyusun sistem pengelolaan lingkungan terhadap dampak
risiko pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat setempat.
Metode analisis yang digunakan adalah melalui pengukuran tingkat penyebaran
Pb, debu dan CO dibeberapa titik pengamatan. Hasil penelitian menujukkan
akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam lokasi pengamatan dan dalam
tubuh manusia, kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang baku mutu
lingkungan. Namun kandungan Pb pada manusia kadarnya lebih rendah
dibandingkan dengan yang terakumulasi dalam tanaman. Untuk menurunkan
kadar pencemaran udara terutama Pb yang berasal dari kendaraan bermotor
diperlukan sistem pengelolaan lingkungan yang baik dengan melibatkan semua
pihak melalui beberapa upaya seperti larangan masuk, larangan parkir, mengatur
zona lalu lintas, hari tanpa mengemudi, bersepeda, penerapan teknologi baru, dan
penanaman vegetasi.
Keyword: Penyebaran Pb, debu dan CO
Pendahuluan
Komponen udara terdiri dari campuran dari berbagai macam gas dengan
oksigen merupakan salah satu komponennya,yaitu sekitar 20% berdasarkan volume.
Gas-gas lainnya baik vang terdapat dalam jumlah besar (N 2 , COx, Ar) maupun
yang terdapat dalam jumlah kecil (He, Kr, H 2 , O 3 , CH 4 dan lain-lain) bersamasama oksigen terserap melalui proses pernafasan dan mencapai paru-paru. Ketika
udara yang terhirup mencapai paru-paru, oksigen diserap yang kemudian terikat
dengan hemoglobin, sedangkan gas-gas lain dibuang kembali melalui hidung.
Secara alamiah, udara di atmosfer bukan saja mengandung gas-gas yang bermanfaat
dan gas-gas yang tidak bermanfaat, namun juga mengandung beberapa gas yang
90
91
berbahaya bagi manusia misalnya SO 2 , N0 2 , CO dan H 2 S. Meskipun demikian
keberadaan gas-gas tersebut dalam keadaan alamiah kadarnya sangat kecil,
sehingga tidak membahayakan bagi manusia.
Kota Jakarta yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia memiliki
tingkat aktivitas yang sangat tinggi yang membawa implikasi meningkatnya
mobilitas penduduk, barang dan jasa, maka jumlah kendaraan bermotor juga makin
meningkat. Frekuensi kendaraan di jalan raya makin meningkat, bahkan di titik-titik
tertentu sangat tinggi dan menimbulkan kemacetan DKI Jakarta harus mampu
melayani 20,7 juta penjelasan setiap harinya (Pemprov DKI Jakarta 2010).
Dengan makin banyaknya kendaraan yang beroperasi di Kota Jakarta, maka
emisi gas buang dari kendaraan bermotor juga meningkat, khususnya gas Pb dan
debu. Keberadaan kadar gas-gas tersebut yang semakin meningkat di udara jalan
raya juga akan menyebar akan menyebar ke daerah sekitarnya dan sehagai
akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Kebijakan pembangunan
transportasi yang kurang baik, yaitu manajemen transportasi yang kurang
tepat serta tidak memperhatikan aspek kesehatan masyarakat setempat tentu
akan makin memperburuk dampak negatif tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyebaran Pb, debu
dan CO dalam menyusun sistem pengelolaan lingkungan terhadap dampak resiko
pencemaran udara dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Metode Penelitan
a. Lokasi Penelitian
Pengamatan Pb, debu dan CO dilakukan pada jalan Cawang-Semanggi
dengan 5 titik pengamatan (Gambar 6) Dipilihnya 5 lokasi gedung tempat
pengamatan dan pengukuran, karena 5 lokasi gedung tersebut berada di jalan
Cawang – Semanggi, ramai dilalui kendaraan beroda dua dan empat, serta tujuh
meter di atas permukaan laut. Pengamatan dilakukan pada siang dan sore hari dari
pukul 09.00 – 10.00 WIB dan pukul 13.00-16.00 WIB.
92
b. Pengukuran Debu, Pb dan CO
Pengukuran Debu, Pb dan CO dilakukan sesuai dengan prosedur standar
SNI (Tabel 10). Sampling dan analisis tersebut dilakukan atas kerjasama dengan
Laboratorium Terpadu, IPB, Bogor.
Hasil dan Pembahasan
Studi tingkat penyebaran Pb, debu dan CO dilaksanakan di Jalan Cawang
sampai Jalan Semanggi Provinsi DKI Jakarta. Panjang jalan lokasi penelitian
sekitar 12 km mulai dari arah timur menuju ke barat laut. Secara geografis jalan
tersebut terletak pada 42o32’40” Lintang Selatan dan 106o57’10” Bujur Timur,
terletak pada ketinggian antara 7 m sampai dengan 10 m di atas permukaan laut.
Kesehatan petugas Polantas Metro Jaya yang menderita penyakit ringan
batuk-batuk dan flu sebagai akibat ISPA dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35.
Data Kesehatan Anggota Kor Lalulintas
Metro Jaya
Bunuh
Ingin Pindah
Tahun ISPA Diri
Stress Tempat Tugas
2005
116
2
27
15
2006
98
30
16
2007
65
18
9
2008
43
1
11
6
2009
36
7
3
2010
27
2
2
Sumber : Direktorat Kesehatan Polda Metro Jaya
Data masyarakat yang meninggal akibat CO selama lima tahun dapat dilihat
pada Tabel 36.
Tabel 36. Korban CO dan Tempat Kejadian Perkara
Tahun Korban CO 2005 3 2006 1 2007 1 2008 1 2009 2 2010 1 Sumber : Didserseum
Tempat Ancol (Jakarta), Bandung dan Medan Parangtritis (Jogjakarta) Losari (Makasar) Ancol (Jakarta) Ancol (Jakarta) dan Surabaya Depok 93
Luas obyek penelitian adalah = 9.000 m x 280 m = 2520.000 m2 atau 252
ha. Daerah seluas itu diurus oleh dua walikota kepala pemerintah wilayah Jakarta
Selatan dan Jakarta Pusat. Wilayah itu terbagi menjadi 6 kecamatan yaitu
Kecamatan Tebet, Kecamatan Pancoran, Kecamatan Mampang, Kecamatan Setia
Budi, Kecamatan Kebayoran Baru dan Kecamatan Tanah Abang.
Jumlah gedung dan perkantoran yang telah dibangun oleh pemerintah
sebanyak 870 gedung dan swasta 516 gedung. Untuk mengetahui besarnya
penyebaran Pb, debu dan CO terkait dengan kesehatan di lokasi studi, maka
sebagai parameter adalah besarnya Pb, debu dan CO yang menempel dan terjerap
pada tanaman dan manusia.
Kandungan Pb pada Tanaman.
Berdasarkan hasil survey diperoleh data mengenai jumlah pohon peneduh
jalan raya Cawang – Semanggi dapat diuraikan sebagai berikut :
- Pada ukuran pohon (diameter > 40 cm)
=
617
- Pada jenis ukuran tiang (diameter < 42 cm)
= 910
- Pada jenis ukuran pancang (diameter < 10 cm) = 1340
Jumlah
= 2867 Pohon
Hasil penelitian kondisi kimiawi terhadap parameter Pb yang menempel
pada daun tanaman di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kandungan Pb pada
daun dari masing-masing jenis tanaman menunjukkan nilai yang beragam,
kandungan Pb tertinggi (Pb tanaman pada jarak kurang 10 m dari tepi jalan)
terdapat pada tanaman Sweitenia mahagoni sebesar 6,053 μg/Nm3 dan terendah
pada tanaman Acacia mangium sebesar 4,155 μg/Nm3. Sedangkan pada jarak 1020 m dari tepi jalan, kandungan Pb tertingi terdapat pada tanaman Sweitenia
mahagoni μg/Nm3 dan Kandungan Pb terkecil terdapat pada jenis tanaman
Minusops elengi sebesar 3,470 μg/Nm3, secara rinci kandungan Pb masing-masing
jarak tanam dan jenis tanaman tersaji pada Tabel 37.
94
Tabel 37. Hasil pengukuran kandungan Pb di setiap
jenis tanaman penghijauan tepi jalan tol
Cawang – Semanggi (Februari 2008)
Acacia mangium
Rerata kandungan Pb
tanaman pada jarak
kurang 10 m (ppm)
4,155
Minusops elengi
5,735
3,470
Sweitenia mahagoni
6,053
4,798
Jenis Tanaman
Rerata kandungan Pb
tanaman pada jarak
10 – 20 m (ppm)
3,933
Sumber : Hasil pengukuran.
Kandungan Pb pada daun dari jenis tanaman yang sama menunjukkan
jenis tanaman yang ditanam pada jarak tanam kurang 10 m lebih besar dari
kandungan Pb tanaman pada jarak tanam 10 sampai dengan 20 m dari tepi jalan.
Kandungan Pb yang berbeda pada tanaman yang sama, tetapi jarak dari tepi jalan
tol berbeda sesuai dengan Fardiaz (1992), dan manyatakan bahwa, semakin jauh
dari jalan raya, kandungan Pb di daerah pertanian akan makin rendah. Hal ini
disebabkan oleh ukuran partikel Pb di udara yang semakin jauh jaraknya dari
sumber pencemar, maka ukurannya akan semakin kecil. Pada jarak yang jauh dari
sumber pencemar, Pb yang diakumulasikan oleh daun semakin sedikit. Hal ini
disebabkan jarak yang ditempuh perjalanan Pb dalam perjalannya menuju daun
tanaman cukup jauh sehingga Pb jatuh terlebih dahulu ke tanah sebelum sampai
ke tanaman yang dituju.
Pb yang terjerap pada tanaman berdasarkan hasil pengamatan dengan jenis
tanaman yang digunakan adalah eceng gondok (Eichornia crassppes), kangkung
(Ipomoca reptans) dan genjer (Limmochoris flava). Ketiga jenis tanaman ini
diduga memiliki kemampuan dapat menjerap Pb yang lebih besar dari lingkungan
dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Sampel ketiga jenis tanaman ini di
tempatkan di Gedung Badan Narkotika Nasional (BNN), Kor Lalulintas, di
Gedung Mustika Ratu,Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jembatan
Semanggi Jakarta dan kontrol pengamatan di Kampus Institut Pertanian Bogor
(IPB) Baranang Siang Bogor selama 3 bulan musim kemarau dan musim hujan.
Kandungan Pb dari tiga jenis tanaman tersebut tersaji pada Tabel 38.
95
Tabel 38. Penjerapan kandungan Pb pada sampel
tanaman contoh di lokasi penelitian
selama musim kemarau dan musim hujan
tahun 2008.
K
H
K
H
K
H
K
H
Jembatan
Semanggi
K
H
4
5.5
3.8
5.1
4
4.3
3.3
5.4
4.1
Kangkung
3.8
4.8
4
4.5
3.7
4
3
4.3
Genjer
3.3
4.3
3.2
3.8
3.5
3.9
2.5
3.4
Jenis
Tanaman
Eceng
Gondok
BNN
Lalulintas
Mustika Ratu
LIPI
IPB (Bogor)
(Kontrol)
K
H
6
2.3
3.5
4
5.9
2
3.1
3.8
4.9
1.8
2.1
Keterangan: K= Musim Kemarau, H = Musim Hujan
Tabel 38, terlihat ada perbedaan penyerapan Pb antara musim kemarau dan
musim hujan masing-masing tanaman percobaan tahun 2008. Pada musim hujan
konsentrasi Pb pada ketiga jenis tanaman lebih besar dibanding musim kemarau.
