strategi pembangunan ekonomi kabupaten cianjur pasca undang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara yang sedang berkembang menginginkan negaranya untuk menjadi
negara maju, sehingga selalu berupaya untuk mengembangkan dirinya dari suatu keadaan
dan kondisi masyarakat yang bersifat tradisional menuju ke arah keadaan yang lebih
baik. Pada sisi yang sempit, perkembangan yang dicita-citakan ini ke arah keadaan
ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan pada sisi yang luas, para ahli
menyebut perkembangan yang diupayakan tersebut seringkali disebut upaya modernisasi.
Meskipun istilah modernisasi kurang disepakati oleh sebagian ahli - diantaranya J.
Eastman dan Blaise- disebabkan oleh sulitnya merumuskan istilah tersebut, tetapi
maksudnya adalah upaya perubahan-perubahan sosial yang berarti suatu proses dan
pembangunan (Tjokroamidjojo, 1978: 14).
Sebetulnya masalah pembangunan di Indonesia bukan masalah yang sama sekali
baru dibicarakan. Tercatat sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia menanggapi
masalah-masalah pembangunan. Tanggapan atas masalah-masalah tersebut, pada
mulanya memang hanya pada satu sektor tertentu. Dimulai dengan hal yang
dikembangkan oleh Menteri Kasimo (Menteri Perekonomian saat itu), dan urgensi
Sumitro (Menteri Perekonomian, pada waktu itu). Perkembangan selanjutnya, pada tahun
1956 berhasil disusun suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960, hal ini
adalah hasil gagasan untuk menyusun suatu rencana pembangunan yang bersifat lebih
menyeluruh yang dikembangkan sejak tahun 1953. Selanjutnya, pada tahun 1959 berhasil
1
2
dirumuskan suatu rencana pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Nasional
Semesta Berencana 1959-1967 (Tjokroamidjojo, 1978:23).
Perencanaan-perencanaan pembangunan yang berhasil dirumuskan tersebut,
sayangnya tidak dibarengi dengan pelaksanaannya. Bahkan pada tahun-tahun 1964-1965
situasi politik memburuk yang dibarengi keadaan ekonomi yang memburuk pula.
Akibatnya, rencana-rencana pembangunan yang telah disusun itu menjadi terbengkalai.
Orde Baru yang mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari Orde lama segera
melakukan suatu program stabilisasi dan rehabilitasi pada tahun 1966. Pada saat awal
berkuasa rejim Orde Baru mewarisi kondisi perekonomian yang buruk. Keadaan
ekonomi saat itu ditandai dengan tingkat inflasi yang tinggi, yaitu 600% per tahun pada
tahun 1966 (Suparmoko, 2002:2). Setelah program tersebut berhasil dilaksanakan, maka
mulailah disusun dan dilaksanakan Rencana Pembanguan Lima tahun yang pertama yaitu
sejak 1969/1970 hingga 1974/1975. Rencana Pembangunan ini berdasarkan kebijakan
pemerintah saat itu yang menerbitkan Keputusan Presiden No. 319 tentang Rencana
Pembangunan Lima Tahun 1969/1970-1974/1975.
Pada masa Orde Baru pembangunan dilandaskan pada Trilogi Pembangunan,
yakni Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan. Dalam setiap program Pembangunan
Lima Tahun (Pelita), terdapat perbedaan tekanan. Pada Pelita I, prioritas utama diberikan
pada stabilitas politik dan ekonomi disusul dengan pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan; kemudian pada Pelita berikutnya pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas
utama diikuti dengan pemerataan dan stabilitas; selanjutnya pada Pelita berikutnya
pemerataan menjadi prioritas utama, disusul dengan pertumbuhan dan stabilitas
(Suparmoko, 2002:3).
3
Pertumbuhan ekonomi, setelah akhir Perang Dunia II, diyakini sangat penting
bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu negara-negara dunia ketiga, termasuk
Indonesia pada masa Orde Baru, mengejar pertumbuhan ekonomi dalam upaya mengatasi
keterbelakangan. Tidak mengherankan pada masa itu paradigma pembangunan kala itu
didominasi pemikiran pentingnya pertumbuhan ekonomi. Namun hipotesis trickle down
effect yang melekat pada paradigma pertumbuhan (growth paradigm) tidak terwujud,
malah sebaliknya pada negara yang sedang membangun, seperti Indonesia, kesenjangan
justru semakin melebar.
