Jurnal Kommas

advertisement
Jurnal
Komunikasi Massa
Vol.36No.
No.12,Juanuari
Juli 20132010.
Vol.
ISSN:
ISSN: 1411-268X
1411-268X
Diterbitkan Oleh:
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
i
Jurnal Komunikasi Massa
Terbit dua kali setahun
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi dalam pelbagai bentuk medium
baik cetakan, elektronik, maupun mekanik.
ISSN: 1411-268
Diterbitkan Oleh:
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Desain dan tata letak oleh Sri Hastjarjo
ii
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Vol. 6 No. 2, Juli 2013
ISSN: 1411-268X
Dewan Redaksi
Pemimpin Redaksi
Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, PhD.
Daftar Isi
Radio Komunitas dan Pelayanan Publik
(Studi tentang Kiprah Radio Komunitas Difabel
“Sahabat Mata” Mijen, Semarang dalam Pemberian
Pelayanan Siaran Berbasis Kebutuhan Lokal )
Sofiah, dkk..................................................... 107
Redaktur Pelaksana
Tanti Hermawati, S.Sos., M.Si
Dra. Sofiah, M.Si
Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori dari
Sri Herwindya Baskara Wijaya, S.Sos, M.Si
Teori Komunikasi Berperspektif Ke-Indonesiaan
Eka Nada Shofa Alkhajar, S.Sos., M.Si
Redaktur Ahli
Prof. Drs. Pawito, PhD.
Drs. Mursito BM, SU
Dr. Sri Hastjarjo
Mitra Bestari
Prof. Sasa Djuarsa Senjaya, PhD.
(Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Dedi Mulyana
(Univeritas Padjadjaran Bandung)
Prof. Pamela Nilam, PhD.
(University of Newcastle, Australia)
Alamat Redaksi:
Program Studi Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36-A, Kenthingan, Jebres
Surakarta, 57126
Tlp./Fax: (0271) 632478
E-mail: [email protected]
Pemasar/sirkulasi
Budi Aryanto, Tlp. (0271) 632478
Prahastiwi Utari, dkk................................... 121
Pemberdayaan Masyarakat melalui Program
Corporate Social Responsibility (CSR) berupa
Pengembangan
Pewarna Alami dari Buah
Magrove Spesies Rhizopora Mucronata untuk Batik
Khas Bontang Kalimantan Timur
Imam Sulistyo W, dkk . ................................. 135
Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit Swasta
(Studi Kasus tentang Pengembangan Strategi
Komunikasi
Pemasaran
dengan
Menjalin
Community Relations Berbasis Budaya Lokal untuk
Meningkatkan Publisitas pada Rumah Sakit
Swasta di Surakarta)
Tanti Hermawati........................................... 151
Budaya Populer sebagai Sistem Budaya
Mursito BM................................................... 163
Media Massa dan Intoleransi Beragama
(Studi Kasus tentang Wacana Intoleransi Beragama
pada Surat Kabar Lokal di Kota Surakarta Tahun
2012)
Sri Herwindya Baskara Wijaya, dkk............. 175
Konstruksi Media Kompas On-line terhadap
Peristiwa Pengungsi Rohingya
Aryanto Budhy Sulihyantoro , dkk................ 189
Jurnal Komunikasi Massa terbit dua kali
dalam setahun, diterbitkan oleh Prodi Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret
Surakarta sebagai media wacana intelektualitas
bagi pengembangan Ilmu Komunikasi. Dewan
Redaksi mengundang para pelajar, peneliti, dan
praktisi bidang komunikasi dan media massa
untuk mengirimkan tulisan, baik berupa artikel
ilmiah, maupun hasil penelitian. Syarat penulisan
artikel tercantum di halaman sampul belakang.
Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit
naskah tanpa mengurangi esensi isi.
Kebijakan untuk Pelayanan Publik dalam
Model Pengembangan Pengelolaan Komunikasi
Informasi Pemerintah Daerah
Alexius Ibnu Muridjal, dkk.......................... 203
Fenomenologi Ziarah Makam Gunung Kemukus
Subagyo, dkk................................................. 211
Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell terhadap
Pengembangan Ilmu Komunikasi
A. Eko Setyanto, dkk..................................... 221
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
iii
iv
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 107-120
Radio Komunitas dan Pelayanan Publik
(Studi tentang Kiprah Radio Komunitas Difabel
“Sahabat Mata” Mijen, Semarang dalam Pemberian
Pelayanan Siaran Berbasis Kebutuhan Lokal )
Sofiah
Sri Urip Haryati
Rina Herlina Haryanti
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
This study aims to identify the needs of the broadcast and the services expected by the
community radio broadcasting “Friends Eyes” follows Semarang impact, feedback and
constraints. This type of research including qualitative research. Informants sought by
purposive sampling technique. Extracting data through observation, interviews, documents
and resources FGD.Triangulasi chosen to maintain the validity of the interactive data.
model Miles used to analyze the data to produce meaningful findings and sharp. The
results showed that the motifs community radio listeners in the community following the
“Friends of the Eye” expects to fulfill their needs in getting knowledge, both general science
and theology; they also hope to find out a variety of actual information that is happening
in their local environment, local events / city and national events), as well as get a healthy
entertainment.
Key words: community radio, disability, public service, information
Pendahuluan
Di
Indonesia,
menurut
data
Kementerian Sosial Republik Indonesia
tahun 2009, prevalensi difabel di
Indonesia mencapai 1,167 juta penduduk
atau sekitar 0,67 % dari total penduduk
Indonesia (234 juta jiwa).
Namun
demikan dapat dipastikan bahwa jumlah
difabel di Indonesia kecenderungan
mengalami kenaikan. Banyaknya bencana
alam, konflik horizontal, kemiskinan,
kekurangan gizi, infeksi selama kehamilan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
dan persalinan adalah beberapa faktor
yang secara signifikan menyebabkan
meningkatnya jumlah difabel.
Namun fakta ini nampaknya masih
belum mampu
membuka hati dari
pemerintah dan masyarakat , sekalipun
sebenarnya sudah banyak produk hukum
yang mengatur
dalam rangka untuk
memberi perlindungan dan kesamaan hak.
Dalam kenyataannya kaum difabel
masih dipandang sebagai kelompok
manusia yang tidak mampu karena
107
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
diletakkan dalam kategori tidak produktif
dan tidak memenuhi nilai-nilai yang
diutamakan dalam pembangunan yaitu
efektif dan efisien, sehingga mereka tidak
dianggap sebagai sumber daya atau
investasi pembangunan (Purwanta, 2002:
109-110). Akibatnya menutup akses difabel
untuk memperoleh hak-haknya. Hal ini
terbukti dari beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa posisi difabel sangat
memprihatinkan.Penyerapan
tenaga
kerja difabel fisik masih sangat rendah
(Tjahyono: 2002).; Upaya penyaluran
dan pendayagunaan tenaga kerja difabel
tidak
maksimal
(Sholikhah,
2006);
Perlindungan hukum terhadap pekerja
difabel pada perusahaan swasta sangat
rendah (Saifurrohman: 2006); Tingginya
Problematik penempatan kerja difabel
tubuh di era pasar bebas (Budiani: 2004);
Strategi peningkatan jumlah penempatan
tenaga kerja difabel ke perusahaan belum
maksimal (Harsono: 2002).
Para difabel secara fisik ataupun
psikis memang kurang sempurna akan
tetapi seharusnya kita tidak bisa semenamena mengklaim bahwa kaum difabel
adalah orang yang tidak punya daya.
Ajang olah raga ASEAN PARAGAMES
di Surakarta yang diikuti oleh 700 para
disable (Republika, 12 Desember 2011).
Ini adalah bukti otentik bahwa mereka
mampu mengukir prestasi.
Semangat untuk eksis dan motivasi
yang kuat untuk mengoptimalkan
kemampuan yang dimiliki, nampaknya
membara pula pada sekelompok komunitas
difabel
tunanetra
yang
tergabung
dalam Yayasan “Rumah Sahabat Mata”,
sebagaimana yang terekspresi melalui
mottonya yang berbunyi : “Jika mata
tidak bisa melihat sesuatu, jangan anggap
sesuatu itu tidak ada “ ( Facebook: rumah
sahabat mata, 2011 ).
Sahabat Mata adalah komunitas yang
108
punya harapan besar untuk mendapat
pengakuan dimata masyarakat dan dunia.
Dengan keterbatasannya pada indera
penglihatan, mereka menggantang asa
dengan menyentuh indera pendengaran.
Dan
radio siaran komunitas adalah
dipilihnya sebagai wahana berekspresi,
dan bereksistensi diri.
Dengan
mengudaranya
radio
komunitas “Sahabat Mata” pada tahun
2010 berarti telah mengukir sejarah baru
bagi radio komunitas di Indonesia yang
diprakarsai dan dikelola oleh sebuah
komunitas difabel (tunanetra). Sebuah
langkah yang patut diapresiasi, apalagi
dalam era gelombang peradaban manusia
III yang oleh Alvin Toffler disebut era
masyarakat informasi, maka tidak mustahil
apabila
“Global
Village”sebagaimana
dinyatakan oleh Mc.Luhan sudah benarbenar terjadi, sehingga dengan perubahan
teknologi, telah menempatkan informasi
atau komunikasi pada garis paling depan
revolusi sosial (Littlejohn, 1998: 324 )
Tinjauan Pustaka
1. Konsep Difabel
Kata diffable merupakan akronim dari
different abilities people yang kemudian
diindonesiakan menjadi difabel. Secara
harfiah diartikan sebagai orang yang
memilik perbedaan kemampuan.Istilah
difabel didasarkan pada realita bahwa
setiap manusia diciptakan berbeda,
sehingga yang ada sebenarnya hanyalah
sebuah perbedaan bukan kecacatan.
Dalam Undang-Undang No.4 Tahun
1997 tentang penyandang cacat menjelas­
kan bahwasanya difabel adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan selayaknya.
Pengertian cacat sendiri terdiri dari:
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
a. Penyandang cacat fisik ( cacat tubuh,
cacat rungu/wicara, cacat netra )
b. Penyandang cacat mental
c. Penyandang cacat fisik dan mental
Sementara itu, Organisasi Kesehatan
Sedunia (WHO) dengan menggunakan
istilah disable menggolongkan difabel ke
dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability
dan handicap. Impairment disebutkan
sebagai orang yang mengalami kondisi
ketidaknormalan atau hilangnya struktur
atau fungsi psikologis, atau anatomis.
Sedangkan disability adalah seseorang
yang mengalami ketidakmampuan atau
keterbatasan sebagai akibat adanya
impairment untuk melakukan aktivitas
dengan cara yang dianggap normal bagi
manusia. Adapun handicap, merupakan
keadaan yang merugikan bagi seseorang
akibat adanya imparment dan disability,
yang mencegahnya dari pemenuhan
peranan yang normal (dalam konteks usia,
jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi
orang fabelyang bersangkutan.
ICF
(International
Classificationof
Functioning Disability and Health) dan
Susenas tahun 2000 mengklasifikasikan
difabel kedalam beberapa kategori
yaitu: gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, gangguan bicara, gangguan
penggunaan lengan dan jari tangan,
gangguan penggunaan kaki, gangguan
kelainan bentuk tubuh, gangguan mental
retardasi dan gangguan eks penyakit jiwa/
ekspsikotik.
Kesetaraan
merupakan
isu
pembangunan yang paling mendasar
dari tujuan pembangunan itu sendiri.
Kesetaraan
akan
meningkatkan
kemampuan negara untuk berkembang,
mengurangi kemiskinan dan menjalankan
pemerintahan secara efektif (Ismi, 2009:
32-33).
UU No 4 Tahun 1997 tentang Pe­
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
nyandang Cacat, mengartikan kesetaraan
difabel sebagai, yaitu suatu keadaan yang
memberikan peluang kepada difabel
untuk mendapatkan kesempatan yang
sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan meliputi , meliputi: (a) pen­
didikan pada semua satuan, jalur, jenis,
dan jenjang pendidikan, (b) pekerjaan
dan penghidupan yang layak sesuai
dengan jenis dan derajat difabilitasnya,
pendidikan, dan kemampuannya, (c)
per­lakuan yang sama untuk berperan
dalam pembangunan dan menikmati
hasil-hasilnya, (d)
aksesibilitas dalam
rangka kemandiriannya, (e) rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial dan (f) hak yang sama
untuk menumbuhkembangkan bakat, ke­
mampuan, dan kehidupan sosialnya, ter­
utama bagi difabel anak dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat.
2. Radio Komunitas
Radio komunitas sebagai bentuk
lembaga
penyiaran
telah
diakui
keberadaannya, sebagaimana telah diatur
dalam Undang – Undang Penyiaran
Nomor 32 Tahun 2002. Dalam UndangUndang
Radio
Komunitas
adalah
termasuk ke dalam lembaga penyiaran
komunitas, dimana dalam penjelasannya
pada pasal 21 ayat 1 lembaga penyiaran
komunitas merupakan lembaga penyiaran
yang berbentuk badan hukum Indonesia.
Didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat
independen, dan tidak komersiil dengan
daya pancar rendah, luas jangkauan
wilayah terbatas, serta untuk melayani
kepentingan komunitasnya.
Sebagaimana juga yang diatur
dalam UU Penyiaran yakni pada pasal 21
ayat 2 pada poin b bahwa maksud dari
penyelenggaraan Lembaga Penyiaran
Komunitas adalah untuk mendidik dan
memajukan masyarakat dalam mencapai
109
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
kesejahteraan,
dengan
melaksanakan
program acara yang meliputi budaya,
pendidikan, dan informasi yang meng­
gambarkan identitas bangsa. Dengan
demikian radio komunitas bisa dijadikan
sebagai wahana pemberdayaan masyarakat
yang bertujuan untuk pendidikan dan pe­
ningkatan kapasitas masyarakat.
Menurut Imam Prakoso dalam
lokakarya
tentang
Jaringan
Radio
Komunitas Indonesia di Jakarta, Mei 2002
me­nyebut­kan bahwa terdapat berbagai
tipe Radio Komunitas di Indonesia seperti
terdiskripsikan pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.
Tipe Radio Komunitas
Indikator
Inisiator
Berbasis
Komunitas
Kelompok Masy.dlm
satu-satuan
Berbasis
Issu
Kelompok petani,
nelayan
Berbasis
Hobi
Individu yang
memiliki
ketertarikan
Tidak ada
Lembaga
Payung
Kelompok Masyarakat, Kelompok Tani,
Kelompok
Dewan Penyiaran
Nelayan
Komunitas
Prinsip
Penyusunan
Program
Siaran
Berdasarkan
Kebutuhan masy.
setempat
Berdasar
kan kebutuhan
kelompok
Berdasarkan
pandangan
(selera)
sekelompok
penyiar radio
Lingkup
Wilayah
Terbatas pada wilayah
komunitasnya
(basis geografis
administratif) yang
sering digunakan
adalah desa,
kecamatan
Ingin mencakup
wilayah dimana
petani (anggota)
bertempat tinggal
Terbatas pada
kemampuan
jangkauan
pemancar,
jika mungkin
semakin
luas semakin
diupayakan
Kualitas
Pengelolaan
Umumnya masih
buruk, belum
dapat membangun
partisipasi masyarakat
untuk keberlanjut an
Umumnya masih
buruk, belum
dapat mem
bangun partisipasi
masy. untuk
keberlanjut
an
Umumnya
masih buruk,
belum dapat
membangun
partisipasi
masyarakat
untuk
keberlanjut
An
Berbasisi
Kampus
Mhs.Jurusan
tertentu
Organisasi
mahasiswa
di Kampus/
Jurusan/atau
Fakultas
Berdasarkan
bimbingan
dosen,
pandangan
sekelompok
penyiar
Sekitar
kampus
sampai
dengan ingin
melayani
seluruh
mahasiswa
(bisa seluruh
wilayah kota)
Sebagai
laboratorium
belajar
sehingga
semakin lama
semakin baik
Sumber: Masduki, 2004 : 3
110
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
Metodologi
Penelitian ini didesain dengan
menggunakan penelitian kualitatif. Lokasi
penelitian adalah di Radio Komunitas
“Sahabat Mata”, Mijen, Semarang.
Informan dicari dengan teknik purposif
sampling. Sementara untuk menggali data
dari para informan peneliti melakukannya
dengan observasi, wawancara, menelusuri
dokumen dan FGD.Triangulasi sumber
dipilih untuk menjaga kevaliditasan data.
Model interaktif Miles dimanfaatkan untuk
menganalisis data untuk menghasilkan
temuan yang bermakna dan tajam.
Pembahasan
1. Identifikasi Kebutuhan Komunitas
Pen­dengar
a. Aksesbilitas Komunitas
Siar­an Radio SAMA
terhadap
Kegiatan penyiaran radio akan ber­
manfaat apabila siarannya secara teknis
bisa diakses oleh pendengarnya dengan
baik dan isi siarannya dapat memuaskan
kebutuhan pendengarnya dan dapat
mem­berikan perubahan pada para pen­
dengarnya.
Dalam penelitian ini, menurut
pen­­dapat dari beberapa nara sumber
yang menunjukkan bahwa siaran radio
komunitas “Sahabat Mata” secara teknis
siarannya bisa diterima dengan baik oleh
komunitasnya yang tinggal di sekitar
Kecamatan Mijen, Gunungpati, Semarang,
bahkan warga sangat antusias dalam
menyambut kehadiran radio komunitas
“SAMA”, terlebih adalah kekagumannya
terhadap para penyelenggara siaran
yang keseluruhannya difabel tunanetra
sehingga banyak mendapat simpati warga.
Dilihat dari aspek kerutinannya
dalam mendengarkan siaran radio,
hampir secara keseluruhan narasumber
me­nyatakan setiap hari mengikuti siaran
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
pada radio SAMA karena dinilai radio
tersebut memiliki kekhususan dalam
materi siaran terutama dalam pendalaman
agama (Islam). Bahkan ada pendengar
yang sangat setia mendengarkan siaran
dari awal hingga akhir yaitu mulai jam
4.00 pagi hingga jam 22.00 seperti yang
dituturkan oleh nara sumber (Ibu Mahfud):
“Setiap pagi saya tidak pernah lepas
dari gelombang 107.4 Radio Siaran
“Sahabat Mata”, bahkan kadang
sengaja radio tidak saya matikan
supaya tidak terlambat mengikuti
acara pembuka yang dimulai jam
4.00 pagi. Di jam itu radio “SAMA”
sudah menyapa pendengar dengan
lagu pembuka “Jalan Cahaya”. Suara
merdu penyiar yang dibawakan oleh
Mas Ian ikut menyejukkan hati kami.
b. Kebutuhan Komunitas dalam Peng­
kon­sumsian Siaran
Menyitir pendapat Palmgreen dalam
karyanya yang berjudul Expectancy Value
Theory yang menyatakan bahwa peng­
gunaan media adalah dipengaruhi oleh
motivasi atau orientasi tertentu. Jadi
khalayak memiliki motivasi tertentu
dalam menggunakan media.
Dan kebutuhan individu menurut
Katz, Gurevitch dan Hass dalam model Uses
and Gratificationsnya dikategorikan sebagai
: cognitive needs, affective needs, personal
integrative needs, social integrative needs,
tension releas or escape ( Effendy, 2003: 294 ).
Kemudian apa sebenarnya motif
komunitas pendengar radio komunitas
“SAMA” ketika mengkonsumsi siaransiaran radio “SAMA. Dalam kenyataan
di lapangan, pendengar setia radio
“SAMA” menunjukkan adanya motif
yang kuat untuk senantiasa mengikuti
program siaran radio “SAMA”. Bagi
mereka radio “SAMA” adalah suluh hati
yang menyejukkan, menggembirakan dan
pencerah wawasan sehingga kehadirannya
selalu dirindukan pendengar seperti yang
111
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
dikemukakan oleh Ibu Mamik seperti
berikut :
“Kami butuh pendalaman agama,
kami butuh ketenangan jiwa, kami
butuh semangat. Dengan lantunan
morotal surat AR-Rahman yang isinya
menggugah kesadaran kami tentang
kebesaran Allah yang menciptakan
alam semesta dengan segala isinya
yang dapat memberi banyak karunia
kenikmatan telah
mengingatkan
kami untuk senantiasa bersyukur dan
dekat dengan sang Pencipta”.
Program morotal benar-benar banyak
peminatnya, program ini selalu diikuti
pendengar pada saat-saat menjelang
waktu sholat wajib yang dinilai dapat
menguatkan iman
dan ketakwaan.
Program-program lain di dalam rangka
pemenuhan
kebutuhan
peningkatan
pengetahuan keagamaan yang sering
diikuti pendengar antara lain tentang
Dunia Islam, Kristologi, Hadist Arbain,
Ceramah Harun Yahya, Bahasa Arab.
Adapun di dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pengetahuan umum, pendengar
banyak menyimak acara-acara konsultasi
kesehatan dan Acara “Canthing” berupa
talkshow atau interaktif yang disiarkan
on air dari studio maupun on air di luar
studio yang mengulas tentang berbagai
masalah dan kegiatan masyarakat lokal.
Sementara acara hiburan, bagi pendengar
dewasa lebih banyak menyukai acara
Semangat Pagi Jatisari, Kenangan Sahabat
(lagu-lagu nostalgia), keroncong, musik
religi (nasyid, khasidah), dangdut dan
sandiwara (Pelangi di Atas Gelagah
Wangi). Oleh karena materi siaran dinilai
dapat memenuhi kebutuhan komunitas
pendengarnya, maka respon komunitas
pendengar cenderung positif bahkan
pendengar merasa sudah menyatu dengan
radio SAMA di samping karena materi
siaran tetapi juga karena kedekatan
hubungan yang dibangun melalui request
lagu dan sapaan – sapaan spesial oleh
112
penyiar.
Bagi kawula muda acara-acara segar
yang banyak diminati antara lain acara “Pop
Sahabat” , “Nasyid Sahabat”, Anak Ceria,
Sang Khalifah sampai acara-acara informasi
dan edukasi (di acara Canthing, Wirausaha,
Sekolah dan Aktivitas Keluarga, Bahasa Arab,
Buku Bicara). Acara-acara tersebut oleh
pendengar kalangan muda betul-betul bisa
dijadikan sebagai sahabat setia yang dapat
menghibur, menghilangkan kepenatan,
dan menambah wawasan.
Radio “SAMA” selain banyak
ditunggu oleh
pendengar “awas” (
bukan tunanetra) juga sangat ditunggutunggu oleh pendengar difabel tunanetra,
sekalipun jumlah pendengar difabel tidak
banyak (para siswa workshop dan pesantren
Sahabat Mata). Bagi tuna netra satusatunya media yang dapat diandalkan
untuk memenuhi kebutuhan informasi,
edukasi dan hiburan adalah radio. Dan
radio “SAMA” mampu memenuhi
kebutuhan itu melalui acara-acara
siarannya, seperti yang diungkapkan oleh
salah satu nara sumber tunanetra Usyi
(25) sebagai berikut:
“Saya suka acara “Canting”, di
acara ini saya bisa dapat banyak
pengetahuan sekaligus terhibur (Wa­
wa­ncara, 20 oktober 2013).
Dengan mendengarkan siaran radio
SAMA mereka
terhibur, termotivasi,
terbangun rasa percaya dirinya, dan
meningkat ketakwaannya.
Dan ada
lagi acara spesial yang sering ditunggutunggu oleh pendengar difabel yaitu acara
“Buku Bicara” ( Digital Talking Book ),
misal tentang cerita novel Laskar Pelangi,
Puket, dsb. Acara ini didukung oleh Voice
of Islam (Media Islam Net) Bogor yang
menyediakan materi buku bicara pada
setiap bulannya yang diberikan secara
gratis.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
2. Pelayanan Publik
oleh
Komunitas “Sahabat Mata”
Radio
a. Tujuan dan Dasar Pelayanan Publik
Radio
Komuninitas
“Sahabat
Mata”yang meng­udara pada tanggal 17
Ok­to­­ber 2010 adalah salah satu dari 300
radio komunitas pertama di Indonesia
yang diinisiatifkan, didirikan, dikelola dan
diopera­sional­kan oleh komunitas difabel
tunanetra. Sejak itu menurut penuturan
Basuki ( 41 th ) yang dikenal sebagai pemra­
karsa berdirinya radio komunitas “Sahabat
Mata” menyatakan:
“Bahwa melalui
siaran radio
kami berniat untuk berpartisipasi
dalam
pembangunan
terutama
pembangunan SDM dan mengajak
warga sekitar untuk bersama-sama
memanfaatkan wahana ini sebagai
wahana
penyampai
informasi,
edukasi dan hiburan yang sehat
dan islami. Oleh karenanya kami
sengaja membungkus format siaran
Radio Sahabat Mata dengan azas
“Islam”, Alqur’an dan hadis sebagai
pijakannya sehingga harapan kami
radio Sahabat Mata bisa menjadi
wadah yang mampu menginspirasi
dan memotivasi masyakat agar
menjadi insan kamil”
Dari pernyataan Basuki di atas kiranya
bisa kita simak bahwa radio Sahabat Mata
memiliki alasan ideal dalam pemberian
pelayanan publik melalui siaran yang
dirancangnya sesuai dengan pendapat
Moenir ( 1998: 12 ) :
a. Adanya rasa cinta dan kasih sayang;
b. Adanya keyakinan untuk saling tolong
menolong sesamanya ;
c. Adanya keyakinan bahwa berbuat baik
kepada orang lain adalah salah satu
bentuk amal saleh.
b. Implementasi Pelayanan Publik
1) Durasi Waktu
Dengan niat mulia sesuai dengan visi
radio “SAMA” yaitu menjadi wadah yang
dapat memberi inspirasi dan motivasi, radio
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
terus berupaya untuk senantiasa eksis dan
siap memberi pelayanan pada komunitas
pendengarnya melalui siarannya. Tidak
pantang lelah, tidak pantang jemu. “Sekali
mengudara tetap mengudara” kata Basuki
menirukan semboyan RRI.
Semangat itulah yang membuat
Radio “SAMA” memperpanjang durasi
siarannya yang dilakukan sejak tahun
2013. Kalau durasi waktu siaran pada
awal berdiri sampai tahun 2012 radio
“SAMA” hanya mengudara sekitar 8 jam
dalam sehari yaitu dimulai pukul 14.00
wib hingga 22.00 wib, namun sejak tahun
2013 radio “SAMA” mengudara dari jam
4.00 wib hingga 22.00 wib (18 jam/hari).
Alasan perpanjangan durasi ini tidak
lain dimaksudkan agar sesuai dengan
azas (Islam) dan pijakan (Alqur’an dan
Alhadist) yang digunakan radio.
Dengan memulai siaran jam 4.00
wib – 22.00 wib, maka radio “SAMA”
akan lebih sempurna di dalam upaya me­
motivasi dan meningkatkan ketakwaan
komunitas pendengarnya melalui acara
morotal yang dilantunkan pada saat-saat
menjelang sholat 5 waktu sebagai salah
satu rukun islam. Durasi tersebut untuk
ukuran siaran radio komunitas adalah
cukup panjang, apalagi dengan personil
yang terbatas dan harus stand by setiap hari
dari mulai Senin hingga Minggu.
Dengan perubahan durasi waktu
siaran disatu sisi memang akan dapat
tercapai idealisme radio akan tetapi di sisi
lain adalah akan berbenturan dengan hak
tenaga kerja berkenaan dengan jam kerja
karyawan sebagaimana yang diatur dalam
UU ketenagakerjaan.
2) Program Siaran Program siaran Radio “SAMA” yang
disiarkan secara rutin setiap hari mulai
pukul 4.00 wib sampai dengan 22.00 wib
adalah ditujukan untuk semua kalangan di
113
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
lingkungan Mijen, Semarang ( segmentasi
umum ). Siaran diselenggarakan di studio,
maupun siaran – siaran yang terselenggara
di luar studio ( siaran langsung ) dan
kegiatan-kegiatan Off Air . Adapun
deskripsi­­nya adalah sebagai berikut :
a) Program Siaran di Studio
Berikut ini adalah nama program yang
ada di Radio Komunitas Sahabat Mata
yang sekaligus sebagai bentuk layanan
yang diberikan oleh Radio Komunitas
Sahabat Mata terhadap masyarakat:
Tabel 4.
Susunan dan Jadwal Program Siaran Radio “SAMA” FM
Periode Januari – Desember 2013
Waktu
Hari
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Minggu
04.00-04.01
Tune Pembuka
04.01-05.30
Murotal dan Terjemahannya - Adzan Subuh - Murotal dan Terjemahannya
05.30-06.00
Voice of Islam
06.00-10.00
Semangat Pagi
10.00-11.00
Kajian Pagi
11.00-11.50
Jeda Sejenak
11.50-12.10
Murotal dan Terjemahannya - Adzan Dhuhur - Murotal dan Terjemahannya
12.10-13.00
Jeda Sejenak
13.00-14.00
Murotal
14.00-14.30
Buku Bicara
Kasidah
14.30-14.50 Sahabat
Pop
Sahabat
Nasyid
Sahabat
Kenangan
Sahabat
Nasyid
Sahabat
Pop
Sahabat
Anak Ceria
14.50-15.10 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Asar - Murotal dan Terjemahannya
Kasidah
15.10-15.45 Sahabat
Pop
Sahabat
Nasyid
Sahabat
Kenangan
Sahabat
Nasyid
Sahabat
Pop
Sahabat
Nasyid
Sahabat
Inspirasi
Sahabat
Konsultasi Pacu
Kesehatan Prestasi
Anak Ceria
15.45-16.00 Sang Khalifah
Konsultasi
16.00-17.00 Kesehatan
Pop
Sahabat
Sekolah dan
Aktivitasku
17.00-17.30 Voice of Islam
17.30-18.15 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Magrib - Murotal dan Terjemahannya
Harun
Yahya
18.15-18.50 Series
Kristologi
Dunia
Islam
Hadist
Arbain
Bahasa
Arabku
Tafsir AlWirausaha Qur’an
18.50-19.20 Murotal dan Terjemahannya - Adzan Isya’ - Murotal dan Terjemahannya
19.20-19.30 Refleksi Prie GS
19.30-20.00 Sahabat Peduli
20.00-21.30 Wirausaha
Canthing
Kajian
AlunAlun
Canthing
Canthing
Canthing
Teknologi
Sahabat
21.30-22.00 Buku Bicara
22.00-22.01
Tune Penutup
Sumber : Radio “SAMA” 2013
114
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
b) Program Siaran Langsung
Radio “SAMA”
juga melayani
komunitas dengan menyiarkan secara
langsung peristiwa-peristiwa di ling­
kungan Mijen, seperti misal pengajian
di masjid Jamik di Komplek Perumahan
Jatisari, Mijen, kemudian acara Aqiqoh
yang diselenggarakan warga. Di samping
itu juga acara-acara bazar yang pernah
diselenggarakan oleh pengajian ibu-ibu
masjid jami dan Komunitas Hijabers
Jatisari, Mijen. Siaran langsung seringkali
juga dilakukan untuk menyiarkan acaraacara off air yang diselenggarakan oleh
Yayasan Sahabat Mata seperti misal
pemeriksaan mata untuk murid-murid
SD, SMP, SMA dan masyarakat umum
3) Pelayanan Publik melalui ProgramProgram Off Air
Program off air adalah program sosial
yang diselenggarakan oleh radio SAMA
di dalam rangka memberi pelayanan pada
komunitas atau masyarakat sekaligus
memberi solusi atas keterbatasan yang
dimiliki oleh kaum difabel khususnya tuna
netra agar mereka tidak terkurung dalam
kegelapan dunia akan tetapi mampu
meretas kegelapan tersebut melalui
kreativitas
dan ketrampilan sehingga
mereka mampu menjadi manusia yang
bermanfaat dan mampu meningkatkan
kualitas hidup baik secara materiil maupun
non materiil. Program tersebut biasanya
terselenggara dengan bekerja sama dengan
para mitra kerja seperti pengusaha optik,
perusahaan textil Texmaco, persatuan
dokter mata dan sebagainya.
Program-program
sosial
yang
diselenggarakan antara lain meliputi :
a. Pemeriksaan mata gratis
dan
pemberian kacamata terutama bagi
anak-anak sekolah dari golongan tidak
mampu secara ekonomi
b. Penyelenggaraan workshop teknologi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
komunikasi ( internet ) bagi tuna netra.
c. Penyelenggaraan workshop jurnalistik
dan broadcasting bagi tuna netra
d. Penyelenggaraan workshop tentang
baca Al-qur’an dengan huruf braile
atau dengan menggunakan komputer
bicara.
e. Penyelenggaraan
seminar
lokal/
regional/nasional yang tujuannya
adalah memotivasi dan pemberdayaan
kaum difabel khususnya tuna netra
c. Dampak Layanan Siaran Radio Komu­
nitas “Sahabat Mata” bagi Komu­
nitas Pendengar dan Timbal Baliknya
terhadap Radio “Sahabat Mata”
Beberapa ahli percaya, bahwa media
memberikan dampak yang besar bagi para
pendengarnya. Chomsky dan Herman
(1988) melihat bahwa media (radio)
merupakan kurir yang sangat kuat dalam
mempromosikan ideologi baru kepada
anggota masyarakat yang memiliki tingkat
melek media yang rendah, anak-anak
misalnya.
Tiga tahun mengudara, keberadaan
radio ini secara langsung maupun
tidak langsung memberikan sebuah
“enlightment” tidak hanya untuk pengelola
dan penyiar Radio Sahabat Mata, tetapi
juga untuk masyarakat di sekitar Jati
Sari, Mijen,
Kota Semarang, bahkan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Secara kekininan keberadaan Radio
Sahabat Mata menjadi kurir informasi
terpercaya bagi masyarakat di sekitar Jati
Sari.
Saat ini masyarakat merasakan bahwa
Radio Sahabat Mata menjadi sahabat
bahkan “istri kedua” menurut seorang
informan dari pukul 04.00 sampai dengan
22.00. Ada sebuah kekosongan ketika suatu
hari tidak mendengarkan siaran Radio
Sahabat Mata. Saat ini yang dirasakan oleh
masyarakat pendengar radio Sahabat Mata,
115
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
bahwa mereka mendapatkan informasi
yang selektif, terpercaya tanpa “ghibah”,
tanpa berita politik yang “memuakkan”,
tanpa pengungkapan kriminalitas yang
vulgar dan tanpa propokator. Ada lebih
banyak manfaat daripada “madhorotnya”.
Secara psikis ada kedamaian yang
dirasakan oleh masyarakat Jati Sari ketika
mendengarakan siaran radio ini (Hasil
FGD 20 Oktober 2013). Visi dan Misi radio
komunitas yang berbasis Islam sangat
relevan dengan kondisi masyarakat Jati
Sari yang sebagian besar (80%) beragama
Islam dan haus akan pengetahuan agama.
Keberadaan radio Sahabat Mata
dengan difabel netra sebagai pengelola
dan penyiarnya memberikan dampak
positif bagi tumbuhnya motivasi dan rasa
empati bukan hanya untuk komunitas
pendengarnya saja yang berada di
daerah Jati Sari tetapi juga bagi seluruh
masyarakat di ranah yang lebih luas baik
regional maupun nasional. Karena Radio
Sahabat Mata adalah satu-satunya radio
komunitas dari 300 radio komunitas yang
ada di Indonesia yang dikelola oleh para
tunanetra. Bukan tidak mungkin 5 atau
bahkan 10 tahun yang akan datang, akan
muncul radio-radio komunitas bahkan
radio komersial yang dikelola juga oleh
berbagai jenis difabel dengan konsistensi
dan idealisme layanan informasi yang
serupa. Di masa yang akan datang,
layanan informasi selektif yang dilakukan
oleh Radio Sahabat Mata menjadi sebuah
pembelajaran bagi media informasi lainnya
untuk memberikan layanan informasi
yang jauh lebih bermanfaat dan selektif.
Dampak yang paling dirasakan oleh
masyarakat terkait keberadaan layanan
Radio Sahabat mata, adalah dampak
selektivitas
pendengar
sebagaimana
diterangkan dalam teori proses selektif.
Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat
melakukan suatu proses seleksi sehingga
116
masyarakatlah yang secara selektif
menentukan, konten siaran atau mata acara
apa yang mereka butuhkan, efek apa yang
mereka ingin dapatkan dari informasi yang
diberikan oleh media. Masyarakat, pada
umumnya akan menghindari informasi
yang datang dari media, yang secara
fundamental kontradiktif dengan nilainilai atau ideologi yang selama ini mereka
miliki, dan yakin akan kebenarannya.
Sebagai contoh, kelompok masyarakat
Jati Sari menjadi lebih nyaman ketika
mereka hanya mendengarkan radio
Sahabat Mata daripada radio lainnya,
karena ideologi sebagian besar masyarakat
Jati Sari yang Muslim menginginkan
konten siaran yang Islami, dan mereka
mendapatkan itu dari Radio Sahabat Mata.
Dampak lainnya dari layanan
radio yang diberkan oleh Sahabat Mata
FM adalah pembelajaran sosial. Dalam
perspektif teori pembelajaran sosial yaitu
teori yang memprediksi perilaku dengan
melihat cara lain yang dilakukan individu
dalam memproses informasi. Teori ini
menjelaskan bahwa contoh dari personal
tertentu atau radio dapat menjadi penting
dalam usaha memperoleh perilaku yang
baru. Individu melakukan proses imitasi
atas apa yang mereka dengar dari media.
Teori ini sendiri menekankan pengaruh
radio secara khusus dalam proses imitasi
tersebut. Sebagai contoh, ketika Radio
Sahabat Mata hanya memutar lagu-lagu
islami dan lagu-lagu Pop yang beresensi
motivasi masyarakat yang mendengarnya
akan berusaha untuk terbiasa dengan lagulagu tersebut dan mengaplikasiskan esensi
dari syair lagu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
Dampak yang juga terasa dari layanan
yang diberikan oleh Radio Sahabat Mata
adalah Priming. Priming adalah proses di
mana radio berfokus pada sebagian isu
dan tidak pada isu lainnya dan dengan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
demikian mengubah juga standar evaluasi
yang digunakan khalayak untuk menilai
realitas sosial yang dihadapinya (Severin,
2005: 271). Selain itu kondisi ini juga
menjelaskan bahwa radio mendorong
terbentuknya pikiran yang terhubung
dengan apa yang ditampilkan diradio
itu sendiri. Layanan Radio Sahabat Mata
hanya menfokuskan pada peristiwaperistiwa yang terjadi di lingkungan
Komunitas, dalam hal ini komunitas
masyarakat Jati Sari yang Islami. Sehingga
kemudian dampak yang dirasakan adalah
memotivasi masyarakat Jati Sari yang
sebagian besar beragama Islam berada
dalam tuntunan akidah Islami seperti basis
dari radio ini.
Keberadaan radio Sahabat Mata,
tidak hanya berdampak untuk suatu
komunitas tertentu, tetapi juga bisa ber­
sifat eksternalitas (spillover effects). Hal
ini dapat dilihat dari eksistensi radio
Sahabat Mata dalam berbagai event
baik di ranah daerah, regional maupun
nasional. Keberadaan Radio Sahabat
mata menjadikan ketertarikan sendiri
bagi sebuah televisi swasta (MetroTV,
Kick Andi) untuk melakukan rekam
jejak atas kiprah radio sahabat Mata
FM. Dampaknya langsung, masyarakat
sekitar Jati Sari bahkan di luar itu menjadi
ter­motivasi untuk ikut berpartisipasi
membangun media ini menjadi lebih
baik yang ditunjukkan dengan kesediaan
komunitas lokal ikut berpartisipasi dalam
pengisian acara siaran.
d. Hambatan – Hambatan Radio Komu­
nitas “Sahabat Mata” dalam Program
Pe­layanan Siaran
Persoalan utama tentang keberadaan
radio komunitas Sahabat Mata, hampir
sama dengan radio komunitas pada
umumnya. Sejauh ini selalu terkait
dengan beberapa hal, seperti: Pertama,
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
keterbatasan frekuensi dan jangkauan radio
komunitas saat ini hanya diperbolehkan
beroperasi pada tiga kanal. Menurut
ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002
dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi
FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz,
dengan jangkauan yang terbatas yaitu
power maskimal 50 watt dan jangkauan
layanan maksimal 2,5 km.
Kedua, untuk menumbuhkan dan
memelihara
“kebutuhan”
terhadap
radio komunitas pendekatan strategis
yang sifatnya kultural dan struktural
belum dilakukan secara optimal. Ketiga,
belum adanya survei pendengar yang
dilakukan secara lebih profesional dalam
rangka
pengembangan
manajemen
radio komunitas secara efisien. Survei
ini penting untuk pemetaan khalayak
pendengarnya. Paling tidak survei dapat
menjawab kebutuhan data pokok seperti
jumlah pendengar, jangkauan (coverage
area), segmen pendengar (psikografis dan
demografis), serta program acara yang
diminati masyarakat.
Keempat, dalam rangka identifikasi
kekhasan. Radio Sahabat Mata mengalami
hambatan dalam penyediaan sumber
daya manusia. Radio Sahabat Mata
mengedepankan mereka yang tuna netra
sebagai penyiar. Namun sayangnya
dari proses rekruitmen yang dilakukan
masih sangat kesulitan mendapatkan
sumber daya manusia yang dibutuhkan.
Dengan keterbatasan jumlah personil
dan keterbatasan fisik yang netra maka
berpengaruh terhadap mobilitas mereka
dalam menjaring relasi dan penelusuran
atau penyediaan variasi content siaran.
Kelima, Radio SAMA belum me­
miliki sistem database yang baik. Di tingkat
pengelola radio misalnya, dimulai dari
pendataan semua respon yang masuk,
misalnya lewat sms, surat, titip pengelola,
dan sebaginya. Pada kasus laporan warga
117
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
yang mencuatkan pertanyaan dan isuisu tertentu yang perlu disampaikan
pada pihak terkait, perlu difasilitasi dan
datanya dibuat kategorisasi berdasarkan
topik permasalahan sehingga menjadi
bank data. Setelah itu perlu didesain
cara penyampaian dua arah baik dari dan
kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
yang baik; kurang mendapat respon baik
dari kalangan pemerintah; belum ada kerja
sama dengan NGO; belum maksimalnya
penguatan manajemen pengelola dan
program acara; keterbatasan anggaran,
peralatan maupun sumber daya lainnya.
Keenam, Radio SAMA kurang
men­dapat respon yang sebagaimana
mestinya dari kalangan pemerintah. Juga
belum optimalnya kerjasama dengan
NGO. Ketujuh, belum maksimalnya
penguatan manajemen pengelola dan
program acara radio komunitas, melalui
kaderisasi, regenerasi, training, upgrading,
dan pengetahuan dasar programming.
Kedelapan, hambatan yang bersifat klasik,
yaitu anggaran dan peralatan maupun
sumber daya lainnya.
Biro Pusat Statistik. (2002). SUSENAS 2002,
Jakarta.
Kesimpulan
Kiprah radio komunitas “Sahabat
Mata” dalam memberikan pelayanan
berupa
siaran
pada
komunitas
pendengarnya dalam kurun waktu tiga
tahun ini telah menunjukkan bukti bahwa
siarannya yang dikemas dalam bentuk
format religius (Islam) dan selektif telah
mampu memenuhi kebutuhan komunitas
pendengarnya yang sangat membutuhkan
materi siaran berupa informasi, edukasi
dan hiburan yang sehat dan bermanfaat.
Sekalipun demikian radio komunitas
“Sahabat Mata” tidak terlepas dari berbagai
kendala dan hambatan dalam upaya
memberikan pelayanan yang optimal pada
komunitasnya. Kendala-kendala yang
dihadapi antara lain keterbatasan frekuensi
dan jangkauan radio komunitas; belum
dilakukan pendekatan strategis secara
kultural dan struktural secara optimal;
belum adanya survei pendengar yang
profesional; keterbatasan penyediaan dan
rekrutmen SDM; belum memiliki database
118
DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury : 2002: 27 dalam M. Sahid
Ullah ( http://www.calunif.ac.id,
Article June 2010, Bangladesh.pdf,
diakses 20 Januari 2012).
H.A.S Moenir. (1998). “Manajemen
Pelayanan Umum di Indonesia”.
Jakarta: Bumi Aksara.
H.B
Soetopo.
(2006).
“Metodologi
Penelitian Kualitatif Dasar Teori
dan
TerapannyadalamPenelitian”.
Surakarta: UNS Press.
Harsono, Sri. (2002). “ Strategi Peningkatan
Jumlah Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat ke Perusahaan
Melalui Pelaksanaan Undang-undang
No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat di Jawa Tengah (Thesis)”.
Yogyakarta:
Universitas
Gadjah
Mada.
J Severin – James W. Tankard, Jr, (2005).
“ Teori Komunikasi, Sejarah, Metode
dan Terapan di Dalam Media Massa”.
Jakarta: Prenada Media.
Kenya, Budiani. (2004). “Problematik
Penempatan Kerja Penyandang Cacat
Tubuh di –Era Pasar Bebas (Thesis)”,
Yogyakarta:
Universitas
Gadjah
Mada.
Littlejohn, Stephen W. (1998). “Theories
of Human Communication”. USA:
Wadsworth Werner.
Muppidi, Sundeep R. (2012). “Exploring
The Rale of Media In Building Domocratic
Societies”. Singapore: AMIC.
Marzuki.
(2009).
“Penyandang
Cacat
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
Berdasarkan Klasifikasi International
Classification of Functioning for Disability
and Health (ICF)”. Jakarta: Departemen
Sosial Republik Indonesia.
Masduki. (2004). “Menjadi Broadcaster
Profesional“. Yogyakarta: Pustaka
Popular LKIS.
---------(2004).
”Perkembangan
dan
Problematik Radio Komunitas di
Indonesia”. Jurnal Ilmu Komunikasi.
Vol.1, No.1 Juni 2004.Yogyakarta:
UPN.
_______.(2007). “Regulasi Penyiaran dari
Otoriter ke Liberal“. Yogyakarta: LKIS.
Mursito.
(2006).“Memahami
Institusi
Media, Sebuah Pengantar“. Surakarta:
LinduPustaka.
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. (2009).
“Kualitas Formulasi Kebijakan Gender
pada Bidang Pendidikan”. Surakarta:
UNS Press.
Effendy, Onong Uchjana. (2008). “Ilmu,
Teori & Filsafat Komunikasi”, Bandung:
IKAPI.
Rani, Padma. (2012). “India: College
Radio Tackling Participation and
Social Inclusion”, dalam Kalinga
Seneviratme: “People Voice People
Empowerment, Community radio in
Asia and Beyond”. Singapore: AMIC.
Ratmiko dan Atik Septi Winarsih. (2007).
“Manajemen Pelayanan (Pengembangan
Model Konseptual, Penerapan Citizen’s
Charter dan Standar Pelayanan Minimal
“.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saefurrohman.
(2006).
Perlindungan
Hukum terhadap Penyandang Cacat
sebagai Pekerja pada Perusahaan
Swasta di Kabupaten Bantul. (Thesis),
Yogyakarta:
Universitas
Gadjah
Mada.
Severin, Werner J & Tankard, James
W. (2005). Communication Theories:
Origins, Methodes, And Uses in The
Mass Media. New York: Longman
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Group Ltd.
Puwanto, Setia A. (2002). Membongkar
Belenggu—Kisah Advokasi Difabel dalam
Mewujudkan Aksesibilitas Fasilitas
Umum untuk Semua, dalam Sapei dkk,
(2002), Memecah Ketakutan Menjadi
Kekuatan Kisah—Kisah Advokasi di
Indonesia, INSIST, Yogyakarta.
Sofiah, Rina Herlina H dan Ismi Dwi
Astuti. (2011). “Sensitivitas Gender –
Difabel : Studi tentang Responsivitas
Pemerintah terhadap Pemenuhan hak
Ketenagakerjaan Perempuan Difabel
“.Surakarta : Laporan Penelitian P3GLPPM.
Sofiah, Sri Urip H dan Nora Nailul Amal.
(2012). “The Potency of Visually Impaired
People In Running Sahabat Mata 107.7
FM Community Radio in Semarang and
Its ImPlication towards Empowerment of
Local Community and Disabled People”.
Shah Alam, Kualalumpur, Malaysia:
Proceeding International Conference
by AMIC.
Sholikhah,
Anis.
(2006).
“Upaya
Penyaluran dan Pendayagunaan
Tenaga Mada.
Kerja Penyandang Cacat Fisik di Kota Surabaya
(Thesis)”. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada.
Tjahyono, Tri. (2002). Penyerapan Tenaga
Kerja Penyandang Cacat Fisik dan
Pendefinisian Terhadap Pekerjaan yang
Dijalani, Thesis Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta: tidak diterbitkan.
T.Wood, Julia. (2013). “ Interpersonal
Communication Everyday Enconters”.
US: Wads-Worth: USA.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JurPend_Luarsekolah/197106141996031jonj_rahmat_pramudya/
journalradio, Desember 2011).
119
Sofiah, dkk . Radio Komunitas dan Pelayanan Publik ...
120
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 121-134
Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori dari
Teori Komunikasi Berperspektif Ke-Indonesiaan
Prahastiwi Utari
Hamid Arifin
Tanti Hermawati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Abstract
Research into communication theory has usually been limited by its confinement under
western orientation as the dominant paradigm for communication studies. This is not only
limits our understanding of Indonesian’s and in particularly their communication, but more
problematically it legitimizes inadequate conceptual and methodological reasoning in
studies of human communication. The research aims to describe incosistence or misapplied
of western communication theories in the communication phenomena in indonesia.
The data is collected by using content analysis of texts related to the problems. They are
Skripsi,, Thesis, and Disertation that have been made by whom that choose communication
as their study. We examine how communication’s phenomena are represented in the texts.
The result shows (1) the texts that using western communication theory sometimes can’t
explain the phenomenon. They often have negative impacts on researched community.
They are also knowingly and unknowingly misapplied to misrepresent the theorized people.
(2) Research text examine the adoption on communication theories derived from western
mindsets without reconciliation of any parts of the theory or model that are not concordant
with Eastern ways of thinking, symbol making, and action. (3) Researchers always
assume that obtaining and analyzing these ‘first hand’ data and evidence guarantees the
originality and advancement of scholarship, whether or not topis are repetitive, theories
are mundane, and methods are ethical.
Key words: Indonesian Communication Theories, content analysis, communication’s texts
Pendahuluan
Bukan sesuatu yang baru jika jagat
keilmuan apapun ragamnya berasal dari
pemikiran teoritik dunia barat. Sumber
keilmuan baik itu sarana dan prasarana
memang tidak dapat disangkal bersumber
di barat. Demikian pula dengan sumbersumber pemikiran teoritik komunikasi,
hampir semua merupakan pemetaan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
(mapping) yang disusun para ilmuwan
komunikasi Barat.
Dissanayake (2003: 18) meyakini hal ini
karena dia melihat bahwa: communication
scholars in Asia have been by and large,
trained in the west and make use of books and
journals and research paper published under a
western scholarly dispensation. Akibat yang
muncul sesungguhnya sangatlah tidak
121
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
menguntungkan dari sisi pengembangan
keilmuan.
Ilmu
Komunikasi
tidak
akan terlihat memiliki ciri khas atau
keunggulannya
secara
kompetitif
maupun komparatif baik ditingkat lokal,
nasional maupun internasional. Tidak ada
‘identitas’ yang bisa dijadikan pengenal
bagi keberadaan Ilmu Komunikasi
disuatu wilayah atau negara (Utari, 2012).
Atau dengan pengertiannya Yoshitaka
Miike (2002: 1) mengatakan: conventional
academic views of communication have been
skewed by Western frames of reference. They
have no represented a sample of all possible
conceptual positions from which the knowledge
of communication can be constructed.
Ada yang membuat miris, ketika di
banyak negara di Asia seperti India, China,
Jepang maupun Korea Selatan sudah
merasakan ‘ketidaknyamanan’ pengaruh
pemikiran teoritik barat dalam keilmuan
komunikasi, kita ilmuwan komunikasi
di Indonesia belum banyak merasakan
kegalauan ini. Hanya segelintir Ilmuwan
saja di Indonesia yang benar-benar
merasakan dan berani menyuarakannya.
