bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seteru tak hanya ada di dalam perang dunia militer. Pertarungan abadi
antara pendukung klub sepak bola West Ham United dengan pendukung Milwall
selalu merepotkan pihak kepolisian kota London setiap pertandingan berlangsung.
Tindakan anarki yang mengatasnamakan harga diri klub memang sudah menjadi
tradisi suporter, terutama di Inggris Raya. Ribuan poundsterling dihabiskan sia-sia
untuk memperbaiki dampak kerusuhan suporter sepak bola. Walaupun tak sedikit
pula dana yang digelontorkan untuk mengamankan pertandingan sepak bola yang
berlangsung setiap pekan.
Sekelompok penonton yang berdiri dalam satu visi dan misi untuk
mendukung pelaku olah raga mungkin dapat dikatakan sebagai definisi sempit
dari kata supporter itu sendiri. Banyak cara yang dilakukan seorang suporter untuk
mengekspresikan dukungannya pada idola yang dibelanya. Mulai dari membuat
banner, bernyanyi, menyalakan kembang api, hingga berkelahi pun dilakukan
untuk sebuah kebanggaan berdiri sebagai suporter. Dalam perhelatan dunia itu
sendiri suporter, sepak bola memang masih mendapatkan predikat terbaik dalam
penampakannya. Aksi-aksi yang memukau hingga anarkis pun dilakukan dengan
mengatasnamakan kebersamaan, kebanggaan, serta rasa persatuan atas klub yang
dibela.
Dalam geliat suporter sepak bola Inggris, dikenal istilah hooligan yang
melegenda dan eksis hingga sekarang. Hooligan sendiri mengandung artian fans
sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Untuk mengantisipasi
adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan dengan sangat
matang untuk sebuah perkelahian. Mereka sangat jarang menggunakan pakaian
yang sama dengan tim idolanya atau menggunakan atribut tim kesayangan, dan
1
justru memilih berpakaian bermerek mahal agar tidak terdeksi oleh pihak
keamanan dan pendukung musuh. Di sinilah muncul kultur baru yang bernama
casuals (Thornton, 2015: 1). Mereka adalah hooligan dengan pakain bermerek
mahal yang pada awalnya digunakan agar bisa menyusup ke dalam bar ketika
sedang melakukan pertandingan di kandang lawan.
Film-film pun banyak dibuat untuk menggambarkan aksi-aksi hingga
kehidupan para hooligan yang begitu kompleks. Semacam Green Street (Lexi
Alexander, 2005), The Firm (Nick Love, 2009), Cass (Jon S. Baird, 2008), dan
lain sebagainya, dibuat sebagai representasi kemakmuran budaya hooligan di
tanah suporter sepak bola Inggris Raya. Film-film inipun tak hanya sekadar
hiburan, mulai dari cara bernyanyi, atribut, chant (yel-yel), hingga budaya
minum-minuman keras, diperlihatkan sebagai paket budaya yang siap disebarkan
ke seluruh penjuru jangkauan. Selain itu, media sosial seperti Youtube juga
berperan dalam memberikan informasi tentang budaya casuals. Video-video yang
diambil dan diunggah dalam kaitannya dengan hooliganisme atau budaya casuals
banyak juga dilihat untuk memberikan gambaran realitas suporter di Britania
Raya. Ditopang pula dengan media-media lain yang semakin memperbesar arus
informasi tentang budaya casuals.
Di Indonesia sendiri, media digunakan oleh para suporter lokal yang
mengaku ingin menguubah gaya dukung mereka kepada klub kesayangan untuk
mencari referensi. Gaya lama yang sudah dianggap kuno dan terkesan kampungan
ala suporter lokal pun ingin disaingi dengan teriakan bahasa Inggris yang terkesan
modern. Atribut mode yang berkelas dengan merek-merek casuals khas Eropa
seperti Fila, Adidas, Lacoste, hingga Stone Island semakin menambah gairah
untuk menjalani kehidupan seperti yang diperlihatkan dalam realitas media.
Pada awal tahun 2014 yang lalu, budaya casuals mulai merambah wilayah
Kota Solo. Klub sepak bola mereka yaitu PERSIS (Persatuan Sepak Bola
Indonesia Kota Surakarta) SOLO, merupakan legenda dengan menjuarai 7 kali
piala perserikatan di era 1950an hingga 1960an. Awal berdiri dengan nama
Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB), klub ini bisa dibilang sebagai pelopor
dunia sepak bola di Indonesia. Didirikan pada tahun 1923 oleh Sastrosaksono dari
2
Klub Mars dan R. Ng. Reksodiprojo dan Sutarman dari Klub Romeo, VVB
bahkan berdiri sebelum adanya PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
Bermarkas di stadion Manahan Solo yang mempunyai kapasitas penonton 35.000,
PERSIS SOLO disokong oleh dukungan loyalis mereka, Pasoepati (Pasukan
Suporter Paling Sejati). Basis suporter ini cukup besar, 18.572 anggota sudah
terdaftar dalam laman facebook mereka dan jumlahnya masih terus bertambah.
Jenis-jenis dukungan yang beragam juga meliputi perjalanan PERSIS SOLO
dalam bertanding. Mulai dari Ultras ala Italia, hinchas ala Amerika Selatan,
hingga yang terbaru yaitu Casuals ala Britania Raya.
Budaya casuals yang mengakar dari Inggris baru-baru ini memang coba
dicontoh dan diserap dalam tradisi mendukung klub lokal Indonesia, termasuk di
kota Surakarta. Para suporter berusaha meramu gaya mendukung mereka menjadi
british style ala casuals. Pakaian dengan merek-merek khas seperti Fila, Adidas,
Ellesse, yang berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah mulai digemari dan
banyak dicari oleh kalangan suporter. Walaupun tak sedikit juga yang memilih
membeli barang bekas, karena uang mereka yang terbatas. Terlebih letak
geografis yang kurang menguntungkan, membuat para suporter menggantungkan
harapan kepada media massa maupun online untuk dapat menggali informasi
mengenai budaya casuals tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, peneliti hendak
mendalami bagaimana proses pencarian informasi suporter PERSIS SOLO untuk
memahami dan membentuk kultur casuals. Peneliti juga ingin menggali apa
sajakah media yang digunakan para suporter untuk dapat meraih informasi
mengenai kultur baru mereka itu.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana proses pencarian informasi suporter PERSIS SOLO dalam
membentuk kultur casuals?
3
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui perkembangan suporter sepak bola lokal Indonesia, khususnya
mengenai bagaimana proses pencarian informasi suporter PERSIS SOLO dalam
membentuk kultur casuals.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam kajian ilmu
komunikasi khususnya dalam kultivasi media dan media baru. Selain itu
penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sebuah informasi dan acuan khalayak
serta referensi tambahan terhadap penelitian lanjutan tentang media sebagai
referensi informasi dengan tema casuals dalam dunia suporter di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
1. Media dan Konstruksi Identitas
Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga
bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau
begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi manusia (Berger dan Luckmann,
2012:11-19). Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger
dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui
bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semisekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern
di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi
sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian teori
konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan
media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi
sosial atas realitas.
4
Melalui Konstruksi Sosial Media Massa, Realitas dalam Masyarakat
Kapitalistik, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger
dan Lukcmann telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa
menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjectivasi, dan
internalisasi. Dengan demikian sifat-sifat dan kelebihan media massa telah
memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan
lambat itu. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis.
Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan
melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan
menempatkan seluruh
kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media
massa atas konstruksi sosial relitas. Berger menjelaskan bahwa realitas itu
bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tidak juga sesuatu yang dibentuk
secara ilmah. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Oleh karena itu,
realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,
preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan tertentu, dan lingkungan
pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan
konstruksinya masing-masing (Berger dan Luckmann, 2012:28). Paradigma
konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena
sosial dipahami sebagai suatu realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk. Dalam hal ini komunikasi dilihat sebagai faktor konstruksi itu sendiri.
Konstruksi sosial merupakan sesuatu hal yang di bentuk atau di
konstruksikan dalam masyarakat yang berupa suatu kebiasaan dan berlangsung
secara terus menerus dan sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam masyarakat
5
tersebut. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis.
Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan
melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh
kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media
massa atas konstruksi sosial relitas. Dalam hal ini proses konstruksi sosial juga
terjadi dalam beberapa tahap, tahap eksternalisasi adalah ketika seseorang tidak
tahu apa itu casuals dan tidak bergabung ke dalam sebuah komunitas casuals.
Tahap objektivikasi adalah tahap dimana seseorang sudah mulai paham apa itu
casuals, namun belum melibatkan dirinya sebagai seorang casuals. Tahap yang
terakhir adalah internalisasi, tahap dimana seseorang telah paham apa itu casuals
dan menganggap bahwa dirinya adalah seorang casuals.