Kartasasmita (1996:50) menyebutkan bahwa dari kegagalan pembangunan di
atas, timbul pemikiran bahwa pertumbuhan haruslah berjalan seiring dan terencana
mengupayakan
terciptanya
pemerataan
kesempatan
dan
pembagian
hasil-hasil
pembangunan dengan lebih merata. Selanjutnya Kartasasmita (1996:143) mencontohkan
pengalaman Taiwan sebagai negara yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan yang
berjalan beriringan. Taiwan adalah negara yang tingkat kesenjangannya yang paling
rendah.
Seperti yang diungkap pada alinea di atas, pemerataan sebagai prioritas utama
tidak dapat dicapai, karena pemerintah (oknum-oknumnya) tidak bersungguh-sungguh
dalam mengupayakannya serta sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu sangat
sentralistis. Akibat kebijakan yang sentralistis demikian, maka terjadi kesenjangan antara
golongan yang kaya dan golongan yang miskin. Juga terjadi kesenjangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama pemerintah daerah yang berada jauh
dari pusat kekuasaan.
4
Ditandai dengan berhentinya Soeharto sebagai presiden maka Pemerintahan Orde
Baru ambruk pada tahun 1998, digantikan dengan Orde Reformasi. Rezim pemerintahan
yang baru ini sebenarnya masih mewarisi pola dan sistem pemerintahan dan kebijakan
yang tidak berubah dibandingkan dengan sistem pemerintahan dan kebijakan
pemerintahan Orde Baru. Namun pada masa ini lahir undang-undang yang memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya.
Daerah mulai memperoleh kewenangan pemerintahan dan keuangan seluasluasnya segera setelah Bacharuddin Jusuf Habibie, Akbar Tanjung dan Muladi
menandatangani naskah undang-undang penting pada tanggal 4 Mei 1999 dan 19 Mei
1999, yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerbitan Undang-Undang ini membuka babak baru
pemberian kewenangan yang lebih luas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam melaksanakan pembangunan daerah.
Pembangunan itu sendiri tidak dapat dilakukan oleh daerah sebagai suatu hal
yang terpisah, melainkan suatu proses yang menyatu dan berkelanjutan. Hal ini sesuai
dengan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berbunyi :
“…… pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang
memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi ….”
Selanjutnya, dalam konsideran tersebut dinyatakan :
“…bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui
penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas bantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
5
dan daerah sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan,
tugas dan tanggung jawab yang jelas antara tingkat pemerintahan…”
Jadi jelas sekali alasan penerbitan kedua undang-undang tersebut adalah untuk
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah daripada yang pernah diberikan
sebelumnya untuk mengelola sendiri disertai dengan penyediaan sumber-sumber
pembiayaannya. Pattimura (2003:2) mengatakan, undang-undang tersebut di atas menjadi
dasar terjadinya pelimpahan wewenang pusat kepada daerah untuk mengurus
pemerintahannya sendiri.
Selain itu, undang-undang di atas menjadi momentum baru setiap daerah untuk
melakukan pembangunan yang didasarkan atas aspirasi, kehendak dan kemauan
masyarakat daerah. Pembangunan yang bersifat bottom up yang datang dari kehendak
masyarakatnya akan lebih mendapat dukungan dari masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian undang-undang di atas yang sering disebut undang-undang otonomi daerah itu
memberikan kemungkinan yang luas kepada daerah untuk melakukan pembangunan bagi
daerahnya sendiri serta mengurangi intervensi pemerintah pusat dalam penentuan
program pembangunan, meningkatkan penyaluran aspirasi daerah dalam pembangunan
daerah dan mengurangi pendekatan top down dalam pembangunan (Mardiasmo,
2002:35).
Terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
yang dilatarbelakangi perlunya meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta sudah tidak sesuainya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah dengan perkembangan keadaaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah menyebabkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 perlu disesuaikan. Selain itu terjadinya perubahan mendasar mengenai
6
Sistem Keuangan Negara makin menguatkan alasan untuk memperbaharui UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tersebut. Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.
