pengembangan ekonomi lokal kabupaten/kota provinsi

advertisement
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
MENGGUNAKAN TIPOLOGI KLASEN DAN
LOCATION QUOTIENT
Rudy Badrudin
STIE YKPN Yogyakarta
Jalan Seturan, Yogyakarta 55281
Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
This research analyzed local economic development strategy in 4 regencies and 1 city in
Province of DIY based on the data of year 2001 to 2008. The method used to analyze the
hypotheses were Klassen Typology and Location Quotient. Using hypothesis test for means
and ANOVA, the results showed that each regency and city in same diagram area with
Klassen Typology have spesific local economic development strategy to develop region.
Keywords: klassen typology, location quotient
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan pemerintahan sangat
disadari
adanya
keterbatasan
dan
hambatan yang dibentuk dari lingkungan
pemerintahan daerah tersebut berada.
Keterbatasan sumberdaya alam dan
kemampuan sumberdaya manusia yang
berbeda-beda akan sangat mempengaruhi
keberhasilan pemerintah daerah dalam
upaya memakmurkan rakyatnya. Begitu
juga
keterbatasan
sumber-sumber
keuangan daerah maupun penguasaan
teknologi oleh manusia pendukungnya
juga
akan
mempengaruhi
tingkat
keberhasilan suatu pemerintahan di daerah
(Isdijoso, 2002). Kemampuan seluruh
sumberdaya manusia beserta seluruh
sistem politik lokal yang melingkupinya
akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan melaksanakan amanat negara
tersebut. Ini berarti, kecakapan di dalam
merumuskan strategi pemerintahan di
daerah akan sangat menentukan tercapainya usaha-usaha mensejahterakan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi adalah salah
satu indikator yang digunakan untuk
mengukur
tingkat
kesejahteraan
masyarakat di suatu wilayah. Suatu
wilayah mengalami pertumbuhan secara
ekonomi apabila terjadi peningkatan
produksi dari semua kegiatan ekonomi di
dalam wilayahnya secara terukur. Selama
beberapa dekade, pembangunan daerah
selalu berupaya memperoleh pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, tanpa melihat apakah
pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi
kesejahteraan penduduk secara merata atau
tidak. Perkembangan selanjutnya, para
pengambil kebijakan pembangunan daerah
mulai
memperhitungkan
manfaat
pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat,
sehingga tingkat pemerataan mulai
17
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
menjadi suatu indikator bagi kesejahteraan
(Matsui, 2005). Pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas adalah pertumbuhan
ekonomi
yang
berorientasi
pada
penciptaan kesempatan kerja dan berpihak
pada penurunan angka kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
diharapkan dapat memperluas kesempatan
kerja sehingga dapat menyerap tenaga
kerja
secara
berkesinambungan.
Kesempatan kerja yang semakin luas akan
meningkatkan serapan tenaga kerja
sehingga menjadi faktor penting dalam
upaya penurunan tingkat kemiskinan. Di
samping itu, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dapat menjadi indikator semakin
tingginya pendapatan masyarakat sehingga
tingkat kemiskinan menjadi semakin
berkurang. Laju pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output per kapita
dalam jangka panjang. Istilah proses
berarti mengandung unsur dinamis,
perubahan, atau perkembangan. Oleh
karena itu, pertumbuhan ekonomi biasanya
dilihat dalam kurun waktu tertentu. Laju
pertumbuhan ekonomi yang dikaitkan
dengan PDRB per kapita suatu wilayah,
dapat digunakan untuk membandingkan
wilayah secara absolut.
Berkenaan
dengan
strategi
pengembangan ekonomi lokal kabupaten/
kota di Provinsi DIY, berbagai program,
kegiatan, dan anggaran di lingkungan
pemerintah Provinsi DIY perlu disinergikan dengan memperhatikan perspektif
keterkaitan ekonomi dari segi produksipemasaran, layanan informasi pasar dan
teknologi, distribusi input, modal, dan
sumberdaya manusia, infrastruktur dan
layanan transportasi dan kelembagaan atau
keterkaitan desa-kota secara menyeluruh.
Pembangunan ekonomi di daerah berbasis
potensi ekonomi lokal akan berhasil
apabila daerah tersebut memiliki potensi
memasarkan berbagai produk (barang dan
jasa) ke luar daerah dan hasil dari
pendapatan menjual produk ke luar daerah
harus dapat menghasilkan perputaran
18
ekonomi yang baru dalam perekonomian
lokal melalui pembelian bahan baku dan
pengeluaran konsumsi rumah tangga
(Romli, 2006). Strategi pengembangan
ekonomi lokal melibatkan berbagai
pemahaman mendasar tentang potensi dan
peluang daerah dan berhubungan dengan
peningkatan kapasitas para aparat daerah,
wakil rakyat, pengusaha, dan warga daerah
secara umum. Oleh karena itu, dalam
penyusunan
strategi
pengembangan
ekonomi lokal harus memperhatikan
perspektif keterkaitan ekonomi dari segi
produksi-pemasaran, layanan informasi
pasar dan teknologi, distribusi input,
modal,
dan
sumberdaya
manusia,
infrastruktur dan layanan transportasi dan
kelembagaan atau keterkaitan desa-kota
secara menyeluruh.
MATERI DAN
METODE PENELITIAN
Menurut Balai Pustaka (2002: 1092),
strategi adalah rencana jangka panjang
dengan diikuti tindakan-tindakan yang
ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Strategi dibedakan dengan taktik yang
memiliki ruang lingkup yang lebih sempit
dan waktu yang lebih singkat, walaupun
pada umumnya sering kali mencampuradukkan pengertian ke dua kata tersebut.
Dalam pengembangan ekonomi daerah,
strategi yang dipilih adalah stategi yang
mampu membangun dialog dan kemitraan
para pihak yang meliputi pemerintah
daerah, pengusaha, dan organisasi
masyarakat
dengan
mengoptimalkan
sumberdaya daerah dengan tujuan
mendorong meningkatkan investasi guna
mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkelanjutan sehingga dapat
meningkatkan kesempatan kerja baru dan
peningkatan pemerataan. Pengembangan
adalah proses promosi untuk meningkatkan kehidupan dan kondisi kerja
masyarakat melalui penciptaan pekerjaan
baru dan peningkatan pendapatan.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Ekonomi adalah kegiatan mengidentifikasi
peluang investasi, membantu kegiatan
dunia usaha, dan memfasilitasi akses
inovasi. Lokal adalah wilayah tempat
strategi dan proses pemfokusan konsolidasi dan peningkatan potensi dan peluang
daerah.
Dalam teori pembangunan ekonomi lokal (local economic development),
telah dikenal paling sedikit terdapat 10
teori. Teori-teori Pembangunan Ekonomi
Daerah ini dirangkum oleh Malizia dan
Feser (1999) seperti ditunjukkan pada
Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1
Ringkasan Teori Local Economic Development
No
1
2
3
4
Teori
Dasar Teori
Dasar Pengembangan
Sasaran
Pengembangan
Economic
Based Theory
Ekspor Barang
(komoditas)
Peningkatan laju
pertumbuhan,
penciptaan lapangan
kerja, dan peningkatan
pendapatan
Staple Theory
Industri
berorientasi
ekspor
Peranan modal
Ekspor merupakan kunci asing untuk
pertumbuhan ekonomi
melayani kebutuhan
pasar internasional
Sector Theory
Pengembangan
semua sektor
ekonomi baik
primer, sekonder,
maupun tersier
Pengembangan aneka
ragam sektor dan
peningkatan
produktivitas sektor
Peningkatan sektor
akan meningkatkan
kebutuhan dan
pendapatan sektor
Industri
Industri yang bahan
bakunya berasal dari
daerah lain sehingga
pertumbuhan industri
semacam ini selain
mendorong ekonomi
lokasi industri juga
mampu meneteskan
pertumbuhan ekonomi
daerah lain
Lokasi industri
(propulsive
industry)
merupakan kutub
pertumbuhan
(growth pole)
Growth Pole
Theory
5
Regional
Concentration
and Diffusion
Theory
Perdagangan
antardaerah dan
antarindustri
Peningkatan pendapatan
per kapita
6
Newclasiccal
Growth Theory
Agregat ekonomi
wilayah
Peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi
per kapita
Merespon
permintaan luar
negeri dan
multiplier effect
Spread and backwash effect
(Myrdal) atau
terjadinya
penetesan
perkembangan dan
efek polarisasi
(Hirchman)
Peningkatan
tabungan untuk
mendukung
19
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
7
Interregional
Trade Theory
8
Product Cyrcle
Theory
9
Enterprenershi
p Theory
Faktor harga dan
kuantitas
komoditi
Produk baru akan
maturing
kemudian usang
Fungsi dan
peranan
pengusaha
Peningkatan
pertumbuhan ekonomi
dan peningkatan
konsumsi
Kreasi baru akan terus
muncul
Produk baru dan
inovasi
Ketahanan dan
diversifikasi
Proses inovasi
Pembangunan
berkelanjutan melalui
10
Struktur industri
produk-produk baru,
inovasi, dan spesialisasi
Sumber: Malizia, Emil E. dan Edward J. Feser. 1999.
