Organisasi dan Fasilitas Laboratorium Kultur Jaringan

advertisement
(utruB rARlr{GAr{ TAilAilAN
KATA PENGANTAR
Kultur Jaringan Tanaman merupakan teknik perbanyakan
vegetatif tanaman modern yang banyak diperbincangkan saat ini.
Buku ini disusun untuk membantu mahasiswa diploma, sarjana
maupun pascasarjana yang mempelajari pemuliaan tanaman
terutama mengenai teknik-teknik perbanyakan tanaman secara in
vitro. Bagi mahasiswa diploma, teknik kultur jaringan tanaman
memberikan bekal keterampilan yang sangat bermanfaat apabila
mereka nantinya bekerja dalam membantu peneliti di lembaga
penelitian atau perusahaan swasta. Bagi mahasiswa program
sarjana dan pascasarjana, teknik kultur jaringan tanaman sangat
bermanfaat untuk memperlancar kegiatan penelitian pemuliaan
tanaman secara in vitro. Para peneliti pada berbagai lembaga
penelitian pertanian dan para praktisi, dapat pula memanfaatkan
buku ini dalam rangka memperlancar kegiatan penelitian terutama
yang berkaitan dengan bidang ini.
Penyusunan materi dalam buku ini didasarkan pada
pengalaman penulis dalam mengajar Pengantar Kultur Jaringan
Tanaman dan Dasar Pemuliaan Tanaman pada program sarjana,
Pemuliaan Tanaman Lanjut dan Bioteknologi Pertanian pada
program pascasarjana Universitas Halu Oleo. Di samping itu,
pengalaman dan keterampilan penulis dalam pelaksanaan
kegiatan penelitian yang berkaitan dengan Kultur Jaringan
Tanaman juga memperkaya isi dari buku ini. Buku ini disajikan
dalam enam bab. Bab satu membahas tentang pendahuluan yang
mencakup tentang terminologi, sejarah perkembangan kultur
jaringan, dan manfaat kultur jaringan. Bab dua membahas tentang
organisasi dan fasilitas laboratorium kultur jaringan tanaman. Bab
tiga membahas tentang media tanam kultur jaringan tanaman.
Bab empat membahas tentang teknik aseptis. Bab lima membahas
tentang kultur sel bagi struktur yang telah terorganisasikan atau
Kultur Jaringan Tanaman
iii
kultur organ, dan pada bab enam membahas tentang kultur sel
bagi struktur yang belum terorganisasikan atau kultur jaringan.
Akhirnya penulis buku “Kultur Jaringan Tanaman” ini,
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan
segala jerih payahnya telah membantu dalam penyelesaian
penulisan naskah buku ini. Penulis berharap agar buku ini dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para mahasiswa, praktisi
maupun peneliti di bidang kultur jaringan tanaman.
Kendari, Desember 2013
Penulis
Kultur Jaringan Tanaman
iv
Bab 1
Pendahuluan
Tumbuhan di alam bebas sangat bervariasi dan kompleks
dalam melangsungkan siklus hidupnya. Untuk dapat mempertahankan generasinya, tumbuhan harus memperbanyak diri (membiak),
baik secara vegetatif maupun secara generatif. Pembiakan secara
generatif dimulai dari penyatuan antara gamet jantan dan gamet
betina dari tanaman induk melalui suatu peristiwa yang disebut
penyerbukan. Melalui penyerbukan, kedua gamet tersebut akan
melebur dan menghasilkan sebuah sel yang disebut zigot,
selanjutnya tumbuh dan berkem-bang menjadi tumbuhan lengkap.
Selain itu, sel-sel vegetatif tumbuhan seperti yang terdapat
pada akar, batang, dan daun, secara alamiah juga mempunyai
kemampuan yang mirip dengan zigot, yaitu dapat berkembang
pada kondisi in vivo menjadi tanaman lengkap, sehingga
kelangsungan generasinya tetap terjaga. Kemampuan sel-sel
vegetatif selain zigot untuk berkembang menjadi tanaman utuh
merupakan topik yang sangat menarik perhatian para peneliti.
Topik penelitian yang sangat menarik tersebut dapat dilaksanakan
dengan menggunakan teknik kultur (budidaya) jaringan atau kultur
in vitro.
1.1. Terminologi
Salah satu pembeda sel tumbuhan dengan sel hewan adalah
adanya dinding sel pada sel tumbuhan. Dinding sel tumbuhan
selain berfungsi memberi bentuk pada sel juga sebagai penahan
(barier) mekanik yang mengisolasi sel-sel dengan lingkungan
luarnya. Pada kenyataannya, sel satu dengan lainnya yang
Kultur Jaringan Tanaman
1
menyusun jaringan meskipun secara fisik di-batasi oleh membran
plasma dan dinding sel, tidak terisolasi dan masih dapat
berhubungan lewat plasmodesmata (symplast).
Implikasi dari kenyataan tersebut adalah adanya kontinuitas
sitoplasmatik, atau dengan kata lain, informasi genetik yang
terdapat dan berawal dari zigot tentulah tersebar ke seluruh sel-sel
penyusun tubuh tumbuhan. Sel tumbuhan dengan demikian
haruslah mengan-dung seluruh informasi yang diperlukan untuk
tumbuh, berkembang dan berkembangbiak, sel demikian disebut
totipoten (totipotent).
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi
bagian-bagian tanaman seperti sel, jaringan, atau organ, serta
menumbuhkannya secara aseptis (suci patogen) di dalam atau di
atas suatu medium budidaya sehingga bagian-bagian tanaman
tersebut dapat memper-banyak diri dan beregenerasi menjadi
tanaman lengkap kembali. Prinsip kultur jaringan terdapat pada
teori sel yang dikemukakan oleh dua orang ahli Biologi dari
Jerman, M.J. Schleiden dan T. Schwann. Secara implisit teori
tersebut menyatakan bahwa sel tumbuhan bersifat autonom dan
mempunyai totipotensi.
Sel bersifat autonom artinya dapat mengatur dirinya
sendiri. Maksudnya adalah dapat melakukan metabolisme, tumbuh
dan berkembang secara mandiri (independent), jika diisolasi dari
jaringan induknya. Totipotensi diartikan sebagai kemampuan sel
tumbuhan (baik sel somatik/vegetatif maupun sel gametik) untuk
beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.
Di samping kultur jaringan, kita juga mengenal istilah
kultur in vitro tanaman. Istilah ini muncul karena sel, kelompok
sel, atau organ tanaman tersebut tumbuh, berkembang dan
beregenerasi secara aseptis pada medium di dalam wadah gelas
atau plastik (tabung/botol) yang tembuspandang (transparrant).
Istilah eksplan (explant) digunakan untuk menyebutkan bagian
Kultur Jaringan Tanaman
2
kecil dari tanaman (sel, jaringan, atau organ) yang digunakan
untuk memulai suatu kultur.
Eksplan yang digunakan di dalam kultur jaringan harus
yang masih muda (primordium), sel-selnya masih bersifat
meristematis dan sudah mengalami proses diferensiasi. Sel-sel
mesofil dan stomata pada daun, kambium, korteks dan lain-lain
adalah bentuk-bentuk sel yang sudah mengalami diferensiasi. Pada
primordia daun misalnya, sel-sel yang sudah mengalami
diferensiasi tersebut hanya perlu membelah satu atau dua kali saja
kemudian berhenti atau dorman (dormant), selanjutnya akan
membentang. Pembelahan selselnya juga sudah diprogram untuk
menghasilkan sel yang sama, misalnya sel-sel mesofil hanya akan
membelah dan menghasilkan sel mesofil juga.
Dengan cara mengisolasi eksplan dari tanaman induknya,
sel-sel pada eksplan yang awalnya dorman, dihadapkan pada
kondisi tercekam. Kondisi ini akan mengubah pola meta-bolisme,
sel akan memulai siklusnya yang baru, dan tumbuh dan
berkembang di dalam kultur. Respon yang terlihat pertama kali
yaitu terbentuknya jaringan penutup luka, sel-selnya terus
membelah, jika pembelahannya tidak terkendali akan membentuk
massa sel yang tidak terorganisasikan yang disebut kalus.
Pembelahan sel-sel yang tidak terkendali disebabkan
karena sel-sel tumbuhan, yang secara alamiahnya bersifat autotrof,
dikondisikan menjadi heterotrof dengan cara memberikan nutrisi
yang cukup kompleks di dalam medium kultur. Sel-sel kalus ini
berbeda dengan sel-sel eksplannya, sel-sel menjadi tidak
terdiferensiasi, proses ini disebut dediferensiasi (kembali ke
keadaan tidak terdiferensiasi).
Pada proses dediferensiasi, sel-sel pada eksplan yang
tadinya dalam keadaan quiescent atau dorman, diinduksi untuk
aktif kembali melakukan pembelahan. Induksi dediferensiasi dapat
dilakukan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh dari
Kultur Jaringan Tanaman
3
kelompok auksin ke dalam medium kultur. Auksin sintetis yang
umum digunakan adalah 2,4-dichlorophenoxy-acetic acid (2,4-D)
dengan konsentrasi maksimum 2 mgL-1.
Auksin substitusi seperti picloram (4-amino-3,5,6trichloropyridine-2-carboxylic acid) dan dicamba (3,6-dichloro-oanisic acid) sering digunakan untuk induksi dediferensiasi tanaman
berkayu. Sel-sel akan terus membelah selama masih dipelihara di
dalam medium induksi. Zat-zat pengatur tumbuh tersebut di atas
diketahui berfungsi sebagai mutagenic agent. Sel-sel yang
dipelihara terlalu lama di dalam medium induksi akan mengalami
mutasi, tetapi tidak kehilangan sifat totipotensinya.
Laju pertumbuhan sel, jaringan atau organ tanaman di
dalam kultur akan menurun setelah periode waktu tertentu.
Umumnya segera terlihat dengan adanya gejala nekrosis (necrotic)
pada eksplan. Hal ini disebabkan karena menyusutnya kadar nutrisi
(nutrient) medium dan terbentuknya senyawa-senyawa racun yang
dilepaskan oleh eksplan di sekitar medium. Untuk itu harus
dilakukan subkultur yaitu pemindahan sel atau sel-sel, jaringan,
atau organ ke dalam medium baru. Tujuan dilakukannya subkultur
adalah untuk mempertahankan laju pertumbuhan sel-sel yang
konstan dan untuk diferensiasi kalus. Medium baru yang
digunakan dapat sama atau berbeda dengan medium semula.
Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya morfogenesis,
yaitu proes terbentuknya organ-organ baru (de novo) yang
kemudian tumbuh menjadi tanaman utuh. Tanaman kecil yang
dihasilkan dengan teknik kultur jaringan disebut plantlet,
pembentukan plantlet terjadi melalui dua proses yang berbeda:
a. Organogenesis yaitu diferensiasi meristem unipolar,
menghasilkan ujung tunas (shoot tip) yang akan menjadi tunas
melalui proses callogenesis, atau ujung akar (root tip) yang
akan menjadi akar melalui proses rhizogenesis. Pada proses
organogenesis diperlukan dua tahap induksi, masing-masing
Kultur Jaringan Tanaman
4
menggunakan medium dengan zat pengatur tumbuh yang
berbeda. Tahap pertama biasanya adalah induksi pembentukan
tunas, proses callogenesis diinduksi dengan menambahkan zat
pengatur tumbuh dari golongan sitokinin ke dalam medium
kultur. Tahap yang ke dua adalah induksi pembentukan akar,
proses rhizogenesis ini dikerjakan dengan menambahkan zat
pengatur tumbuh dari golongan auksin.
b. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses diferensiasi
meristem bipolar yang berupa bakal tunas dan akar, dua
meristem yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman utuh.
Embrio yang terbentuk akan tumbuh dan berkembaug menjadi
tanaman utuh. Pertumbuhan dan perkembangan embrionya
berlangsung secara bertahap melalui proses yang identik dengan
proses embriogenesis zigotik, yaitu terbentuknya struktur
bipolar melalui tahapan: bulat (globular), jantung (heart),
torpedo, dan akhirnya berkecambah menjadi plantlet.
Morfogenesis in vitro dapat terjadi secara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung terjadi tanpa melalui tahapan
kalus terlebih dahulu. Sel-sel diinduksi langsung menjadi
embriogenik, hal ini dapat dikerjakan dengan menanam eksplan
pada medium dengan kombinasi zat pengatur tumbuh dari
kelompok auksin dan sitokinin secara simultan. Penemuan terbaru
menunjukkan bahwa perlakuan heat shock pada daun Chicorium
hybrida 474, dapat menginduksi sel-sel daun menjadi embriogenik.
Pada sel gametik (mikrospora) induksi menjadi embriogenik
dilakukan dengan memberikan stres atau cekaman.
Stres dapat diberikan secara fisik berupa cold shock atau
heat shock, dapat juga secara chemical yaitu dengan
mengkulturkan pada medium starvation (medium minimal yang
hanya terdiri dari garam-garam makro dan mannitol) atau dengan
memberikan stres osmotik. Sel-sel yang sudah terinduksi menjadi
embriogenik identik dengan zigot, sehingga dapat melanjutkan
Kultur Jaringan Tanaman
5
petumbuhannya menjadi embrio dan tanaman lengkap.
Morfogenesis secara tidak langsung umumnya melalui
tahapan kalus terlebih dahulu. Kalus yang lunak jika ditransfer ke
dalam medium cair akan membentuk suspensi sel yang aktif
tumbuh. Kultur sel adalah kultur dengan menggunakan sel sebagai
eksplan, eksplan berasal dari sel-sel yang sudah mengalami
dediferensiasi (kalus). Kalus yang digunakan sebagai eksplan pada
kultur sel disebut inokulum. Kultur sel dipelihara di dalam
medium cair yang diinkubasi dengan atau tanpa penggojokan. Jika
proses induksi dediferensiasinya benar, maka gen-gen yang
bertanggung jawab terhadap totipotensi akan berfungsi, pembelahan sel-selnya terkendali, membentuk sel-sel yang terorganisasikan
(embrio). Embrio somatik terbentuk dari sel-sel somatik atau
gametik dan bukan dari zigot. Embrio demikian disebut embrio
adventif dan prosesnya disebut embriogenesis somatik. Embrio
selanjutnya akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh
melalui proses yang identik dengan proses embriogenesis zigotik.
DEDIFERENSIASI
EKSPLAN
(Sel, jaringan, organ)
Embriogenik
Embriogenesis
PLANTLET
Kalus
Organogenesis
Caulogenesis
Rhizogenesis
Gambar 1.1. Diagram perkembangan eksplan di dalam kultur
jaringan
Kultur Jaringan Tanaman
6
1.2. Sejarah Perkembangan Kultur Jaringan Tanaman
Membahas sejarah perkembangan kultur jaringan tidak
dapat lepas dari sejarah per-kembangan pengetahuan tentang sel.
Dimulai dari penemuan mikroskop oleh Zakarias Jansen pada
1590, seorang pembuat kacamata dari Belanda, yang kemudian
disempurnakan oleh Anthoni van Leeuwenhoek. Penemuan dan
pengembangan mikroskop memungkinkan kita melihat struktur
tubuh tumbuhan secara detil, seperti yang dikemukakan oleh
Robert Hooke seorang ahli matematika, dia menyamakan sel
sebagai building block dari jaringan hidup.
Pada tahun 1838-1839 seorang ahli botani, M.Y. Schleiden
dan Theodore Schwann (ahli zoologi) lebih memusatkan
perhatiannya pada kehidupan sel yang pada akhirnya melahirkan
konsep totipotensi sel. Teknik kultur jaringan yang semula
digunakan untuk membuktikan teori totipotensi sel selanjutnya
berkembang, selain menunjang ilmu-ilmu dasar seperti embriologi,
fisiologi, biokimia dan genetika, sekarang terbukti dapat
diaplikasikan pada bidang agroindustri dan farmasi.
Percobaan-percobaan untuk membuktikan bahwa sel
bersifat totipoten pertama kali dilakukan oleh Gottlieb
Haberlandt seorang ahli botani dari Jerman pada tahun 1898 dan
dipublikasikan pada 1902. Percobaannya dilakukan dengan
mengisolasi sel daun Lamium purpureum, Erythronium,
Ornithogalum dan Tradescantia, sel yang dikulturkan tetap viabel
selama beberapa minggu tetapi tidak pernah membelah, sehingga
dapat dikatakan percobaannya belum berhasil.
Kegagalan percobaan Haberlandt terutama disebabkan
karena kultur dilaksanakan pada medium yang sangat sederhana
dan tidak aseptis, menggunakan eksplan mesofil sel yang sudah
sangat terdiferensiasi, dan tidak menggunakan zat pengatur
tumbuh, pada waktu itu zat pengatur tumbuh belum diketemukan.
Zat pengatur tumbuh berperan sangat penting pada proses
Kultur Jaringan Tanaman
7
pembelahan sel dan diferensiasi in vivo dan in vitro. Auksin
ditemukan pada 1928-1930 oleh Went dan Thiman, sedangkan
sitokinin baru ditemukan pada 1955 oleh Miller dan kawankawan.
Beberapa dekade setelah percobaan Haberlandt,
penelitian-penelitian kultur in vitro tumbuhan lebih ditekankan
pada kultur multiselular (jaringan atau organ) sebagai eksplan.
Riset ini dipelopori oleh Philip Rodney White (1939), Roger
Gautheret (1939), dan Piere Nobecourt (1939). White berhasil
menumbuhkan potongan ujung akar tomat (Lycopersicon
esculentum) pada medium cair yang mengandung garam-garam
anorganik, ekstrak ragi (yeast), dan sukrosa. Pada waktu yang
bersamaan Gautheret dari Perancis berhasil memacu pertumbuhan
potongan jaringan kambium Salix caprea membentuk kalus
dengan menambahkan zat pengatur tumbuh IAA pada medium
kultur. Nobecourt berhasil mengembangkan teknik kultur kalus
dengan eksplan umbi akar wortel (Daucus carota).
Skoog dan Miller pada 1957 berhasil mengatur
pertumbuhan akar dan tunas (organogenesis) dan kalus tembakau
dengan menggunakan kombinasi auksin dan sitokinin pada
medium. Pada tahun 1958, J. Reinert dan F.C. Steward berhasil
membuktikan totipotensi sel pada kultur suspensi sel dengan
eksplan umbi akar wortel. Di dalam kultur ditemukan adanya
embrio yang strukturnya mirip dengan embrio zigotik, kemudian
disimpulkan bahwa embriogenesis telah terjadi secara in vitro.
Pada waktu itu masih diperdebatkan apakah munculnya embrio
yang kemudian jadi plantlet tersebut berasal dari sebuah sel atau
kelompok sel. Dalam perkembangannya kemudian, dengan
menggunakan teknik cell tracking, terbukti bahwa plantlet berasal
dari sebuah sel.
Implikasi dari penemuan sitokinin adalah dimungkinkannya induksi pembentukan tunas secara in vitro pada berbagai
Kultur Jaringan Tanaman
8
tanaman hortikultura, sehingga dapat diaplikasikan untuk
perbanyakan vegetatip (mikropropagasi). Pada kultur meristem,
tanaman bebas virus dapat diperoleh dari tanaman yang sudah
terinfeksi. Tanaman yang steril atau tidak dapat menghasilkan biji,
dapat diperbanyak dengan mikropropagasi, teknik ini berkembang
pesat antara 1960-1970.
Pertumbuhan dan perkembangan sel pada kultur dengan
eksplan jaringan atau organ, tidak dapat dikontrol dengan ketat,
sehingga bukan merupakan obyek eksperimen yang ideal seperti
yang dicita-citakan oleh Haberlandt. Obyek yang ideal haruslah
sel tunggal, sel tunggal dapat diperoleh dengan berbagai cara: (1)
kultur suspensi sel, dalam hal ini sel sudah mengalami
dediferensiasi, (2) mikrospora, dan (3) protoplas, yaitu sel yang
sudah dihilangkan dindingnya.
Setelah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh J.
Reinert dan F.C. Steward berhasil membuktikan totipotensi sel,
pada 1966 Guha dan Maheshwari berhasil memperoleh tanaman
dari antera (anthers) Datura innoxia, hasil penelitianya diterbitkan
di jurnal ilmiah Nature. Dari hasil pengamatannya diketahui
bahwa plantlet bersifat haploid, jadi berasal dari mikrospora.
Dengan perkembangan teknik kultur in vitro, pada 1972 C. Nitsch
berhasil menginduksi mikrospora Datura, Nicotiana, dan
Licopersicon langsung menjadi plantlet, mikrospora diisolasi dari
antera kemudian langsung dikulturkan pada medium.
Kemajuan paling akhir dari teknik kultur in vitro adalah
ditemukannya teknik kultur protoplas. Teknik ini memungkinkan
diisolasinya sel tumbuhan dalam jumlah besar langsung dari
tanaman, dari kalus, atau dari kultur suspensi sel. Protoplas adalah
sel tumbuhan yang sudah dihilangkan dindingnya, sehingga
disebut sebagai sel telanjang. Pada 1960 E.C. Cocking berhasil
untuk pertamakalinya mengisolasi protoplas dari sel-sel akar
dengan menggunakan enzim selulase. Cocking juga berhasil
Kultur Jaringan Tanaman
9
menunjukkan adanya regenerasi dinding sel di sekitar protoplas
yang diisolasi dari jaringan loculus buah tomat.
Kemajuan yang paling berarti dicapai sekitar tahun 1970-an
ketika Nagata dan Takebe berhasil menunjukkan adanya
pembelahan protoplas yang diisolasi dari mesofil daun tembakau.
Pembelahan ini terus berlanjut sampai terbentuknya mikrokalus.
Masih pada tahun yang sama Takebe, Labib dan Melchers
berhasil meregenerasikan kalus dari protoplas menjadi plantlet.
Tahun-tahun sesudahnya jumlah tanaman regenerasi dari protoplas
terus bertambah. Rangkaian pencapaian yang mengisi sejarah
perkembangan kultur jaringan sampai saat ini dapat dirangkum
sebagai berikut:
Pada tahun 1900, percobaan-percobaan awal untuk
mengulturkan sel dan jaringan tanaman pada kondisi tidak aseptis.