Pengalaman kebijakan pemerintah orde baru yang sentralistik menjadi salah satu
pendorong program desentralisasi yang diwujudkan dengan pemberian otonomi yang
lebih luas dibanding sebelumnya kepada daerah. Pembangunan pada masa itu tidak
didasarkan pada kondisi lokal, yang mengakibatkan kesenjangan antara daerah-daerah
kaya dengan daerah-daerah miskin, antara Jawa-Luar Jawa dan Kawasan Indonesia
Bagian Barat dengan Kawasan Indonesia Bagian Timur. Kesenjangan antar daerah yang
tinggi ini dilihat dengan berbagai indikator seperti pendapatan per kapita antar daerah,
konsumsi per kapita antar daerah dan banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan. (Pilliang, dkk, 2003:83).
Tujuan program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas
pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun
karakteristik di daerah masing-masing.
Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu tujuan penerapan program otonomi
daerah mempunyai arti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan
barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran
rakyat.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan oleh daerah otonom baik
kabupaten maupun kota, yang saat ini dibebani tanggung jawab urusan yang lebih
7
banyak, selain harus memiliki kemampuan ekonomi juga harus mempunyai kemampuan
administrasi pemerintahan yang handal. Dengan dimilikinya dua kemampuan ini oleh
pemerintah
daerah
maka
penyelenggaraan
urusan-urusan
pemerintahan
dan
pembangunan akan berhasil guna dan berdaya guna. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Hoessein (1993:427) yang menyatakan bahwa Daerah Tingkat II (saat ini
disebut Kabupaten/Kota) yang memiliki urusan riil yang lebih banyak, tanpa dukungan
kemampuan administrasi yang memadai mengakibatkan tidak terselenggaranya sebagian
dari jumlah urusan tersebut.
Kuncoro (2004:8) mengungkapkan bahwa realitas hubungan fiskal antara pusatdaerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah.
Hal ini ditandai oleh rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) yang kemudian akan
menyebabkan besarnya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Padahal
Pendapatan Asli Daerah ditinjau dari tugas dan fungsi Pemerintah Daerah memiliki arti
yang strategis, karena disamping merupakan salah satu wujud nyata dari tingkat
kemandirian daerah dalam melaksanakan otonominya, akan berkaitan pula dengan
tingkat kemampuan Pemerintah Daerah dalam memobilisasi sumber-sumber dana untuk
melaksanakan pembangunan daerah (capital investmen) guna meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan rakyat akan ditandai antara lain
dengan meningkatnya kemampuan daya beli dan kemampuan membayar pajak dan
retribusi daerah, yang dapat diukur dari peningkatan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB).
Pernyataan di atas dapat dibuktikan dengan Tabel 1 di bawah ini yang
menunjukan lemahnya Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia dalam mengumpulkan
8
Penerimaan Asli Daerahnya. Prosentase PAD yang dicapai oleh pemerintah daerah
tingkat II di seluruh Indonesia sejak 1986 hingga 1994 tidak pernah mencapai 20%,
sedangkan sumbangan/bantuan pemerintah pusat kepada seluruh daerah tersebut bahkan
mencapai di atas 60%. Padahal menurut Kustigar Nadeak (Tim Suara Pembaruan,
2001:245), PAD sering dijadikan sebagai salah satu tolok ukur untuk menentukan suatu
daerah mampu atau tidak melaksanakan otonomi. Hal ini bertolak belakang dengan
pernyataan bahwa titik berat otonomi daerah adalah pada daerah tingkat II baik
kabupaten maupun kota.
Dalam tabel di bawah ini diperlihatkan penerimaan daerah tingkat II seluruh
Indonesia dari tahun anggaran 1986/1987 hingga 1993/1994 yang terdiri dari Penerimaan
Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak, Sumbangan/Bantuan Pemerintah
Pusat, Pinjaman Daerah dan Sisa Lebih Tahun Sebelumnya.
