etika terapan - Universitas Kristen Maranatha

advertisement
ETIKA TERAPAN | 1
ETIKA TERAPAN
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Secara umum etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika
khusus. Etika umum membicarakan mengenai norma dan nilai-nilai moral,
kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaiman manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif
(suara hati manusia) dan lainnya. Etika umum sebagai ilmu atau filsafat
moral dapat dianggap sebagai etika teoretis, kendati istilah ini
sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan
dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam
kehidupan sehari-hari dan tidak hanya bersifat teoretis. 1
Sementara itu etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip
atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks
kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika khusus di
sini memberi pegangan, pedoman dan orientasi praktis bagi setiap orang
dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang dijalaninya. Etika
khusus juga merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus
tertentu yang mempersoalkan praktik, kebiasaan dan perilaku tertentu
dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum
tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan
tersebut di pihak lain. 2
Etika khusus dibagi menjadi etika individual memuat kewajiban
manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial, yang merupakan bagian
terbesar dari etika khusus. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban
manusia sebagai anggota umat manusia.
Diagram di bawah ini
menunjukkan pembagian etika, sebagai berikut di bawah ini: 3
1
Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penebit Kanisus, 1998), hlm. 32
2
Ibid, hlm. 32-33
3
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989),
hlm. 7-8
2 | ETIKA TERAPAN
Diagram
Sistematika ETIKA
UMUM
Prinsip
Moral dasar
ETIKA
ETIKA INDIVIDUAL
KHUSUS
terapan
ETIKA SOSIAL
PENDAKATAN ETIKA TERAPAN
Ada dua pendekatan Etika khusus atau Etika Terapan, yaitu:
pendekatan multidisipliner dan kasuistik yang akan dijelaskan di bawah
ini.
Pendekatan Multidisipliner
Pada perkembangannyannya etika sebagai etika terapan atau
applied ethics ini memberikan kontribusi penting yang dapat diberika etika
sebagai bagian dari filsafat kepada bidang lintas disiplin ilmu lainnya.
Bukan hanya pada Fakultas Filsafat berkembang mata kuliah-mata kuliah
seperti etika biomedis, etika bisnis, etika lingkungan hidup, etika media
massa dan lain sebagainya. Perkembangan yang sama terjadi juga di
fakultas-fakultas lainnya, misalnya etika biomedis diberikan di Fakultas
Kedokteran, etika bisnis di Fakultas Ekonomi dan seterusnya. Dengan
ETIKA TERAPAN | 3
demikian etika bagaikan magnet yang menghimpun ilmu-ilmu atau bidang
kajian lainnya.4
Kerja sama etika dengan disiplin ilmu lain tersebut diperlukan,
sehubungan dengan etika harus melakukan pertimbangan-pertimbangan
sesuatu yang di luar bidangnya. Seorang Etikawan tentunya akan
mengalami kesulitan untuk memberikan pertimbangan dengan baik, bila
tidak mendapatkan penjelasan-penjelasan yang memadai dan lengkap yang
hanya diperoleh dari disiplin ilmu yang membidanginya. 5 Misalnya,
seorang etikawan tidak akan mendapatkan penjelasan yang memadai,
ketika memberi pertimbangkan mengenai masalah bayi tabung, apabila
etikawan tersebut tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari dunia
kedokteran. Demikian juga para profesional seperti halnya Ikatan dokter
Indonesia pun menuliskan dampak teknologi kedokteran bagi etika.6
Kasuistik
Sehubungan dengan etika terapan menggeluti masalah-masalah
yang sangat konkret, tidak mengherankan bahwa di sini telah berkembang
kebiasaan untuk mempelajari kasus, seperti yang telah dilakukan oleh ilmu
kedokteran dengan etika biomedisnya dan ilmu manajemen dengan etika
bisnisnya kasus-kasus banyak dibicarakan. Bahkan saat ini sudah ada
buku-buku yang memuat kasus-kasus dan pembahasan dari kasus tersebut,
baik di bidang etika biomedis maupun etika bisnis, misalnya kasus-kasus
yang membahas Susu Bayi Nestle, kasus mobil Ford Pinto dan kasus-kasus
lainnya di bidang etika bisnis. 7
Kasuistik itu sendiri merupakan usaha memacahkan kasus-kasus
konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang
umum. Jadi, Kasuistik ini sejalan dengan maksud umum dari etika
4
K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan
Publika, 2005), hlm. 24-25
5
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia – Alam, Iptek dan Kerja,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005), hlm 24
6
Kartono Mohamad di dalam K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 274
7
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 26
4 | ETIKA TERAPAN
terapan. Tidak mengherankan bila dalam suasana etis yang menandai
jaman kita saat ini, timbul minat baru untuk kasusistik ini. Kasuistik itu
sendiri memiliki sejarah panjang dan kaya yang sebenarnya sudah ada
sejak Aristoteles menyatakan etika sebagai ilmu praktis. 8
Pertimbangan moral yang praktis selalu bersifat kasuistik. Dalam
hal ini kasuistik secara khusus dapat membantu menjembatani kesenjangan
antara relativisme9 dan absolutisme. Pada satu sisi adanya kasuistik
mengandaikan secara tidak langsung bahwa relativisme moral tidak bisa
dipertahankan. Dalam hal ini mengandaikan, bahwa setiap kasus memiliki
“kebenaran-kebenaranannya” masing-masing, maka dalam pandangan ini
kasuistik sebenarnya tidak diperlukan lagi. Di satu sisi norma-norma etis
juga tidak juga bersifat absolut begitu saja, sehingga sulit diterapkan tanpa
mempertimbangkan situasi konkret. Jadi faktor situasi konkret yang
disebut dengan circumstantiae merupakan faktor yang penting yang
menjadi pertimbangan, faktor inilah yang merupakan faktor khas yang
menandai situasi tersebut atau dalam bahasa Indonesia kita kenal sebagai
‘sikon”. Sebuah rumusan klasik yang tetap berlaku hingga saat ini untuk
memahami kasuistik ini berupa rumusan: “quis, quid, ubi, quibus auxiliis,
cur, quomodo, quando” atau dalam bahasa Indonesia yang sudah sangat
populer dengan “siapa, apa, di mana, dengan sarana mana, mengapa,
bagaimana, kapan” kasuistik ini dirumuskan. 10
METODE ETIKA TERAPAN
Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak
seragam. Etika sebagai ilmu yang praktis tidak ada metode yang siap
pakai yang dapat begitu saja digunakan oleh orang yang berkecimpung
dalam bidang ini. Pada etika terapan, variasi metode dan variasi
8
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007),
hlm. 275-276
9
Relativisme moral merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa
moralitas didasarkan terutama pada budaya, dan bahwa pada kenyataannya tidak ada
kebenaran dan kealahan mutlak.
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004),
hlm. 37
10
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika,hlm. 33-35
ETIKA TERAPAN | 5
pendekatan berbeda-beda. Dalam hal ini paling tidak ada empat unsur
yang melalui salah satu cara selalu berperan dalam etika terapan. Empat
unsur tersebut mewarnai setiap pemikiran etis, jadi metode etika terapan
dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada
umumnya. Empat unsur yang dimaksud disini adalah: Sikap awal,
informasi, norma-norma moral, logika. Berikut di bawah ini dipaparkan
empat unsur tersebut, sebagai berikut:11
1. Sikap Awal
Selalu ada sikap awal dan tidak pernah bertolak dari titik nol dalam
membentuk suatu pandangan mengenai masalah etis apa pun.
Sikap moral ini dapat berupa pro atau kontra atau juga netral, atau
malah tidak peduli sama sekali, namun sikap-sikap awal ini belum
direfleksikan. Sikap awal ini terbentuk karena berbagai faktor
misalnya pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi dll.
Sikap awal akan bertahan sampai suatu saat berhadapan dengan
suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah reflesinya. Bisa
jadi sikap awal tersebut menjadi masalah ketika berjumpa dengan
orang yang memiliki sikap yang berbeda dengan dirinya. Pada
awalnya mungkin kita belum berpikir mengapa kita bersikap
demikian, misalnya dalam masyarakat yang sudah biasa
menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber energinya, tanpa
keberatan apa pun mereka menerima begitu saja penggunaan energi
nuklir tersebut. Akan tetapi seiring dengan sikap negara yang
menggunakan nuklir sebagai alat persenjataannya, seperti Korea
Utara yang sering kali melakukan uji coba nukir ditambah dengan
peristiwa gempa besar di Jepang yang merusak reaktor pembangkit
listrik tenaga nuklir yang efeknya begitu besar bagi manusia,
peristiwa tersebut seperti membuka mata masyarakat akan bahaya
energi nuklir bagi kehidupan manusia. Dari peristiwa ini sikap
awal orang akan tergugah dan menjadi problema etis.
2. Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang diperlukan
adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis
11
K. Bertens, ETIKA, hlm. 295-303
6 | ETIKA TERAPAN
yang terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi, seperti
masalah di atas. Bisa saja sikap awal yang diambil pro, karena
energi nuklir energi yang sangat murah namun menghasilkan
energi listrik yang besar. Sikap awal seringkali bersifat subjektif
yang tidak sesuai dengan kondisi objektifnya. Melalui informasi
dapat diperoleh, bahwa bahan sisa-sisa energi nuklir ternyata tidak
mudah musnah. Sampah nuklir mengandung radioaktif yang
membutuhkan 6000 tahun untuk tidak aktif. Hal ini tentu sangat
mencemari lingkungan, air, tanah dan udara melalui radioaktif yang
dilepaskan ke udara. Tentu informasi-informasi ini diperoleh
melalui data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, informasi
tersebut diperoleh dari para ahli di bidangnya. Dengan demikian
etika terapan memerlukan informasi-informasi yang berkaitan
dengan masalah etis tersebut, hal ini sesuai dengan konteks yang
sudah dijelaskan di atas etika terapan mengadakan pendekatan
multidisipliner.
3. Norma-norma Moral
Metede etika terapan berikutnya adalah norma-norma moral yang
relevan untuk topik atau bidang bersangkutan. Penerapan normanorma moral ini merupakan unsur terpenting dalam metode etika
terapan. Penerapan norma-norma ini bukan merupakan pekerjaan
yang mudah, tidak seperti mata kuliah teknik yang dapat
menerapkan
prinsip teori teknik secara langsung dalam
mengaplikasikannya ke dalam praktik, misalnya dalam
membangun sebuah bangunan. Hal ini lebih dikarenakan normanorma tersebut tidak dalam kondisi siap sedia dan tinggal
diterapkan begitu saja, akan tetapi norma-norma tersbut perlu diuji
dan dibuktikan terlebih dahulu, sebagai norma yang dapat diterima
dan digunakan untuk kasus tersebut, serta dapat diterima secara
umum. Misalnya mengenai masalah perbudakan, tidak serta merta
semua orang menyadari bahwa hal itu tidak sesuai norma. Hal ini
melalui penerapan pada sekelompok kecil yang akhirnya
mempengaruhi orang secara keseluruhan, bahwa perbudakan bukan
hal yang baik untuk kemanusiaan.
4. Logika
ETIKA TERAPAN | 7
Etika terapan harus bersifat logis, dalam hal ini menuntut uraian
yang logis dan rasional dalam pemaparannya. Melalui bantuan
logika dapat memperlihatkan bagaimana suatu argumentasi
mengenai masalah moral, kaitan antara kesimpulan etis dengan
premis-premisnya dan apakah penyimpulannya tersebut tahan uji,
jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Melalui
logika dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan penalaran dan
inkonsistensi yang terjadi dalam argumentasi yang dipaparkan.
Logika juga dapat menilai definisi yang tepat tentang konsep yang
dibicarakan dalam etika terapan. Diskusi akan menjadi tidak
terarah apabila penyaji tidak berhasil mendefinisikan topik-topik
yang dibahas itu secara jelas. Misalnya penyaji harus terlebih
dahulu mendefinisikan mengenai topik perjudian, korupsi, suap dan
sebagainya secara jelas menurut aturan logika.
Melalui
pendefinisian yang dibantu dengan logika tersebut perdebatan
moral menjadi lebih terarah dan menarik.
PENUTUP
Demikianlah etika terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip
atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Dalam kaitan ini, norma dan prinsip moral ditinjau dalam konteks
kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih khusus. Etika terapan
juga bersifat multidisipliner, dalam hal ini memerlukan ilmu-ilmu lain
selain etika untuk menjelaskan masalah yang disoroti, agar dalam
penyimpulan etis dapat dilakukan dengan tepat. Metode etika terapan
terdapat empat unsur yang terdiri dari: sikap awal, informasi, norma-norma
moral, logika
DAFTAR PUSTAKA
Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penebit Kanisus, 1998)
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia – Alam, Iptek dan Kerja,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005)
8 | ETIKA TERAPAN
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia,
1989)
K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta:
Mizan Publika, 2005)
Penerbit Teraju PT
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003)
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta:
2007)
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2004)
ETIKA TERAPAN | 9
ETIKA SOSIAL
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Pembagian lain dari Etika Terapan adalah pembedaan antara etika
individual dan etika sosial. Bidang kajian etika individual membahas
berbagai kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sementara itu etika
sosial lebih menekankan kepada pembahasan kewajiban manusia sebagai
anggota masyarakat. Pembagian etika kedalam etika individual dan etika
sosial ini pun sebenarnya diragukan relevansinya, mengingat manusia
secara individu merupakan bagian dari masyarakat, dengan demikian agak
sulit membedakan etika yang semata-mata untuk individu manusia tertentu
dan etika yang semata-mata sosial. Sebut saja masalah yang berkaitan
dengan kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya bunuh diri
yang sama sekali tidak melibatkan orang lain diprosesnya, tetap saja pada
akhirnya ‘merepotkan’ orang lain yang menemukan dirinya yang sudah
didapati tidak bernyawa, karena orang yang bersangkutan memiliki famili,
teman-teman, tetangga dan lain sebagainya.12
Dengan demikian tidak ada suatu masalah pun yang dapat
dilepaskan begitu saja dari konteks sosial, sehingga pembagian etika ke
dalam etika individual kehilangan relevansinya, mengingat manusia
sebagai mahluk sosial.
PEMBAGIAN ETIKA SOSIAL
Secara khusus etika sosial membahas menyangkut hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya, etika sosial memiliki ruang lingkup yang
sangat luas. Etika sosial menyangkut hubungan individu yang satu dengan
individu yang lainnya, serta menyangkut juga interaksi sosial secara
bersama-sama, termasuk dalam bentuk-bentuk kelembagaan (Keluarga,
12
hlm. 272
Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007),
10 | ETIKA TERAPAN
masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap paham yang dianut, serta
pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing.13
Selanjutnya Sonny Keraf membagi etika tersebut sebagai berikut di
bawah ini:14
Etika Umum
Etika
Etika Individual
- Sikap terhadap sesama
- Etika Keluarga
Etika Khusus
Etika Sosial
- Etika gender
-Biomedis
- Bisnis
- Etika Profesi
Etika Lingkungan
-- Hukum
- Ilmu
- Etika Politik
Pengetahuan
- Pendidikan
- Kritik Ideologi - dll
Dengan demikian, melihat sistematika pembagian etika khusus di
atas, hampir seluruh materi etika terapan yang diberikan dalam Mata
Kuliah Etika di Universitas Kristen Maranatha pada setengah semester ini
13
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
14
Ibid, hlm. 34
34
ETIKA TERAPAN | 11
sebagian bersar merupakan bidang kajian dari Etika Sosial yang terdiri
atas: Etika Bisnis, Etika Politik dan Etika Seksual.
TEMA-TEMA ETIKA SOSIAL
Berikut dipaparkan tema-tema yang terdapat dalam kajian Etika
Sosial, sebagai berikut di bawah ini:
 Menurut buku Manual of Social Etics15 terdiri atas: The Natural
Law, The Dignity of Man, Man’s Natural Rights, The Rights to
Life, The Right to Bodily Integrity, The Family, The State, Lesser
Associations in the State, Vocational Organization, Trade
Unionism, Education, Property, Capitalism, Communism, Strikes,
Wages, Profit-Sharing and Co-Partnership.
 Sedangkan menurut buku ETIKA Sosial karya Jenny Teichman16,
Bagian Pertama: Dasar Etika terdiri dari
(Moralitas dan
Humanitas; Egoisme, Relativisme dan Konsekuensialisme); Bagian
Kedua: Pembelaan Humanisme (Manusia dan Pribadi, Manusia dan
Binatang, Manusia dan Mesin), Bagian Ketiga: Kematian dan
Kehidupan (Eutanasia- Pro dan Kontra, Eutanasia – Logika dan
Praktek, Aborsi, Etika Profesional), Bagian Keempat: Ideologi dan
Nilai (Feminisme dan Maskulisme, Kebebasan Berpikir dan
Berekspresi dan Kelompok Kiri, Kanan dan Hijau)
DASAR ETIKA
Tindakan atau cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh
keyakinannya mengenai apa yang baik dan yang jahat, ada anggapan
bahwa teori-teori etika tidak mempengaruhi tindak-tanduk seseorang.
