New ARTIKEL KESMAS UI GENDER DAN PENYAKIT

advertisement
GENDER DAN PENYAKIT TUBERCULOSIS : IMPLIKASINYA
TERHADAP RENDAHNYA AKSES LAYANAN KESEHATAN
MASYARAKAT MISKIN
Gender and Tuberculosis : The Implication Toward The Low Acess to
Health Services For The Poor
Dewi Rokhmah*
*Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Nowdays main focus of health services remain in medical aspec and lack on social
issue include gender identities which are being main cause of health gap in our society. TBC
is disease caused mortallity in the worldwide. The role of gender as a determinant of health
status, including all aspects of TB, from case finding, diagnosis, and treatment result of TB
patient. The objective of this research is analysing by gender perspective the reach of TB
DOTS program from case finding, diagnosis, and treatment result of TB patient in Lung
Hospital of Jember at 2010. This research is descriptive analitic method used secondary data
from the report of TB DOTS program at 2010. The population of this research is people with
Tuberculosis have accessed services from DOTS program. The sample of this research are
man and woman patient, have been diagnosed as TB patient by docter, getting services in
1
Lung Poly in Lung Hospital of Jember in 2010. Collected data is analized descriptively with
gender perspective. The result of this research shows that in TB patient finding process,
woman is higher than man, but in diagnosis and treatment result of TB patient, man is higher
than woman. This condition is caused by woman had stigma and low accsess and controle in
managing resources for health. Gender sensitivity commitment by goverment and society is
needed to the intervention both in TB DOTS program applying in the future.
Keywords : gender, tuberculosis, poor, services access
ABSTRAK
Saat ini, yang menjadi fokus utama dari pelayanan kesehatan masih bertumpu pada
aspek medis dan sangat kurang memperhatikan isu sosial termasuk identitas gender yang
merupakan penyebab utama dari kesenjangan dalam bidan kesehatan di masyarakat kita. TBC
adalah penyakit yang menyebabkan kematian di seluruh dunia. Peran gender sebagai salah
satu determinan atau faktor yang mempengaruhi dari status kesehatan, termasuk seluruh
aspek dari penyakit TBC, mulai dari penemuan kasus, diagnosis, dan proses pengobatan.
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dalam perspektif gender pencapaian Program TB
DOTS mulai dari penemuan pasien TB, Diagnosis pasien TB dan Hasil Pengobatan Pasien
TB di Rumah sakit Paru Jember Pada tahun 2010. Penelitian ini menggunakan metode
diskriptif analitik menggunakan data sekunder yang berasal dari Laporan Program TB DOTS
Tahun 2010. Populasi penelitian ini adalah penduduk yang menderita TB yang mendapat
pelayanan dalam program DOTS. Sedangkan sampel dari penelitian ini adalah pasien lakilaki dan perempuan, sudah didiagnosa TB oleh dokter, mendapatkan pelayanan di Poli Paru
RS Paru Jember pada tahun 2010. Data yang terkumpul dianalisa secara diskriptif dengan
2
perspektif gender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses penemuan pasien TB,
perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Tetapi dalam proses diagnosis pasien TB dan hasil
pengobatan pasien TB, laki-laki jauh lebih tinggi dari perempuan. Kondisi ini disebabkan
karena adanya stigma pada perempuan serta rendahnya akses dan kontrol perempuan
terhadap pengelolaan sumberdaya untuk kesehatan. Komitmen yang sensitif gender dari
pemerintah dan masyarakat diperlukan dalam intervensi Program TB DOTS di masa yang
akan datang.
Kata kunci : gender, TBC, akses pelayanan, masyarakat miskin
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis), dimana sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1 TB paru masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif dan
berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah. WHO
(World Health Organization) melaporkan perkiraan insiden TB paru setiap tahun sebanyak
583.000 kasus dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus. TB paru merupakan penyebab
kematian ketiga terbesar di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernapasan, serta merupakan penyebab kematian nomor satu terbesar dalam kelompok
penyakit infeksi.