Konsep diri seseorang berasal dari pengetahuan mereka tentang
keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai
dan emosional dari keanggotaan. Hal tersebut merujuk pada pembentukan
identitas sosial yang berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga
dari keanggotaan dalam kelompok tertentu. Hogg (dalam Jacobson, 2003: 3)
menjelaskan bahwa teori identitas sosial merupakan sebuah teori psikologi sosial
hubungan antara kelompok, proses kelompok, dan diri sosial. Teori identitas
sosial (social identity) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya
menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial, dan konflik antar
kelompok (Sarwono, 1999: 90). Menurut Tajfel, identitas sosial seseorang ikut
membentuk konsep diri dan memungkinkan individu menempatkan diri pada
posisi tertentu dalam jaringan hubungan-hubungan sosial yang rumit.
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa identitas dibentuk berdasarkan
keanggotaan kelompok. Menurut teori identitas sosial, individu dimotivasi untuk
6
berperilaku dalam mempertahankan dan mendorong harga dirinya (self-esteem).
Memiliki harga diri yang tinggi merupakan suatu persepsi tentang dirinya sendiri,
seperti seseorang yang menarik, kompeten, menyenangkan, dan memiliki moral
yang baik. Atribut tersebut membuat individu lebih tertarik terhadap dunia sosial
di luar dirinya yang membuat dia memiliki keinginan untuk menjalin hubungan
yang positif dengan individu lainnya. Ketika seseorang tidak memiliki harga diri
maka menyebabkan seseorang menjadi terisolasi. Teori identitas sosial memiliki
tiga
komponen
utama,
yakni
kategorisasi
(categorization),
identifikasi
(identification), dan perbandingan sosial (social comparison) (Tajfel dikutip
McLeod, 2008: 9).
a. Kategorisasi
Pada tahap pertama ini, obyek dikategorisasi untuk memahami dan
mengidentifikasi mereka. Dengan cara yang hampir sama, kita
mengategorikan orang (termasuk diri kita) untuk memahami
lingkungan sosial. Kategori sosial merupakan pembagian individu
berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain.
Jika kita dapat menetapkan seseorang dalam kategori pekerjaan supir
bus maka tidak akan berjalan normal tanpa menggunakan kategori
dalam konteks bus. Kategorisasi dilihat sebagai sistem orientasi yang
membantu untuk membuat dan menentukan tempat individu dalam
masyarakat. Dengan kata lain, individu dikategorikan untuk lebih
memahami saat berhubungan dengan mereka. Mengingat seseorang
dapat menjadi anggota dari berbagai kelompok, maka individu
memiliki identitas sosial untuk setiap kelompok.
b. Identifikasi
Dalam identifikasi, individu mengadopsi identitas kelompok yang
sudah dikategorikan oleh diri kita sendiri. Misalnya, seseorang telah
dikategorikan
oleh
dirinya
sendiri
sebagai
mahasiswa
maka
kemungkinan orang itu akan mengadopsi identitas mahasiswa dan
7
mulai bertindak dengan cara-cara yang diyakininya sebagai tindakan
seorang mahasiswa. Ada makna emosional untuk identifikasi dengan
kelompok dan harga diri seseorang akan menjadi terikat dengan
keanggotaan kelompok.
c. Perbandingan sosial
Tahap akhir adalah perbandingan sosial. Setelah seseorang
dikategorikan sebagai bagian dari kelompok dan diidentifikasi dengan
kelompok, selanjutnya akan ada kecenderungan untuk membandingkan
kelompoknya dengan kelompok lain. Jika harga diri mereka adalah
untuk mempertahankan kelompoknya lebih baik dari kelompok lain,
maka hal ini penting untuk memahami prasangka. Pasalnya, setelah
dua kelompok mengidentifikasi diri mereka sebagai saingan, maka
para anggota kelompok juga akan menjaga harga diri mereka.
Teori identitas sosial juga memperlihatkan bahwa individu menggunakan
kelompok sosial untuk mempertahankan dan mendukung identitas mereka secara
pribadi (Tajfel dalam Sarwono, 1999: 97). Setelah bergabung dengan kelompok,
individu akan berpikir bahwa kelompok lebih unggul dari kelompok lain. Dengan
demikian meningkatkan citra mereka sendiri. Dalam teori identitas sosial,
identitas pribadi berasal dari frame klasifikasi diri yang didasarkan pada kesamaan
dan perbedaan antar pribadi dengan anggota kelompok lainnya. Jika teori identitas
hanya fokus mengenai struktur dan fungsi identitas seseorang di lingkungan
masyarakat, identitas sosial berfokus pada struktur dan fungsi identitas yang
berkaitan keanggotaan kelompok.
Dalam penelitian di bidang olahraga terutama yang membahas fans
biasanya lebih fokus pada teori identitas sosial. Namun, Jacobson (2003)
berpendapat bahwa teori identitas diri juga harus digunakan. Pasalnya, proses
pembentukan identitas memerlukan individu untuk menentukan dirinya sendiri
dalam hubungan sosial. Saat menciptakan identitas sebagai fan, individu akan
mengembangkan identitas pribadi, mengidentifikasi sosial, atau keduanya. Teori
identitas menunjukkan bahwa individu memiliki pilihan dan mengkaji mengapa
8
mereka membuat pilihan yang mereka lakukan. Pertanyaan-pertanyaan akan
muncul mengapa mereka memilih tim tertentu.
Selanjutnya, jika identitas sudah tercipta melalui interaksi, interaksi seperti
apa yang membuat individu menentukan pilihannya. Hogg membagi dua tipe
identitas: identitas diri (personal identity) dan identitas sosial (social identity).
Kedua identitas itu nantinya membentuk self image. Identitas sosial yang dimiliki
oleh seseorang akan selalu dipengaruhi oleh identitas pribadi yang melekat dan
pengaruh lingkungan sosial dimana dia mengaitkan diri sebagai bagian dari
kelompok. Ketika kita mulai sadar sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu,
maka mulai dari situlah identitas sosial kita mulai terbentuk. Identitas sosial
diasumsikan sebagai keseluruhan bagian dari konsep diri masing-masing individu
yang berasal dari pengetahuan mereka terhadap sebuah kelompok, atau kelompokkelompok sosial bersama dengan nilai dan signifikansi emosional terhadap
keanggotaan tersebut (Sarwono, 1999:102).
Normalnya, suatu identitas sosial biasanya menghasilkan perasaan yang
positif. Seseorang akan menggambarkan kelompok sendiri yang diidentifikasikan
memiliki norma yang baik. Misalnya, ketika seseorang berada di sebuah
universitas favorit sehingga menjadi bagian dari kelompok tersebut merupakan
bagian dari keinginannya. Maka, hal itu membuat diri seseorang nyaman karena
senang menjadi bagian dari mereka. Identitas sosial yang melekat pada seseorang
merupakan identitas positif yang ingin dipertahankan olehnya. Maka itu, individu
yang memiliki identitas sosial positif, baik dalam wacana maupun tindakannya,
akan sejalan dengan norma kelompoknya. Jika individu tersebut diidentifikasikan
dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus sesuai dengan
wacana dan tindakan kelompoknya.
2. Perilaku Pencarian Informasi
Perilaku pencarian informasi adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang
untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku pencarian informasi merupakan tindakan
9
yang dilakukan oleh pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasi. Tindakan
setiap orang pasti berbeda. Beberapa faktor akan mempengaruhi cara pengguna
mencari informasi. Baik dari segi tingkat kebutuhan yang berbeda maupun dari
kemampuan pengguna. Perilaku pencarian informasi berhubungan erat dengan
kebutuhan informasi. Ada beberapa informasi yang ditemukan tanpa melakukan
pencarian, tetapi ketika seseorang membutuhkan informasi dengan sendirinya
akan tercipta sebuah perilaku untuk mencari informasi yang dibutuhkan (Wilson,
2000:28). Wilson (2000) menjelaskan bahwa perilaku pencarian informasi adalah
Perilaku pencarian informasi (information seeking behavior) merupakan perilaku
di tingkat mikro, berupa perilaku mencari yang ditunjukkan seseorang ketika
berinteraksi dengan sistem informasi. Perilaku ini terdiri dari berbagai bentuk
interaksi dengan sistem, baik di tingkat interaksi dengan komputer, misalnya
penggunaan mouse atau tindakan meng-klik sebuah link, maupun di tingkat
intelektual dan mental, misalnya penggunaan strategi Boolean atau keputusan
memilih buku yang paling relevan di antara sederetan buku di rak perpustakaan.
Perilaku pencarian informasi bertujuan untuk mencari informasi yang
sesuai dengan kebutuhan individu. Perilaku pencarian ini dapat menggunakan
sumber informasi manual seperti buku atau dengan menggunakan media atau
internet. Dalam artikelnya, Wilson berpendapat bahwa penelitian di kalangan
perancang dan pembuat sistem informasi selama ini selalu menyamakan
“kebutuhan informasi” dengan bagaimana seorang pemakai sistem berperilaku
ketika ia berhadapan dengan sebuah sistem informasi. Proses pencarian informasi
adalah kegiatan pengumpulan informasi sebagai sesuatu yang kemudian
diasimilasikan ke dalam struktur pengetahuan seseorang.