Pada era ini, formulasi permasalahan kultur sel dan jaringan oleh
Haberlandt (1902), merupakan isu yang sangat dominan. Pada
periode tahun 1930-1950, kultur jaringan dan kultur organ semakin
berkembang yang ditandai dengan keberhasilan pelaksanaan kultur
akar (organ) dan kultur jaringan secara aseptis yang menghasilkan
kalus. Selain itu, penemuan auksin (suatu hormon pertumbuhan
tanaman) juga merupakan keberhasilan lainnya.
Pada periode tahun 1950-1960, dicirikan dengan
keberhasilan kultur sel melalui fase organogenesis melalui kultur
suspensi sel, dan embriogenesis somatik sebagai konsekuensi dari
penemuan sitokinin, suatu hormon pertumbuhan tanaman selain
auksin. Dalam periode 10 tahun berikutnya yaitu tahun 1960-1970,
teknologi propagasi in vitro yang meliputi teknik mikropropagasi,
menghasilkan tanaman bebas virus, dan pengawetan plasma nutfah
mewarnai periode ini. Selain itu, haploidisasi secara in vitro, juga
menunjukkan keberhasilan pelak-sanaannya, meliputi: (1) kultur
antera (embryogenesis serbuk sari), (2) kultur mikrospora
(androgenesis), (3) kultur ovule (gynogenesis), (4) hibridisasi
Kultur Jaringan Tanaman
10
interspesifik, dan (5) kultur embrio.
Selama periode tahun 1970-1980, prestasi lain yang cukup
menakjubkan adalah keberhasilan dalam: (1) isolasi protoplas, (2)
kultur protoplas, (3) tanaman regenerasi dari protoplas, (4) fusi
protoplas, dan (5) hibridisasi somatik. Sejak tahun 1980 hingga
sekarang, genetika sel somatik dan rekayasa genetika menjadi inti
dari kemajuan kultur in vitro. Genetika sel somatik meliputi:
variasi somaklon, dan teknologi pemuliaan tanaman melalui teknik
mutasi secara in vitro. Sementara itu, dalam rekayasa genetika,
identifikasi gen (teknologi rekombinasi DNA), isolasi gen, cloning
gen, transformasi sel, ekspresi gen, dan tanaman transgenik,
merupakan kegiatan-kegiatan inti yang utama dan semakin pesat.
1.3. Manfaat Teknik Kultur Jaringan
Teknik kultur jaringan yang semula ditujukan untuk
penelitian dasar di bidang biologi, terutama pembuktian totipotensi
sel, sekarang telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga
dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang lain terutama
di bidang agribisnis dan farmasi.
a. Di bidang agribisnis
Aplikasi yang nyata dari teknik kultur jaringan tumbuhan
adalah dapat menekan biaya produksi karena dapat menghasilkan
bibit dalam jumlah banyak pada waktu yang relatif singkat, tidak
memerlukan lahan yang terlalu luas, tidak tergantung pada iklim,
bebas hama dan penyakit sehingga dapat diangkut kemana saja
melewati batas-batas negara, tanpa melalui proses karantina. Hal
yang lebih penting lagi, karena merupakan perbanyakan vegetatif,
maka keturunannya akan sama dengan induknya.
Survey yang dilaksanakan di negeri Belanda menunjukkan,
laboratorium mikropropagasi komersial pada tahun 1988 telah
Kultur Jaringan Tanaman
11
menghasilkan tanaman yang diperbanyak secara klonal sebanyak
65 juta (Pierik, 1988). Sementara itu, di Indonesia mikropropagasi
klonal telah sangat membantu program Hutan Tanaman Industri,
pohon yang berhasil dikembangkan dengan metode ini antara lain
Jati (Tectona grandis) dengan kemampuan multiplikasi 5-6
plantlet atau dalam kurun waktu satu tahun dari satu eksplan dapat
diperoleh sekitar 15 juta anakan.
b. Di bidang farmakologi dan industri kimia
Metabolit sekunder merupakan bahan baku obat yang
berasal dari bahan alam nabati, biasanya metabolit sekunder jenis
ini diperoleh dari tumbuhan dengan cara penyaringan (ekstraksi).
Cara ini tidak praktis karena diperlukan lahan yang luas untuk
menumbuhkan tanaman tersebut. Melalui teknik kultur in vitro,
sel-sel dan jaringan tanaman dapat dimanipulasikan sedemikian
rupa seperti yang dapat dilakukan pada proses fermentasi.
Bedasarkan hal tersebut kultur sel dapat merupakan sumber
metabolit sekunder yang memiliki nilai ekonomi tinggi di samping
kultur kalus.
c. Untuk mendapatkan hibrida-hibrida baru melalui silangan
somatis
Sel-sel tubuh tanaman jika dihilangkan dindingnya akan
didapatkan protoplas. Tersedianya protoplas memungkinkan
dilakukannya persilangan intergenerik dengan teknik fusi
protoplas. Protoplas dari dua jenis tanaman yang berbeda dapat
difusikan dengan menggunakan medan listrik atau bahan kimia
pemfusi sehingga terjadi peleburan sitoplasma dan diharapkan
dapat terjadi peleburan dua inti heterokaryon.
Protoplas hasil fusi dapat diregenerasikan menjadi tanaman
(hibrida) baru. Dengan fusi protoplas akan teratasi kesulitankesulitan yang timbul pada hibridisasi antara dua spesies, dua
Kultur Jaringan Tanaman
12
genus atau bahkan pada takson yang lebih tinggi. Penghilangan
dinding sel juga memungkinkan untuk mengintroduksi organel
atau potongan DNA ke dalam sel untuk merubah struktur
genetisnya.
BIJI
BAGIAN TANAMAN LAINNYA
STERILISASI
PERKECAMBAHAN
BIBIT
INDUKSI
KULTUR
DISPERSI
SEL
SUSPENSI SEL
Gambar 1.2. Diagram kultur suspensi sel
Kultur Jaringan Tanaman
13
d. Untuk mendapatkan tanaman haploid
Tanaman haploid dapat diperoleh melalui kultur ovule,
antera, atau mikrospora. Mikrospora adalah sel tunggal haploid,
totipoten, dan tersedia dalam jumlah yang hampir tidak terbatas.
Dengan teknik kultur mikrospora dapat dihasilkan tanamau
haploid, penggandaan kromosom dapat dilakukan dengan agen
pengganda kromosom, sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid
ganda (double haploid) yang homozigot. Tanaman haploid dan
haploid ganda mempunyai nilai yang sangat berharga bagi pemulia
tanaman.
Pada beberapa tanaman serealia penggandaan kromosom
terjadi secara spontan, sehingga dapat langsung digunakan pada
program pemuliaan tanaman. Varietas-varietas komersial telah
diproduksi pada pemuliaan dengan menggunakan haploid ganda,
misalnya gandum varietas Florin di Perancis (Henry dan De
Buyser, 1990). Keunggulan utama dari tanaman haploid ganda
tampak pada cepatnya homozigositas diperoleh, tanaman yang
dihasilkan mencerminkan contoh acak dari rekombinasi gamet
yang terjadi pada meiosis, dan ekspresi dari gen-gen resesif.
Untuk pengembangan varietas pada kebanyakan tanaman,
tahapan kritis adalah pencapaian galur murni. Tanaman homozigot
yang stabil adalah galur murni. Tanaman seperti itu digunakan
sebagai varietas akhir atau sebagai induk untuk memproduksi biji
hibrida. Secara tradisional, para pemulia mendapatkan tanaman
homozigot dengan cara self-fertilization atau back cross, suatu
proses yang memerlukan banyak waktu. Dengan teknik kultur
mikrospora, sel-sel gamet jantan diinduksi menjadi embriogenik,
sehingga tanaman haploid ganda dapat dihasilkan dalam satu
generasi saja. Efisiensi seleksi juga dapat ditingkatkan dengan
produksi tanaman haploid, karena fenotipe dari tanaman tidak
tertutupi oleh efek dominan. Sifat resesif dan dominan sama-sama
terekspresi dan karenanya lebih mudah diseleksi.
Kultur Jaringan Tanaman
14
e. Untuk penyimpanan plasma nutfah
Sejumlah tanaman dapat dilestarikan dengan biji, namun
beberapa tanaman berbiji yang penting mempunyai biji yang
terlalu besar untuk disimpan, misalnya kelapa. Beberapa tanaman
lagi mempunyai biji yang kadar airnya terlalu banyak, misalnya
durian, nangka sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama. Bahkan
ada tanaman yang tidak membentuk biji dan harus diperbanyak
secara vegetatif, misalnya pisang. Hal-hal tersebut menjadikan cara
in vitro merupakan satu-satunya harapan sebagai jalan keluar.
Untuk penyimpanan dalam jangka pendek, pertumbuhan di
dalam kultur jaringan dapat diperlambat dengan suhu rendah dan
dengan penghambat osmosis. Sementara itu untuk penyimpanan
jangka panjang sel-sel tumbuhan yang berupa kalus ditempatkan
pada nitrogen cair dengan suhu antara 0 sampai - 198°C, sehingga
metabolisme dan pertumbuhan terhenti sama sekali, proses ini
disebut kriopreservasi (Cryopreservation).
f. Penyelamatan embrio
Kultur in vitro tumbuhan digunakan untuk menyelamatkan
embrio yang secara normal abortif, kegagalan membentuk embrio
ini disebabkan karena adanya inkompatibilitas. Pada postzygotic
incompatibility, setelah terjadi pembuahan terbentuklah zigot,
tetapi zigot ini tidak dapat diterima oleh endosperma sehingga
embrio tidak dapat berkembang dan mengalami keguguran,
misalnya terdapat pada hasil persilangan antara Solanum
melongena dengan S. khasianum. Embrio dapat diselamatkan
(embrio resque), dipisahkan dari tanaman induknya dan ditanam
secara in vitro pada kondisi aseptik di dalam medium yang telah
diketahui komposisinya.
Pada beberapa jenis tanaman, embrio dan cadangan
makanannya sangat tidak berkembang sehingga tidak dapat
berkecambah, misalnya pada biji anggrek, hanya terdiri dari
Kultur Jaringan Tanaman
15
kumpulan sel-sel yang sederhana. Untuk perkecambahan
embrionya sangat tergantung pada suplai gula dari luar, di
lingkungan alamiahnya disediakan oleh jamur Mycorrhiza yang
hidup secara simbiotik di dalam biji anggrek. Karena infeksi oleh
jamur ini tidak dapat terjadi pada semua biji yang terdapat di
dalam buah anggrek, maka tidak semua biji dapat berkecambah.
Dengan teknik kultur in vitro, biji anggrek dikecambahkan di atas
medium secara aseptik, sehingga semua biji yang terdapat di dalam
buah anggrek dapat berkecambah.
g. Mendapatkan tanaman bebas virus
Kultur jaringan juga dapat dipergunakan untuk menunjang
penelitian penyakit tanaman terutama virus, yaitu dengan
menggunakan teknik kultur meristem. Sementara itu, penggunaan
praktis kultur organ dapat menunjang studi tentang infeksi
Nematoda, jamur Mycorrhiza, dan mekanisme pembentukan bintil
akar pada tanaman Leguminosa.
Kultur Jaringan Tanaman
16
Bab 2
Organisasi dan Fasilitas Laboratorium
Kultur Jaringan Tanaman
Teknik kultur jaringan (kultur in vitro) mensyaratkan
kondisi steril, baik ruang, peralatan, bahan, maupun seluruh
rangkaian kerjanya. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
eksplan di dalam kultur harus selalu dalam kondisi aseptis. Untuk
itu, semua tahapan pelaksanaan teknik kultur in vitro harus
dilaksanakan di dalam laboratorium yang harus ditunjang oleh
organisasi dan perlengkapan laboratorium yang memadai serta tata
cara kerja yang teliti dari si peneliti.
Laboratorium tidak harus dibangun baru, ruang-ruang di
dalam laboratorium yang sudah ada dapat direnovasi untuk
keperluan kultur jaringan. Namun demikian pendirian laboratorium
baru merupakan langkah yang terbaik. Laboratorium sebaiknya
mempunyai pembagian ruangan yang diatur sedemikian rupa
sehingga tiap kegiatan terpisah satu dengan yang lainnya, tetapi
masih dapat saling berhubungan dan mudah dicapai. Dalam bagian
ini akan diuraikan skema umum laboratorium kultur jaringan,
prinsip dan fungsi ruang, serta peralatan yang ada di dalamnya.
2.1. Laboratorium Kultur Jaringan
Laboratorium yang baik untuk pekerjaan teknik kultur
jaringan harus memenuhi kriteria: aman, bersih, dan memiliki
organisasi dan penataan ruang yang sesuai. Lokasi dari
laboratorium itu sendiri sebaiknya jauh dari sumber yang sering
menimbulkan polusi. Kondisi bagian dalam laboratorium seperti
lantai, dinding, meja, alat-alat yang digunakan, dan udara di
Kultur Jaringan Tanaman
17
ruangan laboratorium mutlak bersih. Diusahakan agar bebas dari
debu, karena debu adalah sumber kontaminan yang paling
potensial.
Selain itu, yang tidak menguntungkan adalah bahwa negara
kita terletak di daerah beriklim tropis, debu-debu begitu banyak
mendominasi ruangan udara di sekitar kita sehingga sulit untuk
dihindari. Oleh karena itu sebagai upaya pembuatan laboratorium
bebas debu, kita harus merancang laboratorium yang tertutup rapat
tanpa ada ventilasi. Jendela-jendela dibuat permanen dari kaca
(tidak bisa dibuka).
Di dalam ruangan, diberi pengatur udara (Air Conditioner,
AC) untuk mempertahankan suhunya konstan 25-28oC, dan
sebaiknya dipasang exhauster untuk menyedot debu yang ada di
dalam ruangan. Lantai laboratorium juga harus dibersihkan secara
rutin dengan antiseptik, meja dan dinding juga harus dibersihkan
dengan larutan antiseptik. Umumnya permukaan meja dan dinding
dilapisi dengan porselin supaya kedap air dan mudah dibersihkan.
Ruangan di dalam laboratorium harus dijaga tetap bersih dan bebas
dari debu, hewan kecil dan serangga.
Setiap orang yang akan masuk laboratorium harus melepas
sepatunya dan menggantinya dengan alas kaki yang ada di dalam
laboratorium serta harus mengenakan jas praktikum. Kebersihan
laboratorium secara umum sangat menentukan keberhasilan kerja
kultur jaringan. Sarana dasar seperti aliran listrik, air yang cukup
dan gas harus dimiliki.
Pelaksanaan kerja kultur jaringan tumbuhan memiliki
tahapan-tahapan dan urutan kerja yang khusus. Oleh karena itu
laboratorium harus diatur sedemikian rupa sehingga ada tingkatan
sterilitas ruangan sesuai dengan tahapan kerja tadi, termasuk alur
keluar-masuknya pekerja di dalam laboratorium tersebut. Tahapantahapan kerja di dalam laboratorium kultur jaringan dibagi dalam
empat kelompok yaitu:
Kultur Jaringan Tanaman
18
a. Persiapan
Merupakan tahap awal kerja kultur jaringan, dimulai dari
penyiapan tanaman sebagai sumber eksplan yang ditanam di green
house, kemudian menyiapkan alat-alat, botol-botol kultur dan
pembuatan medium (meracik, merebus dan membaginya ke dalam
botol-botol sampai pada sterilisasi).
b. Inokulasi
Inokulasi meliputi sterilisasi, pengambilan/pengirisan
bagian tanaman yang akan dijadikan sebagai eksplan, kemudian
menanamnya di dalam atau di atas medium buatan yang telah
disediakan. Untuk inokulasi eksplan ini diperlukan kondisi yang
absolut steril.
c. Pemeliharaan
Setelah diinokulasi, botol kultur diletakkan di rak-rak
pemeliharaan di ruang inkubator untuk diikuti pertumbuhan dan
perkembangannya sampai menjadi plantlet. Untuk pemeliharaan
tersebut dibutuhkan ruang yang tidak perlu steril tetapi harus
bersih, dengan pengatur suhu 25-28oC, dan pencahayaan dengan
lampu neon (Tube Lamp, TL), 1000-3000 lux.
d. Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian/adaptasi
plantlet dari kondisi heterotrof di dalam botol kultur ke kondisi
autotrof yang dapat ditanam pada kondisi alamiahnya di tanah.
Proses aklimatisasi dilaksanakan di dalam green house dengan
memberikan perlakuan kelembaban, intensitas cahaya dan
temperatur. Setelah melampaui masa aklimatisasi, tanaman dapat
dibawa keluar dari green house untuk ditanam di lapangan.
Masing-masing tahapan pekerjaan tersebut harus terpisah
satu dengan lainnya dan dengan menggunakan peralatan tersendiri.
Berdasarkan adanya urutan tahapan kerja seperti tersebut di atas,
Kultur Jaringan Tanaman
19
maka dasar penataan ruang laboratorium adalah urutan kegiatan
dan sterilitas ruangan. Oleh karena itu pembagian ruangan
laboratorium yang baik meliputi: (1) ruang persiapan, (2) ruang
transfer (inokulasi) atau ruang steril, (3) ruang kultur (inkubator
dan ruang plantlet), dan (4) ruang aklimatisasi (Gambar 2.1).
(1) Ruang persiapan
Ruangan persiapan dipergunakan sebagai tempat untuk
mempersiapkan eksplan, medium dan alat-alat. Ruang persiapan
biasanya dibagi menjadi beberapa ruangan kecil yang
dipergunakan untuk menyimpan medium dan alat-alat yang sudah
steril, untuk menyimpan alat-alat gelas, bahan-bahan kimia dan
pembuatan medium (ruang timbang), dan ruangan untuk mencuci.
Persiapan eksplan yang dilakukan meliputi pencucian, dan
pemotongan/pembuangan bagian-bagian tanaman yang tidak
dipergunakan, serta perlakuan awal untuk mengurangi kontaminan
yang ada di permukaan tanaman. Persiapan medium meliputi
penimbangan bahan kimia medium, pengenceran medium,
penuangan ke dalam wadah kultur dan sterilisasi. Sesuai dengan
fungsinya, fasilitas yang dibutuhkan di dalam ruangan ini adalah
meja tempat meletakkan alat-alat pemanas, meja untuk alat-alat
timbang, meja untuk bekerja dan tempat mencuci, semua meja
adalah statis dari beton dan beralas porselin.
Peralatan yang diletakkan di dalam ruangan ini terdiri dari:
(1) oven, (2) magnetic stirrer dengan atau tanpa pemanas, (3) alatalat gelas standar: labu takar berbagai ukuran pipet pasteur, (4)
erlenmeyer berbagai ukuran, gelas piala pengaduk gelas wadah
kultur: botol, tabung reaksi, cawan petri, (5) lemari alat-alat gelas,
(6) alat-alat untuk mencuci, (7) rak-rak pengering, (8) alat-alat
diseksi: spatula, pisau, scalpel, pinset, gunting, cutter, (9) borrer
berbagai ukuran, (10) blender, (11) bidistilling water, (12) agarose
dispenser, (13) kompor gas, (14) autoclave, (15) lampu bunsen
dengan kaki tiga, (16) kereta (cart) untuk memindahkan alat-alat
Kultur Jaringan Tanaman
20
dan media ke ruang lain, dan (17) growth chamber, untuk praperlakuan dingin pada tanaman berbunga, khususnya yang akan
dipergunakan untuk kultur mikrospora.
Gambar 2.1. Penataan Ruangan Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman
(2) Ruang timbang
Ruangan ini dipergunakan untuk tempat menyimpan bahanbahan kimia medium dan mempersiapkan medium kultur.
Persiapan medium kultur meliputi penimbangan bahan kimia
medium, pengenceran larutan stok, membagi-bagi dalam botol
kultur dan sterilisasi. Ruang timbang berhubungan langsung
dengan ruang persiapan. Fasilitas yang diperlukan dalam ruangan
ini adalah meja kerja dan meja untuk alat-alat timbang beralas
porselin. Peralatan yang diletakkan di ruangan ini terdiri dari: (1)
timbangan analitik, (2) lemari es dan freezer untuk menyimpan
Kultur Jaringan Tanaman
21
larutan stok, (3) hot plate dengan magnetic stirrer, (4) bunsen
dengan kaki tiga, (5) pH meter, (6) lemari bahan kimia dan alatalat (aluminum foil, kertas timbang, kertas saring, dsb.), (7) hood
tempat penimbangan bahan-bahan kimia yang karsinogenik, dan
(8) blender/homogenizer.
(3) Ruang stok
Ruang stok dipergunakan untuk menyimpan alat-alat steril
dan medium yang sudah jadi (steril). Di dalam pelaksanaan teknik
kultur jaringan, sebelum penanaman eksplan maupun sub-kultur
dilakukan, medium kultur harus sudah disiapkan minimum tiga
hari sebelum diperlukan. Medium yang sudah jadi harus disimpan
di dalam ruangan yang dingin dan gelap. Fasilitas yang diperlukan
di ruangan ini berupa meja kerja beralas porselin. Ruang stok harus
berhubungan langsung dua arah, satu arah dengan ruang persiapan
(setelah media disterilisasi di ruang persiapan, dapat langsung
dibawa ke ruangan ini), dan arah yang lain dengan ruang transfer
atau ruang steril, ruangan ini meskipun tidak harus steril tetapi
kebersihannya harus tetap terjaga.
Alat-alat yang terdapat di ruangan ini meliputi: (1) kereta
dorong, (2) rak-rak untuk meletakkan medium steril, dan (3) oven
untuk menyimpan alat-alat steril.