TB paru adalah penyakit yang erat kaitannya dengan ekonomi lemah dan diperkirakan
95% dari jumlah kasus TB paru terjadi di negara berkembang yang relatif miskin. Sejak
tahun 1995, Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia mulai menerapkan strategi
Direcly Observed Treatment, Short Course (DOTS) dan dilaksanakan di Puskesmas secara
3
bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan
kesehatan dasar.2
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Namun demikian angka DO (Droup Out) sebutan bagi kegagalan dalam pengobatan
TB di Indonesia masih tetap tinggi. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh belum terpecahkan
seluruh faktor penyebab DO yang tidak hanya terbatas pada masalah rendahnya status
perekonomian, gizi, keterjangkauan masyarakat akan pelayanan yang berkualitas, tingkat
pendidikan, serta masalah sosial budaya yang termasuk di dalamnya ketimpangan gender
dalam masyarakat kita. Padahal perbedaan sosial termasuk di dalamnya identitas gender
antara laki-laki dan perempuan merupakan penyebab utama mencuatnya kesenjangan antara
mereka, sehingga pada akhirnya mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat pada
umumnya.
Perbedaan pencapaian program penanggulangan TB antara laki-laki dan perempuan
dapat menggambarkan perbedaan biologis (berdasarkan jenis kelamin) dalam epidemologi
penyakit TB. Namun di sisi lain, perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan
(fungsi gender) dapat berpengaruh pula pada faktor risiko dan dalam mendapatkan akses
pelayanan kesehatan.3
Dari penjelasan yang dipaparkan pada bab latar belakang di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis dalam perspektif gender pencapaian Program TB DOTS mulai
dari penemuan pasien TB, Diagnosis pasien TB dan Hasil Pengobatan Pasien TB di Rumah
sakit Paru Jember Pada tahun 2010.
4
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Maret 2012 dengan metode diskriptif
analitik menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan program TB DOTS Tahun
2010 di Rumah Sakit Paru Jember. Populasi penelitian ini adalah penduduk yang menderita
TB yang mendapat pelayanan dalam program DOTS. Sedangkan sampel dari penelitian ini
adalah pasien laki-laki dan perempuan, sudah didiagnosa TB oleh dokter, mendapatkan
pelayanan di Poli Paru RS Paru Jember pada tahun 2010.
Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif dengan
perspektif gender yaitu menggunakan pemikiran yang logis dikaitkan dengan konsep gender
dalam bidang kesehatan. Telaah pustaka juga dilakukan untuk memperkaya dan
mempertajam analisa data yang dilakukan.
Adapun pemilihan tempat penelitian di Rumah Sakit Paru Jember karena Rumah
Sakit Paru Jember merupakan salah satu UPT Propinsi Jawa Timur yang bertugas
melaksanakan program DOTS.
Hasil Penelitian
1. Penemuan Pasien TB
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pasien TB di Rumah Sakit Paru Jember
apabila dikategorikan berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut ini :
5
Gambar 1. Perbedaan Gender Total Pasien TB Berdasarkan Kategori
Umur di RS Paru Jember Tahun 2010
40
35
Jumlah kasus
30
25
20
L
15
P
10
5
0
0-4
5-14
15-24
25-34
35-44
45-54
55-65
>65
Umur
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa dari usia 0-34 tahun jumlah pasien
perempuan berjumlah sama bahkan lebih besar dari total pasien berjemis kelamin laki-laki.
Hal ini berbanding terbalik dengan rentang usia 35-65 tahun atau lebih yang menunjukkan
bahwa jumlah pasien TB perempuan berjumlah lebih kecil dari pasien TB laki-laki. Bahkan
pada usia diatas 65 tahun tidak ditemukan pasien berjenis kelamin perempuan.