Flexible
Specialization
Theory
Berdasarkan Tabel 1, secara teoritis
strategi pengembangan ekonomi lokal
melibatkan berbagai pemahaman mendasar
tentang potensi dan peluang daerah dan
berhubungan dengan peningkatan kapasitas para aparat daerah, wakil rakyat,
pengusaha, dan warga daerah secara
umum (Arifin, 2005). Potensi leadership
para pemimpin daerah dan kemampuan
manajerial seorang pemimpin di birokrasi,
parlemen, dan dunia usaha di daerah
sampai pada kesiapan para stakeholders
melaksanakan
pembangunan
daerah
menjadi faktor dominan dalam kinerja
pengembangan ekonomi daerah. Dalam
konteks desentralisasi ekonomi, pengembangan ekonomi daerah merupakan suatu
keniscayaan belaka karena sukar sekali
diharapkan suatu pengembangan ekonomi
yang dapat kompatibel dengan kebutuhan
dan potensi daerah apabila nuansa
sentralistik masih terlalu kental (Hirawan,
2007: 3). Teori ekonomipun mengajarkan
bahwa konsep desentralisasi ekonomi itu
tidak lain adalah tuntutan efisiensi dan
skala ekonomi yang lebih adil antara pusat
dan daerah, sehingga lebih menguntung20
investasi dan
pembentukan modal
Penyesuaian harga
akan memberikan
keseimbangkan
pada harga,
kualitas, dan efekefek lainnya
Mengikuti pola
permintaan dan
fleksibel
kan secara ekonomi dan sosial dalam skala
yang lebih makro.
Untuk menjalankan fokus kluster
ekonomi itu, seluruh aktor pengembangan
ekonomi
lokal
haruslah
memiliki
informasi dan pengetahuan mendalam
tentang beberapa hal, yaitu
tingkat
permintaan dunia, permintaan domestik,
tingkat dan pasokan produksi primer
(barang mentah), keterkaitan ke belakang
dan ke depan (pengolahan, pengolahan
lanjutan, pemasaran ekspor), serta jasa
pendukung
yang
dapat
menopang
perputaran ekonomi daerah seperti jasa
kredit, sarana dan infrastruktur lain yang
relevan. Seluruh aktor ekonomi daerah
harus pula memiliki pemahaman lebih
mendalam tentang kendala dan peluang,
tingkat kebekerjaan pasar atau institusi
yang melingkupinya, derajat inisiatif,
aspek insentif dan disinsentif yang
mempengaruhi laju investasi oleh sektor
swasta, termasuk pula suatu strategi
intervensi kebijakan baik yang harus
dirumuskan oleh pemerintah daerah
maupun oleh pemerintah pusat, dan
serangkaian
rencana
aksi
atau
implementasi kebijakan tersebut beserta
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
komponen evaluasinya (Sodik, 2007).
Menurut Kadiman (2005), strategi
pengembangan ekonomi daerah dengan
memperhatikan perspektif keterkaitan
berbagai pihak dibutuhkan komitmen dan
kerja nyata dari ketiga aspek yang disebut
sebagai Triple Helix, meliputi A
(academician), B (businessman), dan G
(government). Untuk menuju nilai IPM
yang tinggi sebagai indikator keberhasilan
pembangunan,
pemerintah
harus
memberikan dukungan penuh terhadap
pemberdayaan para pelaku bisnis yang
disinergikan dengan pihak akademisi dan
pihak pemerintah itu sendiri.
Triple helix merupakan salah satu
solusi dari kendala-kendala yang dihadapi
oleh para pelaku bisnis. Triple helix
mewadahi terciptanya kolaborasi mutualisme antara ketiga pihak yang terlibat di
dalamnya. Diharapkan hubungan yang
lebih terbuka dan saling menguntungkan
akan dapat dilakukan antara pihak
akademisi dengan pemerintah, akademisi
dengan pelaku bisnis, dan pelaku bisnis
dengan pemerintah. Komitmen pemerintah
untuk menaikkan anggaran pendidikan
menjadi 20% dari anggaran negara
hendaknya disikapi akademisi universitas
untuk meningkatkan kualitas pendidikan
sekaligus memberikan kontribusi bagi
pembangunan. Akademisi universitas
diharapkan untuk dapat berperan lebih
banyak dalam pemecahan masalah yang
dihadapi pemerintah seperti masalah
ekonomi dan sosial masyarakat. Pemerintah dituntut untuk lebih memberikan
kelonggaran dan kemudahan birokrasi,
regulasi, dan kebijakan dalam system
ekonomi, sehingga para pelaku bisnis
dapat menjalankan usahanya secara
optimal. Sebaliknya, para pelaku bisnis
juga diharapkan untuk dapat mengambil
bagian sebagai pelaku bisnis yang
menjunjung tinggi etika bisnis dan
corporate responsibility-nya.
Tridharma Perguruan Tinggi telah
menyebutkan bahwa salah satu kewajiban
dosen adalah melakukan penelitian. Dana
yang dialokasikan pemerintah untuk
membiayai penelitan dimaksudkan untuk
memotivasi penelitian-penelitian yang
melahirkan inovasi teknologi dan ide
kreatif. Namun penelitian yang telah
dilakukan banyak berakhir di ruang
laboratorium saja atau diarsipkan dalam
koleksi perpustakaan. Di dalam triple
helix, hasil penelitian akademisi perguruan
tinggi diharapkan tidak hanya melayani
kebutuhan ilmu pengetahuan semata,
namun juga sebagai solusi permasalahan
pemerintah di dalam menentukan kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan
masyarakat pebisnis. Pihak pemerintah
perlu memberikan stimulus positif yang
dapat merangsang pertumbuhan dan
perkembangan investasi bisnis sekaligus
mendorong atmosfer bisnis yang kondusif.
Caranya adalah dengan mengurangi
pembatasan-pembatasan yang menyulitkan
perkembangan dan inovasi berbisnis,
melindungi karya-karya inovasi bisnis, dan
mengimplementasikan aturan pemerintah
yang berkaitan etika berbisnis sehingga
tercipta persaingan bisnis yang sehat.
Pihak industri mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi dalam
menciptakan iklim bisnis yang baik,
seperti menerapkan etika berbisnis,
berkomitmen pada corporate social
responsibility (CSR), dan menjadi partner
pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara nasional. Menyeimbangkan peran dari ketiga pihak yaitu
akademisi, pemerintah, dan pebisnis ini
bukanlah hal mudah. Diperlukan upaya
yang berkesinambungan dan dinamis,
sehingga setiap pihak diharapkan selalu
open-minded dan berusaha melakukan
yang terbaik demi kepentingan bersama.
Ketiga pihak tidak dapat bergerak sendiri,
oleh karena itu diperlukan kerjasama yang
sinergis dan seimbang.
Menurut
Darwanto
(2002),
pembangunan ekonomi daerah perlu
memberikan solusi jangka pendek dan
21
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi
daerah yang dihadapi, dan perlu
mengkoreksi kebijakan yang keliru.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan
bagian dari pembangunan daerah secara
menyeluruh.
Dua
prinsip
dasar
pengembangan ekonomi daerah yang perlu
diperhatikan adalah 1) mengenali ekonomi
wilayah dan 2) merumuskan manajemen
pembangunan daerah yang pro-bisnis.
Pada era pasar bebas dan
globalisasi
suatu
kerjasama
pada
hakekatnya merupakan tuntutan dan
mutlak untuk dilakukan karena dalam
dimensi global tidak ada satupun negara
maupun Provinsi atau Kabupaten/Kota
yang mampu menyelesaikan sendiri
permasalahannya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat yang senantiasa
berkembang sangat komplek dan dinamis.