Alwi Dahlan salah satunya, mengatakan
belum ada yang mengembangkan teori
komunikasi khas Indonesia. Teori-teori
dan riset yang dikembangkan di Indonesia
saat ini masih mengacu kepada teori
komunikasi model barat yang belum
tentu sesuai dengan kondisi di Indonesia
(Kompas, November 2011).
Jika kita merupakan ilmuwan
komunikasi yang turut prihatin dengan
kondisi semacam ini, marilah membangun
suatu pendekatan teoritik komunikasi
yang
bersifat
‘kedaerahan’
yang
merupakan cermin dari masing-masing
lokasi negara yang bersangkutan. Wimal
Dissayanake (2003) sekali lagi menegaskan
dengan mengatakan there is a real need to
expand the field by studying communication
from various non western viewpoints. Dengan
122
munculnya perspektif indigenous ini akan
memperluas kajian komunikasi sekaligus
menggali pandangan baru (new insight)
dari berbagi budaya yang memungkinkan
untuk dibandingkan sekaligus dicari
konsep-konsep baru darinya. Sathoshi
Ishii (2009: 49) dengan mengutip Lawrence
Kincaid, mengatakan bahwa a look at
communication theory from different cultural
perspective will contribute greatly to the future
development of the field. Semua seperti apa
yang diintrodusisasi oleh Miike (2006: 13):
Asian Communication studies cannot
revolutionize the discipline only by
incorporating Asian participants into
the research process. The key to the
Asiancentric renaissance is to shift
radically theoretical lenses around which
the very research process-research design,
data collection, data analysis and the data
interpretation-centers.
Berarti jika akan mengembangkan teori
komunikasi berperspektif Indonesia, maka
hanya dapat dilakukan dengan merubah
cara penggunaan teori yang terkait dengan
penelitian, mulai dari pembuatan rencana
penelitian, pengumpulan data, analisis
data dan interprestasi data. Chang dkk
(2006: 313) menawarkan antara lain:
“Proposing what Asian communication
should emcompass or what approach
should be taken to engage an Asiancentric
paradigm, we will examine how east
Asians are represented in the textbooks.
Examining this offers a meta-perspective
that provide an alternative checkpoint
for comteplating advances in Asian
communications studies.
Artinya untuk mencari bentuk-bentuk
teori yang menggunakan konsep dan
model-model yang dapat dikembangkan
sebagai teori komunikasi berperspektif
Indonesia kita dapat menggunakan teks.
Yang dimaksud dengan teks disini adalah
keseluruhan hasil karya ilmiah pengguna
teori
komunikasi.
Terkait
dengan
pengembangan teori komunikasi, maka
yang dimaksud sebagai teks ini adalah
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
skripsi, tesis, maupun disertasi dalam
bidang komunikasi.
Kajian Teoritis
1. Teori Komunikasi
Secara umum Littlejohn dan Foss
(2008: 14) mendefinisikan teori sebagai any
organized sets of concepts, explanation and
principles of some aspect of human experience.
Serangkaian konsep-konsep, penjelasanpenjelasan serta prinsip-prinsip yang
dapat menjelaskan aspek tertentu dari
pengalaman seseorang. Terdapat 2
karakteristik yang muncul dalam suatu
teori. (1) teori itu adalah suatu proses
abstraksi. Fokus hanya pada sesuatu dan
mengabaikan faktor-faktor lain. Untuk itu
tidak ada suatu kebenaran yang absolut
dalam suatu teori. Teori sesungguhnya
hanya berfungsi untuk memahami, men­
jelaskan, menginterprestasi, menilai atau­
pun mengkomunikasikan suatu fenomena.
(2) Teori itu adalah suatu konstruksi
(dibuat), diciptakan oleh manusia. Fokus
suatu teori tergantung pada pembuat atau
penciptanya. Bentukan suatu teori me­
rupakan suatu cara melihat atau berfikir
dari para pembuatnya.
Dalam kajian Ilmu Komunikasi
definisi tentang teori komunikasi itu adalah
”payung istilah untuk mendiskusikan dan
menganalisis secara sistematik, hati-hati
dan penuh kesadaran tentang fenomena
komunikasi” (Ernest Bormann). Atau juga
dapat dipahami sebagai a set of propositions
purposed to explain some aspect of human
behavior, in this case our communication
behavior” (Godwin C.Chu).
Klasifikasi teori secara umum dapat
dilihat dari tingkat generalisasi yang
berlaku dalam teori tersebut. Menurut
West dan Turner (2007: 49) ada 3 kelompok
teori; yaitu grand theories, mid-range theories
dan narrow (or very specific) theories.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Dalam grand theories untuk kajian
komunikasi, perilaku individu dalam
komunikasi adalah bersifat kebenaran
mutlak. Teori-teori komunikasi yang
bersifat ‘grand’ memiliki kemampuan
untuk menyatukan seluruh pengetahuan
tentang komunikasi ke dalam suatu
kerangka
teoritik
yang
integrated.
Menurut Craig (1999) terkait dengan teori
komunikasi maka berani dikatakan there
is no grand theories of communication exist.
Hal ini dijelaskan oleh West dan Turner
(ibid) karena: too many intances where
communication differs from group to group or
when communication behavior is modified by
changes in context or time to create a grand
theory. Menurut pemikiran West dan
Turner teory komunikasi itu bukanlah teori
yang bersifat grand theory karena perilaku
komunikasi itu sangat bersifat kontekstual
tergantung pada ruang dan waktu.
Mid-range theories, teori yang coba
menjelaskan tingkah laku (behavior)
dari kelompok tertentu dibandingkan
dengan melihatnya pada perseorangan.
Kelompok teori ini coba menjelaskan
perilaku individu-individu dalam suatu
rentang waktu atau kontekstual. Sebagian
besar teori teori komunikasi yang sudah
dikembangkan adalah merupakan bentuk
mid-range theories ini. Setiap teori biasanya
memiliki aspek tertentu yang fokus pada
perilaku komunikasi.
Dalam tataran lain teori komunikasi
juga mencerminkan apa yang disebut se­
bagai a narrow theory, teori-teori yang hanya
menaruh perhatian pada se­kelompok
orang dalam situasi tertentu.
Sebuah teori pasti memiliki bagianbagian yang dapat menjelaskan keberadaan
teori tersebut. Littlejohn dan Foss (2008:
19) sesuai dengan definisi yang mereka
berikan menyatakan bahwa suatu teori
itu pasti memiliki komponen antara lain:
konsep, penjelasan dan prinsip. Sedangkan
123
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
menurut West dan Turner (2007: 50) suatu
teori itu pastilah terdiri atas komponen
konsep dan relationship diantaranya.
2. Teori Komunikasi Asia
Jika mau introspeksi diri sesungguhnya
Ilmuwan Komunikasi Indonesia sudah jauh
tertinggal dengan Ilmuwan Komunikasi
dalam ‘dunia serumpun’ Asia untuk
menghadirkan ‘kedirian’ Indonesia lewat
Teori Komunikasi. Hampir 30 tahun lalu
ketika AMIC (1985) menyelenggarakan
Symposium on Mass Communication Theory:
The Asian Perspective dan dilanjutkan
dengan munculnya tulisan Wimal
Dissanayake (ed.), Communication Theory:
the Asian Perspective, (1988) sesungguhnya
genderang tentang keberadaan teori
komunikasi dengan bercirikan Asia sudah
ditabuh.
Kesinambungan usaha membumikan
Teori
Komunikasi
Asia
berlanjut
dengan kegiatan kegiatan seperti: Jakarta
Consultation: Press Sistem in Asean (1988),
Kathmandu Colsultation: Press Sistem
in SAARC (1989), Colombo Seminar:
Communication Ethics (1993); Hongkong
Asian Press Forum: Asian Value and The Role
of Media (1994); Kuala Lumpur Seminar: Asian
Values in Journalism (1995); Kuala Lumpur
Conference : Press Freedom and professional
Standards (1996), Singapore Conference: Trends
and Strategis (1996) sampai Asian Economic
Crisis: Communication and Transparency
(1997). Saat saat itu kita sepertinya belum
menyadari tentang pentingnya indigineous
communication theories. Ibarat orang tidur,
kita masih terlelap.
Muncul kemudian ilmuwan-ilmuwan
komunikasi yang membawa bendera
kedirian mereka dalam membentang
kajian
komunikasi.
Lihat
Wimal
Dissayake (1982, 1983, 1988) dengan
Indian communication theories-nya, Shitaka
Ishii (1982, 1984, 1998, 2001, 2003) dengan
124
Japanese communication theories-nya, atau
beberapa Ilmuwan Komunikasi China
dengan Chinese communication theories-nya.
Mereka menghadirkan teori komunikasi
bercirikan khas dari masing-masing
negara dengan permasalahan yang khas
dari mereka pula. Lihat misalnya tulisan
Chang, H-C (2001) dengan judul Harmony
as performance: The Turbulence under Chinese
Interpersonal Communication. Atau juga
ketika Nirmala Mani Adhikary (2009)
menuliskan tentang An Introduction to
Sadhikaran Model of Communication. Poin
menarik lain dari ilmuwan Asia ini ketika
mereka
mensosialisasikan
perspektif
kedirian dalam teori komunikasi, mereka
tidak segan untuk mempublikasikannya
dalam jurnal-jurnal internasional. Dalam
era inipun sepertinya kita masih belum
terbangun.
Di awal tahun 2000 banyak ilmuwan
Barat mengakui tentang keberadaan teori
komunikasi Asia. Littlejohn dan Foss (2009:
52) dengan metateorinya mengakui adanya
Buddist Communication Theory, Chinese
Harmony Theory, Confucian Communication
Theory, Hindu Communication Theory dsb.
Para Ilmuwan Komunikasi dari negara
negara Asia ini seperti Guo-Ming Chen,
Wimal Dissayake, Shelton Gunaratne,
Sathosi Iishi dan Yoshitaka Miike mendapat
pengakuan internasional sebagai Ilmuwan
Komunikasi Asia. Di era era terakhir
inilah rasanya kita Ilmuwan Komunikasi
Indonesia seolah-olah baru terbangun dan
tergagap, kita sudah jauh tertinggal.
Karena kita belum memiliki pe­ma­
haman tentang apa itu Teori Komu­nikasi
Indonesia (TKI), tidak ada salahnya kita
belajar dari teori dan model komunikasi
yang sudah berkembang dan dilakukan
oleh ilmuwan komunikasi di negara Asia
seperti India, Jepang dan China.
India merupakan negara di Asia yang
paling awal sadar betapa pentingnya
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
pemikiran teoritik komunikasi yang
bersifat indigenous untuk dikembangkan.
Tulisan ilmuwan komunikasi India Wimal
Dissanayake tahun 1988 Communication
Theory: The Asian Perspective dianggap
sebagai the pioneer aimed at expanding and
enriching the knowledge basis in studying
communication (Wang & Kuo, 2010: 153).
Bagi masyarakat India, budaya me­
rupakan sesuatu yang mengisi semua
aspek
kehidupan.
Semua
prinsipprinsip pengaturan, perintah, nilai-nilai
dan bentuk-bentuk relationship dalam
masyarakat tercermin dalam budaya. Bagi
Usha Vyasulu (1985: 2) budaya India itu
ibarat mosaik yang menyatukan 14 bahasa
utama, 5 agama dan ratusan suku, dengan
perbedaan masing-masingnya. Belum
lagi dalam masyarakat juga berkembang
pembagian kasta dan kelas yang sangat
ketat. Jadilah gambaran utama dalam
budaya masyarakat India bahwa seorang
individu itu akan terhubung secara ketat
dengan keluarga, kasta dan lokalitas.
Studi Mani Adhikary (2009) tentang
Sadharanikaran Model of Communication
coba memperlihatkan praktek-praktek
komunikasi dalam budaya India. Kata
sadharanikaran
berasal
dari
bahasa
Sansekerta yang diterjemahkan sebagai
presentasi secara umum, penyederhanaan
atau juga universalisasi. Ketika seorang
komunikator dan komunikan mencapai
proses shadaranikaran, mereka memperoleh
sahridayata (kesamaan orientasi) dan
menjadi sahridayas (mencapai kesamaan).
Dengan cara yang kurang lebih hampir
sama, ilmuwan komunikasi di India
dapat menghasilkan Hindu Communication
Theory, Rasa Communication Theory dan
lain-lain.
Dalam perspektif China aspek
budaya juga menjadi kajian penting dalam
mengungkap keberadaan mereka. Leonard
L Chu (1985: 3) misalnya mengatakan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
bahwa in China, interpersonal communication
is perhaps the most cultures bound aspect of
communication theories. Kuatnya kajian
berperspektif budaya, terutama terlihat
dari budaya Konghucu (Confucinanist
culture). Dalam budaya ini sangat
menghargai otoritas dan harmonisasi
dalam masyarakat. Dalam praktek
komunikasi sehari-hari tergambarkan
bahwa setiap individu akan menjaga dan
memperhitungkan apa yang diucapkan.
Studi dari Guo Ming Chen ( 2001)
tentang Chinese Harmony Theory mem­
perlihatkan bahwa kemampuan sese­
orang untuk mencapai harmoni akan
meningkatkan derajat kompetensi sese­
orang dalam berkomunikasi.
Sama seperti India dan China, Jepang
pun mengembangkan pemikiran teoritik
tentang komunikasi berdasarkan konsep
budaya mereka. Salah satu studi yang
menarik adalah apa yang dilakukan Miike
(2003) dengan pengembangan konsep
Amae dalam budaya Jepang sebagai bagian
penting dari human communication. Amae
dimakna sebagai orientasi empati secara
non verbal, ambiguitas ataupun keraguan
seseorang untuk mengekspresikan dirinya.
Amae ini akan menekan komunikasi secara
verbal. Untuk itu perlu mengaktifkan apa
yang disebut enryo dan sasshi.
Apa yang disebut sebagai Teori
Komunikasi Asia (Asian Communication
Theory) dalam pemahaman ilmiah kajian
komunikasi merupakan dapat dikatakan
sebagai suatu perspektif; yaitu suatu
kerangka
konseptual,
seperangkat
asumsi-asumsi, seperangkat nilai-nilai,
gagasan-gagasan yang mempengaruhi
persepsi seseorang serta mempengaruhi
tindakannya dalam suatu situasi (Charon,
1998). Menggunakan pengertian ini
kita dapat mendefinisikan TKI sebagai
suatu perspektif Ke Indonesiaan dengan
mengatakan bahwa TKI itu adalah kerangka
125
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
konseptual, seperangkat asumsi-asumsi,
seperangkat nilai-nilai, gagasan-gagasan
yang mempengaruhi persepsi seseorang
Ilmuwan Komunikasi Indonesia serta
mempengaruhi tindakannya dalam suatu
situasi/fenomena komunikasi di Indonesia.
Definisi tentang komunikasi pers­
pektif Indonesia dapat kita ambil ruh­nya
seperti apa yang diungkap oleh Yoshitaka
Miike (2002) dan Littlejohn (2009).
Yoshitaka Miike melihat teori komunikasi
di Asia sebagai:
a theoretical sistem or a school of though
in communication where concepts,
postulates and resources are rooted in, or
derived from the cumulative wisdom of
diverse Asian cultural traditions (hal.2).
Sedangkan Littlejohn melihatnya sebagai
the body of literature covering concepts
and theories derived from rereading of
Asian classical treatises, non-Eurocentric
comparisons, East-West
theoretical
syhthese, explorations into Asian
Cultural concepts, and critical reflections
on Western Theory.
teknik penelitian ilmiah yang ditujukan
untuk mengetahui gambaran karakteristik
isi dan menarik inferensi dari isi (teks).
Dalam penelitian ini analisis isi dilakukan
terhadap isi pesan yang nampak (manifest)
maupun yang tidak nampak (latent). Hal
ini berpegang pada apa yang dinyatakan
Neuendorf (2002: 23) dan Krippendorf
(2006: 20) yang mengatakan analisis isi dapat
dipakai untuk melihat semua karakteristik
dari isi (teks), baik yang nampak (manifest)
ataupun yang tidak nampak (latent). Atau
jika menggunakan pemikiran Riffe, Lacy
dan Fico (1998: 30), pada saat coding dan
pengumpulan data peneliti menilai aspekaspek dari isi yang terlihat (manifest),
sementara pada saat analisis data peneliti
memasukkan penafsiran akan aspek-aspek
dari isi yang tak terlihat (latent).
Dengan demikian TKI dapat di­
definisi­kan sebagai sistem teori tentang
komunikasi
dimana
konsep-konsep,
postulat dan semua sumber-sumber yang
terkait didalamnya berakar dan berasal
dari kearifan-lokal budaya Indonesia dan
sekaligus mengkritisi teori komunikasi
barat.
Ada 3 cohort yang menjadi obyek
dalam penelitian ini, antara lain: (1)
Skripsi, mahasiwa Ilmu Komunikasi
yang berthema khusus tentang fenomena
komunikasi di Indonesia atau bercirikan
lokal dengan kekuatan pada budaya
setempat. (2) Thesis, mahasiswa pascasarjana Ilmu Komunikasi yang berthema
khusus tentang fenomena komunikasi di
Indonesia atau bercirikan lokal dengan
kekuatan pada budaya setempat. (3)
Disertasi mahasiswa pasca-sarjana Ilmu
Komunikasi (S3) yang bertema khusus
tentang fenomena komunikasi di Indonesia
atau bercirikan lokal dengan kekuatan
pada budaya setempat. Ketiga cohort ini
akan diambil dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir (2007-2012) dari pembuatannya
dengan pertimbangan permasalahan yang
diangkat masih cukup valid untuk diingat
sebagaian besar pembacanya.
Metode Penelitian
Sajian dan Analisis Data
Penelitian ini dilakukan secara des­
kriptif kuantitatif dengan metode Analisa
Isi (content analysis). Analisis isi kuantitatif
menurut Eriyanto (2011: 15) adalah suatu
Data dari hasil penelitian ter­hadap
teks yang dipilih (Skripsi dan Tesis)
telah memperlihatkan bahwa peng­
Terdapat penekanan yang saling
meng­isi antara dua definisi ini. Pertama,
Miike menjelaskan untuk teori komunikasi
dengan perspektif Asia harus berakar
pada kearifan lokal budaya-budaya
setempat dan Littlejohn secara berani
mengata­kan bahwa teori ini juga dapat
merupakan kritik terhadap teori-teori
yang dikembangkan di Barat.
126
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
gunaan pemikiran teoritik Barat dapat
menimbulkan inkonsistensi dalam hasil
penelitian. Secara tidak langsung me­
nimbulkan hal negatif
atau bahkan
berlawanan terhadap unit analisis peneliti­
an terutama dengan masyarakat yang di­
teliti. Hal ini juga dilihat oleh Miike (2003:
40): theoretical perspective and research
findings, whether intended or unintended,
often have negative impacts on researched
community. They are also knowingly and
unknowingly misapplied to misrepresent the
theorized people.
Contoh-contoh dari analis teks di atas
rata rata memperlihatkan impact negatif
dari teori yang digunakan terhadap
masya­rakat yang mereka teliti ataupun
kemudian
muncul
mis-interprestasi
terhadap masyarakat yang mereka teliti.
Misalnya contoh dari Thesis, yang
melihat masyarakat Kristen di suatu desa
di Bali yang membangun gereja dan ritual
peribadatan mereka seperti budaya Bali,
peneliti mengamati ini sebagai suatu
fenomena akulturasi masyarakat. Pada
hal dari sisi masyarakat setempat apa
yang mereka lakukan ini merupakan
suatu
bentuk
perlawanan
mereka
terhadap budaya Bali yang sangat ketat
memperlakukan nilai-nilai Hindu dalam
kehidupan mereka (lihat Thesis,
Sih
Natalia Sukmi, 2012). Bagi masyarakat
Blimbingsari akulturasi merupakan upaya
yang mereka gunakan untuk melakukan
perlawanan tanpa kekerasan (hal. 200).
Artinya jika dalam konsep Barat akulturasi
dilakukan individu-individu dengan cara
menyesuaikan diri dengan suatu budaya
baru, maka untuk khusus Blimbingsari
akulturasi menghadirkan bentuk baru
sebuah perlawanan terhadap sebuah
buadaya baru.
Konsep akulturasi yang digunakan
peneliti menjadi keliru ketika diterapkan
kepada masyarakat Blimbingsari di
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Bali. Peneliti dapat sesuangguhnya
menggunakan
konsep
‘perlawanan’
masayarakat
terhadap
budaya
ini
sebagai suatu bentuk teori baru dengan
menggalinya dalam masayarakat yang
diteliti tersebut.
Demikian pula untuk Skripsi, masya­
rakat Osing di Jawa Timur (lihat Skripsi,
Poundra Swasti Maharani Ratu Sirikit,
2009) penggunaan teori interaksi simbolis
dari Herbert Blumer yang digunakan
peneliti menjadikan muncul interprestasi
yang berbeda dengan kenyataan di­
lapangan tentang masyarakat Osing.
Peneliti menjelaskan konsep teorisasinya
sebagai berikut:
…individu merespons lingkungannya
berdasarkan makna yang dikandung
komponen-komponen
lingkungan
tersebut
bagi
mereka.
Proses
interpretasi adalah hal yang sangat
penting, dan karenanya, manusia
sebagai individu dipandang aktif
untuk menetukan dunia mereka
sendiri. Makna muncul dari proses
interaksi sosial seseorang dengan
orang lain, yang tentu saja dalam
prosesnya sangat membutuhkan
bahasa. Makna ditangani dan
dimodifikasi
melalui
suatu
proses penafsiran oleh individu
bersangkutan, kaitannya dengan
situasi yang dihadapi. Hal ini
menunjukkan bahwa penafsiran
atau interpretasi seseorang dapat
berubah, yang dimungkinkan karena
seseorang dapat melakukan proses
mental. Perspektif interaksionalisme
simbolik mengakui pentingnya proses
pengambilan peran tertutup (covert
role-taking) di samping tindakan
terbuka (hal.45).
Hasil temuan penelitian memperlihat­
kan ada sesuatu yang berbeda dengan
konsep dari teori interaksi simbolis yang
digunakan. Masyarakat Osing ketika
menggunakan
pemaknaan
terhadap
bahasa yang mereka gunakan tidaklah
memaknai penggunaan tersebut seperti
apa yang dipremiskan oleh Blumer
merupakan proses aktif berdasarkan
127
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
pengalaman individu dan dapat berubah
sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Bagi masyarakat Osing hal ini tidak
berlaku, penggunaan bahasa, yang dalam
kacamata peneliti merupakan bentuk
interaksi simbolis bukanlah suatu proses
aktif dimana individu menyesuaikan
dengan keadaan, tetapi bagi orang ‘Osing’
bahasa adalah sesuatu yang diturunkan
sebelumnya yang bersifat ‘sakral’ buat
mereka sehingga bahasa diterima apa
adanya seperti yang dituturkan para
pendahulu mereka. Pengguna bahasa tidak
perlu melihat kontekstual kekinian dalam
memaknai bahasa mereka. Hal semacam
inilah kadang dilihat peneliti sebagai
sesuatu yang disebut ‘aneh’ untuk orang
Osing menurut orang diluar masyarakat
Osing.
Terdapat kesulitan ketika pertama kali
berkomunikasi dengan orang Osing. Dialek
dan penggunan bahasa mereka sangat
sulit untuk diucapkan dan dimengerti.
Orang yang lebih mudah usianya sedikit
memahami untuk berbicara atau bertutur
lebih pelan atau lambat, sebaliknya
generasi yang lebih tua terlihat kurang
sabar ketika peneliti jauh tertinggal dalam
percakapan, mereka tidak memperhatikan
siapa lawan bicara mereka. (hal.109)
Penggunaan teori yang kurang tepat
terhadap masyarakat ‘Osing’ di atas
menimbulkan dampak negatif bagi mereka
karena seolah-olah mereka ini adalah
masyarakat yang tidak mau berkomuniksi
dengan masyarakat di luar Osing. Padahal
sesungguhnya cara mereka berkomunikasi
ini merupakan bentukan dari budaya
Osing yang dipegang oleh masayarakat.
Dalam Thesis, masyarakat Samin
di Sukolilo Pati (Lihat Thesis,
Rini
Darmastuti, 2005). Penggunaan teori
komunikasi antar budaya dari pemikiran
Larri Samovar dan Richard Porter
,terutama yang terkait dengan komunikasi
128
menimbulkan interprestasi yang keliru
terhadap masyarakat Samin. Penulis
Thesis, ini mengutip bahwa persepsi
seorang individu terhadap lingkungannya
sangat subyektif dan budaya merupakan
pola persepsi dan perilaku dari kelompok
tersebut (hal.16), tetapi dalam analisis
temuannya terlihat bahwa terdapat
beberapa perilaku masyarakat Samin yang
tidak sesuai dengan lingkungan (baca
budaya) dimana mereka berada, misalnya:
Masyarakat Samin merupakan bagian
dari masyarakat Jawa. Mereka hidup
ditengah-tengah masyarakat Jawa
dengan budaya dan cara hidup
yang dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Bahasa yang mereka gunakan adalah
bahasa Jawa dengan style atau gaya
yang berbeda dengan bahasa Jawa
pada umumnya. Perbedaan ini tidak
lepas dari pandangan hidup, sikap
serta nilai-nilai yang mereka anut
(hal.85).
Dari data di lapangan penulis me­
nemu­kan perilaku yang berlainan dengan
konsep yang dipergunakannya dalam me­
lihat masyarakat Samin tersebut antara
lain:
Sebagai masyarakat yang hidup di
Jawa Tengah, masyarakat Samin
‘seharusnya’ berada dalam budaya
Jawa terutama dalam penggunaan
bahasanya. Tetapi kenyataan bahasa
yang mereka gunakan adalah bahasa
Jawa tanpa tingkatan dan struktur
bahasa seperti yang digunakan
dalam bahasa Jawa pada umumnya.
Bahasa Jawa yang masyarakat Samin
gunakan sangat berbeda dengan
bahasa Jawa pada umumnya (hal.3).
Adanya penggunaan perspektif barat
yang tidak dapat menjelaskan fenomena
komunikasi di Indonesia mungkin saja
terjadi terhadap masyarakat Samin. Gam­
bar­an bahwa mereka adalah suku terasing,
tradisional, terbelakang, kuno, aneh, bodoh,
anti pemerintah, dan lain lain, merupakan
cerminan terbentuknya dampak negatif
terhadap suatu masyarakat yang diteliti
karena peneliti menggunakan perspektif
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
teoritik berdasarkan konsep yang ada
dipeneliti dengan penerapan yang tidak
sesuai dengan masyarakat yang diteliti.
merupakan sesuatu yang sangat berharga
dalam pengembanagan Ilmu Pengetahuan
(Komunikasi) ke depannya.
Ada beberapa alasan yang dapat
dijadi­kan dasar dalam penelitian ini yang
memperlihatkan konsep pemikiran teoritik
barat tidak dapat menjelaskan fenomena
komunikasi di Indonesia, mindset kepada
pemikiran barat, perilaku adopsi yang
tidak memikirkan modifikasi dan juga ter­
kait dengan ketersediaan data.
Keterkaitan penggunaan pemikiran
teoritik barat di Indonesia terjadi karena
peneliti dalam menggunakan teori
hanya mengadopsi murni suatu teori
yang sudah ada tanpa memodifikasi
atau menyesuaikan dengan apa yang
diteliti. Ini bukan berarti tidak ada usaha
pengembang­an pemikiran teoritik tentang
komunikasi dari perspektif keindonesiaan.
Inilah suatu tantangan bagi penelitian
di Indonesia bahwa dengan menggunakan
lensa teoritik pemikiran Barat kita akan
meniadakan atau bahkan mengaburkan
kekhususan atau pencirian dari hasil
temu­an penelitian dilapangan.
Sekali
lagi Miike (2006, hal 4) merasakan untuk
pe­neliti komunikasi di Asia: …many of
them have only seen their cultures as texts or
peripheral targets of Eurocentric analysis, not
theories or central resources of Asian-centric
insight. They studied Asian communication
not from Asian perspective words but from
European perspective.
Study dari Bryant dan Yang (2004)
yang melakukan analisa isi terhadap 9
jurnal ‘mainstream’ komunikasi di Asia
memperlihatkan 65 artikel tentang feno­
mena komunikasi di Asia yang mereka
analisis menggunakan pemikiran teoritik
Barat. Mereka mengatakan:
While I do not necessarily subscribe to the
legitimacy of their scope of investigation
and to their suggestion for the future, it is
fair to say that “little emphasis is placed
on sophisticated theory construction,
which is heart and soul of the creation
and advancement of knowledge in any
discipline (hal.145)
Artinya, tidak akan berarti apaapa sebuah penelitian itu, sebagus
apapun masalah dan saran hasilnya,
jika tanpa penekanan pada penemuan
atau pembentukan suatu teori yang
menjelaskan fenomena tersebut dan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Turnomo Rahardjo (2008) melihat
sudah ada kesadaran ilmuwan komunikasi
ke arah itu namun masih dalam porsi
yang sangat terbatas. Aktivitas keilmuan
(penelitian) masih sebatas melakukan
verifikasi terhadap teori-teori komunikasi
dengan cara pandang Barat. Artinya,
apa yang dilakukan sekarang ini masih
dalam tataran melakukan pengujian, men­
dukung atau menolak teori-teori barat,
belum sampai pada tahapan untuk meng­
eksplorasi kearifan lokal (local wisdom).
Hal senada yang dirasakan Miike (2006): …
We should routinely challenge the adoption on
communication theories derived from western
mindsets without reconciliation of any parts
of the theory or model that are not concordant
with Eastern ways of thinking, symbol making,
and action.
Miike (2006) yang concern dengan
usaha membangun teori komunikasi di
Asia mengatakan:
…we must place Asians cultures as
theoretical resources at the center of
inquiry in describing, deciphering and
discerning the premises and practices
of Asian communication. It can be
conducted by focusing on our cultural
specific theories to explore the possibility
of building universal theories (hal.4).
Salah satu hal lain yang juga me­
nyebab­kan pemikiran teoritik barat tidak
dapat menjelaskan fenomena komunikasi
di Indonesia adalah terkait dengan proses
129
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
penelitian. Peneliti terlalu percaya bahwa
data di lapangan yang didapat melalui
cara-cara yang sudah dirancang dalam
metode peneltian. Data primer penelitian
merupakan data utama dalam menganalisa
penelitian. Sementara data pendukung
lain hanya dilibatkan sebagai data yang
melengkapi data utama saja. Miike
(2003) menggaris bawahi hal ini dengan
mengatakan bahwa kita sebagai peneliti
itu: ..always assume that obtaining and
analyzing these ‘first hand’ data and evidence
guarantees the originality and advancement of
scholarship, whether or not topis are repetitive,
theories are mundane, and methods are ethical.
dalam
tingkatan
pengembangan
communication indigoneous theory di Asia
cara yang dilakukan saat ini …not only
limits our understanding of Asians and in
particular their communication, but more
problematically it legitimizes inadequate
conceptual and methodological reasoning in
studies of human communication. Untuk
itulah dalam pemahaman tentang konsep
yang akan dikembangkan tentang
bagaimana konsep komunikasi dilihat
dari perspektif keindonesiaan, kita perlu
melihat perbedaan mendasar tentang
konsep itu sendiri diantar dua kutub dari
literatur-literatur yang sudah ada.
Data-data
yang
berasal
dari
autobiografi, kaligrafi, sejarah perusahaan,
diaries, etymological origins, dongeng
binatang, idiomatic expression, imageries,
legenda, mitos, novel, puisi, peribahasa, dan
lagu masih dianggap bukan sebagai sumber
data utama dalam melakukan penelitian.
Kalaupun digunakan data-data semacam
ini hanya menjadi data yang mengilustrasi
saja atau sebagai data pelengkap dari
data utama. Sekali lagi Miike menjelaskan
bahwa: the sudden, unintetional, unplanned,
unrecorded ‘conversation’ are sometimes much
more insightfull, valuable, and revealing than
rigidly intentional, planned and recorded ‘data
and evidence’
Menurut perspektif teoritik Barat
komunikasi adalah suatu pertukaran pesan
secara simbolik dari mereka yang terlibat
dalam proses komunikasi. Atau ketika
memberikan definisi pada mahasiswa, kita
selalu mengatakan komunikasi itu sebagai
proses pengiriman pesan dari komunikator
kepada komunikan melalui media
tertentu untuk mendapatkan efek dari
komunikannya. Kita secara tidak langsung
menggunakan konsep komunikasi yang
dibuat secara linier oleh ilmuwan barat
(lihat Harrold Laswell, Shanon Weaver
1949, Gebner 1956, Newcomb 1953).
Sementara dalam pemikiran teoritik timur
konsep komunikasi itu tidaklah semudah
seperti apa yang ada dalam pemikiran
teoritik Barat. Chen dan Miike (2006:
3) mengatakan mengapa ada sebutan
“Japanenese communication” atau pun
“Chinese communication”? semua terjadi
karena ada perbedaan yang mendasar
dalam praktek-praktek komunikasi di
masing-masing negara tersebut yang
berakar pada sejarah, kebudayaan dan
pengaruh-pengaruh sosial lainnya.
Konsep merupakan suatu yang vital
dalam teori karena seperti yang diungkap
oleh Kerlinger (1973) teori itu merupakan
interlated constructs, kumpulan konstrukkontruk yang saling berkaitan satu sama
lain dalam menjelaskan suatu fenomena.
Konstruk sendiri adalah konsep yang
terukur
dan
teramati.
Kelemahan
yang muncul dalam penelitian tentang
fenomena komunikasi dimasing-masing
negara dalam tataran melihat indigineous
theori adalah adanya pembatasan orientasi
pemikiran Barat dalam studi-studinya.
Chang dkk (2006, hal 312) melihat
130
Menegaskan
bahwa
konsep
komunikasi untuk ukuran perspektif timur
harus dimaknai tidak linier, Chen (2006)
sekali lagi memberikan contoh bahwa
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
untuk masyarakat dalam budaya China,
misalnya, komunikasi itu dapat dimaknai
sebagai kegiatan-kegiatan yang berbeda
satu sama lain (multiple-activities). Dia
menunjukkan bahwa komunikasi dalam
budaya China dapat diartikan sebagai
chuan, bo, liu, bu, xuan, tong dan di.
Dari teks (Skripsi, dan Thesis, ) yang
dianalisis, peneliti juga menemukan
berbagai konsep komunikasi yang
digunakan oleh peneliti dalam menjelaskan
fenomena komunikasi yang diamatinya.
Misal dalam Skripsi, tentang Masyarakat
Osing, peneliti menggunakan konsep
pemikiran barat komunikasi itu sebagai
penyebaran informasi, ide-ide, sikap-sikap,
atau emosi dari seseorang atau kelompok
kepada yang lain, terutama melalui simbolsimbol (Theodornoson & Theodornoson
1969: 28), tetapi bagi masyarakat Osing
sendiri komunikasi terutama dalam
penggunaan bahasa adalah apa yang
mereka telah miliki turun temurun dari
pendahulu, tidak perlu disebarkan pada
orang lain justru pendatang harus tahu
bahasa mereka (hal.110). Dengan demikian
komunikasi dapat diartikan sebagai
konsep pemahaman diri dari luar.
Atau
ketika
memahami
cara
berkomunikasi para nelayan dengan
pengamba-nya (Lihat Thesis, Aryo Fajar
Sunartomo) konsep komunikasi diantara
mereka mungkin lebih berarti sebagai
suatu mutual simbiosis yang saling
menguntungkan
diantara
keduanya.
Biarpun secara teoritis penelitinya sudah
mendefinisikan
komunikasi
sebagai
proses pemindahan makna dari sumber
kepada penerima sehingga menimbulkan
kesamaan (hal 36), tetapi ketika mereka
berkomunikasi sesuai dengan kondisi dan
budaya yang ada di daerah mereka, maka
komunikasi dapat dimaknai juga sebagai
sebuah hubungan yang berpotensi konflik
manakala tidak ada kesesuaian antara
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
nelayan dengan pengambanya dalam hal
pembiayaan melaut (hal.131).
Sedangkan
dalam
memahami
bagaimana model-model komunikasi
yang dikembangkan sebagai dasar teori
komunikasi berperspektif keindonesiaan,
kita juga perlu memahami apa yang sudah
dilakukan peneliti lain dalam melihat
fenomena yang serupa.
Chang dkk (2006: 317) melihat bahwa
dari berbagai studi tentang komunikasi
yang sudah ada terutama terkait
penelitian komunikasi antar budaya,
mereka menemukan bahwa model-model
atau gambaran tentang praktek-praktek
komunikasi biasanya: …endorse solidarity
a holistic worldview; practice collectivism;
cherish social harmony and in-group solidarity
as their central values; and have a tight
controlled, hierarchical sosial structure.
Sementara
Miike
(2002:
5)
mengungkapkan
model
komunikasi
masyarakat di timur itu biasanya selalu
bersifat (1) relationality, (2) circularity
dan (3) harmony. Konsep komunikasi
untuk masyarakat Asia itu selalu melihat
dalam
keseluruhan
proses,
dalam
pelaksanaannya bersikat kolektifisme,
mengutamakan harmonitas dan solidaritas
dalam kelompok, ada nya pengawasan
yang ketat satu sama lain serta munculnya
hirakhi dalam struktur sosial masyarakat.
Chen dan Miike (2006, hal 8) mem­
formulasi­kan komunikasi dari perspektif
masyarakat Asia yang disebutnya se­
bagai Asiancentric perspective adalah:
(a) Komunikasi adalah proses dimana
kita melihat diri kita dan saling keter­
gantungan­nya kita kepada jagad raya. (b)
Komunikasi adalah proses dimana terjadi
pengurangan egoisme diri, mementingkan
diri sendiri. (c) Komunikasi adalah proses
dimana rasa senang dan sedih muncul
secara bersamaan terhadap apa yang
dibicarakan. (d) Komunikasi adalah proses
131
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
kita menerima reward dan punish dari apa
yang kita bicarakan dan (e) Komunikasi
adalah proses dimana masalah moral dan
harmonisasi terhadap lingkungan menjadi
hal yang utama.
Dari Skripsi, dan Thesis, yang ada
peneliti dapat melihat beberapa konsep
komunikasi yang spesifik, misalnya
komunikasi selalu diselaraskan dengan
nilai-nilai budaya yang sudah terbentuk:
”Selametan ikau myakene selamat uwonge,
kadung wong kene jare kirim du’a nyang
wong kang wis mulih ta wes,” (Selametan
itu agar selamat orangnya, kalau
orang sini mengatakan, mengirim do’a
untuk orang yang sudah meninggal).
“Wong kene ikau wedi kualat,” (Orang
sini itu takut kualat). Masyarakat
Osing percaya jika meninggalkan
apa-apa yang sudah diwariskan
leluhur, misalnya upacara selametan,
mereka akan ditimpa bencana atau
menemui halangan dalam kehidupan.
Hal ini juga menjadi pedoman dalam
kehidupan sehari-hari Orang Osing.
Mereka percaya bahwa barang
siapa menanam, akan menuai. Ini
menyebabkan mereka takut untuk
berbuat hal-hal yang bisa mencelakai
atau merugikan orang lain. (Lihat
Skripsi, Poundra Swasti Maharani, hal
83)
Komunikasi sebagai proses dinamis
pengungkapan
perasaan
seseorang.
Dalam penelitian tentang komunikasi
dan sosialisasi kaum gay di Sragen (Lihat
Skripsi, Sri Adri Haryanto) peneliti
memperlihatkan bagaimana seseorang
gay itu berkomunikasi. Dengan segala
handicap yang ada pada mereka terlihat
bahwa komunikasi buat mereka ini adalah
bagaimana mereka ‘mengkomunikasikan’
diri ke orang lain. Orang lain paham
tentang mereka dan mereka dapat
dipahami orang lain. Dinamika dalam
berkomunikasi inilah yang selalu mereka
tonjolkan dalan berkomunikasi. Contoh di
bawah ini memperlihatkan:
Dalam berkomunikasi saya meng­
ikuti semua tata cara yang ada di
masyarakat. Soalnya menurut saya
132
nggak ada dispensasi yang diciptakan
terhadap seseorang karena mereka
lain dari yang lain. Justru orang yang
berbeda itu yang harus menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Tapi
kalau saya sudah bersama dengan
teman gay, ya saya bisa menjadi diri
saya lagi. Dalam hal ini barulah waktu
yang tepat bagi saya untuk bersama
pasangan, mungkin bergaul dengan
cara-cara gay, bermesraan atau hal
lain yang biasanya hanya kaum gay
yang mengerti.” (hal 66)
Komunikasi tidak hanya terbatas
pada yang terucapkan atau yang terlihat
saja. Apa yang ditegaskan oleh para
peneliti komuikasi di asia mengatakan
bahwa what is invisible is oftentimes far more
important in communication than what is
visible. Sensitivity, empathy, contemplation,
enlightmen, and spiritual liberation are largely
invisible because they take place within the
communicator.
Dalam kajian teoritis di depan telah
dijelaskan bahwa paradigma yang di­
kembangkan dalam suatu teori akan mem­
pengaruhi perkembangan teori , hal ini
dikenal dengan konsep metateori. Dalam
ranah kajian komunikasi ada 3 kelompok
metateori yaitu covering laws, rules dan
sistems.
Dalam
Covering
Laws
teori
yang dibangun atau dikembangkan
menekankan pada hubungan sebabakibat, perilaku komunikasi dipahami
sebagai sesuatu yang dapat diramalkan
dan dibentuk generalisasinya. Sebaliknya
untuk teori-teori Rules lebih menekankan
pada kebutuhan praktis. Dalam teori
komunikasi,
perilaku
komunikasi
dipahami sebagai aturan-aturan yang
digunakan untuk mencapai apa yang
dikehendaki. Sementara sistem teori
posisinya berada diantara dua kutub
Covering Laws dan Rules. Pendekatan
ini menekankan pada keseluruhan,
interdependensi, adanya hirarki, feedback,
dan kesederajatan.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
Dalam kajiannya tentang meta teori
komunikasi di China, Chen (2006: 5)
mengata­kan pengembangan metha teori
dari komunikasi di sana lebih mengarah
pada mid-range dengan penekanan pada
sistem theori. Penerapan untuk kita di
Indonesiapun akan lebih kurang sama
dengan apa yang telah dilakukan di
china dan negara-negara lain yang telah
menggunakan metateori semacam ini.
Kesimpulan
Secara keseluruhan penelitian ini telah
berusaha mendeSkripsi,kan permasalahan
penelitian yang diangkat terutama terkait
penggunaan konsep teoritik Barat yang
kadang tidak dapat menjelaskan fenomena
komunikasi yang ada di Indonesia.
Akibat dari penggunaan teori yang tidak
tepat ini akan mengakibatkan terjadinya
misinterprestasi terhadap unit analisis
yang diteliti, dan lebih jauh bahkan
menimbulkan dampak negatif terhadap
masayarakat yang diteliti.
Beberapa hal yang menentukan
teoritik barat tidak dapat menjelaskan feno­
mena komunikasi di Indonesia antara lain:
western mindset dalam peneliti, adopsi teori
tanpa memodifikasinya, teori digunakan
hanya pada tataran melakukan pengujian,
mendukung atau menolak teori teori yang
ada, belum sampai pada tahapan untuk
mengeksplorasi kearifan lokal serta dalam
ketersediaan data sangat mempercayai
pada kekuatan data primer. Data sekunder
yang kadang didapatkan dari sumbersumber yang dianggap sekunder kadang
justru akan menghasilkan sesuatu yang
lebih bernilai dibanding dengan data
primer.
Konsep dan model komunikasi
yang dapat dikembangkan dalam teori
komunikasi berperspektif ke-Indonesiaan
ini selain bertumpu pada budaya Indonesia
juga harus memperhatikan beberapa
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
hal, antara lain: a). Konsep komunikasi
tidak dipandang linier sebagaimana
yang ada dalam konsep teoritik barat,
tetapi lebih sebagai multiple activities. b).
Dalam pengembangan modelnya sangat
tergantung pada model model komunikasi
yang bersifat relationality, circularity dan
harmony. Dalam pengembangan metateorinya dapat dikembangkan teori-teori
yang bersifat mid-range theories dengan
penekanan pada sistem theory.
Daftar Pustaka
Chang, Hui-Ching, Rich Holt dan Lina Luo,
(2006), “Representing East Asians in
Intercultural Communication
Textbooks: A Select Review”, The
review of Communication, Vol.6, No.4,
October 2006.
Chu, Godwin C, 1985, In Search of Asian
Perspective of Communication Theory,
in AMIC –Thammasat University
Symposium on Mass Communication
Theory: the Asian Perspective,
Bangkok.
Craig, Robert T & Muller, Heidi L, 2007,
Theorizing Communication Readings
Across Traditions, Los Angeles:
Sage Publications.
Dissanayake, Wimal, 2003, “Asian
Approach to Human Communication:
Retrospect and P r o s p e c t ” ,
Intercultural Communication Studies,
XII-4, 17-37.
Eriyanto, 2011, Analisis Isi: Pengantar
Metodologi untuk Penelitian Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial, Jakarta:
Prenada Media Group.
Ishii, Sathosi 2009, “Conceptualising
Asian Communication Ethics: a
Buddist Perspective”, Journal
of
Multicultural Discourses, Vol 4 No.1
March 2009.
Kalof, L & Dietz,T, 2008 Essentials of Social
Research, maidenhead, Berkshire:
133
Prahastiwi Utari, dkk. Pengembangan Konsep, Model dan Meta Teori ...
Open University Press McGraw Hill.
Krippendorf, Klaus (2006), Contenr
Analysis: An Introduction to Its
Methodology, Edisi Kedua, Thousand
Oaks: Sage Publication.
Kuswanto, Engkus, 2010, Menguak Tabir
Ilmu Komunikasi dari Perspektif
Timur, dalam Seminar Nasional
“Membedah Ilmu Komunikasi dari
Persepktif Ke-Timur-an”,
Bengkulu, Aspikom.
Littlejohn, Stephen W, 1996, Theories of
Human Communication, ThomsonWadsworth, Belmont, USA.
--------------------------- & Foss, Karen 2008,
Theories of Human Commu­nication, Thomson-Wadsworth, Belmont, USA.
----------------------------&
Foss,
Karen
2009, Encyclopedia of Communication
Theory, Sage Publication, Thousand
Oak, California.
Mani Adhikary, Nirmala, 2009, “An
Introduction
to
Sadharanikaran
Model of Communication”, Bodhi, 3
(1), 69-91.
Yoshitaka, Miike (2002), “Theorizing
Culture and Communication in The
Asian Context: An Assumptive
Foundation”, Intercultures Commu­
nication Studies XI-1, 1-21.
Neuendorf, Kimberly A (2002), The Content
Analysis Guidebook, Thousand Oaks:
Sage Publication.
Rahardjo, Turnomo, 2009, Cetak Biru Teori
Komunikasi dan Studi Komunikasi
di Indonesia, makalah
dalam
“Simposium Nasional: Arah Depan
Pengembangan Ilmu Komunikasi
di Indonesia”, Jakarta.
Reddi, Usha Vyasulu, 1985, Communication
Theory: Indian Perspective, in AMIC –
Thammasat University Symposium
on Mass Communication Theory: the
Asian Perspective, Bangkok.
Riffe, Daniel, Stephen Lacy, dan Frederick
G.Fico (1998), Analyzing Media
Messages: Using Quantitative Content
analysis in Research, London: Lawrence
Erlbaum Associates Publisher.
Wang, Georgette & Kuo, Eddie C.Y, 2010,
The Asian Communication Debate:
Culture Spesific Cultural Generality
and Beyond, Asian Journal of
Communication Vol 20, No 2, June
2010, 152-165.
West, Richard & Turner, Lynn H, 2007,
Introducing Communication Theory
Analysis and Application, Mc Graw
Hill, New York.
---------------------(2003), “Japanese Enryosasshi Communication and the
Psychology of Amae: Reconsi­dera­
tion and Reconceptulization”, Keio
Com­mu­nication Review, 25, 93-115
--------------------- (2003), “Toward an
Alternative Metatheory of Human
Communication: An Asiscentric
Vision”, Intercultural Communication
Studies, XII-4, 39-63.
----------------------(2006), “Non Western
Theory in Western Research? An
Asiacentric Agenda for
Asian
Communication Studies”, Review of
Communication, 6
134
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 135-150
Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Corporate
Social Responsibility (CSR) berupa Pengembangan
Pewarna Alami dari Buah Magrove Spesies Rhizopora
Mucronata untuk Batik Khas Bontang Kalimantan Timur
Imam Sulistyo W
Bambang Budi R
Corporate Communication Department, Badak LNG, Bontang,
Kalimantan Timur
Rahmat Safruddin
SHE-Q Department, Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timur
Paryanto
Sunu Herwi Pranolo
Wusana Agung Wibowo
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Badak LNG joint activities and Chemical Engineering Department - UNS through community
empowerment through the development of natural dyes from fruits mangrove Rhizophora
mucronata for typical batik Bontang in East Kalimantan has been completed for one year
starting March 2013 till April 2014. Activity aims to provide education about the benefits
mangrove and provide training on making natural dyes from fruits mangrove Rhizophora
micronata types and application on fabric batik motif Bontang to the farmer groups and
batik craftsman built LNG Badak.
The series of activities supporting the program include training of mangrove species
recognition, creation of natural dyes from fruits mangrove, mangrove training application
of natural dyes for batik typical Bontang, production equipment design and manufacturing
of natural dyes mangrove pilot-plant scale, typical batik design competition Bontang,
preparation of plans business and ends with dissemination activities.
These activities are directly managed to provide value-added type of Rhizophora
mucronata mangrove fruit that has not been used and through this program can be used
as a natural dye for batik Mangrove Bontang. This activity also managed to increase the
resource capacity of farmer groups and communities, especially batik craftsman built LNG
Badak and preserve the biodiversity of coastal mangrove habitat and contribute to the
achievement of the third Gold award by Rhino Proper LNG in 2013 from the Ministry of
Environment - Republic of Indonesia.
Key words: mangrove, Rhizophora mucronata, natural color, Batik Mangrove, Bontang,
community development, biodiversity
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
135
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
Pendahuluan
UNESCO telah memberikan peng­
akuan­nya terhadap produk batik di
Indonesia, dan pada awal bulan Oktober
2011 telah diadakan pameran batik di
Jakarta Convention Center di Jakarta yang
diikuti oleh beberapa negara. Pada
kesempatan tersebut Menteri Perindustrian
dan Perdagangan menyerahkan blue print
kepada Presiden RI yang berisi tentang
kurangnya infrastruktur batik, salah
satunya adalah penyediaan pewarna alami
batik.
Perkembangan industri pengolahan
pangan, sandang, kosmetik, dan farmasi
serta terbatasnya jumlah pewarna alami
menyebabkan
penggunaan
pewarna
sintetik meningkat. Sejak penemuan
pewarna sintetik, penggunaan pigmen
sebagai pewarna dari bahan alam semakin
menurun, meskipun keberadaannya tidak
menghilang sama sekali. Pewarna sintetis
memang terbukti lebih murah sehingga
lebih menguntungkan dari segi ekonomis,
tetapi penggunaannya sebagai pewarna
makanan, minuman dan pakaian dapat
berdampak negatif yaitu penyebab toksik
dan karsinogenik karena kandungan logam
berat dalam pewarna sintetik tidak dapat
dihancurkan dalam sistem pencernaan
manusia dan akan terakumulasi di dalam
tubuh.1
Penggunaan
pewarna
alami
khususnya untuk batik atau tekstil
(pakaian) sangat perlu digalakkan
karena lebih aman dari segi kesehatan.
Pilihan warnanya memang agak terbatas
dibandingkan dengan pewarna sintetis,
maka perlu pengembangan melalui
berbagai penelitian terutama untuk
pencarian sumber bahan pewarna alami
yang berasal dari tanaman setempat.
Tanaman yang mengandung pewarna
1 http://www.depkes.go.id
136
alami banyak tersedia, misalnya limbah
kulit kopi, kesumba/galenggem (bixa
orelana), jati, soga, ulin, pinang, limbah
sawit, berbagai jenis mangrove dan masih
banyak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pengembangan pewarna alami ini
sebagai salah satu unggulan di Program
Studi Teknik Kimia UNS dengan telah
diresmikannya Pusat Studi Zat Warna
Alami oleh Dirjen DIKTI dan didukung
oleh BKK-PII yang telah tercakup dalam
visi misi program studi Teknik Kimia UNS.