(4) Ruang steril/transfer
Ruang transfer merupakan ruangan dimana semua kegiatan
aseptis dimulai. Kegiatan yang dilakukan meliputi: sterilisasi,
isolasi bagian-bagian tanaman dan penanaman eksplan dalam
medium. Kegiatan subkultur, sterilisasi medium dengan ultrafiltrasi juga dilakukan di ruangan ini. Ruangan ini mutlak steril,
sehingga sedapat mungkin bebas dari debu dan hewan kecil,
dinding ruangan dilapis porselin atau bahan lain yang kedap air
dan mudah dibersihkan. Ruangan ini juga dilengkapi dengan
tempat cuci tangan sehingga memudahkan petugas yang akan
Kultur Jaringan Tanaman
22
memulai dengan pekerjaan aseptis, pengatur suhu (AC), lampu
ultra violet dan lampu TL biasa. Ruang transfer harus terisolasikan
sedemikian rupa tetapi masih dapat berhubungan dengan ruang
stok, ruang inkubasi, dan ruang mikroskop. Pintu penghubung
harus selalu dalam keadaan tertutup.
Ruang transfer dilengkapi dengan alat-alat sebagai berikut:
(1) laminar air flow cabinet (LAFC), peralatan utama untuk
melakukan pekerjaan aseptis, (2) dissecting microscope, (3) cart
yang selalu disemprot dengan alkohol 70%, (4) alat-alat diseksi:
scalpel, pinset, spatula, gunting, jarum, (5) millipore filter, (6)
syrink, (7) hand sprayer untuk alkohol, (8) tempat alkohol, (9)
bunsen burner/lampu alkohol/bacticinerator, (10) entkas, (11)
timbangan kecil, (12) electrofusion chamber, (13) vacum pump,
dan (14) centrifuge, untuk proses isolasi mikrospora dan protoplas.
(5) Ruang inkubasi/kultur
Ruang kultur merupakan ruang besar dengan kemungkinan
perluasan bila diperlukan. Kebersihannya harus diperhatikan dan
sedapat mungkin dihindari terlalu banyak keluar-masuknya orangorang yang tidak berkepentingan. Ruangan ini dipergunakan untuk
memelihara eksplan yang telah ditanam pada medium secara
aseptis. Kultur yang telah tumbuh dan memperbanyak diri, secara
terarur harus disubkultur, tergantung dari jenis eksplan dan tipe
kultur. Subkultur dilakukan setiap 3-6 minggu sekali, hal ini berarti
tiap bulan ada pelipatan jumlah kultur.
Botol-botol kultur diatur dengan menempatkannya pada
rak-rak terbuka yang bertingkat (3-4 tingkat) dengan lampu
fluorescent, jarak tiap tingkat 40-50 cm. Jarak antara rak harus
diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan lalulintas pemeriksa
kultur. Di dalam ruang kultur, lingkungan fisik diatur sedemikian
rupa sehingga mendukung pertumbuhan yang optimal. Untuk itu
perlu ada pengaturan terhadap suhu dan cahaya. Unsur-unsur dari
Kultur Jaringan Tanaman
23
cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas, lama penyinaran,
dan intensitas cahaya.
Kualitas cahaya. Cahaya putih merupakan cahaya yang
baik untuk pertumbuhan kultur. Lampu fluorescent (TL) biasa
digunakan sebagai sumber cahaya dalam ruang kultur.
Keseimbangan spektrum lampu fluorescent sangat baik dan efisien
dalam penggunaan energi bila dibandingkan dengan lampu pijar.
Bentuk lampu memungkinkan penyebaran cahaya yang baik,
dengan panas yang dikeluarkan relatif rendah, bila transformer
dapat diletakkan di luar ruang kultur. Pada lampu pijar hampir
90% merupakan enersi panas sehingga mempengaruhi suhu
ruangan. Pada ruang kultur juga dapat diberikan campuran lampu
pijar dan f1uorescent secara bersamaan.
Intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang baik dari lampu
fluorescent adalah antara 100-400 foot candle (l000-4000 lux).
Intensitas cahaya diatur dengan menempatkan sejumlah lampu
dengan kekuatan tertentu pada jarak antara 40-50 cm dari tabung
kultur pada luas area tertentu.
Lama penyinaran. Seberapa lama cahaya harus diberikan
pada eksplan
sehingga
berpengaruh
positif terhadap
pertumbuhannya, sangat tergantung dari jenis tanaman dan respon
yang diinginkan. Untuk proses morfogenesis, umumnya diperlukan
pencahayaan terus menerus, sebaliknya untuk induksi kalus
umumnya tidak memerlukan pencahayaan. Untuk pertumbuhan
plantlet, yang segera akan dilakukan aklimatisasi, umumnya
memerlukan periode penyinaran selama 14-16 jam. Panjang
penyinaran diatur dengan alat automatic timer switch atau timer.
Suhu. Suhu di dalam ruang kultur yang baik adalah pada
suhu normal yaitu antara 25-28°C. Pengaturan suhu dilakukan
dengan menggunakan AC, karena ruang kultur merupakan ruang
tertutup yang sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas.
Beberapa perlakuan khusus kadang-kadang memerlukan suhu
Kultur Jaringan Tanaman
24
rendah (18-20°C), sehingga diperlukan adanya growth chamber
yang dapat diatur suhu dan pencahayaannya.
Alat-alat yang diperlukan di dalam ruang kultur adalah: (1)
rak-rak kultur 3-4 tingkat dengan lampu fluorescent, jarak tiap
tingkat 40-50 cm, (2) timer untuk mengatur lama penyi-naran, (3)
AC untuk mengontrol suhu ruangan, (4) binocular microscope dan
loupe/kaca pembesar, (5) tangga aluminium untuk melihat kultur
di rak yang tinggi, (6) shaker, untuk inkubasi kultur dengan
medium cair.
(6) Ruang mikroskop
Ruangan ini dipergunakan untuk pengamatan dan analisa
selama kultur berjalan, reaksi suatu kultur dalam media perlakuan
sering diikuti sejak awal inisiasi. Untuk membedakan morfologi
eksplan atau struktur internal pada kultur mikrospora, sel dan
protoplas yang terjadi pada awal perkembangannya, diperlukan
bantuan mikroskop. Untuk keperluan tersebut dipergunakan
binocular microscope (stereoscope), inverted microscope,
fluorescent microscope, yang dilengkapi dengan peralatan untuk
fotografi. Penelitian-penelitian yang lebih canggih seperti fusi
protoplas, microinjection DNA atau organel ke dalam sel atau
protoplas, memerlukan mikroskop dengan mikro manipulator.
Ruangan ini harus senantiasa kering/tidak lembab dan bersih,
untuk pengoperasian fluorescent microscope, diperlukan ruangan
yang gelap total. Meja dari beton untuk tempat meletakkan
mikroskop diperlukan di dalam ruangan ini.
Alat-alat yang terdapat di dalam ruangan ini adalah: (1)
inverted microscope, (2) stereoscope, (3) student microscope, (4)
fluorescent microscope, (5) micromanipulator, (6) alat-alat
fotografi, dan (7) alat-alat untuk pengamatan sitologis, misalnya
gelas preparat dan penutup, jarum, microtome dan sebagainya.
Kultur Jaringan Tanaman
25
Bab 3
Media Tanam Kultur Jaringan Tanaman
Salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan kerja
kultur jaringan adalah pemberian nutrisi dalam jumlah dan
perbandingan yang benar pada medium kultur. Medium yang
dipergunakan pada kultur in vitro tumbuhan ada bermacammacam. Pemilihan medium tergantung pada jenis tanaman yang
digunakan, selera, tujuan serta perhitungan masing-masing
peneliti. Isi dan komposisi medium kultur dirancang secara khusus
untuk tujuan yang berbeda. Medium MS, singkatan dari nama
penemunya, Murashige dan Skoog atau LS, singkatan dari
Linsmaier dan Skoog merupakan medium yang sangat banyak
digunakan untuk kultur kalus dan regenerasi berbagai tanaman,
medium ini mengandung garam-garam mineral dengan konsentrasi
tinggi dan senyawa N dalam bentuk ammonium dan nitrat;
medium B5 (Gamborg) banyak digunakan untuk kultur suspensi
sel tanaman leguminosae.
Nitsch dan Nitsch (NN), dan N6 (Chu) banyak digunakan
untuk serealia dan tanaman lain; medium WPM (Lloyd dan
McCown) untuk kultur jaringan tanaman berkayu; Vacin dan Went
(VW) dan Knudson (C) banyak digunakan untuk anggrek; medium
Kao dan Michayluk digunakan untuk kultur protoplas Cruciferae,
Gramineae dan Leguminosae. Pada dasarnya tidak ada satu macam
medium kultur yang dapat memberikan pertumbuhan optimal
untuk semua sel, penggantian medium atau salah atau komponen
medium seringkali diperlukan untuk merespon setiap tipe
pertumbuhan dari satu macam eksplan. Studi literatur sangat
diperlukan untuk mengembangkan atau memodifikasi medium
kultur, modifikasi dari medium kultur yang telah ada umumnya
Kultur Jaringan Tanaman
26
didasarkan pada trial and error.
3.1. Komponen Dasar Medium Kultur Jaringan
Pada prinsipnya medium diberikan kepada sel-sel tanaman
in vitro dengan maksud memberikan nutrisi sesuai dengan
kebutuhan sel-sel tanaman tersebut secara alami sebagai tanaman
utuh yang tumbuh di alam. Tumbuhan di alam bebas bersifat
autotrof, memerlukan nutrisi sederhana yang terdapat di dalam
tanah berupa garam-garam mineral dan air untuk meneruskan
siklus hidupnya. Hal ini dapat dipahami karena sebagian terbesar
tubuh tumbuhan tersusun atas unsur-unsur penyusun zat anorganik
tersebut. Pada kultur in vitro tumbuhan, untuk keperluan hidupnya,
sel-sel pada eksplan juga memerlukan nutrisi yang komposisinya
jauh lebih komplek karena eksplan sedikit banyak telah kehilangan
sifat autotrofnya.
Komponen dasar medium kultur dapat bermacam-macam,
secara umum medium kultur jaringan harus mengandung unsurunsur sebagai berikut:
a. Garam-garam anorganik: (1) unsur makro: C, H, O, N, S, P, K,
Ca, dan Mg; (2) unsur mikro: Cl, S, Mo, Zn, Cu, Fe, dan Co;
b. Zat-zat organik: (1) gula, (2) Myo-Inositol, (3) vitamin, (4)
asam-asam amino, dan (5) zat pengatur tumbuh;
c. Substansi organik komplek: (1) air kelapa, (2) ekstrak buahbuahan, (3) ekstrak ragi (yeast), (4) pepton, (5) tripton, dan (6)
hydrolisat kasein;
d. Bahan pemadat: (1) agar-agar, (2) gelrite, (3) phytagel, dan (4)
sea plaque agarose;
e. pH, dan
f. Bahan tambahan lain misalnya arang aktip.
Kultur Jaringan Tanaman
27
Kebutuhan zat-zat anorganik
Unsur makro. Air merupakan zat terbanyak pada tubuh tumbuhan,
oleh karena itu air juga merupakan bagian terbesar di dalam
medium kultur. Air selain sebagai bahan untuk membentuk
material tubuh, juga sebagai medium untuk reaksi-reaksi kimia dan
fisika. Air juga berguna untuk transpor dan distribusi zat-zat yang
terlarut di dalamnya. Pada medium kultur jaringan digunakan air
murni yang sudah mengalami demineralisasi, deionisasi dan
didestilasi dengan gelas dua kali.
Kebutuhan garam-garam mineral di dalam jaringan kurang
lebih sama dengan tanaman lengkap. Garam-garam mineral
merupakan gabungan unsur-unsur esensial makro dan mikro.
Konsentrasi optimum dari tiap-tiap komponen untuk mencapai
kecepatan pertumbuhan yang maksimal sangat bervariasi. Menurut
Gamborg dan Shylluk (1981) biasanya berkisar 25-60 mM.
Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, pada
umumnya diberikan dalam bentuk persenyawaan. George dan
Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan nutrisi
makro yang umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara
lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; CaCl2.2H2O;
MgSO4.7H2O; KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4.2H2O;
Na2SO4; (NH4)2SO4; NH4Cl; K2SO4.
Nitrogen (N). Nitrogen diberikan dalam bentuk
persenyawaan yang bermacam-macam, antara lain: KNO3;
NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; NH4H2PO4; (NH4)2SO4;
NH4Cl. Kebutuhan terbesar adalah untuk menyusun asam-asam
nukleat, protein, sebagai koenzim atau persenyawaan lain yang
mengandung N seperti klorofil, alkaloid, derivat purin dan
pirimidin dan beberapa hormon endogen. Sumber nitrogen pada
medium kultur adalah ion ammonium (NH4)+ dan nitrat (NO3)-.
Jumlah ion ammonium yang digunakan berkisar antara 2-8 mM,
sedangkan nitrat berkisar antara 25-40 mM. Pengambilan unsur
Kultur Jaringan Tanaman
28
nitrat memerlukan pH rendah, sebaliknya pengambilan ammonium
menyebabkan pembebasan H- sehingga medium menjadi asam.
Medium Murashige dan Skoog (MS) menyediakan nitrogen dalam
bentuk garam NH4N03, ini merupakan strategi yang baik dan
mempunyai keuntungan ganda, karena selain sumber N-nya
lengkap juga dalam bentuk garam efeknya terhadap penurunan pH
medium berkurang (George dan Sherrington, 1984).
Fosfor (P). Fosfor diberikan pada medium kultur jaringan
dalam bentuk persenya-waan KH2PO4 atau K2HPO4; NH4H2PO4;
NaH2PO4. Ion PO4- total yang diberikan pada medium bervariasi
antara 0,5 - 20 mM.L-1. Unsur P di dalam sel diubah menjadi
persenya-waan RNA dan DNA, zat-zat yang sangat penting yang
bertanggung jawab atas sifat-sifat keturunan. Unsur P diperlukan
sebagai aktifator enzim untuk memacu pertumbuhan pada jaringan
meristematik. Kelebihan unsur P dapat menghambat pertumbuhan
eksplan, karena akan terjadi persaingan penyerapan dengan unsur
lain seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu).
Kalium (K). Kalium diberikan pada medium dalam bentuk
KNO3; KH2PO4 atau K2HPO4, KCl dan K2SO4. Ion K+ total yang
diberikan pada medium bervariasi antara 1,837 - 25,180 mM.L-1.
Unsur K sangat diperlukan untuk memacu pembelahan sel, sintesa
karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi
nitrat (Kyte, 1983). Kalium berpengaruh pada hidratasi, menambah
atau mengurangi hidratasi pada misel sehingga mempengaruhi
masuknya nutrien ke dalam sel.
Sulfur (S). Sulfur atau belerang diberikan pada medium
dalam bentuk: MgSO4.7H2O; (NH4)2SO4; K2S04; FeSO4.7H2O;
MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; CuSO4.5H2O. Pemberian bele-rang
berkisar antara 0,75-3,00 mM.L-1. Sulfur ada di dalam beberapa
molekul protein dan enzim yang selain berguna untuk memacu
perkembangan akar, juga berguna untuk ketahanan atau proteksi
tubuh tumbuhan. Belerang diserap dalam bentuk SO4-, antara lain
Kultur Jaringan Tanaman
29
dijadikan aneurin, biotin, persenyawaan asam amino yang ada
belerangnya misalnya, cystein dan methionin.
Calsium (Ca). Kalsium atau kapur diberikan pada medium
dalam bentuk: Ca(NO3).4H2O; CaCl2H2O; Ca3(PO4). Pemberian
ion Ca berkisar antara 1-3 mM.L-1. Pemakaian Ca-nitrat ada
kelemahannya karena sangat higroskopis, sehingga di dalam
wadahnya seringkali dijumpai kristalnya berair. Sebaiknya Canitrat dibuat larutan stok dan disimpan di dalam kulkas. Ca-fosfat
juga ada kelernahannya yaitu tidak mudah larut. Untuk
melarutkannya, sejumlah tertentu Ca-fosfat dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 50 ml, kemudian diberi tetes HCl 0,1 N, campuran ini
digojok sambil dipanasi sampai larut (tampak jernih). Kalsium
diperlukan untuk pembentukan dinding primitif, sebagai Ca-pectat
yaitu bagian integral dari dinding sel, penting sebagai kation
selular dan kofaktor enzim. Kalsium mempengaruhi hidratasi,
permeabilitas dan penyerapan nutrien. Kalsium juga empengaruhi
tingginya pH, menetralissasikan racun, misalnya pada asam
oksalat. Asam oksalat dengan Ca akan menjadi Ca-oksalat
berbentuk kristal dan diisolasi atau dimumifikasikan di dalam sel
tertentu menjadi sel-sel kristal.
Magnesium (Mg). Magnesium terutama diberikan pada
medium dalam bentuk MgSO4.7H2O. Magnesium diperlukan
sebagai elemen utama dalam pembentukan klorofil, berperan
penting sebagai aktivator enzim terutama dalam proses fosforilasi
dan sintesis protein degan cara membentuk komplek enzimsubstrat.
Unsur mikro. Unsur hara mikro adalah unsur yang diperlukan
dalam jumlah sedikit. Fungsinya belum diketahui secara pasti,
tetapi tidak adanya zat-zat ini dapat menyebabkan kelainan
pertumbuhan. Air dan bahan kimia yang tingkat kemurniannya
rendah seringkali terkontaminasi oleh unsur hara mikro. Bentuk
persenyawaan hara mikro yang umum digunakan pada beberapa
Kultur Jaringan Tanaman
30
medium kultur menurut George dan Sherrington (1984) adalah:
MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; H3BO3; KI; CuSO4.5H2O;
NaMoO4.2H2O; CoCl2.6H2O; FeCl3.6H2O; Fe III citrate;
FeSO4.7H2O; NaFeEDTA; Na2EDTA.2H2O; Fe(SO4)3; Fe III
tartrate.
Besi (Fe). Besi diperlukan dalam jumlah sedikit lebih
banyak daripada unsur mikro yang lain, berikan dalam bentuk
chelat. Pemberian Fe bersama-sama dengan NaEDTA
dimaksudkan agar besi tetap pada jangkauan pH yang luas dalam
jangka waktu yang lama hingga dapat diserap oleh jaringan
tanaman. Fe berperan penting dalam sintesis klorofil, konversi
energi pada fotosintesis dan respirasi dengan melakukan reduksi
oksidasi, bagian dari sitokrom. Besi diberikan pada medium kultur
jaringan berupa FeCl3.6H2O; Fe III trate; FeSO4.7H2O;
NaFeEDTA 2H2O; Fe(SO4); Fe III tartrate.
Boron (Bo). Boron diberikan pada medium kultur sebagai
asam borat (boric acid, H3BO3). Berperan dalam translokasi
karbohidrat, juga terlibat dalam diferensiasi seluler dan perkembangan. Ikatan boron organis memungkinkan adanya
diferensiasi dan penyusunan struktur halus dari dinding sel
sehingga memudahkan transport karbohidrat dan penyerapan ion
ke dalam sel; sebagai aktifator dan inaktifator bagi zat pengatur
tumbuh. Kalau boron kurang, zat pengatur tumbuh menjadi terlalu
banyak sehingga menghambat pertumbuhan.
Molybdenum (Mo). Molibdenum diberikan pada medium
sebagai sodium molybdat (Na2MoO4.2H2O), berpartisipasi pada
konversi nitrogen ke ammonia dan fiksasi nitrogen, ikut dalam
metabolisme protein, sintesis asam askorbat, dan kofaktor enzim.
Manganese (Mn). Manganese merupakan elemen esensial
yang terdapat pada membran kloroplas, berperan sebagai aktivator
enzim dengan bertindak sebagai perantara pada proses fosforilasi
atau sebagai gugus redoks Mn2+. Bahan pembentuk klorofil dan
Kultur Jaringan Tanaman
31
aktif dalam fotosintesis, metabolisme protein dan pembentukan
vitamin C. Pada medium kultur diberikan dalam bentuk MnSO4.
Cobalt (Co). Cobalt merupakan e1emen dari molekul
vitamin B kompleks, esensial untuk fiksasi nitrogen. Pada medium
kultur jaringan diberikan dalam bentuk persenyawaan Cobalt
Chloride (CoCl2).
Zincum (Zn). Zincum berperan sebagai aktivator enzim,
penyusun khlorofil, pemacu pembentukan zat pengatur tumbuh
terutama IAA. Pada medium kultur jaringan diberikan dalam
bentuk zinc sulphate (ZnSO4).
Cuprum (Cu). Cuprum merupakan bagian dari enzim, Cu
bereaksi menjadi komponen phenolase, lactase dan askorbat
oksidase. Ikut ambil bagian dalam proses fotosintesis dan reduksi
nitrit. Cuprum diberikan pada medium kultur jaringan dalam
bentuk Cupric sulfate (CuSO4 5H2O).
Chlorine (Cl). Chlorine sebagai ion berpengaruh terhadap
aktifitas enzim, memacu proses fotosintesis. Chlorine diberikan
pada medium kultur jaringan berupa Calcium Chloride (CaCl2).
3.2. Kebutuhan zat-zat organik
Zat-zat organik adalah persenyawaan yang mengandung
karbon, ditambahkan pada medium kultur jaringan berupa gula,
myo-inositol, vitamin, asam-asam amino dan zat pengatur tumbuh.
Zat-zat organik tersebut biasanya tidak diberikan pada tanaman
karena tanaman dapat mensintesis sendiri, tetapi pada kultur in
vitro, karena eksplan yang digunakan umumnya berukuran sangat
kecil dan tidak mampu mensintesis sendiri semua zat-zat organik
tersebut, maka zat-zat organik harus ditambahkan pada medium.
Gula. Tumbuhan di alam bebas mencukupi kebutuhan gula
dengan mengasimilasi CO2 pada roses fotosintesa, dengan
pertolongan klorofil dan sinar matahari, dijadikan glukosa,
kemudian dijadikan pati, selulose dan persenyawaan-persenyawaan
Kultur Jaringan Tanaman
32
lain. Pada kultur in vitro, sel dan jaringan tumbuhan belum
sempurna dalam melakukan asimilasi fotoautotrof, sehingga di
perlukan gula sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai
sumber energi bagi sel dan jaringan, gula juga berfungsi sebagai
penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial di dalam
medium. Gula pada umumnya diberikan pada medium kultur
berupa sukrosa atau komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa. Sukrosa pada medium kultur
ditambahkan sebanyak 30 g.L-l. Glukosa atau D-glukosa biasanya
ditambahkan dengan konsentrasi 20- 30 g.L-1, tergantung dari jenis
eksplan. Sukrosa ternyata lebih berpengaruh dalam perkembangan
kalus, sedangkan pengaruhnya terhadap organogenesis belum
dapat dipastikan (George dan Sherrington, 1984). Pada kultur
mikrospora beberapa spesies tanaman digunakan maltosa. Maltosa
dihidrolisis lebih lambat dibandingkan dengan sukrosa, ini
memberi pengaruh yang lebih baik pada mikrospora yaitu dapat
memacu embriogenesis (Indrianto et al., 1999).