Tabel 1. Penerimaan Daerah Tingkat II Seluruh Indonesia 1986/87-1993/94
(dalam milyar rupiah)
No
1
2
3
4
5
Pos-Pos
Penerimaan
PAD
Bagi Hasil Pajak
& Bukan Pajak
Sumbangan/
Bantuan
Pemerintah
Pusat
Pinjaman
Daerah
Sisa lebih tahun
sebelumnya
Jumlah
86/87
%
88/89
%
89/90
%
91/92
%
93/94
%
293,62
19,6
403,93
15,8
478,06
15,7
705,28
12,9
944,55
11,24
147,40
9,9
266,69
10,4
426,77
14,2
677,37
12,4
1115,11
13,27
941,49
63,0
1790,94
69,7
2012,14
65,8
3833,37
70,3
5956,08
70,87
54,67
3,7
31,53
1,2
26,49
0,9
79,68
1,5
52,03
0,62
57,04
3,8
74,93
2,9
71,10
2,4
155,66
2,9
336,21
4
1494,22
100
2568,02
100
3014,56
100
5451,35
100
8403,98
100
Sumber : diolah sendiri dari Kuncoro (2004:10) dan Sulaiman (2000:189)
Kemudian tabel di atas diperkuat dengan Tabel 2 di bawah ini yang
memperlihatkan kecilnya penerimaan asli daerah dibandingkan sumbangan dari pusat.
Dengan demikian, jika melihat tabel di bawah, maka pemerintah daerah masih belum
9
mampu melaksanakan otonomi daerah, karena menurut Syahrudin (2000:1), kesanggupan
daerah melaksanakan otonomi daerah tergantung pada kemampuan daerah untuk
membiayai daerahnya sendiri. Daerah dengan ketergantungan pada pemerintah pusat
tinggi (yang ditandai dengan kecilnya PAD yang diperoleh) diperkirakan belum mampu
melaksanakan Otonomi Daerah.
Tabel 2. Rata-rata Prosentase Penerimaan per Tingkat Pemerintahan Daerah
Tahun 2000
Prop/
Kab/kota
100
Prop
Kab/Kota
Kab
Kota
100
100
100
100
Sisa Angg Th Lalu
5,6
9,1
4,4
4,2
5,6
PAD
14,3
30,4
9,1
7,8
16,3
Dana Perimbangan
78,1
60,2
84,0
85,0
78,8
Bagi Hasil Pajak
8,4
5,4
9,4
9,1
11,3
Bagi Hasil Non Pajak
3,2
7,7
1,8
2,0
0,8
DAU
65,5
47,1
71,6
72,8
64,4
DAK
0,9
0,0
1,2
1,2
1,3
Pinjaman Pemda
2,0
0,2
2,5
2,9
0,3
0
0
0
0
0
Penerimaan
Lain-lain
Sumber : Pilliang dkk (2003:90)
Kabupaten Bogor adalah salah satu daerah otonom yang mempunyai kewenangan
yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan berbagai urusan. Selain
itu Kabupaten ini juga merupakan daerah penyangga (buffer) Ibukota Republik Indonesia
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebagai daerah penyangga Ibukota, tentu saja Kabupaten
Bogor menghadapi berbagai permasalahan yang harus dicari penyelesaiannya.
Permasalahan tersebut timbul baik dari dalam daerah itu sendiri maupun dari luar daerah,
dalam hal ini dari Jakarta.
Selain itu, sejak tahun 2002 Kota Administratif Depok memisahkan diri menjadi
daerah otonom sendiri dengan nama Kota Depok. Pemisahan ini tentu saja paling tidak
10
akan membawa dampak penurunan pada penerimaan asli daerah, khususnya lagi pada
pajak daerah. Sebab, perkembangan Kota Depok sebagai daerah urban yang berbatasan
langsung dengan Ibukota Jakarta memiliki potensi yang besar dalam menggali sumbersumber penerimaan daerah.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji sekaligus menganalisis
permasalahan pajak daerah yang dikaitkan dengan Produk Domestik Regional Bruto serta
Penerimaan Asli Daerah, termasuk juga permasalahan administrasi pengelolaan pajak
daerah di Kabupaten Bogor. Hasil kajian dan analisis tersebut penulis ungkapkan dalam
bentuk karya tulis ilmiah berupa tesis yang berjudul “Analisis Penerimaan dan
Administrasi Pajak Daerah di Kabupaten Bogor”
B. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perkembangan penerimaan pajak daerah dan kontribusi setiap jenis
pajak daerah terhadap total penerimaan pajak daerah ?