Penelitian tentang pengambilan zat warna
alami dari tanaman telah banyak dilakukan
di Program Studi Teknik Kimia UNS antara
lain pengambilan secara batch zat warna
alami dari kunyit (kuning), jati (coklat
merah), daun suji dan pandan (hijau), nanas
(kuning), jarak (hijau), soga (kuning), aren
(coklat), ulin (coklat tua) pinang (merah
tua), bunga teleng (biru), jelaga/arang
(hitam), kesumba/galenggem (merah)
dan khususnya buah tanaman mangrove
jenis Rhizophora mucronata (coklat merah)
yang banyak terdapat di daerah Bontang,
Kalimantan Timur.
Landasan Teori
a. Corporate Social Responsbility (CSR)
Corporate Social Responsibilities adalah
sebuah wujud kepedulian perusahaan
kepada lingkungan sekitarnya. Corporate
Social
Responsibility
(CSR)
adalah
komitmen perusahaan atau dunia bisnis
untuk berkontribusi dalam pengembangan
ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan
tanggung
jawab
sosial. Pewajiban perusahaan untuk
menye­lenggarakan
Corporate
Social
Resposibilities tergolong baru, yaitu dengan
diundangkannya UU No 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.2
2 http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/11/26/
corporate-social-responsibility-sebuahkepedulian-perusahaan-terhadap-lingkungan-
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
Corporate Social Responsbility adalah
elemen penting dalam kerangka keber­
lanjutan usaha suatu industri yang
mencakup aspek ekonomi, lingkungan,
dan sosial budaya. Definisi secara luas
yang ditulis sebuah organisasi dunia
World Bisnis Council for sustainable
Development (WBCD) menyatakan bahwa
CSR merupakan suatu komitmen ber­
kelanjutan oleh dunia usaha untuk
bertindak etis dan memberikan kontribusi
kepada pengembangan ekonomi dari
komunitas setempat ataupun masyarakat
luas, bersamaan dengan peningkatan taraf
hidup pekerjanya serta seluruh keluarga.
Sedangkan menurut Nuryana CSR adalah
sebuah pendekatan dimana perusahaan
mengintegrasikan
kepedulian
sosial
dalam operasi bisnis mereka dan dalam
interaksi mereka dengan para pemangku
kepentingan (stakeholders) berdasarkan
prinsip kesukarelaan dan kemitraan.3
Dalam penelitian kali ini konsep
Corporate Social Responsibility akan
diukur dengan menggunakan lima pilar
aktivitas Corporate Social Responsibility
dari Prince of Wales International Bussiness
Forum, yaitu:4
1. Building Human Capital
Secara internal, perusahaan dituntut
untuk menciptakan SDM yang andal.
Secara eksternal, perusahaan dituntut
untuk
melakukan
pemberdayaan
masya­rakat, biasanya melalui community
development.
2. Strengthening Economies
Perusahaan dituntut untuk tidak
menjadi kaya sendiri sementara
komunitas di lingkungannya miskin,
di-sekitarnya/, diakses 15 Juli 2014
3 Ibid.
4 Wibisono, 2007, dalam http://jurnal-sdm.
blogspot.com/2009/07/corporate-socialresponsibility-csr.html, diakses 15 Juli 2014.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
mereka
harus
ekonomi sekitar.
memberdayakan
3. Assessing Social Chesion
Perusahaan dituntut untuk menjaga
keharmonisan dengan masyarakat
sekitarnya agar tidak menimbulkan
konflik.
4. Encouraging Good Governence
Dalam
menjalankan
bisnisnya,
perusahaan harus menjalankan tata
kelola bisnis dengan baik.
5. Protecting The Environment
Perusahaan berupaya keras menjaga
kelestarian lingkungan.
b. Magrove
Indonesia memiliki lahan hutan
mangrove terluas di dunia (4,225 juta ha
atau 23% luas lahan hutan mangrove dunia)
melebihi Brasil, Nigeria dan Australia
(Spalding, M.F., 1997). Kota Bontang di
Kalimantan Timur terletak pada 0,137°
LU, 117,5° BT yang berbatasan dengan
Kabupaten Kutai Timur di sebelah utara
dan barat, Kabupaten Kutai Kartanegara
di sebelah selatan dan Selat Makasar di
sebelah timur. Luasnya sekitar 49.752,56 ha
dan memiliki lahan tanam mangrove seluas
2.935 ha (5,9 %) dengan 1.715 ha merupakan
lahan blok perlindungan tanaman.
Terdapat beberapa jenis flora dan
fauna penyusun keanekaragaman hayati
hutan mangrove di Kota Bontang.
Sejumlah jenis tanaman mangrove terdapat
di Kota Bontang, antara lain Sonneratia
ovata, Bruguiera gymnorrhiza, Lumnitzera
racemosa, Lumnitzera littorea, Acanthus
ilicifolius, Avicenniaceae, Nypa fruticans,
Xylocarpus granatum, dan Rhizophora
mucronata. Tanaman hutan mangrove
merupakan salah satu penyimpan karbon
(carbon sync) dalam jumlah yang cukup
besar, selain itu hutan mangrove memiliki
fungsi perlindungan terhadap pantai
137
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
dari abrasi dan merupakan habitat dari
beberapa jenis satwa (fauna) diantaranya
burung (mis. kontul perak, kontul kerbau,
cangak merah, pergam hijau), mamalia
(misal tupai, musang, kera) dan satwa
air (mis. buaya rawa, ikan, kepiting
mangrove, udang, kerang dan satwa air
lainnya). Kontul perak termasuk jenis
burung yang dilindungi dan merupakan
maskot/icon fauna Kota Bontang.5 Melalui
edukasi terhadap masyarakat serta pihakpihak yang berkepentingan lainnya
mengenai pemanfaatan produk mangrove
non kayu, maka diharapkan luas area
tanaman mangrove dan ekosistem yang
ada didalamnya dapat terjaga sehingga
fungsi fisik sebagai pencegah kerusakan
lingkungan maupun fungsi ekologi di
dalam keanekaragaman hayati ekosistem
yang memberikan daya dukung kualitas
lingkungan hidup akan tetap terjaga dan
lestari.
Buah dari beberapa jenis tanaman
mangrove telah banyak dimanfaatkan
masyarakat sebagai sumber bahan
makanan, misalnya Sonneratia ovata untuk
sirup dan Bruguiera gymnorrhiza untuk
tepung sehingga sistem pembudidayaan
dan pengembangbiakan telah terbentuk.
Jenis Rhizophora mucronata (Gambar 2)
menempati luas lahan tanaman terbanyak
yaitu sekitar 70% dari keseluruhan blok
perlindungan, tetapi relatif belum banyak
diketahui nilai tambahnya selain sebagai
pelindung pantai dari abrasi. Dari luasan
tersebut, diduga terdapat 3.000.000 pohon
jenis ini bila dianggap jarak tanam 2 m x 2 m.
Tanaman jenis ini bercirikan khusus daun
lebih besar dari pada Rhizophora stylosa,
pada bagian tengah memiliki panjang
yang maksimum dan benang sari pendek.
Terkait dengan pelestarian mangrove
di area pesisir, selain mempertahankan
keanekaragaman
hayati
di
dalam
habitat alami, program pemanfaatan
yang didukung dengan pembibitan dan
penanaman jenis mangrove dominan
yang mudah dikembangbiakkan seperti
Rhizophora mucronata ini merupakan
langkah efektif dalam peningkatan
luas area mangrove dan sekaligus akan
memberikan
dampak
positif
pada
berkembangnya ekosistem di dalamnya.
Dengan anggapan bahwa setiap tahun satu
batang pohon spesies Rhizophora mucronata
menghasilkan 50 kg buah dan 50% buah
tersebut dipergunakan untuk pembibitan
maka masih tersedia sebanyak 75.000 ton
buah sebagai bahan baku pewarna alami.
Apabila perolehan proses ini sebesar 5%,
maka berpotensi diperoleh pewarna alami
sebanyak 3.750 ton.
Gambar 1. Lahan tanaman mangrove di Bontang, Kalimantan Timur
5 Anonim, 2012.
138
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
Gambar 2. Tanaman dan Buah Rhizophora Mucronata
Tanaman merupakan sumber zat
warna alami karena mengandung pigmen
alam. Potensi ini ditentukan oleh intensitas
warna yang dihasilkan dan sangat
tergantung pada jenis coloring matter yang
ada. Coloring matter adalah substansi
yang menentukan arah warna zat warna
alami, merupakan senyawa organik yang
mengandung lebih dari satu jenis coloring
matter. Berdasarkan jenis coloring matter,
zat warna alami dibagi menjadi 4 golongan
yaitu:
1) Zat warna mordan (alam), kebanyakan
zat warna alami tergolong zat warna
mordan alam sehingga zat warna
alami dapat menempel dengan baik.
Proses pewarnaannya harus melalui
penggabungan
dengan
kompleks
oksida logam membentuk zat warna
yang tidak larut. Zat warna alami
golongan ini dapat menjadi sangat
tahan, misalnya zat warna alami yang
berasal dari kulit akar pace (Moridin).
2) Zat warna direk, zat warna ini melekat
di serat kain berdasarkan ikatan
hidrogen
sehingga
ketahanannya
rendah, misalnya zat warna alami yang
berasal dari kunyit (Curcumin).
3) Zat warna asam/basa, zat warna jenis
ini mempunyai gugus kombinasi asam
dan basa, misalnya flavanoid pigmens.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
4) Zat warna bejana, zat warna ini
mewarnai serat kain melalui proses
reduksi-oksidasi
(redoks)
dikenal
sebagai pewarna yang paling tua di
dunia dengan ketahanan yang paling
unggul dibandingkan ketiga jenis zat
warna alami lainnya, misalnya zat
warna alami yang berasal dari daun
torn (Indigo).
Kandungan zat warna alami pada
tanaman mangrove berupa tanin yang
termasuk ke dalam flavanoid pigmens.6
Penelitian mengenai pengambilan tanin
dari tanaman dengan proses ekstraksi
sudah banyak dilakukan peneliti. Hasil
ekstraksi tanin dari kulit pohon mangrove
dengan pelarut etanol 90% diperoleh
yield 22,01%.7 Ekstraksi tanin juga pernah
dilakukan pada tanaman putri malu
(Mimosa pudica) dengan berbagai macam
jenis pelarut yang menghasilkan yield
maksimal pada pelarut jenis etanol.8
6 Rahim, 2007. Rahim, A.A., et.al., (2007).
Mangrove’s Tannins and Their Flavanoid Monomers
as Alternative Steel Corrosion Inhibitors in Acidic
Medium. Corrosion Science, 49, 402-417.
7 Danarto, Y.C., dkk, 2011. Pemanfaatan Tanin
dari Kulit Bakau sebagai Pengganti Gugus Fenol
pada Resin Fenol Formaldehid. Prosiding Seminar
Nasional Kejuangan, No. ISSN 1693-4393.
8 Marnoto, C., dkk., 2012. Kwartiningsih, E.,
Paryanto, Wibowo, W.A., Masturi, E., Jati, A.K.,
dan Santoso, D.P., (2013). Ekstraksi Tanin dari
139
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
Kwartiningsih, E., dkk. melakukan
ekstraksi tanin pada buah mangrove jenis
Rhizopora mucronata dengan menggunakan
berbagai jenis pelarut (air, etanol, metanol,
aseton, n-heksana) pada berbagai variasi
suhu dan perbandingan massa buah
terhadap volume pelarut. Dari hasil
penelitian yang dilakukan, buah mangrove
jenis Rhizopora mucronata mengandung zat
warna alami berupa tanin sebesar 4,326
mg tanin per gram buah mangrove. Jenis
pelarut yang memberikan hasil optimal
adalah air dengan perbandingan antara
bahan baku dengan pelarut yang baik
adalah 1 kg : 10 liter air. Proses ekstraksi
zat warna dilakukan selama 60 menit pada
suhu 100 oC.9
Badak LNG merupakan salah satu
perusahaan penghasil gas alam cair
terbesar di dunia dengan kapasitas
produksi terpasang mencapai 22,5 juta ton
per tahun. Salah satu program sosial Badak
LNG adalah pemberdayaan masyarakat
khususnya masyarakat Bontang melalui
program Corporate Social Responsibility
(CSR). Program CSR Badak LNG sudah
dimulai sejak lama dengan jumlah dana
yang dikeluarkan untuk program CSR
cukup besar dan bertambah tiap tahunnya
seiring dengan bervariasinya jenis kegiatan
pemberdayaan masyarakat.
Pada tahun 2013 Badak LNG
bekerjasama dengan Jurusan Teknik
Kimia
Universitas
Sebelas
Maret
(UNS) Surakarta melakukan kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
melalui
pengembangan pewarna alami dari buah
Buah Mangrove (Rhizophora mucronata). Prosiding
Simposium RAPI XII, Fakultas Teknik UMS, No.
ISSN 1412-9612
9 Kwartiningsih, E., Paryanto, Wibowo, W.A.,
Masturi, E., Jati, A.K., dan Santoso, D.P., (2013).
Ekstraksi Tanin dari Buah Mangrove (Rhizophora
mucronata). Prosiding Simposium RAPI XII,
Fakultas Teknik UMS, No. ISSN 1412-9612
140
mangrove Rhizophora mucronata untuk
batik khas Bontang Kalimantan Timur.
Melalui kegiatan ini diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah ekonomis
buah mangrove jenis Rhizophora mucronata
dan
meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat Bontang khususnya unit
usaha binaan Badak LNG. Disamping
itu, dampak positif kegiatan adalah turut
menjaga kelestarian hutan mangrove
sebagai tanaman penyimpan karbon,
penahan abrasi pantai dan habitat hidup
berbagai keanekaragaman hayati flora dan
fauna.
Tujuan
Tujuan kegiatan program CSR ini
meliputi: Peningkatan pemahaman potensi
wilayah dan perencanaan penanaman
mangrove sebagai penghasil bahan
baku pewarna alami dan produsen
pewarna
alami
(khususnya
buah
mangrove spesies Rhizophora mucronata);
Peningkatan keterampilan pembuatan
pewarna alami mangrove dan pembuatan
batik berpewarna alami bermotif khas
Bontang melalui serangkaian kegiatan
pelatihan;
Perancangan,
pembuatan
dan pengoperasian peralatan produksi
pewarna alami mangrove skala pilot
plant bagi unit usaha kecil-menengah;
Pelaksanaan lomba desain motif batik khas
Bontang; Penyusunan Modul Pelatihan dan
Rencana Bisnis produksi pewarna alami;
Pelaksanaan sosialisasi hasil kegiatan.
Sasaran dan Pelaksana
Sasaran obyek program CSR ini
terutama mitra binaan Badak LNG di
Bontang Kalimantan Timur yang meliputi
petani mangrove dan perajin batik.
Pelaksana utama kegiatan pemberdayaan
masyarakat ini adalah Tim Pusat Studi
Zat Warna Alami Jurusan Teknik
Kimia Universitas Sebelas Maret (UNS)
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
Surakarta dan Corporate Communication
Department Badak LNG. Dalam kegiatan
ini juga melibatkan Pemerintah Kota
Bontang yang diwakili oleh Dinas
Perindustrian Perdagangan dan Koperasi
(Disperindagkop) Kota Bontang dan Dinas
Perikanan Kelautan dan Pertanian (DPKP)
Kota Bontang.
Ruang Lingkup Kegiatan
Untuk mencapai tujuan kegiatan yang
diinginkan, lingkup kegiatan diuraikan
sebagai berikut: (1) Inventarisasi potensi
bahan baku pewarna alami (mangrove)
di Bontang; (2) Identifikasi sasaran
kegiatan dan lokasi pelaksanaan kegiatan;
(3) Identifikasi industri
perbengkelan
pendukung; (4) Pelatihan pembuatan
pewarna alami; (5) Pelatihan membatik;
(6) Perancangan, pabrikasi, instalasi alat
produksi zat warna alami mangrove skala
Pilot Plant dan Pelatihan; (7) Lomba desain
motif batik khas Bontang tingkat nasional;
(8) Penyusunan rencana bisnis sederhana;
dan (9) Diseminasi hasil kegiatan dalam
bentuk lokakarya.
Hasil Program CSR
1. Inventarisasi Potensi Bahan Baku
Pewarna Alami Mangrove
Berdasarkan survei lapangan dan
informasi dari pihak-pihak terkait, Kota
Bontang memiliki beragam jenis atau
spesies tanaman mangrove diantaranya
adalah spesies Sonneratia ovata, Bruguiera
gymnorrhiza,
Lumnitzera
racemosa,
Lumnitzera littorea, Acanthus ilicifolius,
Avicenniaceae, Nypa fruticans, Xylocarpus
granatum dan Rhizophora mucronata.
Berdasarkan informasi dari Kelompok
Tani Lestari Indah di Tanjung Laut,
Bontang Selatan, spesies Rhizophora
mucronata merupakan spesies magrove
yang paling banyak tumbuh di wilayah
Bontang (kira-kira 70% dari luas tanam
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
mangrove). Spesies ini lebih mudah
untuk dikembangbiakkan dan lebih cepat
tumbuh dibandingkan dengan spesies
yang lain. Spesies Rhizophora mucronata
dapat berbuah sepanjang tahun dengan
produktivitas buah yang cukup besar
(belum ada hasil studi yang pasti mengenai
produkstivitas buah dari spesies ini).
Berbeda dengan spesies Sonneratia
ovata dan Bruguiera gymnorrhiza yang
telah dimanfaatkan untuk menghasilkan
produk olahan minuman dan makanan,
spesies Rhizophora mucronata belum
termanfaatkan secara optimal kecuali
untuk pembibitan sebagai penahan
abrasi pantai karena bersifat nonedible.
Program pemberdayaan masyarakat telah
dilaksanakan oleh Badak LNG melalui
pendampingan terhadap Kelompok Tani
Lestari Indah serta pendirian Mangrove
Information Center. Kelompok Tani Lestari
Indah sebagai binaan Badak LNG selama
ini berkecimpung dalam pembibitan
dan pemeliharaan tanaman mangrove.
Berdasarkan informasi kelompok tersebut,
tidak semua buah spesies Rhizophora
mucronata digunakan sebagai bibit dan
masih banyak buah spesies ini yang belum
termanfaatkan.
Berdasarkan hasil penelitian, spesies
Rhizophora mucronata ternyata memiliki
potensi sebagai penghasil zat warna alami
karena kandungan tanin yang cukup
tinggi yaitu 4,326 mg tanin per gram
buah mangrove. Luas tanam mangrove
di Bontang sebesar 2.935 ha. Dari luasan
tersebut, diduga terdapat 3 juta pohon
jenis ini bila dianggap jarak tanam 2 m
x 2 m. Dengan anggapan kasar bahwa
setiap tahun satu batang pohon spesies
Rhizophora mucronata menghasilkan 50
kg buah dan separoh dari jumlah buah
tersebut dipergunakan untuk pembibitan
maka masih tersedia kira-kira sebanyak
75 ribu ton buah sebagai bahan baku
141
Imam Sulistyo W, dkk. Pemberdayaan Masyarakat melalui ...
pewarna alami. Apabila perolehan proses
ini sebesar 5% maka diperkirakan akan
dapat diperoleh pewarna alami sebanyak
3.750 ton per tahun.10
2. Identifikasi Sasaran Kegiatan dan
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan
Dalam rangka meningkatkan sumber
daya masyarakat melalui peningkatan
nilai tambah buah mangrove spesies
Rhizophora mucronata sebagai penghasil
pewarna alami dan aplikasinya sebagai
pewarna batik khas Bontang, sebagai
langkah awal sasaran kegiatan adalah
mitra binaan Badak LNG yang telah
memiliki pengalaman di bidang mangrove
dan kerajinan batik.
Pada pelaksanaan kegiatan ini
Kelompok Tani Lestari Indah yang
beralamat di Kelurahan Tanjung Laut
Indah, Kecamatan Bontang Selatan, Kota
Bontang merupakan salah satu kelompok
sasaran kegiatan. Di bawah binaan
Badak LNG, Kelompok Tani Lestari
Indah (diketuai M. Ali) melakukan usaha
pembibitan, penanaman dan perawatan
tanaman mangrove di pesisir pantai
wilayah Bontang, serta memproduksi
makanan dan minuman olahan dari
beberapa jenis spesies mangrove. Alasan
pemilihan kelompok tani ini sebagai
sasaran kegiatan dan tempat pelaksanaan
kegiatan antara lain karena memiliki akses
yang luas terhadap pengadaan bahan baku
buah mangrove, memiliki pengalaman
pada produksi makanan dan minuman
olahan dari buah mangrove, memiliki
kemampuan manajemen yang cukup
baik dan sangat kooperatif. Ke depan
diharapkan kelompok tani ini mampu
memproduksi dan memasarkan secara
mandiri produk pewarna alami dan dapat
menjadi unit usaha percontohan.
10 Ibid.
142
Pemberdayaan masyarakat juga lewat
aplikasi pewarna alami yang dihasilkan
sebagai pewarna batik khas Bontang. Oleh
karena itu, kelompok sasaran kegiatan
dipilih kelompok Sanggar Batik Etam
(pemilik Ibu Sri Wahyuni) yang beralamat
di Jl. Flores, Gg. Bejawa, Telihan, Kota
Bontang sebagai salah satu binaan Badak
LNG. Selama ini Sanggar Batik Etam sudah
melakukan produksi batik khas Bontang
berpewarna sintetis walaupun masih
dalam skala kecil. Sanggar Batik Etam ke
depan diharap mampu mengaplikasikan
pewarna
alami
mangrove
sebagai
pewarna batik khas Bontang dan mampu
berproduksi dalam skala lebih besar.
3. Identifikasi industri perbengkelan
pendukung
Identifikasi industri perbengkelan
dimaksudkan
untuk
mendapatkan
informasi kemampuan bengkel setempat
sebagai tempat pabrikasi peralatan mesin
skala industri kecil-menengah untuk
produksi pewarna alami mangrove.
Berdasarkan hasil survei lapangan di
Bontang tidak didapatkan industri
perbengkelan yang dirasa mampu
melakukan pabrikasi alat. Oleh karena
itu
diperlukan
alternatif
industri
perbengkelan di daerah lain yang
diperkirakan mampu melakukan pabrikasi
alat. Sebagai salah satu alternatif adalah
industri perbengkelan di pulau Jawa.
4. Pelatihan Pembuatan Pewarna Alami
Mangrove
Tujuan
pelaksanaan
Pelatihan
Pem­buatan Pewarna Alami dari Buah
Mangrove (Rizhophora mucronata) ini antara
lain memberikan pemahaman kepada
peserta mengenai potensi wilayah serta
memberikan pandangan akan pentingnya
program penanaman khususnya tanaman
mangrove Rizhophora mucronata sebagai
sumber pewarna alami yang dapat
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
dikembangkan dan memberikan bekal
keterampilan kepada peserta mengenai
proses pembuatan pewarna alami dari
buah mangrove Rizhophora mucronata secara
sederhana dengan peralatan rumah tangga.
Masyarakat sasaran pelatihan adalah
kelompok tani mangrove yang berada
di bawah binaan Badak LNG khususnya
kelompok tani mangrove Lestari Indah
yang berada di wilayah Kel. Tanjung Laut
Indah, Kec. Bontang Selatan, Bontang.
Kegiatan yang dilakukan pada
pelatihan
disajikan
dalam
bentuk
pemaparan materi, diskusi dan tanya
jawab, praktik pembuatan pewarna
alami dari buah mangrove dan praktik
pewarnaan kain dengan pewarna alami
yang dihasilkan. Kegiatan dilaksanakan
pada tanggal 11 – 12 Juni 2013 di Gedung
Mangrove Information Center Kel. Tanjung
Laut Indah, Kec. Bontang Selatan, Bontang.
Peserta pelatihan berjumlah 30 orang
yang berasal dari beberapa kelompok tani
dan instansi Pemerintahan Kota Bontang.
Peserta dibagi dalam lima kelompok yang
masing-masing diberi satu set peralatan
dan bahan baku. Peralatan yang digunakan
adalah peralatan rumah tangga sederhana
yang mudah ditemui. Peserta dilatih mulai
dari penanganan awal buah mangrove
(pengecilan ukuran), pembuatan konsentrat
pewarna alami mangrove, penanganan
awal kain dan pewarnaan kain.
Dari hasil pelaksanaan kegiatan
pelatihan ini, peserta mengetahui dan
memahami proses pembuatan pewarna
alami mangrove dan mampu membuat
pewarna alami mangrove secara mandiri
dengan peralatan rumah tangga sederhana.
Selain itu, peserta pelatihan juga mampu
memahami dan mengaplikasikan pe­warna­
an kain dengan pewarna alami mangrove.
Gambar 3. Pelatihan Pembuatan Pewarna Alami Mangrove
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) penanganan awal buah mangrove, (b) hasil konsentrat pewarna alami mangrove,
(c) pewarnaan kain, (d) kain hasil pewarnaan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
143
5. Pelatihan Membatik
Kegiatan ini diwujudkan dalam
bentuk Pelatihan Aplikasi Pewarna Alami
dari Buah Mangrove (Rizhophora mucronata)
untuk Pewarna Batik Khas Bontang.
Tujuan kegiatan ini antara lain memberikan
pemahaman kepada peserta mengenai
potensi batik khas Bontang berperwarna
alami mangrove sebagai salah satu kearifan
lokal dan komoditas ekonomi, dan mem­
berikan bekal keterampilan kepada peserta
mengenai proses pembuatan batik dengan
pewarna alami mangrove dimulai dari
pembuatan motif batik sampai dengan
finishing kain. Masyarakat sasaran pelatihan
adalah kelompok perajin batik (Sanggar
Batik Etam) dan beberapa kelompok tani
mangrove di bawah binaan Badak LNG.
Rangkaian kegiatan meliputi pe­
maparan materi, diskusi dan tanya
jawab, praktik pembuatan pewarna alami
mangrove, praktik pembuatan pola/motif
batik tulis dan cap, praktik penanganan
awal kain (pencucian dan mordanting),
praktik pewarnaan kain (pencelupan
ke dalam pewarna alami), dan praktik
fiksasi/penguncian warna pada kain.
Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 17 –
19 September 2013 di Sanggar Batik Etam Jl.
Flores, Gg. Bejawa, Telihan, Kota Bontang.
Jumlah peserta sebanyak 22 orang dari
perajin batik dan kelompok tani mangrove
Kota Bontang binaan Badak LNG.
Peserta kegiatan dibagi dalam
beberapa kelompok dan difasilitasi dengan
peralatan dan bahan membatik. Peserta
dilatih membuat pola batik pada kain
dengan teknik tulis dan cap, kemudian
dilatih cara penanganan awal kain yang
meliputi pencucian dan mordanting.
Peserta juga dilatih cara pewarnaan kain
dengan metode pencelupan dan proses
penguncian/fiksasi warna pada kain
dengan beberapa jenis larutan pengunci.
Gambar 4. Pelaksanaan Program CSR Pengembangan Batik Bontang Berbahan Warna
Alami dari Magrove
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) pembuatan motif teknik tulis, (b) pembuatan motif teknik cap, (c) pencelupan kain
ke dalam pewarna alami mangrove, (d) hasil pewarnaan kain setelah dilakukan fikasasi warna
144
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sebagai hasil kegiatan ini, peserta
pelatihan telah mampu membuat motif
batik pada kain dengan metode tulis
dan cap secara mandiri dan memahami
proses membatik secara keseluruhan, serta
mampu membuat batik berpewarna alami
mangrove. Hasil kain batik berpewarna
alami mangrove dari masing-masing
kelompok cukup bervariatif tergantung
pada jumlah berapa kali pencelupan
dan jenis larutan pengunci warna yang
digunakan.
6. Perancangan, Pabrikasi, Instalasi
Alat Produksi Skala Pilot Plant dan
Pelatihan
Kecepatan produksi, peningkatan
kapasitas
produksi
dan
kualitas/
keseragaman produk diperlukan dalam
rangka produksi pewarna alami bagi unit
usaka kecil menengah. Hal-hal tersebut di
atas dapat dicapai salah satunya dengan
bantuan peralatan mesin. Pada tahap ini
Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas
Maret (UNS) Surakarta bertanggung jawab
terhadap perancangan alat, pabrikasi
alat, instalasi peralatan dan pelaksanaan
kegiatan pelatihan pengoperasian alat.
Peralatan produksi pewarna alami
magrove terdiri dari alat potong (cutter)
buah mangrove dan alat ekstraksi yang
sekaligus berfungsi sebagai evaporator
untuk menghasilkan konsentrat pewarna
alami mangrove. Sebagian besar material
alat menggunakan jenis stainless steel.
Pabrikasi peralatan dilaksanakan di
salah satu bengkel mesin di pulau Jawa.
Peralatan potong menggunakan motor
listrik 1 hp untuk menghasilkan produk
potongan buah mangrove ukuran di bawah
1 cm dengan kecepatan produksi sekitar 20
– 30 kg/jam. Tangki ekstraksi berkapasitas
40 L dilengkapi dengan pengaduk yang
berputar dengan kecepatan rendah
menggunakan motor listrik 0,5 hp dan
peralatan pemanas berbahan bakar LPG.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Peralatan ekstraksi sekaligus digunakan
sebagai evaporator untuk menghasilkan
konsentrat pewarna alami mangrove
dengan kapasitas produksi mencapai 20
L/hari.
Saat ini peralatan pembuat pewarna
alami dari buah mangrove skala pilot
plant tersebut telah berhasil dipabrikasi
dan sudah terpasang di lokasi kelompok
tani Lestari Indah binaan Badak LNG.
Pelatihan diperlukan untuk memberikan
keterampilan kepada pengguna dalam
mengoperasikan alat. Pelatihan dimulai
dari penanganan bahan baku (pengecilan
ukuran) sampai dengan tahap ekstraksi
dan evaporasi (pemekatan) sehingga
diperoleh hasil konsentrat pewarna
alami mangrove. Kegiatan pelatihan
pengoperasian alat dilaksanakan pada
tanggal 16 Januari 2014 di Mangrove
Information Center di lokasi kelompok tani
Lestari Indah Kel. Tanjung Laut Indah,
Kec. Bontang Selatan, Kota Bontang dan
diikuti 7 orang peserta. Peserta melakukan
praktik operasional alat secara langsung
termasuk cara perawatan peralatan.
7. Lomba Desain Motif Batik Khas
Bontang Tingkat Nasional
Ditinjau
dari
sisi
demografi,
masyarakat Bontang memiliki beragam
jenis pekerjaan, termasuk diantaranya
adalah petani mangrove dan industri tenun
dan batik skala rumah tangga walaupun
belum berkembang dengan baik. Kota
Bontang juga belum memiliki desain batik
khas Bontang walaupun memiliki icon
kota yang sangat unik yaitu mangrove dan
burung kontul perak. Pengembangan suatu
komoditas ekonomi misalnya batik khas
Bontang dengan motif khas Bontang dan
berpewarna alami mangrove akan menjadi
daya tarik tersendiri yang mencirikan Kota
Bontang yang berbasis pada kearifan lokal.
Tujuan pelaksanaan Lomba Desain
145
Motif Batik Khas Bontang tingkat nasional
yang diwadahi dalam sebuah kegiatan
berjudul Bontang Batik Desain Competition
(BBDC) antara lain: menghasilkan desain
motif batik khas Bontang yang dapat
dijadikan salah satu identitas Kota
Bontang, memicu kreatifitas pelaku
kreatif di Kalimantan Timur khususnya
dan di Indonesia pada umumnya dan
mengembangkan usaha tata busana di
Kota Bontang.
Kegiatan lomba dimulai pada
bulan Oktober 2013 melalui publikasi di
media elektronik maupun koran, seleksi
karya dan penjurian sampai dengan
pengumuman pemenang pada tanggal
27 Desember 2013. Dari 128 karya yang
masuk diseleksi menjadi 40 karya yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Empat puluh karya tersebut kemudian
dinilai oleh tujuh orang juri dari kalangan
budayawan, praktisi dan akademisi
untuk ditentukan empat karya terbaik
yang kemudian dinilai secara langsung
oleh juri dari perwakilan masyarakat
Bontang. Pemilihan dan pengumuman
motif juara dilaksanakan pada acara Gala
Dinner, dimana pada acara tersebut juga
ditandantangai nota kesepahaman antara
Badak LNG dengan WaliKota Bontang
dalam kerangka pengembangan motif
batik khas Bontang. Motif batik pemenang
lomba selanjutnya ditetapkan sebagai motif
batik khas Bontang yang direncanakan
akan dipatenkan oleh Pemerintah Kota
Bontang dan Badak LNG.
8. Penyusunan Rencana Bisnis Seder­
hana
Peluang untuk memproduksi zat warna
alami mangrove dalam skala Industri Kecil
Menengah (IKM) di Bontang cukup besar,
hal ini didukung oleh berlimpahnya bahan
baku mangrove dan peluang penggunaan
pewarna alami tekstil yang terbuka lebar.
Lingkup penulisan rencana bisnis pendirian
146
IKM zat warna alami dari buah bakau jenis
Rhizophora mucronata antara lain meliputi:
(a) analisa dan penentuan langkah-langkah
strategis terhadap peluang yang ada dalam
perkembangan zat warna alami dari buah
bakau jenis Rhizophora mucronata, (b) analisa
kemungkinan ancaman dan hambatan yang
akan terjadi dalam pendirian IKM, sehingga
dapat memperkecil resiko bisnis, dan (c)
analisa kelayakan ekonomi sebagai pilihan
bisnis baru yang menarik dan memberikan
alternatif dalam pendirian bisnis zat warna
alami dari buah bakau jenis Rhizophora
mucronata. Metode pengumpulan data
dalam penulisan rencana bisnis ini
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
studi pustaka dengan mengumpulkan
literatur, artikel dan data sekunder dari
beberapa sumber dan observasi langsung
ke lokasi sumber bahan baku, produsen zat
warna alami konvensional yang telah ada
dan pangsa pasar.
Ditinjau dari aspek teknik operasional
yang meliputi penyediaan bahan baku,
peralatan proses, kemampuan proses
produksi, penyediaan utilitas (bahan
bakar, listrik dan air) maka kemungkinan
pendirian IKM zat warna alami mangrove
di Bontang relatif tidak ada masalah. Dalam
pembuatan zat warna alami ini terdapat
limbah yang secara kontinyu dihasilkan
oleh proses yaitu berupa padatan buah
mangrove sisa hasil ekstraksi. Padatan
sisa ini dapat diolah lebih lanjut menjadi
arang/arang aktif maupun pupuk kompos
yang bernilai ekonomis.
Pemasaran
produk
ini
akan
diprioritaskan untuk usaha – usaha batik
di Bontang dan sekitarnya, baru kemudian
melayani permintaan dari luar pulau
Kalimantan. Permintaan akan zat warna
alami kemungkinan paling banyak akan
datang dari daerah pulau Jawa, karena
di pulau Jawa banyak terdapat industri
batik, demikian juga tidak menutup
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
kemungkinan produk ini dapat diekspor.
Pendirian IKM ini akan bersaing dengan
IKM–IKM lainnya dari berbagai daerah di
Indonesia, namun diharapkan pendirian
IKM zat warna alami ini dapat membantu
mewujudkan
perkembangan
dalam
penggunaan zat warna alami pada batik.
Fixed Manufacturing Cost
Rp. 13.521.500,-
=
Total Manufacturing Cost
Rp. 289.337.240,-
=
General Expense
Rp. 40.629.000,-
=
Analisis
kelayakan
ekonomi
sederhana dimaksudkan untuk melihat
kelayakan ekonomi pendirian IKM zat
warna alami ditinjau dari beberapa syarat
kelayakan seperti persentase Return on
Invesment (ROI), Pay Out Time (POT),
Break Even Point (BEP) dan Shut Down
Point (SDP). Analisa kelayakan ekonomi
disajikan sebagai berikut:
Total Production Cost
Rp. 329.966.240,-
Basis perhitungan ekonomi:
=
Keuntungan (profit)
Total Penjualan/Sales Rp. 450.000.000,-
=
Keuntungan sebelum pajak =
Rp. 120.033.760,-
Pajak Pendapatan (10%)
Rp. 12.003.376,-
=
Jumlah hari kerja
=
25 hari/bulan selama 12 bulan/tahun
Kapasitas produks
=
20 liter/hari (konsentrat zat warna alami)
Kebutuhan buah mangrove =
1 kg/L produk = 3.000 kg/tahun
Harga buah mangrove
=
Rp. 2.000,-/kg
Harga jual produk
=
Rp. 75.000,-/liter (konsentrat zat warna
alami)
Harga pembelian alat proses =
Rp. 42.000.000,-
Keuntungan sesudah pajak =
Rp. 108.030.384,-
Capital Investment
Fixed Capital Investment
Rp. 107.160.000,Working Capital Investment
Rp. 86.000.000,Total Capital Investment
Rp. 193.160.000,-
Hasil-hasil kegiatan pengembangan
buah mangrove sebagai pewarna batik
khas Bontang perlu disosialisasikan/
diseminasikan
kepada
masyarakat,
khususnya masyarakat Bontang yang
dapat berperan sebagai produsen,
konsumen ataupun pengambil kebijakan
(pemerintah daerah). Diseminasi hasil
kegiatan diwujudkan dalam bentuk
lokakarya sehari dengan mengundang
berbagai pihak pemegang kepentingan.
Kesepahaman
antara
akademisi,
businessman
(pengusaha),
government
(pemerintah) dan konsumen dalam
=
=
=
Production Cost
Direct Manufacturing Cost
Rp. 178.316.040,-
=
Indirect Manufacturing Cost
Rp. 97.500.000,-
=
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Analisis Kelayakan
Persen ROI sebelum pajak = 62%
Persen ROI sesudah pajak = 56%
POT sebelum pajak = 1,5 tahun
POT sesudah pajak = 1,6 tahun
BEP
= 42%
SDP
= 35%
8. Diseminasi Hasil Kegiatan dalam
Bentuk Lokakarya
147
pengembangan
hasil-hasil
kegiatan
diharapkan dapat mewujudkan Batik
Mangrove Bontang sebagai salah satu
kearifan lokal yang memiliki potensi
ekonomis.
Lokakarya
dilaksanakan
pada
tanggal 18 Maret 2014 di Rega Cafe Badak
LNG yang dihadiri oleh perwakilan
pemerintah daerah, perwakilan sekolahsekolah, kelompok binaan Badak LNG dan
perwakilan masyarakat umum. Kegiatan
tersebut mampu mendorong minat
pemerintah daerah, perwakilan sekolah
dan masyarakat untuk mengembangkan
Batik
Mangrove
Bontang.
Sebagai
langkah awal pengembangan, Badak
LNG berencana membuat seragam batik
karyawan dengan motif juara hasil lomba
dan berpewarna alami mangrove. Salah
satu perwakilan sekolah-sekolah di
Bontang juga menyatakan keberminatan
penggunaan seragam Batik Mangrove
Bontang bagi para siswa.
Kesimpulan dan Saran
Kegiatan ini telah menunjukkan
manfaat buah mangrove jenis Rhizophora
mucronata yang sebelumnya belum
dimanfaatkan kecuali sebagai bibit dan
meningkatkan kemampuan sumber daya
masyarakat terutama kelompok tani
mangrove dan perajin batik binaan Badak
LNG di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Kegiatan ini dapat menimbulkan dampak
positif terhadap kelestarian lingkungan
dalam bentuk kesadaran masyarakat
mengenai potensi buah mangrove sehingga
penebangan liar pohon mangrove dapat
dihindari, program penanaman mangrove
dapat dijalankan dengan lebih terencana
dan berkesinambungan, keanekaragaman
hayati di dalam ekosistem mangrove
dapat ditingkatkan, serta pemberdayan
masyarakat berbasis lingkungan dapat
berjalan dengan baik dan memberikan
148
manfaat yang lebih luas bagi masyarakat
serta pihak-pihak yang berkepentingan
lainnya.
Keberlanjutan kegiatan ini harus
terus dijaga dan Pemerintah Kota Bontang
bertanggungjawab bersama-sama Badak
LNG. Selanjutnya, sebuah unit usaha
kecil-menengah produsen pewarna alami
mangrove dapat terbentuk dan perajin
batik di Kota Bontang dapat memanfaatkan
pewarna alami hasil produksi tersebut.
Hasil lomba motif desain batik khas Bontang
yang mencerminkan icon budaya Kota
Bontang dapat sebaiknya ditindaklanjuti
dengan pengajuan paten Batik Mangrove
Bontang dan diaplikasikan untuk motif
seragam kerja Badak LNG, Pemerintah
Kota Bontang atau juga seragam sekolah
para siswa di Kota Bontang.
Daftar Pustaka
Anonim. (2012). Laporan Pemantauan
Keanekaragaman Hayati di PT Badak
NGL Bontang Tahun 2012. Proyek
Kerjasama Penelitian antara PT Badak
NGL Bontang dengan Fakultas MIPA
Universitas Mulawarman, Samarinda.
Danarto, Y.C., dkk., (2011). Pemanfaatan
Tanin dari Kulit Bakau sebagai
Pengganti Gugus Fenol pada Resin
Fenol Formaldehid. Prosiding Seminar
Nasional Kejuangan, No. ISSN 16934393
Kwartiningsih, E., Paryanto, Wibowo,
W.A., Masturi, E., Jati, A.K., dan
Santoso, D.P., (2013). Ekstraksi Tanin
dari Buah Mangrove (Rhizophora
mucronata). Prosiding Simposium
RAPI XII, Fakultas Teknik UMS, No.
ISSN 1412-9612
Marnoto, C., (2012). Ekstraksi Tanin
sebagai Bahan Pewarna Alami dari
Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica)
Menggunakan Pelarut Organik. Jurnal
Reaktor Vol.14, N0.1, No. Akreditasi:
66b/DIKTI/Kep/2011
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Rahim, A.A., et.al., (2007). Mangrove’s
Tannins and Their Flavanoid Monomers
as Alternative Steel Corrosion Inhibitors
in Acidic Medium. Corrosion Science,
49, 402-417.
Spalding, M.F., (1997). World Mangrove
Atlas. West Yorshire, The International
Society for Mangroves Ecosystems,
the World Conservation Monitoring
Centre and the International Timber
Organization.
http://www.depkes.go.id
h t t p : / / w i s n u . b l o g . u n s .
ac.id/2009/11/26/corporate-socialresponsibility-sebuah-kepedulianperusahaan-terhadap-lingkungan-disekitarnya/, diakses 15 Juli 2014.
http://jurnal-sdm.blogspot.
com/2009/07/corporate-socialresponsibility-csr.html, diakses 15 Juli
2014.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
149
150
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 151-162
Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit Swasta
(Studi Kasus tentang Pengembangan Strategi
Komunikasi Pemasaran dengan Menjalin Community
Relations Berbasis Budaya Lokal untuk Meningkatkan
Publisitas pada Rumah Sakit Swasta di Surakarta)
Tanti Hermawati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Increasing number of hospitals are built either by private parties or the government,
demanding a hospital to be ready to compete. Increasing competition encourages
hospitals to develop services, marketing patterns and completeness of facilities and
adequate infrastructure. Faced with competition , every company must understand who its
competitors, how to position its services, what strategies will be played .
The purpose of this study is to offer marketing communications strategy development
model . The core of this strategy is the development model based on the characteristics
of the local community hospital , so that the message delivered as same as what the
community needed . In addition , the message in its marketing communications, consist
of advertising, personal selling, sales promotion, public relations and direct marketing
packaged integrated .
The method of this research used qualitative study with in-depth observation to the
community and hospitals in the study site. The data obtained through interviews , focus
groups discussion and documentation study . The result of this research is identify the
types of marketing communications and marketing communications content in each of the
three private hospitals in Surakarta.
Keywords: marketing communication patterns, integrated message
Pendahuluan
Rumah sakit merupakan salah
satu badan yang bergerak dalam bidang
kesehatan. Rumah sakit sangat berperan
penting bagi terciptanya mutu hidup
dan lingkungan hidup bagi masyarakat
sehingga tercipta derajat kesehatan yang
tinggi baik bagi kesehatan badaniyah,
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
rohaniah maupun sosial. Rumah sakit
mempunyai
tugas
melaksanakan
upaya kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan untuk hidup sehat setiap
masyarakat agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan masyarakat yang
optimal.
151
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
Selain sebagai suatu organisasi sosial
terintegrasi, rumah sakit juga berfungsi
menyediakan pelayanan kesehatan yang
lengkap bagi masyarakat. Hal ini harus
dilakukan secara menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan. Saat ini pelayanan
kesehatan sudah banyak ditemukan
di berbagai wilayah bahkan sampai ke
pelosok pedesaan, masyarakat sudah
dapat kemudahan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Selain rumah sakit
negeri yang dikelola baik oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah, banyak
pula bermunculan rumah sakit swasta.
Banyaknya rumah sakit swasta ini,
juga harus diikuti dengan peningkatan
pelayanan kepada masyarakat baik
standar mutu rumah sakit, maupun
keberlangsungan eksistensi rumah sakit
swasta tersebut.
Menghadapi kondisi yang penuh
persaingan antar rumah sakit swasta, maka
pelaku bisnis di industri rumah sakit yang
bergerak di bidang jasa pelayanan medis
tersebut, terus berupaya agar layanan
jasa yang ditawarkan tetap akan dapat
diterima oleh masyarakat. Dalam bidang
pemasaran bermunculan filosofi, konsep
dan teknik baru diantaranya relationship
marketing, customer share, target marketing,
integrated marketing communications, dan
sebagainya. Untuk itu, rumah sakit swasta
perlu juga melakukan terobosan baru
dalam memasarkan layanannya kepada
masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk
pembangunan manusia dan daya saing
bangsa, khususnya profesionalisme rumah
sakit dalam penentuan kebijakan untuk
mencari bentuk komunikasi pemasaran
yang
sesuai
dengan
karakteristik
masyarakat lokal.
Ada berbagai macam usaha yang
dilakukan pihak manajemen rumah sakit
agar bisa menjaga eksistensinya, misalnya:
melakukan kerjasama dengan instansi
152
lain baik yang berkaitan dengan peralatan
maupun sumber daya manusia. Dalam
mendirikan rumah sakit, hendaknya
diperhatikan terlebih dahulu mengenai
kondisi lingkungan baik lingkungan
internal maupun eksternal. Dalam
menghadapai persaingan tentunya sebuah
organisasi membutuhkan strategi. Konsep
strategi harus jelas sehingga keputusan
yang diambil akan mampu membawa
organisasi untuk bertahan bahkan
memenangkan pertarungan yang akan
terus berlangsung dalam bisnis.
Dalam konteks bisnis, strategi
menggambarkan
arah
bisnis
yang
mengikuti lingkungan yang dipilih
dan
merupakan
pedoman
untuk
mengalokasikan sumber daya dan usaha
suatu organisasi. Saat ini rumah sakit tidak
hanya fokus pada pelayanan kesehatan
saja, tetapi keberlangsungan rumah sakit
tersebut juga perlu diperhatikan. Hal ini
dikarenakan persaingan antar rumah sakit
sudah tidak bisa dielakkan. Di Surakarta
saja sebagaimana yang dilansir dalam
http://googleupdate.blogspot.com/2013
ada 12 rumah sakit baik negeri maupun
swasta. Di kabupaten Klaten yang masih
termasuk eks karesidenan Surakarta,
sebagaimana yang dilansr dalam http://
klatenkab.go.id/ terdapat 7 rumah sakit
baik negeri maupun swasta. Sedangkan
daftar rumah sakit yang ada di kabupaten
Karanganyar, yang juga masuk eks
karesidenan Surakarta, ada sekitar 4
rumah sakit (http://asgar.or.id).
Dalam penelitian ini, penulis akan
lebih memfokuskan pada tiga rumah sakit
swasta yaitu RS PKU Muhammadiyah
Surakarta RS PKU Muhammadiyah
Karanganyar
dan
RSU
PKU
Muhammadiyah Delanggu, Klaten. Ketiga
rumah sakit tersebut berlatar belakang
organisasi Muhammadiyah dan Agama
Islam melekat pada nama rumah sakit.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
Namun bagaimana ketiga rumah sakit
tersebut untuk dapat melihat masyarakat
sekitar serta pasien yang berobat, siapa
saja yang menjadi target sasarannya. Serta
melihat pada komunikasi pemasaran
ketiga rumah sakit swasta tersebut. Karena
pada kenyataannya, pasien yang berobat,
tidak hanya yang beragama islam saja
dan tidak hanya yang bernaung dalam
organisasi Muhammadiyah.
saluran, penerima, interpretasi, gangguan
dan umpan balik.
Ada lima kategori tujuan utama
komunikasi :
1. Sumber atau pengirim menyebar­
luaskan informasi agar dapat diketahui
penerima.
2. Sumber menyebarluaskan informasi
dalam rangka mendidik penerima
Perumusan Masalah
3. Sumber memberikan instruksi agar
dilaksana­kan penerima
“Bagaimana
pengembangan
strategi
komunikasi pemasaran yang dilakukan RS
PKU Muhammadiyah Surakarta, RS PKU
Muhammadiyah Karanganyar dan RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu dalam
menjalin community relations dan budaya
lokal masyarakat di sekitar rumah sakit ?”
4. Sumber mempengaruhi konsumen
dengan informasi yang persuasif untuk
mengubah persepsi, sikap dan perilaku
penerima.
5. Sumber menyebar luaskan informasi
untuk menghibur sambil mem­penga­
ruhi penerima (Liliweri, 2007: 18).
Kajian Pustaka
Fiske dan Hartley (1983: 79) menjelas­
kan beberapa faktor yang menjembatani
pengaruh komunikasi:
1. Komunikasi
Setiap hari orang selalu melakukan
komunikasi. Baik komunikasi lesan
maupun komunikasi tertulis. Baik
komunikasi verbal maupun komunikasi
nonverbal. Komunikasi bisa dibedakan
menjadi
Komunikasi
interpersonal,
komuniasi antar persona, komunikasi
organisasi dan komunikasi massa.
Komunikasi berasal dari bahasa latin
communis yang berarti sama. Komunikasi
dapat dianggap proses penciptaan suatu
kesamaan atau suatu kesatuan pemikiran
antara pengirim dan penerima (Shimp,
2003: 163). Kunci utama dari definisi ini
adalah diperlukan kesamaan pikiran
yang dikembangkan antara pengirim
dan penerima jika terjadi komunikasi.
Kesamaan pemikiran ini membutuhkan
adanya hubungan saling berbagi (sharing)
antara pengirim (seperti pengiklan)
dengan penerima (konsumen). Semua
aktifitas komunikasi melibatkan 8 elemen
berikut: sumber, penerjemah, pesan,
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
1. Semakin besar monopoli sumber
komunikasi yang diterima, maka
semakin besar pula perubahan dan
pengaruh dalam selera.
2. Pengaruh komunikasi akan lebih
besar bila pesan tadi dilandasi dengan
opini, kepercayaan dan disposisi dari
penerima.
3. Komunikasi dapat menghasilkan per­
geser­an yang efektif pada suara-suara
yang asing, suara yang lembut, piranti
peripheral yang tidak ada pada sistem
syaraf penerima.
4. Komunikasi akan lebih efektif bila
sumber itu benar-benar dipercaya akan
memberikan ketrampilan, status yang
tinggi, obyektivitas atau kemampuan,
dan bila sumber tadi secara khusus
mempunyai kekuatan dan dapat
diidentifikasikan.
153
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
2. Strategi
Pada awalnya konsep strategi
(strategy) didefinisikan sebagai berbagai
cara untuk mencapai tujuan (ways to achieve
ends) (Sholihin, 2012: 24). Sejalan dengan
perkembangan
konsep
manajemen,
strategi tidak hanya didefinisikan hanya
semata-mata sebagai cara untuk mencapai
tujuan karena strategi dalam konsep
manajemen strategis mencakup juga pe­
netapan berbagai tujuan itu sendiri (melalui
berbagai keputusan strategis. Yang dibuat
oleh manajemen perusahaan. Hal ini
diharapkan akan menjamin terpeliharanya
keunggulan kompetitif perusahaan.
Menurut Alfred Chandler dan
Andrews, dimana strategi dalam pengertian
ini mencakup juga penetapan berbagai
tujuan serta arah usaha perusahaan dalam
jangka panjang (Sholihin, 2012: 25).
