BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata adalah salah satu dari indera tubuh manusia yang berfungsi
untuk penglihatan. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat
penting, namun sering kali kurang terperhatikan, sehingga banyak penyakit
yang menyerang mata tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan
penglihatan sampai kebutaan. Gangguan penglihatan yang paling sering
dialami adalah rabun, dapat berupa rabun melihat benda jauh, rabun melihat
benda pada jarak dekat. Semua jenis rabun mata pada intinya merupakan
gangguan memfokuskan bayangan benda yang dilihat atau kelainan
refraksi/Ametropia (Danny, 2013).
World Health Organization (WHO) telah menetapkan myopia sebagai
salah satu prioritas utama untuk mengendalikan dan mencegah kebutaan di
dunia pada tahun 2020 (Anma, 2014).
Selama dua dekade terakhir, sudah banyak kemajuan yang dicapai
dalam penurunan angka kebutaan secara signifikan. Pada tahun 1990-an, angka
kebutaan nasional sekitar 1,47 persen, sementara studi validasi Riskesdas
Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) tahun 2013
memperlihatkan
angka
kebutaan
nasional
sebesar
0,6
persen.
Keberhasilan penurunan angka tersebut tentu patut disyukuri dan diapresiasi,
meskipun Indonesia masih kalah dibanding angka kebutaan di Singapura
(kurang lebih 0,35 persen) dan Thailand (kurang lebih 0,4 persen), dan angka
kebutaan di Indonesia sebesar 0,6 persen (antara 0,5 – 1 persen) (Perdami,
2014).
Besarnya angka kebutaan di Indonesia dibanding Singapura dan
Thailand disebabkan kondisi wilayah geografis yang sangat luas, dengan
pulau-pulau serta banyaknya daerah terpencil. Sementara Singapura, Thailand
dan Malaysia relatif memiliki wilayah dengan penduduk yang lebih sedikit.
(Perdami, 2014).
1
2
Sekitar lima juta penduduk Inggris menderita rabun dekat dan 200.00
diantaranya menderita myopia tinggi. Pada beberapa orang, myopia tinggi
dapat menyebabkan kerusakan retina atau ablasio. Myopia tinggi juga
berkaitan dengan katarak dan glaukoma. Myopia tinggi atau myopia
degeneratif kronik dapat terjadi dalam suatu keluarga (bersifat familial).
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 15 keluarga di Hongkong yang
kemungkinan genetik menderita myopia tinggi pada 2 generasi terakhir
didapatkan hasil bahwa lokus autosomal dominan yang berkaitan dengan
myopia tinggi adalah kromosom 18p (Danny, 2013).
Penelitian di Pelayanan Kesehatan Umum Amerika Serikat, myopia
diperkirakan sebagai peringkat ketujuh penyebab kebutaan pada usia
pertengahan awal dengan prevalensi sekitar 2,1%. Prevalensi myopia mencapai
70-90% pada beberapa populasi negara Asia, seperti di Hongkong, Taiwan,
Singapura, dan Jepang tingkatan prevalensi myopia mencapai 80%.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2013 terdapat kecenderungan, makin tinggi
tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka
makin tinggi pula proporsi penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa
kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan kebutuhan
penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar sesuai dengan
prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari
mereka. Prevalensi pada penderita yang memakai kacamata/ lensa kontak di
Indonesia sebesar 4,6%, severe low vision sebesar 0,9% dan kebutaan sebesar
0,5%. Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar
1,49 % dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5 %.
Faktor resiko myopia antara lain adalah genetika dan lingkungan.
Faktor resiko yang paling nyata adalah berhubungan dengan aktivitas jarak
dekat, seperti membaca, menulis, menggunakan komputer dan bermain video
game. Selain aktivitas, myopia juga berhubungan dengan genetik. Anak dengan
orang tua yang myopia cenderung mengalami myopia (Arianti, 2013).
3
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama
pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di
Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. Di
Indonesia terutama anak-anak remaja yang golongan keluarganya menengah ke
atas mempunyai angka kejadian myopia yang semakin meningkat. Banyak
berpengaruh dalam perkembangan myopia adalah aktivitas melihat dekat atau
near work (Tiharyo, 2008).
Prevalensi myopia pada anak dengan kedua orang tua myopia adalah
32,9%, sedangkan 18,2% pada anak dengan salah satu orang tua yang myopia
dan kurang dari 6,3% pada anak dengan orang tua tanpa myopia. Terdapat
korelasi kuat antara tingkat pencapaian pendidikan dan prevalensi serta
progresitivitas gangguan refraksi myopia. Individu dengan profesi yang banyak
membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan mikroskop, dan editor
mengalami myopia derajat lebih tinggi. Myopia dapat berkembang tidak hanya
pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun (Arianti, 2013).