Pada aspek perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan juga tidak dapat lagi
dilakukan secara sentralistik, namun
dituntut untuk lebih memperhatikan
kepentingan dan kebutuhan daerah, karena
daerah yang lebih mengetahui dan
memahami akan kebutuhannya (Sodik,
2008).
Menurut Arifin (2005), dalam
menjalankan program partnership for
local economic development (PLED)
menggunakan
strategi
pendekatan
permintaan dan pemberdayaan kemitraan
dalam meningkatkan daya saing daerah.
Kluster ekonomi yang dipilih sebagai
starter tahun pertama aplikasi pendekatan
permintaaan ini adalah kluster ekonomi
kelapa di Sulawesi Utara, kacang mete di
Sulawesi Selatan, dan udang banana
(tangkap) di Kabupaten Sorong-Irian Jaya.
Program PLED melakukan uji-coba di
dua kabupaten di setiap propinsi dan di
dua kecamatan di Kabupaten Sorong. Pada
tahun kedua, PLED dikembangkan ke tiga
daerah baru dan kluster ekonomi baru,
yaitu kopi di Lampung, kelapa di Jambi,
dan kacang mete di Sulawesi Tenggara. Di
samping itu, pada tahun kedua itu,
22
pengembangan kluster ekonomi juga
dilakukan di tiga daerah lama sebagai
berikut, yaitu perikanan di Sulawesi Utara,
tambak udang di Sulawesi Selatan, dan
mengarah ke bahan pangan di Sorong
(Irian Jaya).
Dalam perencanaan pembangunan
ekonomi, inisiatif harus lebih responsif
terhadap pasar bukan semata pada progam
pemerintah. Pemerintah dapat meningkatkan suatu intervensi layanan publik yang
dirumuskan
berdasarkan
target
beneficiaries, bukan pelaksana program
atau unsur pemerintah/birokrasi semata.
Setelah sekian tahun dijalankan, maka
Pemerintah Indonesia melalui Bappenas
kemudian mengadopsi dan mereplikasi
program PLED tersebut yang kemudian
dikenal dengan Program KEPL atau
Kemitraan untuk Pengembangan Ekonomi
Lokal, yang sangat peduli terhadap
peningkatan daya saing ekonomi daerah.
Dendi
(2006:99)
mengatakan
bahwa dalam menyusun Konsep, Strategi,
dan Metode Forum Pengembangan
Ekonomi Lokal: Perspektif dan Pengalaman
Nusa Tenggara, Pengembangan
Ekonomi Lokal sebagai bagian integral
dari pembangunan ekonomi regional dan
nasional melalui pendekatan kemitraan
para penggiat pembangunan ekonomi di
daerah yang tergabung dalam berbagai
forum ekonomi di daerah. Hal ini dapat
dijadikan wahana dialog bagi para
pengambil kebijakan dalam memformulasikan kebijakan, strategi pembangunan
ekonomi daerah yang pro-poor dan probusiness dengan memperhatikan daya
dukung sumberdaya yang ada. Oleh karena
itu, Forum Pengembangan Ekonomi Lokal
memegang peran yang cukup strategis
dalam membantu pemerintah daerah untuk
mengembangkan kerangka pikir dan
konsep pengembangan ekonomi lokal
sesuai dengan potensi lokalnya.
Pemerintah Provinsi DIY dalam
melaksanakan pembangunan berbagai
sektor, telah melakukan kerjasama baik
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
dengan pemerintah maupun pihak swasta
baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
yang dilakukan secara langsung pihak
pemerintah
daerah.
Kerjasama
ini
merupakan alternatif pemecahan masalah
yang timbul antara lain keterbatasan
sumber daya dan investasi, efisiensi dalam
pengelolaan sumber daya, konsep regional
planning, keterbatasan jangkauan layanan,
dan masalah lintas batas, antara lain
sumber daya alam yang terletak di lintas
batas, hambatan akses, dan pemanfaatan
potensi. Secara keseluruhan kerjasama
tersebut pada esensinya adalah sebuah
strategi untuk mendukung pengembangan
ekonomi daerah dan lainnya.
Untuk keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah
Provinsi maupun Kabupaten/Kota perlu
pemahaman adanya interdependensi dan
mewujudkan terjadinya networking. Pada
tataran implementasinya sangat dibutuhkan kesepahaman dan kompetensi yang
tinggi antarpemerintah daerah, mengingat
tidak ada batas-batas yang pasti antar
yurisdiksi atau kewenangan antara suatu
pemerintah daerah dengan pemerintah
daerah lainnya. Kebijakan dan peraturanperaturan yang menyangkut otonomi
daerah seringkali hanya mengatur garis
besar kebijakan yang ditempuh Pemerintah
Pusat, sedangkan konteks pelaksanaan
otonomi di daerah menuntut pemahaman
menyeluruh terhadap situasi riil yang
dihadapi di daerah. Oleh karena itu,
prinsip pelaksanaan otonomi daerah
hendaknya menggunakan sistem negosiasi
atas berbagai kepentingan regional dan
lokal sambil tetap merujuk kepada
kebutuhan masyarakat yang sebenarnya di
daerah.
Terbangunnya hubungan dengan
pemerintah daerah lainnya atau bahkan
dengan stakeholders yang ada secara
keseluruhan harus dilakukan mengingat
semakin kompleks permasalahan dan
meningkatnya
tuntutan
masyarakat
terhadap kuantititas dan kualitas layanan
publik. Mekanisme dapat dilakukan
dengan mengadakan pertemuan, rapat,
forum komunikasi yang intensif, serta
berbagai kerjasama antarkeseluruhan,
untuk akhirnya dapat dicapai kesepakatan
bersama mengenai peran fungsi masingmasing, sehingga terjadilah kejelasan
mengenai permasalahan lingkup kewenangan, keuangan, penyelenggaraan, dan
tanggungjawab. Dengan demikian, akan
tercapai kesatuan pandang dan otonomi
daerah dapat menjadi alat atau cara
mewujudkan kesejahteraan dan menyediakan layanan kepada masyarakat DIY serta
dapat menciptakan daya saing yang positif
antardaerah di Provinsi DIY.
Laju pertumbuhan ekonomi adalah
proses kenaikan output per kapita dalam
jangka panjang. Istilah proses berarti
mengandung unsur dinamis, perubahan,
atau perkembangan. Oleh karena itu,
pertumbuhan ekonomi biasanya dilihat
dalam kurun waktu tertentu. Laju
pertumbuhan ekonomi yang dikaitkan
dengan PDRB per kapita suatu wilayah,
dapat digunakan untuk membandingkan
wilayah secara absolut. Perbandingan
absolut antar kabupaten/kota yang disebut
dengan Tipologi Klassen disajikan dalam
bentuk diagram empat kuadran, di mana
sumbu vertikal menggambarkan tingkat
pertumbuhan ekonomi, sedangkan sumbu
horisontal
menggambarkan
rata-rata
PDRB per kapita. Pada tengah masingmasing sumbu (vertikal dan horisontal)
digambarkan garis tegak lurus pada
masing-masing sumbu. Garis-garis ini
menggambarkan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi (tegak lurus dengan garis
vertikal) dan rata-rata PDRB per kapita
(tegak lurus dengan garis horisontal).
Garis-garis tersebut membagi bidang
grafik menjadi 4 (empat) kuadran.
Selanjutnya searah putaran jarum jam,
empat kuadran tersebut disebut dengan
kuadran I (terletak di sudut kiri atas),
kuadran II (terletak di sudut kanan atas),
kuadran III (terletak di sudut kanan
23
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
bawah), dan kuadran IV (di sudut kiri
bawah).
Apabila suatu kabupaten/kota
menempati kuadran I, berarti kabupaten/
kota tersebut mempunyai PDRB per kapita
di bawah rata-rata Provinsi DIY, namun
mempunyai tingkat pertumbuhan di atas
rata-rata pertumbuhan Provinsi DIY.
Sedangkan apabila terletak di kuadran II,
berarti kabupaten/kota tersebut mempunyai PDRB per kapita maupun tingkat
pertumbuhan di atas rata-rata Provinsi
DIY. Suatu titik di kuadran III
menggambarkan PDRB per kapita di atas
rata-rata PDRB per kapita Provinsi DIY,
namun tingkat pertumbuhannya di bawah
rata-rata tingkat pertumbuhan Provinsi
DIY. Selanjutnya dengan mudah dapat
diinterpretasikan bahwa suatu titik di
kuadran IV menggambarkan PDRB per
kapita di bawah rata-rata PDRB per kapita
Provinsi DIY, dan juga tingkat
pertumbuhannya di bawah tingkat
pertumbuhan Provinsi DIY.