Melihat strategi merupakan salah
satu bagian dari rencana (plan), ternyata
tidak dapat memberikan penjelasan yang
memuaskan terhadap berbagai fenomena
strategis dalam dunia bisnis. Terdapat dua
karakteristik stratrgi yang sangat penting,
yang pertama adalah, strategi irencanakan
terlebih dahulu secara sadar dan sengaja
mendahului berbagai tindakan yang akan
dilakukan berdasarkan strategi yang
dibuat tersebut. Kedua, strategi kemudian
dikembangkan dan diimplementasikan
agar mencapai suatu tujuan.
Strategi sebagai sebuah “plan” me­
rupa­kan suatu rencana yang terpadu,
komprehensif dan terintregasi yang
dirancang untuk memastikan bahwa
tujuan-tujuan pokok perusahaan dapat
dicapai. Sedangkan apabila strategi
dikatakan sebagai manuver merupakan
sesuatu yang spesifik untuk member
isyarat mengancap kepada pesaing per­
usahaan.
pola
154
Strategi juga bisa dianggap sebagai
yang menunjukkan adanya se­
rangkaian tindakan yang dilakukan oleh
manajemen dalam mengejar sebuah
tujuan. Sedangkan strategi sebagai sebuah
posisi ditunjukkan dengan berbagai ke­
putusan yang dipilih perusahaan untuk
mem­posisikan organisasi perusahaan di
dalam lingkungan perusahaan.
Dari uraian di atas, menurut
Mintzberg dalam Sholihin (2012: 25)
mendefinisikan strategi dengan memper­
hatikan berbagai dimensi dari konsep
strategi yang dinamakan “5P’s of Strategy”
yaitu: Strategy as a Plan, Strategy as a Ploy,
Strategy as a Pattern, Strategy as a Position
dan Strategy of Perspective.
Rencana pada tingkat korporat
(corporate-level plan) mencakup di dalamnya
penetapan visi, misi dan tujuan-tujuan
korporasi, strategi yang dikembangkan
dan sruktur korporasi yang dipilih oleh
perusahaan. Misi dan tujuan korporasi
selanjutnya akan menjadi pedoman untuk
menentukan tujuan divisi/unit bisnis
dan tujuan berbagai fungsi organisasi.
Untuk mencapai tujuan korporasi, maka
dibuatlah strategi pada tingkat korporat
(corporate level strategy), strategi ini akan
memberikan arah dalam industri dan
pasar mana perusahaan akan bersaing.
Strategi pada tingkat korporasi akan
merumuskan dengan spesifik berbagai
tindakan yang akan diambil untuk
memperoleh keunggulan kompetitif/
keunggulan bersaing dengan memilih dan
mengelola sejumlah bisnis yang berbeda
(Sholihin, 2012: 10).
3. Komunikasi Pemasaran
Persaingan dalam dunia usaha
merupakan hal yang tak terelakkan dalam
sistem ekonomi pasar, seiring dengan
tumbuh­nya perekonomian. Persaingan
memaksa perusahaan menerapkan konsep
pemasaran yang berbeda dengan per­
usahaan lain untuk terus memajukan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
perusahaan. Boyd (2000) mendefinisikan
pemasaran sebagai suatu proses sosial
yang melibatkan kegiataan-kegiaataan
penting yang memungkinkan individu
dan perusaahaan mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan melalui
pertukaran dengan pihak lain dan untuk
mengembangkan hubungan pertukaran
(Boyd, 2000: 4).
Konsep inti dari pemasaran adalah
pertukaran atau exchange. Alasan yang
mendasari bahwa konsep inti dari
pemasaran adalah pertukaran yaitu bahwa
seluruh aktivitas yang dilakukan oleh
individu dengan individu yang lainnya
merupakan pertukaraan. Tak ada seorang
individu pun yang mendapatkan sesuatu
(barang atau jasa) tanpa memberikan
sesuatu baik langsung maupun tidak
langsung. Alasan terjadinya pertukaran
adalah untuk memuaskan kebutuhan
(Sutisna, 2002: 264).
Shimp (2003: 106) menyebutkan usaha
komunikasi pemasaran diarahkan pada
pencapaian tujuan-tujuan di bawah ini :
1. Membangkitkan keinginan akan suatu
kategori produk
2. Menciptakan kesadaran akan merek
3. Mendorong sikap positif terhadap
produk dan mempengaruhi niat
4. Memfasilitasi pembelian
Ada beberapa pendapat yang di­
kemuka­kan oleh sejumlah pakar mengenai
definisi komunikasi pemasaran terpadu
(IMC). Shimp (2001: 24) me­nyebut­kan
bahwa IMC adalah proses pengembangan
dan implementasi ber­bagai bentuk
program komunikasi persuasif pelanggan
dan calon pelanggan secara berkelanjutan.
Tujuan IMC adalah mempengaruhi atau
memberikan efek langsung kepada perilaku
khalayak sasaran yang dimilikinya. IMC
meng­anggap, seluruh sumber yang dapat
menghubungkan pelanggan atau calon
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
pelanggan dengan produk atau jasa dari
suatu merek atau perusahaan, adalah
jalur yang potensial untuk menyampaikan
pesan di masa datang.
Definisi serupa juga dikemukakan
oleh Kotler, et al (2004: 220) yang me­
rumuskan IMC sebagai konsep yang
melandasi upaya perusahaan untuk
mengintegrasikan dalam rangka me­
nyampai­kan pesan yang jelas, konsisten
dan persuasif mengenai organisasi dan
produknya. Dalam bukunya Service
Management and Marketing, Gronroos
(2000: 221) mendefinisikan IMC sebagai
strategi yang mengintegrasikan media
marketing tradisional, direct marketing, public
relations dan media komunikasi pemasaran
lainnya, serta aspek-aspek komunikasi
dalam penyampaian dan konsumsi barang
dan jasa, layanan pelanggan dan customer
encounters lainnya.
Jadi IMC adalah integrasi untuk
menangani secara proporsional dan tidak
lagi terfokus hanya pada pelanggan semata,
tetapi perusahaan perlu mendengar
masukan dari semua pihak (stakeholder)
termasuk konsumen dan setiap titik
kontak dengan public menyebarkan pesan
komunikasi mulai dari produk, logo
perusahaan, pengalaman menggunakan
produk, iklan, layanan pelanggan, berita di
media massa sampai rumor yang mampu
menyebar secara berantai.
Komunikasi pemasaran selalu melalui
proses dimana perusahaan menyampai­
kan pesan kepada stakeholder dalam
mencapai tujuan perusahaan, untuk
meng­informasikan,
mempengaruhi,
meng­ingatkan atau membangun citra
perusahaan. Sebagaimana yang dikemuka­
kan oleh Chen Chien Wei dalam Journal of
Global Marketing: “Marketing communication
is a process through which a firm conveys a
series of messages to stakeholders in pursuit of
the firm’s goals-to inform, persuade, remind or
155
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
build images to delineate product ar service”
(2011: 40).
Dalam
penerapan
komunikasi
pemasaran yang terpenting adalah pesan
yang disampaikan harus dikemas secara
terpadu dari berbagai jenis komunikasi
pemasaran yang ada. Produk atau
pelayanan baru, seperti halnya pelayanan
yang ada di rumah sakit, apabila akan
dikenalkan kepada masyarakat perlu
dikomunikasikan dengan pesan yang
tepat. Misalnya akan menggunakan
kelima jenis komunikasi pemasaran secara
menyeluruh, maka semuanya harus
menyampaikan pesan yang sama. Dalam
Journal of Global Marketing dikatakan:
“New product performance will be
enhanced to the extent that the firm
undertakes programs to generate
communication
visibility
and
simultaneously maintain a reasonably
level of consistency in messages. Such
findings are in accordance with the
integrated marketing communication
principle that aims to ensure consistency
of message and the complementary use of
media” (Chen, Chien Wei, 2011: 411).
Dalam penelitian ini, komunikasi
pemasaran yang akan ditekankan adalah
periklanan, personal selling, sales promotions,
public relations dan direct marketing. Kelima
komponen inilah yang akan diterapkan
oleh rumah sakit secara terintegrasi. Pesan
dari masing-masing jenis komunikasi
pemasaran
akan
dibuat
dengan
bercirikan emphaty pada masyarakat dan
keterpaduan pesan. Dengan demikian
brand image sebuah rumah sakit akan
terbentuk sesuai dengan visi dan misi
rumah sakit tersebut.
Dalam Journal
Quarterly disebutkan:
Health
Marketing
The three models work seguentially
as a guide to generating out-standing
communication results that marketers
can use to guide their effort to generate
effective communication programs: 1)
Identification of storage communication
elements. The first model helps marketing
156
communicators think through their
strategic message, audiences and actions
sought. 2) The business communication
model provides a tactical overview of how
to deliver marketing communication. 3)
Communication Management Process
depict the operational day to day process
of executing all the communication
activities (Gombeski et.al, 2007: 97).
4. Community Relations
Satu prinsip yang hendak dikembang­
kan melalui community relations adalah
mengembangkan hubungan bertetangga
yang baik. Menurut Jerold, community
relations adalah peningkatan partisipasi
dan posisi organisasi di dalam sebuah
komunitas melalui berbagai upaya untuk
kemaslahatan bersama bagi organisasi dan
komunitas (Iriantara, 2007: 20).
Dalam menjalin community relations
ini pun, rumah sakit perlu memperhatikan
budaya lokal masyarakat setempat.
Pengerti­an budaya itu sendiri adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur termasuk sistem agama dan politik,
adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan dan karya seni. (http://
id.m.wikipedia.org/wiki/budaya).
Budaya juga bisa dikatakan merupa­
kan kompleksitas dari makna, nilai, norma
dan tradisi yang dipelajari dan dibagi
oleh anggota suatu masyarakat (Morrisan,
2010: 128). Sedangkan budaya lokal
adalah budaya asli dari suatu kelompok
masyarakat tertentu yang juga menjadi
ciri khas budaya sebuah kelompok
masyarakat.
Dalam penerapan strategi komunikasi
pemasaran, sebuah perusahaan atau
institusi perlu memperhatikan hubungan
dengan komunitas setempat dan budaya
lokal yang ada di lingkungan rumah
sakit. Apalagi, rumah sakit yang menjadi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
obyek penelitian ini adalah rumah sakit
PKU Muhammadiyah. Perusahaan harus
memahami lingkungan di sekitarnya.
Apabila sudah menetapkan bahwa
sasaran­nya adalah seluruh masyarakat,
maka latar belakang agama dan organisasi
perlu dikesampingkan. Namun demikian,
karakteristik masyarakat harus dilihat,
agar program komunikasi pemasaran
yang dilaksanakan tidak bertentangan
dengan budaya lokal yang berkembang di
masyarakat
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
dengan bentuk studi kasus. Jenis penelitian
ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan
kualitas suatu gejala yang menggunakan
ukuran perasaan sebagai dasar penelitian.
Data yang dipergunakan dalam penelitian
ini meliputi 2 jenis yaitu data primer dan
data sekunder.
Dalam mengumpulkan data diguna­
kan metode sebagai berikut: 1) Observasi,
2) Wawancara, 3) Focus Group Disscusion, 4)
Dokumentasi. Teknik analisis data dalam
penelitian ini adalah mengikuti model
analisis interaktif yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman. Dalam model analisis
interaktif ini terdiri dari 3 komponen
pokok yaitu reduksi data, sajian data dan
penarikan simpulan dengan verifikasinya.
Hasil Dan Pembahasan
1. RS PKU Muhammadiyah Surakarta
RS PKU Muhammadiyah Surakarta
terletak di kota Surakarta. Beberapa waktu
yang lalu telah menjadi Rumah Sakit
Tipe B. Dalam mengaplikasikan jenisjenis komunikasi pemasaran, rumah sakit
ini telah melakukan periklanan, personal
selling, sales promotions, public relations dan
direct marketing.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Kelima jenis komunikasi pemasaran
di PKU Muhammadiyah Solo telah
ditangani dengan profesional oleh
bagian-bagian tertentu, dengan programprogram pada masing-masing bagiannya.
Namun ada kalanya informasi tersebut
belum bisebarkan secara meluas kepada
masyarakat. Tetapi karena branding PKU
Solo telah lama dikenal masyarakat,
sehingga para pembuat kebijakan pun
menyerahkan secara penuh pada masingmasing bagian untuk mengelolanya.
Hal ini memang terlihat bagus, tetapi
keterpaduan informasi memang sangat
diperlukan, agar masyarakat lebih tepat
dalam mem-positioning-kan PKU Solo.
a. Periklanan
Iklan merupakan salah satu alat
dalam mengenalkan perusahaan kepada
masyarakat atau yang lebih dikenal dengan
iklan korporat. Namun demikian tidak
semua institusi secara bebas mengiklankan
sebagaimana iklan komersial yang ada di
media. Contohnya rumah sakit. Meskipun
saat ini sudah banyak rumah sakit yang
beriklan, namun ada aturan-aturan yang
harus ditaati.
Dari
data-data
yang
telah
dikumpulkan, dapat dianalisis bahwa
penetapan tujuan iklan berguna untuk
memberikan pedoman bagi penyusunan
keputusan pesan. Selain itu, tujuan
periklanan juga berfungsi sebagai standar
evaluasi kinerja program periklanan.
Program periklanan dirancang untuk
mengubah konsumen dari tidak tahu
rumah sakit, menjadi tahu, mencoba
apabila sakit periksa ke rumah sakit
tersebut dan apabila sakit lagi di lain waktu
akan kembali ke rumah sakit itu lagi.
Berdasarkan rerangka hirarki efek
(hierarchy of effects) yang terdiri atas
awareness-liking-preference-convic­t ionpurchase, efek periklanan bisa dikelompok­
157
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
kan menjadi tiga tahap :
a. Respon
kognitif,
penerapan pesan
menyangkut
b. Respon afektif, menyangkut pengem­
bangan sikap (suka atau tidak suka)
terhadap produk atau perusahaan
c. Respon perilaku (behavioral), me­
nyangkut tindakan actual yang dilaku­
kan para anggota audience sasaran
(Tjiptono dan Chandra, 2012: 355).
b. Personal Selling
Personal selling menekankan aspek
penjualan melalui proses komunikasi
person to person. Peranan personal selling
cenderung bervariasi antar perusahaan.
Demikian juga yang bisa dilihat dari
RS PKU Muhammadiyah Surakarta
ini mempunyai cara sendiri dalam
menerapkan personal selling untuk
meningkatkan publisitas. Personal selling
merupakan komponen integral dalam
komunikasi pemasaran terintegrasi dan
bukan merupakan substitusi bagi unsur
komunikasi pemasaran lainnya.
Di RS PKU Muhammadiyah Surakarta
juga menerapkan personal selling untuk
membuat rumah sakit tersebut dikenal di
masyarakat. Malahan sudah ada petugas
khusus yang menangani personal selling
ini, yaitu di bagian pelaksana marketing.
c. Sales Promotions
Sales promotions merupakan salah satu
bentuk komunikasi pemasaran yang bisa
meningkatkan publisitas. Dari beberapa
jenis yang digunakan oleh Rumah sakit
PKU Muhammadiyah Surakarta, telah
banyak dilakukan cara ini. Diantaranya
dengan memberikan discount khusus.
Mengenai sales promotions memang dalam
penyampaiannya kepada pasien atau
masyarakat umumnya, tidak bisa dengan
mudah seperti halnya sales promotions
158
tentang produk barang atau yang bisa
dikonsumsi maupun layanan umum yang
boleh untuk disampaikan secara terbuka.
d. Public relations
Jenis
komunikasi
pemasaran
yang keempat yaitu public relations juga
digunakan di RS PKU Muhammadiyah
Surakarta. Memang pelaksanan Humas
di rumah sakit ini sudah tergolong maju.
Karena sering sekali menyelenggarakan
kegiatan yang berkaitan dengan publi­sitas.
Biasanya pelaksanaannya selalu dikoor­
dinasikan dengan bagian lain di rumah
sakit, misalnya bagian pemasaran rumah
sakit.
e. Direct Marketing
Program direct marketing merupakan
sistem pemasaran interaktif yang meng­
guna­kan berbagai media komunikasi
untuk meningkatkan respon langsung yang
sifatnya spesifik dan terukur. Direct and
line marketing ini mengalami pertumbuhan
pesat dikarenakan kemajuan teknologi dan
makin maraknya individualized marketing
(memperlakukan
pelanggan
sebagai
individu). Di RS PKU Muhammadiyah
Surakarta juga telah menerapkan direct
marketing ini sebagai salah satu bentuk
komunikasi pemasaannya.
2. RS PKU Muhammadiyah Karanganyar
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Karanganyar yang terletak di Kabupaten
Karanganyar, merupakan salah satu
Rumah sakit swasta yang menjadi pilihan
masyarakat Karanganyar dalam mem­
peroleh pengobatan. Bagi rumah sakit itu
sendiri, selalu berusaha agar mayarakat
mengetahui keberadaan rumah sakit
tersebut, sehingga menjadi rujukan
untuk memperoleh pengobatan apabila
masyarakat menderita sakit.
Dalam usaha untuk meningkatkan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
publisitas, tentu saja telah banyak usaha
yang dilakukan oleh pengambil kebijakan
di rumah sakit tersebut. Dari penelitian
yang telah penulis lakukan, ternyata
RS PKU Muhammadiyah Karanganyar
menerapkan beberapa jenis Komunikasi
Pemasaran. Adapun komunikasi pe­
masar­an yang telah dilakukan di RS PKU
Muhammadiyah Karanganyar diantara­
nya adalah:
a. Periklanan
Informasi yang disampaikan biasanya
juga berupa layanan yang ada di rumah
sakit. Dari iklan yang dilakukan oleh
RS PKU Muhammadiyah Karanganyar,
mengandung
pesan
yang
ingin
disampaikan kepada masyarakat. Pesanpesan tersebut biasanya berisi tentang
layanan-layanan apa saja yang ada di
RS PKU Karanganyar, memperkenalkan
layanan baru, sosialisasi jamkesmas
melalui leaflet dan lain-lain.
Dari paparan di atas, bisa dianalisis
bahwa iklan yang dibuat oleh PKU
Muhammadiyah karanganyar biasanya
menyampaikan
informasi
jenis-jenis
layanan yang ada di rumah sakit. Karena
rumah sakit tentu saja ingin menyampaikan
informasi lewat iklan yang dibuat.
Dalam hal ini rumah sakit berperan
sebagai komunikator ingin menyampaikan
pesan layanan yang ada di rumah sakit
melalui media periklanan ditujukan
kepada masyarakat luas. Apabila pesan
tersebut bisa dimengerti masyarakat,
maka publisitas rumah sakit pun akan
lebih dikenal di masyarakat Karanganyar.
b. Personal Selling
Personal selling yaitu suatu bentuk
komunikasi langsung antara seorang
penjual dengan calon pembelinya. Tidak
seperti iklan, personal selling melibatkan
kontak langsung antara pihak rumah sakit
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
dengan publik (pasien dan keluarga pasien
maupun masyarakat). Personal selling ini
juga diplikasikan di PKU Karanganyar.
Salah satunya dengan mendatangi bidan.
c. Sales Promotions
Sales promotions juga telah diterapkan
di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar,
diantaranya dengan memberikan potongan
biaya pengobatan rumah sakit pada pasien
tidak mampu. Juga discount khusus pada
anggota Muhammadiyah yang memiliki
KTA dan memberikan layanan Jamkesmas
dan Jampersal.
d. Public Relations
Komponen lain yang sangat penting
suatu organisasi atau perusahaan adalah
hubungan masyarakat (public relations).
Jika suatu organisasi merencanakan
dan mendistribusikan informasi secara
sistematis dalam upaya untuk mengontrol
dan mengelola citra serta publisitas yang
diterimanya, maka perusahaan itu telah
menjalankan tugas hubungan masyarakat.
Walaupun secara terstruktur belum
ada bagian PR tersendiri, namun kegiatankegiatan yang berkaitan dengan program
public relations telah banyak dilakukan
di PKU Karanganyar. Diantaranya
mengadakan khitanan masal, pengobatan
gratis dan ikut memeriahkan milad
Muhammadiyah.
e. Direct Marketing
Jenis komunikasi pemasaran yang
kelima yaitu direct marketing baru dalam
proses, tetapi PKU telah menyiapkan
segala sesuatunya untuk membuat
website tentang RS PKU Muhammadiyah
Karanganyar.
3. RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
Di RSU PKU Muhammadiyah
Delanggu, kelima jenis komunikasi pe­
159
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
masaran juga telah dilakukan semuanya,
diantaranya periklanan, personal selling,
sales promotions, public relations dan direct
marketing. Rumah sakit ini sering meng­
adakan kerja sama dengan media dan
menyelenggarakan
event-event
yang
melibatkan masyarakat di sekitar rumah
sakit. Berikut adalah kegiatan komunikasi
pemasaran yang telah dilakukan RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu.
a. Periklanan
Dalam usaha meningkatkan pu­blisitas,
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
memanfaatkan periklanan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Jenis-jenis
media yang digunakan ada media cetak dan
media elektronik. Dengan menggunakan
jenis komunikasi pemasaran periklanan,
baik lewat media massa maupun non
massa, mampu untuk meningkatkan
publisitas institusi rumah sakit tersebut.
b. Personal Selling
Di RSU PKU Muhammadiyah
Delanggu juga menerapkan personal selling
sebagai salah satu bentuk komunikasi
pemasarannya. Di rumah sakit ini justru
lebih banyak digunakan personal selling ini,
karena akan lebih ada kedekatan dengan
masyarakat. Rumah sakit perlu memahami
community relations dengan masyarakat
di sekitar perusahaan, mendekatkan diri
pada masyarakat dan mampu menyelami
budaya di masyarakat.
c. Sales Promotions
Sales Promotions yang diterapkan oleh
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
dalam meningkatkan publisitas sangat
beragam. Pada intinya sebagaimana
sejarah PKU Muhammadiyah bahwa
tujuan­nya adalah menolong sesama.
Untuk itulah program-program yang bisa
meringankan pasien dilakukan oleh PKU
160
Muhammadiyah.
d. Public relations
Strategi komunikasi pemasaran yang
lain yang digunakan untuk meningkatkan
publisitas rumah sakit adalah public
relations. Public relations merupakan fungsi
manajemen yang mengevaluasi sikap
publik, mengidentifikasi kebijakan dan
prosedur organisasi demi kepentingan
publik dan melaksanakan program aksi
dan komunikasi untuk membentuk
pemahaman dan akseptansi publik. Hal
ini juga sudah dilakukan oleh RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu.
e. Direct Marketing
PKU Delnggu telah mempunyai
website www.pkudelanggu.com. Direct
marketing sering berfungsi sebagai bagian
dari strategi komunikasi yang paling
penting tetapi jarang dijadikan kegiatan
utama. Kekurangannya ialah bahwa dalam
prakteknya secara eksklusif dan lebih
berkonsentrasi untuk mempertahankan
pelanggan yang telah ada daripada
membujuk calon pelanggan baru.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan
pada ketiga rumah sakit swasta (RS PKU
Muhammadiyah Karanganyar, RS PKU
Muhammadiyah Surakarta dan RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu) dapat
disimpulkan bahwa Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah baik di Karanganyar,
Surakarta maupun Delanggu telah
berusaha untuk mengaplikasikan kelima
jenis komunikasi pemasaran yaitu
periklanan, personl selling, sales promotion,
public relations dan direct marketing. Namun
dari kelima jenis komunikasi pemasaran
tersebut pesan-pesan yang disampaikan
kepada masyarakat masih kurang ter­
integrasi dengan sempurna.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
Saran
Dalam
menjalankan
komunikasi
pemasaran untuk meningkatkan publisitas,
sebaiknya diintegrasikan secara terpadu.
Juga melihat karakteristik yang ada di
lingkungan sasaran rumah sakit, sehingga
informasi yang disampaikan akan diterima
baik oleh masyarakat dan rumah sakit akan
diposisikan oleh masyarakat sesuai dengan
keinginan internal rumah sakit itu sendiri.
Sutisna. (2002). Perilaku Konsumen &
Komunikasi Pemasaran. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Gombeski, William R.Jr & et al. (2007).
Effectively Executing a Comprehenshive
Marketing Communication Strategy.
Journal of Health Marketing Quarterly
(The Howarth Press). Vol 24 No. 3/4 .
Iriantara, Yosal. (2007). Community
Relations Konsep dan Aplikasinya.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Daftar Pustaka
http://googleupdate.blogspot.com/2013
Boyd, Walker & Larreche. (2000).
Manajemen Pemasaran. Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
http://klatenkab.go.id
Chen, Chen Wei. (2011). Integrated
Marketing Communication and New
Product Performance in International
Market. Journal of Global Marketing.
Nov/Dec 2011 Vol 24 Issue 5.
http://id.wikipedia.org/wiki/budaya
http://asgar.or.id
Tjiptono, Fandy dan Gregorius Chandra.
(2011). Pemasaran Strategik. Edisi 2.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Fiske, John & John Hartley. (1983). Reading
Television. London: Routledge.
Gronroos, C. (2000). Service Management
and Marketing, A Marketing Relationship
Management
Approach. Second
Edition. West Sussex: Chichester.
Sholihin, Ismail. (2012). Manajemen
Strategik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Liliweri, Alo. (2007). Dasar-dasar Komunikasi
Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Morissan. (2010). Periklanan Komunikasi
Pemasaran Terpadu. Jakarta: Penerbit
Kencana Prenada Media Group.
Kotler, Philip. (2002). Manajemen Pemasaran.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shimp, Terence. (2001). Periklanan dan
Promosi. Jakarta: Airlangga.
Shimp, Terence. A. (2003). Peiklanan
Promosi Aspek Tambahan Komunikasi
Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
161
Tanti Hermawati. Komunikasi Pemasaran Rumah Sakit ...
162
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 163-174
Budaya Populer sebagai Sistem Budaya
Mursito BM
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Popular culture on television is the result of social construction, constructed by television,
as a commodity, to make a profit. But if the popular culture as a broadened understanding
culture, culture is “popular” in society at large, then there is “popular culture” is not constructed
television or other entertainment industries. Popular culture is not only produced by the
culture industry, but also life and lived society. In this study, a phenomenon observed only
in traditional Javanese wedding rituals - called pawiwahan grand - and Surakarta palace.
In order to obtain an explanation and understanding of the major ones culture in society not merely the products of culture industry - it is advisable to do more extensive research,
the phenomenon is more varied.
Key words: popular culture, social contructions, culture industry, culture system
Pendahuluan
Budaya populer kini ada di sekitar
kita, dekat dan akrab dengan kehidupan
masyarakat kita, masyarakat Indonesia.
Ia tidak lagi kita rasakan sebagai
”kebudayaan asing” – budaya pendatang
yang tidak kita kenal, kebudayaan liyan,
yang pada umumnya diidentikkan dengan
kebudayaan barat. Masyarakat kita sudah
terbiasa hidup dengannya, memakai dan
menikmati produk-produknya, men­jadi­
kannya sebagai gaya hidup, atau malah­
an kita menjalani kehidupan dengan­nya.
Maka budaya populer adalah ketika kita
mengenakan jeans, shopping di mal, makan
siang di KFC, membeli dan memutar CD
musik pop. Tentu juga termasuk ketika
kita menonton televisi, berkomunikasi
(telepon, SMS) lewat telepon seluler
(ponsel), atau bersilancar di internet.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Fenomena-fenomena di atas me­
nunjuk­kan bahwa dalam “berbudaya
populer,” semua aktivitas dan penggunaan
benda material dilakukan dengan “mem­
beli” – membeli tiket untuk konser musik,
membayar makanan yang kita makan di
KFC, membeli CD musik pop. Dua hal
segera tampak di sini. Pertama, budaya
populer didefinisikan sebagai komoditas,
sebagai masalah jual-beli komoditas
budaya. Dan yang kedua, oleh karena itu,
budaya populer dalam pengertian se­
macam ini hanya hidup di masyarakat
konsumen. Atau, sebaliknya, masyarakat
konsumenlah yang menyediakan lahan
bagi sebentuk kebudayaan yang kita kenal
sebagai budaya populer ini.
Terdistribusi dan tersebarluasnya
budaya populer tak dapat dilepaskan dari
peran media massa, dan industri budaya
163
Mursito BM. Budaya Populer ...
lainnya. Televisi berperan besar dalam
hal ini. Industri budaya memproduksi
komoditas budaya populer secara massal.
Ketika diproduksi secara massal, budaya
populer dikonsepsikan sebagai budaya
massa. Maka budaya massa difahami
sebagai budaya populer yang diproduksi
melalui teknik produksi (dan reproduksi)
massal, serta diproduksi demi keuntungan.
Budaya massa adalah budaya komersial,
produk massal untuk pasar massal. Dan
budaya massa, dengan demikian, tidak
lain dari metamorfosa komoditas dalam
bentuknya yang lebih canggih, lebih
halus dan lebih memikat (Strinati, 1995:
10). Dalam konteks industrial ini, budaya
populer identik dengan budaya massa.
Konsekuensi dari produksi dan
pasar massal adalah kita melihat ada­nya
kencenderungan budaya populer “di­
turun­kan” nilainya agar bisa memenuhi
“selera” kebanyakan orang dan orang
kebanyakan. “Ciri konsepsi budaya
massa,” tulis Strinati, ”adalah bahwa ia
merepresentasikan suatu budaya yang
turun nilainya, remeh, hanya di permukaan,
artifisial dan baku, sebuah kebudayaan
yang menyedot kekuatan budaya rakyat
dan budaya tinggi, serta menentang
penilaian intelektual selera kultural” (1995:
23). Namun, meski dipandang rendah,
remeh-temeh, dangkal, bermutu rendah,
tetapi budaya massa memiliki kekuatan,
dinamika, dan demokratis.
Dalam praktik, sebagai contoh, kita
bisa mengamati musik pop. Musik atau
lagu-lagu pop memiliki sifat sederhana,
baik melodi maupun liriknya. Prinsipnya
lagu itu bisa dimengerti dan mudah
ditirukan oleh orang yang awam dalam
bermusik. Tingkat kesulitannya dalam
meniru menyanyikan lagu itu rendah.
Dalam hal melodi, rentang nada-nadanya
tidak lebih dari satu oktaf. Ini standar
capaian suara orang awam. Artinya,
164
dengan rentang nada yang hanya satu
oktaf, publik bisa meniru menyanyikan
sebuah lagu tanpa kesulitan. Liriknya
juga sederhana, baik isi maupun aspek
puitiknya – menggunakan idiom dan
bahasa sehari-hari. Tema lirik lagu pop
adalah kehidupan sehari-hari, terutama
kehidupan anak-anak muda – tentang
cinta, “curhat,” romantika dan penderitaan
karena cinta – karena “pasar” musik pop
memang anak-anak muda.
Populer difahami sebagai hal-hal
yang sedang digemari di masyarakat
atau kelompok masyarakat pada kurun
waktu tertentu – sedang menjadi trend,
sedang menjadi mode. Model potongan
rambut pendek berjambul, mirip cengger
ayam jantan, contohnya, sekarang
sedang digemari, sedang menjadi mode.
Model rambut ini tidak hanya populer
di kalangan anak-anak muda, tetapi juga
mereka yang sudah dewasa; tidak hanya
di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi
juga mereka yang telah bekerja pada
pelbagai profesi – pemain sepakbola, para
penghibur, bahkan pebisnis, politisi, atau
anggota parlemen. Lewat televisi, kita bisa
menyaksikannya. Jadi budaya populer
bersifat pervasive – ada di mana-mana
Sedang menjadi trend atau sedang
menjadi mode artinya hanya berlangsung
“sesaat,” tidak bisa bertahan lama. Model
rambut jambul akan mengalami nasib
demikian, sama seperti model-model
yang mendahuluhinya – model rambut
gondrong, model rambut kribo, model
rambut cepak, model gundhul. Mode tak
pernah bisa bertahan lama, ibarat roda
yang sedang berputar, kadang di atas
kadang di bawah. Mode yang sedang
menjadi trend suatu saat akan tenggelam
untuk digantikan oleh mode yang baru,
yang sebelumnya mungkin pernah
populer, pernah menjadi trend di masamasa sebelumnya.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Mursito BM. Budaya Populer ...
Permasalahan
Budaya populer di televisi merupakan
hasil konstruksi sosial, dikonstruksi
oleh televisi, sebagai komoditas, untuk
mendapatkan keuntungan. Namun jika
budaya populer diluaskan pengertiannya
sebagai budaya masyarakat, budaya yang
”populer” di masyarakat luas, maka ada
”budaya populer” yang tidak dikonstruksi
televisi atau industri hiburan lainnya.
Permasalahannya adalah, pertama,
bagaimana mengoseptualisasikan format
budaya populer yang difahami sebagai
budaya masyarakat? Kedua bagaimana
menjelaskan budaya populer sebagai
sistem budaya dan sistem komunikasi?
Ketiga, bagaimana hubungan antara
budaya populer di televisi dengan budaya
populer yang hidup di dalam sistem sosial,
di masyarakat industri? Keempat, siapa
yang menngonstruksi dan memproduksi
budaya populer di masyarakat?
Tujuan
Menjelaskan budaya populer, di satu
sisi merupakan budaya masyarakat, dan
di sisi lain dalam konteks perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi dalam
masyarakat konsumen dan dalam bingkai
ekonomi pasar.
Pembahasan
Beberapa ciri budaya populer itu
dapat kita identifikasi (Kleden, 1987).
Berkenaan dengan resepsi publik, budaya
populer lebih menekankan kemampuan
“komunikatif” ketimbang penilaian dan
penghargaan kualitas. Komunikatif arti­
nya budaya populer, khususnya program
televisi, diformat untuk bisa di­terima dan
difahami oleh publik seluas-luasnya –
secara demografis, intelektual, dan kultural.
Secara demografis, budaya populer
ditargetkan bisa diterima oleh mereka yang
masuk kategori anak-anak remaja, kaum
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
muda, dewasa, hingga orang tua; secara
intelektual, bisa diterima dan dinikmati
oleh mereka yang kalau mem­baca masih
“sambil menggerakkan bibirnya” hingga
profesor; secara kultural, diraya­kan oleh
pelbagai kalangan: buruh pabrik, manajer,
guru, birokrat, profesional.
Ciri yang lain berkenaan dengan
penghargaan atau penerimaan pasar.
Budaya
populer
lebih
menyukai
penghargaan pasar ketimbang peng­
harga­an para kritisi seni. Ini artinya, ia
lebih memilih estetika persepsi (persepsi
pasar) ketimbang estetika kreasi (kualitas
penciptaan). Kita ambil contoh program
musik di televisi. Dalam program Indonesia
Idol di stasiun RCTI, sebuah program
kompetisi penyanyi, pemenangnya tidak
ditentukan oleh juri yang kompeten di
bidang vokal atau musik, melainkan
ditentukan oleh pemirsa televisi. Pemirsa­
lah – dengan mengirim SMS (short message
service) melalui telepon seluler ke pe­
nyelenggara – yang menjadi penentu pe­
menang Indonesian Idol, berdasarkan suara
terbanyak.
Budaya popular bisa juga kita lihat
cirinya dengan cara membandingkannya
dengan budaya tinggi. Ini berkenaan dengan
ruang dan waktu. Kebudayaan tinggi
mapan & “abadi” meskipun publiknya
sedikit, sementara budaya populer
jumlah penikmatnya banyak namun ber­
jangka pendek. Dengan perkataan lain,
kebudayaan tinggi mau mengorbankan
ruang untuk memenangkan waktu.
Budaya tinggi berpretensi mengabdi pada
masa depan, sedangkan budaya populer
lebih mementingkan masa kini. Musik
klasik dan opera, contohnya, atau tari
bedaya ketawang dan Anglir Mendhung,
ber­tahan lama meski penikmatnya ter­
batas; sementara lagu-lagu pop hanya
akan bertahan “sesaat” tetapi jumlah
penikmatnya banyak.
165
Mursito BM. Budaya Populer ...
Industri Budaya
Industri budaya adalah konsep untuk
menjelaskan produksi dan konstruksi
budaya. Di tahun 1930-an, mazab
Frankfurd mengawali kajian komunikasi
kritis dan menggabungkan ekonomi
politik media, analisis budaya atau teks,
dan kajian atas resepsi audiens (audience
reception) terhadap berbagai dampak sosial
dan ideologis dari budaya dan komunikasi
massa. Para pendukungnya menggunakan
istilah industri budaya untuk menandai
roses
industrialisasi
budaya
yang
diproduksi secara massal, berikut berbagai
tuntuan komersial yang mengendalikan
sistem tersebut. Para pakar teori kritis
menganaisis semua artefak budaya media
massa dalam konteks produski industrialis,
di mana artefak-artefak industri budaya
menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan
berbagai produk produksi massal yang
lain: pengkomoditasan (komodifikasi),
penstandaran
(standarisasi),
dan
pengadaan besar-besaran (masifikasi).
Namun
beragam
produk
industri
budaya memiliki fungsi khusus, yakni
menyediakan legitimiasi ideologis atas
berbagai masyarakat kapitalis yang ada
dan untuk menyatukan para individu
dalam kerangka kerja budaya massa dan
masyarakat (Kellner, 2010: 38)
Industri budaya berkembang karena
ke­jelian para industialis budaya me­
lihat adanya apa yang disebut sebagai
“aktivitas waktu senggang.” Kellner me­
nyebut Horkheimer dan Odorno sebagai
orang pertama yang secara sistematis
menganalisis dan mengkritik budaya dan
komunikasi media massa dalam teori sosial
kritis. Khususnya mereka adalah orangorang pertama yang melihat pentingnya
apa yang mereka sebut sebagai “industri
budaya” dalam keberlangsungan berbagai
masyarakat kontemporer, di mana hal
yang disebut-sebut sebagai budaya dan
166
komunikasi massa terletak di pusat
aktivitas waktu senggang, merupakan
piranti penting atas sosialisasi, mediator
realitas politis, dan dengan demikian,
hendaknya dipandang sebagai lembagalembaga utama dalam masyarakat
kontemporer dengan berbagai macam
dampak ekonomi, politik, budaya maupun
sosial (Ibid.: 38).
Seperti dicatat Jameson dan lainnya,
proses komodifikasi kapitalisme akhir
menghancurkan otonomi estetika (Dunn,
1993: 41). Ketika budaya menjajah
kehidupan sehari-hari, masyarakat ke­
seluruh­an mengalami estetisasi. Teknologi
reproduksi membuat bentuk teknologi itu
sendiri menjadi penentu pokok berbagai
hubungan budaya dan makna. Dalam
lingkungan ini oposisi modernis yang
tradisional antara budaya ‘tinggi’ dan
‘rendah’ cenderung runtuh, digantikan
oleh percampuran eklektis antara isi, gaya,
dan sikap terkenal, yang sebelumnya
terbatas pada wilayah lain.
Budaya Populer adalah Budaya Masya­
rakat
Pada pemahaman dan fenomena di
atas, budaya populer didefinisikan sebagai
komoditas. Budaya populer seakan-akan
hanya sekadar aktivitas jual-beli komoditas
– membeli CD/VCD musik pop, ngiras di
KFC, mengenakan jeans. Budaya populer
seakan-akan terpisah dari masyarakat,
karena budaya populer diproduksi dan
direproduksi oleh industri budaya – dan
masyakat diperlakukan sebagai konsumen.
Budaya populer tidak diciptakan, dibuat,
dan diproduksi masyarakat, sehingga ia
bukan budaya masyarakat. Pertanyaannya
adalah apakah yang disebut budaya
populer hanya budaya yang diproduksi
oleh industri budaya? Apakah tidak ada
budaya populer yang “diproduksi” oleh
masyarakat? Apakah industri budaya
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Mursito BM. Budaya Populer ...
bukan institusi yang merupakan bagian
dari sistem sosial atau masyarakat?
“Budaya populer dalam masyarakat
industri berkontradiksi dengan sumber­
nya,” tulis Fiske (2011: 25). Di satu
sisi, budaya tersebut diindustrialisasi,
artinya, komoditas-komoditasnya dikons­
truksi, diproduksi, dan didistribusi­kan
oleh industri yang motivasi utamanya
adalah mencari keuntungan, atau untuk
memenuhi
kepentingan-kepentingan
ekonomisnya sendiri. Di pihak lain, budaya
tersebut adalah budaya masyarakat.
Untuk dikategorikan ke dalam budaya
populer, suatu komoditas juga harus
membawa
kepentingan-kepentingan
masyarakat. Ditegaskan Fiske, budaya
populer bukanlah konsumsi. Budaya
populer merupakan budaya – proses
aktif memunculkan dan menyirkulasikan
pelbagai makna dan kepuasan dalam
suatu sistem sosial: budaya, meskipun
diindustrialisasi, tidak pernah dapat
dideskripsikan secara memadai dalam
kaitannya dengan jual-beli komoditas.
Pernyataan berikut datang dari de
Certau (1984) yang dikutip Fiske (2011: 28).
“Budaya populer dibuat oleh masyarakat
dalam keterkaitan diantara produk-produk
industri budaya dan kehidupan seharihari. Budaya populer dibuat oleh orangorang, bukan diterapkan kepada mereka.
Hal tersebut barasal dari dalam, dari
bawah, bukan dari atas. Budaya populer
adalah seni mengolah apa yang dihasilkan
sistem.” Dengan demikian, budaya
populer adalah budaya masyarakat, hasil
interaksi antara elemen-elemen budaya
yang dikomodifikasi dengan kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Kita gunakan istilah interaksi – untuk
menunjukkan bahwa budaya adalah
aktivitas evolutif, proses saling menerima
dan memberi dengan kebudayaan lain, dari
waktu-ke waktu. Dengan begitu, budaya
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
populer dalam suatu masa berbeda dengan
budaya populer pada masa yang lain –
budaya populer pada sistem sosial agraris,
misalnya, berbeda dengan budaya populer
pada sistem sosial masyarakat industri,
atau masyarakat informasi. Maka tidak
ada kebudayaan asli – setiap kebudayaan
merupakan hasil interaksi dan negosiasi
dengan kebudayaan lain. Kebudayaan
tak pernah final, merupakan cerita yang
belum – dan tak pernah – selesai.
Dengan menyepakati bahwa budaya
populer adalah budaya masyarakat bisa
menghilangkan kesan bahwa budaya
populer sekadar masalah komoditas,
masalah jual-beli elemen budaya. Budaya
populer adalah budaya yang hidup dalam
sistem sosial, yang memiliki unsur-unsur
nilai-nilai, sistem pengetahuan, sistem
makna, serta sistem perilaku.
Yang
dimaksud budaya populer sebagai sistem
budaya adalah dalam konteks ini.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pen­
dekatan
kualitatif.
Karakter
yang
menyertai­nya adalah obyek penelitian
dideskripsikan atau digambarkan dalam
kerangka
memperoleh
pemahaman.
Analisis dilakukan dengan interpretasi,
maka disebut metode interpretasi. Yang
dimaksud interpretasi di sini adalah
memberi makna dengan cara melihat
data dengan konsep. Dengan kata lain,
interpretasi berarti melakukan organisasi,
sistematisasi, dan strukturisasi data,
kemudian
diinterpretasikan
dengan
konsep atau perspektif teoritis tertentu.
Yang diteliti adalah, pertama, artefakartefak budaya yang perkembangannya
tidak dapat dilepaskan dari intervensi
industri budaya. Yang kedua adalah
fenomena dan kegiatan ”budaya populer”
di masyarakat, lebih khusus lagi sistem
budaya dan sistem komunikasinya.
167
Mursito BM. Budaya Populer ...
Hasil dan Pembahasan
1. Dari Seni Tradisi ke Seni Pop
Fenomena berikutnya adalah kisah
seorang pesinden yang berpindah profesi
sebagai artis pop. Inilah kisahnya.
Soimah, dahulu, adalah seorang
pesinden wayang kulit. Ia belajar nyinden
di ISI Yogyakarta, bergaul dengan
beberapa lingkungan kreatif seniman
Yogyakarta, seperti komunitas Kyai
Kanjeng, Acappella Mataraman, sampai
kelompok musik Kua Etnika dan Orkes
Sinten Remen pimpinan Djaduk Ferianto.
“Saya tak mau selalu ndeprok di wayang.
Saya nyemplung di komunitas-komunitas
biar dapat pengalaman di luar dunia
pesinden”, katanya (Kompas, 22 Maret
2010).
Tidak
hanya
bergaul
dengan
komunitas seniman. Beberapa bulan
terakhir ini, ia lebih sering berada di
Jakarta, mengisi program Segerr Benerr
di AnTV. Di program ini, ia tidak lagi
bertimpuh di belakang dalang, tetapi
berdiri ”pencilakan” di depan kamera.
Dandanannya juga tidak seperti sinden lagi.
Ia datang ke studio ANTV dengan rambut
disanggul, memakai celana panjang ketat,
blus, dan sepatu berhak tinggi. Terakhir
ia presenter untuk program Show Imah di
Trans-TV. Tubuhnya wangi oleh parfum.
Ia kini seorang artis pop.
Soimah adalah contoh seorang
seniman yang mencoba keluar dari sekatsekat komunitas kesenian tradisi (atau
kesenian rakyat?), menerobos memasuki
suatu hamparan yang lebih luas: industri
hiburan. Begitu mamapaki dunia industri
hiburan, kepesindennya tak berbekas. Di
layar televisi, Soimah tidak membawakan
Mijil atau Sinom, tetapi menyanyikan lagu
berirama rock atau ndangdut. Eksotisme –
itulah yang diambil industri hiburan dari
(tubuh) Soimah.
168
Tentu kita bisa mempersoalkan
”status” wayang kulit sebagai kesenian
rakyat. Kita tunda dulu jawabannya, dan
bukan itu pokok soalnya. Soalnya adalah
kesenian rakyat atau kesenian tradisi, kini,
hidup dalam masyarakat yang didominasi
budaya pop dan budaya massa. Dalam
situasi demikian, apa yang bisa kita
lakukan terhadap kesenian rakyat?
Kesenian rakyat? Kethek Ogleng
barangkali termasuk kategori kesenian
ini. Juga kentrung, tayub, gandrung
Banyuwangi, dan reog Ponorogo. Ada
yang menyebut wayang kulit, wayang
wong, dan kethoprak sebagai kesenian
rakyat. Semua ”kesenian rakyat” ini
lahir tidak pada pada jaman sekarang. Ia
lahir jauh sebelum kita lahir, pada suatu
sistem sosial yang lazim disebut agraristradisional, bahkan primitif. Kesenian
rakyat ”diciptakan”, dihidupi, dan untuk
memenuhi kebutuhan suatu komunitas,
pada waktu itu, biasanya sebagai
pendukung ritual tertentu.
Upaya untuk “mengindustrikan” seni
rakyat dan tradisi sesungguhnya sudah
ber­langsung. Kethoprak, contohnya, “di­
modifikasi” menjadi Kethoprak Humor
– seperti yang kita saksikan di televisi
swasta, beberapa tahun lalu. Wayang
Kulit juga melakukannya dengan mem­
per­panjang waktu untuk adegan “gorogoro” dan “limbukan”, yang berarti juga
“menghumorkan” wayang kulit. Wayang
kulit juga melakukan eksperimen dengan
pakeliran padat. Mereka berusaha men­
dekatkan diri dengan penonton. Hal yang
sama juga terjadi pada seni tari, dan seni
rakyat yang lain.
Dari sini kita mencatat, pertama, seni
tradisi (”pertunjukan”) telah meluaskan
lokus aktivitasnya, dari yang semula
digelar di tempat-tempat tertentu dan
menjadi bagian dari ritual pada sistem
sosial tradisional, menjadi pertunjukan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Mursito BM. Budaya Populer ...
yang lebih independen. Beberapa jenis
tari keraton, contohnya, yang dulu bersifat
sakral, kini bisa dipertunjukan di tempat
independen. Wayang kulit juga demikian.
Ini artinya, yang kedua, ada
perubahan fungsi, dari fungsi ritualmagis pada masyarakat tradisional
berubah menjadi fungsi tontonan pada
masyarakat yang lebih egalier. Dengan
begitu, tanggungjawab sang senimannya
pun berubah, dari tanggungjawab
kepada patron tradisional beralih kepada
massa, publik, bahkan konsumen. Seperti
apa seni itu tidak lagi bergatung pada
penguasa tradisional, tetapi bergantung
pada ”selera” konsumen. Konsumen lah
yang menjadi ”raja”, bukan patron sebagai
penguasa dalam sistem sosial tradisional.
Ketiga, berubahnya seni tradisi
menjadi tontonan sesungguhnya merupa­
kan respons terhadap berubahnya masya­
rakat: dari masyarakat feudal-borjuis
ke masyarakat massa. Jadi benar jika
dikatakan, kebudayaan merupakan situs
bagi proses-proses negosiasi yang tak
putus-putus yang dilakukan oleh pelaku
kebudayaan sebagai respons terhadap
kondisi kekinian. Maka, boleh dikatakan,
industri kreatif yang berbasis budaya
lahir dari responsnya terhadap adanya
masyarakat massa ini.
2. Forum Komunikasi Keluarga: Sistem
dan Struktur
Sebuah keluarga umumnya terdiri
atas ayah, ibu, dan anak. Seperti dikatakan
sebelumnya, semua anggota keluarga
dewasa umumnya memiliki telepon
seluler. Telepon seluler menjadi sangat
fungsional
ketika
anggota-anggota
keluarga memilki aktivitas yang terpisah,
di luar rumah – ayah bekerja, ibu di rumah
(atau bekerja), anak sekolah atau kuliah.
Berkat HP anggota-anggota keluarga ini
bisa berkomunikasi. Maka HP menjadi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
sangat fungsional bagi keluarga modern,
sebagai medium berkomunikasi ketika
anggota-anggota keluarga terpisah secara
fisik karena pelbagai aktivitas yang
dilakukannya.
Namun ini tidak berarti anggotaanggorta keluarga itu tidak pernah
bertemu di rumah. Pada waktu-waktu
tertentu mereka ada di rumah, pada waktu
yang bersamaan. Dan mereka memiliki
forum untuk berkomunikasi, forum yang
memungkinkan anggota-anggota keluarga
saling terikat dalam sistem keluarga. Kita
sebut forum ini sebagai forum komunikasi
keluarga. Umumnya forum komunikasi
itu “terbentuk” di waktu malam, selepas
masing-masing anggota keluarga pulang
kerja, sekolah atau kuliah.
Seperti apa forum komunikasi
keluarga itu? Forum komunikasi keluarga
terdiri dari “tempat komunikasi” dan
“peristiwa
komunikasi.”
Artinya,
komunikasi antar anggota kerluarga
terjadi dan berproses pada suatu tempat
“formal,” yang biasa digunakan untuk
berkumpul. Misalnya ruang keluarga,
ruang (meja) makan, kamar, dapur, ruang
tamu, beranda depan. Tentu tidak semua
keluarga memilki ruang-ruang tersebut.
Sementara peristiwa komunikasi adalah
ketika komunikasi itu terjadi: peristiwa
makan (pagi, siang, malam), peristiwa
nonton televisi, peristiwa bercanda,
dan lain-lainnya. Dari sini kita melihat
sesungguhnya antara tempat komunikasi
dan peristiwa komunikasi tak dapat
dipisahkan. Peristiwa komunikasi selalu
terjadi pada tempat (dan waktu) tertentu.
Peristiwa makan malam, contohnya,
selalu terjadi di meja atau ruang makan, di
waktu malam hari. Namun sering terjadi
pengecualian – anak-anak boleh makan
sambil nonton televisi di depan pesawat
televisi.
Tentu
saja
forum
komunikasi
169
Mursito BM. Budaya Populer ...
keluarga tidak bisa terlalu formal. Forum
komunikasi kerapkali terbentuk tidak
secara sengaja, tidak direncanakan,
terbentuk di setiap waktu dan sembarang
tempat. Obrolan di dapur, contohnya,
atau ketika kakak membantu adiknya
mengerjakan pekerjaan rumah (“PR”),
adalah forum komunikasi yang “tidak
direncanakan.” Dan yang paling sering
adalah di depan pesawat televisi. Dengan
kata lain, forum komunikasi keluarga
bersifat luwes dan cair, tergantung situasi
dan kondisi.