Dari sini terlihat bagaimana teori-teori tentang kognisi menjadi bagian dari
proses interaksi pemakai dengan sistem informasi, dan bagaimana struktur
kognitif berubah oleh informasi yang ditemukan (Pendit, 2003:33). Pencarian dan
penggunaan informasi terdiri dari suatu rangkaian aktifitas dan perilaku yang
kompleks. Penggunaan suatu layanan atau informasi dari media hanyalah sebuah
fragmen dari keseluruhan proses kegiatan seseorang dalam suatu lingkungan
10
pekerjaan tertentu. Pola perilaku penggunaan informasi seseorang hanyalah
merupakan sebagian kecil dari pola pencarian dan peningkatan pengetahuan
seseorang.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perilaku pencarian dan penggunaan
informasi tidak dapat dilihat hanya dari pengamatan terhadap permintaan
informasi ketika seseorang memasuki sebuah perpustakaan, menggunakan
internet, menonton film atau sistem pelayanan informasi lainnya. Pengertian
‘tradisional’ mengasumsikan bahwa setiap orang yang masuk kesebuah sumber
informasi sudah mempunyai gambaran yang sangat jelas dan tepat tentang
kebutuhan informasinya, serta sudah dengan jelas dan tepat tentang kebutuhan
informasinya, serta sudah dengan jelas dan tepat pula dapat mewujudkan
kebutuhan itu menjadi permintaan (Wilson, 2000:30). Selanjutnya untuk
menyimpulkan perilakunya, kita tinggal mendata saja jenis-jenis permintaan itu.
Padahal seseorang walau bagaimana, adalah bagian dari suatu sistem tertentu.
Tempat dimana seseorang hidup dan bekerja akan menentukan perilaku pencarian
dan penggunaan informasinya.
Jadi, konteks lingkungan responden ini harus pula diamati, dan hal ini
tidak dapat dilakukan hanya dengan mendata permintaan informasinya. Wilson
(2000) menyatakan bahwa perilaku pencarian informasi tidak hanya ditimbulkan
oleh hal-hal yang bersifat kognitif atau berhubungan dengan pemecahan persoalan
(pengambilan keputusan), tetapi kebutuhan seseorang untuk menjaga status yang
dapat dipuaskan dengan perasaan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang
suatu topik dari bawahannya, juga akan menimbulkan perilaku pencarian
informasi. Namun pendapat Buckland (dalam Wilson, 2000: 33) menyatakan
bahwa perilaku informasi baru timbul, pada saat kebutuhan informasi seseorang
telah diekspresikan dalam bentuk permintaan.
Perilaku pencarian informasi terjadi karena adanya kebutuhan informasi
yang dirasakan seseorang. Kebutuhan tersebut bisa disebabkan oleh desakan dari
luar seperti tugas-tugas yang harus diselesaikan, ataupun karena faktor dari dalam
11
yaitu untuk mewujudkan kepuasan dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pencarian informasi adalah pencari informasi, keadaan/masalah informasi, bidang
pengetahuan, sistem penelusuran dan hasil yang didapat (Wilson, 2000: 37).
Perilaku pencarian informasi yang akan diteliti lebih ditekankan pada persepsi
responden
terhadap
tingkat
pentingnya
sumber-sumber
informasi
yang
dibutuhkan, cara responden memenuhi kebutuhan informasinya serta alasan
pemilihan sumber-sumber informasi yang dipergunakan.
a. Sumber informasi
Sumber informasi dapat diperoleh dalam dokumen dan non-dokumen.
Sumber informasi yang berupa dokumen dapat berbentuk buku, jurnal, majalah,
hasil-hasil penelitian. Sedangkan sumber informasi non-dokumen adalah manusia,
yakni teman, pustakawan, pakar, atau spesialis informasi. Seperti yang dinyatakan
oleh Setiarso (1997) bahwa sumber informasi juga terdapat pada:
i. Manusia : Manusia sebagai sumber informasi dapat kita hubungi baik
secara lisan maupun tertulis. Yang lazim digunakan untuk kontak
langsung dengan sumber ini ialah pertemuan dalam bentuk ceramah,
panel diskusi, konferensi, lokakarya, seminar dan lain-lain.
ii. Organisasi : Badan atau lembaga penelitian baik milik pemerintah
maupun swasta yang bergerak dalam bidang sejenis merupakan
sumber informasi penting termasuk industry dan himpunan profesi.
Mereka memiliki kemampuan karena mempunyai fasilitas berupa
tenaga peneliti, peralatan atau laboratorium, perpustakaan, dan jasa
informasi yang tersedia.
iii. Literatur : Literatur atau publikasi dalam bentuk terbaca maupun mikro
merupakan sumber informasi yang cukup majemuk. Literatur dapat
dikelompokkan menjadi:
i. literatur primer : bentuk dokumen yang memuat karangan yang
lengkap dan asli. Jenisnya berupa makalah, koleksi karya ilmiah,
buku pedoman, buku teks, publikasi resmi, berkala, dan lain-lain.
12
ii. Literatur sekunder : disebut juga sebagai sarana dalam penemuan
informasi pada literatur primer. Jenisnya berupa indeks, bibliografi,
abstrak, tinjauan literatur, katalog induk, dan lain-lain
Sumber informasi merupakan sarana penyimpanan informasi. Sumber
informasi yang beraneka ragam bentuk atau wadahnya, perlu diatur dan ditata
dengan baik agar mudah dan cepat ditemukan sewaktu-waktu dibutuhkan.
Informasi yang kita temukan sehari-hari bersumber dari mana saja dan sumber
informasi tersebut adakalanya tidak memiliki tingkat relevansi yang tinggi.
b. Kebutuhan Informasi
Manusia membutuhkan informasi karena setiap orang mempunyai hak
untuk memperoleh informasi dari manapun dan mereka boleh saja menggunakan
dan menuntut hak itu sesuai dengan status dan kedudukannya. Informasi juga
memungkinkan orang lebih efektif dan efisien dalam usaha dan pengembangan
diri. Vickery (1973:33) mengatakan bahwa kebutuhan informasi dapat dipelajari
atau diketahui karena muncul dari kegiatan sehari-hari dari masyarakat.
Kebutuhan informasi dari suatu kelompok praktisi dapat diketahui apakah
digunakan untuk penelitian atau digunakan untuk kepentingan sendiri. Wilson
(2000) juga mengatakan akar permasalahan dari perilaku pencarian informasi
adalah konsep kebutuhan informasi.
Sebenarnya kebutuhan tersebut merupakan pengalaman subjektif yang
hanya ada di benak orang yang memerlukannya, yang karenanya tidak dapat
diketahui secara langsung oleh seorang peneliti. Pengalaman akan kebutuhan ini
hanya dapat ditemukan melalui proses deduksi dari perilaku atau melalui laporan
dari orang yang melakukannya. Lebih lanjut Wilson mengatakan bahwa
kebutuhan informasi bukan merupakan kebutuhan primer, tetapi merupakan
kebutuhan sekunder yang muncul karena kebutuhan yang sifatnya lebih mendasar
dan dikategorikan sebagai kebutuhan
fisiologis dan psikologis. Kebutuhan-
kebutuhan dasar tersebut merupakan kebutuhan afeksi, kebutuhan fisiologis dan
kebutuhan kognitif.
13
Khulthau (1991) menguraikan bahwa, kebutuhan informasi dalam ilmu
informasi diartikan sebagai sesuatu yang lambat laun muncul dari kesadaran yang
samar-samar mengenai sesuatu yang hilang dan pada tahap berikutnya menjadi
keinginan untuk mengetahui tempat informasi yang akan memberikan konstribusi
pada pemahaman akan makna. Kesadaran seseorang terhadap sesuatu yang hilang
atau yang kurang dalam dirinya akan mendorong keinginan untuk mengetahui
sumber informasi. Kesadaran tersebut didukung oleh motivasi. Motivasi
merupakan dorongan yang dari diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan.
Tindakan yang dilakukan merupakan perilaku untuk mencari informasi yang
dianggap kurang atau dibutuhkan.