PDRB per kapita
Rendah
Tinggi
Tinggi
(di atas rerata)
I
Daerah Berkembang Cepat
II
Daerah Maju dan Cepat Tumbuh
Laju Pertumbuhan
Rendah
(di bawah rerata)
IV
Daerah Tertinggal
III
Daerah Maju tetapi Tertekan
Gambar 1
Diagram Perbandingan Laju Pertumbuhan dan PDRB Per Kapita
Sumber: Dariwardani, Ni Made Inna dan Siti Noor Amani (2008).
Kabupaten/kota di kuadran I yang
disebut
daerah
berkembang
cepat
menunjukkan bahwa PDRB per kapitanya
relatif masih rendah sehingga Pemerintah
Daerah harus memberikan perhatian
khusus untuk mengembangkannya. Namun
demikian, karena tingkat pertumbuhan
relatif tinggi maka kabupaten/kota masih
berpeluang dipacu untuk mengejar daerah
lain. Kabupaten/kota yang terletak di
kuadran II disebut daerah maju dan cepat
tumbuh yang secara relatif menunjukkan
24
daerah–daerah sudah maju perekonomiannya dan akan lebih cepat maju karena
mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi
dan PDRB per kapita yang relatif tinggi
dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY.
Kabupaten/kota yang terletak di kuadran
III merupakan daerah maju tetapi tertekan
secara absolut sudah mencapai tingkat
perekonomian yang tinggi namun tingkat
pertumbuhannya relatif lebih rendah
dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY.
Sedangkan kabupaten/kota yang digam-
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
barkan di kuadran IV disebut daerah
tertinggal, sangat perlu mendapat perhatian
khusus karena dibanding daerah-daerah
lainnya relatif lebih rendah baik dari segi
besaran PDRB per kapita maupun tingkat
pertumbuhannya
Dalam menganalisis perekonomian
suatu daerah kadang dapat mengacu pada
analisis perekonomian nasional, karena
ada beberapa kesamaan pengertian antara
nation dan region. Tetapi, terdapat juga
perbedaan prinsip yang menyebabkan
analisis perekonomian nasional tidak dapat
diterapkan secara mutlak di tingkat
regional. Satu hal yang secara nyata
membedakan region dengan nation adalah
bahwa region tidak mempunyai kedaulatan
sebagaimana nation. Hal ini menyebabkan
adanya keterbukaan hubungan antar region
sehingga arus barang dan jasa antardaerah
sangat bebas, tidak seperti nation di mana
arus barang dan jasa dari dan ke luar
negeri harus melalui pihak bea dan cukai.
Keterbukaan antarregion ini menyebabkan
teori ekonomi tertutup sangat muskil
diterapkan pada tingkat regional. Di satu
sisi, adanya keterbukaan antarregion
memungkinkan hubungan spasial yang
sangat kuat antarregion. Adanya hubungan
spasial
menyebabkan
perkembangan
perekonomian suatu daerah sangat
mungkin dipengaruhi oleh perkembangan
ekonomi daerah di sekitarnya baik positif
maupun negatif (Suhab, 2004). Untuk
menganalisis kinerja perekonomian kelima
kabupaten/kota di Provinsi DIY tidak
dapat dipisahkan dari analisis spasial,
karena
kelima
wilayah
tersebut
kemungkinan besar mempunyai keterkaitan erat secara sosial demografis. Namun,
untuk sekedar membandingkan perkembangan perekonomian makro secara relatif
antardaerah, maka dapat dilakukan dengan
melihat besaran PDRB yang dihasilkan
oleh
masing-masing
kabupaten/kota
sebagai indikator makro.
Setiap daerah mempunyai corak
pertumbuhan ekonomi yang berbeda
dengan daerah lain. Oleh karena itu, dalam
perencanaan pembangunan ekonomi suatu
daerah pertama-tama perlu mengenali
karakter ekonomi, sosial, dan fisik daerah
itu sendiri, termasuk interaksinya dengan
daerah lain. Dengan demikian, tidak ada
strategi pembangunan ekonomi daerah
yang dapat berlaku untuk semua daerah.
Namun di pihak lain, dalam menyusun
strategi pembangunan ekonomi daerah,
baik jangka pendek maupun jangka
panjang, pemahaman mengenai teori
pertumbuhan ekonomi wilayah yang
dirangkum dari kajian terhadap pola-pola
pertumbuhan ekonomi dari berbagai
wilayah, merupakan satu faktor yang
cukup menentukan kualitas rencana
pembangunan ekonomi daerah.
Keinginan kuat dari pemerintah
daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi lokal dapat membuat
masyarakat ikut serta membentuk bangun
ekonomi daerah yang dicita-citakan.
Dengan pembangunan ekonomi daerah
yang terencana, pembayar pajak dan
penanam modal juga dapat tergerak untuk
mengupayakan peningkatan ekonomi.
Kebijakan pertanian yang mantap, misalnya, akan membuat pengusaha dapat
melihat ada peluang untuk peningkatan
produksi pertanian dan perluasan ekspor.
Pembangunan ekonomi daerah perlu
memberikan solusi jangka pendek dan
jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi
daerah yang dihadapi, dan perlu
mengkoreksi kebijakan yang keliru.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan
bagian dari pembangunan daerah secara
menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu
diperhatikan adalah mengenali ekonomi
wilayah dan merumuskan manajemen
pembangunan daerah yang pro-bisnis.
Dalam sistem pemerintahan yang
demokratis, anggaran pemerintah merupakan hasil kesepakatan antara eksekutif,
legislatif, dan rakyat. Oleh karena itu,
Provinsi yang tidak mempunyai Dewan
25
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten/Kota maka tidak mencerminkan
sistem pemerintahan yang demokratis. Hal
itu didasarkan pendapat Kohli (1987:221)
yang menyatakan bahwa demokrasidemokrasi Dunia Ketiga yang telah mapan
dapat
memudahkan
pembangunan
ekonomi. Berarti tanpa adanya demokrasi
yang ditunjukkan dengan pemilihan umum
untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam
anggota dewan (DPRD) maka pembangunan ekonomi menjadi lebih sulit dan
berakibat pada tidak tercapainya tujuan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Kaloh (2003:7) paradigma
baru pemerintahan menuntut kegiatan nyata
Kepala Daerah (Bupati/Walikota) yang
diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang
kreatif, inovatif, perintisan, berorientasi
kepada masyarakat, berorientasi layanan
dan pemberdayaan. Untuk itu, Kepala
Daerah (Bupati/Walikota) haruslah orang
yang mampu untuk menjalankan kegiatan
pemerintahan dan menunjukkan representasi dari rakyat dalam daerah tersebut
(Kabupaten/Kota). Oleh karena itu, perlu
dilakukan pilihan kepala daerah agar
mampu dipilih kepala daerah yang mampu
untuk menjalankan kegiatan pemerintahan.
Berarti dalam proses tersebut telah terjadi
demokrasi karena adanya rakyat yang
memilih anggota dewan (legislatif) dan
eksekutif yang akan memenuhi kebutuhan
masyarakat secara umum.
Kajian pengembangan ekonomi
lokal telah dilaksanakan di 6 (enam)
Provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Riau
(Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang),
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta),
Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten
Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan),
Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten
Lombok Barat dan Kota Mataram),
Provinsi Bali (Kabupaten Gianyar dan
Kota Denpasar) dan Provinsi Gorontalo
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten
26
Boalemo) (Pusat Kajian Kinerja Otonomi
Daerah, 2007). Rangkuman kajian tersebut
adalah:
1. Kajian peran pemerintah provinsi
dalam
implementasi
kerjasama
antardaerah dipandang sebagai isu
menarik
dan
cukup
strategik.
Dikatakan menarik dan strategik
karena tidak saja isu ini relatif baru dan
belum mendapat perhatian banyak
pihak, tetapi juga karena posisi dan
kewenangan
pemerintah
provinsi
sangat strategik bagi keberhasilan
suatu
kerjasama
antardaerah.
Sementara kerjasama antardaerah oleh
banyak pihak di era sekarang ini
dianggap sebagai suatu urusan yang
urgen dan mutlak yang dibutuhkan
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan publik.