2. Berapa besar kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah serta
bagaimana laju perkembangannya serta besar varians penerimaan pajak daerah ?
3. Bagaimanakah kinerja Pajak Daerah di Kabupaten Bogor ?
4. Bagaimanakah pelaksanaan administrasi perpajakan daerah yang diselenggarakan
oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor ditinjau dari tugas pokok dan
fungsinya,
kuantitas
dan
kualitas
penyelengaaraan pemungutan ?
sumber
daya
manusia
serta
kegiatan
11
C. Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan dengan uraian latar belakang
masalah dan pokok permasalahan di atas maka disusun rumusan tujuan penelitian tesis
ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkembangan penerimaan pajak daerah dan kontribusi setiap
jenis pajak daerah terhadap total penerimaan pajak daerah.
2. Untuk mengetahui kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah dan laju
perkembangannya serta besar varians penerimaan pajak daerah.
3. Untuk mengetahui kinerja Pajak Daerah di Kabupaten Bogor.
4. Untuk
mengetahui
pelaksanaan
administrasi
perpajakan
daerah
yang
diselenggarakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor ditinjau dari
tugas pokok dan fungsinya, kuantitas dan kualitas sumber daya manusia serta
kegiatan penyelengaaraan pemungutan.
D. Signifikansi Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk lulus dari program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia
2. Manfaat praktis yaitu, untuk memberikan masukan kepada administrator daerah yang
menangani masalah pengelolaan keuangan.
3. Manfaat akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta
menambah subyek ilmu administrasi pemerintahan daerah dan keuangan daerah yang
dikaitkan dengan konsep-konsep desentralisasi.
12
4. Diharapkan dapat memberikan landasan bagi penelitian administrasi dan studi
kebijakan selanjutnya yang menggagas tema penelitian yang sejenis.
E. Pembatasan Penelitian
Penelitian ini melingkupi dua hal, yaitu penerimaan pajak daerah dan
administrasi pajak daerah selama tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan 2004.
Periode tahun anggaran hanya sebatas tujuh tahun ini yang dijadikan sebagai fokus
kajian disebabkan keterbatasan data yang ada pada lokasi penelitian serta terkait dengan
saat pemberlakuan peraturan perundang-undangan pajak-pajak daerah yang diteliti
Selain itu, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan dan undang-undang yeng berlaku
terdiri dari :
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengolahan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
Karena banyaknya sumber-sumber penerimaan daerah, keterbatasan waktu dan
biaya, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi pada sumber penerimaan dari hasil pajak
daerah.
13
F. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian pertama ini secara runtun akan diuraikan latar belakang masalah,
pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitan serta sismatika penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian kedua ini, akan dipaparkan uraian teoritis yang menjadi landasan
ilmiah untuk mengkaji dan menganalisis pertanyaan-pertanyaan penelirtian
yang menjadi pokok permasalahan dan kerangka pemikiran
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitan, definisi operasional,
objek penelitian, pengumpulan data, dan analisis data
BAB IV
GAMBARAN UMUM
Bab ini akan menjelaskan mengenai sejarah singkat Kabupaten Bogor, letak
fisik wilayah, kebijaksanaan pembangunan di Kabupaten Bogor, struktur
organisasi , tugas pokok dan fungsi dinas pendapatan daerah serta kondisi
umum pegawai dan perkembangan ekonomi dan keuangan Kabupaten Bogor
BAB V
ANALISIS DATA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisis yang terdiri dari dua analisis.
Analisis yang pertama adalah analisis penerimaan pajak daerah dan yang
kedua adalah analisis mengenai administrasi pajak daerah. Analisis
penerimaan pajak daerah terdiri dari analisis perkembangan pajak daerah,
analisis kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah, laju
14
perkembangan, varians penerimaan pajak daerah, analisis kinerja pajak
daerah dan efektivitas pajak daerah
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Bagian terakhir ini merupakan konklusi umum dari analisis permasalahan
yang telah dideskripsikan. Berdasarkan konklusi tersebut akan diusulkan
berbagai saran yang menggagas format kebijakan praktis yang dapat
ditempuh pemerintah daerah.
Download