Pada penelitian Jones tentang riwayat myopia orang tua, efek
olahraga dan aktivitas diluar rumah terhadap kejadian myopia, didapatkan hasil
bahwa jumlah olahraga dan aktivitas di luar rumah yang rendah meningkatkan
kejadian myopia pada anak yang mempunyai kedua orang tua myopia daripada
anak yang hanya mempunyai salah satu atau tidak satupun orang tua dengan
riwayat myopia (Marawia, 2010).
Dari semua kelainan refraksi yang ada, angka kejadian myopia
didunia terus meningkat. Data WHO pada tahun 2004 menunjukkan kejadian
10% dari 66 juta anak usia sekolah menderita kelainan refraksi yaitu myopia.
Puncak terjadinya myopia adalah pada usia remaja yaitu pada tingkat SMA dan
myopia paling banyak terjadi pada anak perempuan daripada laki-laki, dengan
perbandingan perempuan terhadap laki-laki sebesar 1,4 : 1. Perbandingan
serupa pada myopia tinggi adalah 3,5 : 1. Sebanyak 30% penderita myopia
berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah keatas (Marawia,
2010).
4
Penggunaan teknologi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia secara luas, akan tetapi bila tanpa disertai dengan pengendalian
yang tepat akan menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri. Seiring
dengan kemajuan teknologi seperti televisi, komputer, video game, smartphone
dan lain-lain secara langsung ataupun tidak langsung akan meningkatkan
aktifitas melihat dekat terutama pada anak didaerah perkotaan. Myopia
terutama pada anak-anak akan berefek pada pendidikan yang sedang mereka
jalani. Lingkungan belajar yang tidak baik menjadi salah satu factor pemicu
terjadinya penurunan ketajaman penglihatan pada anak, seperti anak membaca
buku dengan jarak yang terlalu dekat dan sarana prasarana sekolah yang
kurang mendukung dalam proses belajar mengajar (Supriati, 2011).
Tingginya akses terhadap media visual apabila tidak diimbangi
dengan pengawasan terhadap perilaku buruk seperti jarak lihat yang terlalu
dekat serta istirahat yang kurang, yang akan berpengaruh terhadap terjadinya
myopia. Prevalensi myopia pada anak usia sekolah dasar di Yogyakarta sebesar
3,69% di daerah perkotaan (Tiharyo, 2008).
Prevalensi pada penderita yang memakai kacamata/ lensa kontak
berdasarkan umur 6-14 tahun sebesar 1,0% dan umur 15-24 tahun sebesar
2,9%. Masih dari data RISKESDAS tersebut menyebutkan prevalensi penderita
yang memakai kacamata/lensa kontak semakin meningkat pada tingkat
pendidikan, dimana anak yang tidak sekolah sebanyak 2,3%, anak yang tamat
SD sebanyak 3,6%, yang tamat SMP sebanyak 4,0%, dan yang tamat SMA
sebanyak 7,0%. Jika ditinjau dari segi tempat tinggal lebih tinggi penderita
yang tinggal di perkotaan dibandingkan pedesaan serta dengan kuintil indeks
kepemilikan yang tinggi (RISKESDAS, 2013).
Menurut Flurry, Mobile Addict atau pecandu smartphone adalah orang
yang membuka aplikasi pada smartphone mereka sebanyak lebih dari 60 kali
dalam sehari. Dari survey tersebut diketahui bahwa dari 1,4 miliar pengguna
smartphone yang diteliti, 176 juta orang di antaranya adalah pecandu
smartphone. Angka tersebut juga naik sampai 123 persen dibandingkan angka
tahun lalu yang hanya 79 juta orang. Selain itu diketahui pula 25% pecandu
5
smartphone tersebut berusia 13-18 tahun. Selain sebagai media komunikasi,
smartphone mempunyai fitur yang dinikmati semua strata sosial masyarakat
baik yang kaya maupun kalangan ekonomi menengah kebawah. Bahkan anakanak sangat menyukai smartphone ini karena banyaknya permainan digital dan
online.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Mark Rosenfield seorang
professor di SUNY State College of Opthometry di New York City,
menunjukkan beban kerja mata pada saat menggunakan telepon pintar lebih
berat. Membaca pada jarak yang dekat memaksa mata untuk bekerja lebih
keras dalam memfokuskan pada suatu objek. Membaca tulisan yang kecil juga
akan menambah beban kerja mata. Makin beratnya mata dalam bekerja maka
makin bertambah resiko untuk terjadi regangan pada mata yang akhirnya dapat
menyebabkan penurunan tajam penglihatan.