Penentuan Tipe pasien TB dilakukan berdasarkan pada riwayat pengobatan
sebelumnya. Tipe pasien TB meliputi : kasus baru dan pasien lama atau ulang. Yang
membedakan antara pasien lama dengan pasien baru adalah pasien baru merupakan pasien
yang belum pernah mendapatkan OAT atau sudah menelan OAT kurang dari 1 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan perbedaan gender total pasien TB Baru
berdasarkan kategori umur di RS Paru Jember adalah sebagai berikut :
6
Gambar 2. Perbedaan Gender Total Pasien TB Baru Berdasarkan Katagori
Umur di RS Paru Jember Tahun 2010
35
30
Jumlah kasus
25
20
15
L
10
P
5
0
0-4
5-15
15-24
25-34
35-44
45-54
55-65
>65
Umur
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah pasien TB Baru dari usia 0-4 tahun
antara laki-laki dan perempuan memiliki jumlah yang sama. Sedangkan pada kategori usia 514, 15-24, 25-34 tahun, jumlah pasien perempuan lebih banyak dari pada pasien laki-laki.
Kondisi yang berbeda terjadi pada kategori usia 35-44, 45-54, 55-65 tahun, dimana jumlah
pasien laki-laki lebih banyak dari pada pasien perempuan. Bahkan pada kategor usia lebih
dari 65 tahun, tidak ditemukan pasien TB Baru pada jenis kelamin perempuan. Kondisi ini
hampir sama dengan jumlah total pasien TB di Rumah Sakit Paru Jember baik pasien baru
maupun pasien lama. Terjadi realitas yang berbanding terbalik pada usia rata-rata 35 tahun,
yaitu pasien perempuan lebih banyak ditemukan pada usia kurang dari 35 tahun, sedangkan
pasien laki-laki lebih banyak ditemukan pada usia lebih dari 35 tahun.
2. Diagnosa Pasien TB
Penentuan klasifikasi penyakit TB perlu dilakukan untuk menetapkan paduan Obat
Anti TB (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Ada beberapa
7
pemeriksaan untuk mendiagnosa seseorang menderita TB paru, antara lain melalui
Pemeriksaan Mikroskopis dari dahak dan pemeriksaan foto rontgen dada. Klasifikasi
penyakit TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak meliputi : TB Paru BTA positif, TB Paru
BTA negatif
egatif , dan TB Extra Paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil diagnosis pasien TB berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Gambar 3. Perbedaan Gender dalam Diagnosis Pasien TB Paru
di RS Paru Jember Tahun 2010
140
120
Jumlah Kasus
100
80
60
L
40
P
20
0
BTA +
BTA -
Ekstra Paru
Diagnosa
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pasien TB yang telah mendapatkan
pelayanan kesehatan sampai pada proses diagnosis sebagian besar berjenis kelamin laki-laki
laki
atau dengan kata lain, pada pasien TB laki-laki
laki laki lebih besar mendapatkan pelayanan sampai
pada proses diagnosis dari pada pasien perempuan. Dimana dari tabel di atas dapat dilihat
rincian diagnosis BTA+ laki-laki
laki
84 orang, perempuan 66 orang. BTA- laki-laki
laki
120 orang,
perempuan 99 orang. Sedangkan ekstra paru laki-laki
laki laki 8 orang, perempuan 6 orang.
ora
8
3. Pengobatan Pasien TB
Hasil pengobatan pasien TB dapat dikategorikan sebagai berikut : sembuh pengobatan
lengkap, meninggal, pindah/transfer, default/DO, dan gagal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa berdasarkan perbedaan gender dari Hasil Pengobatan Pasien TB Lama atau Pasien
pengobatan ulang di Rumah sakit Paru Jember dapat dilihat pada gambar berikut ini ;
Gambar 4. Perbedaan Gender dalam Hasil Pengobatan Pasien TB Lama
atau Pengobatan Ulang di RS Paru Jember Tahun 2010
30
Jumlah Kasus
25
20
15
L
10
P
5
0
Kambuh
DO
Gagal
Kronik
Lain-lain
Tipe Pasien
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa pasien kambuh (relaps) banyak
ditemukan pada pasien laki-laki dari pada perempuan, dengan jumlah yang sangat kentara
yaitu 25 pasien laki-laki dan 11 pasien perempuan. Sedangkan dari pasien yang default atau
Drop out banyak ditemukan pada pasien perempuan (8 orang) daripada pasien laki-laki (6
orang). Untuk pasien yang gagal pengobatan ditemukan jumlah yang sama antara laki-laki
dengan perempuan masing-masing 6 orang.
