this PDF file

advertisement
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA BALOK GARIS BILANGAN DALAM
TATANAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TERHADAP HASIL BALAJAR MATEMATIKA
SISWA KELAS IV SDN 164 PEKANBARU
(The Effect of Balok Garis Bilangan in Cooperative Learning Towards Mathematic
Achievement of Fourth Grade of SDN 164 Pekanbaru)
Oleh: Jalinus*) & Jesi Alexander Alim*)
*)
Dosen FKIP Pendidikan Matematika Universitas Riau
ABSTRACT
The goal of the research is to know in deep the difference of learning Mathematic
achievement between the one who learn by using Balok Garis Bilangan in cooperative
learning and the one who not learn with it. This is an experimental research by
comparing the achievement of experiment class and control class. The result shows that
there were significant difference score between experiment class and control class. The
average score for experiment class after treatment was 71.58. Meanwhile the average
score for control class was 46.06. T-test was higher than T- table (5.47> 2.66). Thus, in
the end of the research the score between the two was not same. Therefore, teachinglearning Math for Bilangan bulat need to apply and use Balok Garis Bilangan, so was
cooperative learning is used to activate students such what constructivism paradigm
wanted.
PENDAHULUAN
Hakikat
pembelajaran
matematika menurut Soedjadi dalam
Heruman (2008:1), yaitu memiliki
objek dan tujuan yang abstrak,
bertumpu pada kesepakatan, dan pola
pikir yang deduktif. Dari usia
perkembangan kognitif, siswa Sekolah
Dasar masih terikat dengan objek
konkret yang dapat ditangkap oleh
panca indera, karena menurut Piaget
dalam Heruman (2008:1) siswa Sekolah
Dasar masih berada pada fase
operasional konkret. Kemampuan yang
tampak
pada
fase
ini
adalah
kemampuan dalam proses berpikir
untuk kaidah-kaidah logika, meskipun
masih terikat dengan objek yang
bersifat konkret.
Menurut Heruman (2008:2)
tujuan akhir pembelajaran matematika
di Sekolah Dasar yaitu agar siswa
terampil dalam menggunakan berbagai
121
konsep matematika dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam matematika, setiap
konsep yang abstrak yang baru
dipahami siswa perlu segera diberi
penguatan, agar mengendap dan
bertahan lama dalam memori siswa,
sehingga akan melekat dalam pola pikir
dan pola tindakannya. Untuk itu, maka
diperlukan
adanya
pembelajaran
melalui perbuatan dan pengertian, tidak
hanya hafalan atau mengingat fakta
saja, karena hal ini akan mudah
dilupakan siswa. Seperti pepatah Cina
yang mengatakan, “Saya mendengar
maka saya lupa, saya melihat maka saya
tahu, dan saya berbuat maka saya
mengerti”.
Guru memiliki peran yang
sangat penting dalam menentukan
kualitas pengajaran yang dilaksanakan.
Guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan yang dapat memberikan
rangsangan kepada siswa untuk terlibat
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
langsung dalam proses pembelajaran
karena siswa adalah subjek utama
dalam belajar. Keterlibatan siswa dalam
belajar erat kaitannya dengan sifat-sifat
murid, baik yang bersifat kognitif
seperti kecerdasan dan bakat maupun
yang bersifat afektif seperti motivasi,
rasa percaya diri, dan minatnya. Wiliam
James dalam Usman (2007:27) melihat
bahwa minat siswa merupakan faktor
utama yang menentukan derajat
keaktifan belajar siswa. Jadi, minat
merupakan faktor yang menentukan
keterlibatan siswa secara aktif dalam
belajar.
Hasil
wawancara
dengan
beberapa guru yang mengajar di guru
SDN 164 Pekanbaru mereka mengajar
jarang menggunakan media. Pada
kegiatan awal guru membuka pelajaran
menjelaskan materi lalu memberi
contoh setelah itu memberi latihan
sesuai dengan contoh tanpa ada
menggunakan media.
Dalam proses pembelajaran siswa
jarang dikelompokan, siswa hanya
bekerja secara individu. Dengan belajar
secara kelompok banyak hal yang
didapat oleh siswa. Pembelajaran
kooperatif merupakan sebuah kelompok
strategi pengajaran yang melibatkan
siswa bekerja secara berkolaborasi
untuk mencapai tujuan bersama (Eggen
dan Kauchak dalam Trianto,2007:42).
Selanjutnya Sanjaya (2008: 242)
menyatakan kooperatif adalah suatu
model
pembelajaran
dengan
menggunakan sistem pengelompokan /
tim kecil, yaitu antara empat sampai
enam orang yang mempunyai latar
belakang kemampuan akademik , jenis
kelamin, ras atau suku yang berbeda
(heterogen). Menurut Ibrahim, dkk
(2000: 6) ciri-ciri pembelajaran
kooperatif adalah sebagai berikut: 1).