Namun, kini, ada beberapa perubahan
format forum komunikasi keluarga
sehubungan dengan tersedianya medium
komunikasi sebagai akibat perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi.
Forum
komunikasi
keluarga
telah
diiintervensi oleh “orang luar” melalui
perangkat komunikasi, yakni televisi dan
telepon seluler. Jika keluarga merupakan
sebuah sistem, sistem sosial, maka sistem
itu telah ditembus “orang luar” melalui
perangkat-perangkat komunikasi seperti
disebut di atas. Di rumah, keuarga bisa
jagongan sambil nonton televisi, ber-SMS
melalui ponsel dengan teman di luar
rumah.
3. Sistem Komunikasi Keluarga: Sistem
Terbuka
Secara teoritis, sistem memiliki
dua sifat: tertutup dan terbuka. Sistem
tertutup, misalnya pada mesin mobil,
tidak dapat diintervensi dari luar. Sistem
tertutup sangat stabil, tak terpengaruh
oleh situasi di luar dirinya. Namun dalam
sistem sosial, hampir tidak ada sistem
sosial yang sama sekali tertutup. Lebihlebih dengan semakin berkembangnya
teknologi komunikasi dan informasi
seperti sekarang ini. Keluarga, contohnya,
adalah sistem sosial terbuka, dan kini
semakin terbuka.
170
Kita akan melihat fenomenanya.
Keluarga Wijaya – yang terdiri dari
seorang istri (Widyawati), dua anaknya
(Tono dan Tina), dan Wjaya sendiri,
tentunya – sedang makan malam. Makan
malam adalah forum komunikasi keluarga
dalam keluarga ini. Sambil makan, mereka
saling bercerita tentang aktivitasnya hari
ini, atau sedang merencanakan liburan
sekolah. Intinya, mereka ngobrol, bukan
membicarakan masalah yang terlalu serius.
Namun masing-masing anggota keluarga
memegang ponsel. Sambil makan (dan
ngobrol), Widyawati membalas SMS dari
teman arisannya; Tono ber-SMS dengan
temannya, mendiskusikan pertandingan
sepakbola liga Inggris; sementara Tina berSMS dengan teman sekolah, membahas
tugas mata pelajaran Pancasila.
Usai
makan
malam,
mereka
berpindah ke ruang keluarga. Di sini
pesawat televisi ditempatkan. Ruang
keluarga, dengan pesawat televisi di
dalamnya, merupakan forum komunikasi
keluarga yang dianggap favorit. Di dapan
pesawat televisi, Tina menonton televisi
sambil mengejakan tugas sekolah, sesekali
merespon guyonan Tono, kakaknya.
Sementara Tono berdiskusi dengan
ayahnya tentang kemungkinan kuliiah
sambil bekerja. Aktivitas-aktivitas ringan
ini diselingi ber-SMS dengan “orang luar”
– semua anggota keluarga.
Dari fenomena di atas kita bisa
mencatat beberapa hal. Pertama, keluarga
adalah sistem sosial yang sangat terbuka.
Institusi ini sebagai sistem sosial banyak
mendapatkan intervensi dari luar justru
karena anggota-anggotanya menyediakan
perangkat komunikasi untuk itu. Dengan
memiliki pesawat televisi, keluarga
mendapatkan banyak dan beragam
informasi dari media massa. Dengan
memiliki
ponsel,
anggota-anggota
keluarga berkomunikasi dengan anggota-
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Mursito BM. Budaya Populer ...
anggota masyarakat lain di luar rumah, di
luar sistem sosial keluarga.
Kedua, dengan masing-masing anggota
keluarga memegang ponsel pada aktivitas
komunikasi dalam forum komunikasi
keluarga, mengubah konsep ruang
komunikasi. Dalam forum komunikasi
keluarga “tradisional,” ruang yang
digunakan berkomunikasi bersifat fisik.
Ruang itu, misalnya, sebuah ruang di dalam
rumah berukuran empat kali empat meter –
ruang makan, ruang keluarga, kamar tidur,
kamar tamu. Dengan ruang fisik ini, forum
komunikasi keluarga berlangsung hanya di
dalam ruang makan, misalnya. Anggotaanggota keluarga hanya bisa berkomunikasi
antara mereka – ayah, ibu, anak.
Namun
dengan
masing-masing
anggota keluarga memegang ponsel,
forum komunikasi keluarga mengalami
perubahan. Jika dalam forum komunikasi
keluarga “tradisional” komunikasi hanya
terjadi dan berproses hanya diantara
anggota-anggota keluarga di dalam
ruang fisik, maka dengan memegang
ponsel, “ruang” untuk forum komunikasi
keluarga
“diperluas.”
Di
samping
berkomunikasi antara anggota keluarga,
masing-masing anggota keluarga bisa
berkomunikasi dengan orang luar. Maka
forum komunikasi keluarga menjadi
“luas,” meliputi seluruh ruang yang
secera teoritis tak terbatas, “di seluruh
dunia,” tergantung dari kapasitas dan luas
jaringan teknologi komunikasi ponsel.
Dalam konteks komunikasi, ruang
tidak lagi difahami sebagai space, ruang
fisik yang terbatas kapasitasnya dalam
berkomunikasi. Ruang harus difahami
sebagai sphere, ruang sebagai diskursus
(discourse),
yang
karenanya
ketika
teknologi komunikasi ikut capurtangan,
ruang menjadi tak dapat dibatasi hanya
sebatas ruang fisik. Dalam hal forum
komunikasi keluarga, peserta komunikasi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
tidak hanya para anggota keluarga, tetapi
juga teman-tema arisan ibu, teman kuliah
anak, dan kolega ayah.
Akibatnya, dialog antara ayah, ibu,
dan anak, menjadi kurang intensif dan
kurang efektif. Perhatian mereka terhadap
topik pembicaraan menjadi berkurang,
karena terintervensi “orang luar.” Mereka
harus berbagi konsentrasi antara perhatian
terhadap pembicaraan dengan anggota
keluarga, dan perhatian terhadap pesan
SMS dari “orang luar.”
Pada forum komunikasi keluarga di
depan televisi, hal ini sangat jelas terlihat.
Anak-anak, di masa kini, bisa mengerjakan
PR (pekerjaan rumah) sambil menonton
televisi, ngemil, diselingi ngrumpi dengan
kakaknya, namun nilai rapornya tidak
buruk. Anak-anak melakukan dua hal
secara bersamaan, dan ”berhasil.” Mereka
mampu mencerap beberapa stimuli
sekaligus – bisa mencerap bahan pelajaran,
memahami cerita sinetron, dan menangkap
anekdot sang kakak. Inilah ”generasi TV.”
Kesimpulan
Budaya populer adalah “budaya
masyarakat”
atau
“budaya
orang
kebanyakan,” terlepas dari perbedaan
pandangan mengenai definisi dan tekanan
dalam fokus kajian budaya populer. Kita
sepakat dengan “definisi” bahwa budaya
populer adalah budaya masyarakat, dalam
pengertian budaya yang sedang populer
di masyarakat. Maka, meski budaya
populer diproduksi oleh industri budaya
tetapi budaya populer tetap merujuk pada
masyarakat.
Kebudayaan bersifat hibrida. Artinya,
tidak ada kebudayaan yang tetap dan tegas
dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang
murni dan monolitik. Budaya merupakan
situs bagi proses-proses negosiasi yang tak
putus-putus yang dilakukan oleh pelaku
kebudayaan sebagai respons terhadap
171
Mursito BM. Budaya Populer ...
kondisi kekinian. Dengan demikian
sebutan “Jawa” atau “Barat” selalu bersifat
kompleks dan majemuk karena konteks
mereka yang juga kompleks dan majemuk.
Dalam hal identitas budaya, harus
disadari bahwa identitas budaya itu
tidak bisa utuh, murni, monolitik, dan
bulat. Identitas budaya yang terbentuk
merupakan dialektika, hasil interaksi
dan pertemuan dengan kebudayaan lain,
dari waktu ke waktu, sehingga identitas
budaya selalu mengalami inventifikasi
terus-menerus. Kebudayaan tak pernah
final, “jadi”, serta merupakan cerita yang
belum dan tak pernah selesai, karena
kebudayaan merupakan hasil respon
terhadap kebutuhan zamannya.
Terdapat perubahan dalam hubungan
pelaku budaya. Dulu hubungan itu bersifat
“struktural-hirarkhis”
yang
dikenal
sebagai patron-client; Kini berubah menjadi
bersifat “relasional-transaksional”, yang
dikenal sebagai hubungan “produsenkonsumen”; hubungan vertikal digantikan
hubungan horizontal.
Hubungan dengan asas kebebasan
dalam kebudayaan umumnya, dan
dalam kesenian khususnya. Kebebasan
merupakan prasyarat bagi daya cipta.
Semakin luas kebebasan, semakin tinggi
tingkat daya cipta dalam kebudayaan.
Dengan perkataan lain, kebebasan
adalah permintaan (demand) dari fihak
kebudayaan, yang akan dipertukarkan
dengan kreativitas yang ditawarkannya
(supply). Adapun fihak yang diharapkan
mensuplai kebebasan adalah bidang
politik. Kebebasan budaya akan berisikan
kebebasan wawasan, tingkahlaku yang tak
terbebani, alam pikiran yang leluasa, dan
kesanggupan menerobos horizon yang
diciptakan oleh situasi masa kini.
Perlunya mengubah pandangan yang
terlalu estetis tentang kebudayaan menjadi
pandangan yang lebih berimbang, di mana
172
baik unsur estetis maupun unsur progresif
sama-sama mendapat tempat yang
layak. Dalam praktik ini berarti apresiasi
kebudayaan yang berimbang tidak akan
terpusat hanya kepada apresisasi seni,
tetapi juga kepada apresiasi intelektual,
ilmiah, dan teknologi.
Saran
Penelitian
ini
terbatas
pada
menjelaskan fenomena-fenomena yang
“dihasilkan” oleh televisi, yakni hiburan.
Disarankan untuk melakukan penelitian
yang lebih luas tentang konstruksi budaya
populer sebagai produk sistem budaya.
Budaya
populer
tidak
hanya
diproduksi oleh industri budaya, tetapi
juga hidup dan dihidupi masyarakat.
Pada penelitian ini, hanya diteliti
fenomena ritual perkawinan adat Jawa –
disebut pawiwahan agung – dan keraton
Surakarta. Agar memperoleh penjelasan
dan pemahaman budaya poluler di
masyarakat – bukan semata-mata produk
industri budaya – disarankan untuk
dilakukan penelitian yang lebih luas,
dengan fenomena yang lebih bervariasi.
Daftar Pustaka
Bulletin Komunikasi (C.T.C No. 20 –
Januari 1991).
Cassirer, Ernst. (1987). Manusia dan
Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang
Manusia.
terjemahan Alois A.
Nugroho. (Jakarta: Gramedia).
DeFleur/Dennis. (1988). Understanding
Mass
Communication
(Boston:
Houghton Mifflin,).
Fiske, John. (2009). Telvision Culture.
(London: Routledge).
Fiske, John. (2011). Memahami Budaya
Populer. (Yogyakarta: Jalasutra).
Ibrahim, Idi Subandy. (2011). Budaya
Populer
Sebagai
Komunikasi.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Mursito BM. Budaya Populer ...
(Yogyakarta: Jalasutra).
Kleden, Ignas. (1987). Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan. (Jakarta: LP3ES).
Rahmat, Jalalludin. (1985). Psikologi
Komunikasi.
(Bandung:
Remaja
Karya).
Kellner, Douglas. (2010). Budaya Media.
London: Routledge.
Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan,
Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:
Aksara Baru.
Kayam, Umar. Budaya Massa Indonesia.
(Majalah Prisma, No. 11 Th. 1981)
Masyarakat Modern. (Jakarta: Prenada
Media).
Strinati, Dominic (1995). An Introduction to
Theories of Popular Culture. Yogyakarta:
Kanisius.
Strinati, D. (2007). Popular Culture;
Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
(Yogyakarta: Jejak).
Sugiharto, Bambang. Kebudayaan, Filsafat,
dan Seni (Redefinisi dan Reposisi)
(Kompas, Rabu, 03 Desember 2003)
Widodo, Amrih. Budaya Lokal dalam Wacana
Global. (Kompas, 13 Januari 2008).
Kompas, 21 September 2012.
Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat.
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana)
Mursito BM. Studi Kelayakan Program
Infotainmen
Televisi.
Laporan
penelitian. (Prodi Ilmu Komunikasi
FISIP UNS, 2009).
------------ Kesenian Rakyat Dalam Pusaran
Kebudayaan Massa. Diselenggarakan
oleh Pemkot Surakarta (Solo, 27 Maret
2010).
------------ Bahasa Media. (2011). Laporan
penelitian (Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret)
------------ (2012). Realitas Media. (Solo:
Smartmedia).
Pawito. (2007). Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: LKiS.
Peursen, C.A. van. (1990). Fakta, Nilai,
Peristiwa, (Jakarta: Gramedia).
Postman,
Neil.
(1995).
Menghibur
Diri Sampai Mati. terjemahan,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan).
Peter L, Berger dan Hansfried Kellner.
(1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan.
(Jakarta: LP3ES)
Rivers L, William, Jay W. Jensen, dan
Theodore Peterson. (2003). Media dan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
173
Mursito BM. Budaya Populer ...
174
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 175-188
Media Massa dan Intoleransi Beragama
(Studi Kasus tentang Wacana Intoleransi Beragama
pada Surat Kabar Lokal di Kota Surakarta Tahun 2012)
Sri Herwindya Baskara Wijaya
Mursito BM
Mahfud Anshori
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Since the first of Indonesia is known as a nation that is friendly to the differences belong to
the realm of religion. But this time the character of religious tolerance marred by violence in
the name of various religions. This study tried to uncover the deeper religious intolerance in
the media discourse local newspapers in Surakarta in 2012. In this study the researchers
chose two major newspapers in Surakarta namely Daily and Daily Solopos Joglosemar as
the study sample . The data analysis technique used in this study refers to the technique
of discourse analysis by Teun Van Dijk.
In general Solopos Daily news about issues of religious intolerance in Indonesia in 2012
is still relatively minimal. This is evident from the news that appears most prominent of
Solopos just reporting on Shiite conflict in Sampang, Madura. While the news of a number
of related issues are as much as 6 news. For news of Joglosemar three main issues,
namely the Sunni - Shiite conflict in Sampang, Madura, about Jemaah Ahmadiyah issue
and the issue about the Yasmin Church. Shia - Sunni issues in Sampang, Madura seven
news, as many as two- Ahmadiyya news and issues Yasmin Church and the Church of
Philadelphia as one word.
Based on research conducted analysis, thematic, schematic, semantic, syntactic, stylistic
and rhetorical and Joglosemar Solopos news about Shiite conflict in Sampang, Madura
tend impressed positively accentuate the figure of the Shia community, the Ahmadiyya,
Yasmin church congregation and the Church of Philadelphia as the party impressed “
persecuted “ , while the ones who oppose the Shia community, the Ahmadiyya, Yasmin
church congregation and the Church of Philadelphia impressed as those who “ persecute “
. While the government was perceived as the party tends unprofessional, inattentive, slow
resulting in conflicts
Key words: religious intolerance, local newspapers, media discourse
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
175
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
Pendahuluan
dan keberagaman.1
Salah satu karakter mendasar bangsa
Indonesia sejak dahulu adalah toleran atas
perbedaan. Salah satu bentuk toleransi
yang tinggi adalah toleransi di bidang
agama. Sejak zaman kerajaan-kerajaan,
bangsa Indonesia sudah memiliki toleransi
yang tinggi atas beragam keyakinan.
Berdirinya candi-candi bercorak Hindu dan
Budha yang bersandingan menunjukkan
adanya toleransi yang tinggi dari bangsa
Indonesia. Adanya berbagai agama serta
aneka keyakinan hingga sekarang ini
menunjukkan adanya praksis toleransi
beragama sampai tingkat tertentu pada
bangsa ini. Namun saat ini wajah ramah
toleransi beragama di Indonesia diwarnai
kasus-kasus
intoleransi
beragama.
Sejumlah kasus kekerasan atas nama
agama menyeruak di permukaan sehingga
menjadi keprihatinan bersama.
Padahal, seperti yang dikatakan
Azyumardi Azra bahwa prinsip Indonesia
sebagai negara “bhinneka tunggal
ika” mencerminkan bahwa meskipun
Indonesia adalah multikultural tetapi tetap
terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.2
Banyak pihak menyesalkan kejadiankejadian intoleransi beragama sehingga
diserukan agar digencarkan pendidikan
karakter bangsa. Hal ini mengingat
toleransi beragama sebenarnya adalah
bagian dari karakter bangsa Indonesia
sehingga patut disayangkan terjadinya
Saat ini, pendidikan karakter menjadi
salah satu program pemerintah yang saat
ini digencarkan. Meskipun bisa dikatakan
terlambat, Pemerintah Indonesia kembali
mulai menerapkan pendidikan berbasis
karakter dengan menyelipkan ke dalam
kurikulum
pendidikan
yang
baru
sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU No 20
Tahun 2003 Bab II Pasal 2 disebutkan:
“Pendidikan
nasional
berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”3
Hal ini setidaknya terlihat dari survei
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bekerja
sama dengan Yayasan Denny JA tahun
2012. Sebanyak 31% masyarakat Indonesia
saat ini sudah tidak toleran terhadap
keberagaman agama di Indonesia. Survei
dilakukan selama tujuh hari dengan
melibatkan 1.200 responden. Hasilnya,
15%-80% publik Indonesia tidak bisa
menerima bertetangga dengan orang lain
yang berbeda identitas. Kesimpulan lain
yang didapat dari penelitian tersebut
adalah, semakin rendah pendidikan
maka semakin rendah toleransi terhadap
perbedaan. Begitu pula dengan fakta
semakin rendahnya pendapatan, akan
berpengaruh pada rendahnya intoleransi.
Intoleransi meningkat karena berbagai
hal, seperti aksi kekerasan berdasar agama
semakin marak serta publik yang tak puas
pada kinerja presiden, politisi dan polisi
yang seharusnya melindungi kebebasan
176
Penelitian ini mencoba menelaah lebih
dalam soal karakter bangsa terkait wacana
toleransi beragama pada media massa
lokal di Kota Surakarta. Dipilihnya Kota
1 ( h t t p : / / w w w . m e t r o t v n e w s . c o m / r e a d /
newsvideo/2012/10/21/162279/LSI-ToleransiBeragama-di-Indonesia-Menurun), diakses 25
Desember 2012.
2 Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan
Merawat Indonesia, (Yogyakarta: 2007), Hal. 17.
3 Pendidikan karakter sebuah wacana, diakses lewat
situs
http://lenterakecil.com/pendidikanberkarakter-sebuah-wacana/, 6 Januari 2012
pukul 20.00 WIB; Sri Herwindya Baskara Wijaya,
Pendidikan Karakter Bangsa dalam Novel: (Studi
tentang Pesan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Bangsa Menggunakan Pendekatan Semiologi
Komunikasi dalam Novel Nonfiksi “Habibie
& Ainun” Karya BJ Habibie dan Belahan Jiwa
Karya Rosihan Anwar (Surakarta, 2012).
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
Surakarta atau Kota Solo sebagai lokasi
rencana riset ini mengingat Solo dikenal
sebagai salah satu baromater sosial,
politik dan budaya nasional. Solo juga
dikenal sebagai benteng kokoh bagi kaum
nasionalis yang dikenal pendukung utama
atas ideologi Pancasila. Sementara untuk
media massa lokal yang dipilih adalah
Koran Harian Umum Solopos, Koran
Harian Umum Joglosemar. Dipilihnya
dua koran ini dikarenakan sebagai satusatunya koran yang lahir dan menjadi
koran utama di Kota Surakarta. Penelitian
ini berlangsung selama periode penerbitan
surat kabar terkait tahun 2012.
Perumusan Masalah
Berdasarkan tinjauan latar belakang
masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana bentuk wacana intoleransi
beragama yang muncul di surat kabar
lokal di Kota Surakarta tahun 2012 ?”
Tinjauan Pustaka
1. Karakter Bangsa
Pencanangan perlunya membangun
karakter atau watak bangsa sebagai
bangsa Indonesia baru sesungguhnya
telah direalisasikan. Karakter bangsa
yang sudah terbentuk ratusan tahun
sebagai pengabdi kepada penjajah atau
bangsa terjajah, pengabdi kepada rajaraja kecil yang terkotak-kotak, pengabdi
kepada kegelapan, tahayul, pengabdi
kepada feodalisme, dan lain-lain, yang
semua itu tidak cocok lagi dengan arah
perwujudan bangsa atau warga negara
Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, bertaqwa, beradab, bersatu,
bermusyawarah, adil dan makmur.4
4 Karakter bangsa, diakses lewat situs http://
karakterbangsa.net/Our-Services/CakesCookies/Membangun-Karakter-Bangsa.html,
Sabtu, 7 April 2012 pukul 20.00 WIB.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Pembangunan
karakter
bangsa
sendiri dimaknai sebagai upaya kolektifsistemik suatu negara kebangsaan untuk
mewujudkan kehidupan bangsa yang
dan negaranya sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara,
serta potensi kolektifnya dalam konteks
kehidupan nasional, regional, dan global
yang berkeadaban. Semuanya itu untuk
membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
berbudi luhur, bertoleran, bergotong
royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ipteks yang semuanya
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pembangunan karakter bangsa itu
dilakukan secara koheren melalui proses
sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran,
pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja
sama seluruh komponen bangsa dan
negara.5
Menurut Suyanto, terdapat sembilan
pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai
luhur universal, yaitu: pertama, karakter
cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
kedua, kemandirian dan tanggungjawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis;
keempat, hormat dan santun; kelima,
dermawan, suka tolong-menolong dan
gotong
royong/kerjasama;
keenam,
percaya diri dan pekerja keras; ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan; kedelapan,
baik dan rendah hati, dan; kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan.6
2. Toleransi Beragama
Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, toleransi yang berasal dari
kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat
5 Karakter Bangsa, diakses lewat situs http://
karakterbangsa.net/Latest/pengertian.html,
Sabtu, 7 April 2012 pukul 20.30 WIB.; Ibid.
6 Ibid.
177
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan,
membolehkan)
yang
berbeda dan atau yang bertentangan
dengan pendiriannya. Toleransi juga
berarti batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih diperbolehkan.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut
“tasamuh” yang artinya sikap membiarkan,
lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan,
wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah
hati, suka berderma.7
Agama adalah elemen fundamental
hidup dan kehidupan manusia, oleh
sebab itu, kebebasan untuk beragama [dan
tidak beragama, serta berpindah agama]
harus dihargai dan dijamin. Ungkapan
kebebasan beragama memberikan arti luas
yang meliputi membangun rumah ibadah
dan berkumpul, menyembah; membentuk
institusi sosial; publikasi; dan kontak
dengan individu dan institusi dalam
masalah agama pada tingkat nasional atau
internasional.8
Kebebasan beragama, menjadikan
seseorang mampu meniadakan diskri­
minasi berdasarkan agama; pelanggaran
terhadap hak untuk beragama; paksaan
yang akan mengganggu kebebasan
seseorang untuk mempunyai agama atau
kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan
sosial setiap hari, yang menunjukkan
saling pengertian, toleransi, persahabatan
dengan semua orang, perdamaian dan
persaudaraan
universal,
menghargai
kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan
dari yang lain dan kesadaran penuh
bahwa agama diberikan untuk melayani
para pengikut-pengikutnya. Jadi, toleransi
(tasamuh) beragama adalah menghargai
dengan sabar, menghormati keyakinan
7 (http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/07/
toleransi-antar-umat-beragama-usahameredam-konflik-499776.html).,
diakses
25
Desember 2012.
8 Ibid.
178
atau kepercayaan seseorang atau kelompok
lain.9
3. Surat Kabar
Koran (dari bahasa Belanda: Krant,
dari bahasa Perancis courant) atau surat
kabar adalah suatu penerbitan yang ringan
dan mudah dibuang, biasanya dicetak
pada kertas berbiaya rendah yang disebut
kertas koran, yang berisi berita-berita
terkini dalam berbagai topik. Topiknya
bisa berupa even politik, kriminalitas,
olahraga, tajuk rencana, cuaca. Surat kabar
juga biasa berisi karikatur yang biasanya
dijadikan bahan sindiran lewat gambar
berkenaan
dengan
masalah-masalah
tertentu, komik, TTS dan hiburan lainnya.10
Ada juga surat kabar yang dikembang­
kan untuk bidang-bidang tertentu,
misal­nya berita untuk politik, property,
industri tertentu, penggemar olahraga
tertentu, penggemar seni atau partisipan
kegiatan tertentu. Jenis surat kabar umum
biasanya diterbitkan setiap hari, kecuali
pada hari-hari libur. Surat kabar sore juga
umum di beberapa negara. Selain itu,
juga terdapat surat kabar mingguan yang
biasanya lebih kecil dan kurang prestisius
dibandingkan
dengan
surat
kabar
harian dan isinya biasanya lebih bersifat
hiburan. Kebanyakan negara mempunyai
setidaknya satu surat kabar nasional
yang terbit di seluruh bagian negara. Di
Indonesia contohnya adalah KOMPAS.11
Dilihat dari bentuk fisiknya surat
kabar me­rupakan media analog (media
cetak). Pada bentuk standar Koran
memiliki ukuran 8 dan 9 kolom ke
samping. Sedangkan pada bentuk baru,
memiliki ukuran 6 dan 7 kolom. Surat
kabar merupakan teknologi dan media
9 Ibid.
10 http://id.wikipedia.org/wiki/Koran, diakses 25
Desember 2012.
11 Ibid.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
yang sangat aktual. Surat kabar juga
menyajikan berita dan informasi yang
singkat, padat dan jelas. Surat kabar
hanya dapat dinikmati secara visual, yaitu
menggunakan satu indera, penglihatan.
Ini menjadikan surat kabar sebagai hot
media dan tidak multitafsir. Surat kabar
pun merupakan media yang praktis dan
portabel.12
Analisis Wacana: Sebuah Metode Ana­li­
sis Teks
Norman Fairclough mendefinisikan
wacana adalah pemakaian bahasa tampak
sebagai sebuah bentuk praktik sosial, dan
analisis wacana adalah analisis mengenai
bagaimana teks bekerja/berfungsi dalam
praktik sosial budaya.13
Menurut Alex Sobur, pengertian
wacana sebagai rangkaian ujar atau
rangkaian tindak tutur yang mengungkap­
kan suatu hal (subjek) yang disajikan
secara teratur, sistematis, dalam satu
kesatuan yang koheren, dibentuk oleh
unsure segmental maupun nonsegmental
bahasa.14 Sedangkan analisis wacana
dirumuskan sebagai studi tentang struktur
pesan dalam komunikasi.15
Menurut Syamsuddin, dari segi
analisisnya, ciri dan sifat analisis
wacana adalah Pertama, analisis wacana
membahas kaidah memakai bahasa
di dalam masyarakat. Kedua, analisis
wacana merupakan usaha memahami
12 http://lutviah.net/2011/01/14/media-massasurat-kabar/, diakses 25 Desember 2012.
13 Sumarlan (ed), Teori dan Praktik: Analisis Wacana,
Pustaka Cakra, Surakarta, 2003, hlm 12, dalam
Nugrahati Dwi Sulistyowati, Netralitas Media
dalam Kampanye Pilkada (Studi Analisis Wacana
Pemberitaan Kampanye Pilkada Langsung Kabupaten
Purworejo di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat
dan Suara Merdeka Periode 1 Agustus – 1 September
2005)
14 Alex Sobur. Analisis Teks Media, Remaja
Rosdakarya, Bandung 204 hlm 11, dalam Ibid.
15 Ibid, hlm 48, dalam Ibid.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
makna tuturan dalam konteks, teks, dan
situasi. Ketiga, analisis wacana merupakan
pemahaman rangkaian tuturan melalui
interpretasi semantik. Keempat, analisis
wacana berkaitan dengan pemahaman
bahasa dalam tindak berbahasa. Kelima,
analisis wacana diarahkan kepada masalah
memakai bahasa secara fungsional.16
Diantara jenis pendekatan analisis
wacana adalah
pendekatan kognisi
sosial yang dikembangkan oleh pengajar
di Universitas Amsterdam, Belanda,
Teun A Van Dijk. Di samping model
Van Dijk mengelaborasi elemen-elemen
wacana sehingga mudah diaplikasikan17,
pemilihan dengan menggunakan model
analisis Teun A Van Dijk, dari sekian model
analisis wacana, dengan pertimbangan
bahwa model Van Dijk paling relevan
untuk diterapkan dalam tujuan penelitian
yang dilakukan penulis.
Menurut Van Dijk penelitian atas
wacana tidak cukup hanya didasarkan
pada analisis atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi
yang harus juga diamati. Penelitian
mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi
seakan-akan teks adalah bidang yang
kosong, sebaliknya ia adalah bagian
kecil dari struktur besar masyarakat.18
Ia melihat bagaimana struktur sosial
dominasi, dan kelompok kekuasan yang
ada dalam masyarakat dan bagaimana
kognisi/pikiran dan kesadaran yang
membentuk dan berpengaruh terhadap
teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk
digambarkan mempunyai tiga dimensi
bangunan: teks, kognisi sosiai dan konteks
sosial (gambar2).19
16
17
18
19
Ibid, hlm 49, dalam Ibid.
Alex Sobur. Op.Cit. hlm 73, dalam Ibid.
Ibid hlm 222, dalam Ibid.
Ibid, hlm 224, dalam Ibid.
179
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
Metodologi
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian deskriptif kualitatif, artinya
data yang digunakan merupakan data
kualitatif (data yang tidak terdiri atas
angka-angka). Data utama dari penelitian
ini adalah koran Harian Umum Solopos
dan Harian Umum Joglosemar terkait
dengan isu-isu intoleransi beragama
di Indonesia tahun 2012. Penelitian ini
merupakan penelitian analisis wacana
dengan pendekatan kognisi sosial (socio
cognitive approach) yang dikembangkan
oleh Teun A Van Dijk. Penelitian dengan
pendekatan ini banyak digunakan Van
Dijk mengelaborasi beberapa elemen
wacana sehingga bisa diaplikasikan secara
praktis.20
Selain itu data lain diambilkan dari
berbagai literatur yang terkait dengan
pokok persoalan yang diteliti yakni
mengenai intoleransi beragama, media
massa cetak dan analisis wacana.
Sajian Data dan Pembahasan
1. Berita Harian Umum Solopos
Berita dari Solopos sejumlah satu isu
utama yaitu tentang isu konflik Syiah-Sunni
di Sampang, Madura. Sementara jumlah
beritanya dari isu terkait adalah sebanyak
6 berita yaitu “Otak Kerusuhan Sampang
Dibekuk” (Solopos, 29/8/12), “Komnas
HAM Telusuri Kabar Hilangnya 70 Penganut
Syiah” (Solopos, 2/9/12), “Sampang Rusuh,
2 Orang Terbunuh” (Solopos, 27/8/12),
“Warga Syiah di Solo Membaur” (Solopos,
27/8/12), “Warga Syiah di Solo Mengenaskan”
(Solopos, 28/8/12), “Sebagian Warga Syiah
Pilih Bertahan di Hutan” (Solopos, 30/8/12).
Secara tematik, beberapa hal terkait
konflik Syiah di Sampang, Madura dalam
pemberitaan di Harian Umum Solopos
20 Ibid, hal 73, dalam Ibid, hal 69.
180
adalah: penyebab kerusuhan, kronologi
kerusuhan, dalang kerusuhan, dampak
kerusuhan, respons atas kerusuhan dan
sisi lain harmonisasi Syiah-Sunni. Dari
aspek tematik, Solopos dinilai sudah
relatif lengkap dalam memberitakan
konflik Syiah di Sampang dari sejumlah
sudut pandang atau angle yang diangkat.
Setidaknya dari aspek “what” sejumlah
angle pemberitaan Solopos terkait sudah
menjawab pertanyaan publik. Meski
demikian, nampak dari pemberitaan
Solopos adanya kesan tidak netral dimana
dari pengelolaan kesan, Solopos banyak
mengungkap aspek cenderung positif pada
komunitas Syiah dan sejumlah elemen
nonpemerintah, sementara pemberitaan
untuk pemerintah terkesan kurang positif,
cenderung mengkritik.
Secara skematik, Solopos terkesan
menonjolkan
secara
positif
sosok
komunitas Syiah sebagai pihak yang
terkesan terzalimi dan narasumber
nonpemerintah dibanding dengan sosok
komunitas Sunni maupun pemerintah.
Dari semua pemberitaan Solopos, tidak
terdapat informasi dari sudut pandang
komunitas Sunni padahal seharusnya
dilakukan cover both sides atas fakta-fakta
bersifat konflik dari pihak-pihak yang
berkonflik. Pun dengan pemberitaan dari
sudut pandang pemerintah juga terkesan
negatif sebagai pihak yang tersalahkan
meskipun dalam beberapa laporan
beritanya pemerintah dikesankan Solopos
sebagai pihak yang cepat merespons atas
konflik di Sampang itu.
Secara sintaksis, semua aspek dari
elemen sintaksis ada dalam pemberitaan
Solopos terkait isu konflik Syiah yaitu
koherensi,
generalisasi-spesifikasi,
bentuk kalimat, dan abstraksi. Ada kesan
penonjolan bersifat menguntungkan pada
komunitas Syiah pada pemberitaannya
dibanding komunitas Sunni. Warga
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
Syiah dilabeli dengan abtraksi jumlah
sedikit namun dalam posisi “di bawah”
memberikan kesan warga Syiah sebagai
komunitas yang tertindas. Sementara
warga Sunni dilabeli dengan abtraksi
jumlah banyak namun dalam posisi
memberikan kesan sebagai pihak yang
mendzalimi. Sementara pemberitaan
pemerintah cenderung netral terkait
dengan abstraksinya.
Secara
semantik,
pemberitaan
Solopos memberikan kesan cenderung
menguntungkan pada warga Syiah
dengan kesan “serba positif”, “terdzalimi”,
cinta damai, dan peduli. Sementara
warga Sunni dikesankan dengan kesan
cenderung
kurang
menguntungkan
seperti dalang kerusuhan, pembuat onar,
melawan hukum, intoleransi. Sementara
pemberitaan
mengenai
pemerintah
cenderung memberikan kesan berimbang.
Secara positif cenderung dikesankan
pemerintah sebagai pihak yang responsif
dan bertanggung jawab. Secara negatif
pemerintah
cenderung
dikesankan
sebagai pihak yang tidak profesional, lalai,
sehingga terjadi konflik tersebut.
Secara stilistik, konflik di Sampang
dikesankan
sebagai
konflik
besar,
mengerikan, brutal, penuh kerusuhan.
Warga Syiah dikesankan cenderung
menguntungkan sebagai pihak yang cinta
damai namun terzalimi dan kondisinya
memprihatinkan dengan menggunakan
penghalusan kata maupun berlebihan
dalam pemberitaannya, sementara warga
Syiah sebaliknya dikesankan cenderung
kurang
menguntungkan
sebagai
provokator, dalang kerusuhan, emosional,
sadis. Pemberitaan dari angle pemerintah
juga lebih banyak terkesan kurang
menguntungkan dengan menggunakan
kata-kata berlebihan (puffery). Pemerintah
dikesankan sebagai pihak yang tidak
profesional, lalai.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Secara retoris, repetisi dan metafora
memberikan kesan penonjolan positif
pada warga Syiah sebagai pihak yang
toleran, memprihatinkan kondisinya, tidak
bersalah, korban kekerasan. Sementara
pemberitaan
tentang
warga
Sunni
cenderung dikesankan sebagai provokator,
dalang kerusuhan. Pemberitaan tentang
pemerintah cenderung dikesankan sebagai
pihak yang kurang profesional bekerja,
berharap penegakan hukum yang tegas
dan adil.
Secara umum pemberitaan Harian
Solopos tentang isu-isu intoleransi
beragama di Indonesia tahun 2012
tergolong masih minim. Ini terlihat dari
berita yang muncul paling menonjol
dari Solopos hanyalah pemberitaan soal
konflik Syiah di Sampang, Madura. Secara
langsung terkait dengan konteks konflik
komunal tersebut, jumlah beritanya pun
hanya enam berita.
2. Berita di Harian Joglosemar
Untuk berita dari Joglosemar terdapat
tiga isu utama terkait isu intoleransi
beragama di Indonesia tahun 2012 yaitu isu
konflik Syiah-Sunni di Sampang, Madura,
isu soal Jemaah Ahmadiyah serta isu soal
Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia. Isu
Syiah-Sunni di Sampang, Madura adalah
sebanyak tujuh berita, isu Ahmadiyah
adalah sebanyak dua berita dan isu Gereja
Yasmin dan Gereja Philadelphia adalah
sebanyak satu berita.
a. Berita tentang Konflik
Sampang, Madura
Syiah
di
Berita dari Harian Joglosemar terkait
isu konflik Syiah-Sunni di Sampang,
Madura pada tahun 2012 adalah sebanyak
enam berita yaitu “Menag: Tidak Ada
Pembiaran di Sampang” (29/8/12), “Sampang
Rusuh, 2 Tewas. Kapolsek dan 3 Warga
Terluka” (27/8/12), “Pembunuh Kasus Sam­
181
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
pang Ditangkap di Lumajang” (22/9/12),
“Syiah Solo: Fatwa Ulama Biang Tragedi
Sampang” (30/8/12), “Pemerintah Gagal
Lindungi Rakyat” (28/8/12), “Kiai Pemicu
Rusuh Sampang” (27/8/12).
Secara tematik dalam pemberitaan
konflik Syiah di Sampang yang memuat
penyebab
kerusuhan,
kronologi
kerusuhan, dalang kerusuhan, dampak
kerusuhan dan respons atas kerusuhan,
akibat kerusuhan, dan harmonisasi antara
Syiah dengan Sunni.
Secara skematik, ditemukan bahwa
dalam pisau analisis skematik lead serta
story yang ada bahwa Joglosemar dalam
menulis leadnya lebih menggunakan
aspek what, yaitu mengenai apa yang
menjadi isi berita, selain what, Joglosemar
juga menulis tentang aspek Who yang
mana adalah siapa yang menjadi isi dalam
berita tersebut.
Secara semantik, strategi wacana
yang digunakan dalam analisis wacana
ini adalah menggunakan strategi analisis
latar, detail, maksud, pengandaian, dan
penalaran.Dalam analisis sintaksis, berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata
menjadi kelompok kata atau kalimat
dalam berita Joglosemar menulis tentang
beberapa kelompok yang dikategorikan
diantaranya adalah: koherensi yang
terdiri dari koherensi sebab akibat,
koherensi pengingkar, bentuk kalimat
yang ditampilkan diantara adalah
menggunakan kalimat aktif dan kalimat
pasif sehingga subjek dan objek dalam
wacana berita harian Joglosemar dapat
jelas dipahami oleh pembaca.
Secara stilistik yaitu cara yang
digunakan seorang penulis untuk me­
nyata­kan maksudnya dengan meng­
gunakan bahasa sebagai sarana, analisis
harian Joglosemar menggunakan gaya
bahasa puffery, yang artinya menggunakan
kata kasar dalam menggambarkan
182
sesuatu, selain itu Joglosemar tidak
begitu banyak menggunakan majas-majas
yang dilakukan. Penggunaan kalimat
yang dilakukan oleh Joglosemar juga
disampaikan langsung, padat, dan runtut.
Sehingga memudahkan pembaca dalam
hal penyampaian informasi.
Secara stilistik untuk elemen eufemis­
me dan secara retoris untuk elemen
repetisi maupun elemen metafora, pada
pemberitaan di Harian Umum Joglosemar
tahun 2012 terkait kasus konflik komunal
ber­nuansa suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) di Kabupaten
Sampang, Madura, tidak ditemukan
unsur-unsur retoris dari sejumlah berita
yang muncul di surat kabar terkait.
Mengenai alasannya, hal ini terkait dengan
kebijakan internal redaksi mengenai teknis
pemberitaannya termasuk mengenai ada
atau tidaknya elemen-elemen dalam teksteks pemberitaan.
Secara umum pemberitaan Harian
Joglosemar tentang isu-isu intoleransi
beragama di Indonesia tahun 2012 ter­
golong masih minim. Ini terlihat dari
berita yang muncul soal konflik Syiah
di Sampang secara langsung terkait
dengan konteks konflik komunal tersebut,
jumlah beritanya pun tidak banyak hanya
sebanyak enam berita.
b. Berita tentang Ahmadiyah
Berita dari Harian Joglosemar terkait
isu Ahmadiyah pada tahun 2012 adalah
sebanyak dua berita yaitu “Ormas Islam
Jogja Demo. Tuntut Pengajian Ahmadiyah
Tahunan Dibubarkan” (14/1/12) dan “MUI
Ingin Awasi Ketat Ahmadiyah” (16/1/12).
Secara tematik, terkait apa yang
dikatakan dan diamanatkan oleh media
pemberitaan Joglosemar tidak semuanya
memperlihatkan netralitas media. Hal ini
ditemukan dari ketidakseimbangan ruang
yang diberikan terhadap narasumber
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
yang terkait dengan isu-isu tersebut.
Dalam berita tersebut, yang menjadi angle
utama adalah tuntutan-tuntutan yang
muncul untuk membubarkan pengajian
Ahmadiyah. Dengan demikian, jika dilihat
dari struktur makro dari suatu teks telah
memperlihatkan adanya ketidaknetralan
media, maka dengan meneruskan analisis
pada level superstruktur dan struktur
mikro teks akan semakin memperlihatkan
adanya ketidaknetralan media.
Secara skematik, yakni terkait
dengan susunan dan rangkaian teks, pem­
beritaan Joglosemar memperlihatkan ada­
nya ketidaknetalan dalam menyajikan
informasi. Hal ini dapat diamati dari
dijadikannya Ahmadiyah sebagai objek
pemberitaan dalam beberapa berita. selain
itu, konfimasi yang dilakukan kepada
narasumber dari pihak Ahmadiyah juga
dirasa kurang memiliki ruang yang cukup,
dalam hal ini ada ketidakseimbangan
ruang (space) bicara dari pihak-pihak
yang terkait pemberitaan. Dalam berita
berjudul “Ormas Islam Jogja Demo, Tuntut
Pengajian Tahunan Ahmadiyah Dibubarkan”,
Joglosemar tidak melibatkan narasumber
yang berasal dari pihak Ahmadiyah. Hal ini
me­nandakan adanya ketidakseimbangan
dalam pemberitaannya.
Secara semantik, dimana dengan
meng­­gunakan elemen ini tidak hanya
akan mendefinisikan bagian mana yang
penting dari struktur berita, tetapi juga
mengiring ke arah sisi tertentu dari suatu
peristiwa. Secara umum, pemberitaan yang
dilakukan cenderung mengarah kepada
salah satu sisi pemberitaan saja. Dalam hal
ini, Ahmadiyah diibaratkan sebagai objek
yang “berpenyakit”, “membahayakan”,
de­ngan pemberitaan dari sudut utama
pihak yang menentang Ahmadiyah. Se­
hingga pemberitaan Joglosemar menjadi
pem­­beritaan yang tidak sepenuhnya
netral.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Secara sintaksis, dengan melihat
koherensi penjelas dapat dilihat sebagai
bentuk penggambaran aktivitas atau
kronologi yang berkaitan dengan aksi
unjuk rasa untuk menuntut pembubaran
pengajian Ahmadiyah. Deskripsi me­
ngenai kronologi tersebut melibatkan
unsur apa, dimana, dan kapan. Dari
analisis teks berita dengan menggunakan
elemen sintaksis, Joglosemar lebih banyak
menceritakan tentang kecenderungan
bahwa Joglosemar menggunakan sudut
pemberitaan atas salah satu pihak.
Secara stilistik dalam melihat netrali­
tas media Joglosemar, dari piranti eufe­
mis­me yang muncul pihak yang me­
nen­tang kegiatan Ahmadiyah cen­de­
rung diapresiasi secara positif dengan
menggunakan gaya bahasa yang berbeda.
Sementara secara retoris, untuk
pemberitaan di Harian Umum Joglosemar
tahun 2012 terkait isu Ahmadiyah, penulis
tidak menemukan elemen terkait baik
elemen repetisi maupun elemen metafora
dari sejumlah berita yang muncul di surat
kabar terkait. Mengenai alasannya, hal ini
terkait dengan kebijakan internal redaksi
mengenai teknis pemberitaannya termasuk
mengenai ada atau tidaknya elemen
repetisi dalam teks-teks pemberitaan.
Secara umum pemberitaan Harian
Joglosemar tentang isu-isu intoleransi
beragama di Indonesia soal isu Ahmadiyah
tahun 2012 tergolong masih minim. Ini
terlihat dari berita yang muncul soal
isu Ahmadiyah secara langsung jumlah
berita­nya masih terbatas yakni sebanyak
dua berita.
c. Berita tentang Gereja Yasmin dan
Gereja Philadelphia
Berita dari Harian Joglosemar terkait
isu Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia
adalah sebanyak satu berita yaitu berjudul
“Soal Gereja, SBY Diminta Tegas” (30/8/12).
183
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
Secara tematik, terkait apa yang
dikatakan dan diamanatkan oleh media
pemberitaan Joglosemar tidak semuanya
memperlihatkan netralitas media. Hal ini
ditemukan dari ketidakseimbangan ruang
yang diberikan terhadap narasumber
yang terkait dengan isu-isu tersebut.
Narasumber yang mewakili pihak-pihak
tertentu memiliki ruang yang tak seimbang.
Narasumber utama yang menjadi sumber
utama isu pemberitaan berasal dari pihak
pendeta. Minimnya narasumber dari
pihak lain menyebabkan informasi yang
disajikan cenderung tidak seimbang dan
memunculkan angle yang berat sebelah
tanpa adanya konfirmasi dari pihak lain.
Secara skematik, yakni terkait
dengan susunan dan rangkaian teks,
pemberitaan Joglosemar memperlihatkan
adanya ketidaknetalan dalam menyajikan
informasi. Informasi yang disajikan
mengangkat pemberitaan tentang apa
yang terjadi. Penambahan data-data
yang dilakukan lebih untuk menguatkan
gagasan sebelumnya. Misalnya, informasi
yang
menyatakan
bahwa
Perdana
Menteri Jerman, Angela Marker sempat
membahas topik Gereja Yasmin dan
Gereja Philadelphia. Joglosemar ingin
menunjukkan bahwa peristiwa penyegelan
gereja tersebut menimbulkan pro dan
kontra di masyarakat. Hal ini adapat
diukur dari aksi-aksi protes yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu. Setidaknya,
Joglosemar
ingin
memberitahukan
peristiwa apa yang sedang terjadi dan
berusaha menyampaikan indormasi yang
seimbang.
Secara semantik, dimana dengan
menggunakan elemen ini tidak hanya akan
mendefinisikan bagian mana yang penting
dari struktur berita, tetapi juga mengiring
ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa.
Latar yang digunakan berasal dari sudut
pandang pihak GKI Yasmin. Pemberitaan
184
ini juga termasuk fakta sosiologis dan
psikologis. Di mana tuntutan dari
pihak GkI Yasmin yang menjadi inti
pemberitaan. Secara sintaksis, Joglosemar
lebih banyak menceritakan tentang
kecenderungan Joglosemar menggunakan
sudut pemberitaan atas salah satu pihak.
Secara stilistik, dari piranti eufemisme
dan puffery tidak ditemukan dalam teks
berita. Secara umum pemberitaan Harian
Joglosemar tentang isu-isu intoleransi
beragama di Indonesia tahun 2012
tergolong masih minim. Ini terlihat dari
berita yang muncul soal Gereja Yasmin
dan Gereja Philadelphia secara langsung
tersebut, jumlah beritanya pun hanya satu
berita.
Sementara secara retoris, untuk
pemberitaan di Harian Umum Joglosemar
tahun 2012 terkait isu Gereja Yasmin
dan Gereja Philadelphia, penulis tidak
menemukan elemen terkait baik elemen
repetisi maupun elemen metafora dari
sejumlah berita yang muncul di surat
kabar terkait. Mengenai alasannya, hal ini
terkait dengan kebijakan internal redaksi
mengenai teknis pemberitaannya termasuk
mengenai ada atau tidaknya elemen
repetisi dalam teks-teks pemberitaan.
Kesimpulan
1. Secara umum pemberitaan Harian
Solopos dan Harian Umum Joglosemar
tentang isu-isu intoleransi beragama di
Indonesia tahun 2012 tergolong masih
minim. Ini terlihat dari berita yang
muncul paling menonjol dari Solopos
hanyalah pemberitaan soal konflik
Syiah di Sampang, Madura. Secara
langsung terkait dengan konteks konflik
komunal tersebut, jumlah beritanya
hanya enam berita. Sementara Secara
umum pemberitaan Harian Joglosemar
ada tiga isu utama yakni konflik Syiah
di Sampang, Madura, dengan jumlah
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
enam berita, isu Ahmadiyah dengan
dua berita dan isu soal Gereja Yasmin
dan Gereja Philadelphia dengan satu
berita.
2. Untuk pemberitaan soal Syiah di
Sampang, Madura serta Ahmadiyah
di Harian Solopos dan di Harian
Joglosemar, dari sejumlah analisis
elemen dari analisis wacana Teun Van
Dijk yakni tematik, skematik, semantik,
sintaksis, stilistik, dan retoris, muncul
kecenderungan kesan masih belum
netral dimana dari pengelolaan kesan,
Solopos dan Joglosemar banyak
mengungkap aspek cenderung positif
pada komunitas Syiah dan Ahmadiyah
dan sejumlah elemen nonpemerintah.
Solopos
terkesan
menonjolkan
secara positif sosok komunitas Syiah
dan
Ahmadiyah
sebagai
pihak
yang terkesan cinta damai, toleran
namun “teraniaya” dan kondisinya
memprihatinkan. Sementara dari sudut
pandang pihak-pihak yang kontra
komunitas Syiah, komunitas terkait
diberitakan sebagai aliran Islam yang
menyimpang (sesat).
3. Dari pihak nonpemerintah seperti dari
Ormas-Ormas kemasyarakatan, dari
pemberitaan Solopos dan Joglosemar
cenderung muncul kesan sebagai
pihak yang toleran dan “peduli”.
Sementara pihak-pihak yang kontra
komunitas
terkait
diberitakan
cenderung muncul kesan sebagai
pihak yang “menganiaya”, intoleran,
emosional, pemicu masalah.
Dari
pemberitaan
pemerintah
sendiri
muncul kecenderungan kesan sebagai
berita yang mengkritisi pemerintah
sebagai pihak yang kurang cepat
responsif, lambat, kurang tanggap,
kurang profesional bekerja. Meski
demikian sebagian kecil pemberitaan
menonjolkan kesan positif pada
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
pemerintah sebagai pihak yang mau
bertanggung jawab.
4. Untuk isu soal Gereja Yasmin dan Gereja
Philadelphia, muncul kecenderungan
tidak netral Harian Joglosemar dari
pemberitaannya. Muncul kesan bahwa
Gereja Yasmin dan Gereja Philadelphia
sebagai pihak yang teraniaya, kurang
dipedulikan, dan dirugikan, sementara
pemerintah dikesankan sebagai pihak
yang tidak tegas, tidak jelas tanggung
jawabnya sehingga masalah berlarutlarut, sikapnya cenderung selalu
normatif. Ketidaknetralan pemberitaan
Harian Joglosemar karena hanya
mengangkat fakta dari pihak Gereja
Yasmin dan Gereja Philadelphia,
sementara publikasi fakta dari pihak
pemerintah tidak muncul dalam
pemberitaan.
Saran
1. Kepada pihak komunitas Syiah,
disarankan
hendaknya
berupaya
mengembangkan
sikap
toleransi
internal maupun eksternal umat
beragama,
giat
membangun
kebersamaan dengan berbagai elemen
lain seperti yang dilakukan komunitas
Syiah di Solo, berusaha sungguhsungguh menghindari segala gesekan di
masyarakat, menghindari ekslusifitas,
mengembangkan sikap beragama yang
inklusif, serta giat mempromosikan
diri sebagai elemen bangsa yang cinta
damai, toleran, peduli serta tidak
tergolong sebagai aliran sesat dalam
ajaran Islam.