Kebutuhan informasi didorong oleh apa yang dinamakan sebagai “a
problematic situation” (Wersig dan Windel, 1985: 13). Ini merupakan situasi yang
terjadi dalam diri manusia yang dirasakan tidak memadai oleh manusia yang
bersangkutan untuk mencapai tujuan tertentu dalam hidupnya. Ketidakmemadaian
ini menyebabkan dia merasa harus memperoleh masukan (input) dari sumbersumber di luar dirinya maupun yang telah dimilikinya. Empat jenis kebutuhan
terhadap informasi menurut Saepudin (2009) adalah :
i. Current need approach yaitu pendekatan kepada kebutuhan pengguna
informasi yang sifatnya mutakhir. Pengguna berinteraksi dengan
sistem informasi dengan cara yang sangat umum untuk meningkatkan
pengetahuannya. Jenis pendekatan ini perlu ada interaksi yang sifatnya
konstan antara pengguna dan sistem informasi.
ii. Everyday need approach yaitu pendekatan terhadap kebutuhan
pengguna yang sifatnya spesifik dan cepat. Informasi yang dibutuhkan
pengguna merupakan informasi yang rutin dihadapi oleh pengguna.
iii. Exhaustic need approach yaitu pendekatan terhadap kebutuhan
pengguna akan informasi yang mendalam, pengguna informasi
mempunyai ketergantungan yang tinggi pada informasi yang
dibutuhkan dan relevan, spesifik, dan lengkap.
14
iv. Catching-up need approach yaitu pendekatan terhadap pengguna akan
informasi yang ringkas, tetapi juga lengkap khususnya mengenai
perkembangan terakhir suatu subyek yang diperlukan dan hal-hal yang
sifatnya relevan.
Pengguna membutuhkan informasi yang akurat, relevan, ekonomis cepat,
tepat, serta mudah mendapatkannya. Pada saat ini pengguna dihadapkan kepada
beberapa permasalahan, seperti banjir informasi, informasi yang disajikan tidak
sesuai, kandungan informasi yang diberikan kurang tepat, jenis informasi kurang
relevan, bahkan ada juga informasi yang tersedia namun tidak dapat dipercaya.
Permasalahan tersebut menjadi sebuah tantangan bagi penyedia informasi.
Informasi menjadi kebutuhan pokok bagi pengguna tertentu, sehingga jika
kebutuhan informasinya tidak terpenuhi akan menjadi masalah bagi pengguna.
Informasi dibutuhkan pengguna bertujuan untuk menambah pengetahuan,
dan meningkatkan keterampilan yang pada akhirnya dapat merubah sikap dan
perilakunya. Kebutuhan informasi bagi setiap pengguna berbeda-beda antara
pengguna yang satu dengan lainnya. Kebutuhan informasi bagi pengguna dapat
diketahui dengan cara melakukan identifikasi kebutuhan pengguna. Sedangkan
menurut Krikelas (1983) konsep tentang kebutuhan informasi dapat dipahami
secara umum sebagai suatu kesenjangan antara struktur pengetahuan yang dimiliki
dengan yang seharusnya dimiliki. Konsep ini juga dapat dibedakan antara an
information needs dan an information wants.
An information want adalah keinginan terhadap informasi untuk
menghilangkan keragu-raguan, sementara an information needs adalah suatu
kondisi, baik diterima/diakui atau tidak oleh seseorang terhadap informasi yang
diperlukan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya penelitian terhadap perilaku
pencarian
informasi
memperhatikan
keadaan
psikologis
yang
mampu
menimbulkan kebutuhan (needs) saja, tetapi juga harus mengamati terhadap apa
yang disebut Belkin (1985) sebagai Anomalous state of knowledge (ASK).
15
Kondisi seperti ini yang muncul manakala seseorang merasa pengetahuannya akan
sesuatu baik dari kegiatan atau kondisi kehidupannya kurang dari semestinya.
Ada kesenjangan atau ketidakpastian dalam keseluruhan struktur
pengetahuan seseorang yang mendasari kegiatannya. Hal ini dapat menjadi kunci
bagi pemahaman tentang kebutuhan informasi seseorang, bagaimana caranya
memenuhi kebutuhan itu dan bagaimana akhirnya informasi itu dimanfaatkan
(Belkin dan Vickery, 1985). Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas, maka
dalam penelitian ini tidak diamati secara langsung tentang penyebab sehingga
seseorang memerlukan informasi, namun lebih ditekankan pada kegiatan (action)
mahasiswa
dalam
mencari
informasi
tersebut
yang
dikaitkan
dengan
kebutuhannya dalam mengerjakan tugas kuliah.
c. Perilaku Pencarian Informasi
Wilson (2000) mengartikan perilaku (behavior) sebagai: tingkah laku yang
ditimbulkan dari diri seseorang, segala sesuatu yang dilakukan oleh benda hidup
yang meliputi tindakan dan respons terhadap stimulant, dan respon seseorang,
sekelompok orang atau spesies dari lingkungannya. Perilaku pencarian informasi
adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya.
Perilaku pencarian informasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pengguna
dalam memenuhi kebutuhan informasi. Tindakan setiap orang pasti berbeda.
Beberapa faktor akan mempengaruhi cara pengguna mencari informasi. Baik dari
segi tingkat kebutuhan yang berbeda maupun dari kemampuan pengguna.
Perilaku pencarian informasi berhubungan erat dengan kebutuhan
informasi. ada beberapa informasi yang ditemukan tanpa melakukan pencarian,
tetapi ketika seseorang membutuhkan informasi dengan sendirinya akan tercipta
sebuah perilaku untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Wilson juga
menjelaskan bahwa perilaku pencarian informasi adalah Perilaku pencarian
informasi (information searching behavior) merupakan perilaku di tingkat mikro,
berupa perilaku mencari yang ditunjukkan seseorang ketika berinteraksi dengan
sistem informasi. Perilaku ini terdiri dari berbagai bentuk interaksi dengan sistem,
16
baik di tingkat interaksi dengan komputer, maupun di tingkat intelektual dan
mental.
Perilaku pencarian informasi bertujuan untuk mencari informasi yang
sesuai dengan kebutuhan individu. Dalam hal ini dapat menggunakan sumber
informasi manual seperti buku atau dengan menggunakan internet. Dalam
artikelnya, Wilson berpendapat bahwa penelitian di kalangan perancang dan
pembuat sistem informasi selama ini selalu menyamakan “kebutuhan informasi”
dengan bagaimana seorang pemakai sistem berperilaku ketika ia berhadapan
dengan sebuah sistem informasi. Pertanyaan utama yang menjadi masalah pokok
dalam penelitian tentang pengguna sebuah sistem selama ini adalah “bagaimana
seseorang menggunakan sebuah sistem informasi?”, dan bukan apa kebutuhan
informasinya serta bagaimana perilaku pencarian informasinya dapat dikaitkan
dengan kegiatan-kegiatan lain dengan hidup seseorang.
Proses pencarian informasi adalah kegiatan pengumpulan informasisebagai-sesuatu yang kemudian diasimilasikan ke dalam struktur pengetahuan
seseorang. Dari sini terlihat bagaimana teori-teori tentang kognisi menjadi bagian
dari proses interaksi pemakai dengan sistem informasi, dan bagaiman struktur
kognitif pemakai berubah oleh informasi yang ditemukan (Pendit, 2003: 33).
Pencarian dan penggunaan informasi terdiri dari suatu rangkaian aktifitas dan
perilaku yang kompleks. Penggunaan suatu layanan atau informasi dari
perpustakaan hanyalah sebuah fragmen dari keseluruhan proses kegiatan
seseorang dalam suatu lingkungan pekerjaan tertentu.
Perilaku pencarian informasi tidak hanya ditimbulkan oleh hal-hal yang
bersifat kognitif atau berhubungan dengan pemecahan persoalan (pengambilan
keputusan), tetapi kebutuhan seseorang untuk menjaga status yang dapat
dipuaskan dengan perasaan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang suatu
topik dari bawahannya, juga akan menimbulkan perilak pencarian informasi
(Wilson, 2000:49). Namun pendapat Buckland (1988) menyatakan bahwa
perilaku informasi baru timbul, pada saat kebutuhan informasi seseorang telah
17
diekspresikan dalam bentuk permintaan. Perilaku pencarian informasi terjadi
karena adanya kebutuhan informasi yang dirasakan seseorang. Kebutuhan tersebut
bisa disebabkan oleh desakan dari luar seperti tugas-tugas yang harus
diselesaikan, ataupun karena faktor dari dalam yaitu untuk mewujudkan kepuasan
dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian informasi adalah pencari
informasi, keadaan/masalah informasi, bidang pengetahuan, sistem penelusuran
dan hasil yang didapat. Perilaku pencarian informasi yang akan diteliti lebih
ditekankan pada persepsi responden terhadap tingkat pentingnya sumber-sumber
informasi yang dibutuhkan, cara responden memenuhi kebutuhan informasinya
serta alasan pemilihan sumber-sumber informasi yang dipergunakan.
d. Model Perilaku Pencarian Informasi
Ada beberapa model perilaku pencarian informasi, diantaranya adalah
model yang diperkenalkan oleh Wilson berdasarkan pada dua propisisi, yaitu yang
pertama, bahwa kebutuhan informasi bukan kebutuhan utama atau primer, namun
merupakan kebutuhan sekunder yang timbul karena keinginan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Selanjutnya dalam usahanya menemukan informasi
menghadapi kendala (barries) sebagai variabel perantara (intervening variable),
kendala tersebut kemungkinan akan mempengaruhi perilakunya. Model diatas
merupakan revisi dari model sebelumnya (1981) yang dikemukakan oleh Wilson.