Hal ini disebabkan karena pada musim hujan kandungan air dalam tanah lebih
tinggi dibandingkan di musim kemarau, sehingga ion Pb yang masuk ke jaringan
tanaman lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau. Di sekitar Kampus
IPB Baranang Siang, kandungan Pb baik pada tanaman eceng gondok, kangkung,
dan genjer semakin meningkat dari musim kemarai ke musim penghujan
walaupun kandungan Pb terlihat lebih rendah dibandingkan dengan lokasi
pengukuran lainya. Untuk lokasi pengukuran di sekitar Lembaga Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Mustika Ratu, Kor Lalulintas, dan BNN memperlihatkan
fluktuasi kandungan yang hampir sama pada tiga lokasi baik pada musim hujan
maupun pada musim kemarau.
Jika dibandingkan dengan nilai ambang baku mutu udara ambien yang
diperkenankan khususnya Pb sebesar 0,06 mg/m3 hasil analisis diatas, terlihat
kandungan Pb dalam tanaman telah melewati batas ambang baku mutu udara
ambien yang diperkenankan. Ini menunjukkan bahwa tanaman mempunyai
kemampuan untuk menyerap ion Pb dalam jumlah yang besar dan selanjutnya
akan diakumulasikan dalam tubuh tanaman melalui proses-proses fisiologi yang
berlangsung dalam tanaman itu sendiri. Apabila Pb ini terjerap pada tanaman yang
dapat dikonsumsi oleh manusia, maka keberadaan Pb dalam tanaman tersebut
menjadi ancaman bagi kesehatan manusia.
96
Kandungan Pb pada Rambut Polisi yang bertugas di Lokasi Penelitian
Kandungan Pb pada rambut manusia (petugas kepolisian) dibedakan atas
lama bekerja di lokasi (lama bekerja 0 sampai dengan 1 tahun, 5 sampai dengan
10 tahun, dan 10 sampai dengan 15 tahun) dengan konsentrasi di lima lokasi
masing-masing di BNN, Kor Lalulintas POLRI, Mustika Ratu/Pancoran, LIPI dan
Semanggi. Hasil penelitian kandungan Pb pada rambut pekerja tersaji pada Tabel
39 dan Gambar 14.
Tabel 39. Hasil analisis kandungan Pb pada rambut
polisi yang bertugas di sepanjang jalan
Cawang-Semanggi.
Lama
Bekerja
0–5
Tahun
5 – 10
Tahun
10 – 15
Tahun
BNN
Kor Lalu Lintas
POLRI
Lokasi
Mustika Ratu/
Pancoran
0.25
0.3
0.51
0.05
0.15
0.73
0.81
0.92
0.08
0.33
1.01
0.98
1.02
0.1
0.85
LIPI Semanggi
RATARATA
0,252 0,574 0,792 Sumber: Hasil analisis 2007
Gambar 14. Kandungan Pb pada rambut pekerja sepanjang jalan Cawang-Semanggi.
Tabel 39 dan Gambar 14 menunjukkan bahwa kandungan Pb pada rambut
pekerja di sepanjang jalan Cawang sampai Semanggi meningkat dengan semakin
lamanya orang yang bekerja di lokasi pengamatan yaitu di BNN, Kor Lalulintas,
97
Mustika Ratu, LIPI dan Semanggi. Ini menunjukkan bahwa lamanya waktu
tinggal di suatu lokasi pencemaran Pb, orang yang bersangkutan akan makin
banyak menyerap partikel Pb ke dalam tubuh yang kemudian diakumulasi pada
rambut. Kenaikan konsentrasi Pb terjadi lebih cepat pada lokasi Semanggi, Kor
Lalu lintas POLRI, dan Mustika Ratu, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah
adalah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tingginya konsentrasi Pb
di dalam rambut di empat lokasi tersebut di atas disebabkan oleh tingginya tingkat
kemacetan kendaraan terutama pada jam-jam sibuk.
Konsentrasi Pb pada rambut di lokasi-lokasi penelitian masih relatif kecil
(lebih kecil dari 2,8-4,8 ppm) yang menunjukkan tingkat pencemaran Pb terhadap
orang-orang yang bekerja di lokasi tersebut masih aman. Namun demikian,
konsentrasi ini akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu dan
tingkat kemacetan di setiap lokasi pengamatan sehingga pada suatu saat
keberadaan Pb akan menjadi tidak aman bagi orang-orang yang berada di sekitar
lokasi studi karena dapat mengganggu kesehatan mereka.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut di atas, terdapat kecenderungan
terjadinya kenaikan konsentrasi Pb pada rambut dengan semakin lamanya orang
bekerja di suatu lokasi yang tercemar dengan logam berat Pb. Hal ini disebabkan
karena lama pemaparan zat pencemar terhadap tubuh seseorang dipengaruhi oleh
waktu pemaparan. Kandungan logam berat Pb pada rambut tidak mutlak berasal
dari makanan, minuman ataupun udara yang terhirup masuk ke dalam tubuh,
tetapi bisa juga menempel langsung di rambut, bila udara di lingkungan
mengandung Pb. Hubungan antara lokasi dengan konsentrasi Pb dalam rambut
disajikan seperti dalam Gambar 14.
Dari Tabel 35 telah menunjukan signifikan antara kesehatan anggota
Polantas dengan penemuan Pb pada rambut. Kesehatan warga masyarakat Pal
Merion pada tahun 2005 yang menjerab Pb, menurut Satriyo (2004) telah
membuat warga menjadi pemarah dan pada anggota kepolisian Trigger Happy.
Gambar 15, menunjukkan bahwa hubungan antara lokasi dengan
konsentrasi Pb pada rambut dapat dijelaskan semakin lama tercemar logam Pb,
maka konsentrasi Pb dalam rambut semakin tinggi.
98
Gambar 15. Grafik hubungan antara lokasi dengan konsentrasi Pb pada
rambut.
Unsur Timbal / Pb masuk ke dalam tubuh terutama melalui saluran
pencernaan dari makanan dan minuman, tetapi juga melalui pernafasan atau
melalui kulit dari udara yang tercemar Pb. Semua bahan pangan alami
mengandung Pb dalam konsentrasi yang kecil dan dalam proses mempersiapkan
makanan konsentrasi Pb mungkin akan bertambah. Pb di dalam rambut, selain
berasal dari makanan, udara, dan air, Pb dalam rambut dapat berasal dari cat
rambut yang mengandung asetat dan dapat juga berasal dari debu (Cohen dan Roy
1991).
Sumber utama pencemar Pb di udara adalah kendaraan bermotor, industri
dan sumber yang ada secara alamiah. Rustiawan (1994) menyatakan 60 sampai
70% pencemar udara di perkotaan berasal dari kendaraan bermotor, dan salah
satunya adalah Pb. Emisi alami juga melepaskan Pb terutama akibat erosi tanah
dan aktivitas gunung berapi.
Hasil Penelitian Pb di tahun 2011
Gambar 16, 17, 18. Perbandingan hasil penelitian Pb (ppm), debu (g/m³)
dan bising (dBA) pada tahun 2008, 2011 dan Desember 2011.
99
Pengukuran udara tanggal 13 Februari 2008.
Debu (ug/Nm3)
Kebisingan (db A)
Pb (ug/Nm3)
Gambar 16. Hasil pengamatan,pengukuran udara tanggal 13 Februari 2008.
Pengukuran udara tanggal 11 November 2011
Gambar 17. Pengukuran udara tanggal 11 November 2011
100
Pengukuran udara tanggal 5 Desember 2011
Gambar 18. Hasil pengamatan pengukuran udara tanggal 5 Desember 2011.
Adapun hubungan antara peningkatan pencemaran udara yang berasal dari
kendaraan bermotor terhadap kesehatan manusia khususnya penyakit ISPA seperti
pada Tabel 40 dan Gambar 19.
Tabel 40. Kasus penyakit ISPA akibat peningkatan
jumlah kendaraan di beberapa lokasi
pengamatan di Jakarta tahun 2008.
No.
Lokasi
Rata-rata Jumlah
kendaraan per bulan
Kasus
Penyakit
ISPA
1.
BNN
885,6
1,346
2.
Kor Lalulintas
871,2
489
3.
LIPI
883,44
1,489
4.
Mustika Ratu
873,36
950
5.
Jembatan Semanggi
892,08
1,907
101
relasi antara jumlandaraan erbulan pada lokasi berbeda (x) dengan Kasus Penyakit
ISPA (y)
Gambar 19.
Regresi dan Korelasi antara jumlah
peningkatan penyakit ISPA di Jakarta.
kendaraan
terhadap
Berdasarkan hasil analisis regresi linier seperti pada Gambar 19
menunjukkan bahwa terjadi hubungan linier antara jumlah kendaraan bermotor di
Kota DKI Jakarta dengan gangguan kesehatan masyarakat dimana parameter
gangguan kesehatan masyarakat yang digunakan adalah penyakit Inpeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA). Dengan kata lain semakin banyak kendaraan yang
beroperasi maka gangguan kesehatan manusia akan semakin meningkat dengan
persamaan regresi Y = 0,059X – 51.086 dan koefisien korelasi R2 = 91,98 %.
Lokasi pengamatan yang memiliki kasus gangguan kesehatan ISPA
tertinggi lebih banyak terjadi di Semanggi dengan jumlah kasus mencapai 1.907
kasus, sedangkan jumlah kasus tersendah terjadi di lokasi pengamatan Kor
Lalulintas MT. Haryono dengan jumkah kasus yang hanya mencapai 489 kasus.
Sedangkan hubungan antara jumlah kendaraan bermotor terhadap
peningkatan gangguan pendengaran seperti pada Tabel 41 dan Gambar 20.
102
Tabel 41. Hubungan antara jumlah kendaraan
bermotor dengan gangguan pendengaran
masyarakat
pada
beberapa
lokasi
penelitian.
No.
Lokasi
Bising
(dBA)
Rata-rata Jumlah
kendaraan per
Jam
Kasus
Gangguan
pendengaran
1.
BNN
74,5-76,3
885,6
67
2.
Kor Lalulintas
74,6-76,3
871,2
9
3.
LIPI
69,8-70,4
883,44
65
4.
Mustika Ratu
71,8-72,6
873,36
26
5.
Jembatan Semanggi
68,7-69,5
892,08
80
ubungan antara JumlahKenraan pada setiap Loaksi Berbeda (x) dengan
Gangguan Pendengaran (y)
Gambar 20. Regresi dan Korelasi antara jumlah kendaraan terhadap peningkatan
berlalulintas pada gangguan pendengaran masyarakat di DKI
Jakarta.
Berdasarkan hasil analisis regresi linier seperti pada Gambar 20 juga
menunjukkan bahwa terjadi hubungan linier antara jumlah kendaraan bermotor di
Kota Jakarta dengan gangguan pendengaran masyarakat di Kota Jakarta. Dengan
kata lain semakin banyak kendaraan yang beroperasi maka gangguan pendengaran
akan semakin meningkat dengan persamaan regresi Y = 0,0034X – 2.942,1 dan
koefisien korelasi R2 = 95,56 %.
103
Untuk kasus gangguan pendengaran, kasus terbanyak terjadi di lokasi
pengamatan sekitar Semanggi dengan jumlah kasus sekitar 80 kasus gangguan
pendengaran dan terendah di lokasi pengamatan Kor Lalulintas MT. Haryono.