2. Kepada pihak Sunni, disarankan agar
berusaha
mengembangkan
sikap
toleransi internal maupun eksternal
umat beragama, giat membangun
dialog dan kebersamaan dengan
berbagai elemen lain terutama warga
Syiah, menjaga diri dari potensi185
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
potensi yang bisa meletupkan konflik,
mengembangkan sikap beragama
yang inklusif, serta meneguhkan Islam
moderat sebagai rahmat bagi semesta
alam (rahmatan lil alamin).
3. Kepada umat Islam selain komunitas
Syiah dan Sunni, hendaknya selalu
mengedepankan
toleransi
dalam
beragama internal dan eksternal
beragama, menggiatkan dialog serta
kebersamaan yang kondusif serta
perdamaian di masyarakat, tidak
melibatkan diri dalam aktifitasaktifitas yang bisa menimbulkan dan
memperkeruh suasana tidak kondusif
di masyarakat dan menghindarkan
diri sikap beragama yang eksklusif,
mengembangkan sikap beragama yang
inklusif,
serta meneguhkan Islam
moderat sebagai rahmat bagi semesta
alam (rahmatan lil alamin).
4. Kepada umat beragama lain selain
Islam, disarankan agar hendaknya
selalu mengedepankan toleransi dalam
beragama, menghindari diri dari sikap
eksklusif,
mengembangkan
sikap
beragama yang inklusif, menggiatkan
dialog dan kebersamaan yang kondusif
serta kampanye perdamaian di
masyarakat.
5. Kepada
penyelenggara
negara,
disarankan hendaknya giat mendorong
dialog kebersamaan dan perdamaian
internal dan eksternal umat beragama,
menjaga
kondusifitas
kehidupan
beragama
di
masyarakat,
serta
menegakkan hukum secara tegas
dan adil terhadap setiap pelanggaran
yang bisa menimbulkan kondisi tidak
kondusif di kehidupan beragama dan
bermasyarakat.
6. Kepada pihak media massa khususnya
Harian Solopos dan Harian Joglosemar,
disarankan agar mematuhi standar
penulisan berita profesional yang
186
mengedepankan kode etik jurnalistik
seperti cover both side, independen,
nonpartisan, berimbang dan sebagai­
nya. Dengan demikian publikasi
kepada publik adalah pemberitaan
yang profesional dan bermartabat.
Daftar Pustaka
Azyumardi
Azra,
(2007).
Merawat
Kemajemukan
Merawat
Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius
Alex Sobur. (2006). Analisis Teks Media,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nugrahati Dwi Sulistyowati, Netralitas
Media dalam Kampanye Pilkada (Studi
Analisis Wacana Pemberitaan Kampanye
Pilkada Langsung Kabupaten Purworejo
di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat
dan Suara Merdeka Periode 1 Agustus –
1 September 2005). Surakarta: Prodi Ilmu
Komunikasi FISIP UNS.
Sumarlan, 2003, Teori dan Praktik: Analisis
Wacana, Surakarta: Pustaka Cakra.
Wijaya, Sri Herwindya Baskara, (2012),
Pendidikan Karakter Bangsa dalam
Novel: (Studi tentang Pesan NilaiNilai Pendidikan Karakter Bangsa
Menggunakan Pendekatan Semiologi
Komunikasi dalam Novel Nonfiksi
“Habibie & Ainun” Karya BJ Habibie
dan Belahan Jiwa Karya Rosihan Anwar.
Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi
FISIP UNS.
Pendidikan karakter sebuah wacana, diakses
lewat situs http://lenterakecil.com/
pendidikan-berkarakter-sebuahwacana/, 6 Januari 2012 pukul 20.00
WIB;
Karakter bangsa, diakses lewat situs http://
karakterbangsa.net/Our-Services/
Cakes-Cookies/MembangunKarakter-Bangsa.html, Sabtu, 7 April
2012 pukul 20.00 WIB.
Karakter Bangsa, diakses lewat situs
http://karakterbangsa.net/Latest/
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
pengertian.html, Sabtu, 7 April 2012
pukul 20.30 WIB.; Ibid.
http://sosbud.kompasiana.
com/2012/10/07/toleransi-antarumat-beragama-usaha-meredamkonflik-499776.html)., diakses 25
Desember 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Koran,
diakses 25 Desember 2012.
http://lutviah.net/2011/01/14/mediamassa-surat-kabar/,
diakses
25
Desember 2012.
http://www.metrotvnews.com/read/
newsvideo/2012/10/21/162279/LSIToleransi-Beragama-di-IndonesiaMenurun), diakses 25 Desember 2012.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
187
Sri Herwindya BW, dkk. Media Massa dan Intoleransi ...
188
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 189-202
Konstruksi Media Kompas On-line terhadap Peristiwa
Pengungsi Rohingya
Aryanto Budhy Sulihyantoro
Subagyo
Cynthia Putri
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Tragedy related to the ethnic Rohingya in Myanmar was widely reported in the mass
media throughout the month of June to August 2012. This tragedy began with the issue
of rape of a woman whose ethnic Rakhine Buddhists by a swarm of men ethnic Rohingya
Muslim minority. Rakhine ethnic group revenged so some Rohingya youths were killed.
The conflict sparked a larger conflict between the majority Buddhist population with the
Muslim Rohingya minority. This clash became the news for media to bring reality with
their perspective to the readers. Kompas On-line, a major media in Indonesia, reported
the incident. Construction of reality presented by the media Kompas On-line examined
through analysis of Entman’s frame models to determine the ideology of the media in
presenting the reality. Kompas On-line constructed the tragedy as a humanitarian event,
that is criminal actions triggered by some Rohingya men raped Buddhist Rahine woman.
Key words: media construction, refugee, Rohingya
Pendahuluan
Pada awal bulan Juni 2012 terjadi
kerusuhan etnik di negara bagian Rakhine
(dahulu Arakan)
Myanmar. Bentrok
antara etnik minoritas Muslim dengan
mayoritas Budhis dipicu adanya isu
perkosaan dan pembunuhan seorang
perempuan Rahkine oleh 3 orang Muslim
Rohingya. Dikabarkan 300 orang Budhist
Rakhine membunuh 10 orang Muslim
Rohingya (Kate dan Freedman, 14 Juni
2012). Kerusuhan ini mengakibatkan
puluhan orang terbunuh, sebagian besar
diantaranya adalah etnik minoritas Muslim
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Rohingya sehingga pemerintah Myanmar
menyatakan keadaan darurat di negara
bagian ini. Serangkaian tindakan represif
pemerintah segera diberlakukan kepada
etnik Rohingya (Satyawan, Agustus 2012).
Tindakan represif ini bukanlah
pertama kali di tujukan kepada etnik
Rohingya. Sejak Myanmar berdiri,
pemerintah telah menerapkan kebijakan
yang diskriminatif. Presiden Myanmar
Thein Sein pernah menyatakan akan
mengusir kaum Rohingya jika ada negara
ketiga yang mau menampung mereka
(Alam, t.t.). Kebijakan pembersihan etnik
di Myanmar menuai kecaman dunia
189
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
internasional. Uniknya Aung San Suu
Kyi, ikon demokrasi Myanmar yang baru
saja dibebaskan dari tahanan rumah dan
berhasil memenangkan kursi di parlemen,
ketika ditanya mengenai persoalan
Rohinggya sewaktu berkunjung ke Eropa,
tidak memberi jawaban tegas. Bahkan ia
tidak tahu jika Rohingya adalah minoritas
di Myanmar dan akan mempelajari
secara seksama undang-undang yang
berkaitan dengan etnik di Myanmar
(Detikislam.com, 15 Juli 2012). Jawaban
yang mengambang ini mengecewakan
bagi kelompok-kelompok prodemokrasi
internasional.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa
pemerintah Myanmar sampai saat ini
belum mengakui etnik ini sebagai warga
negaranya. Berdasarkan Undang Undang
Kewaganegaraan Myanmar 1982, etnik
yang diakui sebagai warga negara adalah
etnik yang telah ada di Myanmar sebelum
datangnya kolonial Inggris tahun 1824.
Tercatat ada 135 etnik dan etnik Rohingya
tidak termasuk didalamnya (Haque, 11
Februari 2010; Lewa, t.t.).
Hal ini berarti Rohingya bukan bagian
etnik yang menyusun bangsa Myanmar
dan konsekwensinya mereka bukan warga
negara Myanmar melainkan imigran
yang tinggal di Myanmar dan sewaktuwaktu dapat diusir. Ketika pemerintah
junta militer berkuasa sejak tahun 1962,
mereka bertindak sangat represif dan
diskriminatif terhadap etnik Rohingya.
Terjadi eksodus besar-besaran pada tahun
1978 dan 1991-1992. Kebanyakan mereka
pergi ke Bangladesh dan sebagian pergi
ke Thailand, Malaysia dan ke negaranegara lainnya. Diperkirakan jumlah etnik
Rohingya yang tinggal di Myanmar ada
800.000 orang, 28.000 di tampung di dua
kamp pengungsian di Bangladesh yang di
tangani oleh organisasi PBB untuk urusan
pengungsi (UNHCR), 200.000 tinggal
190
secara illegal di wilayah Bangladesh
disepanjang perbatasan dengan Myanmar
dan selebihnya menjadi imigran gelap di
negara-negara lain (Kate & Freedman, 14
Juni 2012).
Pemberitaan yang berkaitan dengan
konflik etnik di Myanmar dan pen­
deritaan pengungsi Rohingya sangat
massif di media massa. Untuk konteks
di Indonesia, ada banyak media yang
menghadirkan peristiwa Rohingya dalam
pemberitaannya. Artikel ini menguraikan
bagaimana realitas atas peristiwa Rohingya
dihadirkan oleh media Kompas on-line
melalui pemberitaannya kepada para
pembaca mulai tanggal 10 Juni sampai
dengan 10 Agustus 2012.
Tinjauan Pustaka
1. Konstruksi Sosial
Studi tentang konstruksi sosial
atas realitas bukanlah hal baru dalam
khasanah ilmu sosial. Studi ini dipelopori
oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman
yang meyakini bahwa realitas adalah
hasil ciptaan manusia belaka. Realitas
sosial merupakan konstruksi sosial
yang diciptakan oleh individu. Dengan
demikian, individu menjadi penentu
dalam dunia sosial yang dikonstruksikan
berdasarkan kehendaknya (Berger dan
Luckman, 1990). Maka dengan demikian,
cara pandang konstruktivisme ini melihat
realitas sebagai konstruksi sosial yang
diciptakan oleh individu yang bebas.
Oleh karena itu, kebenaran menurut
cara pandang semacam ini adalah nisbi,
yang hanya berlaku sesuai dengan
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh
pelakunya (Hidayat, 1999).
Secara demikian, konstruksi sosial
atas realitas dapat didefinisikan sebagai
proses sosial melalui tindakan dan interaksi
dimana individu menciptakan secara
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
terus-menerus suatu realitas yang dimiliki
dan dialami bersama secara subyektif
(Poloma, 1994). Berger dan Luckman (1990)
mengembang beberapa asumsi antara lain
pertama, realitas merupakan proses kreatif
ciptaan manusia. Kedua, hubungan antara
pemikiran manusia dan konteks sosial
tempat pemikiran itu timbul, bersifat
berkembang dan dilembagakan. Ketiga,
kehidupan masyarakat itu dikonstruksi
secara terus menerus
Konstruksi sosial atas realitas pun
terjadi dalam proses kreatif media massa.
Media massa pada saat ini berperan aktif
dalam menghadirkan realitas sesuai
dengan pandangannya. Dalam hal ini
ada dua konsep dalam melihat realitas
yang direfleksikan media. Pertama, konsep
media secara aktif yang memandang
media sebagai partisipan yang turut
mengkonstruksi pesan sehingga muncul
pandangan bahwa tidak ada realitas
sesungguhnya dalam media. Kedua,konsep
media secara pasif yang memandang media
hanya sebagai saluran yang menyalurkan
pesan-pesan sesungguhnya, dalam hal
ini media berfungsi sebagai sarana yang
netral, media menampilkan suatu realitas
apa adanya (http://karakterbangsa.net/
Latest/pengertian.html).
2. Analisis Framing
Pada intinya, analisis bingkai adalah
varian akhir dari pendekatan analisis
wacana, khususnya untuk menganalisis
teks. Bingkai pada awalnya dimaknai
sebagai
struktur
konseptual
yang
mengorganisasi
pandangan
politik,
kebijakan ataupun suatu wacana yang
dibarengi penyediaan kategori-kategori
standar untuk mengapresiasi realitas.
Dalam ilmu komunikasi, konsep bingkai
digunakan untuk menggambarkan proses
penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek
khusus sebuah realita oleh media (Sobur,
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
2004).
Secara lebih khusus, analisis bingkai
dipergunakan untuk membedah cara-cara
atau ideologi media saat mengkonstruksi
fakta dengan menggunakan berbagai
srategi seleksi, penonjolan, pertautan fakta
kedalam berita agar lebih bermakna, lebih
menarik, sehingga lebih mudah diingat
dalam upaya menggiring intepretasi
khalayak sesuai dengan perspektifnya
(Sobur, 2004). Analisis bingkai merupakan
salah satu pendekatan untuk memahami
bagaimana
cara
pandang
media
(wartawan) ketika menyeleksi isu dan
menulis berita. Cara pandang ini pada
akhirnya menentukan fakta apa yang
diambil, bagian mana yang ditonjolkan
atau dihilangkan serta hendak diarahkan
kemana berita tersebut ditulis (Eriyanto,
2011).
Robert Entman mengembangkan
model analisis dengan menggunakan
empat cara yaitu pertama, mengidentifikasi
masalah yaitu peristiwa dilihat sebagai
apa dengan nilai positif atau negatif
seperti apa. Kedua, identifikasi penyebab
masalah yaitu siapa yang dianggap
penyebab masalah. Ketiga, evaluasi moral
yaitu evaluasi atas penyebab masalah.
Keempat, saran penanggulangan masalah
yaitu penawaran suatu cara penanganan
masalah dan kemungkinan prediksi
hasilnya (Sobur, 2004).
Hasil dan Pembahasan
Kompas on-line (Kompas.com) meng­
kategorikan berita tentang pengungsi
Rohingya ke dalam 7 isu yaitu (1) dampak
konflik, (2) permasalahan pengungsi, (3)
keterlibatan aparat keamanan Myanmar,
(4) aksi demonstrasi, (5) bantuan ke­
manusiaan, (6) posisi Indonesia, dan (7)
rombongan Jusuf Kalla mendapat akses
mengunjungi Rakhine.
191
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
1. Pendefinisian Masalah
Dalam kurun waktu antara 10 Juni
– 10 Agustus 2012, Kompas.com telah
mengangkat berbagai fokus permasalahan
seputar peristiwa Rohingya ke dalam 20
judul pemberitaannya. Dalam konteks
peristiwa Rohingya – pada proses tersebut
Kompas.com mengelimisasi aspek-aspek
tertentu yang tidak layak dijadikan
berita dan memberi perhatian lebih pada
beberapa aspek berikut:
Isu dampak konflik. Berdasarkan
analisis bingkai terhadap pemberitaan
Kompas.com, dalam kurun waktu 10 Juni
– 10 Agustus 2012 pemberitaan Kompas.
com mengetengahkan permasalahan yang
secara garis besar dapat dikategorikan
sebagai dampak konflik, yang tertuang
dalam: pemberlakuan jam malam di
empat kota negara bagian Rakhine oleh
Pemerintah Myanmar; pengumuman
kondisi gawat darurat di Rakhine oleh
Presiden Myanmar Thein Sein; penarikan
sementara staf PBB di Rakhine; kerugian
harta benda dan korban jiwa yang terus
bertambah. Jumlah korban jiwa pada
berita berjudul “KONFLIK MYANMAR Korban Tewas Capai 29 Orang”, edisi Jumat,
15 Juni 2012, mencapai 29 jiwa. Sedangkan
memasuki berita berjudul “ROHINGYA
Bukan Konflik Etnis dan Agama”, edisi
Jumat, 10 Agustus 2012, korban jiwa telah
mencapai 70 orang.
Isu permasalahan pengungsi. Se­
lama pemberitaan dalam kurun waktu
10 Juni – 10 Agustus 2012 Kompas.com
turut melakukan pembingkaian terhadap
dinamika yang dialami oleh para pe­
ngungsi dalam konflik yang terjadi
antara warga Budha dan etnis Rohingya
di Myanmar. Pembingkaian pengungsi
tersebut diantaranya dilakukan pada:
(a) pengungsi Rakhine, yakni pengungsi
yang merupakan warga Rakhine, (b)
pengungsi Rohingya, yakni pengungsi
192
yang merupakan warga etnis Rohingya,
(c) pengungsi pada umumnya, yakni
pengungsi yang dapat dimaknai sebagai
gabungan dari kedua pihak sekaligus.
Isu keterlibatan aparat. Ketika
konflik Rohingya di Myanmar meletup,
isu keterlibatan junta militer; aparat
keamanan; atau pasukan militer Myanmar
dalam menangani konflik turut mewarnai
pemberitaan Kompas.com. Dalam pem­
beritaan ini diantaranya disampaikan
adanya tuduhan sekaligus penyesalan
terhadap keterlibatan pasukan keamanan
Myanmar dalam kekerasan yang dialami
Muslim Rohingya. Aparat pemerintah
Myanmar diketahui hanya melihat dan
berdiam diri ketika kekerasan terjadi
bahkan menembaki Muslim Rohingya
ketika mereka berusaha menyelamatkan
rumah mereka yang terbakar. Aparatur
berwenang bahkan ikut menjarah rumah,
toko, maupun harta milik warga Rohingya
juga. Tidak cukup sampai disitu, ratusan
warga Rohingya Muslim ditangkap
dengan di antaranya diduga telah dipukuli
dan disiksa.
Isu aksi demontrasi. Ketika konflik
Rohingya di Myanmar mencuat, sejumlah
aksi demonstrasi terjadi di beberapa negara
untuk menanggapi apa yang menimpa
warga Muslim Rohingya di Myanmar.
Sejumlah aksi tersebut lantas tidak luput
dibingkai ke dalam pemberitaan oleh
Kompas.com. Aksi demonstrasi yang ditulis
Kompas.com diantaranya dilakukan oleh
Masyarakat Peduli Rohingya (MPR),
Forum Umat Islam (FUI), dan warga etnis
Muslim Rohingya di Malaysia – termasuk
pengungsi Rohingya dari Rakhine di
Malaysia. MPR menggelar aksi yang ia
sebut sebagai aksi solidaritas ini di depan
kantor Dubes Myanmar, Jakarta Pusat,
pada Kamis, 9 Agustus 2012. Untuk FUI,
ia menggelar aksi demo yang merupakan
bentuk kepedulian ini di Bunderan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
Hotel Indonesia, pada Jumat 16 Juli 2012.
Sedangkan warga etnis Muslim Rohingya
di Malaysia menggelar aksi unjuk rasa di
depan Kedutaan Besar Myanmar di Kuala
Lumpur, Malaysia, pada Jumat, 15 Juni
2012. Dalam aksinya ini mereka meminta
agar kekerasan terhadap umat Muslim
Rohingya dihentikan.
Isue bantuan kemanusiaan. Men­­
cuat­nya konflik Rohingya di Myanmar
membuat
sejumlah
organisasi
ke­
manusia­an tergerak untuk memberikan
bantuan bagi mereka. Pemberian bantuan
yang dibingkai oleh Kompas.com antara
lain adalah pemberian bantuan yang
dilakukan oleh organisasi kemanusiaan
asal Indonesia, yakni: Dompet Dhuafa,
PKPU, dan Rumah Zakat, dan organisasi
kemanusiaan dunia: WFP dan UNHCR.
Isu peranan Indonesia. Dalam se­
jumlah pemberitaannya Kompas.com turut
membingkai peranan Indonesia dalam
konflik yang terjadi di Myanmar 2012
lalu. Baik peranannya bagi Myanmar
maupun bagi penduduk Rohingya. Dalam
berita “Pramono: Perjelas Pembelaan untuk
Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012,
Kompas.com mengetengahkan masalah
Pemerintah Indonesia dalam memperjelas
posisinya untuk membela etnik Rohingya.
Sedangkan berita “Myanmar Terbuka
untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat, 10
Agustus 2012, Kompas.com secara tersirat
mengetengahkan
masalah
mengenai
keterlibatan Indonesia dalam kejelasan
duduk persoalan peristiwa yang melanda
Rakhine bagi dunia Internasional.
Isu rombongan Jusuf Kalla. Ketika
konflik Rohingya meletus, mantan Wakil
Presiden RI yang sekaligus menjabat
sebagai Ketua Umum Palang Merah
Indonesia Jusuf Kalla berkunjung ke
Myanmar beserta Rombongan. Dalam
rombongan tersebut diantaranya adalah
Asisten Deputi Sekretaris Jenderal OKI
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Atta El-Manan Bakhit dan Duta Besar RI
untuk Myanmar, Sebastianus Sumarsono.
Kedatangan Jusuf Kalla dan rombongan
ini diterima oleh Presiden Myanmar Thein
Sein di Istana Kepresidenan Myanmar di
Nay Pyi Taw pada Jumat, 10 Agustus 2008.
Dalam pertemuan ini, Presiden Myanmar
Thein Sein memberi Jusuf Kalla akses untuk
mengunjungi warga Rohingya di Rakhine,
Myanmar, guna melihat langsung kondisi
di daerah konflik tersebut.
2. Analisis Kasus
Berbagai
permasalahan
yang
diungkap oleh Kompas.com ketika konflik
Rohingya di Myanmar tahun 2012
lalu mencuat, memiliki latar belakang
permasalahan
yang
juga
beragam
atau berbeda-beda. Latar belakang
permasalahan atau penyebab masalah ini
dapat diperkirakan dengan meninjau siapa
yang dianggap sebagai penyebab masalah
atau apa yang dianggap sebagai penyebab
dari suatu masalah di dalam pemberitaan.
Isu dampak konflik. Pemberlakuan
jam malam di empat kota negara bagian
Rakhine oleh Pemerintah Myanmar;
pengumuman kondisi gawat darurat
di Rakhine oleh Presiden Thein Sein;
penarikan sementara staf PBB di Rakhine;
kerugian harta benda dan korban jiwa
yang terus bertambah adalah serentetan
dampak akumulatif dari konflik Rohingya
yang terjadi di Myanmar 2012 lalu. Dalam
memberitakan penyebab masalah yang
mengawali munculnya dampak tersebut,
Kompas.com menyajikan beberapa pokok
penyebab permasalahan yang nyaris sama
secara garis besar antara satu berita dengan
berita yang lainnya.
Secara
garis
besar
dampakdampak di atas terjadi akibat adanya
berita pemerkosaan dan pembunuhan
perempuan Budha yang dituduhkan
dilakukan oleh umat Muslim. Akibat
193
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
penerimaan
informasi
yang
salah
mengenai pelaku pembunuhan dan
pemerkosaan yang tengah berada di dalam
sebuah bus berpenumpang umat Muslim,
masyarakat Budha Rakhine pun kemudian
menyerang bus tersebut. Akibatnya,
sepuluh warga Muslim Rohingya tewas
dalam penyerangan ini.
Dalam
pemberitaan
mengenai
penyerangan bus, berita Kompas.com
berjudul “Kondisi Gawat Darurat di Rakhine,
Myanmar,” edisi Senin, 11 Juni 2012
khusus membingkai kronologi peristiwa
awal kerusuhan dengan memberi sub
judul “Salah informasi.” Salah informasi ini
terjadi kepada masyarakat Budha Rakhine
yang mempercayai bahwa sejumlah
penumpang di dalam bus adalah pelaku
pembunuhan dan pemerkosaan seorang
perempuan Budha yang terjadi Mei 2012
sebelumnya.
Akibat serangan di dalam bus yang
menewaskan sepuluh warga Muslim
tersebut, aksi saling balas, saling serang,
main hakim sendiri tidak terhindarkan
diantara kedua belah pihak. Gelombang
kerusuhan; kekerasan; kekacauan ber­
darah bernuansa sectarian; gangguan
keamanan pun semakin meningkat dan
meluas. Sehingga dampak-dampak yang
telah disebutkan sebelumnya muncul
akibat peristiwa tersebut.
Selain itu, masih dalam konteks berita
yang berbicara mengenai dampak konflik,
Kompas.com turut mengetengahkan sebab
dalam konflik sektarian dengan mengutip
pernyataan utusan PBB yang sekaligus
bertugas sebagai pelapor khusus hak asasi
manusia untuk Myanmar Ojea Quintana.
Menurutnya, akar permasalahan konflik
sektarian yang bergulir berasal dari
adanya diskriminasi atas minoritas etnis
dan pemeluk agama yang terus terjadi
kepada warga Muslim Rohingya di negara
bagian Rakhine.
194
Namun membaca berita berjudul
“ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan
Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012,
Kompas.com mengutip penjelasan Jusuf
Kalla mengenai hasil pertemuannya
dengan Thein Sein bahwa masalah berawal
dari adanya aksi kriminalitas anak muda
yang mengakibatkan aksi saling balas
dan memicu kerusuhan yang lebih besar.
Sekaligus dalam berita ini – yang memiliki
kaitan yang sama dengan diskriminasi
pada berita “Korban Tewas Capai 29 Orang,”
edisi Jumat, 15 Juni 2012 - dikatakan bahwa
UU Kewarganegaraan Myanmar tahun
1982 juga merupakan akar permasalahan
diskriminasi terhadap warga Rohingya.
Hal ini bukan lagi diungkapkan Ojea
Quintana melainkan diungkapkan oleh
Wakil Direktur Asia HRW Robertson.
Isu permasalahan pengungsi Dalam
pemberitaan berjudul “Korban Tewas
Capai 29 Orang” edisi Jumat, 15 Juni
2012, dikatakan bahwa permasalahan
pengungsi Rakhine disebabkan oleh
meluasnya kerusuhan berdarah bernuansa
sektarian dan aksi main hakim sendiri
antara minoritas Rohingya dan mayoritas
Buddhis di Rakhine, Myanmar. Akibat
peristiwa tersebut sedikitnya 31.900
warga Rakhine terpaksa mengungsi dan
ditampung di 37 kamp penampungan di
sejumlah tempat di provinsi sebelah barat
Myanmar.
Latar
belakang
mengungsinya
warga Muslim Rohingya ke Bangladesh
adalah adanya kerusuhan; kekacauan;
ke­kerasan yang marak terjadi antara
mayoritas Budha dan minoritas Rohingya
di Myanmar. Akibat kondisi demikian,
warga Muslim Rohingya berupaya untuk
menyelamatkan diri ke Bangladesh.
Namun, upaya untuk menyelamatkan diri
ini gagal ketika pemerintah Bangladesh
justru menutup diri dengan menolak para
pengungsi Rohingya dan meminta mereka
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
untuk kembali ke Myanmar.
Sejumlah pemberitaan yang memiliki
kaitan dengan permasalahan penolakan
pengungsi Rohingya di Bangladesh,
antara lain: “PBB Tarik Sementara Staf
dari Rakhine, Myanmar,” edisi Selasa, 12
Juni 2012; “Sekitar 90.000 Warga Myanmar
Mengungsi,” edisi Rabu, 20 Juni 2012,
dan “Banglades Larang Badan Amal Bantu
Rohingya,” edisi Kamis 2 Agustus 2012.
Pada berita Kompas.com berjudul
“Korban Tewas Capai 29 Orang,” edisi Jumat,
15 Juni 2012, berdasarkan susunan fakta
di dalam berita tersebut, dapat diketahui
bahwa
Kompas.com
menempatkan
pemerintah Bangladesh sebagai pihak
yang bersalah, sekalipun fakta sosial
permasalahan tidak dipaparkan di
dalamnya.
Penempatan
Bangladesh
sebagai pihak penyebab masalah atau
pihak yang bersalah ini melainkan berdasar
pada penggunaan diksi “kecaman” dan
“cemas” dalam pembingkaian peristiwa
penolakan pengungsi Rohingya oleh
Bangladesh.
Jika meninjau berita “Jusuf Kalla
Datangi Lokasi Konflik Rohingya,” edisi 10
Agustus 2012, maka masalah pengungsi
yang berkaitan dengan konflik atau
pertikaian antara warga Budha dan
Rohingya di Myanmar ini hanya
dipaparkan sebatas adanya aksi kriminal
dalam masyarakat yang berujung pada
konflik komunal.
Isu keterlibatan aparat. Ketika
konflik Rohingya di Myanmar meletup,
isu keterlibatan junta militer; aparat
keamanan; atau pasukan militer Myanmar
dalam menangani konflik turut mewarnai
pemberitaan Kompas.com. Dalam pem­
beritaan ini diantaranya disampaikan
adanya tuduhan sekaligus penyesalan
terhadap keterlibatan pasukan keamanan
Myanmar dalam kekerasan yang dialami
Muslim Rohingya. Aparat pemerintah
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Myanmar diketahui hanya melihat dan
berdiam diri ketika kekerasan terjadi
bahkan menembaki Muslim Rohingya
ketika mereka berusaha menyelamatkan
rumah mereka yang terbakar. Aparatur
berwenang bahkan ikut menjarah rumah,
toko, maupun harta milik warga Rohingya
juga. Tidak cukup sampai di situ, ratusan
warga Rohingya Muslim ditangkap
dengan di antaranya diduga telah dipukuli
dan disiksa.
Menanggapi isu tersebut Pemerintah
Myanmar menolak keras tuduhan oleh
sejumlah pihak tentang kekerasan dan
penggunaan kekuatan secara berlebihan
oleh pihak berwenang. Tanggapan
ini dimuat di dalam berita berjudul
“HRW: Myanmar Biarkan Kekerasan pada
Rohingya” edisi Rabu, 1 Agustus 2012.
Sedangkan dalam kalimat yang lebih
singkat, Kompas.com dalam beritanya
yang berjudul “Amnesty: Muslim Rohingya
Terus Alami Kekerasan” edisi Sabtu, 21 Juli
2012, menuliskan: “Pemerintah Myanmar
menyebut tuduhan itu bias dan tidak berdasar.”
Isu aksi demontrasi. Aksi demons­
trasi yang juga disebut sebagai aksi
solidaritas dan kepedulian dalam pem­
beritaan Kompas.com ini berkaitan dengan
adanya kekerasan yang dialami oleh etnis
Muslim Rohingya di Myanmar. Dalam
berita berjudul “Pengungsi Rohingya
Berdemo di Malaysia” edisi Jumat, 15 Juni
2012, dapat diketahui bahwa menurut para
demonstran di Malaysia kekerasan yang
terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar
merupakan kejahatan genosida dan
kekerasan yang berlatar belakang agama.
Makna genosida ini sedikitnya
senada dengan pemaparan peristiwa
yang terjadi pada etnis Rohingya di
Myanmar dalam berita “Masyarakat Peduli
Rohingya Unjuk Rasa di Kedubes Myanmar,”
edisi Kamis, 9 Agustus 2012. Berita ini
mengisahkan bahwa Rohingya Myanmar
195
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
mengalami berbagai kekerasan bahkan
pembunuhan oleh kelompok ekstrimis
dan di dalamnya Pemerintah Myanmar
dibingkai oleh Kompas.com sebagai pihak
yang terkesan bersikap acuh terhadap
peristiwa tersebut. Para demonstran di
Malaysia juga menerima kabar bahwa
situasi menjadi lebih buruk dan kekerasan
semakin meningkat sekalipun junta militer
telah menginformasikan bahwa situasi di
Myanmar sudah lebih baik.
Isu bantuan kemanusiaan. Pemberian
bantuan kepada para pengungsi, baik di
Myanmar maupun Bangladesh diawali
dengan meletusnya konflik antara warga
Budha dan Rohingya di Myanmar. Khusus
bagi keberangkatan tiga tim kemanusiaan
dan bantuan medis asal Indonesia, Kompas.
com menulis bahwa kondisi kesehatan,
pendidikan, dan penyediaan sanitasi
korban Muslim Rohingya menjadi faktor
pendorong adanya gerakan kepedulian
yang tujuannya untuk merehabilitasi
mereka. Pemberitaan ini terdapat di dalam
berita berjudul “Bantuan untuk Rohingya
Capai Rp 1 Miliar,” edisi Kamis, 2 Agustus
2012. Meskipun demikian, dalam berita ini
peristiwa apa yang menyebabkan warga
Muslim Rohingya menjadi korban tidak
dijelaskan di dalamnya.
Isu peranan Indonesia. Permasalahan
yang
mengetengahkan
Pemerintah
Indonesia untuk memperjelas posisinya
dalam membela etnik Rohingya yang
ditulis di dalam berita “Pramono: Perjelas
Pembelaan untuk Rohingya,” edisi Rabu,
1 Agustus 2012, dilatarbelakangi oleh
timbulnya berbagai kecaman keras dari
masyarakat Indonesia berkaitan dengan
perlakuan terhadap etnik Rohingya.
Namun bagaimana perlakuan terhadap
etnik Rohingya ini tidak dipaparkan di
dalam berita. Sedangkan didalam berita
“Myanmar Terbuka untuk Bantuan Asing,”
edisi Jumat, 10 Agustus 2012 yang menyoal
196
masalah peran
Myanmar.
Indonesia
terhadap
Isu rombongan Jusuf Kalla. Dalam
ketiga berita mengenai pemberian akses
kepada Jusuf Kalla dan rombongan, dapat
diketahui bahwa pemberian kesempatan
ini bertujuan agar mereka dapat melihat
fakta lapangan yang sebenarnya. Pasalnya,
pemberitaan yang simpang siur akibat
adanya anggapan bahwa pemerintah
Myanmar belum terbuka dan berita yang
memojokkan pemerintah Myanmar selama
ini menyebabkan masyarakat Internasional
menjadi salah tafsir atas apa yang terjadi di
Rakhine. Demikianlah yang diungkapkan
dalam berita “Jusuf Kalla Datangi Lokasi
Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus
2012, dan “Thein Sein Beri Jusuf Kalla Akses
ke Rohingya” edisi Jumat, 10 Agustus 2012.
Mengenai pemberitaan yang tidak
tepat, secara lebih detail berita Kompas.
com berjudul “Jusuf Kalla Datangi Lokasi
Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus
2012, menyebutkan bahwa pemberitaan
yang tidak tepat tersebut antara lain: (1)
pemberitaan yang mengatakan bahwa
terjadi konflik etnis yang berujung pada
konflik agama, (2) pemberitaan yang
mengatakan bahwa Pemerintah Myanmar
seakan tidak bekerja sama sekali untuk
menangani konflik. Sedangkan menurut
pemberitaan Kompas.com berjudul “Thein
Sein Beri Jusuf Kalla Akses ke Rohingya” edisi
Jumat, 10 Agustus 2012, insiden Rohingya
tidak memiliki kaitan dengan konflik etnis
dan agama, melainkan sebuah tindakan
kriminal.
3. Penilaian Moral
Kompas.com dalam melakukan pem­
bingkaian terhadap peristiwa Rohingya,
turut memberikan sejumlah penilaian
moral atau evaluasi moral terhadap
penyebab
berbagai
masalah
yang
diketengahkan dalam pemberitaan:
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
Isu
dampak
konflik.
Dalam
membingkai berbagai dampak dari
peristiwa
kerusuhan
sektarian
di
Myanmar: adanya pemberlakuan jam
malam di empat kota negara bagian
Rakhine oleh Pemerintah Myanmar;
pengumuman kondisi gawat darurat di
Rakhine, Myanmar, pengumuman kondisi
gawat darurat di Rakhine, Myanmar, oleh
Presiden Myanmar Thein Sein; penarikan
sementara staf PBB di Rakhine; keugian
harta benda dan korban jiwa yang terus
bertambah, penilaian moral Kompas.
com dijatuhkan kepada Myanmar dan
pemerintahannya. Antara lain Kompas.
com menilai bahwa kekerasan di Rakhine
mendatangkan
resiko
besar
yang
merugikan, dimana proses reformasi,
stabilitas, dan transisi demokrasi di
Myanmar dapat terancam. Kekerasan juga
disayangkan terjadi ketika pemerintah
tengah
berupaya
menggalakkan
solidaritas antar kelompok sehingga
penggalakan solidaritas pun nampak
gagal diimplementasikan.
Isue
permasalahan
pengungsi.
Penekanan
moral
terhadap
sikap
penolakan pengungsi Rohingya oleh
pemerintah Bangladesh ini dijatuhkan
kepada pemerintah Bangladesh. Menurut
pemberitaan
Kompas.com,
langkah
Bangladesh menolak pengungsi dirasa
mencemaskan dan menuai banyak
kecaman. Penilaian ini terdapat dalam
berita Kompas.com edisi Jumat, 15 Juni 2012
yang berjudul “KONFLIK MYANMAR Korban Tewas Capai 29 Orang.” Penilaian
moral lain dijatuhkan kepada pemerintah
Myanmar,
yakni
pihaknya
dinilai
gagal melindungi warga baik Budha
maupun Muslim. Namun dalam konteks
permasalahan ini, pengungsi Rohingya
menjadi fokus permasalahan.
Masih
mengenai
permasalahan
pengungsi, penilaian moral dijatuhkan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
oleh Kompas.com dengan mengutip
pernyataan Thein Sein yang dikatakan
oleh Jusuf Kalla, yakni bahwa pengungsi
ditangani dengan baik berkat bantuan PBB,
lembaga asing lain, termasuk Indonesia,
Turki, dan negara Islam lain. Hal tersebut
terdapat kutipan berita Kompas.com
berjudul “ROHINGYA Bukan Konflik Etnis
dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012
berikut: “Thein Sein juga menjelaskan, saat
ini ada 60.000 pengungsi di Sittwe, ibu kota
Negara Bagian Rakhine. Mereka ditangani
dengan baik berkat bantuan PBB, lembaga
asing lain, termasuk Indonesia, Turki, dan
negara Islam lain.”
Isu keterlibatan aparat. Penetapan
kondisi gawat darurat yang sekaligus
mengijinkan militer untuk beroperasi pun
menunjukkan bahwa pemerintahan masih
didominasi oleh militer dan kekhawatiran
tekanan politik pada akhirnya justru
dapat berkontribusi pada keberlanjutan
praktik pelanggaran hak asasi manusia
di sana. Kekhawatiran tekanan politik
ini merujuk pada: “Pemerintahan sipil di
Myanmar terpilih dalam pemilihan umum
2010 dan April tahun ini. Pemimpin oposisi
Aung San Suu Kyi masuk parlemen menyusul
kemenangan bersejarah dalam pemilu sela.”
Kutipan tersebut terdapat di dalam berita
Kompas.com berjudul “Kondisi Gawat
Darurat di Rakhine, Myanmar” edisi Senin,
11 Juni 2012.
Dalam berita berjudul “Amnesty:
Muslim Rohingya Terus Alami Kekerasan,”
edisi Sabtu, 21 Juli 2012, Kompas.com
memberi penilaian bahwa ungkapan
Direktur Arakan Project Chris Lewa:
‘’Setelah kerusuhan... perlahan muncul fase
baru pelanggaran yang bisa dikatakan direstui
pemerintah, terutama di Maung Daw,’’ belum
cukup bukti untuk dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Pasalnya, Pemerintah
Myanmar menyebut tuduhan – seperti:
penjarahan toko, rumah, dan harta milik
197
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
Rohing yaitu – merupakan tuduhan
yang bias dan tidak berdasar. Sedangkan
dalam pemberitaan ini Kompas.com juga
menuliskan bahwa: “Sangat sulit untuk
memverifikasi berbagai informasi yang beredar
karena wartawan tidak diperbolehkan masuk ke
kawasan.”
Kemudian, berita berjudul “HRW:
Myanmar Biarkan Kekerasan pada Rohingya,”
edisi Rabu, 1 Agustus 2012, Kompas.com
mengetengahkan
sejumlah
penilaian
moral berikut: melihat beberapa peristiwa
yang terjadi belakangan waktu menjelang
penulisan berita ini, terlihat bahwa
penganiayaan dan diskriminasi yang
didukung negara tetap berlangsung ketika
pemerintah telah menyebut dirinya sudah
berupaya untuk mengakhiri konflik dan
kekejaman etnis di Rakhine. Hal ini berarti
juga Kompas.com tidak mempercayai bahwa
perubahan
reformasi sudah berjalan
dengan baik disana dengan indikator
sebagai berikut: aparat pemerintah
Myanmar lamban dalam menghentikan
kekerasan, mereka berpihak pada warga
Budha; dan pemerintah Myanmar me­
nangani konflik di Rakhine dengan kehatihatian yang ekstrem.
Demikian pula pada berita yang
berjudul “Banglades Larang Badan Amal
Bantu Rohingya,” edisi Kamis, 2 Agustus
2012, Kompas.com menjatuhkan penilaian
moral
negatif
kepada
pemerintah
Myanmar. Menurut pemberitaan, pihak
berwenang Myanmar gagal melindungi
warga dan telah membiarkan adanya
gerakan kekerasan dan pengumpulan
massa untuk melawan Rohingya.
Isu aksi demontrasi. Dalam se­
jumlah pemberitaan mengenai aksi
demonstrasi yang berlangsung di Jakarta
dan Malaysia, Kompas.com memberikan
beberapa penilaian moral. Penilaian
moral ini terlebih diberikan terhadap
pe­nyebab permasalahan yang terjadi.
198
Penilaian tersebut antara lain: dalam berita
“FUI: Selamatkan Umat Muslim Myanmar
dan Suriah,” edisi Jumat, 13 Juli 2012,
Kompas.com menilai bahwa pembantaian,
penindasan, dan penyiksaan terhadap
kaum Muslim Rohingya di Myanmar
merupakan suatu tindakan terkutuk.
Media pemberitaan internasional pun
terkesan menutupi kasus penindasan
terhadap umat Muslim. Sedangkan dalam
berita berjudul “Masyarakat Peduli Rohingya
Unjuk Rasa di Kedubes Myanmar,” edisi
Kamis, 9 Agustus 2012, Kompas.com menilai
bahwa sikap pemerintah Myanmar yang
belum mengambil sikap tegas – mengingat
korban dari pihak Muslim telah mencapai
angka 20 ribu orang – adalah suatu hal
yang mengecewakan.
Secara khusus dalam berita ini,
selain penilaian moral dilakukan ter­
hadap penyebab masalah, berita ini
juga turut memberi penilaian moral
ter­hadap berlangsungnya aksi demo
yang dilangsungkan oleh Masyarakat
Peduli Rohingya di depan kantor Dubes
Myanmar, yakni meskipun unjuk rasa
yang dihelat berlangsung tertib, lalu lintas
di jalan Agus Salim dari arah Imam Bonjol
menuju Sabang menjadi tersendat.
Isu bantuan kemanusiaan. Mengenai
masalah pemberian bantuan, Kompas.com
hanya memberi penilaian berkaitan dengan
langkah tim kemanusiaan dan tenaga
medis asal Indonesia dan mengenai sikap
pemerintah Myanmar terhadap pemberian
bantuan. Langkah tim kemanusiaan ini
merujuk pada berita Kompas.com berjudul
“Bantuan untuk Rohingya Capai Rp 1
Miliar,” edisi Kamis, 2 Agustus 2012. Tim
kemanusiaan tersebut berasal dari Dompet
Dhuafa, PKPU, dan Rumah Zakat. Mereka
kala itu direncanakan akan berangkat ke
Bangladesh.
Atas rencana ini, Kompas.com menilai
keberangkatan
tersebut
merupakan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
langkah awal yang dapat mendorong ke­
mungkinan lahirnya tim kemanusiaan
yang berikutnya dapat langsung ditujukan
ke wilayah Myanmar. Sedangkan me­
ngenai
sikap pemerintah berkaitan
dengan berita berjudul “Myanmar Terbuka
untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat, 10
Agustus 2012. Menurut penulisan Kompas.
com pemerintah Myanmar tidak tertutup
terhadap pemberian bantuan asing seperti
yang diisukan selama ini.
konflik Rohingya dengan warga Budha di
Myanmar.
Isu peranan Indonesia. Menanggapi
peristiwa Rakhine yang tertimpa konflik
antara warga Budha dan Rohingya,
Kompas.com
menjatuhkan
penilaian
moral kaitannya dengan sikap yang
perlu diambil Indonesia untuk membela
Rohingya. Penilaian moral tersebut
yakni sikap tegas pemerintah Indonesia
diperlukan tidak serta-merta karena latar
belakang agama yang sama. Namun,
lebih pada diskriminasi yang memang
tidak boleh dilakukan dan perlu dibela
sebagai negara yang menjunjung tinggi
demokrasi. Penilaian ini terdapat dalam
berita “Pramono: Perjelas Pembelaan untuk
Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus 2012.
Sedangkan menurut Jusuf Kalla
dalam berita berjudul “ROHINGYA Bukan
Konflik Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10
Agustus 2012: “Karena kasus Rohingya itu
telah menjalar ke konflik agama, kata Kalla,
harus segera diatasi bersama-sama.”
Isu rombongan Jusuf Kalla. Penilaian
moral Kompas.com yang berkaitan dengan
pemberian akses kepada Jusuf Kalla dan
rombonganna ini dijatuhkan kepada Jusuf
Kalla. Kompas.com dalam pemberitaannya
menilai bahwa Jusuf Kalla merupakan
salah satu tokoh netral di ASEAN yang
dapat menyejukkan keadaan. Penilaian
tersebut terdapat dalam berita berjudul
“Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik Rohingya,”
edisi Jumat, 10 Agustus 2012.
4. Rekomendasi Penyelesaian Masalah
Berikut adalah berbagai saran pe­
nyelesaian masalah atau saran pe­
nanggulangan masalah yang Kompas.com
kemukakan dalam pemberitaan edisi 10
Juni – 10 Agustus 2012 kaitannya dengan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Isu dampak konflik. Berdasarkan
peristiwa yang menimpa warga Rohingya
dan Budha Rakhine di Myanmar, Kompas.
com dalam pemberitaannya memaparkan
beberapa saran penyelesaian masalah.
Saran
tersebut
diantaranya:
perlu
adanya berbagai upaya untuk segera
menghentikan dan mencegah dampak
perluasan konflik dari pemerintah.
Utusan PBB yang sekaligus bertugas
sebagai pelapor khusus hak asasi
manusia untuk Myanmar Ojea Quintana
sebagaimana yang dikutip oleh Kompas.
com dalam beritanya berjudul “KONFLIK
MYANMAR - Korban Tewas Capai 29
Orang,” edisi Jumat, 15 Juni 2012 turut
menyarankan agar akar permasalahan
konflik yaitu diskriminasi terhadap warga
Rohingya segera ditangani.
Wakil Direktur Asia HRW Phil
Robertson dalam berita “ROHINGYA
Bukan Konflik Etnis dan Agama.” Berita
yang juga memuat penyebab masalah
mengenai adanya diskriminasi etnis dan
pemeluk agama yang disebut berasal dari
adanya UU Kewarganegaraan Myanmar
tahun 1982 ini mengetengahkan saran agar
Suu Kyi memanfaatkan posisinya sebagai
anggota parlemen untuk mengusulkan
amandemen seluruh produk aturan
hukum yang disebut merugikan etnis
minoritas di Myanmar mulai dari produk
UU Kewarganegaraan Myanmar tahun
1982.
Tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi
menyarankan pentingnya penyelesaian
politis untuk penyelesaian yang bersifat
199
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
permanen. Pernyataan Suu Kyi ini terdapat
dalam berita “KONFLIK MYANMAR Korban Tewas Capai 29 Orang” pada edisi
yang mendahuluinya, yakni Jumat, 15 Juni
2012.
Isu
permasalahan
pengungsi.
Kompas.com mengetengahkan penyelesaian
masa­­lah terhadap peristiwa penolakan
pengung­si Rohingya di Bangladesh
kepada pihak Bangladesh. Kepadanya
Kompas.com menyarankan agar bersedia
menerima kapal-kapal yang mengangkut
ratusan pengungsi Rohingya. Penyelesaian
masalah ini dimuat di “Banglades Larang
Badan Amal Bantu Rohingya”, edisi Kamis,
2 Agustus 2012. Sedangkan dalam
berita berjudul “KONFLIK MYANMAR
- Korban Tewas Capai 29 Orang,” Kompas.
com mengetengahkan saran agar Dhaka
menghormati kewajiban internasional
mengenai pengungsi sesuai dengan
konvensi internasional.
Mengenai permasalahan pengungsi
– pengungsi Rakhine dan sekaligus
pengungsi Rohingya – Kompas.com
menyarankan agar kehidupan masyarakat
yang berkonflik harus diharmoniskan
dan disatukan kembali agar konflik
tersebut berakhir dengan damai di antara
keduanya. Saran ini diketengahkan
Kompas.com dengan mengutip pernyataan
Jusuf Kalla kepada Thein Sein berikut
dalam berita “ROHINGYA Bukan Konflik
Etnis dan Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus
2012: “Saya katakan, berdasarkan pengalaman
kita, kehidupan masyarakat yang terlibat
konflik harus diharmoniskan, disatukan
lagi,” kata Kalla.” Penilaian lainnya yakni
terdapat dalam berita “Jusuf Kalla Datangi
Lokasi Konflik Rohingya,” edisi Jumat, 10
Agustus 2012: sikap diam Aung San Suu
Kyi dalam persoalan Rohingya selama ini
disayangkan.
Isu keterlibatan aparat. Selama
pemberitaan mengenai dugaan atau
200
tuduhan keterlibatan aparat keamanan
Myanmar dalam konflik yang terjadi
di Myanmar, Kompas.com menuliskan
berbagai saran penyelesaian. Saran-saran
tersebut, yakni: PBB berupaya seadiladilnya dalam masalah Rohingya di
Myanmar karena mereka juga memiliki
hak-hak yang harus dijaga, perlunya
penyelidikan terhadap konflik yang terjadi,
perlindungan bagi suku Rohingya oleh
pihak asing, dan masyarakat internasional
tidak mempercayai bahwa perubahan –
reformasi – di Myanmar sudah berjalan
dengan baik.
Isu
aksi
demontrasi.
Kompas.
com memberikan sejumlah saran me­
nge­nai permasalahan dalam kategori
Demonstrasi. Dalam beritanya berjudul
“Pengungsi Rohingya Berdemo di Malaysia,”
edisi Jumat, 15 Juni 2012, memberi saran
antara lain: ada intervensi internasional
untuk
menghentikan
pembunuhan
dan kekerasan terhadap Rohingya; dan
pemimpin dunia menekan pemerintah
Myanmar agar berhenti melakukan
penganiayaan tehadap etnis Rohingya.
Dalam beritanya berjudul “FUI:
Selamatkan Umat Muslim Myanmar dan
Suriah,” edisi Jumat, 13 Juli 2012, Kompas
memberi saran antara lain: para penguasa
Muslim dihimbau untuk memberikan
dukungan nyata kepada umat Islam
yang tertindas. Dalam beritanya berjudul
“Masyarakat Peduli Rohingya Unjuk Rasa
di Kedubes Myanmar,” edisi Kamis, 9
Agustus 2012 memberi saran antara lain:
OKI memberi perhatian serius dengan
melakukan langkah-langkah diplomatik
untuk menemukan solusi atas konflik yang
terjadi terhadap umat muslim Rohingya;
Pemerintah Myanmar mengakui warga
muslim Rohingya sebagai salah satu etnik
dari negara tersebut.
Isu bantuan kemanusiaan. Selama
pemberitaan
mengenai
pemberian
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
bantuan, Kompas.com turut membingkai
berbagai saran penyelesaian. Dalam
beritanya berjudul “Sekitar 90.000 Warga
Myanmar Mengungsi,” edisi Rabu, 20 Juni
2012 Kompas.com menyarankan agar:
memberikan bantuan kemanusiaan bagi
orang-orang yang berada di lokasi konflik
dan pemerintah Myanmar mengizinkan
lembaga-lembaga bantuan memasuki
kawasan pengungsian tanpa hambatan.
Dalam
beritanya
berjudul
“ROHINGYA Bukan Konflik Etnis dan
Agama,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012
Kompas.com menyarankan agar: penyaluran
bantuan harus merata pada semua pihak
dalam konflik tanpa terkecuali. Terakhir,
dalam beritanya berjudul “Myanmar
Terbuka untuk Bantuan Asing,” edisi Jumat,
10 Agustus 2012 Kompas.com menyarankan
agar: pemberian bantuan dari lembaga
asing, atau negara manapun, termasuk
negara Muslim, kepada masyarakat
Rakhine tidak boleh bersifat sektarian.