Kerangka dari kedua model tersebut tetap memiliki fokus yang sama yaitu
kebutuhan informasi, faktor-faktor penghalang, dan mengenali perilaku penemuan
informasi. Perbedaan model diatas dengan model sebelumnya adalah di dalam
hal-hal berikut (Saepudin , 2009):
i. Penggunaan istilah intervening variable untuk menjelaskan kendalakendala yang dihadapi dalam proses pecarian informasi.
ii. Menunjukkan lebih banyak tipe perilaku penemuan informasi daripada
sebelumnya (pencari aktif tetap menjadi fokus perhatian).
iii. Pengolahan dan pemanfaatan informasi.
18
iv. Didukung oleh tiga teori yaitu: Teori tentang stres dan cara mengatasi
masalah (stress and coping theory), Teori tentang resiko dan imbalan,
dan Teori belajar sosial.
Wilson dalam modelnya ingin menunjukkan bahwa keinginan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya mendorongnya melakukan pencarian
informasi. Hal yang harus pula diperhatikan adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan
tersebut timbul karena peran seseorang pada kehidupan sosialnya. Dalam
kaitannya dengan penelitian ini peran yang diambil adalah peran suporter casuals
PERSIS FANS dalam misinya membentuk identitas kultur dalam mendukung
klub PERSIS SOLO.
Selanjutnya pendekatan berdasarkan “proses kognitif’ seseorang yang
sedang mencari informasi menjadi telaah sendiri. Pendekatan yang digunakan
adalah information search process (ISP) yang dilihat dari perspektif si pencari
informasi. Model behavioral model of information seeking strategies yang
diperkenalkan David Ellis pada tahun 1987 dari hasil analisis pola-pola pencarian
informasi dikalangan peneliti bidang ilmu-ilmu sosial. Hasil penelitian ini
merupakan pola pencarian informasi yang terdiri dari enam tahap yaitu: starting,
chaining, browsing, differentiating, monitoring, dan extracting. Kemudian pada
tahun 1993 model ini dikembangkan Ellis bersama dengan Cox dan Hall dengan
membandingkan pola pencarian informasi peneliti bidang ilmu sosial dengan
peneliti bidang fisika dan kimia sehingga menghasilkan depalan tahapan
pencarian informasi yang terdiri dari starting, chaining, browsing, differentiating,
monitoring, extracting, verifiying dan ending. Berikut ini kedelapan tahapan
pencarian informasi (Ellis, Cox dan Hall, 1993:359-365):
a. Starting
Starting merupakan titik awal pencarian informasi atau pengenalan
awal terhadap rujukan. Seringkali informasi ditemukan pada saat
starting merupakan topik penelitian yang dapat dikembangkan untuk
19
melakukan penelitian lebih lanjut. Pada saat starting digunakan
penelusuran sebagai berikut:
i.
Rujukan awal (starter references) merupakan titik awal untuk
mendapatkan bahan rujukan selanjutnya. Biasanya didapatkan
dari atasan, teman sejawat atau dari kumpulan catatan yang
dibuat sendiri mengenai rujukan yang berhubungan dengan
topik yang diminati.
ii.
Tinjauan atau synopsis artikel (preview or synoptic articles)
digunakan tidak hanya sebagai sumber rujukan menuju bahan
primer tetapi juga sebagai kerangka untuk dapat memahami isi
dari bahan rujukan.
iii.
Sumber Sekunder (secondary resources) digunakan untuk
mencari informasi dalam rangka memilih topik penelitian yang
diminati oleh peneliti.
b. Chaining
Chaining diidentifikasikan sebagai hal yang penting pada pola
pencarian informasi. Kegiatan ini ditandai dengan mengikuti mata
rantai atau mengaitkan daftar literature yang pada rujukan inti.
Chaining dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
i.
Backward
chaining
merupakan
cara
tradisional
yakni
mengikuti daftar pustaka yang ada pada rujukan inti, sehingga
rujukan selanjutnya merupakan rujukan-rujukan yang pernah
disitir pada rujukan inti. Dengan melakukan cara mengaitkan
ke belakang, akan dihasilkan efek bola salju, sehingga hanya
dengan menggunakan satu rujukan inti saja akan didapatkan
beberapa rujukan lain yang tidak akan berbeda jauh dengan
masalah yang dibahas pada rujukan inti.
ii.
Forward chaining mencari rujukan lain berdasarkan subjek
atau nama pengarang dari rujukan inti yang telah ada dengan
mengaitkan ke depan. Cara ini dilakukan dengan menggunakan
sarana bibliografi.
20
c. Browsing
Merupakan tahap kegiatan yang ditandai dengan kegiatan
pencarian informasi dengan cara penelusuran semi terstruktur karena
telah mengarah pada bidang yang diamati. Kegiatan pada tahap ini
efektif untuk mengetahui tempat- tempat yang menjadi sasaran
potensial untuk ditelusuri. Browsing dapat dilakukan dengan berbagai
cara antara lain melalui abstrak hasil penelitian, daftar isi jurnal,
jajaran buku di perpustakaan atau toko buku, bahkan juga buku-buku
yang dipajang pada pameran atau seminar.
d. Differentiating
Merupakan kegiatan membedakan sumber informasi untuk
menyaring informasi berdasarkan sifat kualitas rujukan. Kriteria untuk
memilih rujukan yang akan digunakan adalah: topik kajian, pendekatan
yang digunakan, serta kualitas atau jenis perlakuan. Identifikasi
sumber-sumber informasi terutama ditekankan pada subjek- subjek
yang dipilih dan selanjutnya akan mengambil bahan-bahan dan topik
yang diminati.
e. Monitoring
Merupakan kegiatan yang ditandai dengan kegiatan memantau
perkembangan yang terjadi terutama dalam bidang yang diminati
dengan cara mengikuti sumber secara teratur. Monitoring dapat
dilakukan dengan cara yaitu:
i.
Melalui hubungan formal (informal contact) digunakan
sebagai pra seleksi sumber dan bahan yang akan digunakan.
Cara ini merupakan ajang untuk bertukar informasi, baik
dengan sejawat maupun pakar bidang tertentu.
ii.
Membaca jurnal (monitoring journal) biasanya monitoring
dilakukan terhadap sumber inti dalam jumlah kecil tetapi
telah terseleksi dan diikuti secara seksama. Misalnya
beberapa judul majalah yang dipilih sesuai dengan bidang
yang diminati, diikuti perkembangannya setiap terbit,
21
minimal dari judul-judulnya saja seperti pada current
content.
iii.
Monitoring katalog (monitoring material published in book
form) Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melihat daftar
terbitan
secara
berkala,
preview
atau
bibliografi
berkelanjutan dan melakukan akses secara berkala ke
perpustakaan.
f. Extracting
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini terutama diperlukan pada
saat harus membuat tinjauan literatur. Sumber informasi yang
digunakan pada extracting ini adalah jurnal terutama jurnal-jurnal yang
sudah standar, katalog penerbit, bibliografi subjek, abstrak dan indeks.
g. Verifying
Ditandai dengan kegiatan pengecekan atau penilaian apakah
informasi yang didapat telah sesuai atau tepat dengan yang diinginkan.
Sebagai perbandingan peneliti bidang ilmu sosial tidak melakukan
tahapan ini, berbeda dengan peneliti bidang fisika dan kimia yang
melalui tahapan ini dengan melakukan pengujian untuk memastikan
seandainya ada kesalahan-kesalahan pada informasi yang diperoleh.
h. Ending
Tahap ending juga merupakan kategori perilaku yang tidak
dijumpai pada kajian Ellis (1987). Merupakan tahap akhir dari pola
pencarian
informasi
biasanya
dilakukan
bersamaan
dengan
berakhirnya suatu kegiatan penelitian.
Dalam penelitian ini, model perilaku pencarian informasi yang digunakan
adalah model yang diuraikan oleh Ellis (1987) yang terdiri dari starting, chaining,
browsing, differentiating, monitoring, dan extracting yang merupakan pola
pencarian informasi peneliti ilmu-ilmu sosial. Keenam tahapan yang akan
dimanfaatkan ini dianggap cukup untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini.