2. Urgensi kerjasama antardaerah terutama karena beberapa alasan, di
antaranya:
a) Bahwa
kerjasama
merupakan
urusan pemerintahan yang bersifat
concurrent. Maksudnya, kerjasama
adalah urusan bersama yang
dilaksanakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
b) Perkembangan daerah atau perkotaan belakangan ini sudah melampaui batas-batas wilayah administratif (provinsi, kabupaten/kota)
termasuk layanan dan pembangunan, seperti tata ruang, jalan,
transportasi, perdagangan, air,
kesehatan, pendidikan, ketentraman ketertiban dan lain sebagainya.
c) Percepatan pembangunan antar
daerah dan dengan negara tetangga
serta daerah tertinggal.
d) Demi prinsip efesiensi dan
efektifitas layanan publik.
3. Menyadari urgensi dan kebutuhan akan
kerjasama antardaerah ini, maka semua
pihak dituntut untuk berperan aktif.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Setiap level pemerintahan di negeri ini
harus memainkan peranan yang besar
untuk mendorong keberhasilan agenda
kerjasama antardaerah. Terlebih bagi
pihak pemerintah provinsi yang
posisinya di samping sebagai wakil
pemerintah pusat juga sebagai kepala
daerah. Namun kenyataannya peran
provinsi
justru
masing
sering
dipertanyakan, terutama oleh pemerintah kabupaten/kota dalam proses
kerjasama antardaerah yang telah atau
sedang berjalan selama ini.
4. Sejauh ini peran provinsi pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua
bagian utama, yakni sebagai pihak
pelaku/aktor yang melakukan kerjasama dan sebagai pihak pembina
kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Kajian ini pada dasarnya mencakup kedua peran tersebut, namun
mengingat urgensinya maka bahasan
lebih ditekankan pada peran provinsi
selaku pembina dan pengawas kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dalam
melakukan kerjasama antardaerah
mengikuti logika kewenangan provinsi
sebagaimana diatur oleh undangundang.
5. Dalam kapasitasnya sebagai pembina
dan pengawas, dinamika peran
pemerintah provinsi dalam praktik
kerjasama antardaerah yang nampak di
wilayah provinsi (terutama di provinsi
yang menjadi lokus kajian) dapat
dijelas secara singkat, yaitu untuk
kasus DIY dinamika peran provinsi
relatif berbeda dengan provinsi lain.
Perbedaan itu terutama karena munculnya kontroversi antara pemerintah
provinsi dengan pemerintah kabupaten/
kota. Di satu pihak, pemerintah
provinsi beranggapan bahwa selama
ini mereka telah berperan aktif dalam
setiap kerjasama antardaerah, sementara pihak kabupaten/kota justru
berpendapat lain. Menilai bahwa
selama ini pemerintah provinsi tidak
optimal untuk tidak mengatakan tidak
berperan sama sekali. Sekalipun dalam
perkembangannya
karena
alasan
kewenangan yang melekat pada
provinsi sehingga provinsi dengan
sendirinya harus terlibat, seperti dalam
aspek legalitas terutama saat penandatangan keputusan atau kesepakatan
kerjasama. Munculnya perbedaan
pendapat seperti telah disebutkan tadi,
berkembang terutama dilatari oleh
egosentrisme kabupaten/kota yang
tidak lepas dari semangat pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU
Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun
2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004.
Secara teoritis, strategi pengembangan ekonomi lokal melibatkan berbagai
pemahaman mendasar tentang potensi dan
peluang daerah dan berhubungan dengan
peningkatan kapasitas para aparat daerah,
wakil rakyat, pengusaha, dan warga daerah
secara umum. Potensi leadership para
pemimpin daerah dan kemampuan
manajerial seorang pemimpin di birokrasi,
parlemen, dan dunia usaha di daerah
sampai pada kesiapan para stakeholders
melaksanakan
pembangunan
daerah
menjadi faktor dominan dalam kinerja
pengembangan ekonomi lokal.
Dalam
konteks
desentralisasi
ekonomi, pengembangan ekonomi lokal
merupakan suatu keniscayaan belaka
karena sukar sekali diharapkan suatu
pengembangan ekonomi yang dapat
kompatibel dengan kebutuhan dan potensi
lokal apabila nuansa sentralistik masih
terlalu kental. Teori ekonomipun mengajarkan bahwa konsep desentralisasi
ekonomi itu tidak lain adalah tuntutan
efisiensi dan skala ekonomi yang lebih adil
antara pusat dan daerah, sehingga lebih
menguntungkan secara ekonomi dan sosial
dalam skala yang lebih makro. Untuk
mendukung tuntutan efisiensi dan skala
ekonomi dalam konteks desentralisasi itu,
memang diperlukan suatu prasyarat utama
27
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
yang harus dipenuhi, yaitu pengorganisasian negara yang efisien pula. Dengan
kata lain, pengembangan ekonomi daerah
juga menghendaki suatu tata pemerintahan
bersih dan berwibawa (good corporate
governance) baik di pusat maupun di
daerah yang mampu menjalankan suatu
kebijakan ekonomi secara efisien. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1: Ada
perbedaan
nilai
PDRB
kabupaten/kota di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
H2: Ada perbedaan strategi pengembangan ekonomi lokal kabupaten/kota
di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta berdasarkan kuadran
dalam Tipologi Klasen.
HASIL PENELITIAN
Perbandingan nilai nominal PDRB
antarwaktu dan antardaerah menunjukkan
bahwa Kabupaten Sleman menghasilkan
nilai PDRB terbesar secara relatif
dibandingkan dengan kabupaten/kota
lainnya, sedangkan Kabupaten Kulonprogo merupakan kabupaten dengan nilai
PDRB terkecil. Untuk lebih memudahkan
melihat perbandingan antardaerah dan
pergeseran selama lima tahun, maka
diilustrasikan dengan Gambar 2. Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa selama kurun
waktu 5 (lima) tahun, kinerja perekonomian Kabupaten Sleman dan Kota
Yogyakarta melampaui rata-rata Provinsi
DIY. Kondisi tersebut menunjukkan,
bahwa kedua wilayah merupakan penopang perekonomian di Provinsi DIY.
Kinerja ekonomi Kabupaten Bantul hampir sama dengan rata-rata Provinsi DIY,
sedangkan kinerja ekonomi Kabupaten
Gunungkidul maupun Kabupaten Kulonprogo masih di bawah rata-rata Provinsi
DIY. Kondisi ini selama kurun waktu
tersebut bertahan tidak terjadi pergeseran,
artinya tidak ada kabupaten/kota yang
dapat melampaui wilayah lainnya.
Gambar 2
Nilai PDRB Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi DIY
Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2002-2006 (Triliun Rupiah)
Sumber: BPS Provinsi DIY dalam Analisis PDRB Provinsi DIY Tahun 2002-2006
28
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Salah satu hal yang menjadi
masalah klasik dalam suatu perekonomian
pada umumnya adalah pemerataan
kesejahteraan. Dalam program MDGs
disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang akan dicapai adalah pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas, artinya
pertumbuhan ekonomi yang disertai
dengan pemerataan dalam distribusi
pendapatan, penurunan angka kemiskinan,
dan lingkungan hidup yang menjamin
bagi keberlangsungan hidup manusia pada
masa mendatang. Oleh karena itu,
pencapaian PDRB yang tinggi tanpa
disertai pemerataan pendapatan akan
menimbulkan
kesenjangan
ekonomi.
Untuk melihat seberapa jauh pemerataan
pendapatan yang diperoleh masyarakat
sangatlah sulit. Indikator yang cukup
mendukung untuk melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat adalah dengan
PDRB per kapita. Angka tersebut
diperoleh dengan cara membagi nilai
PDRB yang dihasilkan oleh suatu
daerah/wilayah
dengan
jumlah
penduduknya. Hanya melihat PDRB
perkapita individu memang tidak dapat
diketahui seberapa jauh disparitas
pendapatan dalam suatu region, tetapi
perlu
membandingkan
dengan
daerah/wilayah lain sehingga disparitas
antar region dapat diketahui.
Perbandingan nilai PDRB per
kapita antarkabupaten/kota di Provinsi
DIY selama 5 tahun menunjukkan bahwa
telah terjadi kesenjangan antardaerah.