Akan tetapi anggapan ini nampaknya keliru, teori yang berbeda akan
membuat tindakannya pun berbeda pula. Kelompok konsekuensialis
dalam hal ini utilitarian dan teman-temannya akan melihat sisi manfaat
15
Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of
Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956)
16
Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
12 | ETIKA TERAPAN
atau keuntungannya ketimbang sisi benar dan salah apa yang
dilakukannya. 17
Demikian juga dengan Egoisme, dalam hal ini egoisme teoritis
merupakan teori yang menempatkan moralitas pada kepentingan dirinya
sendiri. Secara kodrati menurut faham ini segala tindakan manusia
didorong oleh motivasi cinta diri dan tindakan-tindakan yang nampak
sepertinya tidak menunjukan cinta diri, namun ternyata ada motivasi lain
dibalik tindakannya tersebut. Misalnya hasrat menolong orang menurut
faham ini didasari oleh rasa cinta diri itu sendiri. Sementara itu Friedrich
Nietzsche menekankan bahwa pandangan egoisme itu harus dianut,
manusia unggul harus menganut egoisme agar dapat memajukan
bangsanya (Über-mensch). 18
Adapun Relativisme moral merupakan aliran etika yang
menyatakan benar dan salahnya bergantung pada masyarakat tempat
dimana manusia itu hidup. Seperti kita maklumi bahwa masing-masing
kelompok masyarakat memiliki kode perilaku yang berbeda-beda. Dengan
demikian terdapat standar moralitas yang berbeda-beda, seseorang tidak
dapat menghakimi orang lain dari komunitas lain yang berbeda standar
moralnya, bila ini terjadi maka ini berarti terjadi imperialisme kultur.
Apabila berpegang pada sudut pandang relativisme moral, kegiatan para
Ku Klux Klan dipandang sebagai tindakan yang jahat dan tidak adil dari
sudut pandang orang kulit hitam saja atau rasisme harus selalu dikutuk,
kecuali ditempat dimana masyarakat dapat menerima pandangan
membeda-bedakan menurut dasar ras. Maka dengan demikian, jika semua
nilai bersifat relatif bagi suatu masyarakat, maka tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa konsistensi yang logis sebagaimana adanya lebih baik
daripada rasisme atau tirani, semuanya bergantung pada sudut pandang
masyarakat bersangkutan.19
Menempatkan manusia pada sisi harkat dan martabatnya
diperlukan dalam mempelajari berbagai teori-teori etika yang ada, agar kita
dapat memiliki prinsip dalam mengambil sebuah tindakan. Dan prinsip
17
Ibid, hlm. 3
Ibid, hlm. 5-10
19
Ibid, hlm 10-15
18
ETIKA TERAPAN | 13
tindakan itu adalah terletak pada penghargaan terhadap harkat dan
martabat manusia yang menjadi dasar yang utama dalam tindakan
seseorang.
Jenny Teichman dengan tegas mengemukakan prinsip dasar yang
harus dipegang dalam etika sosial, prinsip pertama adalah bahwa manusia
secara intrinsik berharga, yakni kudus, dalam arti religius ataupun sekuler
dan kedua bahwa manusia mempunyai hak-hak kodrati.20
KEHIDUPAN MANUSIA DAN NILAI INTRINSIK
Lebih lanjut Jenny Teichman dalam bukunya ETIKA SOSIAL
mengemukakan mengenai nilai intrinsik dalam kehidupan manusia.
Kehidupan manusia dan nilai intrinsiknya dapat kita ketahui melalui
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:21
1. Hampir setiap orang ingin hidup, apakah mereka bahagia atau pun
tidak dengan caranya masing-masing, menunjukkan kepada kita
bahwa hidup itu memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar
keberadaan jiwa maupun raganya. Selain itu orang-orang di mana
pun menilai kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang-orang
yang mereka cintai lebih tinggi daripada apa pun yang lain di dunia
ini.
2. Kehidupan manusia hanya mempunyai nilai intrinsik jika layak
dihidupi. Kehidupan yang bagaimana yang layak dihidupi itu?
Apakah hidup yang tidak layak dijalani ada dalam penderitaan
seperti dalam keadaan sakit yang berkepanjangan atau bahkan
keadaan koma. Namun kehidupan dalam tahanan, kesedihan,
ataupun kesakitan bahkan dalam kekurangan makanan pun ternyata
dinilai layak dijalani.
3. Kaum utilitaris berpendapat bahwa hanya keadaan jiwa seperti
dalam keadaan senang dan bahagia yang memiliki nilai intrinsik,
pendapat ini digambarkan seperti menaruh kereta di depan kuda.
Sementara itu apabila kita menilai sebilah pisau, kita menilainya
20
21
Jenny Teichman, hlm 20
Ibid, hlm. 22-24
14 | ETIKA TERAPAN
hanya sebagai alat saja, lain halnya kita menilai sebuah Lukisan
Leonardo da Vinci, maka kita mengatakan lukisan tersebut
memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian penilaian memiliki nilai
intrinsik tersebut dinilai dari kualitasnya bukan dilihat dari sisi
instrument yang memiliki kegunaan saja. Demikian juga halnya
dengan menilai manusia jika dilihat dari sisi kebergunaan sebagai
instrumen tadi, maka manusia yang ada dalam keadaan yang tidak
berdaya mungkin dinilai tidak ada gunanya.
4. Kalau begitu jika kehidupan manusia tidak mempunyai nilai
intrinsik, bagaimana manusia dapat memberikan nilai kepada halhal lain?
Bagaimana suatu yang bernilai sekunder dapat
memahami dan menciptakan sesuatu yang bernilai primer?
5. Bila masyarakat yang moral dan politiknya didasarkan atas teori
bahwa kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik akan
bertindak memperlakukan orang lain sebagai “cecunguk” yang
layak diinjak dan ditendang, misalnya perlakuan terhadap orang
Yahudi.
6. Jika ada tataran nilai di dunia ini dan manusia tidak berada pada
puncak tataran ini, lalu apakah yang ada di puncak?
Dalam poin-poin tersebut di atas dapatlah kita simpulkan bahwa setiap
manusia bernilai pada dirinya sendiri, dan sama sekali tidak mengurangi
nilainya manakala manusia ada dalam kehidupan tidak bahagia sekali pun.
Sehingga tidak ada alasa bagi kita memandang rendah sesama kita, betapa
pun secara kedudukan misalnya dia adalah rakyat jelata dan miskin sekali
pun, tetaplah kita harus menghormati dia sebagai manusia.
Karena manusia bernilai pada dirinya sendiri, maka manusia pun
merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini dapat diartikan, bahwa
tidak ada alasan sedikit pun bagi kita menggunakan manusia sebagai
sarana untuk mencapai suatu tujuan. Tidak selayaknya mengorbankan
orang-orang atau golongan yang lemah demi kemajuan masyarakat, hal ini
jelas menyangkal manusiawinya sendiri. 22
22
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1982). Hlm. 90-91
ETIKA TERAPAN | 15
HAK-HAK ASASI UNIVERSAL
Gagasan mengenai hak-hak manusia yang universal atau hak-hak
kodrati, merupakan konsep pokok yang mendasari dan menginspirasi
revolusi Amerika maupun Prancis. Ada beberapa jenis hak yang berbeda,
diantaranya: hak-hak warisan, hak-hak legal, hak-hak sipil, dan hak-hak
kodrati atau hak-hak asasi manusia.23
Hak-hak warisan dalam hal ini tidak memerlukan negara dalam
pembelaannya, hak ini terbahas secara implisit dalam saling pemahaman
dan kepercayaan. Hak-hak legal mengandaikan adanya sistem hukum.
Adapun Hak-hak sipil dimiliki oleh semua warga (dewasa) meliputi, hakhak yang berkaitan dengan hak legal, dan hak-hak yang berkaitan dengan
pemerintah demokrasi seperti hak memilih. Sementara itu Hak-hak
kodrati meliputi hak-hak mutlak dan universal. Hak-hak itu diakui sebagai
dimiliki oleh semua manusia tanpa kecuali. 24
Mengenai hak kodrati ini, Thomas Hobbes (1588-1679)
mengemukakan dalam bukunya yang terkenal Leviathan, bahwa manusia
memiliki hak asasi yang masing-masing setiap individu miliki, namun
rangka pemenuhan haknya itu antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain terjadi yang namanya bellum omnes contra omnia (perang semua
melawan semua) dan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi
sesamanya). Untuk itulah, Hobbes membayangkan sebuah “keadaan asali”
atau the state of nature dimana saat semua manusia mengadakan kontrak
sosial, setiap manusia dalam kontrak sosial itu menyerahkan kekuasaan
dan hak-hak kodratinya kepada sebuah lembaga yang disebut negara, agar
ada lembaga yang memiliki kekuatan mengamankan kepentingan manusia
itu dan memaksakan norma-norma dan ketertibannya. 25
Berbeda dengan Hobbes yang menggambarkan keadaan manusia
yang saling bertentangan, karena masing-masing memiliki kepentingannya
sendiri-sendiri. John Locke (1632-1704) dalam bukunya The Second
Treatise of Government, menggambarkan keadaan asali manusia yang
23
Jenny Teichman, hlm. 24-25
Ibid, hlm 26-27
25
F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI
NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 65-72
24
16 | ETIKA TERAPAN
hidup bermasyarakat diatur oleh hukum-hukum kodrat dan masing-masing
individu memiliki hak-hak yang tak boleh dirampas darinya. Jadi dalam
masyarakat asali itu ada kebebasan dan kesamaan.26
Dalam pemaparan di atas kita sudah melihat sekilas ide mengenai
hak-hak asasi manusia yang universal ini dikemukakan oleh para filsuf,
dan di dalam pemaparan mengenai kehidupan manusia dan nilai
intrinsiknya telah dipaparkan bahwa manusia memiliki nilai pada dirinya
sendiri atau dengan kata lain “berharga’ dan memiliki martabat. Martabat
manusia di hormati, apabila segenap anggota masyarakat dihormati hakhak asasinya.
Hak Asasi Manusia
Apa itu hak asasi manusia? Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang
dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak
itu dimiliki manusia karena ia manusia. Sejak seseorang berada dalam
kandungan ibunya sampai dengan ia dilahirkan, ia sudah memiliki hak-hak
asasi tersebut. Dalam pemandangan hak asasi manusia, bahwa hak-hak itu
tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh masyarakat atau
negara. 27
Hak asasi manusia tersebut dapat dibedakan dalam tiga kelompok,
sebagai berikut:28
(1) Hak-hak kebebasan, hak-hak ini bersifat melindungi kebebasan
dan otonomi manusia dalam kehidupan pribadi. Hak-hak ini
meliputi diantaranya: (a) hak atas hidup, keutuhan jasmani,
kebebasan bergerak (pada dasarnya hak di dalam kebebasan fisik
manusia); (b) kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan
beragama (dan hak-hak lainnya yang meliputi kebebasan secara
psikis); (c) perlindungan terhadap hak milik, hak untuk tidak
ditahan secara sewenang-wenang dan hak atas perlindungan hukum
26
Ibid, hlm 80-81
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 98-99
28
Ibid, hlm. 99-101
27
ETIKA TERAPAN | 17
lainnya (dan hak-hak lain yang berkaitan dengan kebebasan
normatif).
(2) Hak-hak demokratis, hak-hak ini berdasarkan keyakinan akan
kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak untuk mengurus diri
sendiri di dalamnya termasuk hak untuk memilih dengan bebas
siapa yang akan mewakili dalam lembaga yang berwenang untuk
membuat undang-undang, hak untuk menyatakan pendapat,
kebebasan pers, hak untuk berkumpul dan membentuk serikat
(perkumpulan).
(3) Hak-hak sosial, hak-hak ini berdasarkan kesadaran bahwa
masyarakat dan negara berkewajiban untuk mengusahakan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini meliputi
hak atas jaminan sosial dasar seperti hak atas pekerjaan,
mendapatkan upah yang wajar, perlindungan terhadap
pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita atas perlakuan
yang sama, dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan kultur
masyarakat.
Jelaslah hak-hak asasi manusia tersebut dapat dijabarkan dalam pembagian
di atas dan hak-hak tersebut perlu dirumuskan secara konkrit, agar nilainilai dan filosofi hidup luhur yang menghargai martabat manusia tersebut
memiliki arti dan dikongkritkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian
menghormati hak-hak asasi manusia beserta harkat dan martabatnya dapat
diukur. Hak-hak asasi manusia merupakan sarana perlindungan manusia
terhadap kekuatan politi, sosial, ekonomi, kultural dan ideologis yang
melindasnya. Maka sebaiknya pembangunan yang berperikemanusiaan
dan bermartabat itu jelas ukurannya adalah tidak melanggar hak asasi
manusia.
MASALAH SOSIAL
Dalam pemaparan di atas telah dijelaskan prinsip-prinsip dasar
etika dalam memandang manusia sebagai mahluk sosial. Telah dijelaskan
pula bagaimana manusia yang memiliki nilai pada dirinya sendiri dan
bagaimana implikasi etis dari setiap teori-teori etika yang dianut terhadap
perlakuan terhadap manusia. Demikian juga dengan kenyataan bahwa
18 | ETIKA TERAPAN
manusia sebenarnya memiliki suatu hak asasi yang telah dikembangkan
oleh berbagai filsuf yang pada akhirnya tercetuslah hak asasi manusia yang
didalamnya terdapat: (1) hak kebebasan, (2) hak demokratis dan (3) hak
sosial.
Sebagaimana pemaparan teori di atas, bahwa manusia memiliki
nilai pada dirinya sendiri, bermartabat dan memiliki hak asasi, pada
kenyataannya manusia menghadapi berbagai masalah-masalah dalam
kehidupan sosialnya. Masalah-masalah sosial tersebut ditimbulkan oleh
adanya gelombang perubahan-perubahan cepat yang terjadi di masyarakat,
hal inilah yang dituturkan para futuris Alvin Toffler juga Francis
Fukuyama. Secara khas Fukuyama melihat bukan pada perubahan yang
cepat itu, namun lebih dari itu akibat-akibat yang ditimbulkan dari
perubahan tersebut pada tatanan masyarakat, berupa hubungan antar
individu, aturan-aturan yang diterima bersama baik berupa yang formal
maupun yang informal (berupa etika dan moralitas).
Selanjutnya
Fukuyama mencontohkan gelombang perubahan besar yang terjadi di
Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, yang dicirikan oleh
meningkatnya secara tajam jumlah indikator patologi sosial, seperti
tingginya tingkat krimininalitas, perceraian dan kehancuran kehidupan
rumah tangga. 29
Lebih lanjut Wasino menuturkan bahwa di dalam
perubahan sosial terdapat masalah sosial dan patologi sosial. Masalah
sosial dapat meliputi masalah pendidikan dan kesehatan, sedangkan
patologi sosial meliputi tindakan kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan
wewenang, narkoba dan masalah prostitusi. 30
Masalah-masalah sosial inilah yang menjadi sorotan dalam etika
sosial ini, sehubungan masalah-masalah sosial ini berpotensi pada
pelanggaran terhadap martabat manusia dan pengingkaran pada nilai
manusia yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Pada dasarnya masalah
dan patologi sosial itu terjadi akibat ketidaksanggupan manusia
menghadapi gelombang perubahan (diantaranya modernisasi) yang begitu
29
Lihat Pengantar Rizal Mallarangeng dalam Francis Fukuyama, Guncangan
Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1999), hlm. xi-xiii
30
Wasino, KAPITALISME BUMI PUTRA: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran, (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2008), hlm. 303
ETIKA TERAPAN | 19
cepat, sehingga mengakibatkan ketidaksanggupan dalam memenuhi hakhak sosialnya (hak atas pekerjaan, mendapatkan upah yang wajar,
perlindungan terhadap pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita atas
perlakuan yang sama, dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan kultur
masyarakat).
Belajar Pada Revolusi Industri Eropa
Dalam kurun waktu antara 1750 sampai dengan 1850, masyarakat
di Eropa mengalami suatu perubahan yang sangat radikal. Abad
pencerahan dan reformasi mendorong berbagai kemajuan peradaban
manusia, mulai dari penemuan ilmu pengetahuan dan penguasaan
teknologi yang mendorong aplikasi penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut dalam industri. Industri sedemikian pesatnya digerakan
dengan mesin-mesin, sehingga menciptakan suatu revolusi industri di
Eropa. Industri membutuhkan tenaga kerja yang besar, hal ini mendorong
urbanisasi besar-besaran dari desa menuju kota besar. Dalam beberapa
tahun terciptalah kelas baru dalam masyarakat, yaitu kelas kaum buruh. 31
Kondisi para urban kaum buruh tidak dalam kondisi yang baik,
mereka ada dalam rumah-rumah petak yang kumuh dan serba kekurangan.
Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan jaminan sosial yang memadai dari
pemerintah berupa jaminan kesehatan, semakin memperparah keadaan.
Mereka bekerja begitu monoton yang mematikan kreativitas, bekerja di
dalam kondisi pabrik yang kotor dan penuh polusi, mengakibatkan
kesehatan mereka terganggu. Kondisi ini mendorong para keluarga buruh
untuk memaksa anak-anak mereka ambil bagian dalam pekerjaan sebagai
buruh pabrik. Demikianlah sekilas gambaran sosial Eropa dalam era
revolusi industri tersebut, dan dapat dipastikan kemacetan yang terjadi
pada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan mereka, maka timbul
pengangguran masal yang sudah pasti memperparah kondisi kehidupan
sosial masyarakat pada umumnya. 32
31
Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999),
hlm. 62
32
Ibid, hlm. 62-63
20 | ETIKA TERAPAN
Kondisi di atas sesuai dengan yang di ramalkan oleh Karl Marx
yang meramalkan eksploitasi kaum buruh sedemikian rupa akan
mengakibatkan krisis. Krisis ini disebabkan akibat penumpukan kapital
yang menyebabkan suatu perusahaan semakin besar yang dapat menelan
perusahaan yang lebih kecil, sampai pada akhirnya jumlah kaum kapitalis
ini semakin sedikit dan terciptalah pemiskinan besar-besaran. Maka cepat
atau lambat, pertumbuhan kapitalisme ini secara otomatis menumbuhkan
kesadaran revolusioner dari dikalangan kaum buruh yang dieksploitasi dan
miskin ini.