Dari Total hasil pengobatan baik pada pasien baru maupun pasien TB lama atau
pasien ulang dapat dilihat pada gambar berikut ini :
9
Gambar 5. Perbedaan Gender dalam Total Hasil Pengobatan Pasien
TB di RS Paru Jember Tahun 2010
250
Jumlah kasus
200
150
L
100
P
50
0
Pasien Baru
Pasien Ulang
Tipe Pasien
Pada gambar diatas menunjukkan bahwa seluruh total hasil pengobatan pada pasien
TB, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini
sejalan dengan jumlah pasien pada proses penemuan kasus pasien TB baik pasien baru
maupun pasien lama di usia di atas 34 tahun, kemudian pada proses diagnosis sampai pada
pengobatan.
Pembahasan
1. Penemuan Pasien TB
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif (penjaringan tersangka penderita
dilakukan pada mereka yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan (RS). Penemuan secara
pasif tersebut didukung dengan promosi aktif (penyuluhan secara aktif baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan kasus. Hal ini dikenal
dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan
promosi secara aktif).1 Penemuan kasus baru di Indonesia masih tergolong rendah karena
program deteksi penderita yang dilakukan selama masih terbatas secara pasif. Penderita yang
10
mendapat pemeriksaan dan pengobatan adalah mereka yang berkunjung ke fasilitas
pelayanan kesehatan, sementara penularan terus terjadi melalui kontak antara anggota
keluarga serumah dengan penderita.4 Dengan kata lain, penemuan kasus TB dapat dilihat dari
jumlah pasien TB yang sudah mendapatkan pelayanan di rumah sakit atau puskesmas.1 Tentu
saja hal ini belum mencerminkan jumlah kasus TB yang sebenarnya di masyarakat.
Beberapa hasil studi telah mengidentifikasi beberapa alasan yang menyebabkan
tertundanya pencarian pelayanan kesehatan oleh pasien TB baik laki-laki maupun
perempuan, yaitu5 :
1.
Ketidaknyamanan fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah dan diperparah lagi
oleh biaya yang tinggi dalam mengakses pelayanan (jarak yang jauh, biaya transportasi
ke klinik, hilangnya waktu kerja)
2.
Stigma sosial dan keengganan untuk membuka kondisi dirinya pada orang lain
3.
Kegagalan dalam mengenali gejala pentakit TB atau memahami gejala yang serius dan
kebutuhan pengobatan.
Kondisi yang dijelaskan pada hasil penelitian di atas berbeda dengan laporan
Department of Gender and Women’s Health WHO yang menyebutkan bahwa Insiden dan
prevalensi TB lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dewasa daripada
perempuan dewasa. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Angka Insiden TB lebih tinggi
ditemukan pada laki-laki pada semua kategori umur kecuali pada usia anak-anak dimana jenis
kelamin perempuan mendominasi. Hal ini seperti pada hasil penelitian di Kabupaten Rejang
Lebong yang menyatakan bahwa menurut jenis kelamin, Kejadian TB paru sebagian besar
(66%) terjadi pada laki-laki.6 Sedangkan angka Prevalensi TB dari beberapa laporan
penelitian menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin mulai terlihat pada usia 10-16 tahun
dan tetap laki-laki menduduki peringkat yang lebih tinggi dari pada perempuan.5
11
Pada rentang usia 0-34 tahun, pasien TB baru lebih banyak ditemukan pada jenis
kelamin perempuan. Hal ini bisa disebabkan karena kultur budaya patriakhi yang banyak
dijumpai pada masyarakat kita. Dimana ketika anggota keluarga laki-laki menderita sakit,
akan dilakukan upaya penyembuhan yang lebih cepat daripada anggota keluarga perempuan.