Myo-Inositol. Myo-Inositol ditambahkan pada medium
untuk membantu diferensiasi dan pertumbuhan jaringan. MyoInositol ikut serta dalam beberapa reaksi metabolik penting yang
berhubungan dengan. pembelahan sel. Myo-Inositol merupakan
perantara pada perubahan glukosa menjadi asam galakturonat, juga
sebagai prazat untuk pektin dan penyusun dinding sel.
Vitamin. Vitamin ditambahkan pada medium untuk
mempercepat pertumbuhan, diferensiasi kalus. Vitamin berfungsi
sebagai kofaktor atau bagian dari molekul kofaktor dari reaksireaksi enzimatis penting, vitamin juga bertungsi protektif. Seperti
halnya zat pengatur tumbuh, vitamin juga mempengaruhi
(menstimulasi) inisiasi, pertumbuhan dan perkembang-an akar.
George dan Sherrington (1984) memasukkan beberapa macam
vitamin yang umum digunakan pada berbagai medium dasar,
antara lain: Thiamin-HCl, Nicotinic acid, Pyridoxin-HCl, Ca-DKultur Jaringan Tanaman
33
panthothenate, Folic acid, Choline chloride, dan Riboflavin, yang
sesemuanya merupakan anggota dari vitamin B kompleks.
Ascorbic acid dan adenin juga sering ditambahkan pada medium.
Vitamin labil terhadap pemanasan, dianjurkan untuk selalu
menggunakan filter steril jika akan ditambahkan pada medium.
Thiamin merupakan vitamin yang esensial terdapat pada hampir
semua medium kultur jaringan tumbuhan yang cenderung
mempercepat pembelahan sel pada meristem akar tetapi tidak
berpengaruh terhadap pemanjangan sel. Thiamin merupakan
bagian prostetik yang terdapat di dalam sel, berperan sebagai
koenzim dalam reaksi yang menghasilkan enersi dari karbohidrat
dan memindahkan enersi. Thiamin diberikan dalam jumlah yang
bervariasi dari kira-kira 0,1 sampai 30 mg.L-1 (Doods dan Roberts,
1983). Nicotinic acid (niacin) penting dalam reaksi-reaksi
enzimatis di samping peranannya sebagai prekursor dari beberapa
alkaloid. Ascorbic acid sering ditambahkan pada medium,
terutama untuk mencegah terjadinya pencoklatan (browning) pada
permukaan irisan jaringan yang disebabkan karena terjadinya
reaksi oksidasi senyawa polyphenol menjadi quinon yang berwarna
coklat sehingga vitamin di sini berfungsi sebagai antioksidan.
Asam-asam amino. Asam amino merupakan sumber N
organik, penyusun protein dan asam nukleat, lebih cepat diserap
oleh sel dan jaringan tanaman dari pada N anorganik di dalam
medium kultur jaringan. Adapun asam amino yang umum
ditambahkan pada medium adalah: Glutamine, Glycine, L-Cyteine,
L-Arginine, L-Aspartic acid, dan L-Methionine.
Zat pengatur tumbuh. Selain nutrisi, zat pengatur tumbuh
sangat diperlukan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan,
perkembangan dan diferensiasi. Zat pengatur tumbuh aktif pada
konsentrasi rendah dan diproduksi di dalam tubuh tanaman itu
sendiri (endogen). Untuk keperluan kultur jaringan, telah dibuat
zat pengatur tumbuh sintetik. Tanpa zat pengatur tumbuh,
Kultur Jaringan Tanaman
34
pertumbuhan eksplan akan terhambat bahkan mungkin tidak
tumbuh sama sekali. Zat pengatur tumbuh dikelompokkan ke
dalam beberapa grup: Auksin, Sitokinin, Gibberellin, Abscisic acid,
dan Ethylene.
Auksin. Indole-3-acetic acid (IAA) merupakan auksin
alamiah yang terdapat pada sebagian besar tumbuhan. Disintesis
dari tryptophane terutama di primordia daun, daun muda dan pada
kecambah. IAA di transport dari sel ke sel dengan arah basipetal
(dari pucuk ke akar). IAA berperan dalam mempengaruhi
pemanjangan sel; pembelahan sel; diferensiasi jaringan vaskuler;
inisiasi pembentukan akar; mempengaruhi dominasi apikal; zona
absisi pada daun dan buah; pembungaan; pemasakan buah, dan
lain-lain. IAA mudah larut dalam alkohol. Penggunaan IAA pada
medium kultur kerap kali kurang menguntungkan karena mudah
rusak oleh cahaya, oksidasi enzimatik dan pemanasan pada saat
proses sterilisasi dengan autoclave. Penggunaan auksin sintetik
lebih menguntungkan karena lebih stabil. Auksin sintetik yang
umum digunakan pada medium adalah: 2,4-dichlorophenoxyacetic
acid (2,4-D); l-naphthaleneacetic acid (NAA) dan indole-3-butyric
acid (IBA). Beberapa persenyawaan seperti dicamba (3,6-dichloroO-anisic acid) dan picloram (4-amino-3,5,6-trichloro-2pyridinecarboxilic acid) pada konsentrasi tinggi merupakan
herbisida, digunakan sebagai auksin substitusi.
Kultur in vitro tumbuhan yang pada mulanya memerlukan
auksin eksogen untuk pertumbuhannya, secara gradual atau bahkan
secara tiba-tiba dapat hilang dan tidak memerlukan auksin lagi, hal
yang demikian disebut sebagai habituasi terhadap auksin.
Penggunaan auksin secara tunggal pada umumnya sudah cukup
mampu untuk menginduksi pembentukan dan pertumbuhan kalus,
tetapi untuk beberapa tanaman yang rekalsitran akan lebih
membantu jika menggunakan lebih dari satu jenis auksin secara
simultan.
Kultur Jaringan Tanaman
35
Pada kultur jaringan tanaman monokotil, terutama rumputrumputan dan palma, juga pada kultur in vitro umbi akar wortel,
memerlukan auksin sintetik seperti 2,4-D dengan dosis yang cukup
tinggi. Penghilangan atau pengurangan kadar auksin pada sub
kultur berikutnya dapat memacu produksi embrio somatik atau
organ adventiv. Pertumbuhan kultur juga dapat dipacu dengan
penambahan substansi yang dapat mengatur tingkatan IAA
endogen misalnya, dopamine dapat menghambat aktifitas IAA
oksidase sehingga tidak terjadi oksidasi terhadap IAA. Akibatnya,
pertumbuhan jaringan dan organ pada kultur in vitro menjadi lebih
baik. Penghambat sintesis auksin seperti 5-hydroxy-nitrobenzyl
bromide (HNB) dan 7-azaindole memacu embriogenesis somatik
pada kultur kalus citrus yang telah mengalami habituasi.
Sitokinin. Sitokinin adalah derivat dari adenin, kinetin (6furfuryl-aminopurin) dan zeatin adalah sitokinin alami yang umum
digunakan secara meluas pada medium kultur. Sitokinin disintesis
melalui modifikasi biokimia dari adenin, terjadi pada ujung akar
dan biji yang tumbuh. Kebalikan dari auksin, sitokinin ditransport
melalui xylem dari akar ke pucuk. Sitokinin hanya aktif jika ada
auksin, pemberian sitokinin bersama auksin pada medium kultur
dapat memacu pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin
mempengaruhi transport auksin, pertumbuhan kuncup lateral
(mematahkan dominasi apikal), perkembangan daun, menghambat
proses penuaan daun dan mempengaruhi perkembangan kloroplas.
Sitokinin sintetik seperti N-6-benzyl-aminopurine (BAP) lebih
sering digunakan pada medium kultur jaringan.
Phenylurea, substansi aktif yang terdapat pada air kelapa
mempunyai efek yang sama dengan zeatin, penggunaannya
memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi. Thidiazuron (N-enyl-N1,2,3-thiazol-5-ylurea), yang secara komersial digunakan sebagai
defoliant, karena kemampuannya untuk menstimulasi produksi
ethylene, dapat digunakan untuk memacu pembentukan dan
Kultur Jaringan Tanaman
36
proliferasi tunas in vitro. Substansi lain yang mempunyai aktifitas
seperti sitokinin adalah endosperma cair pada kecambah jagung.
Diferensiasi selular dan morfogenesis in vitro terutama
dikendalikan oleh interaksi antara konsentrasi auksin dan sitokinin
yang diberikan pada medium kultur. Manipulasi rasio auksin:
sitokinin dapat mempengaruhi organogenesis, pada perbandingan
auksin sitokinin yang tinggi memacu pembentukan akar,
perbandingan yang sebaliknya akan memacu pembentukan tunas.
Jika perbandingan auksin sitokinin seimbang hanya terbentuk
kalus.
Gambar 3. 1. Efek auksin + sitokinin (George dan Sherrington,
1984)
Ada beberapa perkecualian:
a. Proliferasi tunas aksiler pada beberapa spesies tanaman dapat
dipacu dengan auksin bersama sitokinin.
b. Induksi kalus pada beberapa monokotil dapat dipacu pada
medium yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi tinggi
tanpa sitokinin.
c. Morfogenesis in vitro pada monokotil dipacu pada medium
Kultur Jaringan Tanaman
37
dengan auksin konsentrasi rendah atau tanpa auksin.
Gibberelin (GA). Pada 1926 Kurasawa mendapatkan
kecambah padi yang tumbuh abnormal karena terinfeksi oleh
sejenis jamur Gibberella fujikuroy. Substansi yang menyebabkan
pertumbuhan seedling padi menjadi sangat cepat (abnormal) tadi
diketahui sebagai gibberelic acid (GA3). GA merupakan zat
pengatur tumbuh yang dalam bentuk larutan pada suhu tinggi
mudah kehilangan sifatnya sebagai zat pengatur tumbuh. GA
merupakan keluarga persenyawaan yang didasarkan pada struktur
entgibberellane. Ada 34 GA yang telah diidentifikasi secara kimia,
beberapa diantaranya ditemukan pada embrio dimana dapat
memicu produksi alfa amilase yang dapat mengubah cadangan
makanan pada biji menjadi gula sehingga dapat digunakan oleh
embrio untuk pertumbuhannya. GA disintesis dari asam mevalonat
pada jaringan muda dari tunas dan biji yang sedang berkecambah,
ditransport di dalam xylem dan phloem. GA berpengaruh pada
pertumbuhan batang, pembesaran dan pembelahan sel, induksi
perkecambahan biji, produksi enzim selama perkecambahan, dan
pembentukan bunga. Seperti halnya auksin, GA juga dapat
memacu pembentukan akar.
George dan Sherrington (1984) mengatakan bahwa
pemacuan pembentukan akar dapat terjadi karena GA dapat
menyebabkan peningkatan jumlah auksin endogen pada medium
kultur yang biasa digunakan adalah GA3.
Kultur Jaringan Tanaman
38
Tabel 3.1. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan pada
kultur jaringan
Zat Pengatur Tumbuh
Singkatan
Berat Molekul
Absisic acid
Indole-3-acetic acid
Naphthalene ecetic acid
2,4-Dichlorophenoxy acetic acid
Indole-3-butyric acid
6-Purfurylaminopurine
6-Benzylaminopurine
N6-(∆2-isopentenyl)-adenine
Trans-6-(4-hydroxy-3-methylbut2-enyl) aminopurine
Gibberellic acid
ABA
IAA
NAA
2,4-D
IBA
Kinetin
BA
2iP
Zeatin
264,3
175,2
186,2
221,04
203,2
215,2
225,2
203,3
219,2
GA3
346,4
Abscisic acid (ABA). Abscisic acid adalah persenyawaan
tunggal dengan berat molekul 264,31 larut dalam NaHCO3 cair,
kloroform, aceton dan ether. ABA disintesis dari asam mevalonat
pada daun-daun tua terutama sebagai respon terhadap stres air
(kekeringan). ABA ditransport dari daun melalui phloem, ABA
dapat bergerak ke akar di dalam phloem dan kemudian kembali ke
pucuk melalui xylem. ABA berperan pada penutupan stomata,
transport fotosintat ke arah biji-biji yang sedang tumbuh. Pada
kultur in vitro tumbuhan, ABA digunakan untuk menginduksi
embriogenesis mikrospora, ABA juga dapat menghambat proses
perkecambahan yang terlalu dini pada embrio somatik .
Ethylene. Ethylene adalah zat pengatur tumbuh yang
berbentuk gas, disintesis dari methionine di dalam berbagai
jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap stres. Pada umum-nya,
gas ethylene disintesis pada jaringan-jaringan yang mengalami
senescence atau yang mengalami penuaan. Ethylene bergerak
Kultur Jaringan Tanaman
39
secara difusi dari tempat sintesisnya. Peranannya adalah dalam
membebaskan dormansi, diferensiasi dan pertumbuhan tunas,
pembentukan akar adventiv, pemasakan buah, induksi
pembungaan, dan lain-lain. Ethylene jarang diper-gunakan pada
kultur in vitro. Penggunaan ethylene inhibitor seperti silver nitrate
atau sulfat (ZnSO4), cobalt atau nickel chloride (CoC12, NiCl2),
dan asam salisilat pada medium kultur dapat meningkatkan
regenerasi pucuk dan produksi embrio somatik, tetapi hasilnya
sering kali kontradiktif. Ethylene dapat mempercepat perusakan
sitokinin dan menstimulasi perakaran pada kultur in vitro.
Substansi organik komplek
Substansi organik komplek biasanya belum dikenal benar
isi komposisinya, termasuk di dalamnya pepton, tripton, hydrolisat
casein, yeast ekstract, malt ekstract, dan bermacam-macam
tanaman seperti, air kelapa, endosperma jagung, ekstrak: pisang,
tomat, kentang, jeruk, nenas dll. Substansi organik komplek ini
jika digunakan terlalu tinggi dapat merugikan pertumbuhan sel.
Disarankan untuk melakukan pengujian dahulu dengan interval 1-5
gL-1, untuk menetapkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan.
Jumlah air kelapa yang biasanya ditambahkan pada medium adalah
2-15 % v/v. Substansi organik kompleks ini kelemahannya tidak
konsisten kadarnya dan tidak diketahui dengan pasti komposisinya.
Keasaman (pH) medium
Keasaman atau pH merupakan simbol dari derajat
keasaman atau kebasaan dari larutan yang ditunjukkan dengan
konsentrasi ion hidrogen. pH tertentu diperlukan untuk
pertumbuhan jaringan tanaman agar tidak mengganggu fungsi
membran sel dan sitoplasma. pH yang diperlukan pada medium
kultur biasanya berkisar antara 4,6-5,8. Pengaturan pH medium
dilakukan dengan menggunakan sodium hydroxyde (1N NaOH),
Kultur Jaringan Tanaman
40
digunakan untuk menaikkan pH medium (menjadi lebih alkalin,
basa) dan hydrochloric acid (1N HCl), untuk menurunkan menjadi
lebih asam. pH medium harus dipertahankan konstan selama kultur
berlangsung karena akan mempengaruhi ketersediaan hara yang
dapat diserap oleh sel dan jaringan tanaman untuk
pertumbuhannya. Ada suatu persenyawaan komplek yang mampu
membuat pH suatu medium tetap pada jangkauan tertentu,
misalnya besi yang berikatan dengan chelat, dan KH2PO4 juga
dapat berfungsi sebagai buffer.
pH juga penting pada proses embriogenesis somatik pada
kultur umbi akar wortel, stadium preglobular embrio dapat
dipertahankan dan ditingkatkan jumlahnya pada medium dengan
pH di bawah 4,5. Jika pH dinaikkan, embrio somatik melanjutkan
pertumbuhannya melalui tahapan-tahapan yang normal seperti
pada embrio zigotik, yaitu globular, jantung, torpedo dan kotiledon
(atau identik dengan sistem yang berlaku pada monokotil).
Bahan Pemadat (Gelling Agent)
Gelling agent digunakan untuk untuk memadatkan
medium, bahan pemadat yang sering digunakan pada medium
adalah agar (7-10 g.L-1), bahan pemadat lain (jarang digunakan)
adalah gelrite, gelrite lebih bening dari agar-agar. Pemakaian
gelrite juga lebih sedikit untuk mencapai kepadatan yang sama
dengan agar, yaitu 2 gL-1. Agarose juga sering digunakan untuk
kultur protoplas dan mikrospora. Penggunaan bahan pemadat ini
mengandung banyak kelemahan:
a. hanya sebagian eksplan yang kontak dengan medium
b. terjadi gradient nutrisi yang tidak sama
c. mobilitas hara menjadi kurang baik, dan
d. terjadi akumulasi zat-zat toksik yang dikeluarkan oleh eksplan.
Kultur Jaringan Tanaman
41
3.3. Beberapa Macam Medium Dasar
Ada beberapa macam medium dasar, pada umumnya diberi
nama sesuai dengan nama penemunya. Beberapa di antaranya
adalah:
a. medium Murashige dan Skoog, MS (1962), medium yang
paling populer digunakan untuk hampir semua macam tanaman,
terutama tanaman herbaceous. Medium ini paling banyak
digunakan untuk kultur kalus dan tunas, mempunyai konsentrasi
garam-garam mineral yang tinggi, dan senyawa N dalam bentuk
ammonium dan nitrat;
b. medium Gamborg, B5 (1968), digunakan untuk kultur suspensi
sel kedelai, alfalfa dan leguminosa lain;
c. medium White, W63 (1963), merupakan medium dasar dengan
konsentrasi garam-garam mineral yang rendah, digunakan untuk
kultur akar;
d. medium Vacint dan Went, VW (1949), digunakan untuk kultur
embrio anggrek;
e. medium Nitsch dan Nitsch, NN (1969), digunakan untuk kultur
mikrospora dan kultur sel pada tembakau;
f. medium Chu, N6 (1978), digunakan untuk kultur jaringan
serealia terutama padi;
g. medium Lloyd dan McCown, WPM (1980), untuk tanaman
berkayu, dan
h. medium Kao dan Michayluk (1975), digunakan untuk kultur
protoplas Cruciferae, Gramineae dan Leguminosae (George dan
Sherrington, 1984).
Pembuatan Medium Murashige dan Skoog
Untuk membuat medium kultur jaringan, kita harus
menimbang setiap komponen bahan kimia yang tertera pada resep.
Langkah ini menjadi kurang praktis, memerlukan banyak waktu
dan mengurangi ketepatan. Selain itu timbangan yang digunakan
Kultur Jaringan Tanaman
42
untuk menimbang sejumlah kecil bahan kimia kadang-kadang
tidak tersedia. Jalan keluar yang harus ditempuh adalah dengan
membuat larutan stok, setiap larutan stok dapat dipergunakan
untuk 40, 50 dan bahkan 100 liter medium.
Larutan stok dibuat menjadi beberapa kelompok: stok besi
(iron), stok micronutrient, vitamin dan stok hormon. Untuk macronutrient tidak dibuat stok, jadi harus ditimbang satu per satu, tetapi
jika diperlukan dapat dibuat larutan stok secara tunggal, tidak
dikelompokkan menjadi satu. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan larutan stok adalah kepekatannya. Larutan yang dibuat
terlalu pekat akan mengalami pengendapan sejalan dengan lama
waktu penyimpanan, jika hal ini terjadi stok harus dilarutkan
dengan pemanasan terlebih dahulu sebelum digunakan. Larutan
stok harus disimpan dalam lemari es (kulkas). Larutan stok
kadang-kadang terkontaminasi, ditumbuhi mikroorganisme, stok
yang terkontaminasi tidak dapat dipergunakan lagi. Jadi kebersihan
harus dijaga dan jangan membuat larutan stok terlalu banyak.
Bahan dan Alat
a. Tabel formula dan bahan-bahan kimia untuk medium MS
b. Akuades
c. Aluminum foil, kertas timbang, tissue, kertas label, timbangan
analitik
d. Gelas piala 600 ml, 50 m1
e. Labu takar 100 ml, gelas ukur 100 m1
f. Erlenmeyer 1000 ml, 100 ml, 50 ml, atau botol kultur
g. Pipet, pengaduk
h. Magnetic stirrer dengan hot plate
i. pH meter
j. Autoclave, millipore filter, pompa vakum
Kultur Jaringan Tanaman
43
Pembuatan Larutan Stok untuk Medium MS
a. Stok besi (IRON), dalam 200 m1 (40 ka1i konsentrasi)
Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut:
• Ditimbang 1.492 mg Na2EDTA dan 1.112 mg Fe2SO4.7H2O,
kedua bahan tersebut dilarutkan dalam kira-kira 75 ml akuades
secara terpisah. Larutan Na2EDTA dipanaskan sampai hampir
mendidih, kemudian masukkan larutan Fe2SO4.7H2O sedikit
demi sedikit sambil diaduk (dengan magnetic stirrer). Kedua
1arutan akan tercampur, bening dan berwama kuning emas, jika
larutan keruh, tambahkan beberapa tetes HCl 1 N lalu
dipanaskan. Biarkan dingin pada suhu kamar, tambahkan
akuades sampai volume menjadi 200 ml. Masukkan dalam botol
khusus berwama gelap, beri label: IRON MS 40X, 5 ml.l-1
• Simpan dalam kulkas, untuk membuat 1 liter medium MS,
diperlukan 5 ml larutan stok besi.
b. Stok Hara Mikro (Micronutrient): da1am 100 ml (100 ka1i
konsentrasi)
Hara mikro diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Oleh
karena itu stok hara mikro dibuat dalam satu wadah sebagai stok
campuran.