Terciptalah pengangguran bertambah, inflasi meningkat
drastis, produk tak terjual dan dengan sendirinya sistem kapitalis hancur,
disinilah munculnya masyarakat sosialis, yaitu suatu masyarakat tanpa
kelas sosial. 33
Revolusi Industri yang melahirkan kaum kapitalis ini pada
kenyataannya ada dalam jaman dimana Eropa ada dalam era liberalisme
yang baru tumbuh. Era ini menempatkan individualisme, dimana
perkembangan dan kebahagiaan individu merupakan nilai tertinggi pada
manusia. Masyarakat semata-mata merupakan sarana demi kepentingan
individu ini. Dan pemikiran Marx (yang sangat mengandrungi Hegel
dengan cara berpikir dialektikanya), merupakan antitesis dari pemikiran
liberalisme yang menempatkan individu pada tempat yang utama tersebut.
Marx memimpikan suatu kondisi masyarakat yang tanpa kelas tersebut
dalam kolektivisme.
Kolektivisme ini kebalikan dari faham
individualisme, dimana menempatkan masyarakat menjadi tujuan pada
dirinya sendiri. Individu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan
hanya sejauh memajukan secara keseluruhan. 34
Faham individualisme melahirkan liberalisme dan faham
kolektivisme melahirkan komunisme, merupakan dua buah faham yang
saling berlawanan satu sama lain. Faham individualisme melahirkan
negara-negara di Eropa Barat dan faham kolektivisme ini melahirkan
negara di Eropa Timur.
33
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche,
(JakartaL PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 243-244s
34
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 87-89
ETIKA TERAPAN | 21
Bagaimana penilaian kita pada
faham individualisme dan
kolektivisme ini, jika dipandang dalam pandangan bahwa manusia
memiliki nilai intrinsik, martabat dan hak asasi di atas?
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa masalah-masalah
sosial tersebut ditimbulkan karena adanya perubahan-perubahan yang
cepat yang terjadi dimasyarakat. Masalah dan patologi sosial ini juga
mendorong perubahan secara ideologis dan cara pandang kita pada
masyarakat seperti telah dipaparkan di atas.
Banyak sosiolog
mengungkapkan pemecahan bagi masalah dan patologi sosial ini, salah
satunya adalah melalui pendidikan. Tokoh yang mengusulkan hal ini
adalah Paulo Freire, berikut di bawah ini dipaparkan pemikirannya.
Mengatasi Masalah Sosial Melalui Pendidikan (Pedagogi Kaum
Tertindas Paulo Freire)
Brasil pada tahun 1929 mengalami kejatuhan finansial yang sangat
hebat, memaksa Freire kecil untuk memahami bagaimana rasanya
kelaparan, kehidupan ekonomi keluarganya yang merupakan keluarga
kelas menengah menjadi jatuh. Profesor Richard Shaull mengungkapkan,
bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan waktu bocah itulah yang
membentuk tekad Freire untuk perjuangan melawan kelaparan agar anakanak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yang pernah
dialaminya. 35
Berangkat dari kondisi nyata masyarakat golongan terbawah yang
amat mengganggu suara hati Freire, telah mengarahkan dirinya pada
penemuan istilah yang ia gambarkan sebagai suatu “kebudayaan bisu” atau
“culture of silence” di kalangan orang-orang yang tersisih itu. Freire
berpendapat bahwa kebodohan dan kelalaian mereka adalah akibat
langsung dari keseluruhan situasi sosial ekonomi dan pengekangan politik
di mana merekalah yang menjadi korbannya. 36
35
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertinda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
2008), hlm. x-xi
36
Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, (Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008), hlm. xxxi
22 | ETIKA TERAPAN
Kebudayaan bisu ini dihasilkan dari proses internalisasi sudut
pandang “penindas” sehingga orang-orang “tertindas” melihat diri mereka
sendiri dari sudut pandang atau kaca mata penindas. Hal ini terjadi
disebabkan karena pendidikan dan media massa yang dipakai kaum elite
untuk menanamkan gambaran sosio-budaya mereka sendiri ke dalam orang
miskin. Hasilnya adalah “kedudayaan bisu”, orang miskin menjadi “bisu”
dan hampir tidak sanggup lagi mengungkapkan pandangan dan
kepentingan mereka, dan sebaliknya para kaum elite bercita-cita menjadi
seperti “panutan”. 37
Melihat kondisi demikian para “kaum tertindas” ini bukannya
memiliki keberanian dan kemampuan untuk memahami dan menjawab
realitas-realitas kongkret dari dunia mereka, melainkan tetap saja
“tenggelam” dalam keadaannya yang sebenarnya kritis. Persoalan ini
merupakan krisis identitas “kaum tertindas” sebagai akibat tekanan
langsung maupun tidak langsung oleh para penguasa. Akibatnya mereka
memandang ketidakberdayaan mereka dianggap sebagai suatu “takdir”
atau kondisi yang menekan kehidupannya itu mereka menjadi fatalis.
Kemudian Paulo Freire mengembangkan sebuah konsep yang
dinamakan sebagai Pedagogi kaum tertindas. Dalam Konsep
pendidikannya ini dijelaskan sebagai sebuah perangkat agar mereka
mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum
penindasnya adalah pengejawantahan dari dehumanisasi. (“an instrument
for their critical discovery that both they and their appressors are
manifestations of dehumanization”)38
Untuk menguraikan konsep pendidikan Paulo Freire ini dimulai
dengan adanya kesadaran, yang Freire sendiri mengistilahkan sebagai
concientizacao. Concintizacao atau ‘konsientisasi’ ini merupakan kata
kunci yang sering dipergunakan oleh Paulo Freire, konsientisasi itu sendiri
merupakan kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. 39
37
Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 2005), hlm. 262
38
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (New York: The Continuum
International Publishing, 2000), hlm 48
39
Endang Sumantri, Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan,
(Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007), hlm 235
ETIKA TERAPAN | 23
Secara ontologis konsep pendidikan Paulo Freire menjadikan para
peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya (humanisasi), manusia yang
lengkap dengan aspek-aspek kepribadiannya. Menurut Paulo Freire
bereksistensi tidak sekedar ada di dalam dunia, tetapi terlibat dalam
hubungan bersama dengan dunia, dengan mencipta, mampu menyusun
realitas kultural dan menambahkannya pada realitas natural yang tidak
dibuat oleh manusia. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha
menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensinya. Menjadi
subjek atau mahluk yang lebih manusiawi merupakan panggilan ontologis
setiap manusia, menurut Paulo Freire.
Pentingnya penyadaran ini berkaitan dengan kodrat manusia yang
utuh sebagai subyek utuh yang tidak hanya sekedar beradaptasi,
mempertahankan diri dari realitas dunia (seperti halnya binatang), namun
juga sanggup untuk mengubah realitas tersebut.
Manusia dengan
kesadarannya memainkan peranannya dalam sejarah dengan menangkap
tema-tema jamannya tidak tinggal diam dan ikut menjadi subjek dalam
peranannya turut ambil bagian dalam sejarah tersebut. Mereduksi sisi
kesadaran manusia dengan hanya menempatkan manusia menjadi objek
dan menempatkannya hanya sebagai pengamat dari realitas inilah yang
merupakan dehumanisasi. 40
Konsientisasi atau kesadaran di sini tidak sekedar berhenti pada
tahap refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang akan selalu
direfleksikan sebagai proses timbal balik yang terus menerus. Praksis
dalam pengertian Paulo Freire adalah proses dialektis yang berjalan tiada
henti antara aksi dan refleksi serta antara refleksi dan aksi.
Freire sangat kritis terhadap pendidikan tradisional di Brasil yang
menekankan pada hafalan dan sangat menggurui. Cara semacam ini
menurutnya akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan manusia
yang seharusnya dapat menyadari keberadaan dirinya akan realitas dunia
yang dihadapi dan sanggup menentukan nasib sendiri. Pendidikan dalam
pandangan Freire merupakan praktik pembebasan yang bukan hanya
40
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 1984), hlm. 3-6
24 | ETIKA TERAPAN
membebaskan orang-orang yang terdidik saja tetapi juga para pendidik. 41
Keduanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang satu mulai
menganggap dirinya cukup berharga (walaupun miskin, buta huruf dan
tidak menguasai teknologi) dan yang lain (gurunya) belajar berdialog
meski masih saja dibayangi oleh peranan pendidik yang sangat menggurui
dan hafalan seperti di atas.
Demikianlah peranan pendidikan dalam menjawab masalahmasalah sosial, dimana pendidikan sangat berperan dalam penyadaran
masyarakat akan realitasnya dan menjadikan dirinya sebagai subjek yang
sanggup mengubah dunia walau sekecil apapun. Paulo Freire melalui
pedagogi kaum tertindas ini menimbulkan sikap kurang senang dari para
penguasa dan golongan status quo, karena kenyamanan mereka dalam
menindas anggota masyarakat lainnya terusik. Beberapa saat kemudian
pemerintah Brasil mencurigai program-program Paulo Freire ini, yang
kemudian menyeret Freire ke pembuangan dari negara Brasil dan
dikucilkan ke negara lain.
Namun apa yang dilakukan Freire untuk
menggugah kaum tertindas untuk sadar dan keluar dari ketertindasan ini,
menjadi inspirasi bagi pengentasan masalah sosial pada beberapa negara
dan membawanya menjadi pembicara di berbagai negara, bahkan menjadi
dosen tamu di universitas terkemuka di Amerika serikat, walau pun di
negara asalnya dia ditolak.
Mengatasi Masalah Sosial Melalui Gerakan Ekonomi (model Grameen
Bank Mohamad Yunus)
Prof. Mohammad Yunus ekonom dari Bangladesh, beliau penerima
penghargaan Nobel tahun 206 sebagai pengakuan tertinggi atas kiprahnya
mengangkat harkat kaum miskin di Bangladesh melalui Grameen Bank.
Moh. Yunus merupakan guru besar Universitas Cittagong, namun dengan
rendah hati beliau mengatakan, “Saya ingin menjadi murid orang-orang
miskin. Mereka adalah profeser saya.”42
41
Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan,
(Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984), hlm ix
42
Steve Gaspersz, “Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi
Indonesia”, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 14
ETIKA TERAPAN | 25
Prof. Moh. Yunus mengentaskan salah satu masalah sosial, yaitu
kemiskinan sejak tahun 1974. Berawal dengan pertemuan dengan seorang
perempuan desa berusia 21 tahun bernama Sufia Begum yang merupakan
ibu dari tiga anak, ketika ditanya oleh Prof. Moh. Yunus berapa
penghasilannya dari perabotan anyaman bambu yang dibuatnya, Ibu muda
itu menjawab 5 Taka atau sekitar Rp. 1.500 dari seorang pengijon untuk
setiap barang yang dihasilkannya dan jumlah tersebut merupakan
seperlima dari jumlah yang seharusnya ia terima kalau ia menjual sendiri
perabotan rumah yang diproduksinya ini. “Saya terhenyak, ya Tuhan,
untuk 5 taka saja wanita ini harus menjadi budak”, kata Prof. Moh Yunus.
Hal inilah yang mendorongnya untuk mengadakan riset dengan para
mahasiswanya di desa Jobra tempat perempuan itu tinggal dan ternyata
mendapati ada 43 penduduk desa yang meminjam uang totalnya sebesar
856 taka atau sekita Rp. 250.000,--. “Saya tidak tahan, saya bayar utang
mereka itu dan mengatakan, kalian sekarang bebas!”, kata Prof. Moh.
Yunus. Kemudian mereka dipersilahkan membayar kapan saja jika sudah
punya uang. Ternyata mereka semua mencicil setiap hari selama setahun
dan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Grameen Bank
atay Bank Pedesaan dalam bahasa Bengali pada tahun 1983. Jaringan
Grameen Bank saat ini begitu meluas dan telah menyalurkan kredit hingga
miliaran dollar US kepada orang miskin di sekitar 70.000 desa.43
Mekanisme pengajuan kredit Grameen Bank ini secara sederhana
dilakukan dengan cara setiap orang yang ingin meminjam harus
membentuk kelompok yang berjumlah sebanyak 5 orang. Bila ada yang
mengusulkan ingin meminjam uang, misalnya untuk membeli kambing,
maka anggota yang lain harus mendukung gagasan itu dan yakin bahwa
usahanya akan berhasil. Para anggota kelompok ini tidak memiliki
kewajiban atas pinjaman yang diajukan oleh anggota yang lain, namun
masing-masing memiliki kesempatan untuk mengajukan kredit dan dapat
mengajukan kembali setelah seluruh anggota dipastikan telah mendapat
gilirin mengajukan pinjaman. Gerakan kelompok kredit melalui Grameen
43
Alexander Paulus, “Your Thingking Determines Your Success: Rahasia
Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010), hlm.166-167
26 | ETIKA TERAPAN
Bank ini telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di Bangladesh
secara tajam, serta pendapatan per kapita Bangladesh meningkat dari USD
280 tahun 1985 menjadi USD 440 pada tahun 2006.44
PENUTUP
Pada dasarnya Etika Sosial ini menekankan penghargaan pada
manusia sebagai manusia dan memiliki martabat. Berbagai persoalan yang
melibatkan individu bila ditelusuri akan juga melibatkan individu yang
lainnya, sehingga persoalan individu tidak dapat dilepaskan dari individu
yang lainnya. Manusia dalam menghadapi realitas yang ada terutama
perubahan yang cepat, sering kali tidak dapat mengikuti perubahan itu
dengan baik, akibatnya terjadilah yang dinamakan dengan masalah sosial
dan patologi sosial. Prinsip mengatasi masalah dan patologi sosial ini
adalah mengedepankan penghargaan manusia sebagai manusia itu sendiri,
seperti apa yang dilakukan dalam model pedagogi kaum tertindas Paulo
Freire dan Grameen Bank Prof. Moh. Yunus.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Alexander Paulus, “Your Thingking Determines Your Success: Rahasia
Menemukan Makna Kehidupan Menuju Keberhasilan”, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Endang Sumantri, Pendidikan Umum di dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan,
(Bandung: Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007)
F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI
NIETZSCHE, (jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Denis Goulet, Prakata di dalam Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan,
(Jakarta, Penerbit Gramedia, 1984)
44
Ibid, hlm. 167-169
ETIKA TERAPAN | 27
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982)
Prof. Dr. Gerben Heitingk dan Ferd. Heselaars Hartono, SJ., Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1999)
Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Johannes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 2005)
Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of
Social Ethics, (Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956)
Rizal Mallarangeng dalam Francis Fukuyama, Guncangan Besar Kodrat Manusia
dan Tata Sosial Baru, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999)
Richard Shaul, dalam Pengantar buku Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas,
(Jakarta: Penerbit LP3ES , 2008)
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertinda, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
2008)
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (New York: The Continuum
International Publishing, 2000)
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Penerbit
Gramedia, 1984)
Steve Gaspersz, “Iman Tidak Pernah Amin: Menjadi Kristen & Menjadi
Indonesia”, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2009)
Wasino, KAPITALISME BUMI PUTRA: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran, (Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2008)
28 | ETIKA TERAPAN
ETIKA POLITIK
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Etika Politik merupakan cabang filsafat yang sudah sangat tua,
kehadirannya bisa disejajarkan dengan kelahiran etika itu sendiri (filsafat
moral). Etika politik menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk
persoalan-persoalan praktik yang berkaitan dengan masalah politik. Para
filsuf membahas mengenai masalah politik ini secara panjang lebar di
dalam buku mereka masing-masing, misalnya Plato menulis buku yang
berjudul Republic, mengemukakan secara sistematis dan rasional system
politik yang ideal. Sementara Aristoteles, menulis buku yang berjudul
Politics,
dalam buku ini Aristoteles mengemukakan contoh yang
relevansinya terbatas pada sebuah model negara-kota Yunani kuno yang
merupakan perintis system politik demokrasi modern.45
Kedudukan etika politik itu sendiri di dalam filsafat, kurang lebih
dapat dijelaskan, bahwa filsafat di bagi menjadi dua bagian yaitu filsafat
teoretis dan filsafat praktis. Etika dikategorikan sebagai filsafat praktis,
adapun etika itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu etika etika umum dan
etika khusus atau etika terapan. Sedangkan etika terapan itu dibagi lagi
menjadi beberapa bagian diantaranya etika sosial, di dalam etika sosial
itulah letak etika politik (lihat pembagian lebih lengkap di dalam bagian
etika sosial).
POLITIK
Beberapa waktu terakhir ini politik menjadi suatu kata yang paling
populer, apalagi menjelang tahun pemilihan umum yang kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Tahun pemilihan umum tersebut,
kemudian orang menyebutkannya sebagai tahun politik. Pada tahun politik
tersebut orang berharap-harap cemas akan apa yang akan terjadi pada saat
tahun politik ini, banyak orang yang mengamati berbagai perkembangan
45
Dr. Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat,
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 336-337
ETIKA TERAPAN | 29
yang terjadi mulai dari businessman, aktivis partai, pejabat, sampai rakyat
biasa.