Siswa bekerjasama dalam kelompok
secara kooperatif untuk menuntaskan
materi belajarnya, 2) Kelompok
terbentuk dari siswa yang memiliki
kemampuan tinggi, sedang dan rendah,
3)
Bilamana
mungkin
anggota
kelompok berasal dari ras, budaya,
suku, dan jenis kelamin berbeda-beda
Dari prinsip prosedur pelaksaan
pembelajaran kooperatif di atas, maka
proses pembelajaran kooperatif dapat
dilaksanakan dalam beberapa langkah
utama yaitu sesuai pada tabel berikut:
Tabel 1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Aktifitas Guru
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
Fase- 1
Menyampaikan tujuan dan
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi
memotivasi siswa
siswa belajar
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan
Fase- 2
Menyajikan informasi
jalan demonstrasi atau lewat bacaan
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya
Fase- 3
Mengorganisasikan siswa ke
membuat kelompok belajar dan membantu setiap
dalam kelompok kooperatif
kelompok agar melakukan transisi secara efesien
Guru membimbing kelompok belajar pada saat
Fase- 4
Membimbing kelompok bekerja mereka mengerjakan tugas mereka
dan belajar
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
Fase- 5
Evaluasi
telah dipelajari atau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil belajarnya
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik
Fase- 6
Memberikan penghargaan
upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
Sumber : Ibrahim, dkk dalam Trianto (2007: 48)
122
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
Berdasarkan hal di atas maka
penulis tertarik untuk menerapkan
pembelajaran melalui media balok garis
bilangan dalam tatanan pembelajaran
kooperatif hasil balajar matematika
siswa kelas IV SDN 164 Pekanbaru.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian
ini
berbentuk
eksperimen dengan dua kelompok
sampel yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Menurut Ruseffendi
(2005: 35) penelitian eksperimen atau
percobaan adalah penelitian yang benarbenar untuk melihat hubungan sebabA
A
O
X
O
Ruseffendi (2005:53).
Keterangan :
O:
Pretest dan Postest (tes hasil
belajar),
X: Perlakuan pembelajaran dengan
media balok garis bilangan dalam
tatanan pembelajran kooperatif.
Sampel penelitian ini adalah siswa
kelas IV SDN 164 Pekanbaru yang
terdiri dari 2 kelas, kelas eksperimen
dan kelas kontrol, maka dilakukan
pengambilan sampel secara acak dengan
teknik random sampling .
Penelitian dilakukan dalam tiga
tahap kegiatan, yaitu tahap penyiapan
komponen-komponen
pembelajaran,
tahap
implementasi
pembelajaran
(eksperimen), dan tahap pengolahan dan
penulisan hasil penelitian.
Untuk memperoleh data dalam
penelitian ini digunakan empat macam
instrumen, yaitu soal tes hasil belajar,
format observasi selama proses
pembelajaran, dan skala sikap siswa
terhadap
pembelajaran
dengan
penerapan media balok garis bilangan
dalam tatanan pembelajaran kooperatif
123
akibat. Kelompok eksperimen adalah
kelompok siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pembelajaran
dengan media balok garis bilangan
dalam tatanan pembelajran kooperatif.
Sedangkan
kelompok
kontrol
merupakan kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran biasa dengan
metode ekspositori. Pengelompokan
subjek dilakukan secara acak. Disain
penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah disain kelompok
kontrol pretes-postes. Disain penelitian
tersebut berbentuk:
O
O
Soal tes hasil belajar digunakan
untuk
mengukur
kemampuan
pemahaman matematik siswa. Dalam
penyusunan soal ini, terlebih dahulu
disusun kisi-kisi soal, yang dilanjutkan
dengan menyusun soal-soal, membuat
kunci jawabannya dan pedoman
penskoran tiap butir soal.
Format observasi digunakan untuk
mengukur aktifitas siswa selama proses
pembelajaran dan pada waktu tes
individu diberikan.
Terdapat dua jenis data yang
dianalisis, yaitu data kuantitatif berupa
hasil tes kemampuan pemahaman
matematik siswa dan data kualitatif
berupa hasil observasi dan skala sikap
siswa.
Analisis
data
hasil
tes
dimaksudkan
untuk
mengetahui
besarnya peningkatan hasil belajar
matematik siswa berdasarkan data
primer hasil tes siswa sebelum dan
setelah
perlakuan
penerapan
pembelajaran dengan dengan media
balok garis bilangan dalam tatanan
pembelajaran kooperatif. Data dianalisa
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
dengan cara membandingkan skor
pretes dan postes. Uji statistik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
uji perbedaan rata-rata, dengan langkahlangkah sebagai berikut:
1. Menghitung rata-rata skor hasil pretes dan postes menggunakan rumus
k
x
x
i 1
i
, Ruseffendi (1998: 76)
n
2. Menghitung standar deviasi pretes dan postes menggunakan rumus:
s
1.
2.
3.
t
( xi  x ) 2
, Ruseffendi (1998: 123)

n
i 1
Menguji normalitas data skor pretes dan postes, dengan uji Chi Kuadrat
 f  f o 2
Ruseffendi (1998; 283)
2   e
fe
f0 = frekwensi observasi
fe = frekwensi estimasi
Menguji homogenitas varians menggunakan rumus
s2
, Ruseffendi (1998: 295)
Fmaks  besar
2
s kecil
Jika sebaran data normal dan homogen, uji signifikansi dengan statistik uji t
berikut:
xe  x k
dengan df = nx + ny –2, dan
1
1
2
s x y (  )
nx n y
k
varians s
2
x y

s x2 (n x  1)  s y2 (n y  1)
, (Ruseffendi, 1998:315)
nx  n y  2
Apabila data yang diperoleh
tidak berdistribusi normal dan tidak
Aktivitas Guru Dan Siswa
homogen,
maka
pengujiannya
Peningkatan aktivitas guru setiap
menggunakan uji non parametrik
pertemuan meningkat pada tiap
pengganti uji-t yaitu uji Mann-Whitney
pertemuan pada pertemuan pertama
atau uji Wilcoxon (Ruseffendi, 1998).
nilainya adalah 77,5%, meningkat ke
pertemuan kedua sebanyak 5% menjadi
82,5%, pada pertemuan yang ketiga
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pembelajaran
meningkat lagi sebanyak 3,2% menjadi
dengan media balok garis bilangan
85,7%.