• Ditimbang bahan-bahan kimia hara mikro dengan timbangan
analitik, masing-masing:
MnSO4.H2O 2.230 mg
ZnSO4.4H2O 860 mg
H3BO3
620 mg
KI
83 mg
CuSO4.5H2O
2,5 mg
NaMoO4.2H2O 25 mg
CoC12.6H2O
2,5 mg
• Masukkan satu per satu bahan kimia di atas dalam gelas piala
200 ml yang berisi akuades kurang lebih 80 ml. Setiap kali
memasukkan bahan kimia harus segera dilarutkan (diaduk),
kemudian masukkan bahan kimia berikutnya. Jangan
Kultur Jaringan Tanaman
44
memasukkan semua bahan kimia, kemudian dilarutkan, akan
terjadi presipitasi (pengendapan). Untuk melarutkan bisa dibantu
dengan magnetic stirrer.
• Tambahkan akuades sampai volume menjadi 100 ml.
• Masukkan dalam botol khusus, tutup yang rapat, beri label:
MIKRO MS lOOX, 1 ml.l-1
• Simpan di dalam kulkas, untuk membuat medium MS 1 liter,
diperlukan 1 ml stok mikro.
c. Stok Vitamin: dalam 200 ml (50 kali konsentrasi)
Vitamin dapat dibuat dalam satu wadah sebagai stok
campuran. Prosedur kerjanya adalah
• Timbang bahan-bahan di bawah ini :
Glycine
100 mg;
Nicotinic acid
25 mg
Pyridoxine-HCl
25 mg;
Thiamine-HCl
5 mg
• Larutkan satu per satu dalam gelas piala 600 ml yang berisi
akuades steril kira-kira sebanyak 150 m1.
• Tambahkan akuades steril sampai volume mencapai 200 ml
• Masukan dalam botol khusus, tutup yang rapat, beri label:
VITAMIN MS. 50 X 4 ml.l-1
• Simpan di dalam kulkas, untuk membuat 1 liter medium MS,
diperlukan 4 ml stok vitamin.
d. Stok Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam jumlah yang sangat
terbatas. Kelarutan dari masing-masing zat pengatur tumbuh juga
berbeda-beda. Biasanya stok zat pengatur tumbuh dibuat dengan
kepekatan 100-500 mg l-1.
e. Stok Kinetin: 500 mg.l-1 (500 ppm)
• Timbang kinetin 50 mg, masukan dalam gelas piala 100 ml
berisi akuades kira-kira 70 ml
Kultur Jaringan Tanaman
45
• Sambil diaduk, teteskan sedikit larutan HCl 1 N dan dipanaskan
sebentar sampai larutan menjadi jernih
• Setelah dingin, masukkan ke dalam labu takar 100 ml;
tambahkan akuades sampai volume menjadi 100 ml.
• Pindahkan dalam erlenmeyer 100 ml atau wadah lain yang
bersih, tutup rapat, beri label: KINETIN 500 ppm
• Simpan di dalam kulkas.
f. Stok IAA; NAA; 2,4-D; IBA: 500 mg.l-1 (500 ppm)
• Timbang bahan sebanyak 50 mg, tuangkan masing-masing
bahan dalam gelas piala 100 ml yang berisi akuades kira-kira 70
ml.
• Sambil diaduk teteskan sedikit demi sedikit larutan KOH 1 N
dengan hati-hati sampai larut benar (jernih).
• Pindahkan ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan akuades
sampai volume menjadi 100 ml.
• Pindahkan ke dalam wadah stok, tutup yang rapat, beri label:
IAA 500 ppm
2,4-D 500 ppm
NAA 500 ppm
IBA 500 ppm
• Simpan di dalam lemari es.
g. Myo-Inositol dan Sukrosa
Karena jumlahnya cukup banyak, tidak dibuat stok,
keduanya harus ditimbang setiap kali membuat medium.
Pembuatan Medium MS Padat Sebanyak 1 Liter
• Siapkan erlenmeyer 1000 ml yang berisi 500 ml akuades
• Timbang setiap komponen bahan kimia makronutrien (sesuai
dengan tabel), larutkan satu per satu, untuk mempercepat
kelarutan dapat dibantu dengan magnetic stirrer.
• Masukan 5 ml larutan stok IRON
• Masukan 1 ml larutan stok MICRONUTRIENT
• Masukan 4 ml larutan stok VITAMINE
Kultur Jaringan Tanaman
46
• Masukan zat pengatur tumbuh (sesuai kebutuhan)
• Timbang 100 mg Myo-Inositol, masukan ke dalam erlenmeyer
dan larutkan
• Timbang 30 g sukrosa, masukan ke dalam erlenmeyer dan
larutkan.
• Tambahkan akuades sampai volume mencapai 1000 ml
• Ukur pH menjadi 5,6-5,8 menggunakan HCl 1 N atau KOH 1 N.
• Timbang 8 g agar (pemadat), masukan ke dalam erlenmeyer,
panaskan (sambil diaduk) sampai (pemadat) larut.
• Dalam (pemadat) keadaan masih cair, bagilah medium ke dalam
botol kultur kira-kira 40 ml botol-1.
• Tutup rapat dengan aluminium foil dan beri label sesuai dengan
perlakuan;
• Masukkan ke dalam autoclave dan sterilisasi pada suhu 121oC
selama 15 menit dengan tekanan 15 psi;
• Setelah tekanan turun hinga nol (0), medium yang sudah steril
segera dikeluarkan dari autoclave, jangan menunggu sampai
dingin di dalam autolave, dan
• Medium yang sudah steril disimpan di dalam ruang
penyimpanan.
Kultur Jaringan Tanaman
47
Tabel 3.2. Formula medium Murashige dan Skoog (1962)
Nama Bahan
Stok
Konsentrasi 1 liter Medium
HARA MAKRO
NH4NO3
KNO3
CaCl2.2H2O
MgSO4.7H2O
KH2PO4
BESI
mg.200 ml-1 (40x)
Na2EDTA
1.492
FeSO4.7H2O
1.112
HARA MIKRO
mg.100 ml-1 (100x)
MnSO4H2O
2.230
ZnSO4.4H2O
860
H3BO3
620
KI
83
NaMoO4.2H2O
25
CuSO4.5H2O
2,5
CoCl2.6H2O
2,5
VITAMIN
mg.200 ml-1 (50x)
Glycine
100
Nicotinic acid
25
Pyridoxine-HCl
25
Thiamine-HCl
5
ZAT PENGATUR TUMBUH
BA
NAA
2,4-D
Myo-Inositol
Sukrosa
Agar
pH
Kultur Jaringan Tanaman
mg.L-1
1.650
1.900
440
370
170
ambil 5 ml stok
37,3
27,8
ambil 1 ml stok
22,3
8,6
6,2
0,83
0,25
0,025
0,025
ambil 4 ml stok
2
0,5
0,5
0,1
1 – 5 μM
1 – 5 μM
1 – 10 μM
100 mg
30.000 mg
8.000 – 10.000 mg
5,6 – 6,3
48
Bab 4
Teknik Aseptis
Teknik kultur jaringan mensyaratkan kondisi aseptis, bebas
dari bakteri, jamur, yeast; jasad renik lain pada setiap tahapan
kegiatannya. Hambatan utama keberhasilan pelaksanaan kultur
jaringan adalah adanya kontaminasi yang dapat timbul baik selama
prosedur tersebut dikerjakan maupun selama kultur dipelihara di
dalam ruang inkubator. Kontaminasi oleh mikroorganisme menjadi
problem yang sangat serius, karena mikrobia kontaminan akan
segera mengkonsumsi zat hara yang ada pada medium kultur.
Mikroorganisme ini meskipun berukuran sangat kecil,
tetapi jumlahnya sangat banyak dan aktivitas metabolismenya
sangat tinggi, jika pertumbuhannya tidak dapat dicegah maka
dalam waktu yang relatif singkat segera mendominasi kultur. Sel
dan jaringan tanaman akan mati, matinya eksplan dapat disebabkan
karena dibebaskannya senyawa-senyawa toksik sebagai hasil
metabolisme dari mikrobia kontaminan, dapat juga karena
eksplannya "dimakan" oleh mikrobia kontaminan tersebut.
Kontaminasi dapat timbul pada setiap tahapan dari
pelaksanaan kultur jaringan. Prosedur kerja aseptis yang harus
dikerjakan untuk menanggulangi kontaminasi adalah: (1) sterilisasi
ruang kerja, (2) sterilisasi medium dan alat-alat, dan (3) sterilisasi
eksplan.
4.1. Sterilisasi Ruang Kerja, Medium, Alat -alat dan Eksplan
Sebagaimana telah diuraikan pada bahasan Laboratorium
Kultur Jaringan Tumbuhan, kegiatan aseptis dimulai di dalam
ruang steril dan ruang inkubasi/kultur, kegiatan utama yang
dilakukan meliputi sterilisasi dan penanaman eksplan di atas atau
Kultur Jaringan Tanaman
49
di dalam medium kultur. Laboratorium sederhana setidaknya
mempunyai dua ruangan tersebut, yang kebersihannya senantiasa
harus diperhatikan. Ruang kerja yang kotor, akibat terlalu banyak
orang yang lalu lalang di dalamnya, dapat mengundang timbulnya
kontaminasi. Ruang kultur yang tidak terpelihara dapat
mengundang serangga-serangga kecil untuk masuk ke dalam botolbotol yang berisi medium kultur.
Serangga-serangga kecil ini menimbulkan permasalahan
tersendiri karena spora, jamur, dan bakteri biasanya ikut terbawa
masuk ke
dalam botol kultur. Ruang kerja harus mudah
dibersihkan dan dilengkapi dengan AC sehingga senantiasa kering
dan sejuk. Kegiatan sterilisasi medium dan alat-alat dikerjakan di
ruang persiapan. Kebersihan dan organisasi laboratorium yang
efisien, ditunjang dengan peralatan yang memadai, dapat
menciptakan kondisi aseptis yang terkendali.
a. Sterilisasi ruang kerja
Ruang kerja yang digunakan untuk pekerjaan aseptis adalah
ruang steril. Ruangan ini harus senantiasa bersih, dinding dan
lantai dibersihkan setiap pagi dengan zat anti kuman/desinfektan.
Udara di dalam ruangan disterilisasi dengan lampu Ultra Violet
(UV) yang kekuatannya disesuaikan dengan besarnya ruangan
yang dipakai. Lampu ini hanya dinyalakan jika ruangan tidak
dipakai dan harus dimatikan ketika digunakan untuk bekerja.
Radiasi UV tidak berbahaya bagi manusia karena tidak mengion,
namun demikian harus diwaspadai karena dapat mengubah DNA
dengan pembentukan dimer antara dua basa timin pada satu rantai
DNA. Penetrasi sinar UV utamanya pada bagian superfisial dari
jaringan sehingga dapat melukai kulit dan retina mata. Sinar UV
dapat menghasilkan ozon sehingga peneliti yang akan bekerja
harus menunggu 15-30 menit setelah UV dimatikan, maksudnya
supaya ozon tidak terhirup.
Kultur Jaringan Tanaman
50
Peneliti yang akan bekerja di dalam ruangan ini harus
memakai jas laboratorium, masker dan tutup kepala, juga harus
mencuci tangan dengan sabun antiseptik, kalau perlu
menggunakan sarung tangan dari karet. Di dalam ruangan ini
terdapat alat-alat yang dapat menciptakan kondisi aseptis yang
terkendali, antara lain Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) dan
sterile box (entkas).
Laminar air flow cabinet. Alat ini sangat baik dan efisien,
namun harganya relatif mahal untuk menciptakan atmosfir yang
steril untuk pekerjaan-pekerjaan aseptis. Prinsip kerja alat ini yaitu
dengan hembusan udara yang sudah disaring (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Laminar air flow cabinet (LAFC).
Udara yang dihisap oleh blower dihembuskan melalui
HEPA (high efficiency particulate air) filter dengan porositas 0,22
μm, spora-spora jamur dan bakteri akan tertahan, sehingga udara
yang berhembus keluar sudah suci hama, LAFC kadang-kadang
Kultur Jaringan Tanaman
51
dilengkapi dengan UV. Sebelum mulai bekerja, permukaan meja
kerja LAFC disemprot dan dilap dengan kain yang telah dibasahi
alkohol 70% atau spiritus, semua alat-alat dimasukkan ke dalam
ruang kerja.
Alat-alat dan medium harus sudah steril baik permukaan
maupun bagian dalamnya, untuk botol kultur yang berisi medium,
permukaannya disemprot atau dilap dengan alkohol 70%. Untuk
LAFC yang dilengkapi dengan UV, sebelum bekerja lampu UV
dinyalakan selama 30-60 menit untuk mematikan kontaminan pada
permukaan ruang kerja. Di dalam LAFC juga sering dilengkapi
dengan instalasi gas yang diperlukan untuk sterilisasi alat-alat
dengan pembakaran, tetapi ini dapat diganti dengan lampu spiritus
atau bactisinerator.
Sterile box (entkas). Alat lain untuk dapat menciptakan
ruang kerja yang steril dengan harga yang relatif murah adalah
sterile box (entkas). Alat ini berwujud seperti kotak yang terbuat
dari bahan kaca (Gambar 4.2.), plywood, papan kayu atau yang
lebih sederhana misal-nya dari kardus yang di dalamnya dilapisi
aluminum foil. Steril box atau entkas dapat dibuat dengan ukuran
sesuai dengan yang dikehendaki. Hal yang penting untuk
diperhatikan adalah tangan kita dapat menjangkau setiap dinding
entkas karena akan memudahkan untuk membersihkannya.
Kultur Jaringan Tanaman
52
Gambar 4.2. Skema Sterile box (entkas) yang terbuat dari bahan
kaca.
Kultur Jaringan Tanaman
53
Sebelum mulai bekerja, dinding entkas dibersihkan lebih
dahulu dengan menggunakan kain yang sudah dibasahi alkohol
70%. Ruang kerja di dalam entkas disterilisasi dengan formalin
tablet yang ditaruh di dalam cawan porselin kecil dan diletakkan di
sudut-sudut ruangan entkas, setiap cawan berisi satu tablet. Uap
formalin ini dapat mensterilkan udara yang terdapat di dalam
entkas. Alat-alat dan botol kultur yang berisi medium disemprot
permukaannya satu per satu dengan alkohol 70% kemudian
dimasukkan ke dalam entkas, dibiarkan 30 menit baru mulai
bekerja. Pada entkas juga dapat ditambahkan lampu UV, entkas ini
seluruh dinding luarnya harus ditutup dengan aluminum foil, hal ini
diperlukan untuk menghindari mata dan kulit dari bahaya radiasi
UV.
b. Sterilisasi medium dan alat-alat
Media yang mengandung bahan-bahan yang tahan panas,
sterilisasinya dilakukan dengan pemanasan basah, menggunakan
alat yang namanya autoclave, bekerjanya dengan tekanan uap.
Standar teknis untuk sterilisasi ini adalah pada temperatur 121oC,
tekanan antara 15-17 psi dengan waktu antara 15-40 menit,
bergantung dari banyaknya media yang disterilisasi. Untuk 15 ml
media dalam tabung reaksi atau botol kecil berukuran 75 ml,
sterilisasi dilakukan dengan tekanan 15 psi selama 20 menit.
Volume yang lebih besar membutuhkan tekanan yang lebih tinggi
dengan waktu yang lebih lama.
Autoclave yang digunakan ada bermacam-macam, mulai
dari yang paling sederhana sampai yang dapat diprogram
(programmable). Autoclave sederhana pemanasan airnya
menggunakan kompor gas, sedangkan pengaturan suhu tekanan
dan waktunya dilakukan secara manual. Pada waktu
mengoperasikan autoclave ini, jangan tergesa-gesa menutup klep
pembuang sebelum udara yang ada di dalam autoclave diganti
Kultur Jaringan Tanaman
54
seluruhnya oleh uap air yang mendidih sehingga akan tercapai
temperatur 121°C (langkah ini tidak dikerjakan untuk autoclave
yang programmable).
Setelah waktu sterilisasi selesai (15-20 menit), klep-klep
pembuang dibuka pelan-pelan, tekanan uap di dalam autoclave
pelan-pelan akan sama dengan tekanan atmosfir, pembukaan klep
pembuang yang tergesa-gesa akan mengakibatkan medium yang
ada di dalam botol kultur mendidih dan meluap. Alat lain yang
mempunyai prinsip kerja mirip dengan autoclave adalah (pressure
cooker), alat yang biasa digunakan untuk memasak di dapur ini
kapasitasnya sangat terbatas, sehingga tidak dianjurkan untuk
pekerjaan pada skala laboratorium karena tidak efisien. Autoclave
yang paling modern adalah yang programmable, dapat diatur
waktu, suhu dan tekanannya secara automatis sehingga dapat
dijalankan sambil mengerjakan pekerjaan yang lain.
Tabel 4.1. Lama waktu minimal untuk sterilisasi media
Volume Setiap
Wadah (ml)
Waktu Minimal Sterilisasi pada Suhu
121oC (Menit)
25 – 50
75
250 – 500
1.000
1.500
2.000
15
20
25
30
35
40
Sumber: Indrianto, 2003.
Sterilisasi medium kultur dengan menggunakan autoclave
mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
 sukrosa akan terurai menjadi fruktosa dan glukosa;
 penggunaan temperatur yang tinggi pada autoclave dapat
mengakibatkan terbentuknya caramel gula yang berwarna
Kultur Jaringan Tanaman
55
coklat, merupakan racun di dalam medium kultur;
 sejalan dengan lamanya waktu sterilisasi, pH medium dapat
mengalami perubahan, terjadi pengendapan garam-garam dan
depolimerisasi agar.
Beberapa komponen medium ada yang tidak stabil kalau
kena panas yang tinggi, misalnya GA3, Ca-panthothenate dan
Thiamin-HCl harus disterilisasi dengan ultrafiltrasi (Millipore
filter) pada suhu ruangan (25oC). Dengan memakai ultrafiltrasi
larutan yang berisi bahan-bahan yang termolabil, dimasukkan ke
dalam medium kultur yang telah steril. Langkah ini dikerjakan di
dalam ruang steril (LAFC) ketika medium agar telah agak dingin
tetapi belum memadat. Ada beberapa macam millipore filter yaitu
yang terbuat dari polyethylene film sekali pakai (disposable), dan
ada millipore filter yang dilengkapi dengan holder, filter holder ini
dapat disterilisasi dengan autoclave (autoclavable). Porositas dari
filternya juga bermacam-macam, mulai dari 0,22 hingga 0,45 μm.
Untuk larutan termolabil dalam jumlah sedikit (5-50 ml) dengan
mudah dapat disterilisasi dengan Millipore filter yang dipasang
pada ujung syrink (alat suntik). Dalam jumlah besar (50-5000 liter)
sterilisasi dengan ultrafiltrasi ini harus dibantu dengan pompa
vakum.
Alat-alat yang digunakan di dalam ruang steril antara lain:
scalpel, pinset bermacam-macam ukuran, petridish, cork borrer,
pipet, alat-alat gelas (botol kultur dsb.), gunting, kertas saring.
Alat-alat tersebut, sebelum disterilisasi, dibersihkan terlebih dahulu
kemudian dibungkus rapi dengan kertas coklat. Alat-alat yang akan
disterilisasi dengan autoclave tidak boleh dibungkus dengan
aluminum foil sebab uap air tidak dapat masuk ke dalam
bungkusan. Untuk botol kultur, sebelumnya harus dicuci kemudian
ditutup dengan aluminum foil atau bahan lain yang terbuat dari
karet, kain atau plastik yang tahan panas. Botol kultur dengan
penutup yang berulir, tidak boleh ditutup terlalu rapat ketika
Kultur Jaringan Tanaman
56
disterilisasi, ini diperlukan agar tidak terjadi perbedaan tekanan
dengan ruangan di dalam autoclave, perbedaan tekanan akan
mengakibatkan pecahnya botol kultur.
c. Sterilisasi eksplan
Eksplan (explant) adalah bagian kecil dari tanaman baik
itu sel, jaringan, ataupun organ yang digunakan untuk memulai
suatu kultur. Eksplan yang digunakan di dalam kultur jaringan
harus yang masih muda (primordium), sel-selnya masih bersifat
meristematik. Sel-sel yang bersifat meristematik dicirikan dengan
sifatnya yang selalu membelah, selnya berukuran kecil tetapi inti
selnya relatif besar, penuh plasma, vacuola kecil-kecil, dinding sel
tipis terdiri dari dinding primitif yang berupa selulosa mikrofibril.
Bagian tanaman yang bersifat meristematik antara lain terdapat
pada ujung (kuncup) batang atau akar, dikenal dengan nama
meristem apikal, pada batang disebut shoot apical meristem
sedangkan meristem yang terdapat pada kuncup di ketiak daun
disebut meristem aksiler atau bud primordium (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Tanam dikotil dengan kuncup apikal dan aksilar
dimana di dalamnya terdapat sel-sel yang
meristematik (Dermen and Stewart, 1973).
Kultur Jaringan Tanaman
57
Bagian tanaman yang bersifat meristematik seringkali
terdapat dalam keadaan terbuka sehingga kotoran dan berbagai
kontaminan seringkali menempel pada bagian permukaannya.
Kontaminan ini dapat berupa bakteri, jamur dan spora-sporanya,
serangga dan telur-telurnya, protozoa, dan sebagainya. Keadaan ini
terutama dijumpai pada tanaman donor yang tumbuh di lapangan.
Kultur jaringan mensyaratkan kondisi aseptis yang
terkendali, jika kontaminan ini tidak dihilangkan maka medium
yang mengandung banyak nutrisi akan dengan cepat dipenuhi oleh
mikrobia kontaminan tersebut. Untuk mengurangi adanya
kontaminan pada permukaan eksplan, tanaman donor sebaiknya
ditanam di dalam rumah kaca. Pada beberapa jenis tanaman seperti
ketimun dan umbi akar wortel, seringkali dijumpai adanya
kontaminan internal yang terdapat di dalam jaringan tanaman.
Kontaminan internal ini sangat sulit untuk diatasi, karena sterilisasi
permukaan tidak akan efektif.