Pb sebagai salah satu unsur polutan udara sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia. Mengingat bahayanya yang sangat besar bagi kesahatan, maka mutlak
dikurangi penggunaannya. Beberapa produk bensin tanpa Pb sudah diperkenalkan
mulai tahun 1985, yaitu Super TT. Super TT adalah bahan bakar dengan bilangan
oktan (RON) sebesar 98. Jenis lain yaitu Petro 2T yang dirancang khusus untuk
sepeda motor, adalah bensin tanpa Pb yang dikeluarkan oleh PT Sigma Rancang
Perdana. Di awal tahun 1998, produk bensin tanpa Pb yang lain adalah BB2L
(Bensin Biru 2 Langkah) dengan harga yang lebih murah daripada premium. Jika
membandingkan terhadap bilangan oktan, Super TT mempunyai RON 98,
premium 88 dan premix 94. Artinya produk tanpa Pb pun mampu memperpanjang
oktan melebihi bensin yang masih mengandalkan unsur Pb. Bensin premium
sendiri masih mengandung TEL 0,3 l dan premix 0,45 l (KPBB 1999).
Kesimpulan
1.
Masih dapat dibuktikan adanya jerapan Pb pada tanaman eceng gondok 5.05,
kangkung 4,05 dan 4,35 genjer pada penelitian tahun 2008.
2.
Pb yang terjerap pada rambut petugas ditandai dengan waktu lamanya mereka
bertugas. Lama bertugas 10 sampai 15 tahun di jalan tol terdapat 0,792
dibandingkan dengan 0,252 yang baru bertugas selama kurang dari lima
tahun.
3.
Regresi dan korelasi antara jumlah kendaraan berlalulintas dengan gangguan
pendengaran yaitu menggambarkan semakin banyaknya berlalulintas maka
makin besar gangguan pendengaran pada masyarakat disekitarnya.
4.
Pb digambarkan menurun sebagai hasil dari regulasi larangan mobil
berpolutan masuk kota (Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005).
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PENCEMARAN UDARA Pb,
debu dan CO DARI SEKTOR TRANSPORTASI
DARAT
Abstrak
Dalam rangka merencanakan kebijakan pembangunan moda transportasi
yang tepat di masa akan datang, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah
pengendalian lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di Jakarta.
Penyusunan kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO dari
sektor transportasi darat diharapkan bisa menjadi masukan dalam membuat suatu
kebijakan yang tepat di masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk
menyusun kebijakan manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara.
Metode analisis dilakukan melalui pendekatan AHP (Analytical Hierarchy
Process). Alternatif kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan
wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah pembatasan usia
kendaraan penyebab polusi. Aspek mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perlu mendapat prioritas kedua dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak
pencemar udara di Jakarta ke depan. Faktor yang paling berpengaruh dalam
pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan
adalah keberadaan vegetasi untuk menyerap polutan. Aktor yang dianggap
memiliki peranan paling penting dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak
pencemar udara di Jakarta adalah Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup dan
Dinas Perhubungan Darat.
Keyword: Kebijakan pengelolaan lingkungan udara, AHP (Analytical Hierarchy
Process).
Pendahuluan
Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk
hidup dan keberadaan benda-benda lainnya, sehingga udara merupakan sumber
daya alam yang perlu dilindungi dan pemanfaatannya harus dilakukan secara
bijaksana. Untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan maka pengendalian
pencemaran udara menjadi sangat penting dilakukan. Pencemaran udara diartikan
dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami penurunan mutu dalam
penggunaannya yang akhirnya tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan
fungsinya.
Seiring dengan pesatnya laju pembangunan di Kota DKI Jakarta, maka
frekuensi kendaraan di jalan raya juga semakin tinggi, yang menyebabkan laju
emisi gas buang dari kendaraan juga semakin meningkat. Dengan demikian kadar
104
105
gas-gas tersebut di udara di jalan raya semakin meningkat dan akan menyebar ke
wilayah di sekitarnya dan sebagai akibatnya dapat mengganggu kesehatan
masyarakat. Kebijakan pembangunan transportasi yang kurang baik serta tidak
memperhatikan aspek kesehatan masyarakat tentu akan memperburuk dampak
negatif yang ditimbulkan.
Dalam rangka merencanakan kebijakan pembangunan transportasi yang
tepat di masa akan datang, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah
pengendalian lingkungan wilayah dampak pencemaran udara di DKI Jakarta.
Perencanaaan kebijakan pengendalian pencemaran udara tersebut tentunya
memerlukan berbagai masukan dan informasi dari berbagai pihak yang terkait.
Pengkajian dan perumusan kebijakan ini tentunya akan dikaitkan dengan
kegiatan pembangunan di berbagai sektor lainnya. Penyusunan kebijakan
manajemen lingkungan wilayah dampak pencemaran udara ini diharapkan bisa
menjadi masukan dalam membuat suatu kebijakan yang tepat di masa yang akan
datang. Penelitian bertujuan untuk kebijakan manajemen lingkungan wilayah
dampak pencemaran udara di Kota Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor
khususnya Pb, debu dan CO. Metode yang digunakan dalam menyusun kebiakan
pengelolaan pencemaran udara ini adalah Analisis Hirarki Proses (AHP).
Menurut Saaty (1980), teknik komparasi berpasangan yang digunakan
dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden.
Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik
permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh
anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement). Struktur Hirarkhi
AHP Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Wilayah Dampak Pencemar Udara
di Jakarta tersaji pada Gambar 21.
106
Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Pb dan
debu dari sektor transportasi darat
Fokus
Kesehatan
Masyarakat
Masyarakat
Kesadaran
Masyarakat
Dinas
Perhub
DLHK
Pemanfaatan
Kend. Layak Pakai
Regulasi Kendaraan
yang Rendah emisinya
Untuk Masuk Kota
Keberadaan
RTH
Pengawasan
Secara Berkala
Kepolisian
Penertiban Sumber
Pencemar
Pembatasan Usia
Kendaraan Penyebab
Polutan
Jumlah Kendaraan
Bermotor
Dinas
Kesehatan
Mempertahankan RTH
Perluasan
Ruang Terbuka
Hijau (RTH)
Faktor
Aktor
Memperketat
Perijinan Kend
Pemberian Insentif &
Disinsentif Pengusaha
Angkutan Umum
Aspek
Alternatif
Kebijakan
Gambar 21. Hirarkhi AHP kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu
dan CO dari sektor transportasi darat.
Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu dan CO
Dari Sektor Transportasi Darat
Alternatif Keputusan Untuk Menyusun Kebijakan Pengelolaan Pencemaran
Udara Pb, debu dan CO Dari Sektor Transportasi Darat Di Jakarta
Kendaraan bermotor sebagai salah satu sarana transportasi di daerah,
merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran udara. Emisi gas buang
yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara
yang berasal dari sumber yang bergerak. Oleh karena itu emisi gas buang
kendaraan bermotor harus dikendalikan agar tidak mencemari udara. Begitu juga
dengan pencemaran udara yang diakibatkan dari sumber tidak bergerak yang
berasal dari kegiatan industri atau usaha lain. Masing-masing sumber pencemaran
menghasilkan bahan pencemar yang berbeda-beda baik jumlah, jenis dan
pengaruhnya bagi kehidupan. Pencemaran udara yang terjadi sangat ditentukan
oleh mutu bahan bakar yang digunakan, teknologi yang digunakan, serta
pengawasan yang dilakukan.
107
Agar dapat melindungi mutu udara ambient diperlukan upaya-upaya
pengendalian terhadap sumber-sumber pencemaran udara yang berguna untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup, mengendalikan pemanfaatan sumber daya
secara bijaksana untuk mencapai mutu udara yang memenuhi syarat bagi
kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengendalian pencemaran udara
ini dilakukan baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan yang meliputi upaya
pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan mutu udara dan
upaya pencegahan terhadap sumber pencemar.
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa pembatasan usia kendaraan
penyebab polutan memberikan nilai skoring tertinggi yaitu sebesar 0,38 dan
selanjutnya perluasan areal RTH, mengatur rute kendaraan berpolutan untuk
masuk kota dan pemberian insentif dan disinsentif pengusahan angkutan umum
kota dengan nilai skoring masing-masing 0,228 ; 0,219 dan 0,173 seperti terlihat
pada Gambar 22.
Gambar 22. Hirarkhi AHP Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara Pb, debu
dan CO Dari Sektor Transportasi Darat di Jakarta.
108
Apabila dilihat dari nilai skoring masing-masing alternatif kebijakan,
maka alternative kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan
wilayah dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah pembatasan usia
kendaraan penyebab polusi karena memberikan nilai skoring yang paling tinggi
dibandingkan alternative kebijakan lainnya. Alternatif ini bisa menjadi alternative
kebijakan yang dapat dilakukan dalam menanggulangi dampak pencemaran udara
di Jakarta akibat kendaraan bermotor. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kor
Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
(Direktorat LLAJR Ditjen Hubdar 1998) yang menyebutkan bahwa jumlah gas
buang yang diemisikan oleh kendaraan menurutnya ditentukan oleh kecepatan
kendaraan, umur kendaraan dan perawatan kendaraan.
Dari hasil analisis Hirarki Proses dapat memberikan pilihan atau
pendapat kepada skenario:
1. Pengurangan mobil bertimbal dengan regulasi kendaraan bremisi rendah di
ijinkan masuk kota DKI Jakarta.
2. Perluasaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
3. Pembatasan usia pakai kendaraan.
4. Regulasi pemberia insentif dan disinsetif kepada pengusaha angkutan yang
menggunakan kendaraan beremisi rendah.
Menurut Takashi moguchi (1999) ada beberapa pertimbangan yang
mendasari bahwa alternative kebijakan pembatasan usia kendaraan ini menjadi
prioritas utama, yaitu tingkat kelayakan dan umur dari kendaraan sangat
mempengaruhi kualitas udara dalam hal ini asap kendaraan (knalpot) yang
dihasilkan. Selain itu pembatasan umur kendaraan bermotor dilakukan dalam
rangka mengurangi jumlah kendaraan bermotor, sehingga kebijakan ini dapat
mengurangi kemacetan di kota Jakarta, khususnya di lokasi penelitian. selain
dapat menekan jumlah kendaraan bermotor, cara itu dapat menstabilkan jumlah
kendaraan bermotor dalam kurun waktu tertentu. Terutama jika cara itu bisa
diberlakukan untuk angkutan umum. Jika jumlah kendaraan stabil atau bahkan
bisa dikurangi, dengan sendirinya asap akan berkurang.
109
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan
wilayah dampak pencemaran udara di Jakarta adalah pemanfaatan kendaraan
layak pakai, melakukan pengawasan secara berkala, melakukan penertiban pada
sumber
pencemaran,
Mempertahankan
Ruang
Terbuka
Hijau
(RTH),
Memperketat Perijinan Kendaraan dan industry.
Berdasarkan hasil analisis AHP, memperlihatkan bahwa Dinas Kesehatan
dan Dinas Lingkungan Hidup memegang peranan sangat penting dalam
pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara di DKI Jakarta. Hal ini
terlihat dari nilai skoring yang tertinggi pada kedua aktor ini yaitu sebesar 0,2225.
Selanjutnya diikuti oleh Masyarakat, Dinas Perhubungan dan Polisi dengan nilai
skoring masing-masing 0,201; 0,141; 0,108.
Pencemaran udara merupakan masalah yang dapat bersifat lokal, nasional
dan bahkan internasional. Untuk mengendalikannya perlu pendekatan yang
meliputi berbagai lintas sektor. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat
merupakan bagian yang pokok dalam usaha dibidang kesehatan seperti dijelaskan
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan antara lain perlu
dilakukan di tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan
umum dan lingkungan lainnya.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
pasal 2, ayat (3) bidang kesehatan dalam hal pengendalian dampak pencemaran
udara merupakan salah satu upaya pengawasan epidemiologi dan pemberantasan
penyakit yang berbasis lingkungan, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas
(ISPA) dan Tuberkulosis Paru, serta kejadian berbagai kasus pencemaran yang
merupakan “New Emerging Diseases” seperti: legionellosis dan sick building
sindrom.