Penjelesan tersebut dapat
dalam tatanan pembelajaran kooperatif
diambil kesimpulah bahwa, aktivitas
siswa
kelas IV SDN 164 Tahun
guru terrjadi peningkatan di setiap
Pelajaran 2013/2014 Pada materi pokok
pertemuannya.
operasi hitung penjumlahan dan
Peningkatan aktivitas siswa setiap
pengurangan pecahan pada setiap
pertemuan
meningkat
pertemuan
siklus.
pertama
71,8%,
meningkat
ke
pertemuan kedua sebanyak 3,2%
menjadi 75%, pertemuan ketiga juga
124
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
mengalami peningkatan 6,3% menjadi
81,3,%. Dari penjelasan tersebut artinya
aktivitas siswa mengalami peningkatan
di setiap pertemuannya.
Tanggapan
siswa
terhadap
penggunaan media balok garis bilangan
dalam pembelajaran materi Bilangan
Bulat setelah dianalisis
90% siswa
menanggapi
pembelajaran
menggunakan Balok Garis Bilangan
dapat melatih mereka belajar lebih
mengerti
dan kreatif sehingga
pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Dari hasil analis data, hasil
penelitian menunjukan bahwa hasil
belajar siswa pada materi Bilangan
Bulat meningkat, hal ini ditandai dari
skor dan nilai yang diperoleh siswa
setelah diberi perlakuan dengan
menggunakan Balok Garis bilangan.
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
nilai rata rata yang diperoleh oleh kelas
eksperimen dan kontrol yaitu 71,58 dan
kelas kontrol hanya 46,03 dan lebih
jelasnya dapat dilihat dari tabel dan II
diagram histogram batang untuk lebih
meyakinkan dapat dilihat dari hasil uji
t yaitu nilai t hitung lebih dari t tabel.
Tabel 2. Hasil Belajar Pretes Kelas eksperimen dan kelas kontrol
Rata-Rata Dan Deviasi Baku Nilai Pretest Kelas IV.A Dan IV.C
Pada Materi Bilangan Bulat Di SDN 164 Pekanbaru
Kelas
N
Rata-Rata
Deviasi Baku
Minimum
Maksimum
EKSPERIMEN
39
38,8
20,05
0
80
KONTROL
41
41,12
21,51
0
87
Tabel 3. Hasil Belajar Postes Kelas eksperimen dan kelas kontrol
Rata-Rata Dan Deviasi Baku Nilai Pretest Kelas IV.A Dan IV.C
Pada Materi Bilangan Bulat Di SDN 164 Pekanbaru
Kelas
N Rata-Rata
EKSPERIMEN 39
KONTROL
125
41
Deviasi Baku
Minimum
Maksimum
38
71,58
23,18
20
42
46,03
19,3
13,33
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
Dari daftar distribusi t dengan
peluang 0,99 dan dk=78, didapat
t0,99=2,66. Dari penelitian didapat
t=5,47 dan ini lebih besar dari t=2,66.
Jadi H0: µ1= µ2 ditolak, dengan kata lain,
kedua rata-rata skor/nilai postes adalah
tidak sama (ada perbedaan yang
signifikasn). Jadi pada akhir penelitian
ini skor/nilai siswa dalam pembelajaran
bilangan bulat antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol adalah tidak sama
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa penggunaan
Madia Balok Garis Bilangan di dalam
pembelajar Bilangan Bulat efektif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran
dan hasil belajar siswa kelas 4 SDN
164 Pekanbaru Riau. Efektifitas yang
dicapai dalam penelitian ini adalah
dapat meningkatkan aktivitas Pengajar
dan siswa dalam pembelajaran dan
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
khususnya pada materi Bilangan Bulat.
Dilihat dari kesimpulan maka
saran dari penelitian ini adalah
diharapkan.
Langkah-langkah
pembelajaran menggunakan Balok
Garis Bilangan dalam penelitian ini
berdampak
positif
terhadap
pemahaman/penguasaan siswa pada
materi Bilangan Bulat . Untuk itu
disarankan kepada peneliti/guru yang
tertarik dengan menggunakan Media
Balok Garis Bilangan agar dapat
merancang
atau
memodifikasi
pembelajaran untuk topik yang sama
atau topik yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Heruman.2008.Model
Pembelajaran
Matematika Di Sekolah Dasar.
Bandung:
PT.
Remaja
Rosdakarya.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan
Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika
Dasar
untuk
Penelitian
Pendidikan. Bandung: IKIP
Bandung Press.
Trianto, 2007. Mendesain Model
Pembelajaran
Inovatif
Progresif : Konsep, Landasan,
Dan
Implementasi
Pada
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), Jakarta :
Prenada Media Group.
Usman, U. (2007). Menjadi Guru
Profesional.
Bandung:
Rosdakarya.
126
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
PERANAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DALAM
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH
(The Role of Teaching Problem Based Learning to Develop Students Mathematic
Communication Skill)
Oleh: Zetriuslita*)
*) Dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UIR
ABSTRACT
Mathematic Communication skill is an important skill for Mathematic learners, in fact
todays teaching learning math rarely focus on it. Thus, this competence is still
categorised into low. Therefore, the research purpose is to expose theoretically about
mathematic communication skill into teaching problem based learning approach, which
is assumed having strong contribution on it. The analysis shows that mathematic
communication skill can be develop through teaching problem based learning
approach. It trains mathematic communication skill to its higher thinking level. Through
mathematic communication, students can organizer their math thinker verbal and nonverbal. Here, teaching problem based learning can develop mathematic communication
skill indicators. In conclusion, Problem based learning can develop mathematic
communication to be a higher thinker.
Keywords: Mathematic,communication, problem based learning
PENDAHULUAN
Pendidikan sangat diperlukan
dalam kehidupan agar manusia dapat
memiliki
keterampilan
dan
mengembangkan
dirinya
dalam
menjalani hidup bermasyarakat. Salah
satu penguasaan yang diperlukan adalah
penguasaan di bidang matematika.