Sehingga tidak mengherankan bila Aristoteles menyebutkan politik
merupakan master of science, dalam arti pengetahuan tentang politik
merupakan kunci untuk memahami lingkungan. Selanjutnya bagi
Aristoteles, dimensi politik dalam keberadaan manusia merupakan dimensi
terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan
manusia. Aristoteles mengemukakan, politik berarti mengatur apa yang
sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.46
Penjelasan di atas mungkin memperjelas mengenai apa itu politik,
selanjutnya Ramlan Surbakti menjelaskan mengenai politik ini paling tidak
melalui lima pandangannya mengenai politik, yaitu: (1) politik merupakan
usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan
mewujudkan kebaikan bersama; (2) segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (3) politik sebagai segala
kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan
dalam masyarakat; (4) sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum dan (5) politik sebagai konflik dalam
rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting.47
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita dapat simpulkan bahwa
politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara dalam rangka perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum serta mempertahankan sumber-sumber
yang dianggap penting dan juga dalam rangka mempertahankan
kekuasaan.
ETIKA POLITIK
Etika politik sebagai bagian dari etika sosial yang membahas
mengenai kewajiban-kewajiban bidang kehidupan manusia dalam
bidangnya masing-masing, etika politik merupakan ‘filsafat moral’
46
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 1-2
47
Ibid, hlm. 1-2
30 | ETIKA TERAPAN
mengenai kehidupan manusia dalam dimensi kehidupan politik. Dengan
demikian moral merupakan salah satu kunci untuk masuk dalam
pembahasan etika politik. Kata moral menunjuk pada manusia sebagai
manusia, sehingga apabila kita menambahkan di depan moral dengan
kewajiban. Maka kewajiban moral merupakan kewajiban manusia sebagai
manusia, adapun norma moral merupakan norma untuk mengukur betul
salah tindakan manusia sebagai manusia.48
Dengan demikian etika politik mempertanyakan tanggung jawab
dan kewajiban manusia sebagai manusia terhadap negara, hukum yang
berlaku dan lain sebagainya. Kebaikan manusia sebagai manusia dan
kebaikannya sebagai warga negara dalam hal ini tidak identik. Seperti
yang Aristoteles kemukakan, bahwa identitas antara manusia yang baik
dan warga negara yang baik hanya terdapat apabila negara sendiri baik.49
Dengan demikian apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai
warga negara dalam hal ini hidup sesuai dengan aturan negara tersebut,
dengan sendirinya menjadi buruk. Hal ini dapat kita lihat, misalnya di
Afrika Selatan sebelum hukum politik aparteid dihapus, warga negara
Afrika Selatan yang baik adalah warga yang taat pada hukum yang berlaku
di negara itu, maka warga negara yang taat hukum dengan sendirinya
menjadi orang yang tidak baik, karena hukum dalam negara tersebut tidak
baik.
Seperti halnya etika terapan yang lain, etika politik tidak berada
pada tataran mencampuri politik praktis, tetapi lebih berfungsi
memberikan alat-alat teoritis dan mempertanyakan berbagai hal mengenai
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Perkembangan etika politik
didasari atas ambruknya legitimasi kekuasaan yang bersifat religius dan
eliter, serta munculnya kesadaran akan kesalahan dikhotomi moral dan
politik.50
48
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 13-14
49
Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip
Moral dasar Kenegaraan Modern, hlm. 14-15
50
Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha
ETIKA TERAPAN | 31
LEGITIMASI KEKUASAAN
Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis
kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan, atas dasar hak moral
apa seseorang atau sekelompok orang memiliki wewenang untuk
berkuasa? Seberapa pun besarnya kekuasaan seseorang selalu akan
diperhadapkan pada tuntuntan untuk mempertanggungjawabkan. Adapun
mengenai tanggung jawab ini merupakan salah satu faktor penentu dari sah
tidaknya kekuasaan ini. 51
Seorang penguasa yang tidak sanggup
mempertanggungjawabkan kekuasaannya, lambat laun ia tidak akan
memperoleh dukungan masyaraka dan pada akhirnya menggoyahkan
kedudukannya sebagai penguasa negara.
Pada Prinsipnya ada tiga macam legitimasi kekuasaan: (1)
legitimasi religius, (2) legitimasi eliter dan (3) legitimasi demokrasi. 52
Legitimasi religius, merupakan legitimasi kekuasaan yang paling
kuno, dimana kekuasaan dipandang dan dihayati bersumber dari alam gaib.
Pemimpin rakyat atau raja dipandang sebagai perwujudan dari kekuasaan
yang ilahi, sebagai wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus
alam semesta, sehingga melalui dirinya mengalir keamanan, ketentraman,
kesejahteraan dan keadilan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Implikasi
dari legitimasi kekuasaan religius ini, penguasa berada melebihi penilaian
moral, sehubungan raja sendiri merupakan perwujudan dari kekuatan Ilahi
yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. 53
Legitimasi eliter, mendasarkan hak untuki memerintah pada
kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Anggapan ini
didasari bahwa perlu adanya kecakapan khusus yang harus dimiliki agar
dapat memimpin seluruh rakyat. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada
empat macam legitimasi eliter, yaitu legimasi aristokratis, pragmatis dalam
hal ini golongan militer, ideologis dan teknokratis. Aristokratis secara
tradisional merupakan suatu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat
yang dianggap lebih unggul dari masyarakat yang lainnya, sehingga
51
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern,hlm. 30-31
52
Ibid, hlm. 54
53
Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm. 1
32 | ETIKA TERAPAN
golongan ini dianggap paling berhak untuk memimpin.
Adapun
Pragmatis, merupakan golongan atau kelompok secara de facto
menganggap diri paling tepat memegang kekuasaan dan sanggup untuk
merebut kekuasaan dalam hal ini golongan militer. Ideologis, legitimasi ini
mengadaikan adanya suatu ideologi negara yang mengikat seluruh
masyarakat.
Para pengemban ideologi dianggap tahu bagaimana
seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdsarkan monopoli
pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukannya.
Dalam hal ini contohnya adalah pemimpin partai komunis yang berkuasa.
Sedang bentuk yang ketiga merupakan legitimasi demokrasi, yang
berdasarkan kedaulatan rakyat.
LEGITIMASI KEKUASAAN MENURUT ETIKA POLITIK
MODERN
Pada pemaparan di atas telah dijelaskan mengenai legitimasi
kekuasaan, di mana atas dasar kuasanya tersebut negara dapat
‘memaksakan’ apa yang dikehendakinya kepada warganya. Pemaksaan
kehendak negara kepada warganya tersebut apakah dapat dikatakan absah
atau legitim. Penggunaan kekuasaan negara hanya absah apabila beberapa
syarat mutlak dipenuhi. Dengan demikian sebenarnya tidak ada hak atas
kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Berikut di bawah ini ada tiga
prasyarat keabsahan atau legitimasi kekuasaan negara menurut etika politik
modern, yaitu: (1) negara harus mengusahakan kesejahteraan umum; (2)
negara harus bersifat demokratis dan (3) negara harus bersifat negara
hukum. Secara rinci akan dijelaskan di bawah ini: 54
Sebelum menjelaskan tiga prasyarat legitimasi kekuasan negara menurut
etika politik modern dijelaskan terlebih dahulu dua prinsip kehidupan
bersama manusia, yaitu Prinsip solidaritas, bahwa dalam sebuah
masyarakat, masing-masing anggota bersama-sama mengupayakan
kesejahteraan bagi anggota masyarakat lainnya, senasib sepenanggungan.
54
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I –
PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 116-123
ETIKA TERAPAN | 33
Prinsip subsidiaritas, lembaga yang lebih tinggi kedudukannya harus
memberi bantuan kepada para anggotanya.
(1) Prinsip Kesejahteraan umum, tujuan negara yang terutama
adalah menciptakan kesejahteraan umum. Kondisi kesejahteraan
umum ini berkaitan dengan pemenuhan kondisi kehidupan sosial
anggota masyarakatnya, sehingga dapat mencapai keutuhan dan
perkembangan kehidupan yang lebih baik. Ada dua pengertian
dalam kaitan negara mengupayakan kesejahteraan umum ini,
yaitu: (a) negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan
negara adalah demi kesejahteraan manusia dan masyarakat,
dengan demikian tugas negara pada hakikatnya adalah melayani.
Dalam pengertian ini dipahami, apabila negara mengadakan
pungutan-pungutan berupa pajak kepada warganya, bukan
diartikan dalam kekuasaan negara kepada warganya, akan tetapi
lebih diartikan sebagai kesediaan warga yang lain berkorban demi
anggota masyarakat yang lainnya. (b) dalam pengertian
kesejahteraan umum ini, negara tidak menyelenggarakan
kesejahteraan masing-masing anggota masyarakatnya secara
langsung, akan tetapi masing-masing individu mengupayakannya
secara sendiri-sendiri, adapun negara mengupayakan melalui
fungsi subsidier (membantu, menunjang), mengusahakan adanya
semua kondisi yang diperlukan agar para anggota masyarakat
sendiri dapat mengusahakan kesejahterannya.
(2) Negara Demokratis, Dalam negara demokratis ini ada beberapa
prinsip, yaitu Prinsip kedaulatan rakyat, mengatakan bahwa
rakyat sendiri berwenang untuk menentukan bagaimana ia mau
dipimpin dan oleh siapa. Setiap warga memiliki kedudukannya
yang sama sebagai manusia dan warga negara, karenanya masingmasing tidak memiliki hak untuk memerintah orang lain, sehingga
untuk memerintah masyarakat lainnya harus berdasarkan
penugasan dan persetujuan para warga masyarakat itu sendiri.
Prinsip perwakilan,
dalam hal ini rakyat menjalankan
kedaulatannya menurut prinsip perwakilan, karena tidak mungkin
dilakukan secara langsung oleh masing-masing warga. Untuk
34 | ETIKA TERAPAN
memenuhi prinsip pewakilan ini pemilihan umum merupakan
sarana untuk memilih wakit-wakil rakyat. Ciri-ciri negara
demokratis, sebuah negara belum dapat disebut demokratis hanya
dengan mengadakan pemilihan umum dan mempunyai lembagalembaga perwakilan rakyat.
(3) Negara Hukum. Tuntutan etis selain negara demokratis dalam hal
mengenai cara penyelenggaraan kekuasaan negara berikutnya
adalah negara harus taat pada hukum. Negara harus berwujud
negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Pemerintah taat pada
hukum, pemerintah dalam hal ini harus selalu bertindak dalam
batas-batas hukum. Kalau pemerintah tidak berdasarkan hukum,
masyarakat tidak mempunyai pegangan dan akibatnya pemerintah
menjadi sewenang-wenang. Taat pada hukum berart: negara
selalu bergerak dalam abats hukum dan dikontrol oleh lembaga
kehakiman. Kebebasan hakim, kebebasan hakim merupakan pilar
utama bagi sebuah Negara hukum. Hakim memiliki kebebasan
dalam menjatuhkan keputusan dari tekanan kekuasaan eksekutif
atau pemerintah. Hakim sepenuhnya bertanggung jawab terhadap
hukum yang berlaku menurut suara hatinya sendiri. Kebebasan
hakim dari tekanan, ancaman dan paksaan pemerinatah merupakan
tanda paling jelas sebuah negara yang sungguh-sungguh berwujud
negara hukum.
PENUTUP
Jelaslah bahwa politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara
dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum serta
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting dan juga dalam
rangka mempertahankan kekuasaan, hanya dalam pelaksanaannya yang
kita temui sering terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan di dalam
menjalankan kekuasaan dan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
ETIKA POLITIK lebih kepada menyediakan sebuah kondisi ideal berupa
alat-alat teoritis yang berguna untuk pelaksanaan menjalankan kekuasaan
itu. Pada dasarnya legitimasi menurut kekuasaan etika politik modern
ETIKA TERAPAN | 35
merupakan kondisi ideal yang ditawarkan dalam menjalan kekuasaan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsipprinsip Moral dasar Kenegaraan Modern
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, 1987)
Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, 1995)
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I –
PBVI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm.
Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha
Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat,
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007)
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010)
36 | ETIKA TERAPAN
ETIKA BISNIS
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Bisnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai suatu
profesi pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang profesional.
Profesionalitas di sini tidak hanya diartikan dalam kaitannya dengan
keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis seperti halnya dalam
bidang manajemen operasi, pemasaran, keuangan, sumber daya manusia
dan lainnya, terutama dikaitkan dalam prinsip efisiensi demi
mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. 55
Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa
Etika Bisnis merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial. Hal ini
dilihat lebih jauh oleh Kees Bertens yang menegaskan, bahwa
kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan langsung dengan kompleksitas
masyarakat modern dan bisnis juga dipandang sebagai suatu kegiatan
sosial dalam pengertian aspek hubungan antar manusia. 56
Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat dari
aspek bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi perusahaan yang
mendatangkan keuntungan serta melakukan efisiensi, akan tetapi kegiatan
bisnis juga melibatkan hubungan antara pengusahaan dengan
karyawannya, pelanggan, masyarakat pada umumnya hingga pemerintah
(hubungan antar manusia). Sehingga, diperlukan komitmen pribadi
pengusaha yang tinggi, serius dalam menjalankan pekerjaannya,
bertanggung jawab agar tidak sampai merugikan pihal lain. Dengan
demikian sikap pengusaha yang diharapkan disini adalah orang yang
menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang
sangat baik dan tanggung jawab moral pribadinya.
55
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
56
Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm.
46-47
13
ETIKA TERAPAN | 37
Tiga Aspek Pokok dari Bisnis
Kegiatan bisnis menurut K. Bertens dapat disorot dalam tiga sudut
pandang yang berbeda yang tidak selalu dapat dipisahkan, yaitu: (1) sudut
pandang ekonomi, (2) sudut pandang hukum, dan (3) sudut pandang etika,
sebagai berikut di bawah ini: 57
(1) Sudut pandang ekonomis. Dalam sudut pandang ekonomis ini,
bisnis dipandang sebagai suatu kegiatan tukar-menukar, jual-beli,
memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi
manusia lainnya, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Pencarian keuntungan dalam bisnis disini tidak bersifat sepihak,
tetapi diadakan dalam interaksi, komunikasi sosial yang
menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan
bisnis tersebut. Dalam konteks seorang yang bekerja pada suatu
perusahaan, motivasi utama untuk bekerja di perusahaan tersebut
adalah untuk mendapatkan gaji. Walaupun seseorang bekerja pada
perusahaan saudaranya, motivasi saudaranya tersebut bukan dalam
rangka membantu usahanya, akan tetapi motivasi terbesar bekerja
di sana adalah mendapatkan gaji.
Good Business atau bisnis yang baik dalam pandangan ekonomis
ini sedapat mungkin bisnis membawa paling besar keuntungan bagi
perusahaannya.
Dengan demikian kita dapat memaklumi bila
seorang manajer operasi mempertahankan produktivitas
perusahaannya menghasilkan barang pada suatu titik tertentu yang
dianggap optimal agar biaya produksi dan biaya variabel lainnya
menjadi bertambah besar yang ujung-ujungnya akan menaikan
harga.
(2) Sudut pandang moral. Dengan tidak meninggalkan motivasi
ekonomis dalam berbisnis, perlu ditambahkan adanya sudut
pandang lain yang tidak boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut
pandang dari aspek moral. Pertimbangannya adalah selalu ada
masalah etis dari perilaku kita yang terlibat dalam kegiatan bisnis
tersebut. Tidak semua yang dapat kita lakukan dalam rangka
mencapai keuntungan tersebut boleh kita lakukan. Kita harus
57
Ibid, hlm. 13-32
38 | ETIKA TERAPAN
menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan
pertimbangan kita pun tidak mau kepentingan dan hak kita
dilanggar yang berakibat kerugian bagi diri kita. Dengan demikian
menghormati kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan
dalam menjaga kepentingan bisnis kita.
Good Business dalam sudut pandan moral ini, bukan saja bisnis
yang menguntungkan. Namun bisnis yang juga baik secara moral.
Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti
terpenting bagi kata “baik”. Perilaku yang baik di sini merupakan
perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral (berperilaku etis).
(3) Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat juga
oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum bisnis” merupakan
cabang penting dari ilmu hukum modern. Ada banyak masalah
hukum dalam praktik hubungan bisnis, baik dalam tataran nasional
maupun internasional. Seperti halnya etika, hukum merupakan
sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentunya antara hukum dan
etika, jelas sangat terkait. Quid leges sine moribus?, apa artinya
undang-undang kalau tidak disertai moralitas? Dengan demikian
etika selalu harus menjiwai hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus
menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik”
antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut
pandngan hukum itu tidaklah cukup, perlu juga sudut pandang
moral. Tidak semua hal yang pantas dan tidak pantas dilakukan
diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi perlu juga pandangan
moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum merupakan
suatu syarat yang minimum, patuh pada hukum dan tidak juga
melanggar moral itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap
pebisnis. “If it’s morally wrong, it’s probably also illegal.”
Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita
dapat dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu
dengan melihat kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu juga
dengan apakah perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi hukum, dapat
ETIKA TERAPAN | 39
dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau bahkan dapat
menanyakan langsung kepada pengadilan dan meminta putusan hakim.
Namun, dari aspek moral sulit mengukurnya apakah baik atau buruk secara
moral dari bisnis yang dijalankan tersebut. Sehingga untuk membantu
mengukurnya ada tiga tolok ukur, yaitu: hati nurani, kaidah emas,
penilaian masyarakat umum.
Ukurang pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini
mengikat diri kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan
oleh hati nurani dan bila mengabaikannya itu berarti kita sedang
menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi dalam berbagai kasus bisnis
yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga tingkat produktivitas
yang diinginkan supervisor melangggar standar keamanan. Yang pertama
menilai dari masalah ini adalah hati nurani, apakah hati nurani
mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat subjektif hanya ada pada
seorang supervisor tersebut. Tentunya ini sangat subjektif, dan bila hati
nurani orang tersebut tidak dibina atau terdidik, maka akan membentuk
hati nurani yang tidak semestinya, menjadi terlalu longgar atau bahkan
tumpul sama sekali.