Tujuannya agar etnis lain yang menjadi
korban dalam pertikaian – selain Rohingya
– juga menerima pemberian bantuan.
Isu peranan Indonesia. Terhadap
permasalahan
pembelaan
Indonesia
bagi Rohingya, Kompas.com memberi
saran penyelesaian dengan mengatakan
bahwa pemerintah Indonesia harus
memberikan
kejelasan
pembelaan
terhadap Rohingya melalui diplomasi
yang kuat dan melindungi pengungsi
yang datang ke Indonesia tanpa perlu
secara terbuka memberi pernyataan
bersedia menampung mereka. Saran ini
terdapat dalam pemberitaan Kompas.com
berjudul “Pramono: Perjelas Pembelaan
untuk Rohingya,” edisi Rabu, 1 Agustus
2012. Sedangkan mengenai permasalahan
keterlibatan dalam kejelasan duduk
persoalan peristiwa yang melanda
Rakhine bagi dunia Internasional, Kompas.
com menyarankan agar Indonesia turut
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
berperan menjelaskan duduk persoalan
yang sebenarnya terjadi di Rakhine kepada
komunitas internasional.
Isu rombongan Jusuf Kalla. Kompas.
com menyajikan saran penyelesaian
kepada pemerintah Myanmar agar segera
menyelesaikan konflik komunal tersebut
sebelum mengarah pada konflik agama.
Saran ini terdapat dalam berita Kompas.com
berjudul “Jusuf Kalla Datangi Lokasi Konflik
Rohingya,” edisi Jumat, 10 Agustus 2012.
Kesimpulan
Peristiwa yang berkaitan dengan etnik
Rohingya di Myanmar banyak diberitakan
di media massa sepanjang bulan JuniAgustus 2012. Peristiwa diawali dengan
isu perkosaan seorang perempuan etnik
Rakhine yang beragama Budha oleh
segerombolan laki-laki etnik Rohingya
yang minoritas Islam. Sekelompok etnik
Rakhine menuntut balas sehingga beberapa
pemuda Rohingya tewas. Konflik ini
menyulut menjadi konflik yang lebih besar
yaitu antara penduduk mayoritas Budha
dengan minoritas Rohingya yang muslim.
Bentrokan ini menjadi bahan pemberitaan
media untuk menghadirkan realitas yang
sesuai dengan perspektif media yang
bersangkutan dimata pembacanya.
Media Kompas.com adalah media besar
di Indonesia yang termasuk memberitakan
peristiwa tersebut. Konstruksi realitas
yang dihadirkan media Kompas.com
ditelaah melalui analisis bingkai model
Entman untuk mengetahui ideologi media
dalam menghadirkan realitas tersebut.
Kompas mengkonstruksikan peristiwa
pengungsi Rohingya merupakan perisiwa
kemanusiaan yang dipicu oleh tindakan
kriminal beberapa orang muslim Rohingya
yang memerkosa perempuan Budha
Rakhine.
201
Aryanto Budhy S, dkk. Konstruksi Media Kompas On-line ...
Daftar Pustaka
Alam, M. A. Marginalization Of The
Rohingya In Arakan State Of Western
Burma.
www.burmaconcern.com/
pdf_ftp/report/marginalization_
rohingya.pdf
Berger, P. L & Luckman, T. (1990). Tafsir
Sosial atas Kenyataan, Jakarta : LP3S.
Eriyanto. (2011).
Analisis Framing:
Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media,
Yogyakarta: LKiS,
Herman, A. dan Nurdiansa, J. (2010),
Analisis Framing Pemberitaan Konflik
Israel - Palestina dalam Harian
Kompas dan Radar Sulteng. Jurnal
Ilmu Komunikasi, 8 (2), 154-168
Hidayat, D. N. (1999). “Paradigma
dan
Perkembangan
Penelitian
Komunikasi” dalam Jurnal Ikatan
Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol. III.
Penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu
Kyi Bungkam Atas Masalah Rohingya,
http://detikislam.com/2012/07/15/
penerima-nobel-perdamaian-aungsan-suu-kyi-bungkam-atas-masalahrohingya/
Poloma, M. (1994). Sosiologi Kontemporer.
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Sobur, A. (2004), Analisis Teks Media: Suatu
Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik dan Analisis Framing.
Bandung : Remaja Rosda Karya
Sari, A. V. P. (2012). Analisis Framing
Berita Headline Freeport Di Harian
Kompas.
http://repository.unhas.
ac.id/handle/123456789/1665
Satyawan, A. (1 Agustus 2012). “Nestapa
Rohingya, Ujian bagi Suu Kyi”,
Solopos.
http://bisagila.com/readmore.php?t=Ne
stapa+Rohingya%2C+Ujian+bagi+Su
u+Kyi&f=1317838&p
http://id.wikipedia.org/wiki/
Republika_%28surat_kabar%29
http://operadewa.wordpress.
com/2012/10/05/konstruksirealitas-oleh-media-massa/
http://print.kompas.com/about/
sejarahkompas.html
h t t p : / / y o u t u b e . c o m /
warch?v=3cDaWBC70sQ
http://kompas.com/about-us
Kate, D. T. & Freedman, J. M. (14 Juni
2012). Suu Kyi Calls for Clarity on
Myanmar Citizenship After Fighting.
http://www.businessweek.com/
news/2012-06-14/suu-kyi-calls-forclarity-on-myanmar-citizenshipafter-fighting
Lewa. C. North Arakan: an open prison for the
Rohingya in Burma, www.fmreview.
org/FMRpdfs/FMR32/11-13.pdf
202
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 203-210
Kebijakan untuk Pelayanan Publik dalam Model
Pengembangan
Pengelolaan Komunikasi Informasi Pemerintah Daerah
Alexius Ibnu Muridjal
Sutopo J.K.
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Muchtar Hadi
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
In order to observe local customs policy management in acts of communication and
information sector in the on going city / county, then one of the focus in this case is in
the form of regional policy legislation including regulations concerning product areas (in
accordance with the provisions of Law Number 10 of 2004). That is a law established by the
Council by mutual consent Regional Head. Within the framework of this study discussed
about Yogyakarta Regional Regulation No. 2 of 2010 on Spatial Planning in an effort that
rejected its application in the southern coastal communities Kulon Progo.
Controversy about the local regulations on top does not mean in spite of two different
interests in the planning and implementation efforts. Interests of the Local Government
of Yogyakarta on the one hand the suspect can not be separated from the interests of
investors as a group of iron sand mining developer and community interests to maintain
his livelihood by farming alias maintain coastal areas south Kulon Progo as agricultural
areas is not as iron sand mining.
Key words: controversy regional regulation, management of communication and
information and public policy
Pendahuluan
Adapun Rencana Tata Ruang Wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai
fungsi sebagai dasar pemanfaatan ruang
daerah untuk mewujudkan keterkaitan
antara keserasian dan keseimbangan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
perkembangan antar sektor dan antar
wilayah di daerah. Selain itu juga
berfungsi sebagai aturan arahan lokasi
investasi
yang
dilaksanakan
oleh
pemerintah, swasta dan masyarakat.
Selain itu juga sebagai pedoman penataan
203
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
ruang kawasan strategis Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Dengan kata lain
diterbitkannya penjabaran rencana tata
ruang wilayah nasional untuk Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah
disahkan itu dijadikan dasar pemanfaatan
ruang
dan
pengendalian
maupun
pemanfaatan atas ruang serta pengendalian
pemanfaatannya baik oleh pemerintah,
pihak swasta maupun masyarakat.
Namun ternyata di sisi lain Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomer 2 Tahun 2010 tersebut dalam upaya
penerapannya menimbulkan kontroversi
antara isi dan peruntukannya. Paling tidak
mengenai penetapan pada pasal-pasal
58 dan 60 b dari isi peraturan daerah itu
sendiri. Dimana hal ini semula di tingkat
perumus tidak pernah ada tercantum
sebelumnya, tetapi ketika disahkan pasalpasal tersebut muncul didalamnya. Dari
sini awal kontroversi tentang peraturan
daerah ini terjadi.
Perumusan Masalah
“Sejauhmana
kebijakan
untuk
pelayanan publik berupa peraturan
perundang-undangan daerah (termasuk
peraturan daerah yang berpotensi
kontroversi) dikelola dalam suatu model
mekanisme
pengelolaan
komunikasi
dan informasi di tingkat organisasi
Pemerintahan Daerah di Daerah Istimewa
Yogyakarta berlangsung selama ini ?”
Landasan Teori
a. Perencanaan Komunikasi Ke­peme­
rintahan
Mengutip situs http://www.scribd.
com/4606676/good-governance.,Good
Governance, dikatakan bahwa good
governance atau tata pemerintahan yang
baik, merupakan bagian dari paradigma
baru yang berkembang dan memberikan
nuansa yang cukup mewarnai, terutama
204
pasca krisis multidimensional, seiring
dengan tuntutan era reformasi.
Perspektif
governance
meng­
implementasikan terjadinya pengurangan
peran pemerintah, sebagai institusi yang
menempatkan diri dan bersikap, ketika
berlangsung proses governing dalam
konteks governance, bagaimana pemerintah
dalam mengelola negara dan publik. Disini
paling tidak menurut standar UNDP,
digunakan prinsip seperti; partisipasi,
transparansi,
akuntabilitas,
resposif
dan konsensus sebagai dasar berpijak.
Demikian untuk bisa berperan sesuai
standart tersebut, hanya bisa berlangsung
jika ada kebijakan publik untuk bisa
mengelola mekanisme tindak komunikasi
dan informasi yang bertumpu kepada
kepentingan bersama, oleh segenap unsur
pelaku di tingkat kota/kabupaten.
Prasetyo Sudrajat (2001) antara
lain mengatakan bahwa perumusan
perencanaan komunikasi tak lain, untuk
membina hubungan interaktif secara
jangka panjang antara masyarakat dengan
eksekutif dan legislatif. Karena suatu
penyusunan
komunikasi
partisipatif
direpresantasikan oleh sebuah lembaga
yang dibentuk bersama oleh eksekutif
dengan masyarakat setempat. Dadan
Umar Daihani (2008) mengatakan bahwa
organisasi
merupakan
sekumpulan
orang-orang yang membentuk sebuah
sistem terpadu, mengenai bagaimana
orang-orang dalam organisasi mencapai
tujuan yang sama. Tujuan tersebut sering
dituangkan dalam suatu wadah yakni visi.
Orang-orang dalam organisasi sebesar
apapun, pasti mempunyai tujuan bersama
yang ingin dicapai dan tujuan itu tidak
bisa dilakukan sendiri-sendiri.
Demikian halnya dengan kata
perancangan sering disamakan dengan
fungsi perencanaan, sekalipun ini memang
tidak salah. Namun dalam perancangan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
organisasi akan lebih detail dijelaskan,
bagaimana strategi spesifik mengenai
langkah-langkah agar organisasi terbentuk.
Jadi secara spesifik, perancangan organisasi
di sini adalah sebuah usaha formal, proses
yang terarah untuk mengintegrasikan
manusia, informasi dan teknologi dalam
sebuah organisasi.
Tekad Djaja Sakti (2000) menunjuk
tentang bahasan penyusunan strategi
komunikasi organisasi kota/kabupaten,
yang
harus
dirancang
meliputi
komunikasi
intenal
dengan
aspek
pembenahan
organisasi
komunikasi
kota/kabupaten dan pemetaan sasaran
organisasi. Kemudian secara eksternal
meliputi pemetaan sasaran organisasi dan
melakukan strategi komunikasi integratif.
Lebih jauh dibahas pula tentang
upaya meningkatkan kualitas komunikasi
internal serta bagaimana menciptakan
governance awareness dan memperkuat
serta memberdayakan promosi potensi
kota/kabupaten. Untuk semua ini maka,
implementasinya harus terlihat dalam
mekanisme kebijakan kota/kabupaten
merancang
pengelolaan
mekanisme
komunikasi dan informasi secara integral
antar komponen pelaku kota/kabupaten
yang ada secara sinergis.
Mardiasmo (2002) menunjuk bahwa
hal-hal yang mendasar dalam UU Nomer
22 dan 25 Tahun 1999 adalah kuatnya
upaya untuk mendorong pemberdayaan
masyarakat serta pengembangan prakarsa
dan kreativitas, peningkatan peran serta
masyarakat dan peran DPRD. Artinya
bahwa undang-undang tersebut sudah
memberikan kewenangan penuh kepada
kepala daerah untuk menjalankan
kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakatnya.
Untuk ini maka bagaimana kemudian
di daerah ataupun di tingkat kota/
kabupaten dijalankan upaya kebijakan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
publik untuk mengelola mekanisme
komunikasi dan informasi secara sinergis
dan partisipatif oleh pelaku kebijakan
organisasi kota/kabupaten yang ada.
Relevansi pernyataan di atas dengan
implikasi
dijalankannya
mekanisme
pengelolaan komunikasi informasi di
tingkat kota/kabupaten sebagai bentuk
untuk bisa mewujudkan dijalankannya
kewenangan di daerah bersama masyarakat
mengelola pemerintahan daerah serta
pembangunan kota/kabupaten yang
bertumpu pada kepentingan masyarakat.
Suatu implementasi kebijakan yang lebih
berpola kepada peran dan tanggung
jawab eksekutif kota/kabupaten dalam
hal pengelolaan informasi maupun
pelaksanaan
pembangunan
kota/
kabupaten yang ada.
b. Peraturan Daerah
Perkembangan permasalahan baik
regional maupun global untuk diimple­
mentasikan dan dikendalikan dengan
baik. Hal ini senantiasa bertujuan sebagai
upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan. Demikian juga demi pe­
nyelarasan opini pembangunan provinsi
serta kota/kabupaten adalah dengan
memperhatikan daya tampung dan daya
dukung lingkungan hidup (http://taruadkws).
Karena itu dari sini kemudian
dituangkan dalam bentuk Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
tentang Tata Ruang Wilayah Nomer 2
Tahun 2010. Selain itu pada pasal 18 ayat
6 UUD 1945 menetapkan Pemerintah
Daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembangunan. Artinya bahwa
suatu peraturan daerah merupakan
sarana legislasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah (Asmirawati, 2010).
205
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
Selain dari pada itu pentingnya
peraturan perundang-undangan bagi
warga negara adalah memberikan
kepastian hukum bagi warga negara,
melindungi serta mengayomi hak-hak
warga
negara
(hanihohoy.blogspot.
com/2011/04/peraturan-perundangundangan.html). Selain itu mendasarkan
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang telah disahkan tanggal 18
Oktober 2004 tersebut lebih menunjuk
tentang Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dengan segala pasal-pasalnya
yang berlaku efektif sekalipun dalam
implementasinya
Undang-Undang
Nomer 32 Tahun 2004 tersebut menunjuk
adanya semangat untuk melibatkan
partisipasi publik namun disisi lain tidak
jarang masih terjadi ketegangan antara
pemerintah dengan publik seperti apa
yang terjadi dengan penetapan Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomer 2 Tahun 2010 di atas. Yakni, terjadi
penolakan oleh masyarakat atas upaya
penerapannya di daerah Kabupaten
Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta
(www.unggulkeater.org./2010/05/uuno-32tahun2004-tentang-pemerintahdaerah-catatan-implementasi-positif-danproblematika).
Anonymous (2000) dikatakan bahwa
kegiatan perencanaan tidak terlepas dari
perkembangan politik kepemerintahan
sosial, ekonomi, dan teknologi serta
perubahan paradigma perencanaan dan
manajemen publik.
Dengan
diberlakukannya
UU
Nomer 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Pemerintahan Daerah dan UU Nomer
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Daerah, telah membawa paradigma baru
pada sistem pemerintahan yang semula
206
sentralistis, menjadi desentralistis sehingga
pemerintah daerah mempunyai tanggung
jawab penuh dalam proses penyusunan,
pelaksanaan dan pembiayaan daerah
mempunyai tangung jawab penuh dalam
proses penyusunan, pelaksana dan
pembiayaan.
Di samping itu yang tidak kalah
penting, adalah proses desentralisasi yang
ditandai dengan semakin jelas manfaat
untuk ikut menentukan kebijakan dan
strategi pembangunan daerah, sehingga
tanpa proses pelibatan masyarakat akan
menyebabkan legitimasi perencanaan
terasa berkurang atau tidak ada.
Metodologi
Penelitian ini termasuk jenis penelitian
deskriptif kualitatif. Metode penelitian
kualitatif menunjuk pada prosedurprosedur riset yang menghasilkan data
kualitatif yaitu ungkapan atau catatan
orang itu sendiri atau tingkah laku yang
terobsesi (Afandi, 1993). Sumber data
penelitian ini menggunakan metode
wawancara dan studi dokumentatif dari
berbagai literatur yang relevan.
Sajian dan Analisis Data
Berdasarkan beberapa cecklist berikut
ini dapat diketahui bagaimana sebenarnya
situasi dan kondisi pengelolaan kebijakan
untuk pelayanan publik itu selama ini
berlangsung dengan model mekanisme
pengelolaan tindak komunikasi dan
informasi di tingkat organisasi eksekutif
maupun legislatif dan masyarakat
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Berikut adalah daftar dari instrumen
tentang
berbagai
isu
pengelolaan
komunikasi dan informasi di tingkat kota/
kabupaten yang dimaksud : untuk tingkat
eksekutif isu-isu utama berkait dengan
pengelolaan komunikasi dan informasi
meliputi ketersediaan informasi, evaluasi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
dan kesadaran akan manfaat informasi.
daerah, pelaksanaan berbagai bentuk
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan
Sedangkan isu-isu utama untuk tingkat
pelayanan kebijakan untuk masyarakat.
legislatif meliputi sumber informasi dari
unsur masyarakat dan eksekutif dengan
Dari cecklist atas sejumlah isu yang
item-item seperti ketersediaan informasi
ditanyakan tersebut antara lain dapat
opini aspirasi masyarakat, informasi
dikelompokkan dalam tingkatan eksekutif
pengaduan dari masyarakat tersedia dan
mengenai: 1) Strategi komunikasi meliputi
bagaimana mekanisme informasi pendapat
pertanyaan apakah sudah ada rencana
masyarakat itu diterima. Adapun di
informasi ? Apakah ada evaluasi hasil
tingkat masyarakat maka isu-isu utama
pengelolaan informasi ? dan apakah ada
yang menjadi perhatian atau kajian disini
kesadaran atas manfaat informasi ? Untuk
antara lain seberapa jauh masyarakat
lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 berikut
mengetahui informasi tentang kebijakan
ini.
Tabel 1.
Data Staregi Komunikasi di Tingkat Eksekutif
Pertanyaan
1. Apa sudah ada rencana
informasi
2. Apa ada evaluasi hasil
pengelolaan informasi
3. Apa ada kesadaran
atas informasi
Sumber: Diolah penulis
Jawaban
Belum ada
Realisasi/Obyektivitas
Dari atasan
Sekadarnya ditangani
Tercatat dalam dokumentasi
Sekadarnya tahu
manfaatnya
Dilaksanakan dengan pembagian
tugas
Dilihat dari data di atas ini nampak
bahwa rencana untuk pembuatan/
persiapan informasi oleh dinas pelaksana
di tingkat Kabupaten Kulon Progo
terkesan tidak diketahui ada atau tidaknya
informasi yang hendak diberikan pada
level staf/unit organisasi eksekutif yang
ada. Sehingga berdasarkan pengamatan
langsung realisasi yang ada secara obyektif
bahwa rencana informasi selalu berkait dari
atasan/pimpinan kerja masing-masing.
Gambaran bahwa rencana informasi selalu
berasal dari atas dan menjadi kewenangan
atasan. Sementara staf hanya sebagai
pelaksana rekomendasi atau petunjuk
dari atasan. Demikian juga evaluasi atau
informasi yang dikelola dilakukan dalam
bentuk administratif kerja birokrasi ala
kadarnya.
Berikut
adalah
gambaran
di
tingkat legislatif tentang sejumlah isu
pengelolaan komunikasi dan informasi
yang berlangsung selama ini. Untuk di
tingkat legislatif maka isu-isu utama yang
ada yaitu tentang sumber informasi dari
masyarakat dan dari eksekutif. Untuk
jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 ini:
Tabel 2.
Data Informasi Tingkat Legislatif dari Masyarakat.
Pertanyaan
Jawaban
Realisasi/Obyektivitas
1. Apakah informasi opini aspirasi
Tersedia
Pada komisi/
masyarakat tersedia
sekretariat/fraksi
2. Apakah informasi pengaduan masyarakat Relatif tersedia
Komisi/fraksi
tersedia dan tindak lanjutnya
3. Apakah pendapat masyarakat tersedia
Realatif tersedia
Sekretariat dewan
Sumber: Diolah penulis
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
207
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
Tabel 3.
Data Informasi Tingkat Legislatif dari Eksekutif
Pertanyaan
1. Apakah informasi kebijakan
eksekutif tersedia
2. Apakah informasi agenda
pembangunan tersedia
3. Apakah informasi agenda anggaran
pembangunan daerah tersedia
Jawaban
Tersedia
Realisasi/Obyektivitas
Di sekretariat/komisi/ fraksi
Tidak selalu
tersedia
Tersedia
Di sekretariat dewan
Di sekretariat dewan
Sumber: Diolah penulis
Melihat pada Tabel 1 dapat dijelaskan
bahwa
ternyata
organisasi/unit-unit
pelaksana di tingkat eksekutif menyatakan
bahwa dilihat dari ketersediaan informasi,
cara evaluasi informasi maupun kesadaran
aparat eksekutif akan informasi cukup
tersedia keberadaannya pada level
pelaksana masing-masing yang ada di
eksekutif. Begitu juga ditingkat legislatif,
peran komisi, fraksi, dan kesekretariatan
dewan merupakan pelaksana informasi
yang ada dengan tingkat ketersediaan
yang relatif ada, dan dijalankan
Berikut ini dapat ditunjukkan
mekanisme tindak komunikasi dan
informasi pada level masyarakat yang
selama ini berlangsung di Kabupaten
Kulon Progo. Yaitu meliputi isuisu tentang sejauhmana mengetahui
tentang perumusan kebijakan daerah/
kota, pelaksanaan kebijakan, pelayanan
masyarakat yang selama ini berlangsung.
Untuk lebih jelas lagi dapat dilihat Tabel 4
di bawah ini sebagai berikut.
Tabel 4.
Data Informasi Kebijakan di Tingkat Masyarakat
Pertanyaan
1.Apakah informasi perencanaan daerah
dapat di akses
2.Apakah informasi tender proyek dapat
diperoleh, dimana
3.Apakah informasi pelayanan kegiatan
tersedia
4.Apakah pelayanan perizinan tersedia
Jawaban
Tidak selalu
Realisasi/Obyektivitas
Belum tersosialisasi
Tidak tahu
Belum tersosialisasi
Tidak tahu
Tidak tahu
Belum tersosialisasi
Belum tersosialisasi
Sumber: Diolah penulis
Demikian dari gambaran data
wawancara
terhadap
unsur-unsur
masyarakat yang diplih sebanyak 3
orang dapat dikelompokkan pernyataan
mereka sebagai menjawab tidak selalu
tersedia, tidak tahu apakah tersedia
atau tidak berbagai jenis informasi
tentang kepemerintahan atau kebijakan
yang dijalankan. Hal ini secara obyektif
dapat disimpulkan dari semua itemitem pertanyaan yang diajukan serta
208
jawaban yang diberikan tersebut dapat
disimpulkan belum pernah ada proses
sosialisasi atas berbagai jenis informasi
kebijakan pemerintah yang dilakukan di
masyarakat selama ini.
Dari
kenyataan
gambaran
ini
maka mekanisme pengelolaan tindak
komunikasi dan informasi kepemerintahan
daerah belum tertata atau berlangsung
sebagai suatu pola mekanisme komunikasi
informasi yang baik.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
Kesimpulan
1. Mekanisme
pengelolaan
tindak
komunikasi dan informasi kebijakan
pemerintahan daerah, baik di tingkat
pelaksana eksekutif, legislatif dan di
masyarakat belum menggambarkan
suatu model mekanisme yang baku
dijalankan maupun yang berlangsung
selama ini.
http://www.scribd.com/4606676/goodgovernance.,Good Governance
http://taruad-kws
www.unggulkeater.org./2010/05/uu-no32tahun2004-tentang-pemerintahdaerah-catatan-implementasi-positifdan-problematika.
2. Aksessibility dan acceptability informasi
kebijakan belum terencana dan
berlangsung sebagai tindak komunikasi
dan informasi yang bersifat partisipaty.
3. Wujud upaya good governance mau­
pun art urban management di tingkat
kepemerintahan daerah masih meng­
anut model top-down information
sebagai suatu model pengelolaan
tindak komunikasi dan informasi yang
konvensional berlangsung selama ini
Daftar Pustaka
Afandi, A. Khozin. (1993). Dasar-Dasar
Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha
Nasional.
Asmirawati, Nova. (2010) Perda, Kantor
HAM dan Hukum DIY. Yogyakarta:
Pemprov DIY.
Anonymous, (2000). Modul Pelatihan
Program Dasar Pembangunan Perkotaan.
Djaja Sakti, Tekad. (2000). Penyusunan
Strategi Komunikasi Kota
Mardiasmo, (2002). Makalah dalam
Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat
Moneter Indonesia.
Sudrajat, Prasetyo. (2001). Makalah
Komunikasi Partisipatif di Dalam
Pengelolaan Kota.
Umar Daihani, Dadan. (2008). Makalah
Perancangan Organisasi
hanihoho y.b logspot.com/2011/ 0 4 /
peraturan-perundang-undangan.
html
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
209
Alexius Ibnu Muridjal, dkk. Kebijakan untuk Pelayanan Publik ...
210
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 211-220
Fenomenologi Ziarah Makam Gunung Kemukus
Subagyo
Alexius Ibnu Muridjal
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Thomas Aquinas Gutama
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
The phenomenon of pilgrimage is the tomb of hereditary tradition that still
continues to this day. A tradition that is deeply rooted in religious society
though. Although there are criticisms leveled against the practice of pilgrimage
is performed as disfiguring monotheism among the followers of Islam.
This study took place in the tomb of Prince Samudro in Mount Kemukus, Sragen. To see
the form of the assurance and rituals as practiced what the pilgrims. Indeed there is a
kind of belief that pilgrims still often mengkeramatkan certain tombs there as a shrine. But
otherwise there is found the tomb shrine just a cultural tradition of ordinary people who
saw the tomb as the location of the final peristiharatan humans. On the basis of the opinion
or the opinion of those who visit the tomb of the obvious fact that people are still done in
the community regardless of where they come from religion or socioeconomic status.
Key words: pilgrimage mystical phenomena and processes of social reality
Pendahuluan
Di kalangan penganut mistik Jawa
masih mempercayai mitos sebagai media
untuk menafsirkan proses perjalanan
hidupnya ke depan, maka tidak
mengherankan manakala orang sulit
untuk membedakan cerita yang bernuansa
mistos, legenda dan realitas (pikirankoe.
wordpress.com/2008/08/menjelajahimajinasi-mistik-Jawa.html).
Untuk kelompok orang sebagai
penganut mistik baginya mitos mempunyai
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
makan dalam kehidupan kosmos sebagai
bentuk pesan dari peristiwa-perisiwa yang
terjadi maupun yang akan terjadi. Bisa
jadi mitos hanya dianggap cerita tentang
dewa-dewa, orang-orang, peristiwa atau
kejadian-kejadian tertentu.
Sebagai fokus utama disini adalah
untuk menyoroti bagaimana sebenarnya
proses Konstruksi Realitas Sosial yang
dibangun oleh orang-orang sebagai pelaku
ziarah makam, menafsirkan menurut
makna dan arti sendiri tentang ziarah
211
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
mistik makam Gunung Kemukus sebagai
pengalamannya selama ini. Faktor-faktor
sosial budaya seperti apa yang turut
berpengaruh atas terbentuknya konstruksi
realitas pada diri orang-orang sebagai
peziarah makam seperti yang selama ini
dialami, diketahui, dirasakan maupun
juga diyakini, dipercaya seperti yang
dipraktekkan.
Apakah benar bahwa tahapan atau
proses internalisasi, eksternalisasi maupun
subyektivasi dari yang berlangsung dalam
dirinya, dianggapnya turut membentuk
persepsi dirinya tentang makam Gunung
Kemukus sedemikian rupa ditafsirkan
berdasarkan makna serta arti tertentu
sebagai suatu realitas obyektif, simbolik
atau subyektif.
Kerangka Teori
a. Agama Sakral dan Profan
Berkaitan apa dan bagaimana
sebenarnya peran mistik bagi masyarakat
Jawa pada umumnya merupakan ajaran
tentang kesempurnaan hidup yang
menekankan aspek batiniah. Yakni,
dengan mensucikan diri dari unsur-unsur
duniawiah. Paku diri dapat diwujudkan
dengan beberapa cara seperti:
1. Tapa jasad, yaitu ikhlas terhadap takdir.
2. Tapa budi, yaitu menghindari per­
buatan hina.
3. Tapa nafsu, yaitu menghindari nafsu
angkara.
4. Tapa cipta, yaitu menjaga kesucian hati.
5. Tapa sukma, yaitu menjaga keheningan
hati.
6. Tapa cahaya, yaitu ingat kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
7. Tapa gesang, yaitu menuju kesem­pur­
naan hidup.
(http://widodo-sarono.blogspot.
com/2011/12/peran-mistik-bagimasyarakat-Jawa.html)
212
Memang ada suatu pengalaman
spiritual yang sulit diungkapkan dalam
bentuk bahasa verbal. Oleh karena
itu maka pengalaman mistik dan
penangkapan terhadap simbol sangat
tergantung bagaimana seseorang mampu
memaknainya. Untuk ini sesuai dengan
Teori Interaksi Simbolik dikatakan bahwa
simbol adalah obyek sosial dalam interaksi
yang ada dengan premis bahwa manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada dirinya.
Selain juga bahwa makna berasal dari
interaksi sosial seseorang dengan orang
lain dimana kemudian makna-makna
tersebut disempurnakan pada saat proses
interaksi sosial itu berlangsung (Poloma,
2007).
Dalam bukunya yang berjudul
Sakral dan Profan karya Mercia Eliade
(dalam Nurwanto, 2003) membahas
adanya dua perbedaan mendasar tentang
pengalaman tradisional dan modern yang
menunjuk bahwa, manusia tradisonal
atau yang disebut sebagai homo religius,
selalu terbuka untuk memandang dunia
pengalaman yang sakral. Sedangkan
manusia modern tertutup bagi pengalaman
semacam ini. Dikatakan selanjutnya oleh
Eliade bahwa, bagi orang-orang dunia
ini hanya dialami sebagai profan. Dari
sini menunjukkan apakah pengalamanpengalaman yang berlawanan itu dalam
setiap tahapannya memang konsisten.
Karena menurutnya manusia tradisional
sering kali mengekspresikan pertentangan
ini sebagai nyata versus tidak nyata,
dimana orang berusaha sebisa mungkin
untuk hidup dalam yang sakral, agar
sepenuhnya dapat menghempaskan serta
menyempurnakan dirinya dalam realitas.
Dari pendapat ini, dapat dijelaskan
bahwa adalah logis bila kalangan peziarah
Gunung Kemukus adalah tergolong
sebagai manusia tradisional memandang
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
ziarah makam termasuk juga sebagai
pengalaman sakral. Seperti dikatakan juga
oleh Eliade bahwa sesuatu yang sakral
itu karena seseorang memanifestasikan
dirinya secara berbeda dalam dunia
profan. Artinya ziarah mistik di kalangan
peziarah Gunung Kemukus, melakukan
ritual sedemikian rupa dan berbeda
dengan bentuk-bentuk ritual lain yang ada
dalam dunia profan.
mistik dimanefistasikan dalam suasana
mistik secara langsung dialami oleh
seseorang sebagai suatu pengalaman batin.
Demikian dari pendapat Eliade di
atas, terutama terkait dengan materi ziarah
Gunung Kemukus, dapat disimpulkan
bahwa pemahaman manusia sekalipun
mengenai yang ilahi tidak pernah akan
tuntas, karena manusia terbatas oleh
ruang dan waktu. Begitu pula bahwa
pengalaman religius ataupun laku batin
dalam ajaran Kejawen dengan segala
kearifannya, memaknai bahwa realitas
keilahian itu adalah misteri (Andreas,
Yumama, Sinar Harapan, 2008).
Dari perspektif di atas, tahapan
dialektis itu juga berlangsung di kalangan
para peziarah makam Gunung Kemukus
dalam upaya dirinya mengKonstruksi
Realitas Sosial tentang ziarah misik dengan
obyek makam di Gunung Kemukus,
Sragen.
b. Postulat Mistisme
Dari
berbagai
postulat
yang
mengungkapkan konsep tentang Tuhan,
baik itu yang berpaham panteisme maupun
monoteisme diketahui bahwa pola
hubungan antara manusia dengan Tuhan
dapat dibedakan menjadi dua macam
kecenderungan mistik. Yakni union mistik
dan personal mistik (fairuzzabadi.blogspot.
com/2010/10/macam-mistikisme.
html). Dimana union mistik merupakan
kesatuan mistik diartikan sebagai proses
terjadinya pengalaman penyatuan jiwa
manusia dengan realitas yang lebih tinggi
yang terjadi secara langsung. Sedangkan
personal mistik adalah hubungan antara
manusia dengan pencipta.
Demikian
dari
penjelasan
tentang macam-macam mistik yang
ada maka paham union mistik dapat
digunakan sebagai suatu paham yang
menggambarkan bagaimana laku ziarah
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Berangkat dari perspektif Berger dalam
bukunya yang berjudul The Sacred Canopy,
agama dimengerti sebagai hasil konstruksi
manusia melalui tiga tahapan dialektik,
yakni, eksternalisasi, obyektivasi, dan
internalisasi (for-the-better-word.blogspot.
com/agama-sebagai-realitas-sosial.html).
c. Kejawen
Dikatakan bahwa Kejawen adalah
suatu ajaran spiritual leluhur Jawa
(http://agamaKejawen.blogspot.com/p/
Kejawen-murni.html) yang belum terkena
pengaruh dari budaya luar. Selain itu
agama Kejawen adalah nama sebuah
kelompok kepercayaan-kepercayaan yang
mirip satu sama lain dan bukan sebuah
agama yang terorganisir seperti agamaagama yang ada lainnya sebagai ciri khas
dari agama Kejawen adalah perpaduan
antara unimisme dan agama Hindu
ataupun Budha. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa Kejawen menunjuk
pada etika sebuah gaya hidup yang
diilhami oleh pemikiran Jawa. Misalnya
seperti yang ditunjuk dalam keagamaan
orang Jawa Kejawen yang ditentukan
oleh kepercayaan mereka pada berbagai
kebiasaan laku batin. Yaitu, suatu kegiatan
orang Jawa Kejawen seperti meditasi
atau semedi. Oleh Koentjoroningrat
disebutkan bahwa kegiatan semedi atau
meditasi dilakukan bersama dengan tapa
brata di tempat-tempat yang dianggap
keramat seperti di gunung, kuburan
213
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
atau ruang yang dikeramatkan (http://
keratonsurakarta.com/orangJawa.html).
Dari penjelasan ini dapat dikatakan
peziarah Gunung Kemukus yang orang
Jawa melakukan ziarah mistik sebagai
suatu kegiatan orang Jawa Kejawen
dalam bentuk semedi atau meditasi
di lokasi makam seperti yang ada di
Gunung Kemukus sebagai ruang yang
dikeramatkan selama ini. Di lain pihak laku
batin orang Jawa Kejawen disertai mentera
yang tidak sama maknanya dengan doa.
Sedangkan laku semedi memiliki makna
sebagai tata cara memberdayakan daya
hidup dengan mengikuti kaidah memayu
hayuning bawana. Dari sini daya kehidupan
orang akan menumbuhkan dua magis
yang melingkupi dirinya. Secara Kejawen
dura magis dengan dura alam semesta
berkait erat yakni, sebagai gelombang
energi yang saling mempengaruhi
secara kosmis magis. Itu sebabnya pula
sesaji sebenarnya merupakan upaya
harmonisasi melalui jalan spiritual yang
kreatif
(http://sabdalangit.wordpress.
com/2009/01/11/menelisik-rahasiafilsafat-Kejawen). Dengan kata lain sesaji
dalam ziarah mistik di Gunung Kemukus
dilakukan para peziarah sebagai upaya
harmonisasi kesadaran manusia.
Berdasarkan
adanya
kesadaran
hubungan kesemestaan telah menjadi
salah satu landasan utama kawruh
Kejawen atau biasa dinamakan ngelmu
uripnya wong Jowo, maka dengan
demikian cipta, rasa karsa Jawa senantiasa
berdasarkan ber-Tuhan, kesemestaan dan
keberadaban yang melandasi ngelmu urip.
Dari sini kemudian melahirkan budaya
dan peradaban Jawa yang mencakup
sistem religi dan spiritualisme, filsafat
hidup, tradisi dan laku budaya dan lain
sebagainya. Atas dasar pemikiran tentang
logika Kejawen di atas, dapat dijelaskan
bahwa tradisi ziarah mistik Gunung
214
Kemukus berkaitan dengan kesadaran
kesemestaan di kalangan peziarah, sebagai
manifestasi dari hubungan manusia
dengan jagad raya dengan seluruh isinya.
Hasil interaksi wiji spiritual Jawa (buildin spiritual) dengan geo spiritual (keadaan
alam) melahirkan falsafat pemunggulan
(adammas.com) yang berarti bahwa semua
yang ada dan tergelar di jagad semesta ini
merupakan kesatuan tunggal semesta.
Maksudnya ada hubungan kosmis magis
dalam jagad raya ini yang dipercaya di
kalangan orang Jawa Kejawen.
d. Teori Konstruksi Realitas Sosial
Teori Konstruksi Realitas Sosial
dari Berger dan Luckman mengandung
pemahaman bahwa kenyataan dibangun
secara sosial serta kenyataan dan
pengetahuan merupakan dua istilah
kunci untuk memahaminya. Kenyataan
adalah suatu kualitas yang terdapat
dalam fenomena-fenomena yang diakui
keberadaannya sendiri, sehingga tidak
tergantung kepada kehendak manusia
(Berger and Luckman, 1990).
Terkait dengan realitas setidaknya
ada tiga teori yang berpandangan ber­
beda yaitu, tentang fakta sosial yang
beranggapan bahwa tindakan dan persepsi
manusia ditentukan oleh masyarakat dan
lingkungan sosialnya. Sementara norma,
struktur dan institusi sosial menentukan
individu manusia dalam artian yang luas.
Sementara tentang tindakan, pemikiran,
cara penilaian dan cara pandang terhadap
apa saja tidak bisa terlepas dari struktur
sosialnya.
Begitu halnya dengan teori definisi
sosial, beranggapan manusialah yang
membentuk perilaku masyarakat. Norma,
struktur dan institusi sosial dibentuk oleh
individu-individu yang ada didalamnya.
Sedangkan
teori
konstruksi
sosial,
beranggapan bahwa realitas memiliki
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
dimensi subyektif dan obyektif. Manusia
hanyainstrumendalammenciptakanrealitas
yang obyektif melalui proses eksternalisasi
sebagaimana ia mempengaruhinya me­
lalui proses eksternalisasi sebagimana ia
mempengaruhinya melalui proses inter­
nalisasi yang mencerminkan realitas
subyektif.
Demikian untuk tujuan tiga tipe
realitas yang senantiasa berlangsung
dalam proses dialektis yaitu :
1. Realitas obyektif.
Suatu kenyataan yang dialami sebagai
dunia nyata yang berada di luar individu.
Kenyataan ini dipahami sebagai kenyataan
yang par-exelence yang tidak memerlukan
pertimbangan lebih lanjut melampaui
keberadaannya. Sekalipun manusia bisa saja
mempertimbangkan untuk tuju­an rutinitas
kegiatan yang menjamin ke­beradaannya
dan interaksinya dengan orang lain.
2. Realitas simbolik.
Terdiri dari segala macam bentuk
ungkapan simbolik dari realitas obyektif
yang ada. Dalam hal ini ada banyak realitas
simbolik yang berbeda satu dengan yang
lainnya melalui suatu sistem simbol yang
bermacam-macam. Dalam hal ini yang
penting adalah kemampuan individu
untuk merasakan lingkungan realitas
simbolik yang berbeda dan untuk bisa
membedakan macam-macam obyek yang
merupakan unsur pokok realitas yang
macam-macam tersebut.
3. Realitas subyektif.
Adalah yang mana baik realitas
simbolik maupun realitas obyektif me­
rupa­kan suatu input bagi pembentukan
realitas.
Dari penjelasan teori di atas, maka
sejauh mana proses konstruksi realitas
ziarah mistik makam Gunung Kemukus
dapat berlangsung dalam tiga tipe realitas
di atas. Apakah sebagai realitas obyektif,
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
simbolik dan atau realitas subyektif oleh
para peziarah makam setempat.
Berikut tahapan proses sosial tentang
realitas yang berlangsung dalam diri
seseorang adalah berkait dengan proses
eksternalisasi, yakni merupakan produk
aktivitas manusia berupa produk-produk
sosial terlahir dari eksternalisasi manusia.
Jadi eksternalisasi adalah suatu pencurahan
kehadiran seseorang secara terus menerus
ke dalam dunia, baik dalam aktivitas
fisik maupun mental. Eksternalisasi
merupakan
keharusan
antropologis
keberadaan seseorang yang tidak mungkin
berlangsung dalam lingkungan interioritas
yang tertutup tanpa gerak.
Kemudian
proses
obyektivikasi
seperti dikatakan oleh Berger bahwa
masyarakat adalah produk manusia yang
berakar pada fenomena eksternalisasi.
Suatu produk manusia yang kemudian
berada di luar dirinya, menghadapkan
produk-produk sebagai faktisistas yang
berada di luar dirinya. Jadi dalam hal ini
semua produk kebudayaan berasal dari
kesadaran manusi. Dari pengertian proses
ini dapat dijelaskan bahwa ziarah mistik
makam Gunung Kemukus oleh para
peziarah dikesankan sebagai laku ritual
religius mistik sebagai produk ajaran
Kejawen sebagai perilaku kebudayaan
Jawa yang selama dianut orang-orang.
Selain itu proses internalisasi adalah
melihat manusia dipahami sebagai
kenyataan subyektif yang berlangsung
melalui internalisasi. Jadi internalisasi
adalah suatu pemahaman atau penafsiran
individu secara langsung atas sesuatu
peristiwa
obyektif
melalui
bentuk
pengungkapan makna. Dengan landasan
penjelasan ini, seseorang peziarah terlibat
dalam suatu proses internalisasi bahwa
ziarah mistik makam merupakan cara
pengungkapan makna sebagai laku mistik
dalam memahami realitas keberadaan
215
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
mitos tertentu yang ada di makam sebagai
suatu peristiwa religius batin yang
dilakukan orang-orang.
e. Teori Interaksi Simbolik
Pengertian tentang simbol-simbol
yang digunakan dipahami bahwa suatu
simbol adalah obyek sosial dalam interaksi
yang ada. Sebagai premis utama dari Teori
Interaksi Simbolik menyatakan bahwa :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna-makna yang ada
pada mereka.
2. Makna tersebut berasal dari interaksi
sosial antara seseorang dengan orang
lain.
3. Makna-makna disempurnakan saat
proses interaksi sosial itu berlangsung.
Dengan dasar ketiga premis ini,
maka pemaknaan bahwa realitas ziarah
mistik diartikan sebagai laku ritual batin
peziarah sebagai hasil dari interaksinya
denga peziarah yang lain atas dasar
adanya makna obyek ziarah yang tersebut
maupun berdasarkan tindakan yang sama
diantara peziarah maupun juga sebagai
reaksi atas mitos tertentu yang ada pada
obyek makam tersebut. Di sini manusia
merupakan aktor yang sadar dan reflektif
menyatukan obyek yang diketahuinya
sebagai self indication. Yakni, suatu proses
komunikasi yang sedang berjalan, dimana
individu mengetahui sesuatu, menilainya,
memberinya makna dan memutuskan
untuk bertindak berdasarkan makna
itu. Jadi dengan kata lain proses self
indication ini terjadi ketika konteks sosial
berlangsung dimana seseorang mencoba
mengantisipasi tindakan-tindakan orang
lain dan menyesuaikan tindakannya
sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu.
Atas dasar teori ini, dapat dijelaskan
bahwa kebiasaan tradisi ziarah mistik
di
Gunung
Kemukus
merupakan
216
tindakan sadar dan reflektif atas obyek
makam yang diketahuinya itu. Dari satu
orang memberikan penilaiannya dan
memutuskan untuk bertindak atas dasar
pengetahuannya dan makna tertentu dari
tindakan ziarah yang dilakukannya itu.
Sementara itu berlangsung sebagai hasil
antisipasi tindakan para peziarah lain
untuk penyesuaian diri atas tindakan yang
dilakukan orang lain tersebut, sama seperti
halnya dirinya dalam menafsirkan arti
tindakan orang lain tersebut melakukan
kebiasaan ziarah mistik di Gunung
Kemukus.
f. Teori Pemaknaan Pesan
Mein Hidayat (2008) menyatakan
bahwa dalam konteks komunikasi,
makna dan pemaknaan akan selalu
muncul dalam episode pembuatan pesan,
penerimaan pesan dan proses yang
berlangsung didalamnya baik pembuatan
maupun penerimaan pesan, berkisar
pada bagaimana orang mamahami,
mengorganisir dan menggunakan pesan.
Dari penjelasan teori ini dapat dijelaskan
lebih lanjut bahwa komunikasi diantara
individu
para
peziarah
senantiasa
berlangsung pembuatan, penerimaan
dan proses pesan. Termasuk informasi
tentang lokasi ziarah yang diproduksi
dan disampaikan untuk kemudian
diterima oleh orang-orang sebagai
sesama peziarah tentang lokasi makam
yang dimaksud. Dari sini sebagai sesama
pelaku ziarah memahami, mengorganisir
dan menggunakan informasi yang
diperolehnya itu sebagai petunjuk atau
arah bertindak melakukan ziarah ke obyek
makam Gunung Kemukus yang sudah
diketahuinya.
Dari hal ini dapat dimengerti bahwa
informasi tentang sesuatu hal senantiasa
diperoleh seseorang dari orang lain. Karena
makna merupakan hakikat komunikasi.
Jadi makna atau suatu pemaknaan itu
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
sesungguhnya dilakukan terhadap apa
ataupun siapa. Dalam hal ini adalah tentang
obyek makam Gunung Kemukus kepada
sesama peziarah ataupun orang-orang yang
suka melakukan ziarah mistik makam.
riset. Wawancara mendalam (indepth
interview) dilakukan dengan sebanyak
6 responden yang merupakan peziarah
Makam Kemukus, Sragen. Metode yang
dipakai menggunakan fenomenologi.
Sedemikian pemaknaan terhadap
suatu fakta ataupun kenyataan tentang
ziarah mistik makam berlangsung dalam
berbagai cara. Salah satunya adalah upaya
penafsiran oleh seseorang dengan tetap
berpegang pada materi yang ada tentang
lokasi, obyek ataupun latar belakang serta
konteksnya maka seseorang dapat lebih
mengemukakan konsep atau gagasannya
dengan lebih jelas lagi tentang ziarah
mistik yang selama ini dijalaninya.
Dalam
penelitian
fenomenologi
melibatkanpengujianyangtelitidanseksama
pada kesadaran pengalaman manusia.
Konsep utama dalam fenomenologi adalah
makna. Makna merupakan isi penting
yang muncul dari pengalaman kesadaran
manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas
yang esensial dari pengalaman kesadaran
dilakukan dengan mendalam dan teliti
(Smith, etc., 2009: 11, dalam http://staff.
uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/
Dra.%20Mami%20Hajaroh,%20M.Pd./
fenomenologi.pdf).
Metodologi
Penelitian
ini
termasuk
jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Sumber
data penelitian ini menggunakan metode
wawancara (indepth interview) mendalam
dan studi dokumentatif dari berbagai
literatur yang relevan dengan kepentingan
Sajian dan Analisis Data
Berdasarkan guide interview, maka
analisis data yang dilakukan terlihat
seperti seperti tabel di bawah ini.
Tabel 1
Data tentang Persepsi Responden terhadap Makam Kemukus
n=6
Pertanyaan
Jawaban Responden
Konstruksi Realitas Sosial
1.Obyektif
Apa yang terpikir oleh saudara 1. Makam keramat
2. Tempat ziarah
2.Obyektif
tentang makam Kemukus
3. Tempat berdoa
3.Simbolik
4. Lokasi ziarah
4.Obyektif
5. Lokasi ziarah
5.Obyektif
6. Makam mistis
6.Subyektif
Sumber: Diolah penulis
Berdasarkan jawaban dari 6 orang
responden penelitian dari Tabel 1 yang
ditemui oleh peneliti terlihat makna
jawaban yang ada meliputi kategori
sebagai tempat ziarah ada 3 orang
responden, 2 orang memaknainya sebagai
makam keramat atau mistis dan 1 orang
memaknainya sebagai tempat berdoa
kepada leluhur. Dari tiga kategori makna
jawaban responden tersebut, maka
berdasarkan persepsi responden yang
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
ada dapat diinterpretasikan konstruksi
realitas sosial yang terbentuk dalam
masing-masing responden tergolong juga
ke dalam tipe realitas obyektif oleh 4 orang
responden, 1 orang responden terbangun
konstruksi realitas subyektif dan 1 orang
lagi terbangun konstruksi realitas simbolik.
Berikut
dapat
dilihat
dilihat
gambaran data tentang motivasi diri atau
alasan responden berkunjung ke makam
Kemukus. Seperti pada tabel 2 berikut ini.
217
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
Tabel 2.
Data Motivasi Responden ke Makam Kemukus
n=6
Pertanyaan
Apa alasan saudara ke lokasi
makam Kemukus
Jawaban Responden
1.Memohon niat
2.Mengetahui
3.Diajak teman
4.Percaya
5.Ziarah
6.Ritual
Konstruksi Realitas Sosial
1.Subyektif
2.Simbolik
3.Obyektif
4.Subyektif
5.Obyektif
6.Simbolik
Sumber: Diolah penulis
Dari Tabel 2 di atas nampak pada
umumnya motivasi responden berkunjung
ke makam Kemukus antara lain terdorong
oleh rasa ingin tahu, memohon niatan,
diajak teman, percaya, ziarah, dan
menjalankan ritual. Dari gambaran ini
maka proses konstruksi realitas sosial
yang terbentuk di kalangan mereka
adalah 2 orang sebagai pembentukan
realitas obyektif, kemudian 2 orang
sebagai pembentukan realitas subyektif
dan 2 orang lagi sebagai pembentukan
realitas simbolik dalam kaitannya dengan
motivasinya mengunjungi lokasi makam.
Berikut ini bagaimana kaitan antara
pengalaman sehari-hari yang dirasa oleh
responden selama berada dilokasi makam
Kemukus seperti pada gambaran data
Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3.
Data Pengalaman Responden dan Konstruksi Realitas Sosial-nya
n=6
Pertanyaan
Pengalaman apa yang saudara
rasakan di lokasi makam Kemukus
Jawaban Responden
1. Tempatnya suci
2. Rasa hormat
3. Tawasul
4. Religiusitas
5. Ritualisasi
6. Syirik
Konstruksi Realitas Sosial
1. Subyektif
2. Subyektif
3. Subyektif
4. Simbolik
5. Simbolik
6. Subyektif
Sumber: Diolah penulis
Melihat apa yang ada pada Tabel
3, dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa dari 6 orang responden yang ada
itu, maka hampir seluruhnya memiliki
variasi jawaban yang tidak sama atas
pertanyaan tentang pengalaman seperti
apa yang dirasakan selama ada di makam
Kemukus. Dimana mengenai pengalaman
rasa yang dialaminya itu seperti tempat
yang suci, ada rasa keramat pada orang
yang dimakamkan disitu, rasa tawasul
(berdoa kepada Tuhan lewat perantara
218
makhluk), religiusitas, dan ada yang
merasakan apa yang dialaminya itu
sebagai syirik (menyekutukan Tuhan) atau
tempat itu syirik.