Menyikapi hal ini, penguasaan
matematika tidak cukup hanya dimiliki
oleh sebagian orang saja. Setiap
individu perlu memiliki penguasaan
matematika pada tingkat tertentu untuk
dapat berkiprah di masyarakat, sebagai
warga negara, Penguasaan yang
dimaksud
bukanlah
penguasaan
matematika sebagai ilmu, melainkan
penguasaan
akan
kecakapan
matematika. Penguasaan matematika
seperti ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kecakapan hidup dan
diperlukan untuk dapat memahami
127
dunia di sekitarnya, mampu bersaing,
dan berhasil dalam karir (Herman,
2007:1). Salah satu penguasaan dalam
kecakapan
matematika
adalah
kecakapan dalam mengkomunikasikan
matematika itu sendiri dalam istilahnya
dinamakan kemampuan komunikasi
matematis. Menurut Suriasumantri
(1980) dalam PPPG Matematika tahun
2004 bahwa matematika adalah bahasa
yang
melambangkan
serangkaian
makna dari pernyataan yang ingin kita
sampaikan (Depdiknas 2004) . Dapat
dipahami bahwa matematika tidak dapat
dipisahkan dari komunikasi itu sendiri
Komunikasi matematis adalah
cara untuk menyampaikan ide-ide
pemecahan masalah, strategi mapun
solusi matematika secara lisan maupun
tulisan. (Herdian,2013). Kemampuan
komunikasi dalam matematika adalah
kemampuan siswa membaca wacana
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
matematika
dengan
pemahaman,
mampu mengembangkan bahasa dan
simbol matematika sehingga dapat
mengkomunikasikan secara lisan dan
tulisan, mampu menggambarkan secara
visual dan merefleksikan gambar atau
diagram ke dalam ide matematika,
mampu merumuskan dan mampu
memecahkan
masalah
melalui
penemuan
(Tanti,2007).
Melalui
komunikasi,
siswa
dapat
mengeksplorasi
dan
mengkonsolidasikan
pemikiran
matematisnya,
pengetahuan
dan
pengembangan dalam memecahkan
masalah dengan menggunakan bahasa
matematis
dapat
dikembangkan
sehingga komunikasi matematis siswa
dapat dibentuk. Menurut Hirschfeld
(2008) dalam Pratiwi,dkk (2013) bahwa
komunikasi adalah bagian penting dari
matematika dan pendidikan matematika.
Untuk
mencapainya,
perlu
mengembangkan
pembelajaran
matematika
yang
membangun
komunikasi
dan
mengembangkan
potensi yang dimiliki siswa. Ini sejalan
dengan tujuan umum pembelajaran
matematika yaitu: (1) belajar untuk
berkomunikasi
(mathematical
communication); (2) belajar untuk
bernalar (mathematical reasoning); (3)
belajar untuk memecahkan masalah
(mathematical problem solving); (4)
belajar
untuk
mengaitkan
ide
(mathematical
connections);
(5)
pembentukan sikap positif terhadap
matematika (positive attitudes toward
mathematics) (NCTM ,2000 dalam
Somakin ,2007)
Tujuan umum di atas juga
sejalan BSNP (2006:346) bahwa mata
pelajaran matematika bertujuan agar
siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut:
1. Memahami konsep matematika,
menjelaskan
keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisien dan tepat dalam
pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi
matematika
dalam
membuat
generalisasi, menyusun bukti atau
menjelaskan
gagasan
dan
pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika,
menyelesaikan
model
dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan
gagasan
dengan simbol, tabel, diagram atau
media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.
5. Memiliki
sikap
menghargai
kegunaan
matematika
dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap
ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Namun kenyataan di sekolah
menengah, pengembangan kemampuan
komunikasi matematis ini tidak begitu
mendapat perhatian, baik dari guru
maupun dari pihak sekolah, sehingga
berdampak pada kompetensi siswa yang
rendah.
Dari
hasil
penelitian
sebelumnya dan analisis di lapangan,
ada beberapa masalah yang ditemukan
dalam proses pembelajaran yang
berhubungan
dengan
rendahnya
kemampuan komunikasi matematis
siswa. Masalahnya diantaranya yaitu
seperti hasil penelitian berikut ini :
1) Siswa sulit menuliskan atau
memodelkan apa yang diketahui,
yang ditanya dari soal yang
diberikan.
2) Siswa mengalami kesulitan dalam
mengomunikasikan secara lisan
alasan dari apa yang mereka
lakukan (Izzati, 2010)
128
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
3) Siswa sulit mengomunikasikan
informasi visual terutama dalam
mengomunikasikan
sebuah
lingkungan tiga dimensi (misalnya,
sebuah bangunan terbuat dari balok
kecil) melalui alat dua dimensi
(misalnya, kertas dan pensil) atau
sebaliknya (Herdian, 2013)
4) Siswa tampaknya kesulitan dalam
mengartikulasikan
alasan
dan
memahami bacaan (Osterholm,2006
dalam Pratiwi dkk,2012)
5) Kemampuan
berkomunikasi
secara matematis masih menjadi
titik
lemah
siswa
dalam
pembelajaran matematika (Armiati
(2011), Ibrahim (2011), Sabirin
(2011)
6) Jika kepada siswa diajukan suatu
pertanyaan, pada umumnya reaksi
mereka adalah menunduk, atau
melihat kepada teman yang duduk
di sebelahnya. Mereka kurang
memiliki kepercayaan diri untuk
mengomunikasikan
ide
yang
dimiliki karena takut salah dan
ditertawakan teman (Fauzan, 2008
dalam Izzati,2010).