Kaidah emas, “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana
Anda memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin
diperlakukan”. Atau dalam rumusan yang negatif berbunyi,”Janganlah
melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan
dilakukan terhadap diri Anda.” Melalui prinsip kaidah emas ini, masingmasing kita akan mengukur apa yang akan kita lakukan terhadap orang
lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak ingin rugi, maka kita pun
tidak boleh merugikan orang lain pula.
Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada
masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga “audit sosial”.
Kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
ETIKA BISNIS
Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan
menyelidiki dan menjernihkan kata seperti “etika” dan “etis” yang
dibedakan antara “etika sebagai praksis dan “etika sebagai refleksi”.
40 | ETIKA TERAPAN
Berikut ini dijelaskan etika sebagai praksis dan refleksi tersebut, di bawah
ini:58
 Etika sebagai praksis59 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat kita
lihat dari tema-tema pemberitaan di media, misalnya “Ada unsur
tidak etis dalam proses akuisisi”, “Tegakkan etika bisnis dengan
Undang-undang Anti Korupsi”, contoh kalimat tersebut menunjuk
kepada etika sebagai praksis, misalnya orang yang memikirkan
masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-undang itu harus
secara konsisten dan ketat dijalankan sedemikian rupa sehingga
nilai dan norma dalam bisnis bisa ditegakkan. Dengan demikian
Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral (apa yang boleh
dan tidak untuk dilakukan).
 Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral.
Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau
mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Dalam surat kabar,
majalah maupun media lainnya dapat kita baca komentar atau
analis-analis dari berbagai peristiwa yang berkonotasi etis,
misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir ini. Baik
berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain berikut
analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang membicarakan
kasus etis tersebut merupakan wujud dari etika sebagai refleksi
pada taraf popular. Etika sebagai refleksi dalam taraf ilmiah,
dijalankan dan secara kritis, metodis dan sistematis menjadikan
refleksi ini mencapai taraf ilmiah.
Etika merupakan cabang filsafat yang mempalajari baik buruknya
perilaku manusia, karena itu etika sering disebut juga sebagai “filsafat
58
Ibid, hlm. 32 - 35
Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus
merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan
praktik, dengan demikian praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan
dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan.
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit
BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
59
ETIKA TERAPAN | 41
praktis”. Secara keseluruh etika membicarakan berbagai hal mengenai
pemikiran moral yang lebih terarah kepada masalah-masalah konkret dan
membuka diri pada topik-topik konkret dan aktual sebagai objek
penyelidikannya.
Dalam hal etika yang membuka diri dalam topik
konkret inilah sering kita sebut sebagai “etika terapan”
Etika bisnis sebagai etika terapan karena memfokuskan diri pada
masalah-masalah moral aktual dibidang bisnis. Sebagaimana etika terapan
etika bisnis dapat dijalankan dalam taraf makro, meso dan mikro. Dalam
taraf makro, etika bisnis membicarakan masalah moral skala besar,
misalnya keadilan dalm suatu masyarakat terutama berkaitan dengan kaum
buruh. Sementara dalam taraf meso (menengah), etika bisnis meneliti
masalah etis di bidang organisasi misalnya perusahaan, lembaga dan
lainnya. Sementara dalam tataran mikro, memfokuskan diri pada masalahmasalah moral dalam bisnis di kalangan manajer, karyawan, produsen,
konsumen dll. 60
Bisnis dan Etika
Telah dijelaskan di atas secara panjang lebar mengenai etika
sebagai filsafat praktis yang mengkaji masalah-masalah moral, sampai
dengan pembahasan etika bisnis sebagai etika terapan yang
mengkhususkan dirinya mengkaji masalah-masalah moral di bidang bisnis.
Dalam bagian ini penekanan tulisannya lebih kepada bagaimana bisnis
tersebut dijalankan secara etis? Dan apakah memang benar bisnis
memerlukan etika? Dan bagaimana hubungan antara bisnis dan etika?
Mitos Bisnis Amoral
Business is business, sering kita dengar ungkapan ini yang intinya
menekankan bahwa urusan bisnis tidak ingin dicampuri dengan berbagai
hal yang tidak berhubungan dengan bisnis. Ungakan ini menurut De
George dalam buku Etika Bisnis Sonny Keraf disebut sebagai Mitos Bisnis
Amoral. Ungkapan ini menggambarkan, bahwa orang berbisnis adalah
semata-mata berbisnis dan bukan sedang beretika. Singkat kata, mitos
bisnis amoral ini menyatakan bahwa kegiatan bisnis tidak ada
60
K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37
42 | ETIKA TERAPAN
hubungannya dengan masalah etika atau moralitas. Keduanya adalah dua
bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak boleh
dicampuradukkan, bisnis hanya dapat dinilai dengan kategori dan normanorma bisnis dan bukan dengan kategori dan norma-norma etika. 61
Dalam pandangan bisnis adalah bisnis tidak berkaitan dengan etika,
maka yang menjadi fokus dari bisnis itu sendiri tidak lain dari memperoleh
keuntungan.
Maka kegiatan operasi perusahaan berfokus pada
menekankan biaya serendah mungkin, mengejar output produksi yang
optimal, bisa saja untuk mengejar produksi yang optimal pebisnis
memaksa kerja mesin dan termasuk orang di dalamnya tanpa
memperhatikan kepentingan tenaga kerja tersebut. Sementara itu di bidang
pemasaran, tim pemasaran ditekan sedemikian rupa dengan target-target
penjualannya, tidak peduli bagaimana cara mencapai target tersebut yang
penting target terpenuhi. Demikian pun dengan bagian sumber daya
manusia, bisa saja mengabaikan aturan-aturan normatif dibidang
ketenagakerjaan demi mempertahankan tingkat efisiensi produksi. Dapat
kita bayangkan bagaimana jadinya bisnis tersebut dijalankan dengan
menghalalkan berbagai cara ini, pasti pebisnis tersebut akan menemui
berbagai persoalan di dalamnya.
Dengan demikian pandangan mitos bisnis amoral, kita tidak dapat
terima sepenuhnya. Walau pun bagaimana bisnis tetap memiliki kaitan
dengan masalah moral.
KEADILAN
Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun memanfaatkan
sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat diaplikasikan dalam
kegiatan bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar abad ke 19, di Eropa
Barat telah berkembang pemikiran di bidang kegiatan ekonomi yang
cenderung mengadopsi cara berpikir utilitarianisme.
Seperti halnya
sudah dipahami bersama, bahwa cara berpikir utilitarianisme ini
didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility) yang paling besar bagi
kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu dianggap baik dan
61
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56
ETIKA TERAPAN | 43
memadai ukurannya adalah manfaat yang mendatangkan kebahagiaan
yang terbesar yang menjadi pilihan tindakannya. 62
Sumbangan pemikiran seperti di atas cukup menolong para
pebisnis, mengingat kompleksitas bisnis saat ini.
Melalui prinsip
utilitarianisme tersebut tampaknya merupakan cara sederhana dalam
memecahkan permasalahan yang kompleks dalam dunia bisnis, artinya
cukup berprinsip dari segi kemanfaatan pebisnis dapat mengambil
pilihannya. Pada kenyataannya prinsip pemikiran ini kurang memadai,
mengingat ukuran manfaat, kebaikan atau kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin orang yang berbeda-beda pemahamannya yang ujung-ujunganya
dapat menjadi perbedaan bagi satu sama lain.
Dengan demikian sumbangan utilitarianisme ini kurang memadai
dalam mengatasi kompleksitas di bidang bisnis tersebut. Apalagi kegiatan
bisnis ini berkaitan dengan masalah kelangkaan (scarcity), sehingga perlu
ada pemikiran lain yang membantu mengatasi masalah ini, diantaranya
adalah teori keadilan.
Teori Keadilan John Rawls63
John Rawls mengemukakan teorinya, ia meminta untuk
membayangkan sebuah keadaan, di mana sekelompok orang sedang
memperbincangkan mengenai isi dan bentuk suatu masyarakat yang adil
dengan kondisi belum ada apa-apa. Jadi masyarakat yang adil tersebut
diciptakan dari nol.
Selanjutnya menurut Rawls, dalam situasi yang memiliki tingkat
objektivitas yang maksimal, setiap orang akan memikirkan suatu
masyarakat yang mampu memberikan manfaat dan berkat bagi dirinya
sendiri. Dalam situasi demikian menurut Rawls akhirnya, bila orang-orang
itu berakal sehat maka, masyarakat itu harus bertindak “fair” kepada
setiap anggotanya siapa pun dia. Dengan kata lain, dalam masyarakat
tersebut tidak ada anggotanya diperlakukan secara tidak “fair”. Rawls
62
Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi,
dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36
63
Ibid, hlm. 37-40
44 | ETIKA TERAPAN
menyimpulkan bahwa bersikap adil adalah bersifat “fair”. “Justice as
fairness”.
Kemudian apakah “fairness” itu? Rawls menjelaskan dua prinsip.
Pertama, “Equality” atau kesamaan. Setiap orang berhak mendapat
perlakuan yang sama. “Fair” berarti setiap orang harus tunduk pada
peraturan main yang sama dan peraturan main itu tidak dirumuskan hanya
untuk menguntungkan sebagian orang. Kedua, Kesamaan tidaklah sama
dengan persamaan. Karena, memang orang tidak sama. Memperlakukan
semua orang secara mutlak sama, justru tidak menguntungkan semua
orang, khususnya mereka yang berada dalam keadaan tidak
menguntungkan.
Dengan demikian, maka pembedaan adalah tidak adil, sedangkan
perbedaan itu diperlukan demi keadilan. Kemudian, perbedaan manakah
yang dikatakan adil atau “fair” tersebut? Rawls menyatakan, perbedaan
dapat dikatakan “fair” apabila “hasilnya mendatangkan keuntungan bagi
semua orang, khususnya anggota-anggota masyarakat yang paling lemah
kedudukannya”. Dengan demikian perbedaan “diharamkan” bila ia hanya
menguntungkan sekelompok kecil orang yang kedudukannya kuat. Jadi,
perbedaan dapat diterima, bila mereka yang berada di tingkat paling bawah
menganggap perbedaan itu menguntungan mereka. Rawl mengatakan,
“Bukanlah suatu ketidakadilan bila keuntungan yang lebih besar dinikmati
oleh yang sedikit, dengan syarat bahwa melalui itu keadaan mereka yang
lemah mengalami perbaikan.” Selanjutnya Rawls berkeyakinan, bawah
prinsip-prinsip “fair” ini merupakan dasar yang adil dapat diterima oleh
setiap orang yang berakal sehat.
Apa yang disampaikan Rawls di atas merupakan “apa yang
seharusnya” merupakan nilai yang luhur dan berharga, sehingga orang
dengan sukarela dan sungguh-sungguh mau mengikatkan dirinya.
Sehingga dalam keputusan etis yang diambil dalam praktik berbisnis
bukan saja dari segi manfaat yang paling besar yang akan diperoleh, tetapi
juga memenuhi unsur keadilan (fairness) di dalamnya.
KEUNTUNGAN
Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah: berapa
besar orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan bagaimana pula
ETIKA TERAPAN | 45
ukuran-ukuran etisnya?
Pandangan umum mengatakan bahwa dalam
dunia bisnis adalah wajar bila orang berusaha untuk mengeruk keuntungan
yang sebanyak-banyaknya.
Pada jaman kejayaan liberalisme klasik, bahwa maksimalisasi
keuntungan atau profit maximization merupakan satu-satunya tujuan bagi
perusahaan.64 Hal ini dapat kita lihat dalam teks buku-buku pegangan
mahasiswa ekonomi, profit maximization ini masih dipelajari sampai saat
ini. Mari kita lihat sebagai misal bagaimana maksimalisasi laba itu
diperoleh dalam kondisi industri kompetitif sempurna, yang mana produksi
akan mencapai titik di mana harga outpunya tepat sama dengan biaya
marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus MR=MC,
pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan mahasiswa Ekonomi
Akuntansi dan Manajemen sekarang.65
Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh mahasiswa
ekonomi sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini bukan menjadi
satu-satunya pegangan dalam menjalankan berbisnis dikemudian hari.
Beberapa hal yang harus dikritis dalam memang prinsip maksimalisasi
profit secara ketat dan merupakan satu-satunya tujuan di dalam praktik
berbisnis, diantaranya berimplikasi kepada pengerahan semua sumber daya
perusahaan agar mencapai profit yang maksimum. Pengerahan sumber
daya ini termasuk juga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya, janganjangan demi profit maksimum ini perusahaan menjadikan karyawan hanya
sebagai alat semata. Tidak heran bila beberapa waktu yang lalu kita
menemukan sebuah perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan
buruhnya dengan semena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang
belum cukup umur (masih usia anak-anak)66.
Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka jelas
sangat ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18, yaitu
Immanuel Kant. Kant menuturkan dalam bukunya Foundations of the
64
Kees Bertens, Keprihatinan Moral – Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 70
65
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212
66
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Guga
t.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
46 | ETIKA TERAPAN
Metaphysics of Moral (1785), “Bertindaklah sedemikian sehingga engkau
memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau orang lain,
selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.”67 Dengan
demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan karyawannya
sebagaimana manusia yang memiliki martabat dan tidak menganggap
karyawan mereka sebagai sarana atau alat untuk memperoleh keuntungan
yang menjadi tujuan utamanya.
Kalau begitu apakah salah perusahaan mengejar profit? Patut kita
akui bahwa bisnis tanpa profit bukan bisnis lagi. Kegiatan bisnis agar
dapat memiliki etika yang baik tidak perlu merubah menjadi suatu karya
amal, bisnis tetaplah bisnis yang mencari keuntungan. Keuntungan
merupakan unsur yang hakiki dalam berbisnis, namun keuntungan pebisnis
tidak boleh memutlakan keuntungan. Maksimalisasi keuntungan sebagai
suatu tujuan perusahaan akan berakibat timbulnya keadaan yang tidak etis.
Dengan demikian kita harus melihat ulang mengenai keuntungan itu
dengan memandang keuntungan sebagai suatu yang relatif.
Relativasi Keuntungan68
Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan
membedakan keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi
(motive). Maksud atau purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi
bersifat subjektif. Hal ini dapat dijelaskan, misalnya: kita memberikan
sedekah kepada pengemis supaya ia bias makan (merupakan maksud),
sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Demikian juga dengan
bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud (purpose) dari
bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa yang
ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan merupakan
motivasi dalam berbisnis.
Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit bukanlah
satu-satunya tujuan berbisnis.
Beberapa hal yang menggambarkan
relativasi keuntungan dalam bisnis diantaranya: keuntungan merupakan
67
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm.
68
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162
235-236
ETIKA TERAPAN | 47
tolok ukur untuk menilai kesehatan perusahaan, keuntungan adalah
pertanda yang menunjukkan bahwa barang dan jasa dihargai oleh
masyarakat, keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha,
keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan dan keuntungan
mengimbangi risiko dalam usaha.
KONSUMEN
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan
transaksi ekonomi yang hak-haknya sering terabaikan.
Konsumen
menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, dapat didefinisikan
sebagai berikut:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepenting diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”69
Dengan demikian konsumen sebagai stakeholder yang dekat dengan
produsen sudah seharusnya mendapat perhatian.
Perhatian etika dalam hubungan dengan konsumen tersebut, harus
dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segisegi etis dari relasi bisnis (dalam hal ini konsumen sudah mendesak),
mengingat posisi konsumen sering dalam posisi yang lemah. Walau pun
konsumen memiliki gelas “raja” namun pada kenyataannya “kuasanya”
sangat terbatas karena berbagai sebab. 70
Perumusan perhatian kepada konsumen itu dapat dirinci ke dalam
empat hak konsumen, sebagai berikut:71
1. Hak atas keamanan, banyak produk mengandung risiko tertentu
untuk konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan dan
keselamatan. Konsumen berhak atas produk yang aman, artinya
produk tersebut tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan
lainnya yang bisa merugikan kesehatan dan keamanan produsen.
69
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008), hlm. 22-23
70
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-228
71
Ibid, hlm. 228-230
48 | ETIKA TERAPAN
2.
3.
4.
5.
6.
Hak atas informasi, konsumen berhak mengetahui segala
informasi yang relavan mengenai produk yang dibelinya, baik
bahan baku apa saja yang digunakan dalam membuat produk
tersebut, cara memakainya, maupun risiko yang menyertai
pemakaian itu.
Hak untuk memilih, konsumen berhak untuk memilih antara
pelbagai produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga
produk dapat berbeda, konsumen berhak untuk membandingkan
sebelum memutuskan membeli.
Hak untuk didengar, konsumen berhak atas keinginannya
tentang produk atau jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan,
terutama keluhannya.
Hak lingkungan hidup, ia berhak produk dibuat sedemikian
rupa, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau
merugikan keberlanjutan proses alam. Konsumen boleh menuntut
bahwa dengan memanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi
kualitas kehidupan di bumi ini.
Hak konsumen atas pendidikan, konsumen diharapkan menjadi
konsumen yang kritis dan sadar akan haknya.
