Keharusan Hukum untuk Mati Oleh Agung Putri Benarkah kita ini

advertisement
Keharusan Hukum untuk Mati
Oleh Agung Putri
Benarkah kita ini menyimpan kultur dendam yang tinggi? Sulit dipercaya, begitu
banyak fakta memperlihatkan betapa pemaafnya bangsa ini. Sikap mendukung
hukuman mati tampaknya bukan berasal dari warisan budaya, melainkan kuatnya
keyakinan bahwa itulah cara paling efektif untuk membuat orang jera.
Setidaknya itulah argumen yang melandasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
untuk menyatakan bahwa sanksi pidana hukuman mati pada Undang-Undang
Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28A dan I. Keputusan
tersebut bukan- lah suatu pandangan yang kontroversial. Di hampir semua negara
yang masih memberlakukan hukuman mati selalu dinyatakan bahwa hukuman mati
sesuai dengan asas keadilan negara itu dan diberlakukan secara terbatas.
Opini berbeda tiga hakim MK sebaliknya menyatakan bahwa sanksi hukuman mati
tidak memiliki efek jera dan bahwa hak hidup tidak dapat dibatasi dan bersifat
mutlak. Ini pun argumen utama pihak yang menuntut hapusnya hukuman mati.
Amnesti Internasional, organisasi yang menentang hukuman mati memperkaya
argumen ini dengan mengatakan bahwa begitu banyak fakta ditemukan bahwa
hukuman mati dijatuhkan kepada orang yang tidak bersalah. Hukuman mati tidak
bisa
dikoreksi.
Perdebatan panjang
Ketukan palu hakim ketua MK telah menghentikan pro-kontra hukuman mati.
Namun, sebenarnya keputusan ini belum mengatasi perdebatan panjang tentang
perlu-tidaknya hukuman mati. Ini karena sebenarnya kedua pandangan tersebut
bertolak dari asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang karena
dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, pihak yang mendukung
hukuman mati mengatakan sebaliknya. Kedua pihak sama menggunakan asas
utilitarian dan deontologis. Asas utilitarian muncul dalam argumen memberi atau
tidak memberi efek jera. Asas deontologis muncul dalam argumen hukuman mati
sebagai
penodaan
atau
pemuliaan
kehidupan.
Sebenarnya ada satu hal penting yang hilang dari perdebatan tentang perlutidaknya hukuman mati, yaitu kenyataan bahwa negara telah menggunakan
otoritasnya untuk membunuh dalam berbagai cara. Hukuman mati hanya salah
satu
di
antaranya.
Dalam praktik, setidaknya ada tiga jenis tindakan pembunuhan oleh negara yang
mengemuka sampai saat ini : (a) hukuman mati berdasarkan due process of law.
Pengadilan perkara narkoba, sekalipun masih perlu ditinjau lebih jauh, boleh
digolongkan sebagai pengadilan dengan sanksi hukuman mati yang due process of
law. b) hukuman tidak berdasarkan due process of law. Ini telah terjadi pada
pengadilan-pengadilan politik seperti yang dialami oleh terdakwa kasus
pembajakan pesawat Woyla, terdakwa peristiwa G30S. Khusus yang terakhir
bahkan mahkamah militer luar biasa tidak memiliki prosedur banding.
Selain dua jenis proses penghukuman ini, aparatus negara juga menghukum tanpa
melalui pengadilan, disebut extra-judicial killings. Ini dilakukan oleh aparat
keamanan polisi dan militer dan bukan berdasarkan keputusan pengadilan atau
perintah kejaksaan agung. Ini paling banyak memakan korban, terutama di daerah
konflik, seperti Aceh dan Papua, tetapi juga terhadap akti- vis politik, seperti
Marsinah ataupun Munir. Tiga jenis eksekusi ini dapat berlangsung bersamaan,
dalam
keadaan
damai
ataupun
dalam
suatu
operasi
militer.
Dijatuhkannya sanksi hukuman mati pada seorang terdakwa mencitrakan
penegakan hukum. Namun, pada saat yang sama ini menutupi praktik terus
berlangsungnya pembunuhan di luar proses pengadilan. Jadi sanksi hukuman mati
dalam praktiknya hanya menjadi bagian dari pelembagaan pembunuhan oleh
negara
daripada
pelaksanaan
misi
suci
memberi
efek
jera.
Tumpang tindih
Praktik tumpang tindih berbagai jenis eksekusi telah lama menjadi kekhawatiran
masyarakat internasional. Ketika Dewan Ekonomi Sosial Budaya PBB menunjuk
pelapor khusus untuk pembunuhan secara kilat di luar pengadilan, dewan juga
memperluas mandat pelapor khusus ini untuk juga menyoroti soal sanksi hukuman
mati.
Lebih jauh PBB mengimbau negara-negara yang masih memberlakukan hukuman
mati melakukan langkah mengurangi ruang lingkup kejahatan yang dikenai
hukuman mati menuju penghapusan hukuman mati menyeluruh. Pada sidang ke-62
bulan Oktober 2007 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi menyerukan
moratorium
global
terhadap
hukuman
mati.
Di Indonesia implikasi terbesar dari praktik tumpang tindih ini adalah terancamnya
kemandirian badan peradilan. Di balik prosedur peradilan yang formal dan terbuka
berlangsung praktik persidangan tanpa asas fairness dan independency. Sementara
itu, jumlah kejahatan yang dikenai sanksi pidana mati semakin banyak. Sanksi itu
dikenakan tidak hanya kepada pelaku pembunuhan dan perbuatan makar, tetapi
juga mengancam pelaku pelanggaran HAM berat, peredaran narkoba, dan juga
untuk perkara korupsi dan terorisme. Setidaknya 11 buah perundangan kita
memberlakukan
hukuman
mati.
Dengan kenyataan ini, mau tak mau harus dikatakan bahwa sanksi pidana mati di
negeri ini bukanlah the last remedy atau tindakan pengecualian. Ini jelas
menentang prasyarat yang digariskan oleh konvensi internasional hak sipil politik
berikut protokol opsionalnya. Atau dengan kata lain, masih memberlakukan
hukuman mati berarti percaya bahwa sistem politik kita masih harus ditopang oleh
praktik pembunuhan. Lantas di titik mana toleransi kita akan hukuman mati itu
berhenti?
Hukuman mati
kekuasaan.
bukan
instrumen
sistem
demokrasi,
melainkan
instrumen
Download