22
3. Fans Sepak Bola dalam Budaya Casuals
Identitas fan bermanfaat bagi individu dalam memberikan rasa
kepemilikan komunitas. Zillmann, Bryant, dan Sapolsky (1989) melihat manfaat
lain dari kefanatikan (fandom), termasuk pengembangan beragam kepentingan
dan meningkatkan rasa partisipasi tanpa harus membayar harga mahal. Mereka
juga mencatat bahwa kefanatikan tidak mengenal usia, baik yang masih muda,
tua, ataupun sakit-sakitan, fans akan berusaha untuk berpartisipasi. Kefanatikan
memungkinkan individu untuk menjadi bagian dari permainan tanpa memerlukan
keahlian khusus. Selain itu, kefanatikan menawarkan manfaat sosial seperti
perasaan persahabatan, solidaritas, dan kebanggaan yang bisa meningkatkan harga
diri (Jacobson, 2003:61-63). Kefanatikan di dunia olahraga turut memengaruhi
pengembangan individu dengan membantu orang belajar untuk mengatasi emosi
dan perasaan kecewa.
Fans klub olahraga dapat bersatu dan memberikan perasaan memiliki yang
bermanfaat bagi individu sehingga bisa terbawa ke tempat di mana mereka tinggal
(Jacobson, 2003:89). Literatur terbaru tentang penggemar olahraga telah
menjawab kemungkinan alasan tentang mengapa individu menemukan olahraga
menjadi menyenangkan. Alasan-alasan ini terkait dengan harga diri, pelarian dari
kehidupan sehari-hari, hiburan, kebutuhan keluarga, faktor ekonomi, dan kualitas
estetik atau seni. Namun, seorang fan biasanya memilih satu tim tertentu untuk
digemari. Giulianotti (Munro, 2006: 5) menyatakan bahwa ada empat tipe
spectators (penonton), yaitu supporters (pendukung), followers (pengikut), fans
(penggemar), dan flaneurs.
Giulianotti mengategori spectator dengan menggunakan dua konsep.
Pertama adalah konsep hot-cool yang menetapkan sejauh mana identitas individu
ditentukan dan dipengaruhi oleh daya tarik sebuah tim. Istilah “hot” dipakai untuk
mereka yang memiliki loyalitas dan solidaritas. Sedangkan “cool” merupakan
kebalikan dari “hot”. Konsep kedua adalah traditional-consumer yang menentukan
tingkatan di mana letak jati diri individu yang didorong oleh kekuatan pasar.
23
Giulianotti menganggap penonton tradisional lebih memiliki identitas budaya,
identitas lokal, dan populer jika dibandingkan penonton konsumen yang hanya
memiliki hubungan atas dasar pasar kepada klub.
Lain halnya dengan Jacobson . Dia menyimpulkan banyak pandangan
bahwa fan berbeda dengan spectator dalam olahraga. Jones (1997) menyatakan
bahwa spectator hanya menonton dan mengamati olahraga lalu melupakannya.
Sementara fan akan memiliki intensitas lebih dan akan mencurahkan sebagian
harinya untuk tim olahraga yang digemarinya. Fanship juga telah didefinisikan
sebagai afiliasi di mana banyak makna emosional dan nilai yang berasal dari
keanggotaan kelompok. Spinrad (1981) mendefinisikan fan sebagai orang yang
berpikir, berbicara tentang olahraga, dan berorientasi terhadap olahraga.
Sedangkan Pooley (1978) menunjukkan kebutuhan untuk membedakan antara fan
dan spectator. Dia mengklaim bahwa letak perbedaaannya terletak pada tingkat
kegairahan. Madrigal (1995) menunjukkan bahwa fan mewakili sebuah asosiasi
yang melibatkan individu dengan banyak makna emosional dan nilai. Terakhir,
Anderson (1979) mencatat bahwa fan berasal dari kata “fanatik” sehingga dapat
didefiniskan sebagai penggemar fanatik olahraga atau sebagai individu yang
memiliki rasa antusiasme berlebihan pada olahraga (Munro, 2006: 30-37).
Dalam fanatisme suporter, dikenal istilah hooligan yang melegenda.
Hooligan merupakan stereotip supporter dari Negara Inggris, tetapi saat ini telah
menjadi sebuah fenomena global. Mereka sering menonton pertandingan yang
sangat beresiko besar. Banyak dari mereka sering keluar masuk penjara karena
sering terlibat bentrok fisik dengan supporter musuh maupun dengan pihak
keamanan sebuah wilayah. Dan satu yang pasti tujuan utama para hooligan ini
hadir dalam sebuah pertandingan yaitu ingin membuat sebuah keributan, dan
menonton sebuah pertandingan menjadi tujuan mereka selanjutnya.
Casuals menjadi salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang
identik dengan hooliganism dan pakaian-pakaian bermerek mahal. Sub kultur ini
lahir pada akhir dekade 1970an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para
24
hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal dengan
harga ribuan poundsterling untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi
mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak
dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk
masuk kedalam pub (Thornton, 2015: 2).
Jenis-jenis musik yang disukai oleh para casuals pada akhir dekade 1970
adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa casuals itu merupakan
pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada dekade lanjut, selera
musik casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Di akhir dekade, mereka
cenderung menyukai scene Madchester, dan Rave. Dan di era selanjutnya saat sub
kultur alternatif baru yang bernama Britpop digunakan untuk melawan arus
Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop. Ada pengaruh kuat
dari budaya Rave terhadap casuals, rave sendiri cenderung menyerukan
perdamaian, sehingga banyak dari casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian
khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadangkadang banyak band-band yang bergaya casuals saat dipanggung dan dalam sesi
pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR
dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR, kadang disebut juga
indie rock, telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh casuals.
Sejak pertengahan dekade 1950, para pendukung sepak bola di Inggris
sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada
masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur
Mod pada awal dekade 1960. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai
membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikutpengikut sub kultur lain seperti skinhead juga membawa gaya berpakaiannya
kedalam teras sepak bola. Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada
akhir masa 1970an, casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung
Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh
saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne.
Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani
25
laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaianpakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko
(Thornton, 2015: 34-35).
Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya
Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para
penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer
ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek
pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung
klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di
Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt
dan Adidas Training hingga saat ini. Label pakaian yang terkait dengan Casuals
pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila,
Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri
Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste,
Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan
subkultur casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya
scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur
casuals memudar hingga batas tertentu.
Pada pertengahan 1990-an, sub kultur casuals mengalami kebangkitan
besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar
sepak
bola
mengadopsi
casuals
tampak
sebagai
semacam
seragam,
mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti
Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap
klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan
Pharabouth. Namun pada akhir 1990an, banyak pendukung sepak bola mulai
bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam casuals, karena
polisi mulai memerhatikan tindak tanduk casuals. Selain itu beberapa desainer
juga menarik produk-produk mereka setelah tahu bahwa produk-produk mereka di
pakai oleh casuals. Meskipun beberapa casuals terus memakai pakaian Stone
Island di awal milenia, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas
26
Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun,
dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali
pakaian
casuals
lainnya.
Beberapa
pasukan
polisi
mencoba
untuk
menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib
Celtic. Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara
casuals (Thornton, 2015: 52). Seperti halnya produk-produk pakaian dari merekmerek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah
didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon,
Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan
popularitas luas.
Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000an,
setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers
menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya
Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program
televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street
Hooligans hingga sekuelnya (Thornton, 2015: 67). Pada tahun ini pula, label
pakaian yang terkait dengan pakaian casuals masih termasuk: Stone Island,
Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta,
Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade banyak casuals yang
menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie
Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Akan
tetapi, merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular
di kalangan casuals.
Di Indonesia sendiri, mulai banyak suporter dari klub-klub sepak bola
lokal yang menganut budaya casuals. Diantaranya yaitu Persija Jakarta, Persib
Bandung, Persebaya Surabaya, PSIS Semarang, PERSIS SOLO, dan masih
banyak lagi. Budaya ini memang baru dipakai beberapa tahun belakangan oleh
para suporter. Menyadur budaya casuals yang mengakar dari Inggris, mereka
tampil beda di stadion dengan menggunakan merek-merek yang terkenal dipakai
kalangan suporter sepak bola Britania. Media dalam hal ini sangat berguna untuk
27
menjembatani perjalanan budaya casuals ke Indonesia. Hal ini dikarenakan posisi
geografis Indonesia yang sangat jauh dari daratan Inggris, sehingga informasi
langsung sulit untuk dijangkau para suporter lokal Indonesia.
4. Fans Sebagai Komunitas
Sejak akhir abad ke-19, penggunaan istilah “komunitas” dalam masyarakat
berkaitan dengan harapan dan keinginan untuk menghidupkan suasana lebih
dekat, akrab, hangat, dan harmonis antar sesama umat manusia. Sejumlah definisi
komunitas muncul, beberapa difokuskan kepada masyarakat yang tinggal dalam
wilayah geografis yang sama atau di tempat tertentu. Komunitas sendiri berasal
dari kata community yang merujuk pada level ikatan tertentu dari hasil interaksi
sosial di masyarakat.