Implementasi Perda No.2 tahun 2005 Sebagai Landasan Hukum oleh Pemda
DKI Jakarta dalam Pengendalian Pencemaran Udara.
Terlaksananya program car freeday setiap bulan, larangan merokok di
tempat umum, dan kendaran umum, regulasi kendaran bertonase lebih dari 30 ton
110
melintas dalam kota pada siang hari adalah antara lain bentuk-bentuk pengelolaan
pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta. Kegiatan ini secara terus menerus
dipantau oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI
Jakarta. Adapun tataran kewenangan pengawasan dan kebijakan pengelolaan
pencemaran udara adalah sebagai berikut:
1. Pusat
Pada dasarnya kewenangan Pusat tersebut lebih besar pada penetapan
kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria dan prosedur dan sangat terbatas
pada kewenangan pelaksanaan.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 25 Pasal 2 ayat (2), Pemerintah Pusat
berwenang dalam pengaturan pengendalian dampak pencemaran udara, terutama
didalam penentuan pedoman, akreditasi, dan surveilans epidemiologi.
Pencemaran udara yang terjadi lintas propinsi dan internasional menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat, termasuk pencemaran udara lintas Kabupaten /
Kota yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah daerah setempat maupun
propinsi.
Selanjutnya sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1277/Menkes/SK/XI/2001 tetang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan RI didalam menyelenggarakan pengendalian dampak pencemaran
udara mempunyai fungsi menyiapkan bahan kebijakan teknis, penyusunan standar
teknis, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta penyiapan
evaluasi di bidang dampak pencemaran udara.
2. Propinsi DKI Jakarta
Sesuai dengan pembagian kewenangan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 25 tahun 2000, pasal 3 ayat (1) dalam penanggulangan dampak
pencemaran udara Propinsi berwenang :
1. Melaksanakan surveillans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit
dan kejadian luar biasa,
111
2. Melaksanakan penyuluhan dan kampanye.
Apabila kabupaten / kota tidak mampu melaksanakan pengendalian
pencemaran udara di wilayahnya, menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi
DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda nomor 2 tahun 2005 sebagai Dasar Hukum
Manajemen Pengendalian Udara.
3. Kabupaten / Kota
Semua kegiatan pengendalian pencemaran udara yang bukan wewenang
pemerintah pusat dan propinsi menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten /
kota.
Menteri
Kesehatan
RI
melalui
Pedoman
Pengendalian
Dampak
Pencemaran Udara (2002) menjelaskan bahwa Pembinaan pengendalian dampak
pencemaran udara dapt dilaksanakan melalui pendekatan :
1. Daerah Binaan
Menentukan beberapa daerah binaan untuk melaksanakan pengawasan
pencemaran udara secara intensif. Penentuan lokasi daerah binaan diprioritaskan
pada daerah binaan yang telah ada yaitu daerah yang melaksanakan program
kabupaten / kota sehat.
2. Program Kemitraan
Menciptakan lingkungan udara bersih dengan mengikut sertakan dalam
pelaksanaan program yang mendukung pengendalian pencemaran udara, seperti
program langit biru. Dalam pelaksanaan kegiatannya bermitra dengan sektor yang
terkait, seperti Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan dan lain-lain. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
melaksanakan kegiatan yang belum ditangani oleh Kementrian Lingkungan Hidup
tetapi berdampak kepada kesehatan masyarakat.
3. Promosi Kesehatan
Meningkatkan promosi tentang pemeliharaan kualitas udara dilakukan
melalui penetapan strategi komunikasi yang tepat sesuai dengan sasaran, seperti:
seminar, lokakarya, penulisan pada media massa, media elektronik, dan media
cetak.
112
4. Pendekatan Epidemiologi
Mengendalikan dan menanggulangi kasus pencemaran udara dengan cara
pendekatan epidemiologi, dan dilaksanakan secara lintas program serta lintas
sektor. Pendekatan ini difokuskan pada simpul III dan IV, dengan tidak
melupakan simpul I dan II terutama pada indoor polution, serta mengutamakan
kelompok resiko tinggi, yang tinggal dipemukiman, fasilitas / sarana transportasi,
tempat-tempat umum, lingkungan kerja perkantoran & industri dan lingkungan
lainnya.
Penyakit berbasis lingkungan yang berkaitan dengan udara antara lain
adalah Tuberkulosis Paru, Infeksi Saluran Pernafasan Atas, legionellosis, kanker,
kecelakaan, kardiovaskuler, gangguan sistim syaraf dan sebagainya. Pendekatan
paradigma sehat adalah upaya yang menekankan kepada upaya promotif preventif dibanding upaya kuratif - rehabilitatif. Dengan demikian penyakitpenyakit dapat dicegah melalui pengendalian pada faktor sumber penyebab
kejadian. Agar pengendalian lebih efisien dan efektif perlu ditetapkan suatu
strategi khusus.
5. Pemberdayaan Masyarakat dan Swasta
Mendorong dan mengembangkan peran serta masyarakat / swasta dalam
peningkatan kualitas udara pada lingkungannya. Dalam hal ini dilakukan dengan
memberikan informasi / data dampak lingkungan terhadap kesehatan dan
produktivitas ekonomi masyarakat, yang dimaksudkan masyarakat adalah
termasuk tokoh masyarakat, pakar dan industriawan. Pemberdayaan masyarakat
dalam pengendalian dampak pencemaran udara mutlak diperlukan, model
pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kota sehat.
Di perkotaan pencemaran udara terutama bersumber dari sektor
transportasi disamping sektor industri, sedangkan di pedesaan pencemaran udara
berasal dari kebakaran hutan dan bahan bakar yang digunakan untuk memasak di
dapur yang menggunakan kayu bakar dimana hasil sisa pembakarannya dapat
mengganggu kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dalam
rangka
mendorong
pelaksanaan
pengendalian
pencemaran
udara
secara
terintegrasi antar sektor dan program sesuai tugas, fungsi dan kewenangan
113
masing-masing, maka perlu ada koordinasi jajaran kesehatan baik di daerah
Propinsi maupun daerah kabupaten / kota dalam hal ini di DKI Jakarta.
Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan
Umum (2005) ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
pencemaran udara, yaitu:
a) Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan
Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku,
Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll).
b) Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media.
c) Penegasan model kerjasama antar stake holders.
d) Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk meningkatkan
apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan
terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah.
Untuk dapat melaksanakan pencegahan, pengawasan dan penanggulangan
pencemaran udara, maka pada setiap kegiatan harus ada unit yang menangani
masalah pengendalian pencemaran udara. Apabila dari hasil pengamatan
pencemaran udara ternyata telah jauh melewati baku mutu lingkungan yang
berlaku, dan juga dijumpai adanya keluhan masyarakat berupa kejadian penyakit
yang diduga berkaitan dengan sumber pencemaran, maka Dinas Kesehatan
setempat dapat melakukan kegiatan Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan.
Dipihak lain Sektor Kesehatan dapat melakukan uji petik untuk mengetahui
kondisi kualitas udara dan dampak kesehatan yang terjadi pada daerah yang
diduga mengalami penurunan kualitas udara. Hasil uji petik oleh tingkat Pusat ini
dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan pedoman, kriteria dan standar
yang berkaitan dengan pengendalian dampak pencemaran udara.
Sementara Saidari dari Kementrian Lingkungan Hidup dalam Iyan (2006)
menambahkan, sekitar 70-80 persen kontribusi pencemaran udara di kota besar
berasal dari sektor transportasi, yakni sebanyak 81 persen energi dihabiskan di
sektor tranportasi. Oleh karena itu Kementrian Lingkungan Hidup telah
menetapkan kebijakan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak.
Meliputi pengembangan standar emisi dan kebisingan kendaraan bermotor sesuai
114
perkembangan teknologi, pengadaan bahan bakar bersih (bensin tanpa timbal,
solar berkadar sulfur rendah, bahan bakar alternatif) pengembangan kapasitas
daerah dan peran masyarakat melalui pemeriksaan dan perawatan kendaraan
bermotor, manajemen transportasi dan mendorong peralihan transportasi ke arah
angkutan masal. Ditambahkan, untuk mendorong masing-masing kota agar
menjaga wilayahnya dari pencemaran, pemerintah menyelenggarakan penilaian
kota bersih dan kotor. Bagi kota terbersih mendapat Adipura. Dalam penghargaan
Adipura tersebut dilakukan penetapan kriteria dan indikator manajemen
transportasi berkelanjutan untuk penilaian kualitas udara kota-kota besar di
Indonesia.
Sebagai
perwujudan
kewenangan
yang
dimilikinya,
KLH
telah
mengeluarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003
tentang Baku Mutu Emisi Kendaraan Tipe Baru. Dalam SK tersebut dinyatakan
bahwa mulai tahun 2005 setiap kendaraan dengan tipe baru wajib mematuhi
standar emisi EURO II, sedangkan tipe yang sedang berjalan diberi kesempatan
hingga 2007. Dengan demikian, mulai 2007 setiap kendaraan yang dijual di
Indonesia harus memenuhi standar EURO II.
Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa titik
pengamatan di Jakarta, diperoleh hasil bahwa kendaraan bermotor merupakan
sumber utama pencemaran udara. Berbagai sumber pencemar udara yang
dihasilkan oleh kendaraan bermotor seperti Hidrokarbon (HC), Karbonmonoksida
(CO), Sulfur Dioksida (SO 2 ), Nitrogen Oksida (NO 2 ), Timbal dan debu, serta
kebisingan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dirumuskan
kebijakan “pengelolaan lingkungan pencemar udara di DKI Jakarta melalui
pembatasan usia pakai kendaraan bermotor”.
Menurut Syafruddin (2005), strategi pembatasan usia kendaraan baik
kendaraan pribadi maupun kendaraan umum akan lebih efektif dalam mengurangi
pencemaran udara di kota Jakarta. Pembatasan usia kendaraan untuk angkutan
115
umum 10 tahun dan kendaraan pribadi 15 tahun akan mengurangi pencemaran
udara akibat emisi kendaraan bermotor sampai 30 persen. Lebih lanjut Kepala
Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Effendi (2005) mengatakan, selain
untuk menekan tingkat pencemaran udara, pembatasan usia kendaraan bermotor
merupakan bagian dari traffic management. Dikemukakan, di beberapa negara,
pembatasan usia kendaraan bermotor bukan hanya untuk mengurangi pencemaran
udara, tetapi juga menekan jumlah kendaraan yang dapat berimbas pada
kemacetan.
Salah satu faktor besar yang mempercepat pertumbuhan lalu lintas adalah
pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi. Fenomena besarnya jumlah
kendaraan pribadi ini tidak akan menguntungkan dalam upaya penyelesaian
sistem mobilitas perjalanan orang dan barang. Di sisi yang lain, banyaknya
kendaraan berbahan bakar vosil ini akan semakin meningkatkan produksi gas-gas
yang beracun serta gas yang berefek pada pembentukan efek rumah kaca. Padahal
kesemerawutan lalu lintas dan tingginya tingkat polusi di Jakarta itu bersumber
pada buruknya sistem manajemen lalu lintas dan longgarnya aturan layak jalan
kendaraan. Contoh: adanya pembangunan sejumlah mal yang tidak diimbangi
dengan pembenahan sistem manajemen lalu lintas di sekitarnya. Akibatnya, di
lokasi-lokasi keramaian baru itu muncul kesemerawutan baru juga.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman (2007), menyebutkan bahwa
dapat didorong upaya perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan
umum melalui penyediaan park and ride (fasilitas parkir di terminal atau stasiun)
dan perbaikan kualitas layanan angkutan umum. Namun hal yang tak kalah
penting adalah penerapan kebijakan pembatasan operasional kendaraan pribadi
yang diberlakukan pada waktu yang tepat. Dengan kondisi itu, warga Jakarta akan
lebih memilih menggunakan transportasi publik untuk beraktivitas, tentu saja
sarana itu harus memadai dan nyaman.
Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi sendiri sudah banyak
diterapkan di sejumlah negara seperti Thailand dan cukup efektif dalam menekan
lalu lalang jumlah kendaraan di jalan. Saat ini pemerintah dinilai lebih memilih
membangun jalan tol layang dibandingkan membatasi penggunaan kendaraan.
116
Padahal, paradigma membangun jalan tol di kota besar sudah ketinggalan zaman.
(Nurachman 2007).
Strategi pengelolaan lingkungan wilayah pencemar udara di DKI Jakarta
melalui pembatasan usia pakai kendaraan bermotor ini semestinya disusun dengan
mengacu pada kebijakan nasional, dikaitkan dengan kondisi wilayah setempat atas
pertimbangan tingginya beban bahan pencemar udara dan tingkat kemacetan lalu
lintas yang sudah semakin tinggi, serta tingkat kemampuan masyarakat terutama
dalam melakukan peremajaan kendaraan bermotor yang dimilikinya. Ini
dimaksudkan untuk memberi kebijakan umum kepada pemerintah daerah agar
dapat menindak lanjutinya kedalam kerangka program pengelolaan lingkungan.
Untuk mendukung kebijakan pembatasan usia pakai kendaraan bermotor di
Jakarta, maka dalam penerapannya harus didukung oleh beberapa hal antara lain :
1. Dukungan kelembagaan yang kuat oleh berbagai pihak yang terkait.
Permasalahan yang sering menjadi hambatan dalam pengelolaan kendaraan
bermotor adalah ketidak-sinkronan dan tidak terpadunya perencanaan,
penyusunan program dan kegiatan, pemantauan dan evaluasi pembangunan
yang dilakukan berbagai pihak terkait seperti masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah. Hal tersebut semakin rumit manakala masih ada fanatisme egosektoral.
2. Dukungan dana dan finansial dalam pembatasan usia kendaraan bermotor
yang beroperasi di Jakarta. Implementasi program ini sangat tergantung dari
ketersediaan dana dari berbagai sumber pendanaan terutama anggaran
pemerintah melalui pemberian dana insentif kepada pengusaha angkutan yang
harus meremajakan kendaraannya dengan modal yang sangat minim
kendaraan. Kecilnya dana yang dimiliki pemilik kendaraan bermotor menjadi
faktor penyebab kurang optimalnya upaya pengelolaan lingkungan yang dapat
dilakukan melalui pengurangan emisi kendaraan bermotor dengan membatasi
usia kendaraan yang layak pakai.
3. Penataan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku yang melanggar
aturan
yang
telah
disepakati
bersama.
Instrumen
pengawasan
dan
pengendalian untuk perlidungan lingkungan dari beban pencemar udara akan
117
lebih optimal baik jika landasan undang-undang dan/atau peraturan undangundangan yang ada tidak menimbulkan kesenjangan khususnya yang
menyangkut tentang kewenangan dan tanggung jawab, pembedaan sanksi
administrasi dan sanksi pengadilan. Hal ini pula harus didukung oleh
komitmen yang kuat dari aparat yang berwenang dalam penegakan hukum
penerapan kebijakan pembatasan usia kendaraan.
Kebijakan Pemda DKI dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan Pengendalian
Pb Kendaraan Bermotor
Berkaitan
dengan
sistem pengelolaan
lingkungan
terutama
pada
lingkungan udara tercemar akibat gas buang kendaraan bermotor, berbagai upaya
yang dapat dilakukan, antara lain :
a. Larangan Masuk Truk dan Bis
Kebijakan larangan masuk pada kendaraan-kendaraan tertentu di Jakarta
telah dilaksanakan seperti melarang semua kendaraan masuk pada jalan-jalan
protokol pada hari-hari tertentu, melarang kendaraan melewati jalan-jalan tertentu
kecuali pada kendaraan berpenumpang tiga atau lebih pada jam-jam tertentu.
Kebijakan larangan kendaraan masuk pada jalan-jalan tertentu telah lama
diterapkan pada beberapa Negara seperti di Buenos Aires. Menurut Moore (2008)
pada tahun 1977 Buenos Aires melarang kendaraan pribadi memasuki jalan-jalan
pusat keramaian kota dari pukul 10 pagi sampai 7 malam pada hari-hari kerja. Bus
dan taksi diperbolehkan hanya pada beberapa jalan tertentu. Larangan ini
mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara yang disebabkan oleh satu
juta orang yang memadati pusat kota Buenos Aires setiap hari kerja.
Selanjutnya menurut Moore (2008) larangan bagi mobil secara sebagian
atau total sudah pula diberlakukan di sebagian besar kota besar Italia, termasuk
Roma, Florensia, Napoli, Bologna, dan Genoa dan di kota-kota kecil. Dari pukul
7.30 pagi sampai 7.30 malam, hanya bus, taksi, kendaraan pengirim barang, dan
mobil-mobil pemilik rumah di daerah itu yang boleh memasuki daerah pusat
Roma dan Florensia. Larangan serupa juga diberlakukan di Athena, Amsterdam,
Barcelona, Budapest, Kota Mekiko, dan Munich. Dalam waktu sepuluh tahun
118
mendatang Bordeaux, Prancis, berniat menghapus kendaraan bermotor dari separo
jalan-jalan di kota ini, dan memberikan jalan-jalan itu pada para pejalan kaki dan
pengendara sepeda.
b. Larangan Parkir
Larangan parkir bertujuan untuk membatasi jumlah mobil yang boleh
parkir di suatu daerah, tetapi tidak berpengaruh apapun pada jumlah mobil yang
boleh lewat. Perda nomor 2 tahun 2005 Kota Jakarta mengeluarkan kebijakan
untuk melarang kendaraan parkir pada tempat-tempat tertentu seperti di pusatpusat keramaian, di pingir-pinggir jalan raya atau di kawasan wisata. Cara ini
bertujuan untuk mengatasi berlimpahnya kendaraan di pusat-pusat keramaian
sekaligus sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara.
c. Mengatur Zona Lalu Lintas
Mengatur zona lalu lintas juga merupakan salah satu cara menurunkan
pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Ini dilakukan dengan
membatasi kendaraan-kendaraan tertentu seperti truk untuk masuk ke pusat kota
tetapi hanya diperbolehkan untuk melewati pinggiran kota.
Menurut Moore (2008) di Gothenburg Swedia sejak tahun 1970,
pemerintah setempat membagi pusat kotanya menjadi lima sektor berbentuk
pastel sebagai suatu cara untuk membatasi lalu lintas yang lewat dan
menggalakkan transportasi umum. Kendaraan darurat, angkutan lokal masal,
sepeda dan moped dapat melintas dari satu zona ke zona lain, tapi mobil tidak
dapat. Berkurangnya kepadatan di pusat kota Gothenburg telah menimbulkan
layanan transit yang lebih baik dan tingkat kecelakaan yang lebih rendah.
d. Hari Tanpa Mengemudi
Cara ini juga merupakan cara yang efektif dalam menurunkan beban
pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Pada akhir 1991, Roma,
Milano, Napoli, Turino, dan tujuh kota lain di Italia mencanangkan "perang"
terhadap pencemaran dengan cara membatasi jumlah mobil di jalan. Dalam
peraturan ini, mobil berplat nomor ganjil dilarang berjalan di satu hari, sedang
119
mobil berplat nomor genap dilarang berjalan hari berikutnya. Banyak pengemudi
yang merasa jengkel dengan adanya kekangan dan larangan atas hak mereka
untuk mengemudi, lalu mengabaikan aturan genap-ganjil ini. Dalam satu hari saja
di bulan Desember, para polisi lalu lintas mencatat 12.983 pelanggaran, menilang
para pelanggar aturan yang mengemudi di hari yang salah, atau yang mengubah
plat nomor kendaraan mereka. Namun demikian, dengan penggalakan peraturan
secara keras, menteri lingkungan hidup Italia yakin larangan mengemudi berseling
hari itu dapat mengurangi polusi sebesar 20 sampai 30 persen (Moore 2008).
e. Bersepeda
Membiasakan diri bersepada terutama di kota-kota besar yang padat lalu
lalang kendaraan bermotor selain bertujuan sebagai sarana olaha raga juga efekteif
menurunkan kadar pencemaran udara karena dapat mengurangi jumlah pemakaian
kendaraan bermotor.
Agar upaya ini dapat berjalan dengan baik, perlu dukungan dari
pemerintah untuk menggalakkan bersepeda melalui program khusus seperti
penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan bersepeda secara lengkap dan
memadai, misalnya tersedianya persewaan sepeda dengan uang jaminan yang
akan dikembalikan bagi yang belum memiliki sepeda, bahkan garasi khusus
sepeda dan penyediaan jalan yang khusus untuk dilalui oleh sepeda atau dengan
upaya-upaya lainnya. Semua upaya tersebut dalam rangka untuk lebih
menggalakkan kegiatan bersepeda. Program semacam itu mempunyai dampak
sangat besar terhadap cara orang melihat pilihan yang mereka miliki untuk sarana
transportasi.
f. Penerapan Pembatasan Usia Kendaraan Masuk Kota
Menurut Moore (2008), sejumlah teknologi yang lebih baru menjanjikan
pengurangan emisi cukup besar bila dibandingkan dengan sistem-sistem yang ada
saat ini. Dengan beroperasi menggunakan zat hidrogen, beberapa temuan
mutakhir ini bahkan dapat mencapai tingkat emisi nol, atau sangat mendekati nol,
sampai selisihnya tak dapat diukur dengan piranti yang ada sekarang. Bahkan bila
dioperasikan dengan bahan bakar fosil pun, seperti gas alam, temuan-temuan itu
120
masih mampu mencapai tingkat emisi nol untuk polutan-polutan tertentu, dan
mendekati nol untuk beberapa jenis polutan lain.
g. Penanaman Vegetasi
Menaman vegetasi merupakan salah upaya yang dapat dilakukan untuk
menurunkan kadar pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor.
Vegetasi mempunyai kemampuan yang besar dalam mengabsorpsi bahan-bahan
pencemar. Bahan pencemar yang masuk ke dalam tanaman dapat melalui poripori seperti stomata yang ada pada tanaman atau masuk melalui serapan akar.
Namun permasalahan penerapan kebijakan penanaman vegetasi di kota-kota besar
adalah keterbatasan lahan dimana lahan-lahan kosong di sekitar pinggiran jalan
raya sudah sangat terbatas dan kebanyakan sudah tertutup oleh trotoar sehingga
menyilitkan untuk menanam vegetasi.
Analisis Hirarki Proses Dapat Menyusun Kebijakan Pengelolaan
Pencemaran Udara.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Vegetasi dan manusia dapat menjadi media yang baik bagi terakumulasinya
bahan pencemar udara seperti Pb, debu dan CO yang berasal dari kendaraan
bermotor.
2. Hasil penelitian menujukkan akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam
lokasi pengamatan menunjukan kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang
baku mutu lingkungan. Demikian pula dalam tubuh manusia rata-rata berada
di atas batas baku mutu lingkungan, namun kadarnya lebih rendah
dibandingkan dengan yang terakumulasi dalam tanaman.