Kota Yogyakarta selama lima tahun
terakhir menjadi wilayah dengan nilai
PDRB per kapita tertinggi. Artinya, secara
nominal pendapatan penduduk Kota
Yogyakarta misalnya pada tahun 2006
rata-rata mencapai Rp17,52 juta,-, hampir
tiga kali pendapatan yang diterima oleh
penduduk di Kabupaten Kulonprogo,
Bantul, dan Gunungkidul yang masingmasing hanya menerima sebesar Rp6,46
juta,-; Rp6,51 juta,-; dan Rp6,43 juta,pada tahun yang sama.
Jika diamati menurut kabupaten/
kota di Provinsi DIY, maka pada tahun
2006 pertumbuhan ekonomi paling pesat
terjadi di Kabupaten Sleman, yakni
mencapai 4,50%. Rata-rata pertumbuhan
per tahun Kabupaten Sleman tertinggi
dibanding dengan rata-rata pertumbuhan
per tahun di kabupaten/kota lain di
Provinsi DIY, yaitu sebesar 4,96%
walaupun menurun dibanding dengan laju
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005
yang mencapai 5,03%. Andil yang
diberikan Kabupaten Sleman terhadap
pertumbuhan tahun 2006 mencapai 1,35%.
Hal ini menunjukkan bahwa share
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sleman
cukup tinggi terhadap pertumbuhan
ekonomi Provinsi DIY. Kota Yogyakarta
memberi andil terhadap pertumbuhan
Provinsi DIY sebesar 1,03%, di mana laju
pertumbuhan rata-rata dalam periode
2001-2008 mencapai 4,66% per tahun.
Kinerja ekonomi Kabupaten Sleman dan
Kota Yogyakarta yang sangat tinggi
dibandingkan dengan ketiga kabupaten
lainnya di Provinsi DIY menunjukkan
bahwa
telah
terjadi
“kesenjangan/
ketimpangan ekonomi” antarwilayah di
Provinsi DIY.
Berdasarkan Tipologi Klassen,
kabupaten/kota yang terletak di kuadran II
disebut daerah maju dan cepat tumbuh
yang secara relatif menunjukkan daerah–
daerah sudah maju perekonomiannya dan
akan lebih cepat maju karena mempunyai
tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB
per kapita yang relatif tinggi dibanding
dengan
rata-rata
Provinsi
DIY.
Kabupaten/kota yang terletak di kuadran
IV merupakan daerah maju tetapi tertekan
secara absolut sudah mencapai tingkat
perekonomian yang tinggi namun tingkat
pertumbuhannya relatif lebih rendah
dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY.
Berdasarkan Gambar 3, maka Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman berada
dalam kuadran II sedang Kabupaten
29
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul
berada dalam kuadran IV.
Sumber: Data penelitian, data diolah.
Gambar 3
Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka dapat diringkas hasil uji statistik
beda dua rata-rata dan ANOVA 1 arah
seperti yang disajikan pada Tabel 2 berikut
ini:
Tabel 2
Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Hipotesis
t/F test
P value
Pengujian
H1
Signifikan *)
64.51210768 1.01051E-13
H2a
2.144786681 0.441708014 Tidak Signifikan
H2b
Signifikan *)
52.23393462 3.21879E-07
Sumber: Data penelitian, diolah.
*) Signifikan pada alpha 5%.
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 2, maka hipotesis
penelitian 1 terbukti signifikan. Artinya,
nilai
PDRB
masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi DIY selama
tahun pengamatan 2001-2008 terbukti
berbeda. Perbedaan ini menunjukkan
bahwa kemampuan antarkabupaten/kota di
Provinsi DIY dalam menghasilkan produk
berbeda
karena
masing-masing
mempunyai faktor produksi/input yang
30
berbeda pula. Berdasarkan Tabel 2, maka
hipotesis penelitian 2 terbukti tidak
signifikan untuk strategi pengembangan
lokal Kabupaten Sleman dan Kota
Yogyakarta di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta berdasarkan kuadran dalam
Tipologi Klasen yang berada dalam
diagram II, sedang hipotesis penelitian 2
untuk strategi pengembangan lokal
Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan
Gunung Kidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan kuadran
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
dalam Tipologi Klasen yang berada dalam
diagram IV terbukti signifikan.
Penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal mendasarkan pada
strategi pengembangan sektoral dan
regional. Pada strategi pengembangan
sektoral digunakan dasar hasil penghitungan
potensi
sektoral
melalui
penghitungan nilai kontribusi sektor dan
laju pertumbuhan sektor pada Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB)
kabupaten/kota di Provinsi DIY. Pada
strategi pengembangan lokal digunakan
dasar hasil penghitungan potensi regional
(kabupaten/kota) melalui Tipologi Klassen
dan penghitungan nilai Location Quotient
(LQ).
Kinerja perekonomian Kabupaten
Sleman dan Kota Yogyakarta melampaui
rata-rata Provinsi DIY. Kondisi tersebut
menunjukkan, bahwa kedua wilayah
merupakan penopang perekonomian di
Provinsi DIY. Kinerja ekonomi Kabupaten
Bantul hampir sama dengan rata-rata
Provinsi DIY, sedangkan kinerja ekonomi
Kabupaten
Kulon
Progo
maupun
Kabupaten Gunungkidul masih di bawah
rata-rata Provinsi DIY. Kondisi ini selama
kurun waktu tersebut bertahan tidak terjadi
pergeseran, artinya tidak ada kabupaten/
kota yang dapat melampaui wilayah
lainnya.
Dilihat dari sisi kemampuan
wilayah, perbedaan nilai PDRB antar
kabupaten/kota sangat tergantung pada
sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang dimiliki serta ditunjang
dengan
teknologi
yang
tersedia.
Kabupaten Gunungkidul dengan luas
wilayah hampir sepertiga wilayah Provinsi
DIY, ternyata pada tahun 2006 hanya
menempati urutan keempat dalam hal
besaran nilai PDRB yang dihasilkan. Hal
ini disebabkan perekonomian Kabupaten
Gunungkidul masih ditopang oleh sektor
pertanian, sedangkan lahan pertanian di
daerah tersebut relatif tandus dengan
produktivitas rendah. Sementara itu, Kota
Yogyakarta dengan luas wilayah terkecil
tetapi dengan banyaknya kegiatan
ekonomi di setiap sektor dan ditunjang
oleh sarana dan prasarana serta teknologi
yang lebih memadai mampu mencapai
nilai PDRB yang lebih besar (urutan
pertama).
Hasil
perhitungan
ekonomi
Provinsi DIY berdasarkan Tipologi Klasen
diperoleh hasil seperti pada Tabel 3.
Tabel 3
Tipologi Klassen Ekonomi Provinsi DIY
Rerata Kontribusi
Sektoral thd
PDRB
Rerata Laju
Pertumbuhan
Sektoral
YSEKTOR ≥ YPDRB
YSEKTOR < YPDRB
rSEKTOR ≥ rPDRB
Sektor prima:
Perdagangan, hotel
dan restoran
Sektor berkembang:
Listrik dan air bersih;
Konstruksi;
Pengangkutan dan
komunkasi; Keuangan
real estat, dan jasa
perusahaan
rSEKTOR < rPDRB
Sektor potensial:
Pertanian, industri
pengolahan, jasa-jasa
Sektor kurang optimal:
Penggalian
Sumber: Data penelitian, diolah.
31
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Kondisi
sektoral
dalam
perekonomian Provinsi DIY dianalisis
dengan menggunakan metode Shift-Share
(SS), Static Location Quotient (SLQ), dan
Dynamic Location Quotient (DLQ).
Analisis Shift-Share (SS) digunakan untuk
menentukan kinerja atau produktivitas
kerja perekonomian daerah dibandingkan
dengan perekonomian pada daerah yang
lebih luas/nasional. Hasil analisis shiftshare berdasarkan PDRB Provinsi DIY
tahun 2001-2008 dapat diketahui bahwa
sektor
konstruksi,
penggalian
dan
pertanian
relatif
lebih
kompetitif
dibandingkan enam sektor lainnya. Secara
lebih rinci nilai analisis ekonomi sektoral
Provinsi DIY ditunjukkan pada Tabel 4
berikut ini:
Tabel 4
Nilai Shift-Share, SLQ dan DLQ
PDRB Provinsi DIY, Tahun 2001–2008
Lapangan Usaha
Shift-Share (SS)
1. Pertanian
2,30
2. Penggalian
-09,33
3. Industri pengolahan
-304,25
4. Listrik dan air bersih
-11,12
5. Konstruksi
130,66
6. Perdagangan, hotel, dan restoran
-341,01
-529,05
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan
-120,02
9. Jasa-jasa
-311,25
Sumber: BPS Provinsi DIY, Tahun 2001–2008, diolah.