Tanggung jawab Menyediakan Produk yang Aman
Dalam bagian hak telah dijelaskan hak apa saja yang dimiliki
konsumen, sebaliknya produsen sendiri dituntut tanggung jawab untuk
menyediakan produk yang dihasilkannya tersebut aman. Tiga pandangan
tentang tanggung jawab produsen dalam menyediakan produk yang
ditawarkan kepada konsumen tersebut aman dapat dipaparkan sebagai
berikut:72
1. Teori kontrak, jika konsumen membeli sebuah produk atau jasa,
konsumen seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan
yang menjual produk tersebut, misal seseorang memarkir
kendaraannya di sebuah tempat parkir umum, ia mendapatkan struk
tanda parkir dan dibelakang struk tersebut tertera berbagai
ketentuan-ketentuan mengenai parkir di tempat tersebut, atau jika
72
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239
ETIKA TERAPAN | 49
anda membuka rekening tabungan di bank anda akan disodori
berbagai syarat dan ketentuan tabungan yang harus anda ketahui.
2. Teori perhatian semestinya, atau disebut dengan the due care
theory. Pandangan ini bertolak dari posisi konsumen yang lemah,
maka produsen mempunyai lebih banyak pengetahuan dan
pengalaman pada produk tersebut. Maka kewajiban produsen
adalah menjaga agar konsumen tidak merasa dirugikan, misalnya
produsen mainan wajib mencantumkan dalam kemasan akan
kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari mainan yang
dijualnya.
3. Teori biaya sosial, produsen bertanggung jawab atas semua
kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen
dalam memakai produk tersebut.
Demikianlah tanggung jawab produsen ini, agar konsumen tidak
mengalami kerugian atas pemakain barang dan jasa yang ditawarkannya.
IKLAN
Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai bentuk
informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai kehidupan kita,
dari mulai bangun pagi kita menyalakan TV sudah ditawari berbagai iklan.
Kemudian kita pergi ke tempat pekerjaan di jalanan kita menemukan
berbagai iklan media luar ruangan yang memenuhi berbagai tempat.
Setelah tiba di kantor kita buka komputer kerja dan terhubung dengan
internet, di internet pun kembali kita menemukan iklan. Demikian
seterusnya sampai kita terlelap tidur barulah kita terbebas dari iklan
tersebut.
Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang
menawarkan suatu produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui
suatu media. Iklan sebenarnya merupakan bagian dari bauran promosi
yang terdiri dari personal selling, sales promotion dan publicity.
Sejatinya iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain: memberikan
informasi atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi
50 | ETIKA TERAPAN
produk, menciptakan kesan (image) yang baik tentang produk, alat
komunikasi dan menjaring khalayak. 73
Kemudian bila melihat pengertian di atas, apa yang menjadi
masalah etis di dalam periklanan ini? Dan mengapa iklan ini diangkat
dalam topik etika bisnis?
Sebenarnya tidak ada kegiatan bisnis lain yang begitu banyak kritik
dan menjadi tanda tanya besar seperti periklanan. Seperti dipahami secara
umum, untuk membuat sebuah iklan perusahaan tidak segan-segan
membelanjakan dananya yang besar, kemudian budget dana yang besar itu
bila diamati tidak menambah suatu produk dan tidak juga meningkatkan
kegunaan bagi konsumen. Iklan sepertinya hanyalah penyedot biaya yang
besar yang alih-alihnya dibebankan kepada konsumen untuk
membayarnya. Sebagai misal produk susu formula untuk bayi, konsumen
membayar mahal untuk satu kali susu formula. Kalau dihitung biaya
produksi saja sampai ke tangan konsumen dikurangi biaya iklan,
konsumen mungkin tidak harus membayar mahal untuk sekaleng susu
formula tersebut. Harga menjadi mahal setelah ditambahkan dengan
komponen biaya promosi mulai dengan membiayai para tenaga penjualan
(Sales Promotion Girl) yang selalu stand-by di outlet/supermarket, tenaga
penjualan yang datang berkunjung ke rumah sakit menemui dokter, bidan
dan ibu-ibu yang baru melahirkan, iklan diberbagai media (cetak,
elektronik, media luar ruangan dll).
Masalah tidak berhenti sampai pada biaya besar yang dibebankan
kepada konsumen, tetapi masalah sosio kultural juga menjadi perhatian.
Tidak jarang iklan yang hilir mudik di media komunikasi menampilkan
suatu suasana hedonis, materialis, tidak mendidik, dan cenderung
mendorong sikap konsumtif kepada masyarakat.74
Demikianlah
permasalahan etis yang dapat dikaji dalam periklanan ini.
73
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori
dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2010),
hlm. 2-4
74
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264
ETIKA TERAPAN | 51
Periklanan dan Kebenaran
Tahun 2012 yang lalu seorang ibu yang bernama Milla tertarik
dengan “iklan” bermerek Nissan March. Milla pun membeli Nissan March
matic pada 7 Maret 2011 seharga Rp159,8 juta. “Nyatanya, mobil (Nissan
March) saya kok boros banget. Saya sih nggak mengharapkan yang mulukmuluk seperti di iklan, ya sekitar 1:14 atau 1:13, saya rasa sudah cukup
bagus. Tetapi setelah melakukan pengujian beberapa kali, hanya mampu
1:7 atau 1:8,” kata Milla. Milla pun akhirnya mengajukan gugatan secara
resmi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah keluhannya ini
tidak didengar oleh Nissan. 75
Apabila ibu Milla merasa tertipu dengan iklan yang ditawarkan
oleh produsen mobil tersebut, bagaimana dengan anda? Pernahkah anda
membaca iklan yang anda tahu, pernyataan dalam iklan tersebut tidak
mengandung kebenaran, ‘bombastis’ dan cenderung dibesar-besarkan?
Iklan memang memiliki stereotipe (mendapatkan ‘cap’ dari masyarakat)
yang suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik.
Periklanan hampir apriori (dipastikan) disamakan dengan tidak bisa
dipercaya. 76 Tentu saja berbohong merupakan suatu perbuatan yang tidak
etis.
Tetapi apakah benar iklan mengandung unsur kebohongan?
Dalam konteks moral harus dilihat “maksud” dalam perbuatan berbohong
ini. “Maksud” disini adalah ada unsur kesengajaan. Dapat saja sebuah
iklan mengatakan sesuatu yang tidak benar, misalnya iklan sebuah obat
yang sangat efektif mengatasi rasa sakit, ternyata ada efek samping yang
tidak terduga sebelumnya. Iklan obat ini tidak berbohong, karena tidak
dengan sengaja menyimpang efek samping yang ditimbulkan. Maksud
berikutnya adalah agar orang lain percaya, dalam hal ini iklan informatif
dan iklan persuasif.
Unsur informasi selalu benar, misalnya
menginformasikan kandungan makanan, zat pewarna, pengawet dan
infomrasi produknya halal.77
75
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissanberupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42
76
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-266
77
Ibid, hlm. 266
52 | ETIKA TERAPAN
Iklan dalam penggunaan bahasa menggunakan retorika sendiri
yang cenderung produknya adalah yang terbaik dibidangnya atau nomor
satu di kelasnya. Misalnya “melezatkan setiap masakan”, “membersihkan
paling bersih”, “bintang segala bir”, dll. Bahasa periklanan disini sarat
dengan superlatif dan hiperbol. Dalam hal ini si pemasang iklan tidak
bermaksud sama sekali agar public percaya begitu saja, dan tentunya
publik pun tahun bahasa retorika tersebut tidak perlu dimengerti secara
harafiah.
Maksudnya di sini bukan memberi informasi yang belum
diketahui, melainkan menarik perhatian supaya dapat memikat calon
pembeli.
Setelah mengamati masalah periklanan di atas, ternyata cukup sulit
memlihat hal yang etis dan tidak etis di dalam periklanan. Sama halnya
dengan sulit untuk membedakan antara “melebih-lebihkan” dan
“berbohong”, sehingga masalah kebenaran di dalam periklanan tidak dapat
dipecahkan dengan cara membedakan secara hitam dan putih. Banyak
bergantung pada situasi konkret dan kesediaan publik untuk menerimanya
atau tidak.78
Kembali ke kasus Ibu Milla di atas, pertanyaannya apakah Nissan
berbohong? Di dalam konten iklan itu dinyatakan kendaaran irit/hemat
bahan bakar dan di atas pernyataan irit itu ada tanda asteris (*) yang
menerangkan kendaraan tersebut telah diuji tingkat konsumsi bahan
bakarnya di sebuah sirkuit oleh outo bild. Akal sehat kita membandingkan
sirkuit yang bebas hambatan dan jalanan di Jakarta yang macet parah, kirakira kendaraan macam apa yang dapat menghemat bahan bakar sampai
dengan 21 Km /liter atau minimal 14 km/liter? Jadi apakah Nissan
berbohong dalam iklannya?
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Tanggung jawab sosial diartikan sebagai menjalankan sebuah
bisnis yang memenuhi atau melampaui harapan etis dan legal yang dimiliki
masyarakat terhadap bisnis tersebut.
Dalam hal ini memastikan
78
Ibid, hlm. 269
ETIKA TERAPAN | 53
keberhasilan komersial dalam cara-cara yang menghormati nilai-nilai etis
dan menghormati orang, masyarakat dan lingkungannya. 79
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat dibedakan dengan
tanggung jawab ekonomis perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan
yang dimaksud di sini merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan
untung atau rugi secara ekonomis. Perusahaan dalam hal ini melakukan
kegiatan yang tidak membawa keuntungan ekonomis dan semata-mata
dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau salah satu kelompok
masyarakat,
misalnya
perusahaan
menyelenggarakan pelatihan
keterampilan untuk para penganggur di lingkungannya. 80
Tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat dilihat dari sisi
negatif, di mana perusahan menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan
tertentu, yang sebenarnya menguntungkan secara ekonomis. Misalnya
sebuah perusahaan kertas membuang limbahnya langsung ke sungai,
praktik ini menguntungkan secara ekonomis, karena tidak perlu membuat
pengolahan air limbah yang mahal. Dalam hal menanggung kerugian
masyarakat inilah perusahaan harus bertanggung jawab, sehingga tanggung
jawab sosial di sini diartikan dari sisi negatif.
Demikianlah perusahaan seyogyanya selain melakukan kegiatan
yang menguntungkan bagi perusahaannya, juga memperhatikan berbagai
kegiatan yang memberikan sumbangan yang berarti untuk masyarakat
secara luas.
PENUTUP
Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di
atas merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis yang
ada dalam kegiatan bisnis. Untuk pokok bahasan lingkungan hidup secara
khusus akan dibahas dalam topik Etika Lingkungan hidup.
79
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004),
80
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297
hlm. 143
54 | ETIKA TERAPAN
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta:
Penerbit BPK Gunung Mulia, 2004)
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori
dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex
Media Komputindo, 2010)
Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis,
Ekonomi, dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung
Mulia, 2001)
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008)
Jacobus Tarigan, MA. (Penyunting), ETIKA BISNIS: Dasar dan
Aplikasinya, (Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia,
1994)
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004)
Kees Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2000)
Kees Bertens, Keprihatinan Moral – Telaah atas Masalah Etika,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003)
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006)
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2004)
ETIKA TERAPAN | 55
Sumber internet:
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.
Gugat.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumennissan-berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober
2013 pukul 07:42
56 | ETIKA TERAPAN
ETIKA KERJA
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai etika kerja ini, ada
baiknya kita terlebih dahulu mendapatkan penjelasan mengenai kerja.
Beberapa orang beranggapan, bahwa pekerjaan itu merupakan suatu beban
atau bahkan sebagai suatu kutukan karena kita telah berdosa kepada
Tuhan. Sebagian lagi berpendapat, kerja merupakan kewajiban manusia
agar dapat bertahan hidup dan terus melanjutkan kehidupannya di dalam
dunia ini.
Dalam sebuah artikel bagi orang Jawa berpandangan mengenai
kerja. Bahwa hidup di dunia merupakan ujian yang harus diselesaikan
dengan berbagai cara. Orang hidup menurut pengertian Jawa wajib
bekerja keras, tanpa pamrih yang berlebihan seperti ungkapan bila
seseorang ditanya tentang tujuan mereka bekerja, adalah ‘ngupoyo upo’
artinya mencari sebutir nasi. Ungkapan ini menggambarkan betapa
beratnya pekerjaan yang harus diupayakan sedemikian rupa.81
Mengenai arti kerja itu, memang bergantung kepada bagaimana
seseorang tersebut memaknainya. Marilah kita melihat mengenai kerja ini
dipandang dari tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Ternyata, bekerja
merupakan bagian dari hakikat manusia itu sebagai manusia. Pada awal
penciptaan, manusia ditempatkan di sebuah taman, namun bukan sebagai
penikmat taman itu, tetapi Tuhan menempatkan manusia di sana untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu.
Singkatnya, Tuhan
menciptakan manusia untuk bekerja. Jadi salah bila mengatakan kerja itu
sebagai beban atau kutukan.82
Adapun bagi seorang seniman, hakekat kerja adalah penciptaan.
Maka atas dasar penicptaan inilah, seorang seniman mampu memandang
bahan-bahan sebagai sesuatu yang mampu mengoyakan gairannya untuk
81
Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm. 307
82
Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT
BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 100-101
ETIKA TERAPAN | 57
berkreasi, untuk mendapatkan warna atau bentuk terbaik digali sedemikian
rupa dalam proses penciptaannnya. 83 Nah kalau begitu, menurut anda apa
itu kerja?
ETHOS KERJA
Ethos merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang sering
digunakan dalam bahasa modern saat ini. Menurut kamus Concise Oxford
Dictionary (1974) ethos dapat didefinisikan sebagai characteristic spirit of
community, people or system, atau merupakan sebagai suasana yang khas
menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem. Sehingga bila kita
mendengar ‘ethos kerja’ atau ‘etika profesi’ itu berarti menunjuk pada
suasana khas yang menandai kerja atau profesi. Suasana khas yang
dimaksud ini berkaitan dengan suasana yang baik secara moral. Suasana
yang bernuansa etis tersebut dalam kelompok kerja atau profesi tersebut.84
Sehingga dalam rangka menuangkan suasana yang etis tersebut, biasanya
kelompok tersebut menuangkannya dalam suatu kode etik atau dituangkan
dalam peraturan perusahaan.
Lebih lanjut mengenai ethos kerja ini, Jansen H. Sinamo yang
dikenal sebagai Bapak Ethos Indonesia merumuskan ada 8 Ethos Kerja
yang dikembangkannya, adalah: (1) kerja adalah rahmat: bekerja dengan
tulus dan penuh rasa syukur; (2) kerja adalah amanah: bekerja dengan
penuh rasa tanggung jawab; (3) kerja adalah panggilan: bekerja tuntas
penuh integritas; (4) kerja adalah aktualisasi diri: bekerja keras penuh
semangat, (5) kerja adalah ibadah: bekerja dengan serius penuh
kecintaan; (6) kerja adalah seni: bekerja cerdas penuh kreativitas; (7)
kerja adalah kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan; (8) kerja
adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati. 85 Delapan
rumusan ethos kerja di atas sangat menarik sarat dengan nilai-nilai religius
dan etis yang memberikan makna terhadap pekerjaan yang ditekuni.
83
Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie,
(Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 105
84
Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm.219
85
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan
Pemula, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 23
58 | ETIKA TERAPAN
Melihat pemaparan pendahuluan kita mendapat penjelasan
mengenai konsep-konsep, nilai-nilai etis dan hakekat mengenai kerja itu
sendiri. Sedangkan pada bagian ethos kerja kita mendapatkan penjelasan
tentang bagaimana sikap dan praktik dari bekerja tersebut. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara ETIKA KERJA dan
ETHOS KERJA adalah etika itu berada pada tataran ideal (ingat bahan
kuliah pertama), sedangkan ethos berada pada situasi yang faktual. Atau
secara singkat kita katakan etika kerja adalah teori dan ethos kerja adalah
praktiknya.
PEKERJAAN DAN PROFESI
Bila kita menanyakan mengenai profesi seseorang, sering kali kita
mendapatkan jawaban pekerjaan orang tersebut, misalnya: Profesi bapak
sekarang apa pak? Bapak tersebut menjawab, “Saya memiliki profesi
sebagai dokter”. Sepintas dari jawaban bapak tersebut antara profesi dan
pekerjaan yang digelutinya adalah memang sama, profesi sebagai dokter
ya bekerja juga sebagai dokter. Dengan demikian pekerjaan seolah sama
dengan profesi, dan profesi sama dengan pekerjaan. Pemahaman ini
tidaklah salah, karena profesi merupakan pekerjaan, yang ditekuni oleh
seseorang. Namun demikian, antara pekerjaan dan profesi sebenarnya
terdapat perbedaan, sehubungan dengan hal yang dikerjakan yang kita
golongkan sebagai profesi memiliki kekhususan.86
Berikut di bawah ini merupakan ciri dari profesi, sebagai berikut:87
a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan
sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan
keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi
dalam hal ini moral yang mendalam. Dengan demikian seseorang
yang layak disebut sebagai profesional adalah orang yang
melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan
itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi
86
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 219-220
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS – Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penerbit KANISIUS, 1998), hlm. 35-48
87
ETIKA TERAPAN | 59
serta memiliki komitmen pribadi yang mendalam atas
pekerjaannya. Dengan demikian secara sederhana kita dapat
katakan, seorang yang profesional adalah orang yang kehidupannya
didedikasikan sepenuhnya pada pekerjaannya dan mendapat
penghidupan dari pekerjaannya tersebut. Atas pertimbangan
tersebut orang tersebut memiliki disiplin, ketekunan dan keseriusan
sebagai wujud komitmen atas pekerjaannya.