3. Keberadaan Pb di udara mempunyai efek toksik yang luas pada manusia
dengan mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan, dan sistem saraf pada
remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan
meningkatkan spermatozoa abnormal, menurunkan Intellegent Quotient (IQ)
121
pada
anak–anak,
menurunkan
kemampuan
berkonsentrasi,
gangguan
pernapasan, kanker paru–paru dan alergi.
4. Untuk menurunkan kadar pencemaran udara terutama Pb, debu dan CO yang
berasal dari kendaraan bermotor diperlukan sistem pengelolaan lingkungan
yang baik dengan melibatkan semua pihak melalui beberapa upaya seperti
larangan masuk, larangan parkir, mengatur zona lalu lintas, hari tanpa
mengemudi, bersepeda, penerapan pembatasan usia kendaraan masuk kota,
penanaman dan pemeliharaan vegetasi.
5. Hasil AHP menunjukan bahwa pembatasan usia kendaraan bermotor melintas
di jalan tol, penanaman vegetasi / RTH, menjadi desain dalam pengelolaan
pencemaran udara terhadap Pb, debu dan CO.
Patokan Dengan Kota Kembar (Sister City)
Pengelolaan polusi di DKI Jakarta adalah mengadopsi pada tata kelola
kota Bern di Swiss dan Kota Den Hagg di Negeri Belanda. Bern mencapai indeks
polutan sebesar 13,75 dan Den Hagg 42,50 dan Jakarta indeks polutannya
mencapai 133,75 (www.numbeo.com./pollution). Pencapaian yang mendekati
sempurna sesuai dengan Sister City adalah suatu keniscayaan, maka dari itu
disusunlah pilihan-pilihan atau option yang mendekati kota Jakarta sebagai
Ecocity atau kota berwawasan lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kerangka pilihan 5 tahun kedepan yaitu tahun 2012-2017 setara dengan kota
Kuala Lumpur tahun 2011 index sebesar 70 dan DKI Jakarta 87,50.
2. Untuk 10 Tahun kedepan yaitu tahun 2012-2022 kerangka pilihan jatuh pada
kota Singapura yakni sebesar 62,50 dan Jakarta 70.
Kebijakan-kebijakan yang di lakukan oleh kota Kuala Lumpur dan
Singapura untuk mengurangi pencemaran udara.
1. Kebijakan yang dilakukan oleh kota Kuala Lumpur:
a. Mobil besar yang bertonase lebih dari 25 ton keatas tidak boleh masuk
kota.
b. Mobil-mobil tua tidak dipergunakan lagi (mobil yang berusia diatas lebih
dari 10 tahun), karena ada pemotongan kendaraan yang sudah tua.
122
c. Bahan bakar di setiap kendaraan sudah bebas timbal (Pb).
d. Adanya pengecekan kendaraan untuk emisi gak buang / knalpot. (Sumber :
Perda nomor 5 Tahun 2005)
2. Kebijakan yang dilakukan oleh kota Singapura:
a. Adanya regulasi ketat oleh pemerintah.
b. Tidak boleh membeli atau memiliki kendaraan, jika si pembeli tidak
mempunyai tempat untuk parkir kendaraannya.
c. Mobil-mobil tua tidak dipergunakan lagi (mobil yang berusia diatas lebih
dari 10 tahun), karena ada pemotongan kendaraan yang sudah tua.
d. Bahan bakar di setiap kendaraan sudah bebas timbal (Pb).
e. Pajak kendaraan di Kota Singapura bersifat progresif dan satu keluarga
hanya boleh memiliki satu kendaraan dan tidak boleh lebih dari satu.
f. Kendaraan berat tidak boleh masuk kota, karena kota Singapura untuk
angkutan berat menggunakan angkutan kereta api / laut. (Sumber : Perda
nomor 5 Tahun 2005)
Perbedaan mendasar antara kota Jakarta dengan Kuala Lumpur adalah
dibedakan dari lokasi geografinya, dimana Kuala Lumpur berada didataran tinggi
sedangkan kota Jakarta didataran rendah (dengan pantai), sedangkan kota
Singapura walapun sama-sama berada di tepi pantai, namun Singapura berhasil
melakukan dalam mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Kebijakan penguranan polusi udara
Untuk menghitung tingkat pencemaran CO di cawing-Semanggi dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan pengamatan satu mobil dapat menempuh jarak 1 (satu) km pada
saat kemacetan memerlukan bahan bakar 0,075 ml premium/km. Dengan
perhitungan 1 (satu) jam mobil dapat menempuh jarak 5 km. Jadi per 5 (lima)
jam mobil memerlukan 0,375 ml. Jumlah mobil yang melintas di daerah
Cawang-Semanggi adalah 1600 kendaraan, sehingga dalam 1 (satu) jam bahan
bakar yang digunakan untuk menempuh jarak 5 km/jam adalah 600 liter/jam.
123
b. Berdasarkan pengamatan tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil) dapat
mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm perkendaraan, dengan jumlah
kendaraan yang melintasi jalan tersebut adalah 1600 mobil. Maka dapat
dihitung dalam setahun kendaraan yang melintas di Cawang-Semanggi
mengeluarkan CO sebanyak 474.864.662,0690 µg/Nm³ pertahun.
Berdasarkan dengan perhitungan maka diperkirakan CO pada tahun 2016
kota DKI Jakarta setara dengan Kuala Lumpur dengan index besar 73. Untuk
memperdalam dan memprediksi polutan udara kota DKI Jakarta setara Kuala
Lumpur dari tahun 2011 sampai dengan 2016 yaitu selama 5 tahun dengan setiap
tahunnya jumlah kendaraan di DKI Jakarta naik 30% dapat dilihat pada Table 42.
Tabel 42. Kondisi udara di DKI Jakarta dengan
Kuala Lumpur untuk 5 tahun mendatang.
Tahun 2016 mobil yang melintasi daerah Cawang-Semanggi
Mobil
Pertahun
2.788.224
Perbulan
232.352
Perhari
11.617,6
Perjam
968,13
Jumlah CO yang dikeluarkan oleh kendaraan berbahan bakar premium pada mobil
Pertahun
Perbulan
Perhari
Perjam
287.332.812,47
23.944.401,04
1.995.366,75
99.768,34
Sumber : Hasil penelitian
Berdasarkan pengamatan Tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil)
dapat mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm per kendaraan, dengan
jumlah kendaraan yang melintasi jalan tersebut mengalami kenaikan setiap
tahunnya, adapun kenaikan jumlah kendaraan yang melintas di daerah CawangSemanggi sebesar 60% dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2016 dan
mengalami penurunan untuk emisi gas buang / kenalpot. Sehingga dapat
diperkirakan dalam setahun kendaraan yang melintas di daerah Cawang-Semanggi
mengeluarkan CO sebanyak 287.332.812,47 µg/Nm³ pertahun.
124
Seperti halnya Kota Kuala Lumpur apabila DKI Jakarta dibandingkan
dengan Singapura waktu ini pencapaian kebersihan udara akan terjadi pada tahun
2021 adapun uraiannya Table 43 sebagai berikut.
Tabel 43. Kondisi udara DKI Jakarta dengan Singapura untuk 10 tahun
mendatang.
Pertahun
170.081.664
Perbulan
14.173.472
Perhari
708.674
Perjam
59.056
Jumlah CO (µg/Nm³) yang dikeluarkan oleh kendaraan berbahan bakar
premium pada mobil
Pertahun
Perbulan
Perhari
17.527.301.560,58
1.460.608.463,38
121.717.371,95
Perjam
6.085.868,60
Berdasarkan pengamatan Tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil)
dapat mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm per kendaraan, dengan
jumlah kendaraan yang melintasi jalan tersebut mengalami kenaikan setiap
tahunnya, adapun kenaikan jumlah kendaraan yang melintas di daerah CawangSemanggi sebesar 60% dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2021 dan
mengalami penurunan untuk emisi gas buang/knalpot. Sehingga dapat di
perkirakan dalam setahun kendaraan yang melintas di daerah Cawang-Semanggi
mengeluarkan CO sebanyak 17.527.301.560,58 µg/Nm³ pertahun.
Pencapaian Target Agar Sesuai Dengan Kadar Udara Di Sister City Yaitu
Kota Bern dan Den Haag Adalah Cukup Panjang Terrealisasinya.
Pencapaian targetnya antara lain adalah melalui permodelan kebijakan,
regulasi pemerintah daerah DKI Jakarta dan pembatasan kendaraan masuk kota,
hal itu digambarkan sebagai berikut :
Model kebijakan yang akan diaplikasikan dalam upaya pengurangan polusi
udara Cawang-Semanggi adalah sebagaimana tertera pada gambar 23.
125
INPUT
OUTPUTS
Kondisi aktual
Aktor : Masyarakat, DLHK, Dinas
Kondisi Prediksi
DEKOMPOSISI
Jl. M.T Haryono
Kor Lantas Polri
Udara Bersih : 1. BBG
2. Bensin tanpa timbal
3. Cek emisi gas buang/ kenalpot
4. Larangan kendaraan tua
5. Larangan kendaraan solar
Pencemaran Udara
Knalpot/emisi kendaraan
Air
: 1. Saluran air langsung menuju gorong-gorong
Kedaraan macet : Jenis dan
Jumlah
Hewan
: 1. Unggas : Burung-burung tidak ada
Manusia
: 1. Petugas : Polisi, pengemis
Industri
2. Air tidak dikonsumsi
Penurunan
Kualitas
Udara
2. Penjualan / pedagang kaki lima
Tanah
: 1. Tidak ditanami buah-buahan
( Landscape ) 2. Sampah tidak dipendam dalam tanah
REMIDIASI
Vegetasi
: 1. Jumlah daun banyak
CO dan debu
2. Perlasan RTH
3. Pohon besar
Perhub, Kepolisian, Dinas Kesehatan
Umpan Balik
Cara mengurangi kadar Pb : 1. Penggunaan BBG
4. Kendaraan tua dilarang masuk kota
2. Bensin tanpa Timbal / Pertamax 5. Truk dilarang masuk kota
3. Perluasaan RTH
6. Pemberian natura berupa susu kepada -
petugas Polantas
Gambar 23. Model pengelolaan pencemaran udara
Dari hasil analisis yang telah dilakukan di buat model kebijakan
pengelolaan pencemaran udara di DKI Jakara seperti terlihat pada gambar 23.
Model pengelolaan pencemaran udara disusun untuk memudahkan
penalaran suatu konsep yang kontekstual. Konstektual input, proses dan output
diharapkan mendapatkan solusi yang efektif da efisie. Input berupa masukan
pencemaran yang bernilai tinggi setelah melalui proses Dekomposisi dan
Remidiasi akan terlihat suatu keluaran atau output yang tingkat pencemaran
udaranya rendah pada udara ambient.
Hubungan output dengan Input di rangkai suatu umpan balik atau feed
back yang berisikan parameter keberhasilan suatu proses berupa solusi kegiatan
sebagai berikut:
1. Penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG),
2. Bensin tanpa timbale atau dipergunakannya pertamax,
3. Perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH),
4. Kendaraan tua dilarang masuk kota,
126
5. Truk dilarang masuk kota,
6. Pemberian insentif berupa natura susu kepada petugas polisi lalulintas.
Untuk melakukan simulasi pencemaran udara dibuat model pencemaran
udara dengan powersim seperti terlihat pada gambar 24, merupakan kebijakan
yang akan diambil untuk menanggulangi pencemaran udara di DKI Jakarta.
Kendatipun sistem manajemen dan regulasi sudah berjalan serta diperketat, tetapi
hasilnya belum setara dengan kota Kuala Lumpur dan Singapura karena berbagai
faktor yaitu kontur tanah, kebudayaan, ekonomi, sosial dan lingkungan alam
maupun lingkungan pendidikan.