Eksplan yang digunakan ukurannya sangat bervariasi dari
yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop (mikroskopis)
misalnya mikrospora, shoot apical meristem, embrio dan
sebagainya, sampai yang berukuran 1 cm atau lebih: misalnya, ruas
batang, daun, hipokotil, biji, rhizom dan sebagainya. Bagianbagian tanaman tersebut seringkali masih tertutup oleh jaringan/
sarung-sarung daun, misalnya pada daun tebu, hal ini akan
memudahkan prosedur sterilisasi karena secara alamiah bagian
daun yang ada di dalamnya masih suci hama. Eksplan yang
berukuran terlalu besar akan membawa resiko kontaminasi yang
lebih besar, namun jika digunakan eksplan yang terlalu kecil
pertumbuhan dan respon yang diharapkan juga tidak sebaik jika
menggunakan eksplan yang berukuran besar. Dilemma ini
menyebabkan tidak adanya metoda sterilisasi eksplan yang baku
untuk semua tanaman. Hal penting yang harus diperhatikan pada
sterilisasi eksplan adalah bahwa eksplan dan mikrobia kontaminan
Kultur Jaringan Tanaman
58
keduanya adalah jasad hidup, kontaminasi harus dihilangkan tanpa
mematikan eksplan.
Bahan pensteril yang umum digunakan untuk sterilisasi
eksplan adalah calcium hypochlorite, sodium hypochlorite,
sublimat/mercuric chloride (HgCl), alkohol, dan sebagainya.
Konsentrasi dan lama waktu sterilisasi sangat bervariasi
bergantung dari jenis eksplan dan tempat tumbuhnya. Eksplan
yang ditumbuhkan dalam rumah kaca relatif lebih bersih,
sedangkan yang berasal dari lapangan pada umumnya lebih kotor,
lebih terkontaminasi sejak dari awalnya sehingga prosedur
sterilisasi harus dibuat lebih keras dengan meningkatkan
konsentrasi bahan pensteril atau dengan memperpanjang waktu
sterilisasi.
Semua bahan-bahan pensteril adalah toksik terhadap
eksplan, sehingga perlu dilakukan pencucian yang berulang-ulang
agar semua bahan pensteril yang menempel dapat tercuci. Untuk
meningkatkan penetrasi bahan pensteril, seringkali ditambahkan 1
atau 2 tetes agensia pembasah (Triton-X, Tween 20 atau Tween 80)
yang fungsinya menambah tegangan pada permukaan eksplan.
Penggunaan pompa vakum juga dapat meningkatkan penetrasi
bahan pensteril pada permukaan jaringan sehingga dapat
meningkatkan efisiensi sterilisasi.
Prasterilisasi dengan mencuci eksplan menggunakan
sabun/detergent dan dibiarkan beberapa saat di bawah pancuran air
yang mengalir selama 15-30 menit juga diperlukan untuk
memecah koloni kontaminan agar lebih peka terhadap bahan
pensteri1. Bahan yang sudah bersih dikecilkan ukurannya
kemudian dibawa ke dalam ruang steril untuk disterilisasi lebih
lanjut. Untuk sterilisasi eksplan kadang-kadang digunakan dua
atau lebih bahan pensteril, misalnya direndam di dalam larutan
sodium hypochlorite kemudian dicuci dengan air steril dilanjutkan
dengan perendaman di dalam larutan sublimate dan pembilasan
Kultur Jaringan Tanaman
59
dengan air steril.
Tabel 4.2. Efektifitas beberapa bahan pensteril (Yeoman dan
McLeod (1977) dalam Bhojwani dan Razdan, 1983)
Agen Pensteril
Konsentrasi
Calcium hypochlorite
Sodium hypochlorite
Hydrogen peroxide
Bromine water
Silver nitrate
Mercuric chloride
Antibiotics
9 – 10 %
2%
10 – 12 %
1–2%
1%
0,1 – 1 %
4 – 50 mgL-1
Lama
(menit)
5 – 30
5 – 30
5 – 15
2 – 10
5 – 30
2 – 10
30 – 60
Efektifitas
Sangat bagus
Sangat bagus
Bagus
Sangat bagus
Bagus
Memuaskan
Cukup bagus
Untuk eksplan yang berdaging (umbi kentang, wortel),
eksplan yang tertutup sarung daun (pucuk tebu), dan biji muda
yang masih terdapat di dalam buah (anggrek) dapat disterilisasi
dengan merendam di dalam alkohol beberapa saat, kemudian
dilewatkan di atas nyala api dan dibiarkan sampai nyala api padam,
cukup efektif untuk membawa kultur bebas dari kontaminasi.
Kultur Jaringan Tanaman
60
Bab 5
Kultur Sel yang Terorganisasikan atau
Kultur Organ
Definisi organ adalah bahagian-bahagian tertentu dari
tanaman yang tersusun dari gabungan beberapa jaringan tanaman.
Biasanya organ-organ tanaman mempunyai fungsi spesifik dan
berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Beberapa contoh organ yang dapat dikemukakan adalah: -ujung
akar, -pucuk aksilar, -daun, -bunga, -buah muda, dan sebagainya.
Meskipun kultur organ juga menggunakan medium tumbuh
buatan seperti pada kultur jaringan, namun perbedaan keduanya
terletak pada keutuhan jaringan yang digunakan dalam medium
inisiasi. Artinya, pada kultur organ ini bahagian tanaman yang
digunakan umumnya adalah dalam ukuran seutuhnya. Contoh dari
ilustrasi ini seperti kultur ujung akar, kultur embrio biji yang
dipisahkan dari biji utuhnya, kultur malai pada padi atau jagung,
atau kultur antera (kepala sari).
Adapun tujuan kultur organ adalah sama seperti pada kultur
jaringan. Perbedaan spesifik yang dimiliki oleh kultur organ ini
adalah pada persilangan antara tanaman yang berkerabat jauh
kadang-kadang mengalami hambatan untuk menghasilkan biji
hingga fase matang fisiologi. Dalam kondisi seperti ini hasil
persilangan tersebut, embrio perlu diselamatkan (embryo rescue)
dengan teknik yang tepat, dan teknik yang tepat itu adalah melalui
kultur organ bakal biji yang telah dibuahi tetapi gagal untuk
mengalami pertumbuhan selanjutnya. Kultur organ ini disebut
kultur penyelamatan embrio atau "embryo rescue in vitro culture".
Dari segi pemuliaan tanaman kultur embrio yang
diselamatkan ini sangat besar peranannya karena studi mengenai
Kultur Jaringan Tanaman
61
aspek genetika dari hibridisasi antar kerabat jauh (genera hingga
antar famili), dapat dipelajari melalui keberhasilan kultur ini. Dari
aspek variabilitas tanaman karena pengaruh lingkungan tumbuh
buatan ini mempunyai peluang yang relatif sama dengan pada
kultur jaringan. Oleh karena itu fungsi kultur organ dalam
pemuliaan tanaman adalah sama dengan fungsi kultur jaringan.
Hanning (1904) melakukan kultur embrio belum matang
biji Crucifer; Kote dan Robbins pada akar legum dan serealia
meskipun tidak berhasil, dan White (1934) melakukan kultur akar
tanaman tomat. Tujuan: (1) untuk menghasilkan tanaman baru
bebas penyakit, (2) untuk perbanyakan masal, (3) untuk produksi
bahan (metabolit) sekunder. Macam kultur organ meliputi: (1)
kultur akar, (2) kultur pucuk, (3) kultur meristem, dan (4) kultur
embrio. Dalam uraian berikut ini, hanya kultur pucuk, kultur
meristem, dan kultur embrio yang akan dikemukakan, sedangkan
kultur akar tidak diuraikan karena teknik ini tidak diaplikasikan
secara luas untuk berbagai tanaman budidaya.
5.1. Kultur Ujung Pucuk
Istilah kultur pucuk (shoot culture) atau kadang-kadang
disebut kultur ujung pucuk (shoot tip culture) mengacu pada kultur
yang menggunakan eksplan yang memiliki meristem pucuk secara
lengkap. Tujuannya adalah untuk perbanyakan pucuk melalui
pembentukan berkali-kali pucuk cabang ketiak. Teknik ini
menghasilkan pucuk baru yang bisa digunakan sebagai eksplan
yang bisa berproliferasi secara berulang-ulang. Pucuk yang tidak
teratur atau kumpulan pucuk diakarkan untuk membentuk plantlet
kemudian dapat ditanam secara in vivo. Teknik ini digunakan
secara luas dalam perbanyakan mikro.
Kultur Jaringan Tanaman
62
a. Ukuran eksplan
Secara konvensional, kultur pucuk dimulai dengan
mengkulturkan potongan pucuk batang utama atau pucuk cabang
yang berukuran 20 mm, dipisahkan dari pucuk yang sangat aktif
tumbuh atau dari buku tunas dorman. Eksplan dalam ukuran yang
lebih panjang juga kadang-kadang digunakan dengan keuntungan:
(1) memiliki sebagian besar pucuk atau bagian cabang yang
memiliki satu atau beberapa mata tunas, dan (2) kadang-kadang
pucuk dari kultur pucuk lainnya juga digunakan. Bila buku pucuk
batang utama dan pucuk cabang digunakan sebagai eksplan, istilah
kultur ujung pucuk digunakan secara luas pada jenis kultur ini.
Menggunakan eksplan dalam ukuran besar mempunyai
keuntungan jika dibandingkan dengan penggunaan eksplan ukuran
yang lebih kecil dalam menginisiasi pucuk, yaitu: (1) mempunyai
kemampuan yang sangat baik pada kondisi in vitro, (2) lebih cepat
memulai pertumbuhan, dan (3) mengandung lebih banyak buku
tunas cabang. Akan tetapi, semakin besar ukuran eksplan, semakin
sulit menghindari kontaminasi mikroorganisme, sehingga secara
praktis penggunaan eksplan yang lebih besar dapat dilakukan
asalkan memperbaiki kondisi teknik aseptik.
Kultur pucuk juga sering digunakan secara langsung dari
pucuk yang diperoleh dari kultur ujung meristem. Eradikasi virus
dilakukan pada saat perbanyakan pucuk. Kadang-kadang juga
digunakan ujung pucuk yang telah dipisah-pisahkan atau
dimaserasi. Kultur ujung atau meristem digunakan untuk
mengeliminasi bakteri, yang dilakukan dengan mengkulturkan
eksplan yang sangat kecil dan plantlet tunggal dapat dihasilkan
dari setiap eksplan. Istilah ini paling sering tidak digunakan.
Kultur Jaringan Tanaman
63
b. Pengaturan proliferasi pucuk
Pertumbuhan dan proliferasi pucuk aksiler (tunas cabang)
pada kultur pucuk biasanya dirangsang dengan mengintegrasikan
penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) sitokinin di dalam medium
kultur. Seringkali perlakuan ZPT efektif mengurangi bahkan
meniadakan dominansi meristem apikal sehingga pucuk aksiler
dapat dihasilkan dalam jumlah banyak. Pucuk seperti ini
digunakan sebagai eksplan bagi perbanyakan tanaman.
c. Meniadakan ujung pucuk
Pada tanaman tertentu, menghilangkan ujung pucuk
merupakan alternatif dalam memberi peran ZPT untuk mengurangi
dominansi meristem apikal. Pembuangan ujung pucuk sangat
efektif pada beberapa jenis Ros (Bressan et al., 1982) dan beberapa
kultuivar Apel (Yae et al., 1987). Pemangkasan ujung pucuk atau
“tipping” biasanya dilakukan ketika bahan tanaman akan
disubkulturkan, seperti pembuangan buku apikal pada subkultur
pertama meningkatkan jumlah cabang pada kultur pucuk Pistacia
(Barghchi, 1986). Macam pemangkasan pucuk yang efektif terjadi
bila pucuk digunakan sebagai pemangkasan mikro.
Standardi (1982) dan Shen dan Mullins (1984)
mendapatkan proliferasi pucuk terbaik varietas Kiwi dan Pear
melalui menanam kumpulan pucuk bagian bawah yang tertinggal
pada fase ini, ke medium baru untu proliferasi selanjutnya. Hanya
beberapa tanaman yang tidak memerlukan sitokinin maupun
efektif meniadakan dominansi apikal. Geneve et al. (1990)
melaporkan bahwa calon pucuk Gymnocladus dioicus
menghasilkan 1-5 pucuk, akan tetapi hanya satu yang tumbuh
hingga ketinggian yang memadai. Apabila pucuk ini dihilangkan,
pucuk lainnya akan tumbuh.
Kultur Jaringan Tanaman
64
Gambar 5.1. Kultur ujung pucuk (George et al., 2008).
d. Menanam eksplan secara horisontal
Pada tanaman Pear, membuang ujung pucuk menyebabkan
pertumbuhan pucuk aksiler dalam pengendalian, akan tetapi
jumlah pucuk yang terbentuk menjadi berkurang. Cara fisik yang
paling efektif untuk memeriksa dominansi apikal dicapai dengan
memangkas ujung dan atau menempatkan eksplan secara
horizontal di atas medium (Lane, 1979; MacKay dan Kitto, 1988).
Perlakuan akan efektif dengan banyak tanaman berkayu lainnya:
penem-patan potongan pucuk secara horizontal yang mengandung
2-3 buku menghasilkan pucuk aksiler yang lebih banyak pada
kultur Acer rubrum, Amelanchier spicata, Betula nigra, Forsythia
intermedia and Malus domestica, dibandingkan dengan eksplan
yang ditanam secara vertikal (McClelland dan Smith, 1990). Hasil
yang paling baik pernah dilaporkan pada tanaman Lilac
Kultur Jaringan Tanaman
65
(Hildebrandt dan Harney, 1983) dan beberapa kultivar Apel (Yae
et al., 1987).
e.Pertumbuhan pucuk
Sayangnya, tidak semua pucuk yang terbentuk selama
kultur berasal dari buku aksiler. Seringkali, pucuk adventif juga
terbentuk baik secara langsung dari pucuk yang dikulturkan atau
secara tidak langsung dari kalus pada bagian dasar massa pucuk
yang disubkulturkan. Sebagai contoh: Nasir dan Miles (1981)
mendapatkan bahwa subkultur batang bawah tanaman apel,
beberapa pucuk baru terbentuk pada bagian dasar kumpulan pucuk,
keduanya adalah pucuk adventif dan aksiler dihasilkan pada kultur
Hosta (Papachatzi et al., 1981); dan proliferasi pucuk dari
beberapa macam ujung pucuk tanaman kentang berasal dari kalus
organogenik (Roca et al., 1978). Asal muasal yang paling pasti
terjadinya pucuk hanya dapat ditentukan melalui uji anatomi yang
lebih teliti. Hussey (1983) menamakan bahwa kedua pucuk
adventif dan aksiler adalah ‘mixed cultures’. Pucuk adventif,
utamanya yang terbentuk secara langsung dari kalus biasanya tidak
diinginkan.
Pucuk yang berasal dari tunas aksiler biasanya identik
secara genetik dengan tetuanya, sedangkan kemungkinan bahwa
pucuk tersebut berasal dari kalus akan berbeda pada satu atau
beberapa sifat. Secara genetik, tanaman yang menyimpang akan
diperoleh pada frekuensi yang tinggi dari kalus yang baru
diinisiasi, akan tetapi bisa terjadi jumlah yang signifikan jika masa
pucuk yang menyatu pada bagian bawah kalus di angkat ke atas
untuk mendapatkan eksplan bagi subkultur. Penggunaan protokol
yang kaku, hanya menggunakan pucuk aksiler, dapat menimbulkan
masalah bagi beberapa tanaman lain dimana jumlah pucuk yang
terbentuk relatif sedikit atau lambat.
Kultur Jaringan Tanaman
66
Beberapa peneliti berhasil menggunakan batasan yang lebih
luwes dan dengan pro-porsi pucuk adventif yang dapat diterima
(sebagai contoh: Kalanchoe blossfeldiana - Schwaiger dan Horn,
1988). Konsekuensinya derajad variasi di antara anakan: bisa dan
tidak diterima oleh konsumen. Pembentukan kalus dan selanjutnya
berkembang menjadi pucuk adventif bisa selalu dikendalikan
melalui modifikasi ZPT di dalam medium kultur. Pemecahan
ujung meristem atau kulturnya pada cara tertentu dapat
menyebabkan terbentuknya pucuk adventiv yang dapat digunakan
dalam perbanyakan tanaman.
f. Metode
Eksplan utama
Pada kebanyakan tanaman herbaceous, eksplan dari ujung
pucuk dapat diperoleh dari buku ketiak dan utama tanaman utuh,
dan terdiri dari meristem batang utama dengan bentuk yang agak
bulat mengandung beberapa calon daun. Pada beberapa helai
primordia daun cabang yang telah berkembang sempurna terdapat
meristem buku aksiler. Pada beberapa spesies seperti Eucalyptus,
akan menguntungkan untuk memulai kultur pucuk dengan
potongan batang tanaman donor yang memiliki satu atau beberapa
buku (buku batang). Pucuk akan tumbuh dari buku, berikan
perlakuan setelahnya sebagaimana yang dipraktekkan pada kultur
ujung pucuk. Penggunaan eksplan dari buku tidak mengacaukan
dengan kultur buku dimana suatu metode perbanyakan pucuk
digunakan berbeda dengan kultur pucuk.
Ujung pucuk tanaman berkayu atau tanaman tahunan
lainnya akan sulit dihindarkan dari kontaminasi. Oleh karena itu,
Standardi dan Katalano (1985) memilih kultur pucuk tanaman
Actinidia chinensis dari ujung meristem yang sangat mudah
disterilisasi. Ujung pucuk tanaman tahunan berkayu lebih baik dari
pada tanaman herba untuk menghindari substansi fenolik yang
Kultur Jaringan Tanaman
67
tidak diinginkan saat dikulturkan di dalam medium tumbuh. Buku
yang dikulturkan dari bagian dewasa tanaman semak atau tanaman
berkayu dapat juga ditumbuhkan secara in vitro dan faktor-faktor
musim dapat menyebabkan dormansi alamiah sejumlah buku dari
beragam sumber sehingga kultur hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu selama setahun.
Eksplan ujung pucuk atau buku cabang biasanya lebih baik
untuk diinduksi untuk tumbuh yang diperoleh dari pucuk muda
sebagaimana pada bibit atau tanaman muda. Pucuk muda yang
kadang-kadang tumbuh pada buku bagian batang atau yang
terbentuk akibat pemangkasan batang tanaman perdu atau berkayu
merupakan sumber alternatif. Akan tetapi, melalui pengembangan
teknik yang baik memungkinkan untuk memperbanyak tanaman
hias berkayu tertentu, tanaman kehutanan, dan pohon buah-buahan,
menggunakan eksplan dari pucuk tanaman dewasa. De Fossard et
al. (1977) dapat menginisiasi Eucalyptus ficifolia dengan kultur
ujung pucuk dari pohon yang berumur 36 tahun. Akan tetapi
mendapatkan eksplan dari tanaman kehutanan akan menjadi sulit
untuk menghindarkan dari kontaminasi tanpa menutup atau
melindungi bagian pucuk tersebut untuk beberapa waktu sebelum
di pisahkan dari induknya (fase 0).
Eksplan Sekunder
Fase II subkultur yang diinisiasi dari pucuk aksiler
dipisahkan dari kumpulan pucuk utama. Penggunaan eksplan
sekunder dari pucuk utama (kumpulan) akan mempunyai pengaruh
pada penampilan subkultur selanjutnya. Proliferasi pucuk yang
sangat tinggi kadang-kadang diperoleh dari eksplan buku atau
melalui pemisahan massa dasar pucuk. Ujung pucuk merupakan
eksplan sekunder terbaik bagi tanaman Rosa ‘Fraser McClay’,
akan tetapi eksplan dari buku tanaman Cherry (‘F12/1’)
menghasilkan pucuk dua kali lebih banyak, dan massa bagian
bawah tiga kali lebih banyak dari pada ujung pucuk (Hutchinson,
Kultur Jaringan Tanaman
68
1985). Pada tanaman Sitka spruce, kultur apeks yang telah
disubkulturkan sebelumnya mampu memproliferasikan sejumlah
buku pada frekuensi yang tinggi dibanding dengan yang diperoleh
dari buku aksiler (John dan Murray, 1981). Sumber eksplan dapat
juga memberi pengaruh yang sangat kuat bagi pertumbuhan
selanjutnya ketika telah ditanam di lapangan. Hal tersebut
sebagaimana diilustrasikan oleh Marks dan Meyers (1994) pada
tanaman Daphne odorata.
Untuk memperkecil resiko perubahan genetik pada hasil
kultur, eksplan untuk subkultur dan pucuk yang akan dikulturkan
pada fase III, seharusnya dipilih dari pucuk baru yang berasal dari
buku aksiler. Disarankan untuk menentukan dosis kandungan ZPT
di dalam medium sehingga pucuk adventif tidak terbentuk,
meskipun jumlah pucuk yang terbentuk menjadi berkurang. Pada
beberapa contoh, kalus yang diperoleh dari dasar atau bagian
bawah eksplan dapat diorganisasikan sehingga mampu
menghasilkan tanaman yang stabil secara genetik. Kultur fase II
yang cirinya tanpa akar, pucuk perlu disisipkan dan diperlakukan
seperti miniatur penyetekan, dan ketika telah berakar akan menjadi
tanaman yang dikehendaki. Alternatifnya adalah merangsang
pemanjangan kumpulan pucuk dan tumbuhnya pucuk pada kondisi
ex vitro.