Lebih jauh Fauzan (2008 dalam
Izzati,2010)
mengemukakan
rendahnya kemampuan komunikasi
matematis siswa disebabkan oleh
praktik pembelajaran di sekolah yang
menunjukkan adanya “pergeseran”
tujuan pembelajaran matematika.
Guru-guru matematika cenderung
“melupakan” tujuan yang tercantum
dalam kurikulum sewaktu merancang
pembelajaran. Akibatnya, indikatorindikator pencapaian yang dirumuskan
dalam rencana pembelajaran lebih
banyak berbentuk pemahaman faktafakta dan konsep-konsep matematik.
Di samping itu, guru juga lebih
terfokus untuk menyajikan materi dan
soal-soal yang kiranya nanti akan
muncul dalam ujian (dalam ujian blok,
ujian semester, dan UAN), yang
129
biasanya miskin dengan soal- soal
komunikasi.
Dari masalah-masalah yang
dikemukakan dan tujuan yang
diharapkan ada titik temunya, artinya
masalah dapat diselesaikan sehingga
gap antara harapan dan masalah yang
ada dapat diselesaikan. Salah satu
alternatif yaitu melaksanakan suatu
pembelajaran
yang
dapat
mengembangkan
kemampuan
komunikasi
matematis,
yaitu
pembelajaran
yang
berbasis
konstruktivisme dan pembelajaran
berpusat pada siswa, salah satunya
adalah Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM).
Model
Pembelajaran
Berbasis
Masalah (PBM)
PBM
adalah
pembelajaran
konstruktivis yang berpusat pada siswa
berdasarkan analisis, pemecahan dan
diskusi dari masalah yang diberikan
(Cazzola, 2008:1). Juga PBM adalah
salah satu pendekatan yang berpusat
pada siswa yang mengajak siswa dalam
penyelidikan masalah kompleks otentik.
Dalam PBM, siswa mempelajari isi
pokok bahasan dengan mengidentifikasi
dan memecahkan masalah otentik
disiplin (Levin, 2001; Hallinger,
2005;Peggy A Ertmer 2005-2006).
Pendekatan yang paling sesuai
berkaitan dengan mencapai tujuan ini
dalam proses belajar mengajar adalah
pembelajaran berbasis masalah (PBM).
Dasar PBM berakar pada prinsip Dewey
"learning by doing and experiencing”
(Dewey, 1938; Orhan Akınoğlu and
Ruhan Özkardeş Tandoğan, 2006).
Model PBM ini juga bertolak dari teori
belajar kognitif Piaget yaitu belajar
didasarkan kepada tahap perkembangan
siswa dan teori belajar Bruner yang
menyatakan bahwa belajar didasarkan
pada tahap enaktif, tahap ikonik dan
tahap simbolik serta Teori CTL John
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
Dewey yaitu 1) mengkaitkan bahan
pelajaran dengan situasi dunia nyata, 2)
mendorong siswa menghubungkan yang
dipelajari dengan kehidupan sehari-hari,
pengalaman
sesungguhnya
dan
penerapannya/manfaatnya, 3) strategi:
authentic, inkuiri, praktek kerja,
pemecahan masalah.
Dalam kurikulum 2013, PBM
merupakan
salah
satu
model
pembelajaran
yang
diharapkan
digunakan guru dalam pembelajaran di
samping model pembelajaran berbasis
proyek (PjBL) dan Discovery Learning
(DL).
PBM
merupakan
sebuah
pendekatan
pembelajaran
yang
menyajikan
masalah
kontekstual
sehingga merangsang siswa untuk
belajar.
Dalam kelas yang menerapkan
PBM, siswa bekerja dalam tim untuk
memecahkan masalah dunia nyata (real
world). 1) Dengan PBM akan terjadi
pembelajaran bermakna. Siswa yang
belajar memecahkan suatu masalah
maka mereka akan menerapkan
pengetahuan yang dimilikinya atau
berusaha mengetahui pengetahuan yang
diperlukan. Belajar dapat semakin
bermakna dan dapat diperluas ketika
siswa berhadapan dengan situasi di
mana konsep diterapkan. Dalam situasi
PBM,
siswa
mengintegrasikan
pengetahuan dan keterampilan secara
simultan
dan
mengaplikasikannya
dalam konteks yang relevan. PBM
dapat
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif
siswa dalam bekerja, motivasi internal
untuk
belajar,
dan
dapat
mengembangkan
hubungan
interpersonal dalam bekerja kelompok.
Langkah-langkah PBM yang
disampaikan oleh Dewey dalam
Komalasari (2013) yang memaparkan
6 langkah yaitu:
1. Merumuskan
masalah.
Guru
membimbing
siswa
untuk
menentukan masalah yang akan
dipecahkan
dalam
proses
pembelajaran, walaupun sebenarnya
guru telah menetapkan masalah
tersebut.
2. Menganalisis masalah. Langkah
siswa meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis. Langkah
siswa
merumuskan
berbagai
kemungkinan pemecahan sesuai
dengan pengetahuan yang dimiliki.
4. Mengumpulkan data.
Langkah
siswa mencari dan menggambarkan
berbagai informasi yang diperlukan
untuk memecahkan masalah.
5. Pengujian hipotesis. Langkah siswa
dalam merumuskan dan mengambil
kesimpulan
sesuai
dengan
penerimaan dan penolakan hipotesis
yang diajukan
6. Merumuskan
rekomendasi
pemecahan masalah. Langkah siswa
menggambarkan rekomendasi yang
dapat dilakukan sesuai rumusan
hasil pengujian hipotesis dan
rumusan kesimpulan.