Model Powersim dalam pengelolaan pencemaran udara:
Gambar 24. Model pengelolaan pencemaran udara Powersim (Ford.1999)
Pencapaian Pb, debu dan CO di DKI Jakarta dengan Kota Kuala Lumpur
sebagaimana gambaran polusi udara DKI Jakarta pada tahun 2008 telah diulas
pada tabel 6 Bab II Tinjauan Pustaka. Untuk memperdalam dan memprediksi
polutan udara yang setara dengan Kota DKI Jakarta dengan Kuala Lumpur dari
Tahun 2011 sampai dengan 2016 yaitu selama 5 Tahun dapat dilihat pada Gambar
24.
127
Gambar 25. Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb pada 5 tahun kedepan
setara Kota Kuala Lumpur.
Pada gambar 25, 26 dan 27 menunjukkan rencana pencapaian di DKI
Jakarta dalam tingkat pencemaran Pb, debu dan CO dalam jangka waktu 5 tahun
kedepan yang setara dengan Kota Kuala Lumpur. Adapun kebijakan yang harus
dilakukan untuk setara dengan Kota Kuala Lumpur yaitu dengan Regulasi ketat
telah efektif, maka kedepan Pb tetap sebesar 0,28 ppm dibawah ambang batas.
Gambar 26. Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO (µg/Nm³) pada 5 tahun
kedepan setara Kota Kuala Lumpur.
Gambar 26, menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam
tingkat pencemaran CO dalam jangka waktu 5 tahun kedepan yang setara dengan
Kota Kuala Lumpur, adanya mobil baru sehingga emisi gas buang / knalpot tidak
ada dan knalpot tidak bocor.
128
Gambar 27. Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu (g/m³) pada 5 tahun
kedepan setara Kota Kuala Lumpur.
Pada gambar 27 menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam
tingkat pencemaran debu dalam jangka waktu 5 tahun kedepan yang setara dengan
kota Kuala Lumpur, tetapi mobil besar tidak boleh masuk kota.
Setelah dikeluarkan regulasi Perda nomor 2 Tahun 2005 tentang
pengelolaan pencemaran udara di DKI Jakarta perlu dibuat suatu kerangka
kebijakan, suatu capai kondisi udara seperti pada index pencemaran udara di
Kuala Lumpur dan index pencemaran udara di Singapura.
Kuala Lumpur dan Singapura relatif dekat dengan Jakarta utamanya dalam
kawasan Asia Tenggara.
Gambar 28. Rencana pencapaian tingkat pencemaran Pb (ppm) pada 10 tahun
kedepan setara Kota Singapura.
Pada gambar 28, 29 dan 30 menunjukkan rencana pencapaian di DKI
Jakarta dalam tingkat pencemaran Pb, debu dan CO dalam jangka waktu 10 tahun
kedepan yang setara dengan Kota Singapura. Adapun kebijakan yang harus
129
dilakukan untuk setara dengan Kota Singapura yaitu dengan Regulasi ketat
efektif, maka kedepan Pb akan tetap sebesar 0,28 ppm dibawah ambang batas.
Gambar 29. Rencana pencapaian tingkat pencemaran CO (µg/Nm³) pada 10 tahun
kedepan setara kota Singapura.
Gambar 30, menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam
tingkat pencemaran CO dalam jangka waktu 10 tahun kedepan yang setara dengan
Kota Singapura, adanya mobil baru maka emisi gas buang / knalpot tidak ada dan
knalpot tidak bocor.
Gambar 31. Rencana pencapaian tingkat pencemaran debu (g/m³) pada 10 tahun
kedepan setara Kota Singapura.
Pada gambar 30 menunjukkan rencana pencapaian di DKI Jakarta dalam
tingkat pencemaran debu dalam jangka waktu 10 tahun kedepan yang setara
dengan kota Singapura, maka dari itu mobil besar tidak boleh masuk kota.
130
Untuk capaian seperti Sister City perlu diambil kebijakan seperti :
a
Pengaturan Moda Transportasi yaitu :
1). Pembangunan Mass Rapit Transportaion (MRT), yang telah dimulai
beroperasi adalah Trans Jakarta Berbahan Bakar Gas (BBG).
2). Larangan kendaran bertonase lebih dari 30 Ton melintas tol CawangSemanggi pada siang hari.
3). Melanjutkan pembangunan monorel yang telah dipancangkan tiang-tiang
penyangga monorel tersebut.
4). Membuat jalan tol lintas Bekasi-Bogor-Tanggerang untuk membangun
outer ring road.
5). Melarang mobil yang emisi yang tinggi gas buangnya masuk dalam kota.
6). Sebagaimana telah dibangun rute bersepeda dalam Kota Jakarta maka dari
itu perlu dibuatkan rambu-rambu untuk jalur bersepeda motor.
b
Perluasan RTH dengan cara setiap gedung disepanjang jalan tol CawangSemanggi diwajibkan menanam sulur-suluran dari lantai atas dapat menjuntai
kebawah atau sejenis rumput yang dapat menempel pada dinding-dinding tepi
luar bangunan.
c
Memperketat pengawasan pelaksanaan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),
yaitu ketentuan 20% dari lahan yang tersedia harus ditananmi vegetasi secara
berkelanjutan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Alternatif kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan lingkungan
wilayah dampak pencemar udara di DKI Jakarta ke depan adalah
pembatasan usia kendaraan penyebab polutan karena memberikan nilai
scoring yang paling tinggi dibandingkan alternatif kebijakan lainnya.
2. Aspek mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu mendapat
perhatian dalam pengelolaan lingkungan wilayah dampak pencemar udara
di Jakarta ke depan.
131
3. Faktor yang paling berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan wilayah
dampak pencemar udara di Jakarta ke depan adalah kendaraan yang masih
menggunakan timbal.
4. Aktor yang dianggap memiliki peranan paling penting dalam pengelolaan
lingkungan wilayah dampak pencemar udara di DKI Jakarta adalah Dinas
Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian kebijakan pengelolaan pencemaran udara dari sektor
transportasi darat di DKI Jakarta secara umum dapat disimpulkan:
1. Kebijakan pengeloaan pencemaran udara dari sektor transportasi darat di DKI
Jakarta diarahkan pada pembatasan usia kendaraan yang layak pakai.
2. Indikator keberhasilan kebijakan dengan memperhatikan pola lima tahun
pertama setara kondisi udara di kota Kuala Lumpur dan sepuluh tahun
kedepan setara dengan kota Singapura.
3. Kota DKI Jakarta tidak bisa setara dengan Sister City Bern dan Den Haag
karena pengaruh iklim, kontur tanah, aspek lingkungan, sosial budaya dan
masyarakat yang berdomisili di masing-masing kota kembarnya
4. Pencemaran udara di DKI Jakarta menyebabkan terjadinya peningkatan
penyakit pada petugas polisi lalulintas yang tengah berada di jalanan.
5. Instansi atau aktor yang paling bertangung jawab atas terlaksananya kebijakan
pembatasan usia kendaraan adalah Dinas Perhubungan DKI dan Direktorat
Lalulintas Polda Metro Jaya. Sejalan dengan itu pemda DKI Jakarta perlu
mengembangkan transportasi massal yang berbasis energi listrik dan Berbahan
Bakar Gas (BBG).
Saran
1. Dinas perhubungan DKI bertanggung jawab kegiatan pengelolaan dan
pengawasan terhadap kendaraan yang tidak layak pakai melintas di Jalan TolCawang-Semanggi.
2. Kor Lalulintas Polda Metro Jaya lebih proaktif memelihara tingkat kesehatan
aparatnya. Usaha penegakan terhadap imbas polutan udara ini dapat berupa
asupan bergizi, olah raga, cek kesehatan secara berkala dan rolling pada beatbeat petugas patroli di jalan Tol.
132
133
3. Pemda DKI dalam aplikasi Perda No. 5 tahun 2005 agar mengusulkan kepada
pemerintah untuk menetapkan kendaraan yang berada di DKI Jakarta sebagian
besar memakai Bahan Bakar Gas (BBG).
4. Pada kolong jembatan Pancoran dan Semanggi pemda DKI Jakarta dapat
merekayasa filter udara guna menyedot polutan udara baik secara mekanik
maupun vegetatif.
DAFTAR PUSTAKA
Adel, U. A. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor di
Jakarta. 23 Agustus 1995. 19-32. Jakarta.
Adiputro et al. 1995. Lingkungan dan Pembangunan 15(2): 233-248 pp.
Agung, G. 2001. Statistik. Rajawali Pers. Jakarta.
Ahyari, A. 1986. Analisis Pulang Pokok, Badan Penelitian Fakultas Ekonomi.
(BPFE). Yogyakarta.
Alikodra, H.S. 1999. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Amadio, W. 1989. System Development. Mc Graw – Hill Internasional
Educations.
Arikunto, S. 1983. Prosedur Penelitian. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
-----------,---. 1993. Manajemen Penelitian. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Azwar, S. 1999. Dasar – dasar Psikometri. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan. 1999. Peraturan Pemerintah RI. No. 41
tahun 1999, Tentang Pencemaran Udara. Bapedal. Jakarta.
--------. 1994. Pengelolaan Wilayah Pesisir. No. 3, tahun IV Nopember 1994.
KPPL – DKI – Jakarta. Jakarta.
Barry, R.G. and J.R.. Chorley. 1968. Atmosphere, Weather and Climate.. Methuen.
London.
BMG, 2009. Laporan Rekaman Cuaca 2009. Sekretariat Humas KDKI Jakarta.
Bowen, HJM. 1979. Enviromental Chemistry of The Elements. Academic Press. London
BPS DKI Jakarta. 2005. DKI Dalam Angka. Sekretariat Humas KDKI Jakarta.
[BPLHD] Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup Daerah. 1999.
Peraturan Pemerintah RI. No. 41 tahun 1999, Tentang Pencemaran Udara.
Bapedal. Jakarta
Brolsma, H. 1981. Pengertian, Satuan dan Simbol. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Brunfiel, C.(ed:). 1965. Fundamental Concepts of Elementary Matematics,
Addison – Wesley. Publishing Company, Inc. London.
134
135
Canter.Larry W, P.E.1979. Handbook of Variable For Environmental Inpoet
Assessment, Ann Arboz Science. Publishers Me. Ann Arbor Mich 48106
Camp dan Dougherty. 1991. Sumary Exposure Assement for Zinc. London
Chasck, P.S.2000. The Global Environment in The Twenty – First Century. United
Press. Nations University Tokyo.
Chi-Wen, Lin. 1999. Hazardous Pollutant Source Emissions for A Chemical Fiber
Manufacturing Facility in Taiwan. Dept. of Env. Engineering da-Yeh University.
Changhua. 321-337 pp. Taiwan.
Cicro-Fernandez, P. et al. 1997. Effects of Grades and Others Loads on On-Road Emission
of Hydrocarbon and Carbon Monoxide. Journal of The Air & Waste Management
Assossiation Vol. 47 August 1997. 896-904 pp.
Cipto, H.H. 1998. Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah
Tangga Daerah. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.
Cohen dan Roy. 1991. Environmenta Chemistry.3th Edition. New York.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Djajadiningrat. 1997. Limbah rumah tangga. Radjawali Pers. Jakarta.
De Souza, RM. 1999. Household transportation Use and Urban Air Pollution, A
Comparative Analysis of Tahiland, mexico and The United States. Population
Reference Bureau. Washington DC.
Dewata, I. 2001. Analisis SO 2 , NO 2 dan logam Pb di Udara dengan Metode
Spektrofotometri di Kotamadya Padang, Sumatera Barat. Lingkungan dan
Pembangunan 21 (4): 246-255 pp.