Media dan Zat Pengatur Tumbuh
Hal yang perlu diperhatikan dalam kultur pucuk bagi
kebanyakan tanaman budidaya adalah kebutuhan sitokinin
konsentrasi tinggi pada fase II untuk merangsang pertumbuhan
pucuk aksiler yang banyak. ZPT sitokinin biasanya sangat efektif
dalam meniadakan dominansi pucuk apikal. Penggunaannya dapat
dikombinasikan dengan memangkas pucuk aksilar, atau
menempatkan eksplan dalam posisi horizontal. Perlakuan dengan
sitokinin tidak hanya merangsang pembentukan kumpulan pucuk
Kultur Jaringan Tanaman
69
(pucuk aksiler dan atau pucuk adventif), akan tetapi juga (bila
penggunaan komponen yang tidak tepat atau pada konsentrasi yang
terlalu tinggi) menyebabkan terbentuknya pucuk yang terlalu
pendek untuk diakarkan dan ditransfer. Karena sifat sitokinin
seperti itu, atau karena ketidaktepatan cara kultur yang
diaplikasikan, beberapa tanaman tidak mampu menghasilkan
kumpulan pucuk pada fase II dan eksplan tetap pada status
dominansi apikal. Sebagai contoh, kultur pucuk tanaman
Gymnocladus dioicus, meskipun pembentukan beberapa pucuk
aksiler dengan kehadiran BA dan sitokinin, suatu pucuk akan
mendominasi pucuk lainnya (Geneve et al., 1990). Akan tetapi
banyak jenis tanaman lainnya sangat cocok dengan kultur buku.
g. Pemanjangan
Panjang pucuk aksiler yang dihasilkan dari kultur pucuk
agak beragam menurut jenis tanaman yang dikulturkan. Spesies
yang mengalami sistem pemanjangan pucuk secara in vivo akan
menghasilkan pucuk aksiler yang mudah dipisahkan seperti dalam
penyambungan mikro, dan secara individu dapat diakarkan. Pucuk
dominan apikal yang belum bercabang juga dapat diperlakukan
dengan cara yang sama. Pada kondisi ekstrim dimana tanaman
mempunyai pertumbuhan “rosette” yang cenderung menghasilkan
kumpulan pucuk dalam kultur. Bila diperbanyak secara mikro,
akan sulit untuk memisahkan individu pucuk untuk digunakan
sebagai eksplan sekunder. Secara praktis hanya bisa dilakukan
untuk memisahkan kumpulan pucuk menjadi pucuk-pucuk tunggal
dan ditanam kembali pucuk-pucuk tersebut. Kumpulan pucuk
seperti ini dapat diinduksi untuk membentuk akar ketika tanaman
berbentuk perdu diperlukan (sebagaimana banyak spesies yang
dijual dalam pot dengan daun yang menarik). Selain itu perlu
mengkhususkan pemanjangan pucuk sebelum diakarkan (fase IIIa).
Kultur pucuk yang diperlakukan seperti ini yang membentuk
Kultur Jaringan Tanaman
70
pucuk aksiler dikurangi, dan merangsang tumbuhnya pucuk.
Individu pucuk lebih mudah dikulturkan dan dapat diakarkan
melalui penyambungan mikro.
h. Pengakaran dan penanaman
Pada fase II, zat pengatur tumbuh sitokinin ditambahkan ke
dalam medium kultur pucuk untuk merangsang tumbuhnya pucuk
aksiler yang biasanya menghambat pertumbuhan akan. Pucukpucuk tunggal atau kumpulan pucuk harus segera dipindahkan
pada medium lain untuk pengakaran sebelum dipindahkan ke
lingkungan in vivo sebagai tanaman muda. Strategi alternatif bagi
beberapa tanaman lainnya adalah mengakarkan tanaman secara ex
vitro. Perlakuan yang diaplikasikan bisa bervariasi menurut tipe
pertumbuhannya, sifat proliferasi pucuk tanaman yang dihasilkan
selama kultur pada fase II, dan ukuran tanaman yang diinginkan
petani.
i. Aplikasi terbaru
Kultur pucuk secara konvensional menjadi metode paling
penting dalam mikropropagasi tanaman meskipun kultur buku juga
semakin penting. Teknik ini sangat luas dilakukan oleh banyak
laboratorium kultur jaringan komersial bagi perbanyakan
kebanyakan tanaman hias dab tanaman berkayu jenis herba. Akan
tetapi diperlukan sejumlah manipulasi untuk menghasilkan plantlet
agar tidak lebih mahal jika dibandingkan dengan metode lainnya.
Keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai adalah dengan
mengotomatiskan beberapa fase dalam proses ini ketika teknik ini
digunakan untuk memperbanyak secara masal dan dalam
penggunaan robot bagi pemisahan dan penanaman.
Kultur Jaringan Tanaman
71
5.2. Kultur Meristem
a. Proliferasi pucuk dari ujung meristem
Barlass dan Skene (1978; 1980a,b; 1982a,b) menunjukkan
bahwa pucuk dapat terbentuk secara adventif ketika ujung pucuk
tanaman grapevine atau jeruk dipotong-potong beberapa bagian
sebelum dikulturkan. Tideman dan Hawker (1982) juga berhasil
menggunakan potongan tanaman Asclepias rotundifolia tetapi
tidak berhasil pada tanaman Euphorbia peplus. Biasanya, struktur
seperti daun pertama-tama muncul dari satu potongan, kemudian
membesar dan membentuk pucuk dari bagian bawah yang
membengkak. Pucuk aksiler sering terbentuk dari pucuk adventif
yang pertama terbentuk. Kultur pucuk dipindahkan ke dalam
medium cair sambil digojog akan membentuk priliferasi massa
pucuk.
Meskipun memungkinkan untuk terjadinya proliferasi yang
sangat tinggi, pucuk daun biasanya akan menjadi hyperhydric.
Akan tetapi, beberapa spesies paling tidak pucuknya meng-alami
reduksi ukuran menjadi lebih kecil dari pada pucuk yang baru
berproliferasi (dengan menambahkan ZPT yang menghambat, Ziv
et al., 1994) yang kemudian memadai untuk perbanyakan dalam
massa yang sangat banyak. Beberapa teknik kultur lainnya yang
sama yang terdiri dari meristem pucuk pada dasar kalus kadangkadang dapat terbentuk eksplan ujung pucuk atau dari dasar kultur
pucuk.
Kultur Jaringan Tanaman
72
Gambar 5.2. Kultur buku tunggal dan ganda (George et al., 2008)
5.3. Kultur Buku Tunggal dan Ganda (Penyetekan In Vitro)
Kultur buku tunggal adalah teknik kultur in vito lainnya
yang dapat digunakan untuk perbanyakan beberapa spesies
tanaman yang berasal dari buku-buku aksiler. Seperti pada kultur
pucuk, eksplan utama bagi kultur buku tunggal adalah ujung
pucuk, suatu buku lateral atau potongan pucuk yang masih
memiliki satu atau beberapa buku (atau memiliki satu atau
beberapa buku). Bila potongan pucuk yang digunakan, akan
menguntungkan dalam menginisiasi kultur dengan eksplan yang
panjang (sampai 20 mm), tanpa diperlukan uji virus dan ujung
meristem yang kecil bisa digunakan. Pucuk tanpa cabang
ditumbuhkan pada fase I hingga mencapai panjang 5-10 cm dan
telah memiliki beberapa buku yang jelas dapat dipisahkan. Suatu
lingkungan yang dapat merangsang pertumbuhan memanjang
pucuk akan lebih menguntungkan. Pada fase II, selain menginduksi
pertumbuhan pucuk aksiler dengan ZPT (sebagaimana pada kultur
pucuk), satu dari dua metode manipulatif bisa digunakan untuk
Kultur Jaringan Tanaman
73
memecahkan masalah dominansi apikal sehingga merangsang
pecahnya buku lateral.
• Suatu pucuk lengkap dapat ditanam di atas medium pada posisi
baring. Metode ini digunakan pertama kali oleh Wang (1977)
untuk perbanyakan tanaman kentang, dan dia menye-butnya
sebagai “penyetekan in vitro”;
• Setiap pucuk dapat dipotong sepanjang satu atau beberapa
potongan buku yang disub-kulturkan. Biasanya, daun-daun
dipotong/dibuang sehingga setiap eksplan fase II memiliki
batang dengan satu atau beberapa buku lateral, dan
• Masing-masing pendekatan dapat digunakan untuk perbanyakan
pada fase II.
Sayangnya, penyetekan in vitro sering kali menghasilkan
beberapa pucuk aksiler dengan ukuran yang sama, dan dominansi
apikal biasanya menyebabkan pertumbuhan pucuk yang sangat
cepat dibandingkan dengan lainnya. El Hasan dan Debergh (1987)
menemukan bahwa, meskipun pada tanaman kentang, kultur pucuk
lebih baik. Kultur buku merupakan teknik kultur yang lebih
sederhana bagi propagasi in vitro, yang hanya memerlukan
pertumbuhan pucuk. Sementara itu, metode menumbuhkan akar
sama dengan yang diaplikasikan pada penyetekan mikro yang
diperoleh dari kultur pucuk, kecuali bahwa tidak diperlukan
pemanjangan pucuk sebelumnya. Ingat bahwa kultur buku berbeda
dengan kultur pucuk yang dimulai dari buku bibit atau tanaman
dewasa.
a. Media dan zat pengatur tumbuh
Media untuk kultur buku tunas secara intrinsik sama
dengan yang berlaku pada kultur pucuk. Seperti pada kultur pucuk,
pertumbuhan optimum dapat tergantung pada pemilihan medium
terutama yang berhubungan dengan spesies yang akan
diperbanyak, akan tetapi hasil yang sesuai biasanya dapat
Kultur Jaringan Tanaman
74
diperoleh dari formulasi yang telah diketahui dengan baik. Sering
kali tidak diperlukan untuk menambahkan ZPT ke dalam medium.
Sebagai contoh, pucuk beberapa tanaman (seperti Chrysanthemum
morifolium), mengalami peman-jangan dengan sangat baiknya
tanpa penambahan ZPT. Bila diperlukan ZPT pada fase I dan II
biasanya akan meliputi auksin dan sitokinin pada dosis yang sesuai
untuk mendukung aktivitas pertumbuhan pucuk yang baik, akan
tetapi tidak terjadi proliferasi jaringan atau pertumbuhan buku
lateral. Kadang-kadang, asam giberelik menguntungkan jika
ditambahkan ke dalam medium untuk memperpanjang pucuk
sehingga akan memudahkan pemisahan buku tunggal.
b. Aplikasi terbaru
Kultur buku sangat berguna bagi spesies yang
menghasilkan pucuk panjang di dalam kultur (seperti kentang dan
Alstroemeria), khususnya jika sulit mematahan buku lateral dengan
ketersediaan sitokinin. Saat ini teknik kultur buku menjadi sangat
terkenal dalam perbanyakan secara komersil. Alasan utamanya
adalah karena teknik sangat menjamin stabilitas klon. Namun
demikian, meskipun jumlah tanaman yang dihasilkan biasanya
lebih rendah dari kultur pucuk, tidak terdapat asosiasi antara
perkembangan kalus dengan pemben-tukan pucuk adventif
sehingga subkultur fase II akan membawa resiko yang paling kecil
mengenai irregularitas genetik terinduksi. Berdasarkan alasan
tersebut, kultur buku sangat direkomendasikan bagi banyak
peneliti sebagai metode perbanyakan mikro paling tidak untuk
menghindari induksi variasi somaklon.
5.4. Kultur Biji Bagi Pembentukan Pucuk Ganda
Selama tahun 1980-an telah ditemukan bahwa
memungkinkan untuk menginisiasi pucuk ganda secara langsung
dari biji. Biji disucihamakan kemudian dikulturkan ke dalam
Kultur Jaringan Tanaman
75
medium dasar yang mengandung sitokinin. Ketika benih
berkecambah, kumpulan tumbuh pucuk aksiler atau pucuk adventif
(pucuk ganda), dapat dipisahkan dan secara bertahap
disubkulturkan di dalam medium yang sama. Multiplikasi pucuk
yang banyak akan memungkinkan. Sebagai contoh, Hisajima
(1982a) memperkirakan bahwa secara teoritis, 10 juta pucuk
Almond dapat dihasilkan dari satu biji selama satu tahun.
Nampaknya, pucuk ganda dapat diinisiasi dari biji beragam spesies
utamanya dari kelompok dikotil. Teknik ini juga efektif bagi
spesies tanaman herba dan berkayu seperti: kedelai (Cheng et al.,
1980; Hisajima, 1981; Hisajima dan Church, 1981), bit gula
(Powling dan Hussey, 1981), Almond (Hisajima, 1981; 1982a,b,c),
Walnut (Rodriguez, 1982), Pumpkin dan melon (Hisajima, 1981),
Cucumber dan Pumpkin (Hisajima, 1981; 1982c), Pea, kacang
tanah, kacang hijau, Radish, jagung dan padi (Hisajima, 1982c).
Teknik ini tidak saja respon jika menggunakan biji unggul atau
untuk mencapai informasi awal mengenai respon spesies tanaman
pada kondisi in vitro.
5.5. Kultur Embrio
a. Proliferasi embrio
Embrio asesori pada embrio zigotis
Kadang-kadang embrio somatis baru terbentuk secara
langsung pada embrio zigotis yang dikulturkan secara in vitro.
Embrio adventif seperti ini telah dilaporkan pada: Cuscuta reflexa
(Maheshwari dan Baldev, 1961); barley (Norstog, 1970); Ilex
aquifolium (Hu dan Sussex, 1972; Hu, 1977; Hu et al., 1978);
Thuja orientalis (Konar dan Oberoi, 1965); Trifolium repens
(Maheswaran dan Williams, 1985); Zamia integrifolia (Norstog,
1965b; Norstog dan Rhamstine, 1967); Theobroma cacao (Pence
et al., 1980a,b); Linum usitatissimum (Pretova dan Williams,
Kultur Jaringan Tanaman
76
1986); Vitis vinifera (Stamp dan Meredith (1988). Apabila
embriogenesis langsung terjadi pada awal pembentukan jaringan
embrionis, embrio baru yang terbentuk kadang-kadang dinamakan
sebagai embrio sekunder langsung atau embrio asesori.
Embrio asesori pada embrio somatis
Induksi embriogenesis somatis secara in vitro dimulai
melalui proses berulang yang sangat cepat, tanpa suatu
pengendalian yang hanya terjadi secara alamiah selama
pembentukan embrio zigotis. Hasilnya sering berkembangan
embrio tambahan yang kecil pada embrio somatis yang terbentuk
secara langsung pada eksplan, atau secara tidak langsung pada
kultur kalus atau kultur suspensi sel. Embrio asesori dapat
terbentuk sepanjang semua sudut embrio mula-mula, atau tumbuh
dengan baik pada sisi tertentu seperti pada daerah hipokotil atau
pada skutelum embrioid tanaman monokotil. Pada tanaman
Walnut, embrio asesori berkembang dari sel tunggal epidermis
embrio somatis (McGranahan et al., 1988).
Kadang-kadang istilah poliembrioni digunakan untuk
menjelaskan pembentukan asesori, atau embrio sekunder
(Radojevic, 1988). Prosesnya juga dinamakan sebagai
embriogenesis berulang (Tulecke dan McGranahan, 1985) atau
embriogenesis somatis rekaren (Lupotto, 1986). Embrio tambahan
seperti ini mampu berkembang bersama semua jenis embriogenesis
in vitro. Sebagai contoh, pembentukan embrio somatis telah
tercatat pada:
• Kultur antera pada tanaman Atropa belladonna (Rashid dan
Street, 1973); Brassica napus (Thomas et al., 1976); Carica
papaya (Tsay dan Su, 1985); Citrus aurantifolia (Chaturvedi
dan Sharma, 1985); Datura innoxia (Geier dan Kohlenbach,
1973); Vitis hybrids (Rajasekaran dan Mullins, 1979);
Kultur Jaringan Tanaman
77
• Kultur suspensi sel pada tanaman: Daucus carota (Ammirato
dan Steward, 1971; McWilliam et al., 1974); Ranunculus
scleratus (Konar dan Nataraja, 1965b; Konar et al., 1972a), dan
• Kultur kalus pada tanaman: Aesculus hippocastanum
(Radojevic, 1988); alfalfa (bila individu embrioid dipindahkan
ke dalam medium baru, Saunders and Bingham, 1972); Carrot
(Petrù, 1970); Citrus (Button dan Kochba, 1977); Parsley (Vasil
dan Hildebrandt, 1966b); Pennisetum purpureum (Wang dan
Vasil, 1982); Ranunculus sceleratus (Konar dan Nataraja,
1965a,b), dan Theobroma cacao (Li et al., 1998).
Protocorm terbentuk secara langsung pada eksplan yang
ditanam dari ujung pucuk atau potongan daun tanaman anggrek,
kadang-kadang menghasilkan protocorm anak adventif lainnya
selama kultur dimana penampilannya mirip dengan pembentukan
embrio somatis. Embrio somatis yang terbentuk pernah dilaporkan
pada kalus tanaman kelapa sawit dalam bentuk tubuh seperti
protocorm, yang dihasilkan secara berulang-ulang ketika subkultur
dilanjutkan (Paranjothy dan Rohani, 1982).
b. Penggunaan praktis untuk perbanyakan tanaman
Dari aspek kuantitatif, embriogenesis tidak langsung
merupakan metode yang efisien bagi propagasi mikro, hal yang
sama adalah benar bahwa embriogenesis secara langsung bila tidak
bersama dengan proliferasi jaringan embriogenik. Meskipun
tanaman dapat diregenerasikan dari embrio secara langsung
melalui inisiasi secara in vitro, dan akan menyebabkan
ketidaklayakan dan keterbatasan jumlah tanaman yang dihasilkan
melalui program pemuliaan, jumlah embrio utama setiap eksplan
yang digunakan biasanya akan kurang memenuhi bagi
perbanyakan secara massal pada skala besar. Untuk meningkatkan
jumlah embrio somatik yang terbentuk secara langsung pada
embrio zigotis muda tanaman bunga matahari, Freyssinet dan
Kultur Jaringan Tanaman
78
Freyssinet (1988) membagi sama menjadi empat bagian embrio
zigotis yang berukuran besar.
Embrio tambahan biasanya tidak diharapkan, seringkali
menyatu dengan embrio lain menjadi kembar dan berukuran besar
atau sebagai kelompok besar embrio sehingga menghasilkan
pertumbuhan bibit yang tidak normal yang memiliki banyak
pucuk. Kehadiran embrio asesori juga akan mengganggu
pertumbuhan embrio somatik utama. Pertumbuhannya menjadi
tidak sinkron dan tidak menghasilkan pertumbuhan bibit yang
normal kecuali embrio adventif tersebut dibuang. Akan tetapi
disarankan bahwa embrio asesori dapat digunakan untuk propagasi
mikro bagi beberapa spesies tertentu. Mungkin metode propagasi
mikro ini yang akan dikembangkan di masa datang. Contoh-contoh
keberhasilan penggunaan metode ini seperti pada tanaman:
Helianthus annuus (Plissier et al.. 1990), Juglans regia
(McGranahan et al.1988b), dan Medicago sativa (Lupotto 1986).
Embriogenesis sebagaimana telah saya uraikan sebelumnya
mempunyai potensi yang sangat besar bagi perbanyakan massal
tanaman, akan tetapi semua teknik adventif masih memiliki
masalah yang berasosiasi dengan rendahnya stabilitas klon. Oleh
karena itu, aplikasi secara komersial teknik ini masih terbatas
karena embrio terbentuk secara langsung dari jaringan tetua atau
dari eksplan yang digunakan.
Kultur Jaringan Tanaman
79
Gambar 5.3. Kultur ovule dan embrio (George et al., 2008).
Kultur Jaringan Tanaman
80
Bab 6
Kultur Sel yang Belum Terorganisasikan
atau Kultur Jaringan
Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan ini
bahwa yang dimaksud dengan jaringan adalah kumpulan sel-sel
yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk
suatu kesatuan hubungan dalam salah satu bagian dari tubuh
tanaman, maka jaringan dalam kultur in vitro merupakan bahagian
potensial dari tubuh tanaman yang dapat dikembangkan untuk
memperoleh tanaman baru. Tanaman baru dan lengkap yang
dimaksudkan disini adalah tanaman lengkap yang memiliki
informasi genetik lengkap seperti pada sel asalnya.
Bentuk-bentuk jaringan sebagai sumber kultur dapat
diperoleh dari jaringan daun, batang, dan akar tanaman. Jaringanjaringan ini tentunya jaringan yang mengandung sel-sel yang aktif
membelah, kemudian dipisahkan dari bahagian lainnya (diisolasi)
dalam ukuran tertentu. Ukuran jaringan yang digunakan biasanya
terdiri dari hanya beberapa micrometer hingga beberapa milimeter.
Potongan jaringan yang digunakan dalam kultur in vitro disebut
eksplan (explant).
Eksplan calon kultur di atas kemudian ditanam dalam
medium buatan yang aseptik untuk beberapa waktu lamanya
hingga menghasilkan kalus. Kalus yang terbentuk, kemudian
dipisahkan dari eksplan sebegai inokulum untuk dikulturkan pada
medium yang berbeda dengan yang digunakan untuk inisiasi kalus.
Biasanya, kalus yang ditanam tadi hanya akan menumbuhkan salah
satu macam organ tanaman, mungkin akar atau mungkin pucuk.
Oleh karena itu untuk melengkapi organ yang terbentuk dari kalus
Kultur Jaringan Tanaman
81
tadi perlu dipindahkan lagi pada medium baru lainnya hingga
terbentuk tanaman lengkap.
Komposisi medium terdiri dari hara makro, hara mikro,
vitamin, dan hormon tumbuh tanaman. Berapa besar kebutuhan
unsur-unsur di atas tergantung dari jenis tanaman dan bahkan
bahagian tanaman dimana jaringan tersebut diisolasi. Saat ini telah
banyak jenis medium yang diciptakan oleh para ahli, mulai yang
masih bersifat umum (medium dasar) maupun yang bersifat khusus
(modifikasi dari medium dasar) dengan menambahkan beberapa
unsur spesifik. Unsur spesifik ini bisa dalam bentuk organik seperti
ekstrak atau hasil sampingan tanaman (air kelapa) dan sebagainya,
bisa juga dalam bentuk anorganik.