Sebelum
memulai
proses
belajar-mengajar di dalam kelas, siswa
terlebih
dahulu
diminta
untuk
mengobservasi suatu fenomena terlebih
dahulu. Kemudian siswa diminta
mencatat
masalah-masalah
yang
muncul.Setelah itu tugas guru adalah
meransang siswa untuk berpikir kritis
dalam memecahkan masalah yang ada.
Tugas guru adalah mengarahkan siswa
untuk bertanya, membuktikan asumsi,
dan mendengarkan pendapat yang
berbeda dari mereka. Memanfaatkan
lingkungan siswa untuk memperoleh
pengalaman belajar. Guru memberikan
penugasan yang dapat dilakukan di
berbagai konteks lingkungan siswa,
antara lain di sekolah, keluarga dan
masyarakat. Penugasan yang diberikan
oleh guru memberikan kesempatan bagi
siswa untuk belajar diluar kelas. Siswa
130
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
diharapkan
dapat
memperoleh
pengalaman langsung tentang apa yang
sedang dipelajari. Pengalaman belajar
merupakan aktivitas belajar yang harus
dilakukan siswa dalam rangka mencapai
penguasaan
standar
kompetensi,
kemampuan
dasar
dan
materi
pembelajaran.
Kemampuan Komunikasi Matematis
1. Pengertian
Kemampuan
Komunikasi Matematis
a. Komunikasi matematika adalah
suatu keterampilan penting dalam
matematika
yaitu
kemampuan
mengekspresikan
ide-ide
matematika secara koheren kepada
teman, guru dan lainnya melalui
bahasa lisan dan tulisan (ILOs-The
Intended
Learning
Outcomes,
dikutip Armiati 2011)
b. Komunikasi
matematika adalah
kemampuan
siswa
dalam
menjelaskan suatu algoritma dan
cara unik untuk pemecahan masalah,
kemampuan
siswa
mengkonstruksikan dan menjelaskan
sajian fenomena dunia nyata secara
grafis, kata-kata/kalimat, persamaan,
tabel dan sajian secara fisik atau
kemampuan siswa memberikan
dugaan tentang gambar-gambar
geometri. (Soemarmo, 2013)
c. Komunikasi matematis adalah cara
untuk
menyampaikan
ide-ide
pemecahan masalah, strategi, baik
secara tertulis mapun secara lisan.
d. Komunikasi
matematis
adalah
kemampuan
mengkonstruksi
kemudian
menyajikan
ide-ide
matematika secara grafis, katakata/tulisan, persamaan, tabel, dan
atau gambar-gambar geometrik
sehingga
dapat
dihasilkan
pemecahan masalah yang dapat
dipahami.
131
e. NCTM
(2000)
Komunikasi
matematika adalah cara berbagi ide
dan memperjelas pemahaman.
Dari beberapa pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan komunikasi matematis
adalah kemampuan menyampaikan dan
mengkonstruksi ide-ide pemecahan
masalah dengan menyajikan ide-ide
tersebut
secara
grafis,
model
matematika, tabel dan persamaan baik
secara tertulis maupun lisan.
Ketika siswa tertantang untuk
mengkomunikasikan hasil pemikiran
mereka untuk lain secara lisan atau
tertulis,
mereka
belajar
untuk
meyakinkan dengan jelas dan tepat
dalam penggunaan bahasa matematika.
Penjelasan harus mencakup argumen
matematika dan alasan-alasan, bukan
hanya deskripsi prosedural atau
ringkasan. Mendengarkan penjelasan
lain memberi peluang siswa untuk
mengembangkan pemahaman mereka
sendiri.
Menurut Hirald dalam Pratiwi
dkk
(2011:526)
bahwa
melalui
komunikasi,
siswa
dapat
mengeksplorasi
dan
mengkonsolidasikan
kemampuan
pemikiran matematisnya. Komunikasi
merupakan bagian dari matematika dan
pendidikan
matematika.
Juga
pernyataan ini didukung oleh Wahyudin
(2008: 42-43) bahwa komunikasi adalah
bagian yang esensial dari matematika
dan pendidikan matematika. Melalui
komunikasi, gagasan-gagasan menjadi
objek-objek refleksi, penghalusan,
diskusi dan perombakan. Para siswa
mendapat
kesempatan
berbicara,
menyimak, menulis dan membaca di
dalam kelas-kelas matematika mendapat
keuntungan
ganda,
mereka
berkomunikasi
untuk
belajar
matematika dan belajar berkomunikasi
secara matematis.
Pentingnya
komunikasi
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
matematis, juga dikemukakan oleh
Peressini dan Bassett (NCTM,1989).
Mereka berpendapat bahwa tanpa
komunikasi dalam matematika kita
akan memiliki sedikit keterangan, data,
dan fakta tentang pemahaman siswa
dalam melakukan proses dan aplikasi
matematika. Ini berarti, komunikasi
dalam matematika menolong guru
memahami kemampuan siswa dalam
menginterpretasikan
dan
mengekspresikan
pemahamannya
tentang konsep dan proses matematika
yang mereka pelajari. Memperkuat
pendapat
Guerreiro,
Lindquist
(NCTM,1989) mengemukakan, jika
kita sepakat bahwa matematika itu
merupakan suatu bahasa dan bahasa
tersebut sebagai bahasa terbaik dalam
komunitasnya, maka mudah dipahami
bahwa komunikasi merupakan esensi
dari mengajar, belajar, dan meng-assess
matematika.
Ada
dua
alasan
penting
mengapa komunikasi menjadi salah satu
fokus dalam pembelajaran matematika.