Pada keluarga miskin hal in semakin sering terjadi karena adanya keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki. Bagi mereka, pemenuhan kebutuhan pangan jauh lebih mendesak daripada
kebutuhan akan kesehatan. Selain itu, pada saat sakit, laki-laki dan anak-anak diterima oleh
masyarakat untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari pada perempuan dalam keluarga.7
Hal ini disebabkan oleh rendahnya posisi perempuan dalam pengambilan keputusan dalam
keluarga. Sehingga akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumberdaya untuk
kesehatan sangat terbatas.8
Pada rentang usia di atas 35 tahun, pasien TB baru lebih banyak ditemukan pada
pasien perempuan. Pasien TB perempuan memiliki tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah
dari pada laki-laki secara signifikan dalam hal tingkat pendidikan, serta kondisi lingkungan
kerja dan lingkungan tempat tinggal.9 Data prevalensi penyakit TB terbaru menunjukkan
bahwa penyakit TB lebih banyak diderita oleh kaum laki-laki dari pada perempuan.
Perbedaan ini bisa disebabkan fungsi biologi, tetapi juga disebabkan oleh dampak dari faktor
risiko dan paparan (gaya hidup seperti merokok, pekerjaan, polusi udara dalam ruang
berkaitan dengan proses memasak dan dari paparan industri).10
Di negara berkembang yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin diperoleh
fakta bahwa dalam proses memasak makanan, perempuan banyak terpapar oleh asap dari
kayu bakar atau biogas (kotoran sapi) yang dibakar sebagai bahan bakar di dalam ruang. Hal
ini juga meningkatkan kejadian TB pada perempuan miskin di negara berkembang.11
Perempuan miskin, karena peran domestiknya yang dominan di rumah tangga, banyak
berdiam dirumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang buruk. Kondisi ini menambah
12
resiko terinfeksi TBC. Berbeda dengan laki-laki miskin yang lebih sering di luar rumah.
Perempuan seringkali memasak dan menyalahkan tungku pada tempat yang ventilasinya
sangat kurang. Akibatnya endapan partikel karbon dalam paru-paru akan memperlemah
ketahanan tubuh terhadap serangan penyakit, termasuk TBC.12
Kondisi di atas memperlihatkan bahwa pada usia bayi, anak-anak sampai usia dewasa
awal, perempuan masih memiliki akses yang baik dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
yang layak. Tetapi memasuki usia dewasa pertengahan dan akhir, kaum perempuan tidak
mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai. Padahal perempuan memasuki usia
dewasa madya, apalagi sudah menikah, memiliki beban ganda tidak hanya menyangkut diri
pribadinya tetapi juga menyangkut keluarganya yaitu melayani suami dan sebagai pengasuh
anak-anaknya. Perempuan memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat
dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental. Kenikmatan atas hak ini penting untuk
kehidupan dan kebaikan mereka serta kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam seluruh
kegiatan masyarakat dan kehidupan pribadi.13 Dengan kata lain, penyakit TB berhubungan
sangat erat dengan kemiskinan yang menyebabkan asupan gizi yang kurang, pemukiman
yang tidak sehat dan akses pelayanan kesehatan yang rendah.14 Penyakit TB yang umumnya
menyerang kelompok usia produktif, dapat berdampak langsung dan tak langsung terhadap
ekonomi keluarga. Dampak langsung berupa biaya pengobatan, sedangkan biaya tak
langsung berupa hilangnya produktifitas kerja, sehingga berdampak pada masalah sosial,
keluarga dan masyarakat.15
2. Diagnosa Pasien TB
Ketika proses diagnosis tertunda maka berdampak pada kesehatan pasien TB
perempuan dan hal ini berpotensi pada penyebaran infeksi. Rendahnya diagnosis BTA+
pada pasien TB perempuan dapat disebabkan dari ketidakmampuan perempuan untuk
mengeluarkan sputum atau dahak sesuai dengan kuantititas dan kualitas yang dibutuhkan
13
dalam pemeriksaan laboratorium. Kejadian false negative lebih banyak terjadi pada pasien
perempuan daripada pasien laki-laki. Hasil yang hampir sama ditemukan di Tamil Nadu
India, yang menyebutkan bahwa angka prevalensi penyakit TB paru BTA + lebih tinggi
pada laki-laki dari pada perempuan dengan rasio laki-laki : perempuan sebesar 6,5 : 1.5