Hasil analisis SLQ menunjukkan
bahwa hanya dua sektor yang bukan
merupakan sektor basis di Provinsi DIY,
yaitu sektor penggalian dan sektor listrik
dan air bersih sehingga dapat diartikan
bahwa kedua sektor ini relatif kurang
berperan dalam perekonomian Provinsi
DIY, sedangkan sektor lain memiliki peran
yang positif. Hasil analisis DLQ
menunjukkan nlai DLQ yang di atas satu
dihasilkan oleh sektor pertanian dan
konstruksi
yang
berarti
potensi
perkembangan sektor tersebut lebih baik
dibandingkan sektor yang sama di tingkat
nasional.
32
SLQ
1,28
0,08
1,23
0,95
1,37
1,43
1,66
1,03
1,89
DLQ
1,03
0,65
0,68
0,81
1,40
0,75
0,41
0,79
0,71
Penggabungan hasil analisis SLQ
dan
DLQ
dapat
menghasilkan
pengelompokan
sektor-sektor
dalam
perekonomian Provinsi DIY ke dalam
empat kategori, yaitu unggulan, prospektif,
andalan, dan kurang prospektif. Sektor
pertanian dan konstruksi merupakan sektor
unggulan. Terdapat lima sektor yang
termasuk prospektif yaitu sektor listrik dan
air bersih; perdagangan, hotel, dan
restoran; pengangkutan dan komunikasi;
keuangan,
persewaan,
dan
jasa
perusahaan; dan jasa-jasa.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Tabel 5
Sektor Unggulan, Prospektif, Andalan, dan Kurang Prospektif
di Provinsi DIY Berdasarkan Analisis SLQ dan DLQ, Tahun 2001 – 2008
DLQ
>1
Unggulan:
 Pertanian
 Konstruksi
>1
SLQ
Andalan:
Sumber: Data penelitian, diolah.
<1
Perbandingan
PDRB
antar
kabupaten/kota menurut lapangan usaha
menunjukkan bahwa Kabupaten Gunungkidul lebih dominan di sektor pertanian
dan sektor penggalian dibandingkan
kabupaten/kota
lainnya.
Kabupaten
Sleman lebih unggul di sektor industri
pengolahan, sektor konstruksi, dan sektor
perdagangan,
hotel,
dan
restoran.
Sedangkan Kota Yogyakarta lebih unggul
di sektor listrik dan air bersih; sektor
pengangkutan dan komunikasi; sektor
keuangan, real estat, dan jasa perusahaan;
serta sektor jasa-jasa. Terkait dengan era
otonomi daerah, maka kebijakan di tingkat
daerah dalam hal perencanaan pembangunan ekonomi sangat signifikan dalam
menunjang
peningkatan
PDRB.
Kemudahan dalam berinvestasi, seperti
dalam hal perijinan dan lain-lain yang
dapat menarik investor asing sangat
diperlukan untuk meningkatkan kinerja
ekonomi daerah. Perbedaan potensi
sumber daya ekonomi menyebabkan
struktur ekonomi pada masing-masing
kabupaten/kota juga bervariasi.
Sektor pertanian masih mendominasi
perekonomian
di
Kabupaten
Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul,
sedangkan perekonomian di Kabupaten
<1
Prospektif:
 Pengolahan
 Perdagangan, hotel, dan restoran
 Pengangkutan dan komunikasi
 Keuangan, real estat, dan jasa
perusahaan
 Jasa-jasa
Kurang Prospektif:
Listrik dan air bersih
Sleman
didominasi
oleh
sektor
perdagangan, diikuti sektor jasa-jasa dan
sektor industri pengolahan. Kemudian, tiga
sektor utama yang mendukung perekonomian Kota Yogyakarta secara berturutturut, adalah sektor jasa-jasa, sektor
perdagangan, dan sektor pengangkutan dan
komunikasi. Untuk kondisi PDRB
Provinsi DIY, pada tahun 2008 didominasi
sektor jasa, sektor perdagangan, hotel, dan
restoran, dan sektor pertanian.
Pertumbuhan ekonomi daerah,
secara makro dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu pengeluaran pemerintah
sebagai investasi pemerintah, konsumsi
masyarakat,
investasi
swasta
dan
masyarakat, serta ekspor neto yaitu selisih
antara ekspor dan impor (Bappeda DIY,
2008: 10). Pengaruh investasi oleh swasta
baik swasta asing maupun swasta domestik
serta investasi masyarakat mempunyai
nilai tambah yang sangat positif bagi
pertumbuhan wilayah karena mempunyai
multiplier effect yang besar terhadap
penyerapan tenaga kerja, penggunaan
kemajuan teknologi, serta peningkatan
devisa khususnya pada produk yang
berorientasi
ekspor.
Perkembangan
investasi baik yang dilakukan oleh
domestik melalui Penanaman Modal
33
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Dalam Negeri (PMDN) maupun melalui
asing (Penanaman Modal Asing) di DIY
mengalami pasang surut, sesuai dengan
perkembangan keadaan politik nasional,
kebijakan pemerintah, dan kondisi makro
ekonomi nasional. Data menunjukkan
bahwa nilai investasi PMA dan PMDN
pada tahun 2003 melonjak sangat drastis
dari tahun 2002, namun pada tahun 2004
menurun, dan naik lagi pada tahun 2005.
Pada tahun 2006, walaupun terjadi
bencana alam gempa bumi pada tanggal 27
Mei 2006, apabila dibandingkan dengan
tahun 2005 terjadi peningkatan total nilai
investasi sebesar 116,80 %.
Secara umum struktur industri di
DIY didominasi oleh Industri Kecil (IK),
khususnya apabila dilihat pada jumlah unit
usahanya. Berdasarkan total potensi
industri sebesar 76.724 unit, 99% (75.956
unit) di antaranya merupakan industri
kecil, meskipun IK yang tercatat
(berlisensi) sampai dengan tahun 2003
baru mencapai 17.492 unit, dengan
demikian lain industri di DIY didominasi
oleh industri kecil dengan serapan tenaga
kerja antara 5-19 orang per unit usaha.
Dilihat dari klasifikasinya, industri di DIY
didominasi oleh industri kayu, bambu,
rotan, rumput dan sejenisnya, serta industri
tekstil pakaian jadi dan kulit. Kondisi ini
relevan dengan keberadaan IK yang
didominasi oleh industri kerajinan (baik
kerajinan kayu, bambu, rotan, dan
sejenisnya). Dominasi industri kerajinan
skala kecil juga sangat besar, yang tersebar
di 281 sentra dengan 12.304 unit usaha.
Potensi Industri Kecil, Menengah dan
Besar (IKMB) yang tersebar di wilayah
DIY
menunjukkan
perkembangan
fluktuatif. Hal ini ditunjukkan oleh
perkembangan jumlah unit usaha, pada
tahun 2002 sebanyak 78.709 unit usaha,
turun menjadi 78.100 unit usaha pada
tahun 2003, dan meningkat menjadi
78.609 unit usaha pada tahun 2004 dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 0,65 %.
Penyerapan tenaga kerja IKMB pada tahun
34
2002 sebanyak 259.812 orang, pada tahun
2003 turun menjadi 259.102 orang, dan
tahun 2004 naik 264.217 orang dengan
pertumbuhan sebesar 1,97%. Perkembangan nilai investasi sektor industri pada
tahun 2002 sebesar Rp.845,569 milyar,
tahun 2003 sebesar Rp.859,007 milyar,
dan pada tahun 2004 sebesar Rp.1,031
trilyun mengalami pertumbuhan lebih
kurang 20%.
Perkembangan ekspor DIY juga
menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Pada tahun 2002 realisasi ekspor sebesar
US$ 110,14 juta, pada tahun 2003 nilai
ekspor sebesar US$ 115.32 juta meningkat
sebesar 4,7%, sedangkan pada tahun 2004
nilai ekspor sebesar US$ 112,27 juta
meningkat sebesar 6,02%. Enam komoditi
ekspor utama adalah mebel kayu, pakaian
jadi tekstil, kulit disamak, sarung tangan
kulit, lampu, dan produk tekstil lainnya.
Pekembangan realisasi impor pada tahun
2003 sebesar US$ 40,55 juta dan tahun
2004 sebesar US$ 18,37 mengalami
penurunan yang cukup signifikan.