Pertama, matematika pada dasarnya
adalah sebuah bahasa bagi matematika
itu sendiri. Matematika tidak hanya
merupakan
alat
berpikir
yang
membantu kita untuk menemukan pola,
memecahkan masalah dan menarik
kesimpulan, tetapi juga sebuah alat
untuk mengomunikasikan pikiran kita
tentang berbagai ide dengan jelas, tepat
dan ringkas. Bahkan, matematika
dianggap sebagai "bahasa universal"
dengan simbol- simbol dan struktur
yang unik. Semua orang di dunia dapat
menggunakannya
untuk
mengomunikasikan
informasi
matematika meskipun bahasa asli
mereka berbeda.
Kedua, belajar dan mengajar
matematika merupakan aktivitas sosial
yang melibatkan paling sedikit dua
pihak, yaitu guru dan murid. Dalam
proses belajar dan mengajar, sangat
penting mengemukakan pemikiran dan
gagasan itu kepada orang lain melalui
bahasa. Pada dasarnya pertukaran
pengalaman dan ide ini merupakan
proses mengajar dan belajar. Tentu saja,
berkomunikasi dengan teman sebaya
sangat penting untuk pengembangan
keterampilan berkomunikasi sehingga
dapat belajar berfikir seperti seorang
matematikawan
dan
berhasil
menyelesaikan masalah yang benarbenar baru.
2. Indikator
Kemampuan
Komunikasi Matematis
Indikator komunikasi matematis
menurut Sumarmo (2013: 5):
a. menghubungkan
benda
nyata,
gambar, dan diagram ke dalam idea
matematika.
b. menjelaskan idea, situasi, dan relasi
matematik, secara lisan dan tulisan
dengan benda nyata, gambar, grafik
dan aljabar
c. menyatakan situasi ke dalam bahasa
matematika
d. mendengarkan, berdiskusi, dan
menulis matematika
e. membaca presentasi matematika
tertulis
f. membuat
konjektur,
argumen,
mendefinikan dan generalisasi
g. menjelaskan/bertanya
tentang
matematika.
Sedangkan indikator komunikasi
matematis menurut NCTM (1989: 214)
adalah:
a. Kemampuan mengekspresikan ideide matematika melalui lisan,
tertulis, dan mendemonstrasikannya
serta menggambarkannya secara
visual;
b. Kemampuan
memahami,
menginterpretasikan,
dan
mengevaluasi ide-ide matematika
baik secara lisan maupun dalam
bentuk visual lainnya.
c. Kemampuan dalam menggunakan
istilah-istilah,
notasi-notasi
132
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
matematika dan struktur-strukturnya
untuk
menyajikan
ide,
menggambarkan
hubunganhubungan dan model-model situasi.
PEMBAHASAN
Dari latar belakang dan teori
yang dikemukakan tentang kemampuan
komunikasi matematis dan PBM, dapat
dibahas beberapa hal bahwa 1)
kemampuan komunikasi matematis
merupakan salah satu komponen yang
ada pada langkah kelima PBM yaitu
bagaimana siswa menyajikan hasil
karya
mereka
dengan
mengomunikasikan secara lisan maupun
tulisan. 2) Dalam langkah pertama PBM
yaitu orientasi pada masalah, pada tahap
ini
dituntut
kemampuan
siswa
memahami masalah yang diberikan.
Paham tidaknya siswa dapat dilihat dari
apa yang mereka tuliskan dan masalah
yang diberikan,
apakah
dengan
menggunakan
simbol,
model
matematika atau grafik/diagram yang
menggambarkan indikator kemampuan
komunikasi matematis. 3) Dalam PBM
juga siswa dapat mengembangkan
kemampuan komunikasinya dengan
menuliskan apa yang mereka pahami
dari masalah matematika yang diberikan
yaitu pada tahap orientasi pada masalah.
Dari langkah-langkah PBM tersebut
dapat dilihat bahwa jika PBM
diterapkan dengan baik dan benar akan
dapat mengembangkan kemampuan
komunikasi
matematis
tersebut.
Pernyatan ini didukung dari beberapa
hasil penelitian yang berkaitan dengan
PBM, komunikasi matematis, baik
dilakukan oleh mahasiswa maupun
dosen atau pengajar di Perguruan
Tinggi. diantaranya adalah: Armiati
(2011), Ibrahim (2011), dan Sabirin
(2011). Armiati (2011) menyimpulkan
bahwa terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan penalaran, komunikasi
133
matematis dan kecerdasan emosional
melalui Pembelajaran Berbasis Masalah
dengan Pembelajaran Konvensional.
Ibrahim. (2011) hasil penenlitiannya
menunjukkan
bahwa
terdapat
perbedaaan peningkatan kemampuan
komunikasi, penalaran dan pemecahan
masalah matematis melalui PBM pada
siswa sekolah menengah atas daripada
pembelajaran konvensinal , juga
Sabirin, (2011) menyimpulkan terdapat
pengaruh
pembelajaran
berbasis
masalah
terhadap
kemampuan
pemecahan masalah, komunikasi dan
representasi matematis siswa SMP. Dari
ketiga peneliti ini mereka menyatakan
bahwa
kemampuan
komunikasi,
pemecahan
masalah
dapat
dikembangkan dan ditingkatkan melalui
PBM. Hasil penelitian Pratiwi, dkk
(2012)
menyimpulkan
bahwa
kemampuan komunikasi matematis
dalam pemecahan masalah matematika
sesuai dengan gaya kognitif pada siswa
kelas IX SMP.