Kondisi di atas sejalan dengan beberapa laporan hasil penelitian oleh WHO yang
menyebutkan bahwa perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki dalam penemuan kasus TB
dengan BTA positif dari hasil pemeriksaan sputum. Angka yang lebih rendah pada pasien
TB perempuan daripada pasien laki-laki merupakan konsekwensi dari rendahnyas proporsi
perempuan dari pada laki-laki penderita TB yang mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan,
menyerahkan sampel dahak atau sputum untuk dilakukan tes laboratorium, dengan alasan
kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan, mengutamakan jasa dukun tradisional,
kekurangan tenaga kesehatan berjenis kelamin perempuan serta adanya kekhawatiran akan
munculnya stigma pada pasien TB perempuan. Stigma pasien TB lebih mudah diterima kaum
perempuan daripada laki-laki ketika sudah menikah.7 Masalah-masalah sosial seperti
penceraian dan kesempatan kerja, lebih banyak diderita perempuaan. Sekali perempuan
didiagnosa positip TBC, maka ia akan mendapat stigma lebih berat daripada laki-laki.12
3. Hasil Pengobatan Pasien TB
Analisis perbedaan gender mengindikasikan bahwa perempuan yang telah didiagnosis
TB kemudian melakukan pengobatan TB lebih patuh untuk menuntaskan pengobatan
daripada laki-laki.5 Hal ini dibuktikan dengan data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
jumlah pasien TB
yang kambuh lebih banyak pada pasien laki-laki daripada pasien
perempuan.
Dalam proses pengobatan pasien TB, secara keseluruhan jumlah pasien laki-laki jauh
lebih banyak daripada pasien perempuan. Dengan kata lain, rata-tata pasien perempuan
14
mendapatkan kesempatan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pasien laki-laki dalam
mendapatkan pengobatan. Kondisi dimana perempuan lebih sedikit mendapat kesempatan
untuk sembuh dari penyakit TB bisa terjadi akibat dari kemiskinan yang berdampak pada12 :
a)
Laki-laki lebih cepat terdiagnosa dan memperoleh pengobatan secara dini, karena
mereka lebih banyak di luar rumah dan mempunyai penghasilan sendiri. Namun
karena hambatan mencari nafkah, seringkali menjadi kendala bagi laki-laki untuk
menuntaskan pengobatanya.
b) Perempuan seringkali menunda berobat karena mereka terlalu sibuk di rumah
c)
Perempuan menunda berobat karena mereka tidak bisa pergi jauh dari rumah.
d) Perempuan enggan menggunakan keuangan keluarga untuk kesehatanya.
e)
Perempuan tidak mempunyai akses untuk menggunakan uang, meskipun untuk
kepentingan pengobatan penyakit.
Penting untuk dipahami bahwa kemiskinan bukan hanya terjadi akibat struktur yang
tidak memihak, namun juga rendahnya perlindungan komunitas atas kepemilikan dan
pengelolaan aset oleh perempuan. Rendahnya kontrol perempuan terhadap aset keluarga dan
sumberdaya adalah pendorong terjebaknya perempuan dalam lingkaran kemiskinan.16 Sudah
saatnya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki dalam pengelolaan sumberdaya
dalam keluarga, termasuk penggunaannya dalam bidang kesehatan yang tercermin di tingkat
rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai alokasi yang sama untuk mengakses
pelayanan kesehatan, dan di tingkat ekonomi, perempuan dan laki-laki mempunyai
kemampuan yang sama untuk membelanjakan pendapatannya untuk keperluan kesehatan.12
15
Kesimpulan
Perbedaan gender berdampak pada angka kejadian TB baik pada proses penemuan
kasus, diagnosis dan pengobatan. Pada proses penemuan kasus TB, pada usia 0-34 tahun
jumlah pasien perempuan lebih besar dari total pasien berjemis kelamin laki-laki. Hal ini
berbanding terbalik dengan rentang usia 35-65 tahun atau lebih yang menunjukkan bahwa
jumlah pasien TB perempuan berjumlah lebih kecil dari pasien TB laki-laki. Selanjutnya
pada proses diagnosis, pasien TB laki-laki lebih besar dari pada pasien perempuan. Dari hasil
pengobatan pada pasien TB, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perempuan masih belum mendapatkan pelayanan
yang optimal. Karena dari sisi penemuan kasus mereka lebih banyak daripada laki-laki, tetapi
memasuki proses diagnosis dan pengobatan justru laki-laki lebih banyak daripada
perempuan. Hal ini disebabkan oleh stigma dan rendahnya akses dan kontrol perempuan
dalam pengelolaan sumberdaya untuk kesehatan.