Demikan dari variasi apapun Jawaban
responden yang disampaikan di atas,
dilihat dari proses konstruksi realitas sosial
atas pengalaman rasa yang dialaminya
itu, pada umumnya tergolong sebagai
gambaran Konstruksi Realitas Sosial
yang terbangun sebagai realitas subyektif
pada 4 orang responden dan 2 orang lagi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
mengkonstruksikan pengalaman rasa
yang ada dalam dirinya sebagai gambaran
realitas simbolik.
poin pertanyaan di atas, maka untuk
pertanyaan akhir tentang apa realasi
mereka setelah itu yang dilakukan dapat
dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Demikian dari apapun juga yang
dikemukakan responden atas beberapa
Tabel 4
Data Realisasi dan Konstruksi Realitas Sosial Responden
n=6
Pertanyaan
Realisasi yang bagaiman selanjutnya
dilakukan oleh saudara
Jawaban Responden
1. Penokohan
2. Ingkar
3. Agamis
4. Muamalah
5. Tradisi ziarah
6. Toleransi
Konstruksi Realitas Sosial
1. Simbolik
2. Subyektif
3. Subyektif
4. Subyektif
5. Obyektif
6. Subyektif
Sumber: Diolah penulis
Dari gambaran Tabel 4 terlihat
bahwa dari jumlah 6 orang responden
memberikan jawaban atas pertanyaan
realisasi yang bagaimana selanjutnya
yang dilakukan. Maka beberapa variasi
Jawaban mereka seperti melakukan
penokohan terhadap sosok orang yang
dimakamkan di situ, pengingkaran atas
agamanya sendiri, lebih menjadi agamis,
muamalah (kemasyarakatan) dalam sikap,
sebagai tradisi melakukan ziarah dan
merasa lebih toleran kepada siapapun.
Demikian variasi jawaban responden yang
ada diatas, sehingga dari jawaban mereka
dikaitkan dengan proses pembentukan
konstruksi realitas sosial tentang realisasi
yang dilakukannya tersebut tergolong
atas.
Kesimpulan
Dari hasil analisis data di muka maka
sebagai kesimpulan yang dapat ditarik,
bahwa bagaimana orang memaknai ziarah
makam Kemukus menurut persepsinya,
menunjuk kepada tipologi konstruksi
realitas sosial tertentu yaitu:
1. Ada 7 makna pernyataan dari jawaban
responden yang menunjuk bahwa
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
ziarah makam kemukus merupakan
gambaran konstruksi realitas obyektif.
2. Ada 7 makna pernyataan dari jawaban
responden yang menunjuk bahwa
ziarah makam Kemukus merupakan
gambaran sebagai konstruksi realitas
sosial subyektif.
3. Ada 5 gambaran bahwa ziarah makam
Kemukus
merupakan
konstruksi
realitas
simbolik
dari
jumlah
pernyataan responden seluruhnya.
Daftar Pustaka
Andreas, Yumama. (2008). Majalah Sinar
Harapan.
Berger and Luckman. (1990). Tafsir Sosial
Atas Kenyataan. Jakarta: LP3S.
Poloma, Margeret M. (2007). Sosiologi
Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Hidayat, Mein. (2008). Makna dan
Pemaknaan Aplikasi dalam Penelitian.
Makalah. Bandung: Fakultas Ilmu
Komunikasi, Universitas Padjajaran.
Nurwanto. (2003). Sakral dan Profan. Edisi
Terjemahan. Yogyakarta: Penerbit
Fajar Pustaka Baru.
219
Subagyo, dkk. Fenomenologi Ziarah Makam ...
Smith, Jonathan A., Flowers, Paul., and
Larkin. Michael. 2009. Interpretative
Phenomenological Analysis: Theory,
Method and Research. Los Angeles,
London, New Delhi, Singapore,
Washington: Sage.
Fairuzzabadi.blogspot.com/2010/10/
macam-mistikisme.html
pikirankoe.wordpress.com/2008/08/
menjelajah-imajinasi-mistik-Jawa.
html
http://agamaKejawen.blogspot.com/p/
Kejawen-murni.html
http://keratonsurakarta.com/orangJawa.
html
http://sabdalangit.wordpress.
com/2009/01/11/menelisik-rahasiafilsafat-Kejawen
http://widodo-sarono.blogspot.
com/2011/12/peran-mistik-bagimasyarakat-Jawa.html.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/
files/penelitian/Dra.%20Mami%20
Hajaroh,%20M.Pd./fenomenologi.
pdf
220
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 6 No. 2, Juli 2013: 221-234
Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell
terhadap Pengembangan Ilmu Komunikasi
A. Eko Setyanto
Nuryanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Establishment of Communication Studies discipline was originally spearheaded by sosial
science experts with a background in scientific fields such as political science, psychology,
mathematics, literature and sociology. Therefore the next stage of Communication Studies
as a discipline that whole tend to be eclectic and multi-disciplinary. Political science
contributed greatly to the birth of Communication Studies through thought Harold Lasswell
who is also a professor of political science. Although Lasswell thought to have contributed
to the formation of Communication Studies through the theory of propaganda, Lasswell
role is still rarely studied. This study is an attempt to fill the void of figure studies thinkers
in the field of communication.
Key words: communication studies, Harold Lasswell, propaganda
Pendahuluan
Kegiatan
berkomunikasi
adalah
kegiatan yang melekat pada diri manusia.
Bahkan komunikasi itu ada berbarengan
dengan keberadaan manusia sebagai
homo-sociocus.
Kemampuan
manusia
untuk berkomunikasi semakin lama
menjadi semakin rumit dan kompleks
sehingga dapat menjadi pembeda antara
dunia manusia dengan dunia binatang.
Komunikasi yang dikembangkan oleh
manusia sarat dengan berbagai simbol
dan karena itu hanya dapat dicerna oleh
manusia itu sendiri. Fenomena komunikasi
secara serius dipelajari sejak zaman
Yunani maupun Romawi kuno dalam
kemampuan rhetorika. Selain di Eropa,
fenomena komunikasi pun dipelajari di
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
India maupun di China. Bahkan kertas
sebagai media berkomunikasi ditemukan
pertama kali di China sekitar tahun 105 M.
Aktivitas
komunikasi
menjadi
semakin intensif ketika ditemukannya alat
mesin cetak oleh Guttenberg pada tahun
1457. Alat ini membawa revolusi dalam
berkomunikasi, terutama komunikasi
cetak yang mampu menebar ide dalam
jumlah yang besar dan dalam waktu yang
relatif singkat. Pada awalnya, kegiatan
komunikasi yang semakin masif berupa
propaganda untuk menyiarkan agama,
baik di Eropa untuk penyiaran agama
Kristen maupun di Jazirah Arab untuk
penyiaran agama Islam. Penemuan mesin
cetak pada awalnya dipergunakan untuk
mencetak buku-buku injil.
221
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
Fenomena komunikasi yang sudah
dicermati sejak zaman Yunani Kuno
ternyata tidak segera melahirkan kajian
tersendiri yang dikenal sebagai Ilmu
Komunikasi sampai akhir abad 19. Baru
pada awal abad 20, fenomena komunikasi
dipelajari secara serius oleh ahli-ahli
politik, matematika, psikologi, linguistik
dan sebagainya. Kajian-kajian mereka ini
pada akhirnya melahirkan ilmu baru yaitu
Ilmu Komunikasi. Kajian-kajian para ahli
tersebut antara lain Harold Lasswell (ilmu
politik), Kurt Lewin (Psikologi sosial), Carl
Hovland (psikolog), dan Paul Lazarsfeld
(sosiolog).
Kegiatan akademik pada awal ke­
lahiran Ilmu Komunikasi sudah meng­
gambar­kan bahwa fenomena komunikasi
merupakan suatu obyek yang dapat diteliti
oleh berbagai disiplin ilmu. Dengan kata
lain, komunikasi bukanlah suatu disiplin
ilmu. Ia hanya sekedar obyek kajian disiplin
ilmu lain belaka. Pada perkembangan
selanjutnya, seorang ahli yang bernama
Wilbur Schramm mengemas menjadi
disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari
disiplin ilmu-ilmu lainnya.
Selepas Perang Dunia II, Ilmu
Komunikasi berkembang pesat sejalan
dengan penemuan-penemuan mutakhir
teknologi komunikasi dan komputer
serta semakin berkembangnya kegiatan
di
bidang
perdagangan/pemasaran,
khususnya bidang periklanan dan public
relations.
Sejalan dengan kemajuan aktivitas
komunikasi, kajian-kajian di bidang
komunikasi juga semakin berkembang
dan semakin canggih. Namun demikian,
kajian-kajian tentang formasi ketika
Ilmu Komunikasi dibentuk, masih jarang
dilakukan. Kajian-kajian dengan berbasis
pendekatan biografi personal para pelopor
Ilmu Komunikasi tidak banyak yang
mempelajarinya. Beberapa diantaranya
222
antara lain Everett Rogers (1994) mengkaji
sejarah
Ilmu
Komunikasi
dengan
pendekatan biografi personal. Nuryanto
(2011) meneliti pemikiran Wilbur Schramm
dalam upaya membentuk disiplin Ilmu
Komunikasi. Sementara itu, masih banyak
tokoh-tokoh intelektual pelopor Ilmu
Komunikasi yang pemikirannya patut
dikaji secara mendalam. Salah satunya
adalah Harold Dwight Lasswell (19021978).
Keintelektualan Harold Lasswell
dibesarkan dalam tradisi ilmu politik.
Namun menurut Almond (1987), selain
ilmu politik Lasswell juga belajar
psikologi. Kedua ilmu itu ia gabungkan
menjadi psikologi politik (Lasswell, 1925)
dan menjadi pijakan untuk membangun
teori propaganda politik (Lasswell, 1927).
Propaganda menjadi kajiannya yang
serius terutama ketika Perang Dunia II.
Lasswell diserahi tugas oleh pemerintah
Amerika untuk mengungkap manipulasi
dan tehnik propaganda Nazi. Kajian-kajian
propaganda inilah yang menjadi salah
satu elemen dalam menyusun bangunan
Ilmu Komunikasi. Istilah Who (says) What
(to) Whom (in) What Channel (with) What
Effect dalam kegiatan komunikasi sangat
dihafal oleh hampir semua mahasiswa
komunikasi. Istilah ini merupakan turunan
dari kajiannya di bidang politik yang
berbunyi Politics is who gets what, when, and
how.
Meskipun Lasswell telah memberikan
sumbangan besar dalam Ilmu Komunikasi,
tradisi keintelektualannya yang multidisiplin belum banyak dikaji. Padahal
kajian-kajian semacam ini penting untuk
diketahui oleh mahasiswa komunikasi
atau siapa saja yang baru belajar Ilmu
Komunikasi agar mereka dapat memahami
secara utuh tradisi intelektual para pendiri
Ilmu Komunikasi.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
Sketsa Kehidupan Harold Laswell
Terlahir dengan nama lengkap Harold
Dwight Lasswell di kota kecil Donnellson,
Illinois, Amerika Serikat tahun 1902. Ia
dikenal sebagai seorang sarjana mumpuni
dan salah satu pelopor behavior scientific
revolution atau revolusi perilaku dalam
kajian ilmu sosial, khususnya ilmu politik.
Dalam bidang ilmu politik ia
menekankan pentingnya kajian tentang
kepribadian (personality), struktur sosial
maupun budaya yang berpengaruh dalam
fenomena politik. Sesuai dengan aliran
perilaku yang ia pelopori, metodologi
dalam penelitian ilmu sosial-politik pun
banyak yang diperkenalkan dengan halhal baru. Hal-hal baru yang diperkenalkan
misalnya metode klinis dan wawancara
mendalam yang diadopsi dari ilmu
psikologi. Kemudian analisis isi maupun
metode eksperimen yang pada waktu
itu ilmu politik didominasi oleh metode
pendekatan sejarah, hukum dan filsafat.
Demikianlah, Lasswell dikenal sebagai
suhu (master) ilmu sosial pada waktu itu
karena berlatar belakang berbagai disiplin
ilmu yang akhirnya menyatu dalam alam
pikirannya. Oleh karena itu, pikiran
Lasswell sangat ekletik dan luas tanpa
terjebak dalam kungkungan satu disiplin
ilmu saja sehingga terhindar dari egoisme
sektoral keilmuan. American Council of
Learned Societies melukiskan:
“Harold Dwight Lasswell, master of all
the sosial sciences and pioneer in each;
rambunctiously devoted to breaking down
the man-made barriers between the sosial
studies, and so acquainting each with
the rest; filler-in of the interdisciplinary
spaces
between
political
science,
psychology, philosophy, and sociology;
prophetic in foreseeing the Garrison State
and courageously intelligent in trying to
curb its powers; sojourner in Vienna and
selective trans- mitter of the Freudian
vision to his American colleagues;
disciplined in wide-ranging inquiry;
working against resistance to create a
modern quadrivium of the sosial sciences
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
that will make them truly liberal arts”.
(McDougal, 1979: 676-677).
Meskipun
Lasswell
dinobatkan
sebagai suhu ilmuwan sosial, olah-pikirnya
tidak berhenti pada ilmu semata, namun
selalu bertujuan bagaimana ilmu dapat
berperan untuk mempertinggi martabat
manusia. Martabat manusia tersebut
dapat dicapai melalui penguasaan ilmu
pengetahuan dan demokrasi. Selanjutnya
digambarkan :
“One of the manifestations of deference
human being is to give full weight to the
fact that they have minds. People need to
be equipped with the knowledge of how
democratic doctrines can be justified… No
democracy is even approximately genuine
until men realize that men can be free; and
that laborious work of modern science has
provided a non-sentimental foundation
for the intuitive confidence with which the
poets and prophets of human brotherhood
have regarded mankind… There is no
rational room for pessimism about the
possibility of putting morals into practice
on the basis of what we know, and we can
know, about the development of human
personality” (McDougal, 1979: 680).
Sejak kecil Lasswell dididik dalam
tradisi intelektual dan agama yang
kuat. Ayahnya seorang pendeta Gereja
Presbiterian yang mendidik dalam tradisi
agama yang taat dan ibunya seorang
guru SMA yang mendidik dalam tradisi
intelektual yang membiasakan bertanya
apa saja demi mencari kebenaran. Dua
tradisi yang berbeda itulah menyebabkan
Lasswell berpikiran lebih terbuka dan
mampu mengadopsi serta mengakomodir
berbagai jenis aliran pemikiran yang pada
akhirnya membuat pemikirannya lebih
kaya dan bahkan cenderung matang
sebelum waktunya.
Ketika remaja, pamannya yang
berprofesi
sebagai
dokter
banyak
memberikan bahan bacaan tentang
Sigmund Freud kepada Lasswell. Sejak saat
itu, ia tertarik mempelajari psiko-analisis,
223
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
khususnya studi tentang kepribadian.
Semasa di SMA, dari guru Bahasa Inggrisnya Lasswell diperkenalkan dengan
pemikiran Karl Marx. Semasa SMA
Lasswell telah menjadi editor koran di
sekolahnya dimana melalui kegiatan ini
kemampuan menulisnya terasah.
Setelah memenangkan kompetisi
mata uji sejarah modern dan Bahasa
Inggris, Lasswell berhasil meraih beasiswa
untuk melanjutkan studi di Universitas
Chicago. Ia mengambil jurusan ekonomi
untuk program under-graduate pada
tahun 1918 pada usia 16 tahun. Di
jurusan­nya ini ia juga menjadi jago debat.
Kehidupan di universitas menjadi awal
ketertarikan dalam kehidupan dan karier
intelektualnya.
Karier intelektual
Pada waktu itu Universitas Chicago,
tempat pertama kali Lasswell menuntut
ilmu, sedang mengalami perkembangan
pesat. Jurusan sosiologi pertama kali
dibuka di tempat ini. Jurusan ekonomi
dan jurusan ilmu politik dipenuhi oleh
pengajar-pengajar yang cerdas dan
berbakat dan menjadi batu penjuru
perkembangan ilmu sosial di Amerika
Serikat.
Setamat under-graduate, Lasswell
melanjut­kan studi pasca sarjana di
jurusan ilmu Politik. Bersamaan ketika
ia diterima di jurusan ini, terbit karya
monumental dosen ilmu politik Charles
Merriam berjudul The Present State of the
Study of Politics yang merupakan cikal
bakal aliran perilaku pada tahun 1921.
Pemikiran Merriam dan dosen-dosen
lainnya sangat berpengaruh terhadap
pendekatan keilmuan Lasswell muda.
Studi empirik tentang perilaku memilih
mulai dipopulerkan dimulai dengan
survei tentang masyarakat Chicago yang
tidak menggunakan hak pilihnya. Merriam
224
kemudian mengusulkan bagaimana studi
politik dapat dilakukan secara lebih ilmiah.
Ia mengusulkan dua hal. Pertama, dalam
menstudi perilaku politik perlu dilandasi
dengan pengetahuan mendalam dalam
bidang psikologi dan sosiologi. Kedua,
penggunaan analisis kuantitatif dalam
menganalisis fenomena sosial. Studi nonvoters di pemilu Chicago tahun 1923 yang
dilakukan Harold Gosnell misalnya telah
menggunakan metode eksperimen untuk
pertama kali pada ilmu politik. Metode ini
adalah metode eksperimen yang pertama
kali diaplikasikan diluar ilmu psikologi.
Ketika Gosnell ditunjuk Merriam
untuk
mengembangkan
komponen
statistik, Lasswell yang ketika itu masih
mahasiswa pasca sarjana didorong untuk
mengembangkan aspek klinis, psikologi
dan sosiologi. Hasilnya adalah artikel yang
pertama kali ditulis Lasswell berjudul
Chicago’s Old First Ward tahun 1923.
Selanjutnya tulisannya yang berkolaborasi
dengan Charles Merriam gurunya berjudul
Public Opinion and Public Utility Regulation
tahun 1924.
Ada dua ambisi yang ingin
diterapkan Merriam untuk mengembang­
kan ilmu politik di Universitas Chicago
dan ternyata dua ambisi ini menyatu
pada diri Lasswell dan dikembangkan
pada kemudian hari. Ambisi pertama
berangkat dari pengalaman Merriam
ketika menjadi kepala propaganda
Amerika di Roma pada Perang Dunia I.
Ambisi kedua berangkat dari keinginan
Merriam untuk mempelajari karekteristik
pemimpin politik dengan pendekatan
psikopatologi. Ambisi pertama Merriam
terjelma menjadi karya disertasi Lasswell
tentang pentingnya moral, propaganda
dan pelatihan kewarganegaraan dalam
menjelaskan perilaku politik. Disertasinya
ditulis tahun 1927 dengan judul Propaganda
Technique in the World War melalui studi
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
lapangan di Eropa. Dalam disertasinya
ini Lasswell menggunakan metode yang
masih jarang digunakan yakni analisis
isi mengenai propaganda selama Perang
Dunia I. Ambisi kedua dari gurunya
terpenuhi ketika terbit karya Lasswell
berjudul Psychopathology and Politics.
Pada tahun 1926 Lasswell terpilih
menjadi asisten profesor ilmu politik
di Universitas Chicago dan memulai
membiakkan penelitian tentang psikologi
politik dan kepribadian politik. Ia banyak
menggunakan catatan-catatan psikiater
dari berbagai rumah sakit untuk meneliti
kepribadian politik.
Buku Psychopathology and Politics
merupakan buku pertama kali membahas
secara sistematis studi empiris tentang
aspek psikologi dalam perilaku politik.
Bersamaan dengan terbitnya buku
tersebut, terjadi gelombang antusiasme
studi budaya dan kepribadian di bidang
antropologi dan psikhiatris. Terjadilah
komunikasi keilmuan antara Lasswell
dengan antropolog besar saat itu, Edward
Sapir, dan psikiater ternama Harry
Sullivan. Ketiganya berencana untuk
menyusun program riset bertema budaya
dan kepribadian di akhir dekade 1920-an.
Tahun 1934 terbit bukunya yang
berjudul World Politics and Personal
Insecurity. Dibuku ini ia memperkenalkan
apa yang disebut analisis konfiguratif. Ia
menjelaskan: “In Configurative analysis the
political process is defined as conflict over the
definition and distribution of the dominant
sosial values – income, deference, and safety
– by and among elites” (Almond, 1987:
257). Ada kalimat dalam buku ini yang
nantinya terkenal sebagai formula trademark Lasswell yaitu “Politics is the Study of
who gets what, when and how”. Selanjutnya
dikatakan: “Political science research hence
requires the analysis of the sosial origins, skills,
personal traits, attitudes, values and assets
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
of world elites, and their changes over time”
(Almond, 1987: 258).
Dalam buku ini pula Lasswell
mengembangkan
analisis
yang
menyangkut kajian hubungan internasional
yakni mengenai konflik yang disebabkan
oleh agresivitas manusia. Ia mengatakan:
“Conflicts among and within nations are related
to human aggressive propensities, as well as the
structural conditions of international relations,
and domestic societies” (Almond, 1987: 258).
Pada tahun 1936, Lasswell menerbikan
buku kecil namun kemudian sangat
monumental yang mengelaborasi bukunya
terdahulu. Buku tersebut berjudul Politics:
Who Gets What, When and How. Dalam
buku ini ia mendefinisikan politik sebagai:
“The struggle among elite groups over
such representative values as income,
deference and safety. The actors in these
conflictual processes are groups organized
around skill, class, personality, and
attitude characteristics; they employ in
different ways and with different effects
he political instrumentalities of symbol
manipulation, material rewards and
sanctions, violence and institutional
practices” (Almond, 1987: 259).
Tahun 1938 Lasswell meninggalkan
Universitas Chicago ke Washington
DC yang rencananya akan bergabung
dengan Sullivan dan Sapir untuk
memenuhi
undangan
penyandang
dana Yayasan William Alanson White
untuk mendirikan institut riset yang
telah mereka bertiga impikan. Namun
malapetaka yang dialami. Mobil van yang
berisi penuh karya intelektual Lasswell
terbakar ketika menuju Washington DC
yang menghanguskan koleksi Lasswell.
Dana yang dijanjikan yayasan juga tidak
kunjung cair sehingga hubungan Laswell
dengan Sullivan memburuk dan akhirnya
Edward Sapir meninggal.
Di Washington DC pada saat
pecah Perang Dunia II, Lasswell banyak
dikontrak menjadi konsultan di berbagai
225
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
lembaga, terutama lembaga penerangan
dan lembaga psikologi antara lain: Office of
Facts and Figures, Office of Strategic Services,
Foreign Broadcast Monitoring Service, dan
Army’s Psychological Warfare Branch. Di
sini ia bertemu dengan kawan-kawan
baru antara lain Paul Lazarsfeld, Samuel
Stouffer dan Carl Hovland.
Selama Perang Dunia, Lasswell
mengusulkan penelitian yang disebut
“world attention survey” yaitu analisis
kuantitatif yang terus menerus mengenai
isi media cetak maupun penyiaran di
negara-negara utama baik itu negara
yang berposisi sebagai kawan, netral
maupun lawan. Usulan studi tersebut
diimplementasikan di Universitas Yale
ketika ia diangkat sebagai profesor di
sana, Proyek itu ditangani bersama
dengan Daniel Lerner dan Ithiel Pool dari
Universitas Stanford. Salah satu karya
yang dihasilkan oleh proyek ini adalah
buku yang berjudul The Policy Sciences.
Sentuhan dengan Bidang Komunikasi
Semula Lasswell tidak banyak
berhubungan dengan bidang komunikasi.
Ilmu yang ia tekuni adala psikoanalisis
dan politik. Sebagaimana diketahui, ke­
ter­tarikan Lasswell pada psikoanalisis
bermula ketika ia remaja melalui bimbing­
an pamannya, lalu menjadi menonjol
ketika ia masuk Fakultas Ilmu Politik
di Chicago. Penguasaan psikoanalisis
Lasswell dipertajam ketika bergaul
dengan Harry Stack Sullivan, orang yang
ber­­peran penting dalam mengenalkan
teori Freud di Amerika dan dengan
Edward Sapir seorang antropolog yang
me­rupakan pelopor pendekatan budaya
dan pendekatan kepribadian dalam
Antropologi.
Selain belajar dengan Sullivan
dan Sapir, Lasswell juga sempat meng­
habiskan waktunya selama 6 bulan
226
bersama Elton Mayo, seorang professor
hubungan industri Universitas Harvard.
Dari Mayo, Lasswell memperoleh ilmu
tentang
bagaimana
menggunakan
metode wawancara psikoanalisis dan
metode pencatatan Tahun 1928, Lasswell
memperoleh
penghargaan
berupa
beasiswa perjalanan dari Dewan Penelitian
Ilmu Sosial untuk mempelajari wawancara
penyakit kejiwaan. Ia menghabiskan
sebagian waktunya di Boston untuk
bekerja dengan Mayo lalu berkunjung ke
Vienna dan Berlin.
Sepulangnya Lasswell ke Chicago, ia
melakukan percobaan menggunakan alat
seperti “lie detector” di sebuah kantor yang
ia bangun sendiri di Gedung Ilmu Sosial.
Ia mengikat “pasien” nya untuk mengukur
respon kulit, denyut nadi, pernapasan
terhadap tegangan listrik. Indikatorindikator emosi tersebut dihubungkan
dengan kata-kata yang mereka ucapkan.
Namun, percobaan Lasswell untuk
menghubungkan teori psikoanalisis dan
tingkah laku tersebut banyak ditolak para
sarjana kampusnya.
Gagasan-gagasan Lasswell tampak­
nya tidak berjalan dengan mudah
karena mendapat perlawanan dari
dalam kalangan ilmuwan politik sendiri.
Publikasi buku berjudul World Politics
and Personal Insecurity tentang teori
psikoanalisis dan kepemimpinan politik
mendapat kecaman yang massif. Oleh
karena itu, selama kurang lebih 12 tahun
(1937-1950), tidak ada satu pun artikel
Lasswell yang dipublikasikan dalam
jurnal ilmu politik. Meskipun demikian,
ia tetap mempublikasikan hasil kerjanya
pada teori psikoanalisis dan politik di
jurnal-jurnal psikiatri. Pada akhirnya,
para ilmuwan politik muda menerima
perspektif Lasswell dan di tahun 1955 ia
terpilih menjadi ketua Asosiasi Ilmu Politik
Amerika, hal ini merupakan kehormatan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
tinggi bagi seorang sarjana yang sudah
berusaha untuk mengenalkan perspektif
teori radikal seperti teori psikoanalis
Freudian pada ilmu politik.
Propaganda
Ketertarikan mengenai studi propa­
ganda tidak lepas dari anjuran gurunya
Chrales Merriam yang akhirnya berbuah
pada disertasi Lasswell.
“Propaganda”,
awalnya,
adalah
sebuah kata netral, berasal dari kata Latin
“to sow” yang bermakna “menyebarkan”
atau memperbanyak sebuah gagasan,”
Namun, kemudian hari khususnya
sejak Perang Dunia 1, penggunaan
kata “propaganda” berubah menjadi
konotasi negatif setidaknya di Inggris.
Pesan propaganda dipersepsikan sebagai
ketidakjujuran, manipulatif, dan pencucian
otak.
Diduga bahwa efektifitas propaganda
sekutu dalam percepatan runtuhnya
semangat juang Jerman di akhir perang
Dunia 1 menjadi jaminan bahwa
propaganda akan menjadi bagian di
setiap konflik militer yang besar, sekarang
dan seterusnya. Selama Perang Dunia 1,
pemerintah Amerika Serikat merancang
sebuah Komite Informasi Publik, yang
diketuai oleh George Creel yang biasa
disebut sebagai Komite Creel, untuk
memimpin upaya propaganda domestik
dan internasional secara besar-besaran.
Pada permulaan penelitian komu­
nikasi, propaganda adalah satu diantara
jenis-jenis penelitian komunikasi yang
paling penting, namun setelah tahun
1940-an, topic ini hampir saja menghilang
karena adanya perlombaan paradigma
pada penelitian komunikasi statistik
yang begitu tinggi dengan metode survei
dan eksperimen daripada menggunakan
analisis isi untuk mempelajari efek-efek
komunikasi. Alasan
lain
terjadinya
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
penurunan
ketertarikan
akademis
terhadap analisis propaganda adalah
kurangnya teori yang koheren dari disiplin
ilmu sosial lainnya yang mempelajari
studi propaganda. Setelah dipelopori
oleh Lasswell dengan disertasi doktoral
dan peluncuran buku miliknya, studi
propaganda ini lebih lanjut dipromosikan
oleh Lembaga Analisis Propaganda,
yang dibangun di New York tahun 1973
didirikan Institute for Propaganda Analysis:
sebuah perusahaan nonprofit untuk
mendorong penelitian ilmiah tentang
propa­ganda. Per­kembangan
metode
komu­­nikasi kuantitatif telah mem­
pengaruhi penelitian Lasswell pada
propaganda. Studi pertamanya, “World
War 1 Propaganda” lebih bernuansa
kualitatif dan bernada kritis. Sebagian
besar Lasswell mengekspos teknik dasar
yang telah digunakan kedua belah pihak
yang berkonflik. Penelitian propaganda
Lasswell selama Perang Dunia II yang
dilakukan selama 15 tahun lebih bersifat
kuantitatif dan statistik.
Studi propaganda Lasswell pada
Perang Dunia I bersifat empiris dalam
pengertian yang
ia nyatakan secara
spesifik contoh-contoh teknik propaganda
yang digunakan oleh bangsa Jerman,
Inggris, Perancis dan Amerika. Sebalik­
nya, disertasi Lasswell adalah sebuah
contoh ilmu pengetahuan yang sangat
teliti:
mengelaborasi
secara
detail
definisi-definisi konsep utama, klasifikasi
strategi propaganda dan faktor-faktor
yang membatasi atau memfasilitasi
efek-efek strategi propaganda. Analisis
propa­ganda Lasswell didasarkan pada
wawancara dengan para pegawai bangsa
Eropa dan pada pemakaian bahan arsip,
sebaik analisis isi kualitatif pada pesan
propaganda. Lasswell memfokuskan
penelitian doktoralnya pada simbol-simbol
yang digunakan pada pesan propaganda
Perang Dunia I.
227
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
Perhitungan Lasswell pada propa­
ganda Perang Dunia I adalah wacana yang
menggelisahkan karena ia menunjukkan
bahwa perang modern adalah benar-benar
perang dimana seluruh warga sipil ikut
ambil bagian penting di dalamnya. Fakta
menunjukkan bahwa propaganda adalah
satu dari instrumen yang paling kuat di
dunia modern, khususnya pada waktu
perang.
Menurut
Lasswell,
propaganda
adalah sebagai “manajemen perilaku bersama
dengan manipulasi simbol-simbol penting”.
Propaganda tidak bersifat baik atau buruk;
determinasi tergantung pada cara pandang
seseorang dan apakah pesan propaganda
itu jujur atau tidak jujur. Propaganda
adalah sebuah upaya “untuk mengubah
pandangan orang lain yang bertujuan
menyebabkan atau membahayakan sese­
orang yang menentang”. Propaganda
tidak lain sebuah cara mengatur opini
publik. Propaganda yang dibarengi per­
suasi adalah komunikasi yang di­sengaja,
dibawa oleh sumber
untuk meng­
ubah perilaku pendengar. Dalam upaya
persuasi, propaganda sangat memberi
keuntungan bagi si pengajak, tapi tidak
bagi yang diajak. Dengan demikian, per­
iklanan, public relations, dan kampanye
politik merupakan propaganda juga.
Meski­pun persuasi sering kali terjadi
secara tatap muka, propaganda adalah
persuasi yang terjadi melalui media massa.
Analisis Isi
Analisis isi adalah penelitian pada
pesan-pesan komunikasi dengan meng­
kategorisasikan isi pesan ke dalam
tingkatan-tingkatan yang bertujuan untuk
mengukur variable-variabel tertentu.
Metode analisis isi dapat dipelajari dari
suatu klasifikasi subjek pada buku-buku
perpustakaan, dan dari indeks injil.
Analisis isi biasanya digunakan untuk
228
mencari efek-efek pesan, meski data actual
tentang efek komunikasi jarang tersedia
pada analisis isi. 20 tahun setelah Perang
Dunia I, propaganda dan analisis isi
Lasswell digunakan sepenuhnya sebagai
alat perang pada Perang Dunia II. Namun,
pasca Perang Dunia II, propaganda tidak
lagi digunakan pada studi komunikasi
massa.
Model Komunikasi
Ketika Perang Dunia II akan segera
dimulai, Lasswell menjadi ketua Divisi
Percobaan untuk Studi Komunikasi Perang
di U.S. Library of Congress. Penelitian
propaganda ini didanai oleh Rockefeller
Foundation kepada Library of Congress.
Pada dasarnya, Lasswell telah membantu
menciptakan proyek Library of Congress
pada tahun 1939-1940 pada Seminar
Komunikasi Massa Yayasan Rockefeller,
yang diadakan oleh John Marshall.
Seminar Komunikasi Rockefeller juga
mencatat sebuah perencanaan persuasif
pada
pemerintahan
federal
dalam
penggunaannya terhadap komunikasi
massa pada saat keadaan darurat perang,
sebuah kebijakan yang sebenarnya
juga sangat membantu Lasswell untuk
memperluas dan menjualnya pada pejabat
tinggi di Washington.
Seminar Komunikasi Rockefeller
diada­kan bulanan selama 10 bulan mulai
September 1939 hingga Juni 1940 di ruang
seminar, Lantai 64 di Plaza Rockefeller,
bangunan milik Rockefeller Foundation.
Dalam surat undangan bagi para
peserta seminar, John Marshall memberi
pernyataan bahwa tujuan seminar adalah
untuk menetapkan pedoman umum
tentang penelitian komunikasi, sehingga
Rockefeller Foundation tahu proyek se­
macam apa yang akan mendapat pen­
danaan. Penandatanganan perjanjian
non agresi antara Jerman-Rusia pada
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
Agustus 1939 dan Invasi Hitler pada
Polandia bulan berikutnya menandai
dimulainya Perang Dunia II di Eropa.
Sejak awal seminar pada September 1939,
tujuan seminar berubah drastis pada
bagaimana komunikasi digunakan oleh
pemerintahan federal guna mengantisipasi
datangnya perang. Laporan akhir seminar
komunikasi Rockefeller, Needed Research
In Communication, tertanggal 17 Oktober
1940, mendeklarasikan bahwa Pemerintah
Amerika bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan rakyat.
Pada seminar bulanan tersebut,
Harold Lasswell adalah orang yang benarbenar berpengaruh ketika mendiskusikan
tentang efek-efek komunikasi. Model efek
komunikasi milik Lasswell, ‘’Who says what
to whom in what channel with what effects?’’
menjadi kerangka dasar selama seminar.
Pemetaan Lasswell pada komunikasi
yang diekspresikan melalui model 5
pertanyaan dengan cepat menjadi dikenal
luas. Kontribusi Lasswell pada Seminar
Komunikasi Rockefeller juga termasuk
penjelasannya tentang fungsi komunikasi
pada masyarakat merekomendsikan bebe­
rapa hal:
a. Pengawasan pada lingkungan, peran
media yang memungkinkan seseorang
untuk mempelajari dan meneliti masa
yang akan datang dengan tujuan untuk
mengetahui peristiwa di dunia yang
lebih luas
b. Korelasi dari respon masyarakat untuk
peristiwa-peristiwa di lingkungan,
seperti ketika komunikasi media massa
bercerita tentang bagaimana seseorang
menginterpretasikan
berbagai
peristiwa. Dalam hal tersebut, berita
membantu seseorang untuk merasakan
apa yang sedang terjadi di dunia
c. Penyaluran warisan budaya, seperti
seorang anak yang diajari sejarah, apa
yang benar dan apa yang salah dan
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
bagaimana mereka berbeda dari yang
lain
Kemudian, para sarjana komunikasi
juga menambahkan fungsi komunikasi
yaitu hiburan. Fungsi yang keempat
ini masih diajarkan pada siswa dalam
pengenalan bidang komunikasi.
Proyek Komunikasi Semasa Perang
Harold Lasswell telah “menjual”
komunikasi kepada pemerintah federal
pada awal Perang Dunia II, bersama para
pelopor komunikasi lainnya, seperti, Paul
F. Lazarsfeld, Kurt Lewin, dan Wilbur
Schramm. Pemerintah Amerika Serikat
sedang menghadapi kekuatan Axis dan
komunikasi akan sangat berguna dalam
upaya ini. Bahkan jika komunikasi
bukanlah sebuah disiplin ilmu, ia akan
tetap diajarkan di universitas di Amerika.
Selain
untuk
mengembangkan
metode analisis propaganda, Rockefeller
Foundation juga menyediakan pelatihan
lapangan secara teknis sebagai antisipasi
bila Amerika Serikat akan menjadi lebih
aktif termasuk kegiatan propaganda
dan intelijen. Tujuan lainnya adalah
menjadikan Lasswell sebagai ahli dalam
bidang propaganda di Washington, dimana
ia menjadi konsultan bagi para pejabat
pemerintah
dalam
mengembangkan
program intelijen dan propaganda.
Salah satu yang paling sering meminta
bantuan Lasswell adalah Departemen
Pengadilan. Lasswell melatih 60 anggota
departemen untuk melakukan analisis
isi terhadap 39 koran luar negeri diluar
studi proyek komunikasi perang, sehingga
propaganda luar di Amerika Serikat
bisa diketahui. Hasilnya diharapkan
dapat digunakan sebagai bukti di ruang
pengadilan. Kemudian dalam beberapa
kasus, Lasswell menjadi saksi ahli sehingga
aksepbilitas analisis isi sebagai bukti dapat
229
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
ditetapkan oleh pengadilan tertinggi di
Amerika Serikat.
Proyek Komunikasi Perang se­
benar­­nya lebih dari sekedar proyek
penelitian, yaitu sebuah upaya intelijen
atau sebagai operasi intelijen yang lebih
menitikberatkan pada metodologi analisis
isi daripada untuk memahami lawan
pada saat itu secara substantif. Paper
proyek Komunikasi Perang milik Lasswell
yang diadakan oleh Library of Congress
Amerika Serikat menunjukkan bahwa
isi beberapa Koran, seperti, Der Bund,
Frankfurter Zeitung, Pravda, Le Matin, La
Prensa, Egypt Gazette, the Omaha WorldHerald dan lain-lain sudah dianalisis.
Lasswell dan teman-temannya para
analisis propaganda yang berkantor di
Lybrary of Congress Annex, atau yang
sekarang biasa disebut dengan the Adams
Building, dekat U.S. Capitol Building di
Washington, D.C, menabulasi kata-kata
insiden, seperti war, nation, peace dan
imperialism. Fokus utama pada analisis
propaganda adalah pada isi media selama
periode awal pecahnya Perang Dunia II
di Eropa 1939. Proyek Lasswell tersebut
menemukan bahwa Jerman melakukan
propaganda dengan cara menyalahkan
negara lain sebagai penyebab terjadinya
Perang Dunia II, mengekspos tuntutan
yang tidak sebenarnya dari propaganda
Inggris dan Perancis serta menekankan
kelemahan dan dekadensi musuh Jerman.
Propaganda Jerman juga menggambarkan
karakteristik
ancaman
orang-orang
Yahudi,
sebuah
tanda
datangnya
Holocaust.
Ilmuwan
politik
Heinz
Eulau
meng­­gambar­kan proyek komunikasi
perang Lasswell tampaknya takkan
pernah berujung dan berakhir dengan
penghargaan oleh perusahaan karena kerja
keras Lasswell. Lasswell telah membentuk
sebuah tim riset dari kelompok muda,
230
termasuk antropolog, psikolog, sosiolog,
dan ilmuwan politik serta hampir
seluruhnya yang turut mempengaruhi
bidang ilmu perilaku setelah perang.
Ithiel de Sola Pool, Edward Shils, Morris
Janowitz, Abraham Kaplan, dan Sebastian
de Grazia, turut terlibat dalam projek
analisis isi.
Joseph M. Goldsen, turut membantu
dalam memberi penjelasan pada sekitar
20 pengkoding yang menganalisis isi
koran sekutu dan koran Axis, serta
radio siaran dalam negeri dan luar
negeri. Pengkoding tersebut diperoleh
melalui berbagai jaringan pertemanan.
Beberapa dari mereka adalah mahasiswa
Universitas Chicago, sementara yang
lainnya merupakan rekomendasi dari
teman dan kolega Lasswell. Goldsen
juga membantu dalam hal mengawasi
kegiatan koding sementara Lasswell
bertugas untuk mengkategorisasi koding,
menginterpretasi hasil analisis isi, juga
menyampaikan hasilnya pada beberapa
agen pemerintah guna mempengaruhi
kebijakan publik.
Proyek Lasswell dilakukan di Library
of Congress Amerika Serikat karena di sana
terdapat banyak koleksi berkenaan dengan
koran-koran yang sedang dianalisis,
juga dikarenakan Archibald MacLeish,
pustakawan Library of Congress adalah
seorang yang sangat cinta tanah air dan
mendukung sepenuhnya terhadap proyek
Lasswell sebagai salah satu langkah
penting bagi pemerintah Amerika Serikat
menghadapi Perang. MacLeish seperti
halnya banyak intelektual Amerika
lainnya, meyakini bahwa keterlibatan
Amerika Serikat dalam Perang Dunia II
tidak akan terelakkan saat Perancis jatuh
pada Juni 1940, meninggalkan Inggris
sendiri menghadapi militer Jerman yang
mencoba mendominasi Eropa.
Pada tahun 1940, ketika proyek
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
propaganda mulai dilakukan, Amerika
Serikat belum terlibat dalam Perang Dunia
II. Presiden Roosevelt berkampanye pada
Pemilu untuk kedua kalinya, berjanji akan
menjaga Amerika dan mengutarakan
keterlibatannya pada perang Eropa
sebagai upaya persiapan mobilisasi. Tentu
saja, saat itu proyek Lasswell menjadi
sangat sensitif dan kemudian disepakati
sebagai program yang akan didanai
pemerintah federal, sementara itu John
Marshall dari Rockefeller Foundation juga
membantu demi persiapan Negara dalam
menghadapi perang.
Ralph Casey ilmuwan politik dan
bidang tambahan pendidikan pada bidang
Jurnalisme, adalah figure penting dalam
memperluas analisis propaganda Lasswell
hingga muncul bidang komunikasi massa.
Lasswell dan Casey berkolaborasi dalam
berbagai hal. Mereka mengabdi di Komite
Dewan Penelitian Ilmu Sosial untuk
membentuk kelompok dan membahas
propaganda dari tahun 1930-1934.
Dari kegiatan tersebut, mereka dapat
mempublikasikan sebuah bibliografi,
Propaganda and Promotional Activities.
Selama Perang Dunia II, Lasswell dan
Casey menjadi konsultan di sebuah kantor
bernama Office of War Information. Dari
situlah, analisis propaganda menjadi
masukan penting pada lahirnya studi
komunikasi Wilbur Schramm.
Sebelum Perang Dunia II, studi
propa­ganda sudah banyak berubah
secara mendasar, antara lain untuk
mencari dokumen tentang kekuatan pesan
propaganda dan untuk mengidentifikasi
kebijakan yang membantu mengekang
kekuatan semacam itu. Namun, setelah
proyek komunikasi perang Lasswell,
yang mempelopori metode kuantitatif
analisis isi pada propaganda sekutu dan
Axis, para peneliti menjadi netral kembali.
Namun demikian, analisis propaganda
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
telah memberi jalan bagi lahirnya Ilmu
Komunikasi.
Sumbangan Lasswell terhadap Studi
Komunikasi
Berikut adalah beberapa aspek
kontribusi Lasswell terhadap pengem­
bangan studi komunikasi:
a. Model 5 pertanyaan komunikasi
Lasswell menekankan pada studi
komunikasi tentang efek-efek. Sarjana
yang meneliti aspek who akan fokus
pada faktor-faktor yang menginisiasi
dan membimbing aksi komunikasi.
Disinilah aspek penting dari analisis
kontrol. Sarjana yang meneliti says
what dalam proses komunikasi
akan fokus pada analisis isi. Sarjana
yang meneliti in which channel yakni
bagaimana perjalanan suatu pesan
akan menekankan analisis data yang
berkaitan dengan radio, pers, film dan
saluran-saluran komunikasi lainnya.
Sarjana yang meneliti to whom akan
fokus pada orang yang terdedah oleh
media sehingga akan banyak terlibat
pada audience analysis.
b. Lasswell mempelopori metode analisis
isi, menanamkan metode ukuran
kualitatif dan kuantitatif pada pesan
komunikasi (sebagai contoh, adalah
pesan propaganda dan editorial koran).
c. Studinya tentang politik dan propa­
ganda
perang
merepresentasikan
jenis studi komunikasi yang penting
ketika itu. Kata propaganda kemudian
memiliki konotasi negatif dan tidak
banyak digunakan saat ini walaupun
ada juga yang menggunakan se­
bagaimana
propaganda
politik.
Analisis propaganda telah diserap ke
dalam bagian penelitian komunikasi
d. Lasswell memperkenalkan teori psiko­
analisis Freudian kepada ilmu sosial di
Amerika. Lasswell menyatukan teori
231
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
Freudian dengan analisis politik. Ia
menggunakan id-ego-superego milik
Freud, melalui analisis isi ke masalah
pemilu politik. Sebagai contoh, ia
menggunakan teori intraindividual
Freudian pada level sosial.
e. Lasswell membantu menciptakan
ilmu-ilmu kebijakan publik, sebuah
pergerakan interdisipliner menuju
pengetahuan
ilmu
sosial
yang
komprehensif dengan disertai aksi-aksi
yang bersifat publik juga.
Kesimpulan
Meskipun fenomena komunikasi lahir
bersaman dengan adanya manusia, Ilmu
Komunikasi lahir jauh sesudahnya yakni
pada abad 19, terutama pada masa Perang
Dunia II. Pada masa Perang Dunia, baik
yang pertama maupun yang kedua, misscommunication dapat memperparah situasi
konflik dan bahkan dapat memunculkan
sengketa baru. Oleh karena itu, fenomena
komunikasi perlu dipelajari secara serius
oleh berbagai disiplin ilmu yang telah
ada, termasuk disiplin ilmu politik yang
dipelopori oleh Harold Lasswell. Maka
dari itu, keberadaan Ilmu Komunikasi
sangat diwarnai oleh pendekatan ekletik
dimana ilmu tersebut sangat terbuka
dengan ilmu lainnya. Para pelopor Ilmu
Komunikasi juga berupaya bahwa ilmu
baru ini dapat membawa kebaikan dan
kesejahteraan manusia serta memberi
jalan keluar jika terjadi miss-communication
sehingga dengan sendirinya mampu
mencegah terjadinya peperangan.
Ada beberapa sumbangan pemikiran
Harold Lasswell dalam pengembangan
Ilmu Komunikasi. Pertama adalah
pembentukan model efek komunikasi
dengan mengajukan lima pertanyaan
kunci yaitu who, says what, in whith
channels, to whom, and in what effects. Kedua,
memperkenalkan isu tentang propaganda
232
sebagai bagian kajian Ilmu Komunikasi.
Ketiga, mengintroduksi metode analisis
isi terhadap berbagai media dalam Ilmu
Komunikasi. Keempat memperkenalkan
teori psikoanalisis dalam kajian Ilmu
Komunikasi.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel, A. (1987). Harold Dwight
Lasswell 1902-1978: A Biographical
Memoir. Washington D. C: National
Academy of Sciences.
Anonim, Definition Personality, dalam
http://dict.die.net/personality/
personality
Antoni. (2004). Riuhnya Persimpangan Itu:
Profil dan Pemikiran Para Penggagas
Kajian Ilmu Komunikasi. Solo: Tiga
Serangkai.
Gendlin, Eugene T, A Theory of
Personality Change, http://www.
focusing.org/personality_change.
html#Personality%20Theory%20
and%20Personality%20Change.
Huberman, A Michael dan Miles Mattew B.
(2009). “Manajemen Data dan Metode
Analisis”, dalam Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, Handbook
of Qualitative Research, terjemahan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lasswell, Harold D. (1925). “Two Forgotten
Studies in Political Psychology”
dalam The American Political Science
Review, (19), 4. pp. 707-717. Diakses
melalui
http://links.jstor.org/
sici?sici= 0003 - 0554 % 28192511 %
2919 % 3A4 % 3C707 % 3ATFSIPP
%3E2.0.CO%3B2-V
Lasswell, Harold D. (1927). “The Theory
of Political Propaganda” dalam The
American Political Science Review, (21),
3. pp. 627-631. Diakses melalui http://
links.jstor.org/sici?sici= 0003 - 0554 %
28192708 % 2921 % 3A3 % 3C627 %
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
3ATTOPP %3E2.0.CO%3B2-L
Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of
Human Communication, fifth edition,
Belmon: Wadsworth.
McDougal, M. S. (1979). Harold Dwight
Lasswell 1902-1978. The Yale Law
Journal, 88(4), 675-680
Nuryanto. (2011). Ilmu Komunikasi
Dalam Konstruksi Pemikiran Wilbur
Schramm. Jurnal Komunikasi Massa.
4(2).
Nuryanto. (2011). Ilmu Komunikasi Dalam
Konstruksi Pemikiran Wilbur Schramm,
Laporan Penelitian FISIP UNS, tidak
diterbitkan.
Rogers, Everett M. (1994). A History of
Communication Study: A Biographical
Approach, Canada: The Free Press.
Smith, Louis M. (2009), ”Metode Biografis”
dalam Norman K. Denzin dan Yvonna
S. Lincoln, Handbook of Qualitative
Research, terjemahan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Yoseph, Iyus, Hand-out Perkuliahan
Psikologi, Yayasan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia – Akademi
Keperawatan PPNI Jawa Barat, tanpa
tahun.
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
233
A. Eko Setyanto, dkk. Sumbangan Pemikiran Harold Lasswell ...
234
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Syarat-syarat Penulisan Artikel
1. Artikel merupakan hasil refleksi, penelitian, atau kajian analitis terhadap berbagai
fenomena komunikasi, khususnya komunikasi massa, yang belum pernah dipublikasikan
di media lain.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan panjang tulisan antara
6.000-8.000 kata, diketik di halaman A4, spasi tunggal, margin atas dan kiri 4 cm,
margin bawah dan kanan 3 cm, menggunakan font Times New Roman 11 point. Artikel
dilengkapi dengan abstrak sepanjang 100-150 kata dan 3-5 kata kunci.
3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Instansi asal Penulis, Alamat Kontak Penulis
(termasuk telepon dan email), Abstrak, Kata-kata kunci, Pendahuluan (tanpa anak
judul), Sub-sub Judul (sesuai kebutuhan), Penutup atau Simpulan, Catatan-catatan dan
Daftar Kepustakaan.
4. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata/istilah Indonesia atau belum
menjadi istilah teknis, diketik dengan huruf miring.
5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai endnotes.
6. Kutipan langsung 5 baris atau lebih diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris
baru. Kutipan langsung kurang dari 5 baris dituliskan sebagai sambungan kalimat dan
dimasukkan dalam teks di antara dua tanda petik. Kutipan tidak langsung (parafrase)
ditulis tanpa tanda petik.
7. Daftar Kepustakaan diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat literatur yang
dirujuk dalam artikel. Penulisan referensi menggunakan sistem American Pschycological
Association (APA)
Contoh:
Fakih, M. (1997). .Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Holmer-Nadesan, M. (1986). “Organizational Identity and Space
ofAction”, 17 (1), 1986, hal. 49-81.
8. Penulis diminta menyertakan biodata singkat.
9. Artikel dikirimkan kepada Tim Penyunting dalam bentuk file MicrosoftWord (.doc
atau .rtf) disimpan dalam disket, CD, USB flashdisk, ataupun sebagai attachment dalam
e-mail.
10.Kepastian pemuatan atau penolakan naskah diberitahukan kepada penulis melalui
surat atau email. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kepada penulis,
kecuali atas permintaan penulis.
11.Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima ucapan terima kasih berupa nomor
bukti 3 eksemplar.
12.Artikel dikirimkan ke alamat di bawah ini:
JURNAL KOMUNIKASI MASSA
Prodi. Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta 57126. Tlp. (0271)632478
Email: [email protected]
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
235
236
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 6 No. 2, Juli 2013
Download