Ada tiga hal yang membedakan pekerjaan seorang profesional dan
pekerjaan sebagai sebuah hobi, yaitu: (1) pekerjaan sebagai hobi
dijalankan terutama demi kepuasan dan kepentingan pribadi, (2)
pekerjaan sebagai hobi tidak punya dampak dan kaitan langsung
yang serius dengan kehidupan dan kepentingan orang lain, serta
tidak mempunyai tanggung jawab moral yang serius atas hasil
pekerjaan itu bagi orang lain. (3) pekerjaan sebagai hobi bukan
merupakan sumber utama dari nafkah hidupnya.
Untuk
menjelaskan ketiga poin ini tentu kita bisa membedakan kegiatan
photography sebagai profesional dan hobi.
Dalam hal orang menjalankan profesi luhur, misalnya profesi
sebagai dokter, penasihat hukum, hakim, jaksa, rahaniawan
(pendeta atau pastor), tentara dan sebagainya, pada kenyataannya
mereka membutuhkan nafkah hidup dan bahkan hidup dari profesi
ini. Akan tetapi tujuan utama mereka adalah menjalankan profesi
luhur ini, bukan untuk memperoleh nafkah hidup, melainkan untuk
mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat. Hal ini dapat kita
melihat dalam diri seorang dokter yang bernama, dr. Lo Siauw
Ging. Seorang dokter senior di kota Solo ini tidak pernah
menentukan tarif untuk pasien yang datang kepadanya. Bahkan ia
lebih banyak memberikan pelayanan Cuma-cuma kepada pasien
yang kurang mampu. Ketika ditanya oleh wartawan mengenai
60 | ETIKA TERAPAN
motivasinya ini, dokter senior ini mengatakan, “kalau mau cari duit
jangan jadi dokter, jadilah pedagang”88
Dalam hubungan antara pengabdian kepada masyarakat dan nafkah
hidup berkembang menjadi saling mengisi dan mengkondisikan.
Pada satu pihak, para profesional ingin mengadikan seluruh
hidupnya demi kepentingan banyak orang. Namun di pihak lain
semakin ia profesional dalam menjalankan profesinya, semakin
banyak pula ia memperoleh imbalan atas profesinya itu. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari profesionalismenya. Artinya,
semakin baik dan profesional ia melayani masyarakat, semakin
banyak pula orang yang menjadi langganannya dan karena itu ia
akan memperoleh imbalan yang semakin baik. Maka istilah
profesional hampir identik dengan mutu, komitmen, tanggung
jawab dan bayaran yang tinggi.
b. Ciri-ciri Profesi
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita peroleh ciri-ciri
profesi, yaitu: (1) adanya keahlian dan keterampilan khusus. (2)
adanya komitmen moral yang tinggi. (3) orang profesional adalah
orang yang hidup dari profesinya. (4) pengabdian kepada
masyarakat. (5) profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk
mejalankan profesi tersebut, misal dokter, akuntan publik,
pengacara dll. (6) kaum profesional biasanya menjadi anggota dari
suatu organisasi profesi, misalnya IDI untuk dokter, IAI untuk
Akuntan, dll.
c. Prinsip-prinsip Etika Profesi
Ada empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk
semua profesi pada umumnya. (1) Prinsip tanggung jawab,
seorang yang profesioan sudah dengan sendirinya bertanggung
jawab. Pertama, tanggung jawab terhadap pelaksanaan
pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya terhadap kepentingan atau bahkan
88
http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kayajangan-jadi-dokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014
ETIKA TERAPAN | 61
kehidupan orang lain. (2) Prinsip keadilan, prinsip ini menuntut
orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya tidak
merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang
yang dilayani dalam profesinya. (3) Prinsip otonomi, merupakan
prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar
agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan
profesinya. (4) Prinsip integritas moral, berdasarkanhakikat dan
ciri-ciri profesi di atas, terlihat jelas bahwa orang yang profesional
adalah juga orang yangpunya integritas pribadi atau moral yang
tinggi.
KEWAJIBAN SEBAGAI KARYAWAN DAN PERUSAHAAN89
Dalam kaitan dengan kerja dan mempekerjakan pada baian ini
dibahas mengenai kewajiban karyawan dan kewajiban perusahaan.
Kewajiban karyawan dan perusahaan di sini, tidak bermaksud membahas
seluruh hubungan kewajiban antara karyawan dan perusahaan, tetapi
bagian ini membatasi hubungan yang dapat menimbulkan masalahmasalah etis. Permasalahan itu diantaranya: konflik antara kewajibankewajiban moral atau yang kita kenal sebagai dilema moral, misalnya
sebagai karyawan menghadapi kondisi harus memenuhi dua kewajiban
yang berbeda, disatu sisi sebagai karyawan ia memiliki kewajiban harus
bekerja datang ke kantor tepat waktu, di sisi lain ia juga sebagai kepala
keluarga berkewajiban memperhatikan anaknya yang sedang sakit. Mana
yang akan dikerjakan terlebih dahulu?
Berikut di bawah ini dipaparkan kewajiban karyawan dan
perusahaan.
Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan
Dari sekian banyak kewajian karyawan terhadap perusahaan,
dipaparkan hanya tiga kewajian yang menimbulkan masalah khusus, yaitu
kewajiban ketaatan, konfidensial dan loyalitas, yang dipaparkan sebagai
berikut di bawah ini:
89
K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2000), hlm. 167-225
62 | ETIKA TERAPAN
a. Kewajiban ketaatan, karyawan harus taat kepada atasannya di
perusahaan, sehubungan keterikatan kita dengan perusahaan itu
menimbulkan konsekuensi ketaatan pada pimpinan di dalam
perusahaan tersebut. Ketaatan di sini tidak berarti apa pun yang
diperintahkan pimpinan kita sebagai karyawan harus taat, kita
tidak harus mematuhi perintah pimpinan dalam hal, (1) perintah
yang tidak bermoral, misalnya atas meminta karyawan melakukan
praktik penipuan (transaksi fiktif), (2) perintah yang tidak wajar,
walau pun dari segi etika tidak ada masalah (bukan masalah etis),
misalnya perintah yang tidak hubungannya dengan kepentingan
perusahaan seperti pimpinan meminta sopir perusahaan mencuci
mobil pribadinya, atau pimpinan meminta mengantar jemput
anaknya. (3) tidak perlu mematuhi walaupun demi kepentingan
perusahaan, namun tidak sesuai dengan job deskripsi yang
disepakati, misalnya seorang karyawan bagian keuangan tidak
berkewajiban mematui perintah mengirim barang pesanan kepada
klien perusahaan. Namun hal ini perlu dilihat kasus per kasus, bila
perusahaan tempat kita bekerja merupakan perusahaan berskala
kecil, maka tidak menutup kemungkinan kita bekerja melampaui
dari job deskripsi yang telah disepakati, anda sebagai karyawan di
bagian keuangan harus dapat juga menjual produk perusahaan
anda.
b. Kewajiban konfidensialitas,
kewajiban untuk menyimpan
informasi yang bersifat konfidensial (rahasia) yang telah diperoleh
dengan menjalankan suatu profesi. Dalam konteks perusahaan
konfidensialitas memang peranan yang penting, misalnya akuntan,
dengan pekerjaannya ia mempunyai akses pada informasi penting
perusahaan. Informasi ini diperoleh karena pekerjaannya sebagai
karyawan di bagian tersebut dan jika ia tidak bekerja di bagian ini
tentu saja ia tidak akan mengetahui informasi rahasia tersebut.
Mengapa sebagai karyawan perlu menyimpan informasi rahasia
ini? Alasan utamanya adalah perusahaan merupakan pemilik
informasi rahasia tersebu, berarti membuka informasi rahasia sama
dengan mencuri. Kemudian alasan lainnya adalah dewasa ini
persaingan bisnis sudah sedemikian ketat, memiliki informasi
ETIKA TERAPAN | 63
tertentu dapat mengubah posisi perusahaan satu terhadap
perusahaan lainnya dengan drastis, sehingga membuka rahasia
perusahaan akan sangat mengganggu kompetisi yang fair. Rahasia
perusahaan ini, misalnya formula sebuah produk, resep masakan
disebuah restoran terkenal, racikan komposisi farmasi di
perusahaan obat dll.
c. Kewajiban Loyalitas,
merupakan konsekuensi dari status
seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di
suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan
perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk
turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia
harus menghindari apa yang merugikan kepentingan perusahaan.
Faktor yang bisa membahayakan loyalitas ini adalah konflik
kepentingan, antara kepentingan pribadi karyawan dan
kepentingan perusahaan, misalnya seorang montir bengkel resmi
mobil, setiap selesai jam kerja dia mengerjakan perbaikan mobil di
rumah customer. Hal ini tidak salah selama kepentingan pribadi
dan perusahaan tidak saling bersaing, lain halnya dengan kejadian
misalnya ada seorang klien bengkel resmi tersebut
mempertimbangkan mahalnya biaya perbaikan dan spare part
yang juga tidak murah, anda sebagai montir kemudian menawari
klien bengkel tersebut untuk jasa perbaikan yang sama tentunya
dengan biaya yang jauh lebih murah dari pada bengkel tempat anda
bekerja tawarkan.
Demikianlah kurang lebih kewajiban karyawan terhadap perusahaan
tempat di mana ia bekerja.
Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan
Berikut ini dipaparkan mengenai kewajiban perusahaan terhadap
karyawannya, sebagai berikut:
a. Perusahaan tidak boleh mempraktikan diskriminasi,
diskriminasi di sini menyangkut masalah gender, ras, golongan
maupun agama tertentu.
64 | ETIKA TERAPAN
b. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan
kerja, terkait dengan keselamatan kerja tersebut bisa terwujud bila
tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja adalah aman, jika bebas
dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja
cedera. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja
dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat, kalau
bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit.
c. Kewajiaban memberi gaji yang adil, sampai saat ini tidak dapat
disangkal gaji merupakan salah satu motivasi dalam bekerja,
karena itu perusahaan harus memperhatikan dalam pemberian gaji
ini. Beberapa pertimbangan dalam memberikan gaji antara lain: (1)
menurut keadilan distributif, upah atau gaji dianggap adil, bila
merupakan imbalan untuk prestasi. Sehingga wajar bila seseorang
yang telah memberikan prestasinya yang besar diberikan upah
yang lebih besar. Berikut beberapa faktor agar gaji itu dianggap
adil atau fair, antara lain berpegang pada: a) peraturan hukum, b)
upah yang lazim dalam sektror industri tertentu atau daerah
tertentu, c) kemampuan perusahaan, d) sifat khusus pekerjaan
tertentu, e) perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan,
f) perundingan upah/gaji yang fair.
d. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan
semena-mena, ada beberapa alasan mengapa perusahaan
memberhentikan karyawan, antara lain: internal perusahaan
(restrukturisasi, otomatisasi, merger dengan perusahaan lain),
alasan eksternal (resesi ekonomi, konjungtur) dan kesalahan
karyawan itu sendiri.
PENUTUP
Pada bagian ini kita sudah belajar mengenai memaknai pekerjaan,
bahwa pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang bekerja, manusia
didesain untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang. ETIKA KERJA
berada pada tataran ideal yang mencoba mendalami mengenai makna dari
kerja, sedangkan ETHOS KERJA berada pada situasi yang faktual dalam
praktik sehari-hari.
Pemahaman antara pekerjaan dan profesi,
mempertajam kita bagaimana kita bersikap profesional dalam menjalani
ETIKA TERAPAN | 65
profesi. Dan apabila kita bekerja pada orang lain atau suatu perusahaan,
kita memiliki kewajiban dan sebaliknya perusahaan pun memiliki
kewajiban perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS – Tuntutan dan Relevansinya,
(Yogyakarta: Penerbit KANISIUS, 1998)
Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie,
(Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia,
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005)
Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah
Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
1997)
Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit
PT BPK Gunung Mulia, 1990)
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan
Pemula, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010)
K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2000)
Sumber Internet:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kayajangan-jadi-dokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014
66 | ETIKA TERAPAN
ETIKA LINGKUNGAN
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Dalam bagian di awal-awal pertemuan Etika bagian dari Etika
dasar dengan jelas disebutkan, bahwa dalam pembahasan Etika tidak dapat
dilepaskan dari manusia. Namun pada bagian ini justru etika membahas
lingkungan, sehingga menimbulkan pertanyaan, mengapa etika membahas
mengenai masalah lingkungan?
Seperti halnya Etika Bisnis, bahwa sudut pandang etika melihat
bisnis dalam aspek hubungan antar manusia yang satu dan yang lainnya
dalam lapangan dunia bisnis. Demikian halnya pula Etika lingkungan,
sama sekali tidak meninggalkan manusia dan hanya membahas
lingkungan. Tetapi, justru memandang masalah-masalah yang terjadi di
bidang lingkungan hidup ini dalam sudut pandang manusia sebagai
sumber berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini.
Menurut A. Sonny Keraf dalam bukunya ETIKA LINGKUNGAN
HIDUP menegaskan, bahwa tidak dapat disangsikan lagi berbagai kasus
lingkungan hidup yang terjadi di lingkup nasional, maupun global,
sebagaian besar bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus
pencemaran dan kerusakan di laut, hutang, atmosfer, air, tanah dan
sebagainya berawal dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab,
tidak peduli dan cenderung mementingkan diri sendiri. 90
Selanjutnya menurut Arne Naess di dalam A. Sonny Keraf
menegaskan bahwa, krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi
dengan melakukan perubahan cara pandangan dan perilaku manusia
terhadap alam secara mendasar dan radikal. Menurutnya diperlukan
sebuah gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang,
tetapi budaya masyarakat secara keseluruhan. 91
Beberapa waktu yang lalu ada seorang warga negara asing di
Bandung menulis mengenai kota Bandung yang disebutnya sebagai
90
A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT.
Kompas Media Nusantara, 2010), hlm.1-2
91
Ibid, hlm. 2
ETIKA TERAPAN | 67
“Bandung The City of Pigs”, “Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa
daging babi dianggap terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya
hidup dalam lingkungan yang lebih kotor dari babi.” Dari pernyataan
tersebut dikaitkan dengan etika lingkungan hidup adalah yang diperlukan
menutut gaya hidup baru yang tidak menyangkut orang per orang namun
seluruh warga kota Bandung.
Dengan demikian diperlukan etika
lingkungan yang menuntun manusia untuk berinterkasi secara baru dengan
lingkungannya dan alam semesta.
Dengan demikian masalah lingkungan tidak dapat disangkal lagi,
inti permasalahannya ada dalam sikap moral manusia dalam memandang
dan memperlakukan alam.
LINGKUNGAN HIDUP
Lingkungan hidup menurut Undang-undang No. 4 tahun 1982
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk
hidup (termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya) yang
memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta mahluk hidup lainnya.92 Dari definisi di atas jelaslah, bahwa
lingkungan hidup merupakan ruang sebagai tempat bagi manusia dan
mahluk hidup lainnya tinggal dan hidup bersama.
Secara singkat lingkungan hidup itu sendiri meliputi lingkungan
biofisik yang terdiri atas abiotik dan biotik, lingkungan sosial ekonomi dan
lingkungan budaya.93
TEORI ETIKA LINGKUNGAN HIDUP
Pada prinsipnya etika lingkungan berusaha untuk memberikan
kejelasan rumusan tentang tindakan atau perilaku, yang baik atau pun yang
tidak baik, secara moral bagi individu maupun masyarakat. Melalui etika
ini juga mencoba untuk menetapkan kewajiban yang seharusnya secara
92
Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media
Massa, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 95-96
93
Lihat handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha
68 | ETIKA TERAPAN
alamiah, secara setia dilakukan oleh seseorang pada diri sendiri maupun
terhadap orang lain dalam hubungan dengan tatanan kehidupan. 94
Ada beberapa pandangan yang dikembangkan mengenai hubungan
manusia dengan alam, penekanannya pada kenyataan bahwa lingkungan
itu penting dan bermanfaat bagi manusia. Selain dari pada itu, alam juga
memiliki nilai pada dirinya sendiri yang harus dihargai dan dihormati.
Pandangan-pandangan etika lingkungan yang dikembang dalam hal ini ada
tiga teori utama, yang dikenal sebagai Shallow Environtmental Etihics,
Intermediate Environmental Ethics dan Deep Environmental Ethics.
Ketiga teori tersebut dikenal juga sebagai antroposentrisme, biosentrisme
dan ekosentrisme.95
Antroposentrisme
Pandangan antroposentris ini merupakan pandangan yang telah
lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau
lingkungan ini hanya memiliki nilai alat semata atau instrumental value
bagi kepentingan umat manusia. Pandangan antroposentris ini sering
dikaitkan dengan pandangan masyarakat barat yang melihat lingkungan
hidup dari sisi maknanya bagi kesejahteraan adan kemakmuaran manusia
semata. Mereka memandang hubungan dengan lingkungan sebagai sebuah
hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Dalam kaitan ini
hanya manusia yang subjek sedangkan alam lingkungan adalah objek.
Dengan demikian alam diteliti, dieksplorasi, kemudian dieksploitasi 96
Tinjauan kritis atas pandangan teori etika antroposentrisme ini
sebagai berikut seperti dipaparkan di bawah ini: 97 (1) Pandangan ini
didasarkan pada filsafat yang mengklaim, bahwa manusia diklaim sebagai
yang mempunyai nilai tertinggi dan terpenting dalam kehidupan ini.