Saran
Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka diperlukan adanya komitmen yang sensitif
gender bagi pemerintah sebagai pedoman intervensi dalam pelaksanaan program TB DOTS.
Selain itu, diperlukan pula adanya komitmen yang sensitif gender pula bagi masyarakat untuk
meningkatkan keterlibatan perempuan dalam Program TB DOTS, serta diperlukan penelitian
lebih lanjut terkait barier atau penghalang keikutsertaan perempuan dalam program TB
DOTS.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkolusis, cetakan
ke 8. Jakarta : Depertemen Kesehatan RI ; 2011.
16
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi
Kedua.
Cetakan
Pertama
.
2007.
http://tbcindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf
3. Departement of Gender and Women’s Health of WHO. Gender and tuberculosis.
Geneva : Departement of Gender and Women’s Health of WHO ; 2002.
4. Kodim, N. Seberkas harapan deteksi kasus tuberculosis dini di tingkat rumah tangga.
Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2012 ; 6 (5) : 193-194.
5. Somma, D. et al., Gender in tuberculosis research. Geneva : World Health
Organization Press ; 2003.
6. Simbolon, D. Faktor risiko tuberculosis paru di Kabupaten Rejang Lebong. Kesmas
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007 ; 2 (3) : 112-119
7. Ganapathy S., Thomas B.E., Jawahar M.S, Selvi, K.J.A., Sivasubramanian, Weiss M.
Perceptions of gender and tuberculosis in a south indian urban community. indian
journal of tuberculosis. 2008; 55: 9-14 http://medind.nic.in/ibr/t08/i1/ibrt08i1p9.pdf
8. Rokhmah, D., Kesehatan ibu : sebuah perspektif gender. Prosiding Seminar Nasional.
Jember : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember ; 2011.
9. Tungdim M.G., Kapoor, S., Gender differentials in tuberculosis : impact of socioeconomic and cultural factors among the tribals of northeast india. The Open Social
Science
Journal
:
2010
;
Vol
3,
68-74.
http://www.benthamscience.com/open/tosscij/articles/V
10. Allotey, P. & Gyapong, M. 2008. Gender in tuberculosis research. international
journal
tuberculosis
lung
disease.
2008
:
vol.
12
(7)
;
831-836
http://apps.who.int/tdr/publications/journal-supplements/gender-tb
research/pdf/gender-tb-research.pdf
17
11. Advocacy for Control TB Internationally (ACTION). Woman and tuberculosis :
taking
a
look
at
a
neglected
issue.
2010.
http://c1280432.cdn.cloudfiles.rackspacecloud.com/Women__Tuberculosis.pdf
12. Makarao, N.R., Gender dalam bidang kesehatan. Bandung : Alfabeta ; 2009.
13. Wendt, S. & Shireen, L., Daftar periksa (cecklist) gender. Asian Development Bank
(ADB) ; 2010.
14. Mahpudin A.H, Mahkota R., Faktor lingkungan fisik rumah, respon biologis dan
Kejadian TBC paru di Indonesia. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2007 ; 1 (4) : 147-153.
15. Aditama, T.Y., Tuberculosis dan kemiskinan. Majalah Kedokteran Indonesia 2005 :
55 (2) ; 49-50.
16. Subiyantoro, E. B., Perempuan miskin di ujung negeri. Jurnal Perempuan. Jakarta :
Yayasan Jurnal Perempuan : 2005 (42) ; 33-43.
18
Download