Komunitas dapat dieksplorasi dalam tiga cara berbeda, seperti: tempat,
ketertarikan, dan keterikatan. Komunitas yang berada pada teritorial atau tempat
yang dipahami dalam unsur geografis yang sama. Cara lain untuk penamaan ini
adalah wilayah. Pendekatan kepada masyarakat telah melahirkan banyak istilah
baik dalam studi masyarakat maupun studi geografis. Karakteristik lain yakni
komunitas dihubungkan oleh faktor-faktor atau ketertarikan yang sama. Seperti
keyakinan agama, orientasi seksual, pekerjaan, etnis, dan hobi. Komunitas
memiliki rasa keterikatan pada suatu kelompok, tempat, atau ide. Karena memiliki
keterikatan maka mereka memerlukan sebuah pertemuan tatap muka. Dengan kata
lain, komunitas dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang
menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adatistiadat. Serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas (Koentjaraningrat, 1990:
148). Dari penjelasan di atas, maka bisa dilihat bahwa individu-individu yang
terdapat dalam komunitas saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain
yang disatukan dengan adanya kesamaan dari nilai-nilai dan ketertarikan tertentu.
Dalam ilmu sosiologi, komunitas dapat diartikan sebagai kelompok orang
yang saling berinteraksi yang ada di lokasi tertentu. Namun, defnisi ini terus
28
berkembang dan diperluas menjadi individu-individu yang memiliki kesamaan
karakteristik tanpa melihat lokasi atau tipe interaksinya. Sebuah komunitas
memiliki empat ciri utama, yaitu (Jasmadi, 2008: 15):
a. Adanya keanggotaan di dalamnya. Sangat tidak mungkin ada komunitas
tanpa anggota di dalamnya.
b. Saling memengaruhi. Antar anggota komunitas bisa saling memengaruhi
satu dengan yang lainnya.
c. Adanya integrasi dan pemenuhan kebutuhan antar anggota.
d. Adanya ikatan emosional antar anggota.
Bisa dikatakan bahwa inti komunitas terletak pada kelompok orang yang
memiliki identitas yang hampir sama di mana faktor lokasi tidak terlalu relevan
lagi. Yang penting, anggota komunitas harus berinteraksi secara reguler (Jasmadi,
2008: 16). Komunitas memiliki dua atribut yang selalu menyertainya. Pertama,
setiap anggota komunitas merasa memiliki keterikatan dalam sebuah skema
jejaring timbal balik yang saling memengaruhi satu sama lain dalam suasana
keakraban layaknya sebuah hubungan pertemanan. Rasa saling memiliki tersebut
akan menentukan eksistensi sebuah komunitas. Kedua, komunitas memiliki fungsi
saling berbagi (sharing) budaya moral, sistem nilai, dan norma (Etzioni, 2005:
129). Jim Ife dan Frank Toseriero (2002) menjelaskan komunitas sebagai suatu
bentuk organisasi sosial yang dicirikan dalam lima hal berikut:
a. Skala Manusia
Sebuah komunitas melibatkan interaksi-interaksi pada suatu
skala yang mudah dikendalikan dan digunakan oleh setiap
individu. Jadi, skalanya terbatas pada orang yang akan saling
mengenal atau akan saling berinteraksi dalam komunitas itu
sendiri.
b. Identitas dan Kepemilikan
Bagi kebanyakan orang, kata komunitas akan memasukkan
sebuah perasaan memiliki, atau perasaan diterima dan dihargai
29
dalam lingkup kelompok tersebut. Hal ini disebabkan adanya
penamaan anggota komunitas. Konsep keanggotaan artinya
memiliki, diterima oleh yang lain, dan kesetiaan pada tujuantujuan kelompok. Maka itu, komunitas lebih dari sekadar suatu
kelompok yang dibentuk untuk kemudahan administratif, tetapi
memiliki
beberapa
ciri
dari
sebuah
perkumpulan
atau
perhimpunan terhadap orang yang termasuk sebagai anggota
dan di mana perasaan memiliki ini penting dan dengan jelas
diakui.
Jadi, suatu komunitas akan memberikan rasa identitas
kepada seseorang. Komunitas tersebut dapat menjadi bagian
dari konsep diri seseorang, dan merupakan sebuah aspek
penting dari bagaimana seseorang memandang tempatnya di
dunia. Tidak adanya identitas pribadi seperti itu biasanya
dianggap sebagai salah satu masalah dari masyakarat modern.
c. Kewajiban-kewajiban
Keanggotaan
dalam
sebuah
organisasi
mengemban
tanggung jawab dan memiliki hak. Pasalnya, sebuah komunitas
juga menuntut kewajiban tertentu dari para anggotanya sehingga
timbul hubungan timbal-balik. Ada harapan bahwa seseorang
akan berkontribusi kepada komunitas dengan cara berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatam. Mereka juga akan berkontribusi pada
pemeliharahaan struktur komunitas. Semua kelompok tentu
membutuhkan pemeliharaan jika ingin tetap hidup dan
bertanggungjawab atas semua fungsi pemeliharaan suatu
komunitas, maka hal itu terletak pada pundak anggotanya. Oleh
karena itu, menjadi seorang anggota dari sebuah komunitas
seharusnya tidak menjadi pengalaman yang murni pasif, tetapi
seharusnya juga melibatkan suatu partisipasi aktif.
d. Gemeinschaft
30
Struktur-struktur dan hubungan gemeinschaft terkandung
dalam konsep komunitas, sebagai lawan dari struktur dan
hubungan gesellschaft dari masyarakat massa (mass society).
Sebuah komunitas akan memungkinkan orang berinteraksi
sesama anggota dalam keragaman peran yang lebih besar.
Adapun peran-peran tersebut tidak dibedakan dan bukan
berdasarkan kontrak. Hal ini tidak hanya penting dalam
pengertian pengembangan diri, tetapi juga kontak antarmanusia
dan
pertumbuhan
pribadi.
Individu-individu
juga
memungkinkan untuk menyumbang berbagai bakat dan
kemampuan untuk keuntungan yang lain dan komunitas tersebut
sebagai suatu keseluruhan.
e. Kebudayaan
Kebudayaan
dikonsumsi
pada
masyarakat
tingkat
modern
massal
diproduksi
yang
terlalu
dan
sering
mengakibatkan keseragaman dan pemindahan kultur dari
pengalaman lokal orang biasa. Suatu komunitas memungkinkan
pemberian nilai, produksi, dan ekspresi dari suatu kebudayaan
lokal atau berbasis masyarakat, mempunyai ciri-ciri unik yang
berkaitan
dengan
komunitas
yang
bersangkutan,
dan
memungkinkan orang untuk menjadi produser aktif dari kultur
tersebut ketimbang konsumen yang pasif.
Sosiolog Perancis, Emile Durkheim juga mengemukakan konsep-konsep
komunitas. Durkheim (1973) menjelaskan bahwa dalam membahas komunitas,
diperkenalkan dua konsep penting yakni kesadaran kolektif dan solidaritas sosial.
Kesadaran kolektif dijabarkan berdasarkan katanya. Kesadaran atau conscience
adalah suara hati yang mengingatkan bahwa seseorang terlibat secara kolektif dan
menentukan apa yang baik dan yang buruk, sedangkan koletif menunjuk kepada
pengertian kelompok yang luas seperti keluarga, kelompok studi, kerukuran,
31
kelompok musik dan sebagainya. Sehingga, kesadaran kolektif adalah adanya
perasaan dalam suatu komunitas tertentu yangn juga membuat individu-individu
didalamnya merasakan adanya kewajiban moral untuk melaksanakan tuntutan
yang diberikan oleh komunitas tersebut.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
metode etnografi. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Tylor,
1990:32). Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi,
pendapat, atau kepercayaan orang yang diteliti, kesemuanya tidak dapat
diukur dengan angka. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh
gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia
yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat
penelitian yang utama, peneliti memiliki lebih banyak kelebihan daripada
daftar pertanyaan yang lazim dilakukan di penelitian kuantitatif
(kuesioner) (Sulistyo-Basuki, 2000:14).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi
dimana peneliti berusaha untuk mengetahui bagaimana proses pencarian
informasi suporter sepak bola kota Solo dalam membentuk kultur casuals.
Secara sederhana etnografi komunikasi adalah suatu kajian mengenai
praktik-praktik komunikasi sebuah komunitas berbudaya. Secara makro,
kajian ini adalah bagian dari etnografi. Pengkajian etnografi komunikasi
ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu
masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan
dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya. Konsep komunikasi
dalam
etnografi
komunikasi
merupakan
arus
informasi
yang
berkesinambungan, bukan sekedar pertukaran pesan antar komponen
32
semata. Peneliti mengumpulkan data dan mendeskripsikan proses
pencarian informasi suporter sepak bola kota Solo dalam membentuk
kultur casuals sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terjadi di lokasi
penelitian tersebut.