Penggunaan telepon pintar akan meningkatkan daya akomodasi mata
yang akhirnya berdampak pada penurunan tajam penglihatan. Hal ini terjadi
karena pengguna telepon pintar cenderung menatap layar telepon pintar pada
jarak yang terlalu dekat sehingga beban kerja mata bertambah berat dalam
melakukan akomodasi untuk menyesuaikan pemfokusan pada mata. Bahkan,
efek lain penggunaan telepon pintar adalah penglihatan menjadi kabur,
kelelahan pada mata dan sakit kepala.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti hubungan penggunaan smartphone dengan kejadian myopia pada
pelajar SMP di Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan smartphone memiliki hubungan dengan kejadian
myopia pada pelajar SMP di Yogyakarta?
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi hubungan penggunaan smartphone dengan
kejadian myopia pada pelajar SMP di Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, jenis kelamin,
penghasilan orangtua).
b. Mengidentifikasi faktor genetik atau keturunan.
c. Mengidentifikasi kebiasaan menonton tv
d. Mengidentifikasi kebiasaan membaca atau belajar
e. Mengidentifikasi penggunaan smartphone
f. Mengidentifikasi hubungan penggunaan smartphone dengan kejadian
myopi pada pelajar SMP di Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Peneliti
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
bagi penelitian selanjutnya.
2. Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para tenaga pengajar
untuk memberikan edukasi kepada siswa dalam mengurangi kejadian
myopia.
3. Masyarakat
Sebagai bahan acuan untuk menambah wawasan serta mengurangi
atau mengantisipasi terhadap terjadinya myopia pada remaja.
7
E. Keaslian penelitian
Penelitian serupa yang pernah dilakukan antara lain :
Tabel 1. Keaslian penelitian
1. Dirani et all. (2010) : Outdoor activity and myopia in Singapore teenage
children
Hasil
Persamaan
Perbedaan
Outdoor activity terbukti Variabel dependen : Variabel
independen
memiliki peranan
myopia
:outdoor activity
terhadap terjadinya
Tempat:
myopia.
rancangan : kohort
2. You et all (2012) : Faktor associated with myopia in school children in China
: the Beijing childhood eye study
Hasil
Persamaan
Perbedaan
Myopia berhubungan
Variabel dependen :
Subjek : pelajar SD, SMP
dengan umur, jenis
myopia
dan SMA
kelamin, tipe sekolah,
Rancangan : crossketurunan, latar belakang sectional study
sosial ekonomi,
kebiasaan membaca,
durasi harian dalam
membaca, durasi
menonton televisi atau
komputer, intake protein,
perasaan nyaman
terhadap kehidupan, dan
perasaan lelah dan
bingung
3. Guggenheim et all. (2012) : Time outdoors and physical activity as predictors
of incident myopia in childhood.
Hasil
Persamaan
Perbedaan
Kegiatan diluar ruangan
Variabel dependen :
Variabel independen :
lebih memiliki pengaruh myopia
Time
outdoors
and
terhadap terjadinya
physical
activity
myopia dibandingkan
Rancangan
:
kohort
dengan aktifitas fisik
prospektif
4. Joeri Kuesyairi Abimanyu (2013) : Faktor yang berhubungan dengan
kelainan refraksi mata pada anak sekolah dasar di Kabupaten Tanggamus
Hasil
Persamaan
Perbedaan
Jarak membaca, genetik, Variabel dependen : Rancangan : case control
posisi tubuh, jarak
myopia
Subjek : anak sekolah
menonton mempunyai
dasar
peranan terhadapa
Tempat : Kabupaten
kejadian myopia terutama
Tanggamus
8
jarak membaca (OR
3,054).
5. Wu et all (2014) : Prevalence and associated factor of myopia in high-school
student in Beijing
Hasil
Persamaan
Perbedaan
Myopia
berhubungan Variabel dependen :
Subjek : pelajar kelas 10
dengan kegiatan belajar myopia
dan 11 SMA
di sekolah (OR=1.38), Variabel lain : genetik
waktu istirahat ketika Rancangan : crossbelajar (OR=1.40) dan sectional study
genetic (OR=2.66)
Download