94
Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi
Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo, 2006), hlm. 159-160
95
Ibid, hlm. 31
96
Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 137
97
Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja),
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm. 41-43
ETIKA TERAPAN | 69
Ajaran inilah yang menempatkan manusia sebagai yang sentral dalam alam
semesta, menjadikan manusia menjadi arogan terhadap alam, (2)
Antroposentrisme sangat instrumentalis, sehingga alam dipandang sebagai
alat kebutuhan manusia semata. Kalau pun ia peduli terhadap alam,
semata-mata demi kelangsungan atas jaminan kebutuhan bagi manusia.
Jelaslah teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal
dan sempit atau shallow environmental ethics. (3) Antroposentrisme
sangat bersifat teleologis, karena pertimbangan peduli terhadap alam
semata-mata karena didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi
kepentingan manusia belaka. (4) Pandangan ini dituduh menjadi penyebab
terjadinya krisis lingkungan hidup.
Pandangan inilah yang telah
menyebabkan manusia berani melakukan tindakan-tindakan eksplotatif
terhadap alam. (5) Walau pun demikian, pandangan ini cukup menjadi
alasan kuat bagi upaya pengembangan sikap kepedulian terhadap alam.
Demi kelangsungan hidup manusia, maka manusia wajib memelihara dan
melestarikan lingkungan alamnya.
Biosentrisme
Biosentrisme merupakan pandangan yang menempatkan alam
sebagai yang mempunyai nilai intrinsik dalam dirinya sendiri, lepas dari
kepentingan-kepentingan manusia. Dengan demikian teori biosentrisme
ini berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia saja.
Manusia memiliki tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan alam
tersebut.98 Paul Taylor di dalam Fachruddin M. Mangunjaya menguraikan
empat keyakinan yang mendasari pandangan biosentrisme ini, yaitu: 99 (1)
Keyakinan bahwa manusia merupakan anggota dari komunitas kehidupan
di bumi dalam pengertian yang sama dan dalam kerangka yang sama di
mana mahluk hidup lain juga anggota komunitas yang sama. (2) Spesies
manusia bersama dengan semua spesies lain adalah bagian yang saling
bergantung sehingga kelangsungan hidup mana pun serta peluangnya
untuk berkembang atau sebaliknya, tidak ditentukanoleh kondisi fisik
98
Ibid, hlm. 43-44
Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi
Perubahan Iklim, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 23-24
99
70 | ETIKA TERAPAN
melainkan oleh relasinya antara satu dengan yang lainnya. (3) Semua
organisme merupakan pusat kehidupan yang mempunyai tujuannya
sendiri, sehingga setiap spesies merupakan unik dalam mengejar
keperluannya dengan caranya sendiri. (4) Keyakinan bahwa manusia pada
dirinya sendiri tidak lebih unggul dari mahluk yang lain.
Dalam pandangan biosentris dapat disimpulkan bahwa tidak ada
kelebihan lain antara manusia secara biologis dengan mahluk-mahluk yang
lainnya. Dalam posisi manusia sebagai mahluk yang dapat netral dalam
rangka bagian dari alam yang dapat juga mengalami kerusakan dan
kebinasaan apabila berhadapan dengan faktor-faktor alami lainnya yang
tidak berbeda nasibnya dengan mahluk-mahluk lainnya. 100
Tinjauan kritis atas teori etika lingkungan hidup biosentris ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:101 (1) Biosentrisme menekankan kewajiban
terhadap alam yang bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan
merupakan sesuatu yang bernilai, bagi manusia maupun mahluk hidup
lainnya. Sehingga prinsip moral yang dikembangkan di sini, “erupakan hal
yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu
kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan.” (2)
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai
dalam dirinya sendiri. Dengan demikian kewajiban dan tanggung jawab
terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral bahwa
segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka
mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi. (3)
Sehubungan dengan manusia tidak berbeda dengan mahluk biologis
lainnya, maka seorang yang bernama Leopold menghindari penyamaan
tersebut. Menurutnya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama
begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Hanya, dalam rangka menjamin
kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara
mengorbankan kelangsungandan kelestarian komunitas ekologis. Manusia
dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia menggunakan
alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggungjawab untuk
mengorbankan integritas, stabilitas seta beauty dari mahluk hidup lainnya.
100
101
Ibid, hlm 24
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 44-46
ETIKA TERAPAN | 71
(4) Teori biosentrisme, disebut juga sebagai intermediate environmental
ethics yang menyangkut kedudukan manusia dan mahluk-mahluk hidup
yang lain di bumi ini. Pada dasarnya teori ini berpusat pada komunitas
biotis dan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya, sehingga teori ini
memberikan bobot yang sama kepada semua mahluk hidup.
Ekosentrisme
Ekosentrisme ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika
lingkungan biosentrisme.
Dalam pemaparan di atas, biosentrisme
memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya, sedangkan
ekosentrisme lebih memusatkan perhatian pada seluruh komunitas, baik
yang hidup maupun yang tidak. Pandangan ini didasarkan pada prinsip
bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun benda-benda abiotik
lainnya saling terkait satu sama lain, misalnya air di sungai sangat
menentukan bagi kehidupan yang ada di dalamnya.102
Tinjauan kritis atas pandangan etika ekonsentrisme dapat
dipaparkan di bawah ini: 103 (1) Ekosentrisme, yang disebut sebagai deep
environmental ethics atau deep ecology merupakan suatu paradigma baru
tentang alam dan seluruh isinya. Dalam hal ini perhatiannya bukan hanya
kepada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan
dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. (2) Arne Naes
menggunakan juga istilah ecosophy, eco berarti rumah tangga dan sophy
berarti kebijaksanaan. Maka ecosophy diartikan sebagai kebijaksanaan
yang mengatur hidup selaras dalam alam sebagai rumah tangga dalam arti
luas. Sehingga ecosophy ini merupakan gerakan dari seluruh penghuni
alam semesta, untuk menjaga dan memelihara lingkungannya secara arif
dan bijaksana selayaknya sebuah rumah tangga. (3) Deep Ecology
menganut prinsip biospheric egalitarianism, merupakan pengakuan bahwa
semua organisme dan mahluk hidup merupakan anggota yang sama
statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai
martabat yang sama. (4) Sikap deep ecology terhadap lingkungan sangat
jelas, tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak pencemaran bagi
102
103
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 47-49
Ibid, hlm. 47-49
72 | ETIKA TERAPAN
kesehatan manusia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan. Deep
ecology ini mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran,
dan bukan sekedar dampak yang tampak dipermukaan saja dan berjangka
pendek. Alam harus dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya,
sosial, spiritual, medis dan biologis.
PENDEKATAN TEKNOKRATIS
Apabila diamati kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi
disebabkan karena beberapa faktor diantaranyanya pola pendekatan
manusia modern terhadap alam yang dikenal dengan sebutan teknokratis
(dari bahasa Yunani tekne merupakan keterampilan
dan krattein
menguasai). Sehingga teknokratis diaratikan, bahwa manusia sekadar mau
menguasai alam. Alam dipandang sekadar sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Alam juga merupakan tumpukan kekayaan dan energi
yang dapat dimanfaatkan. Sikap teknokratis ini dapat diringkas sebagai
sikap merampas dan membuang, alam dibongkar untuk mengambil apa
saja yang diperlukan, dan apa yang tidak mengambil apa saja yang
diperlukan dan apa yang tidak diperluka, begitu pula produk-produk
samping pekerjaan manusia begitu saja dibuang.104
Pendekatan teknokratis mempunyai lima ciri khas, sebagai
berikut:105
a. Kepercayaan akan Kemajuan
Sejarah dipahami sebagai sejarah kemajuan linear. Kemajuan itu
sendiri dipahami sebagai penguasaan dan pemanfaatan alam yang
semakin total. Karena kepercayaan akan kemajuan itu manusia tidak
dapat membatasi diri, tidak sanggup untuk mencapai dan menjaga
suatu keseimbangan dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Kemajuan
memaksa manusia untuk menjadi perusak.
b. Segala-galanya dapat diciptakan
104
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I – PB
VI, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 147
105
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm. 146-148
ETIKA TERAPAN | 73
Ciri kedua kebudayaan teknokratis ini tidak adanya batas alamiah lagi
bagi usaha manusia. Prinsip-prinsip perlawanan terhadap keterbatas
yang ada menjadi suatu hal yang dipuja-puja dalam kebudayaan
teknokratis ini. Dengan demikian
batas-batas alamiah tersebut
dianggap tantangan bagi manusia untuk bisa mengatasinya.
c. Demitologisasi alam
Manusia pernah mengalami suatu penghayatan yang berpandangan
alam dianggap sebagai sesuatu yang penuh misteri, sehingga manusia
harus menghormati alam sedemikian rupa. Hal ini jelas tampak dalam
dunia agraris, ketika para petani akan menggarap tanahnya, mereka
melakukan upacara ritual-ritual untuk mengawali penggarapannya.
Namun kondisi saat ini, alam sudah didemitologisasikan atau orang
sudah mengesampingkan unsur-unsur mitos terhadap alam itu.
Akibatnya manusia tidak menghargai alam sedemikian rupa, alam
dapat diekspoitasi dan bahkan dijadikan tempat untuk membuang
sampah.
d. Rasionalitas Irasional
Dalam budaya teknokratis rasionalis teknologis telah menjadi irasional.
Dalam konsep maksimalisasi keuntungan produksi, orang tidak lagi
melayani kebutuhan manusia. Namun yang terjadi saat ini kebutuhan
itu seolah-olah diciptakan oleh produsen, demi kelansungan produksi
agar terus berjalan. Perusahaan sedemikian rupa meluncurkan produkproduk baru yang memaksa orang merasa membutuhkan produk
barunya tersebut, produk tersebut seolah membunuh produk lamanya
dan orang dikondisikan untuk terus memburu produk-produk baru
tersebut. Demi produk baru tersebut manusia mengeksploitasi
kekayaan allam dan merusaknya sedemikian rupa. Sebenarnya
manusia bisa hidup tanpa merusak, namun kebudayaan teknokratis ini
menciptakan gaya hidup manusia sedemikian rupa, sehingga berusaha
untuk terus update dengan teknologi yang baru. Hampir setiap tahun
produsen kendaraan bermotor meluncurkan produk barunya dengan
berbagai kelebihan-kelebihan yang seolah menjawab kebutuhan
manusia, padahal mobil yang lama masih layak digunakan.
e. Pendekatan Monokasual
74 | ETIKA TERAPAN
Ciri kelima kebudayaan teknokratis adalah monokausal. Pendekatan
monokausal ini dimaksud sebagai campur tangan manusia dalam
proses alamiah diarahkan secara eksklusif pada pencapaian tujuantujuan tertentu.
Melalui teknologi memungkinkan untuk
mengendalikan perubahan-perubahan yang diinginkan namun dampak
lain dari pengendalian dari intervensi manusia ini tidak
mempertimbangkan hal-hal lainnya. Hal ini terjadi, karena lingkungan
ini merupakan supersistem yang saling terkait, apabila manusia
mengendalikan salah satu dari supersitem itu, maka akan
mempengaruhi hal-hal lainnya. Misalnya: dalam hal petani berusaha
mengendalikan hama wereng, mereka melakukan upaya dengan
menyemprot pestisida, hama memang berhasil dimatikan. Namun
bersama-sama dengan matinya hama itu, mati juga musuh alami hama
wereng tersebut, sehingga pada saat muncul hama wereng yang kebal
terhadap pestisida tersebut, hama tersebut menjadi merajalela.
Pendekatan monokausal ini dalam jangka pendek dapat mengatasi
persoalan, namun dalam jangka panjang dapat merusak tatanan yang
ada.
MUNCULNYA KESADARAN LINGKUNGAN
Dampak kerusakan alam saat ini sudah dirasakan kita bersama.
Secara global saat ini terjadi perubahan yang makin terasa pada beberapa
dekade terakhir ini, seperti meningkatnya badai tropis, perubahan pola
cuaca, banjir, longsor, mencairnya es di kutub utara dan selatan yang
begitu mengkhawatirkan yang jelas berdampak pada kenaikan muka air
laut, kebakaran hutan yang diiringi dengan kabut tebal yang melintas ke
wilayah negara lain, dan peristiwa-peristiwa lingkungan lainnya yang
membuat kita merasa prihatin dan cemas.
Dalam upaya menanggapi dan mengatasi dampak kerusakan
lingkungan tersebut, berikut akan dipaparkan upaya-upaya manusia dalam
mengatasi masalah-masalah lingkungan tersebut.
World Environment Movement
Gerakan kesadaran lingkungan secara internasional diprakarsai
oleh PBB dengan mengadakan Knferensi Gerakan Lingkungan Hidup
ETIKA TERAPAN | 75
Sedunia atau World Environment Programme (UNEP). Sejak itu, gerakan
lingkungan melibatkan berbagai negara di dunia juga melibatkan lembagalembaga non-pemerintah atau non government organization atau di
Indonesia lebih dikenal dengan LSM.106
Konferensi Rio de Janeiro (1992)
Konferensi lingkungan berikutnya terjadi di Ibu Kota Brasil Rio de
Janeiro, Juni 1992. Sebanyak 154 kepala negara hadir dalam konferensi
tersebut yang kemudia masing-masing negara meratifikasi hasil konvensi
yang diberlakukan dua tahun kemudian tahun 1994. Dalam konferensi
tersebut disepakati mekanisme kerja diantaranya membentuk Conference
of the Parties to the Convention (COP) sebagai badan pengambil
keputusan konvensi. COP dipimpin presiden beserta biro dan dipilih
bergilir di antara menteri lingkungan negara anggota.107
Konferensi ini membahas permasalahan lingkungan yang semakin
besar yang tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang tetapi
juga di negara maju. Dampak-dampak pembangunan yang meningkat
berupa hujan asam, lautan yang semakin kotor, pencemaran udara, tanah
yang semakin tandus serta kepunahan flora dan fauna. Kesimpulan akhir
dari konferensi ini, menyatakan bahwa lingkungan bukannya semakin baik
malahan kualitas lingkungan semakin buruk, sehingga PBB perlu
merumuskan komitmenya kembali untuk mengelola lingkungan. Dalam
KTT Rio ini ditegaskan kembali Deklarasi Stockholm 1972 dan
merekomendasikan 21 agenda yang diantaranya: dibentuk prosedur secar
hukum dan administrasi di tingkat nasional; dibentuk prosedur secara
hukum dan administrasi untuk kompensasi, pemulihan lingkungan dan
lain-lain; adanya akses bagi individu, kelompok dan organisasi. 108
106
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 89-90
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT
Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 18
108
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2004), hlm.145-146
107
76 | ETIKA TERAPAN
Protokol Kyoto (1997)
Protokol Kyoto diselenggarakan pada bulan 1-10 Desember 1997
yang diikuti oleh 2.200 delegasi dari 158 negara anggota Konvensi. Nama
resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations
Framework convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai
Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Protokol Kyoto
merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional
mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini
berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan
lima gas rumah kaca lainnya melalui metodologi untuk menghitung
penurunan emisi yang jelas dan mekanisme penaatan terhadap pencapaian
target penurunan emisi yang mengikat. Jika ada pihak yang tidak
menaatinya akan ada konsekuensinya. 109
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam The World
Commission on Environment and Development (1987).
Konsep
Pembangungan berkelanjutan tersebut dirumuskan sebagai pembangunan
yang memenuhi kebutuhan saat ini dengan memperhitungkan kemampuan
generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangungan
berkelanjutan
ini
merupakan
konsep
pembangunan
yang
mempertimbangkan sumber daya langka untuk generasi masa depan.
Dalam konsep pembangungan berkelanjutan ini mengijinkan kegiatan
manusia untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya yang optimal
sekaligus memelihara lingkungan untuk generasi mendatang. 110
Susan Smith di dalam N.H.T. Siahaan mengartikan Sustainable
development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan
mencadangkan modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya
dengan cara ini dapat dicapai empat hal, yaitu: (1) Pemeliharaan hasil-hasil
109
Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit
Panembahan, 2008), hlm. 146-147
Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan
Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2002), hlm. 27
ETIKA TERAPAN | 77
yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber-daya yang dapat diperbarui,
(2) Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh
(exhaustible resources), (3) Pemerliharaan sistem-sistem pendukung
ekologis, (4) Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati. 111
Dengan mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan ini,
diharapkan manusia tetap dapat membangun dengan mempertimbangkan
kelestarian alam yang tentunya sangat berdampak bagi generasi
mendatang.
PENUTUP
Jelaslah bahwa etika lingkungan disini sangat berkaitan dengan
manusia dan dalam membahas masalah-masalah yang terjadi di bidang
lingkungan,
memandang manusia sebagai sumber berbagai kasus
lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini. Berbagai pandangan-pandangan
etika lingkungan hidup antroposentris, biosentris dan ekosentris
memberikan pandangan kepada kita, mengenai bagaimana manusia
memandang lingkungannya. Budaya Teknokratis memberikan kontribusi
pada ketidakseimbangan lingkungan dan manusia. Upaya-upaya manusia
dalam mengatasi masalah lingkungan ini telah dilakukan melalui berbagai
upaya secara global mulai dari world environment movement hingga
protokol Kyoto.
Dengan demikian masalah lingkungan ini merupakan
tanggung jawab kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT. Kompas
Media Nusantara, 2010)
Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa,
(Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1996)
Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja), (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2005)
N.H.T. Siahaan, hlm. 147-148
78 | ETIKA TERAPAN
Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah
dan Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex
Media Komputindo, 2006), hlm. 159-160
Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit
Panembahan, 2008)
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT Kompas
Media Nusantara, 2010)
Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi
Perubahan Iklim, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008)
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL – Buku Panduan Mahasiswa PB I – PB VI,
(Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989)
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995)
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2004)
Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan
Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2002)
Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002)
handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha
Download