Dari pembahasan dan beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan
komunikasi
dapat
dikembangkan melalui PBM, karena
memang tahap-tahap yang ada di PBM
memungkinkan
berkembangnya
kemampuan komunikasi matematis
siswa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penjelasan yang cukup
terurai, baik latar belakang masalah,
teori-teori
tentang
komunikasi
matematis dan pembelajaran berbasis
masalah
(PBM),
maka
PBM
merupakan salah satu pembelajaran
yang dapat menumbuhkembangkan
kemampuan
komunikasi
dalam
pembelajaran matematika. Kemampuan
komunikasi matematis ini merupakan
salah satu
kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi (high order
mathematical thinking). Untuk itu guru
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
diharapkan mempunyai keinginan dan
motivasi yang kuat dan menambah
pengetahuannya
dalam
mengembangkan
kemampuan
komunikasi matematis untuk siswa
dengan
menerapkan
salah
satu
pembelajaran yang konstruktivis dan
berpusat pada siswa yaitu Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM). Siswa
disarankan tidak malu-malu dalam
menyampaikan ide-ide yang dimiliki,
baik secara lisan dan tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Armiati.
2011.
Meningkatkan
Kemampuan
Penalaran,
Komunikasi
Matematis
Dan
Kecerdasan
Emosional
Mahasiswa Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah. Disertasi:
Doktor pada SPS Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung:
Tidak diterbitkan.
Cazzola. 2008. Problem-Based
Learning and Mathematics:
Possible Synergical
Actions. In L. G´omez Chova, D. Mart´ı
Belenguer, and I. Candel Torres
(Editors), ICERI2008 Proceeding
(ISBN: 978-84-612-5091-2)
Departemen Pendidikan Nasional. 2006.
Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas. 2004 . Pemecahan
Masalah, Penalaran dan
Komunikasi. PPPG Matematika
Yogyakarta
Fakhrudin.
2012.
Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika
Siswa
melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan
Open Ended. Tesis: Magister pada
SPS
Universitas
Pendidikan
Indonesia
Bandung:
Tidak
diterbitkan.
Herdian. 2013 Kemampuan Komunikasi
Matematika, [online], Tersedia
http://herdy07.wordpress.com .
Diakses 5 Desember 2014
Herman, T. 2007 Pembelajaran
Berbasis Masalah Untuk
Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat
Tinggi Siswa Sekolah Menengah
Pertama. Dipublikasikan pada
Jurnal Educationist, 2009
Ibrahim. 2011. Peningkatan Retensi,
Penalaran, Komunikasi
Matematis Dan Kecerdasan
Emosional Siswa Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah.
Disertasi: Doktor pada SPS
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung: Tidak diterbitkan
Izzati, N. 2010. Komunikasi Matematik
Dan Pendidikan Matematika
Realistik. Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika,
Yogyakarta, UNY, 27 Nov 2010,
ISBN : 978-979-16353-5-6.
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan 2013. Buku Guru
Tematik Terpadu Kurikulum
2013. Depdikbud. Jakarta
Komalasari, D. 2013 Pembelajaran
Berbasis Masalah
https://dinikomalasari.
wordpress.com/2013/12/27/
pembelajaran-berbasis-masalahproblem-based - learningpbl/
NCTM.
1989.
Curriculum
and
Evaluation Standards for School
Mathematics.
Reston,
VA:
NCTM.
NCTM. 2000. Principles and Standards
for School Mathematics. USA:
The National Councils of
Teachers of Mathematics.
Peggy A Ertmer, Krista D. Simons
2000-2005. Scaffolding Teachers’
Efforts to
134
Perspektif Pendidikan dan Keguruan, Vol IV, No. 8, Oktober 2013 ISSN 1411-3570
Implement Problem-Based
Learning. Purdue University.
Permana, Y. 2010. Mengembangkan
Kemampuan Pemahaman dan
Disposisi Matematis Siswa
Sekolah Menengah Atas melalui
model-eliciting activities:
Disertasi. SPS Universitas
Pendidikan Indonesia. Tidak
ditebitkan.
Pratiwi.
2013.
Kemampuan
Komunikasi Matematis Dalam
Pemecahan Masalah Matematika
Sesuai Dengan Gaya Kognitif
Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri
1 Surakarta Tahun Pelajaran
2012/2013 [Online]. Tersedia
http://eprints.uns.ac.id/13055/1/32
5891811201302251.pdf diakses
20 Nopember 2014
Ramdhani, Sendi. 2012. Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan
Problem
Posing
untuk
Meningkatkan
Kemampuan
Pemecahan Masalah dan Koneksi
Matematis Siswa. Tesis: SPS
Universitas Pendidikan Indonesia.
Tidak diterbitkan.
Sabirin.
2011.
Meningkatkan
Kemampuan
Pemecahan
Masalah,
Komunikasi
Dan
Representasi Matematis siswa
Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah. Disertasi: Doktor pada
SPS
Universitas
Pendidikan
135
Indonesia
Bandung:
Tidak
diterbitkan
Santoso, F.I. 2012.
Ketrampilan
Berpikir Kreatif Matematis dalam
Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM)
pada
Siswa
SMP.
Universitas
Katolik
Widya
Mandala Madiun.Shadiq, Fajar.
(2004). Pemecahan Masalah,
Penalaran, dan Komunikasi.
Yogyakarta: PPPG Matematika
Yogyakarta.
Sumarmo, U 2013. Kumpulan Makalah:
Berpikir dan Disposisi Matematik
Serta
Pembelajarannya.
Bandung: FPMIPA UPI.
Syaban,
M
.2008.
Menumbuhkembangkan Daya dan
Disposisi
Matematis
Siswa
Sekolah Menengah Atas Melalui
Pembelajaran
Investigasi.
Disertasi pada SPs UPI Bandung.
Dipublikasikan
pada
Jurnal
Educationist, 2009
Tanti.
Komunikasi
Matematika,
[online],
Tersedia
http://catatantanti.blogspot.com
diakses 20 Nopember 2014
Wahyudin. (2008). Pembelajaran &
Model-Model
Pembelajaran
(Pelengkap untuk Meningkatkan
Kompetensi Pedagogis Para Guru
dan Calon Guru Profesional). UPI
Bandung
Download