Realisasi impor ini berdasarkan komoditi,
meliputi obat penyamak kulit, bahan baku
susu, kapas, kulit disamak, dan komoditi
lain.
Sektor pertanian telah berperan
dalam perekonomian daerah melalui
sumbangannya
terhadap
PDRB,
penerimaan ekspor, penyediaan tenaga
kerja, kesempatan kerja, mendukung
pengurangan
pengangguran
dan
kemiskinan serta penyediaan pangan
daerah. Selain sumbangan tersebut, sektor
pertanian juga memiliki kontribusi dalam
memperkuat keterkaitan antar industri,
konsumsi, dan investasi. Kontribusi sektor
pertanian (termasuk perikanan dan
kehutanan) terhadap PDRB Provinsi DIY
selama sepuluh tahun terakhir rerata
sebesar 16,33 % (terbesar ketiga setelah
sektor jasa dan perdagangan), namum
pertumbuhannya masih relatif kecil yakni
0,92% per tahun. Jumlah rumah tangga
(RT) pertanian selama sepuluh tahun
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
menurun 9,32% (konstelasi terakhir
47,17% atau 472.082 RT). Sebesar
80,29% dari jumlah tersebut sebagian
besar (374.811 RT) merupakan petani
gurem (luas kepemilikan tanah kurang dari
0,5 hektar). Apabila diukur dari
kesejahteraan, nilai tukar (terms of trade)
petani di DIY dalam sepuluh tahun
terakhir meningkat dari 96,9% menjadi
133,3% (tertinggi di Pulau Jawa).
Permasalahan yang dihadapi sektor
pertanian adalah meningkatnya alih fungsi
lahan pertanian, belum optimalnya
pemanfaatan lahan, masih rendahnya
kualitas sumberdaya manusia, masih
terbatasnya akses petani dan nelayan
terhadap sumberdaya produktif, informasi
pasar dan infrastruktur, serta keterbatasan
permodalan
yang
membatasi
berkembangnya peningkatan pengolahan
hasil dan penerapan teknologi untuk
meningkatkan produktivitas, kualitas dan
nilai tambah dalam rangka meningkatkan
daya
saing.
Komoditas
pertanian
mempunyai karakateristik khusus yaitu
tergantung pada iklim, sedangkan faktor
pembentuk iklim sendiri seperti curah
hujan dan angin sulit untuk diprediksi.
Tantangan terbesar untuk dapat mengatasi
itu semua adalah masih lemahnya lembaga
petani/nelayan dan lembaga pendukung
pertanian. Selain itu, ketergantungan
sektor pertanian terhadap sektor lain dan
adanya otonomi daerah juga menuntut
koordinasi lintas sektor dan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah
Provinsi dan kabupaten yang lebih baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan, maka disimpulkan bahwa
hipotesis penelitian 1 yang menyatakan
ada perbedaan nilai PDRB masing-masing
kabupaten/kota di Provinsi DIY diterima.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa
kemampuan antar kabupaten/kota di
Provinsi DIY dalam menghasilkan produk
berbeda
karena
masing-masing
mempunyai faktor produksi/input yang
berbeda pula. Hipotesis penelitian 2 yang
menyatakan bahwa ada perbedaan strategi
pengembangan ekonomi lokal kabupaten/
kota di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta berdasarkan kuadran dalam
Tipologi Klasen ditolak untuk Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di
kuadran II dan diterima untuk Kabupaten
Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul di
kuadran IV. Strategi pengembangan
ekonomi lokal yang sama antara Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman terjadi
karena kondisi struktur ekonomi yang
relatif sama. Strategi pengembangan
ekonomi lokal yang berbeda antara
Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan
Gunung Kidul terjadi karena kondisi
struktur ekonomi yang relatif berbeda.
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut, maka
saran yang perlu disampaikan adalah
mengembangkan
sektor
unggulan,
potensial, dan pola interaksi bisnis dalam
kerangka ideologi ekonomi berkeadilan
(fair trade) agar tidak terjadi ketimpangan
distribusi antarpenduduk dan antarwilayah;
mengintesifkan promosi investasi pada
potensi lokal berparadigma pelestarian
lingkungan; mengintensifkan kerjasama
dengan kelembagaan usaha (asosiasi)
dalam mengembangkan ekonomi (bisnis
dan investasi) daerah, termasuk fasilitasi
kolaborasi pebisnis lokal (termasuk
lembaga keuangan) untuk meningkatkan
kapasitas bisnis dan skala pembentukan
modal kerja; mengembangkan pusat
fasilitasi daya saing bisnis melalui
kerjasama pusat iptek (perguruan tinggi)
dengan pelaku usaha sesuai prinsip Triple
Helix.
35
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Ekonomi Universitas Indonesia.
Pebruari 2007. Jakarta.
DAFTAR REFERENSI
Arifin, B. 2005. “Pengembangan Ekonomi
Daerah Melalui Strategi Demand
Driven”. Lampung.
BPS. 2007. BPS Provinsi DIY dalam
Analisis PDRB Provinsi DIY
Tahun 2002-2006.
Balai Pustaka. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Edisi 3.
Jakarta.
Badan
Perencanaan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
2008. Rencana Pembangunan
Jangka
Panjang
Daerah
Istimewa Yogyakarta (RPJP DIY)
Tahun 2005–2025. Yogyakarta.
Dariwardani, Inna, N.M dan Amani, S.N..
(2008). Kinerja Propinsi di
Indonesia Sebelum dan Setelah
Pemberlakukan
Otonomi
Daerah. Download 31 Agustus
2010. Jakarta.
Darwanto, H. 2002. “Prinsip Dasar
Pembangunan Ekonomi Daerah”.
Jakarta.
Dendi, A., dan Haryono, R.S. 2007. Forum
Pengembangan Ekonomi Lokal:
Konsep, Strategi, dan Metode
(Perspektip dan Pengalaman
Nusa Tenggara).
Hirawan, S. B. 2007. Desentralisasi Fiskal
sebagai
Suatu
Upaya
Meningkatkan
Penyediaan
Layanan Publik (Bagi Orang
Miskin) di Indonesia. Pidato pada
Upacara Pengukuhan sebagai
Guru Besar Tetap dalam bidang
Ilmu Ekonomi pada Fakultas
36
Isdijoso, B. dan Wibowo, T. 2002.
“Analisis Kebijakan Fiskal pada
Era Otonomi Daerah: Studi
Kasus pada Sektor Pendidikan di
Kota Surakarta”. Kajian Ekonomi
Dan Keuangan, 6 (1):22-56.
Kadiman, K. 2005. The Triple Helix and
The Public. Dipresentasikan pada
Seminar on Balanced Perspective
in
Business
Practices,
Governance, and Personal Life.
Jakarta.
Kaloh, J. 2003. Kepala Daerah: Pola
Kegiatan,
Kekuasaan,
dan
Perilaku Kepala Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Kohli,
A. 1987. Demokrasi dan
Pembangunan dalam Mengkaji
Ulang Strategi-Strategi Pembangunan.
Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia
Malizia, E. E. dan Feser, E. J. 1999.
Understanding Local Economic
Development. Center for Urban
Policy
Research.
New
Brunswick, New York: CUPR
Press.
Matsui, K. 2005. “Post-Decentralization
Regional Economies and Actors:
Putting The Capacity of Local
Governments To The Test”. The
Developing Economies, 43(1):
171–189.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah.
2007. Kajian Peningkatan Peran
Propinsi Dalam Membangun
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Kerjasama
Antar
Daerah:
Executive Summary. Jakarta.
Romli, L. 2006. ”Efektifitas Pemerintah
Daerah Era Otonomi: Studi
Kasus Efektifitas Reformasi
Birokrasi dan Layanan Publik di
Kota
Semarang”.
Jurnal
Desentralisasi, 7(4):35-52.
Sodik, J. 2008. “Pengeluaran Pemerintah
dan
Pertumbuhan
Ekonomi
Regional: Studi Kasus Data
Panel di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Pembangunan, 12 (1):
27-36.
Sodik,
J. dan Nuryadin, D. 2008.
“Determinan Investasi di Daerah:
Studi
Kasus
Provinsi
di
Indonesia.
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan, 13 ( 1):15-31.
Suhab,
Sultan. 2004. “Kebijaksanaan
Keuangan Daerah dalam Perspektif
Desentralisasi
dan
Otonomi
Daerah”. Analisis, 1 (2):106-116.
37
Download