Direktrorat. Lalulintas Polri, 2005. Lalulintas dua ribu lima. Ditlantas Jakarta.
Djajadiningrat, 1997. Analisis Lingkungan Alam. Universitas Pasundan Bandung.
Djuaningsih., N. 1997. Pemantauan Kualitas Udara di Kota Madya Bandung.
Alumni.Bandung.
(DLLAJR), Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat. 1998. Emisi Kendaraan Bermotor. Widyapura No. 6 Tahun V
Oktober 1998. Jakarta.
136
Dolislager, L. J. 1997. The Effects of California’s Wintertime Oxigenated Fuels Program
on Ambient Carbon Monoxide Concentrations. Journal of The Air & Waste
Management Assossiation Vol 47, July 1997. 775-783 pp
Dremary. 1983. Matematika Teladan Untuk Bisnis dan Ekonomi. BFFE.
Yogyakarta.
Edton, Sr.(ed.).1991. Manajemen Riset Antar Disiplin. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Eungene, X. S.P. 1998. Probability Theory and Random Process. Company Ltd.
& New Delhi. Schand.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. 89-130 pp Jakarta.
................., 1992. Polusi Air dan Udara.. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Fitter, 1990 dalam Hay, 1994. Join Programme onPrior Informed Consent (PIC),
Import Decions from Participating Countries (Circular IV). Geneva.
Ford, A. 1999. Modeling The Environment. Island Press. Washington DC.
Gatchel, R.B. dan D.S Krontz. 1989. Health Psycology. Mc Graw – Hill,
Publishing Company. New York.
German Federal, Ministry (ECD – BMZ). 1995. Environmental Hanbook.
Lengerichm. Friedrich Vieweg & Sohn.
Ghai, D. dan Jessica M. V. 1995. Grassroots – Environmental Action. Rontledge.
London.
Griffiths, D.N. 1996. Management in a Quality Environment. Toppan Company
(S) PTE LTD, ASQC Quality Press. Singapore.
Grindle, M.J.W.T. 1998. Public Advices and Policy Chance. The Johns Hopkins
University Press. Baltimore.
Goenarso. 2004. Dampak Timbal Terhadap Fungsi Organ/Jaringan pada Tubuh
Manusia. Presentasi Seminar KPBB di Hotel Borobudur pada Desember
2004. Departemen Biologi Fakultas Mipa ITB. Bandung.
Gordon et al. (1998). Enviromental Chemistry of The Elements. Academic Press. London.
Guba, E.G. 1990. The Paradigm Dialog. Sage Publications Inc. California.
Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning. Washington. Taylor & Francis.
137
Hadi, SP. 1998. Perilaku Berkendaraan dan Pencemaran Udara di Perkotaan (Studi Kasus
di Kodya Semarang). Lingkungan dan Pembangunan 18 (3), 167-175 pp.
Ham, S.H. 1992. Environmental Interpretation. Colorado – Press. North
American.
Hanafiah, K.A. 2000. Rancangan Perlombaan, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Harahap, H. 2003. Pengaruh pencemaran timbal yang berasal dari emisi
kendaraan bermotor terhadap tanaman teh (Desertasi), Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hardjasasmita, P. 1999. Ikhtisar Biokimia Dasar B. FK – U.I. Jakarta.
Harihanto. 1998. Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Air Sungai
(Desertasi). IPB. Bogor.
Harlow, W.M.(ed.). 1991. Textbook of Dendrology. Mc Grow – Hill, International
Editions. New York.
Hartogensis, P. 1997. Atmospheric Pollution. Delft: Int. Ins. For Hydrolics and Civil
Engineering. 1-47 pp.
Heddy, S. dan M. Kurniati. 1996. Ekologi. Rajawali Pers dan Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Hill, JW. 1984. Chemistry for Changing Time 4 th ed. Minnesota: Burgess Publishing
Company. 558 p
Husssen, A.M. 2000. Principles of Environmental Economics. Routledge.
London.
http://geo.ugm.ac.id/archives/69 Mei 2008.
Inoqucki, T.E.N.M. dan G. Pouletto. 1999. Cities and Environment. United
Nations University Press. Paris.
Karten, D. 1990. Getting to the 21 st Century. Kumary and Press. Inc.
Connecticut.
Karliansyah. 1999. Tumbuhan dan Logam Berat di Jalan Tol. Pustaka LP3S
Jakarta.
Kim Oanh, NT and BN Zhang. 2003. Impacts Different Air Quality Management Strategis
on Photochemical Pollution in Bangkok. Asian Society for Enviromental Protection
(ASEP) Newsletter Vol. 19 No. 2 June 2003, 1-3 pp.
Kumar, R. 1981. Statistics for Solved Problem and Unsolved Problems. SS.
Mubaruk and Brothers Pte, Ltd. Singapore.
138
Koentjoroningrat. 1977. Metode – metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia.
Jakarta.
[KPBB] Komite Penghapusan Bensin Bertimbal. 1999. Dampak Pemakaian
Bensin Bertimbal dan Kesehatan. Jakarta.
............ 1999. Dampak Pemakaian Bensin Bertimbal dan Kesehatan. Jakarta.
http://www.yahoo.com diakses pada tanggal 03 juni 2008
KTT Johannesburg. 2000. Resault of Inviromental Anual Meeting. UoN Publiser
NewYork.
Labovits, S. dan R. Hagedorn. 1981. Social Research. Mc Graw – Hill Book
Company. Toronto.
Landis dan Ming-Ho. 1995. Approaches to Life Beyond The Earth. New York.
Law, A.M.W dan D.Kelton. 1991. Simulation Modeling & Analysis. Mc Graw –
Hill International Editions. New York.
Lioy, P.J. dan J.M.Daisey. 1990. Toxic Air Poluttion. Lewis Publishers, Inc.
Michigan.
Manahan, S.E. 1994. Environmental Chemistry. Lewis Publisher. Washington
DC.
Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 2000. Gerakan Penyelamatan
Kehidupan. PPSML – U.I. Jakarta.
Meetham. 1981. A Function of Land Use. Columbia University Press. New York.
Michel. 2000. Journal Eco City Jakarta. Wahli Jakarta.
Mikkelsen, B. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya – upaya
Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Miles, M.B.(ed.). 1992. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya – upaya
Pemberdayaan. Yayasan Obor. Jakarta.
Moleong, L. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remja
Rosdakarya. Bandung.
Moore, N. 1987. Cara Meneliti. ITB. Bandung.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development
The International Bank for Recontruction and Development. World Bank
Washington. USA.
139
Muslich, M. 1993. Metode Kuantitatif. LPFE. U.I. Jakarta.
Nasir, M. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nasution, S. 1987. Metode Research. Jemmars. Bandung.
Nasution, A.H. 1989. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Jakarta.
Nawawi, H. dan M. Martini. 1996. Penelitian Terapan. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Nishimera, h. 1989. How to Conquer Air Poluttion A Japanese Experience.
Elsevier. Tokyo.
Odum, E.P. 1971. Dasar – dasar Ekologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Quinn, P.M. 1990. Qualitative Evalution and Research Methods. Sage
Publications. New Delhi.
Rakhmat, J. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Karya CV. Bandung
Rax, R. 1995/ 1996. Kualitas Udara di Wilayah DKI Jakarta 1994/ 1995. Himpunan
Karangan Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan Vol II/ 1995/ 1996. Jakarta
Reid, R.L.(ed.). 1990. Sifat Gas dan Zat Cair. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Riyadi, A.S. 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional. Surabaya.
Rustiawan.1994. Manusia Kesehatan dan Lingkungan. Bandung.
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. IPB Press. Bogor.
......., 2000. Jurnal IPB tahun 2001. IPB Press. Bogor.
Salim. 1999. Jurnal Inviromental of Bangkok. Unesco Publish. Bangkok.
Sanders, D.H.(ed.). 1987. Statistics Fress Approach. Mc Graw – Hill.
International Editions. Singapore.
Saaty. 1993. The Analisis Hirarcky Proses. Longman. New York.
Satriyo. 2004. Perkelahian Antar Warga Pal Meriam Dengan Kampung Berland.
Jurnal K.I.K UI. PTIK. Jakarta.
Seitz, W.D. 1994. Economics of Resources, Agriculture and Food. Mc Graw –
Hill, Inc. Toronto.
140
Setiawan, 2003. Konsep Jakarta menuju Eco City.Dinas Humas DKI Jakarta.
Sharbe, G. 1982. Interpreting The Environment. John Willey & Sons. Singapura.
[SK] Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 551 Tahun 2001 tentang
Penetapan Baku Mutu Kulaitas Udara Ambient, Baku Mutu Tingkatan
Kebisingan dalam Wilayah DKI Jakrta
Smith. 1981. Priority Toxic Pollutants. Health Impacts and Allowable Limits.
New Jersey.
Soemartono, R.M dan Gatot P. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar
Grafika. Jakarta.
Soemarwoto, O. 1988. Dampak Lingkungan Terhadap Kesehatan. Alumni.
Bandung.
Strauss, W and SJ Mainwaring. 1984. Air Pollution. London: Edward Arnold. 152 p
Sudjana, N. 1999. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Sinar Baru Algensindo.
Bandung.
Suhardono, E. 1997. Panorama Survey. PT Garamedia. Jakarta.
Suharto. 1991. Matematika Terapan. Rhineka Cipta. Jakarta.
Suparlan Parsudi. 2001. Pidato: Dies Natalis PTIK ke 30. Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian ,Jakarta.
Sumartono. 1996. Sifat Gas danZat Cair. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sumaryo, G. 1999. Sistem Fraktal Daerah Aliran Sungai Kali Gitung. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sumarwan, I. 1998. Epidemiologi dan Mekanisme Penyakit Saluran Pernafasan
Akibat Induksi Polusi Udara di berbagai Negara Industri. Alumni. Bandung.
Sumantri, P.S. 1997. Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sunandi. 1995. ABC Termodinamika Kimia. LP. FEVI. Jakarta.
Suratmo, F.G. 1998. Analysis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
-----------, F.G.2002. Panduan Penelitian Multi Disiplin. IPB Press. Bogor.
Sutarsa, T. 1994. Kimia (3A) dan Kimia (3B). Yudhistira. Jakarta.
141
Swastha D.H.B. 1998. Metode Kuantitatif untuk Manajemen. Liberty.
Yogyakarta.
Tugaswaty. 1997. Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya
Terhadap Kesehatan. http://www.yahoo.com diakses pada tanggal 03 juni
2008
Vinitnantharat, S and P, Khummongkol. 2003. Sulfur and Nitrogen Deposition in Six
Regions of Tahiland. Asian Society for Enviromental Protection. Vol. 19 No. 2 June
2003, 11-13 pp
Walhi. 2011. www.walhi.or.id
Welburn, A. 1990. Air Pollutan and Accid Rain, The Biological Impact. Longman
Scientific and Technical. 1-99 pp. New York
Winarso, PA. 1991. Sumber dan Pengelolaan Pencemar Udara. Himpunan Karangan
Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan PKPL DKI Vol. 2: 42-48 pp
World Bank, 2006. Annual Report. V-N-Publisher. NewYork.
www.numbeo.com/pollution, 2005
www.numbeo.com/pollution, 2011
Zen M.T. 1979. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia
dan ITB Bandung. Jakarta.
Zudianto, H and O, Norojono. 2002. Enganging Local Universities for Technical
Assistance: A Case Study of Yogyakarta, Indonesia. Paper Presented in Workshop on
“Enginering Cities”: City Executives Regional Exchange on Local Energy
Management as A Feature of Good Governance. Iloilo City
Download