2. Informan penelitian
Dalam penelitian ini, suporter PERSIS SOLO dijadikan sebagai
informan. Suporter PERSIS SOLO dipilih atas berbagai pertimbangan
yang mengacu kepada keunikan objek. Dimana PERSIS SOLO adalah
hanya sebuah kota kecil dan merupakan tim sepak bola kelas dua, namun
memiliki basis suporter yang sangat besar. 18.572 anggota terdaftar di
grup facebook Pasukan Suporter Solo Paling Sejati. Suporter Solo
merupakan yang terbanyak dibandingkan klub papan tengah lainnya, yaitu
PSS Sleman (17.345) dan PSIS Semarang (6.134). Selanjutnya objek
penelitian mempunyai kompetensi. Artinya subjek riset adalah seorang
yang kredibel. Oleh karena itu, dalam pemilihan informan, yang dicari
adalah suporter PERSIS SOLO (individu-individu) yang menganut budaya
casuals dalam mendukung tim sepak bola mereka.
Dalam proses mendapatkan data, peneliti melakukan wawancara
pada beberapa anggota PERSIS FANS. Peneliti lalu mendapatkan empat
informan yang dinilai dapat memberikan banyak informasi maupun data
yang mendalam terkait penelitian ini. Adapun kriteria informan yang
dipilih adalah sudah sejak lama menjadi pendukung PERSIS SOLO,
anggota PERSIS FANS, dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
atau acara-acara yang dilaksanakan komunitas. Semua informan berjenis
kelamin laki-laki dan kesemuanya berdomisili di Surakarta.
Dalam proses mendapatkan informan, peneliti pada awalnya
mengenal salah satu dari empat informan di Tribun B6 pada saat
pertandingan PERSIS SOLO. Kemudian melakukan proses snowball
33
sampling di mana peneliti meminta seorang informan tersebut untuk
merekomendasikan informan yang dianggap memenuhi kriteria informan
yang disebutkan di atas.
3. Profil Informan
Dalam proses mendapatkan data, peneliti melakukan wawancara
pada beberapa anggota PERSIS FANS. Peneliti lalu mendapatkan empat
informan yang dinilai dapat memberikan banyak informasi maupun data
yang mendalam terkait penelitian ini. Adapun kriteria informan yang
dipilih adalah sudah sejak lama menjadi pendukung PERSIS SOLO,
anggota PERSIS FANS, dan berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
atau acara-acara yang dilaksanakan komunitas. Semua informan berjenis
kelamin laki-laki dan kesemuanya berdomisili di Surakarta.
Dalam proses mendapatkan informan, peneliti pada awalnya
mengenal salah satu dari empat informan di Tribun B6 pada saat
pertandingan PERSIS SOLO. Kemudian melakukan proses snowball
sampling di mana peneliti meminta seorang informan tersebut untuk
merekomendasikan informan yang dianggap memenuhi kriteria informan
yang disebutkan di atas. Berikut adalah deskripsi singkat mengenai para
informan.
a. Informan 1
Informan 1 berusia sekitar 28 tahun, saat ini bekerja freelance di
salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Kota Solo. Peneliti mengenal
Informan 1 melalui informan lain yang merekomendasikannya, karena
dianggap sebagai salah satu pendiri dan pemrakarsa kultur casuals datang
ke Solo. Informan 1 sudah menyukai sepak bola semenjak masuk sekolah
dasar. Dia juga sudah sering melihat pertandingan sepak bola di stadion
34
dari umur 8 tahun. Bertempat tinggal di daerah Gandekan yang merupakan
salah satu basis suporter Kota Solo yang militan, Informan 1 sudah sejak
lama berkutat dengan dunia suporter lokal.
b. Informan 2
Informan yang kedua lahir dan besar di Magetan, namun sudah
tinggal di Solo sejak tahun 1995. Menyukai sepak bola sejak kecil, dia pun
mengidolakan klub Liverpool yaitu salah satu klub raksasa Liga Inggris.
Informan 2 pun mulai menyukai sepak bola lokal Kota Solo sejak awal
2000an. Bertempat tinggal di daerah Kampung Sewu, Informan 2
mengaku pernah menjadi bagian dari suporter PERSIS SOLO resmi yaitu
Pasoepati, sebelum pada akhirnya pada 2014 beralih ke Tribun B6 dan ikut
mengembangkan kultur casuals dalam raga PERSIS FANS atau River City
Casuals pada saat itu.
c. Informan 3
Informan 3 merupakan satu-satunya mahasiswa dari empat
informan yang dipilih peneliti. Lahir di Surakarta, 28 agustus 1992,
Informan 3 sudah menyukai sepak bola sejak berumur 7 tahun. Bertempat
tinggal di daerah Nusukan, Informan 3 mengaku baru saja (2014) menjadi
penggemar PERSIS SOLO dan memutuskan untuk bergabung ke dalam
PERSIS FANS. Sebelumnya dia lebih menyukai klub-klub luar negeri
seperti Real Madrid dan sering pula mendatangi acara nonton bareng.
d. Informan 4
Informan 4 adalah yang termuda dari semua informan yang dipilih
peneliti. Dia masih mengeyam pendidikan menengah atas di salah satu
SMA negeri di Kota Solo. Lahir dan besar di Solo sejak 16 tahun yang
lalu, Informan 4 paling bersemangat dalam membicarakan hal sepak bola.
Dia sudah sering menonton pertandingan PERSIS SOLO di stadion sejak
SMP. Bahkan dia tak jarang juga ikut dalam lawatan away klub
kesayangannya itu ke kota lain. Mengetahui kultur casuals sudah mendarat
di Kota Solo, pada pertengahan musim kompetisi 2014-2015, dia merapat
35
ke Tribun B6 dalam tujuan mendukung PERSIS SOLO dengan gaya
casuals hooligan. Walaupun masih muda, dia mengaku tidak takut dengan
ancaman kekerasan yang ada dan memang mengakar pada kultur casuals
hooligan.
4. Teknik pengumpulan data
a. Wawancara
Model wawancara yang digunakan peneliti adalah depth interview
yaitu panduan wawancara secara mendalam dengan menggunakan
suatu daftar pertanyaan yang menjadi pedoman peneliti (interview
guide). Selain itu juga digunakan open-ended question, dimana
pertanyaan dapat berkembang dan berubah-ubah sewaktu-waktu sesuai
dengan kebutuhan peneliti. Wawancara dilakukan pada sejumlah
anggota suporter PERSIS SOLO yang menganut gaya Casuals dalam
mengekspresikan dukungannya terhadap klub.
b. Observasi
Penelitian ini menggunakan pengamatan partisipan dengan mengikuti
beberapa kegiatan yang dilaksanakan suporter PERSIS SOLO.
Terutama memerhatikan aktivitas yang dilakukan oleh anggota dalam
kegiatan komunitas. Adapun kegiatan-kegiatan itu seperti gathering
dan juga pada saat menonton pertandingan PERSIS SOLO. Dari
kegiatan tersebut diharapkan mendapat tambahan data untuk
menunjang data wawancara.
c. Studi kepustakaan
Hasil dari telaah data yang didapatkan dari studi kepustakaan, baik
berupa buku, majalah, dokumen, laporan, catatan, dan sumber lainnya.
36
5. Teknik analisis data
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses
pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan
pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan
temuannya kepada orang lain (Zuriah, 2006:43). Pada tahapan analisis data
dilakukan proses penyederhanaan data-data yang terkumpul ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami. Tahapan analisis data yang
dilakukan peneliti yaitu:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui cara observasi dan
wawancara. Pada tahapan ini data-data yang sudah terkumpul
dibuatkan transkripnya, yakni dengan cara menyederhanakan
informasi yang terkumpul kedalam bentuk tulisan yang mudah
dipahami. Setelah itu data-data yang terkumpul dipilih sesuai
dengan fokus penelitian ini dan diberi kode untuk memudahkan
peneliti dalam mengkategorikan data-data yang terkumpul.
b. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya dan membuang hal-hal yang tidak diperlukan
dalam penelitian. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan
memberikan
gambaran
yang
lebih
jelas,
dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono,
2006:68). Pada tahapan ini, data-data yang sudah diberi kode
dan sudah dikelompokkan dirangkum untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas.
c. Penyajian Data
Data yang sudah terangkum ditafsirkan dan dijelaskan untuk
menggambarkan proses transfer arsip dinamis inaktif di Pusat
37
Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Bogor.
Penyajian data yang sudah ditafsirkan dan dijelaskan berbentuk
uraian dengan teks atau bersifat naratif.
d. Penarikan Kesimpulan
Pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan dari hasil analisis
data yang sudah dilakukan. Penarikan kesimpulan dalam
penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan
masalah yang dirumuskan sejak awal. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif diharapkan adalah merupakan temuan baru
yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan tersebut dapat
berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya
masih belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas
(Sugiyono, 2006:74).
38
Download