Dalam kaitan dengan pemuliaan tanaman, maka dari hasil
kultur in vitro ini diharapkan diperoleh mutan-mutan yang
bermanfaat untuk bahan seleksi selanjutnya. Munculnya mutanmutan ini dapat disebabkan oleh lingkungannya selama kultur
berlangsung, atau mungkin juga mutan itu telah ada pada jaringan
sebelum diisolasi dan dikulturkan. Oleh karena itu seleksi sebagai
salah satu kekuatan dalam pemuliaan tanaman dapat diterapkan,
baik seleksi dalam bentuk pengidentifikasian dan pengisolasian
mutan maupun dalam bentuk pengujian sifat atau sifat-sifat
tertentu melalui manipulasi medium inisiasi kalus dan medium
organogenesis.
Sebagai tahap terakhir dari kegiatan kultur jaringan adalah
penumbuhan tanaman secara autotroph. Petumbuhan tanaman
secara autotroph diartikan sebagai tanaman yang mampu
menggunakan CO2 sebagai sumber utama karbon dan
mengasimilasikannya dalam fotosintesis. Sebagaimana diketahui
bahwa perkembangan eksplan menjadi kalus kemudian menjadi
tanaman lengkap dalam medium tumbuh buatan yang aseptik
adalah mengikuti pola pertumbuhan secara heterotroph. Artinya,
tanaman yang tumbuh memerlukan satu atau beberapa senyawa
Kultur Jaringan Tanaman
82
karbon organik yang disuplai dari sintesis sebelumnya.
Perpindahan dari pola heterotroph ke autotroph ini perlu beberapa
penyesuaian, baik terhadap lingkungan perakaran di dalam tanah
maupun lingkungan pertumbuhan di atas tanah. Fase ini dikenal
dengan fase aklimatisasi atau fase adaptasi. Fase adaptasi ini
sangat penting karena pertumbuhan tanaman selanjutnya akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan melewati batas-batas kritis
perpindahan dari heterotroph ke autotroph.
Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah
penting yang menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro.
Kalus merupakan massa sel yang tidak terorganisasikan, pada
mulanya sebagai respon terhadap pelukaan (wounding).
Pembe1ahan selnya menjadi tidak terkendali, sel-selnya
mengalami proliferasi yaitu membelah terus rnenerus dengan
sangat cepat. Hal ini dimungkinkan karena sel-sel tumbuhan yang
secara alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan menjadi
heterotrof oleh adanya nutrisi yang cukup komplek dan zat
pengatur tumbuh di dalam medium kultur. Selain dari luka bekas
irisan, kalus juga dapat berasal dari pembelahan sel-sel kambium
yang terus membelah dan berproliferasi.
Proliferasi sel-sel akan terjadi lebih baik jika eksplan yang
digunakan berasal dari jaringan yang masih muda. Sel-sel kalus
secara fisiologis dan biokimia sangat berbeda dengan sel-sel
eksplannya yang sudah terdiferensiasi. Sel-sel pada kalus bersifat
meristematik dan merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi.
Dediferensiasi merupakan reversi dari selsel hidup yang telah
terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi, atau dengan kata lain
menjadi meristematik kembali. Dediferensiasi merupakan langkah
awal bagi perbanyakan vegetatip dengan teknik kultur in vitro
karena merupakan dasar terjadinya primordia tunas dan akar.
Kalus dapat diperbanyak secara tidak terbatas dengan cara
memindahkan sebagian tecil kalus ke dalam medium baru (sub
Kultur Jaringan Tanaman
83
kultur). Kalus dengan sel-selnya yang bersifat meris-tematik, dapat
didispersikan di dalam medium cair sehingga dapat diperoleh
kultur suspensi sel.
6.1. Kultur Kalus
Teknik kultur jaringan dimulai dengan mengisolasi bagianbagian tanaman (sel, jaringan, organ), kemudian menumbuhkannya
secara aseptis di atas atau di dalam suatu medium budidaya
sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak
diri, dalam 1-2 bulan, tergantung dari jenis tumbuhannya, akan
terbentuk kalus. Kalus biasanya terjadi pada eksplan di tempat
irisan, karena jaringan kalus ini merupakan jaringan yang
bertujuan menutup luka. Pembelahan sel-sel pada kalus dipacu
oleh hormon endogen dan eksogen auksin dan sitokinin yang
ditambahkan pada medium kultur.
Kalus juga dapat timbul karena adanya infeksi dari
mikroorganisme tertentu seperti Agrobacterium tumefaciens,
gigitan serangga dan nematoda. Kalus yang diakibatkan oleh
infeksi Agrobacterium disebut tumor (crown gall). Pembentukan
kalus tergantung dari jenis tumbuhan, asal eksplan, umur fisiologi
dari tanaman donor dan komposisi medium kultur. Pada
kenyataannya sulit untuk memperoleh kalus dari hasil kultur
jaringan yang eksplannya diambil dari sembarang bagian jaringan
tumbuhan. Kultur kalus bertujuan untuk mendapatkan kalus dari
eksplan yang ditumbuhkan di atas medium kultur secara terus
menerus.
Kalus telah berhasil diinduksi dari bermacam-macam
eksplan. Hal yang perlu mendapat perhatian pada pemilihan
eksplan adalah, harus mengandung sel-sel yang aktif membelah.
Semua bagian tanaman yang masih muda (kecambah) sangat
responsif untuk induksi kalus. Bagian-bagian tanaman seperti
embrio muda, hipokotil, kotiledon, koleoptil, umbi akar wortel
Kultur Jaringan Tanaman
84
yang mengandung kambium dan batang muda merupakan bagian
yang mudah untuk dediferensiasi menghasilkan kalus.
Eksplan terbaik untuk induksi kalus adalah jaringan dari
bagian-bagian semai (seedling) yang dikecambahkan secara in
vitro. Jaringan yang mengandung parenkim tidak hijau, seperti
parenkim empulur, mempunyai respon yang lebih baik
dibandingkan dengan sel-sel daun yang mengandung kloroplas.
Ukuran eksplan juga penting untuk diperhatikan, idealnya ukuran
eksplan yang dikehendaki adalah yang kecil tetapi tetap
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membelah, hal ini
dimaksudkan agar diperoleh sel-sel yang relatif homogen.
Inisiasi pembentukan kalus dimulai dari hasil pembelahan
sel yang terus menerus pada jaringan induk yang tidak perlu harus
berhubungan langsung dengan medium kultur, pertumbuhan yang
tercepat terjadi di daerah perifer. Hal ini disebabkan karena pada
daerah tersebut ketersediaan hara dan oksigen lebih baik.
Pertumbuhan kalus merupakan hasil interaksi yang sangat komplek
antara eksplan, komposisi medium dan kondisi lingkungan selama
periode inkubasi. Sel-sel memperlihatkan peningkatan aktivitas
sitoplasmik yang ditandai dengan meningkatnya respirasi, dan
jaringan kembali ke keadaan meristematik (dediferensiasi).
Selama pertumbuhannya, kalus dapat mengalami
1ignifikasi yang cukup kuat hingga menyebabkan kalus bertekstur
keras dan kompak, ada juga yang friabel dan lunak sehingga
mudah terpecah-pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kalus
dapat berwarna kekuningan, putih, hijau atau terpigmentasi oleh
antosianin. Pigmentasi dapat seragam pada keseluruhan kalus atau
sebagian daerah tidak terpigmentasi. Sel-sel pembentuk antosianin
dan non-antosianin telah berhasil diisolasi dari kalus wortel.
Induksi kalus dan pertumbuhan kalus yang terus
berlangsung (dengan melakukan subkultur), memerlukan gula dan
garam-garam mineral pada medium. Selain itu, juga memerlukan
Kultur Jaringan Tanaman
85
zat pengatur tumbuh: (1) auksin (pada kebanyakan monokotil), (2)
sitokinin (misalnya, pada gymnospermae), (3) auksin dan sitokinin
(pada kebanyakan dikotil dan beberapa spesies monokotil), dan (4)
tidak memerlukan zat pengatur tumbuh (misalnya tumor, jaringan
yang mengalami habituasi penuh). Zat pengatur tumbuh yang
umum dan efektif digunakan untuk induksi kalus (dediferensiasi)
adalah 2,4-D, dicamba, atau picloram.
Kalus dari eksplan yang berasal dari satu macam tipe sel
akan mengandung sel-sel yang seragam pula, misalnya sel-sel
parenkim floem dari wortel. Eksplan batang, akar dan daun sel-sel
penyusunnya sangat heterogen, kalus yang terbentuk dari eksplan
tersebut sel-selnya juga sangat heterogen dan terdiri dari
bermacam-macam tipe sel. Misalnya, sel-sel meristematik (di
tengah), sel-sel yang parenchymatous, sel-sel yang mengandung
vakuola, sel-sel raksasa, sel-sel seperti tracheid dsb, heterogenitas
ini mencerminkan asal dari eksplannya.
Sel-sel yang heterogen dari jaringan kompleks
menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah
komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifat
khusus. Medium seleksi dapat didasarkan pada berbagai unsur hara
atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium.
Selain dari eksplannya, sel-sel yang heterogen pada kalus juga
dapat disebabkan karena masa kultur yang terlalu lama melalui
serangkaian subkultur yang berulang-ulang. Masa kultur yang
terlalu lama menyebabkan adanya per-ubahan terhadap kebutuhan
zat pengatur tumbuh eksogen. Ketidaktergantungan sel-sel untuk
terus membelah tanpa adanya zat pengatur tumbuh eksogen disebut
habituasi. Sel-sel dapat mengalami habituasi terhadap auksin
maupun sitokinin.
Masa kultur yang terlalu lama juga dapat menyebabkan
adanya heterogenitas karyologis, yang dicerminkan dengan adanya
perubahan dari siklus sel dan ketidakteraturan pembelahan mitosis
Kultur Jaringan Tanaman
86
selama masa kultur. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat
berupa: (1) poliploidi meningkat secara progresif sejalan dengan
lamanya kultur kalus, zat pengatur tumbuh 2,4-D dapat
meningkatkan frekuensi poliploidi, (2) aneuploidi yang kerapkali
berkaitan dengan fragmentasi inti dan abnormalitas dari mitotic
spindle, (3) perubahan struk-tural pada kromosom, misalnya
disentrik, fragmen akrosentrik, ring kromosom, (4) transpo-sisi
urutan DNA, (5) amplifikasi gen, jumlah gen untuk sifat tertentu
per genom haploid bertambah, dan (6) delesi, yaitu hilangnya suatu
gen.
Adanya perubahan-perubahan karyologis ini menyulitkan
aplikasi kultur kalus untuk mikropropagasi dan produksi metabolit
sekunder, tetapi dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan in vitro
karena dapat menambah keragaman genetik. Setelah periode waktu
tertentu, biasanya 2 minggu sampai 3 bulan, pertumbuhan kalus
akan menurun, kalus akan menunjukkan gejala-gejala penuaan
seperti nekrosis atau menjadi coklat dan akhirnya mengering. Hal
tersebut sebagai akibat dari beberapa faktor berikut: (1) kandungan
nutrisi media menyusut, (2) penguapan (evaporasi) yang
mengakibatkan agar-agar semakin mengeras sehingga menghambat difusi nutrien dan meningkatnya konsentasi dari beberapa
komponen medium, (3) sel-sel pada kalus juga mengeluarkan
persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang menghambat
karena terakumulasinya sejumlah senyawa toksik pada medium di
sekitar eksplan, dan (4) sel-sel yang terdapat di tengah-tengah
massa sel mengalami kekurangan oksigen.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, kalus harus
disubkultur pada medium baru, tergantung dari tujuannya medium
baru yang digunakan untuk subkultur dapat sama atau berbeda
dengan medium semula. Secara umum dapat dikatakan, tujuan
dilakukannya subkultur adalah untuk menjaga kehidupan dengan
mempertahankan laju pertumbuhan sel tetap konstan sehingga
Kultur Jaringan Tanaman
87
dapat diperoleh kalus dengan sel-sel yang homogen, untuk
memperbanyak kalus dan untuk diferensiasi kalus.
Untuk tujuan diferensiasi, biasanya digunakan medium
yang mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh dari auksin dan
sitokinin yang berbeda. Pembentukan organ umumnya
membutuhkan zat pengatur tumbuh yang lebih tinggi dari pada
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kalus.
Hal yang perlu diperhatikan pada subkultur adalah massa
sel yang akan dipindah harus cukup banyak. Hal ini dapat
dilakukan dengan membiarkan kalus tumbuh hingga mencapai
diameter 2-3 cm sebelum dipisahkan dari eksplan dan membaginya
menjadi 4-8 inokula untuk disubkulturkan pada medium baru. Bila
kalus menunjukkan rupa yang heterogen, yang harus dipilih
sebagai inokulum adalah kalus yang menunjukkan pertum-buhan
tercepat, biasanya yang berwarna agak pucat dan lunak.
Doods dan Roberts (1982) menganjurkan inokulum yang
mempunyai diameter 5-10 mm dengan berat sekitar 20-100 mg.
Subkultur yang berhasil biasanya dilakukan setiap 28 hari, namun
waktu yang tepat tergantung pada kecepatan pertumbuhan kalus.
Pertumbuhan kalus diukur dengan menghitung berat basah dan
berat kering kalus pada periode waktu tertentu. Laju pertumbuhan
kalus, seperti halnya pada kebanyakan organisme sel tunggal,
membentuk kurva sigmoid (Gambar 6.1).
Kultur Jaringan Tanaman
88
Gambar 6.1. Kurva pertumbuhan kalus (Dodds dan
Roberts, 1982)
Proses diferensiasi in situ adalah reversible, hal ini
ditunjukkan pada kultur in vitro. Eksplan yang berupa sel, jaringan
dan organ tanaman pada hakekatnya telah mengalami proses
diferensiasi. Dengan menanam bagian-bagian tanaman tersebut di
atas medium kultur secara aseptis, terjadilah proses dediferensiasi,
yaitu terbentuknya sel-sel parenkimatis yang tidak terdiferensiasi
(kalus). Se1-sel tanaman menunjukkan kemampuan yang luar
biasa untuk meregenerasikan dirinya menjadi tanaman utuh dari
sel-sel yang tidak terdiferensiasi tersebut, prosesnya disebut
rediferensiasi. Keadaan menjadi berdiferensiasi kembali untuk
membentuk akar, tunas dan embrioid yang kemudian membentuk
plantlet.
Kultur Jaringan Tanaman
89
Pembentukan struktur yang terorganisasikan pada kalus
dimulai dengan pembentukan kelompok-kelompok sel yang rapat
(meristemoid) dari sel-sel meristematik yang dicirikan dengan
ukuran kecil, penuh plasma dan inti menyolok. Meristemoid
diharapkan mampu membentuk primordia tunas maupun akar.
Prosedur untuk mempelajari teknik dasar induksi kalus
dicontohkan pada umbi akar wortel, tahapannya adalah sebagai
berikut.
Bahan dan alat:
a. Umbi akar wortel yang segar dan sehat;
b. Medium MS padat dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D 1 mg.L-1,
lihat cara pembuatan medium pada uraian sebelumnya;
c. Petridish steril dengan kertas saring;
d. Alkohol 70%;
e. Akuades steril;
f. Detergent;
g. Clorox, Sunclin;
h. Sikat gigi;
i. Skalpel, pisau, pinset;
j. Erlenmeyer 250 ml, beker glass 250 ml;
k. Sprayer;
Cara kerja:
a. Persiapan eksplan
Umbi akar wortel dicuci bersih dengan cara disikat
permukaannya dengan menggunakan sikat gigi dan detergent.
Umbi kemudian dipotong melintang pada bagian tengah setebal
kira-kira 1 cm. Masukkan segera 5-8 potong umbi ke dalam beker
glass, kemudian segera dibawa ke dalam Laminar air flow cabinet.
Kultur Jaringan Tanaman
90
b. Sterilisasi eksplan
 Bersihkan permukaan meja kerja dengan menyemprotkan
alkohol 70% dan melapnya dengan kertas tissue. Sterilisasi
eksplan dilakukan dengan Clorox 10%. Masukkan potonganpotongan umbi ke dalam beker glass steril, tuangkan 100 ml
clorox ke dalam beker glass yang berisi potongan eksplan,
biarkan kira-kira 10 menit, sesekali beker glass digoyanggoyang.
 Dengan pipet steril, pindahkan potongan-potongan eksplan dari
larutan clorox ke dalam beker glass kosong yang steril. Bilaslah
eksplan dengan akuades steril dua kali masing-masing selama
10 menit.
c. Pemotongan eksplan
 Pindahkan potongan umbi ke dalam petridish yang berisi kertas
saring steril, dengan menggunakan skalpel yang tajam,
potongan umbi ditipiskan ukurannya menjadi setebal kira-kira
0,5 cm.
 Buatlah potongan umbi menjadi kubus dengan ukuran kira-kira
0,5 x 0,5 cm.
d. Penanaman dan inkubasi
• Dengan pinset steril, masukkan 3 potong eksplan untuk tiap
botol kultur yang berisi medium MS + 2,4-D 1 mg.L-1.
• Botol kultur yang telah berisi eksplan segera ditutup, beri label
yang menunjukkan: jenis tanaman, medium yang digunakan
dan tanggal penanaman.
• Bawa segera ke ruang inkubator, inkubasi dilakukan pada suhu
25°C di tempat terang.
Kultur Jaringan Tanaman
91
e. Pengamatan
• Amati awal terbentuknya kalus, dari bagian mana kalus
terbentuk
• Lakukan subkultur pada minggu ke-3
• Amati tekstur, struktur dan warna kalus.
• Ukurlah berat basah dan berat kering kalus
Gambar 6.2. Gambar skematis induksi kalus umbi akar wortel
6.2. Kultur Suspensi Sel
Kalus mengandung sel-sel yang lebih homogen
dibandingkan dengan sel-sel yang terdapat pada eksplan. Namun
demikian, sel-sel pada kalus tidaklah seragam, kalus yang
mengandung sel-sel yang tidak homogen mempunyai sel dengan
Kultur Jaringan Tanaman
92
perkembangan yang berbeda-beda (asynchronous). Hal ini
disebabkan karena kalus dikulturkan pada medium padat, sehingga
hanya bagian dasar dari kalus saja yang kontak dengan medium
kultur, akses terhadap nutrien menjadi berbeda. Sinkronisasi dapat
dilakukan dengan mengkulturkan kalus yang friabel ke dalam
medium cair yang diinkubasi dengan penggojokan, setelah dua
atau tiga minggu akan terbentuk suspensi sel yang tumbuh aktif.
Kultur suspensi sel merupakan suatu sistem yang ideal
untuk mempelajari metabolisme sel, pengaruh berbagai
persenyawaan pada sel dan mempelajari diferensiasi sel. Dari segi
praktis, kultur suspensi sel dapat digunakan sebagai sumber
protoplas untuk difusikan atau manipulasi genetik, untuk membuat
single cell clone, untuk produksi embrio somatik, sel-sel pada
kultur suspensi sel juga dapat diperlakukan sebagai pabrik untuk
memproduksi metabolit sekunder.
Kalus yang friabel dan lunak jika ditransfer ke dalam
medium cair dan diinkubasi dengan penggojokan, setelah dua atau
tiga minggu, sel-sel akan terpisah dari kalus dan mulai membelah,
terdispersi di dalam medium cair membentuk suspensi se1 yang
aktif tumbuh. Populasi sel-sel di dalam kultur suspensi sel terdiri
dari sel-sel tunggal yang bentuknya bermacam-macam, agregatagregat (kumpulan) sel yang seragam ukurannya, bagian eksplan
(inokulum) yang tersisa dan sel-sel mati, yang kesemuanya
terdispersi di dalam medium cair. Medium cair yang digunakan
komposisinya sama dengan medium untuk induksi kalus, hanya
pada kultur suspensi sel tidak menggunakan agar. Keuntungan dari
digunakannya medium cair yang diinkubasikan dengan
penggojokan pada kultur suspensi sel adalah:
a. tidak terjadi gradien terhadap nutrisi dan gas
b. semua permukaan sel dapat kontak dengan medium
c. aerasi yang lebih baik
d. tidak terjadi akumulasi senyawa-senyawa toksik
Kultur Jaringan Tanaman
93
Kesemuanya membuat pertumbuhan sel pada kultur
suspensi sel menjadi sangat cepat. Derajat dispersi sel-sel di dalam
medium cair sangat dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh.
Penggunaan auksin dengan konsentrasi tinggi (sampai 10 mM)
bersama dengan sitokinin dengan konsentrasi yang lebih rendah
(0,1-5 mM) dapat meningkatkan dispersi sel. Inisiasi dari kultur
suspensi sel memerlukan kalus sebagai inokulum yang jumlahnya
relatif cukup banyak, yaitu sekitar 2-3 gram untuk 100 ml medium.
Kalus sebanyak itu dapat menghasilkan suspensi sel dengan
densitas awal sekitar 0,5-2,5 x 105 per ml medium.
Kultur suspensi sel akan tumbuh dengan sangat cepat,
untuk itu harus dilakukan sub-kultur dengan cara mengendapkan
sel-sel pada dasar botol kultur, kemudian dengan hati-hati medium
yang ada di atasnya dituang. Endapan sel-sel kemudian dibagi
menjadi dua bagian, masing-masing digunakan sebagai inokulum
dengan memasukkan ke dalam medium baru yang komposisi dan
volumenya sama dengan medium lama. Biasanya subkultur
dilakukan secara teratur setiap satu atau dua minggu sekali, yaitu
ketika sel berada pada awal fase stationary. Dasar yang digunakan
untuk subkultur ini adalah untuk mempertahankan kultur tetap
pada fase pertumbuhan logaritmik.
Ada sejumlah metoda yang digunakan untuk mengukur laju
pertumbuhan sel pada kultur suspensi sel, yaitu dengan
menghitung:
a. jumlah sel termampat (Packed Cell Volume, PCV)
b. jumlah sel
c. berat basah dan berat kering
d. total protein
Selain itu, viabilitas sel ditentukan dengan pengecatan
FDA, Evan's blue, tetrazolium salt, dan sebagainya. Viabilitas sel
menentukan kemampuan sel-sel untuk membelah. Pada semua
metoda pengukuran tersebut di atas, cuplikan dari kultur dilakukan
Kultur Jaringan Tanaman
94
pada interval waktu tertentu. Hasil pengukuran yang diplotkan
dengan waktu sampling tersebut akan menghasilkan kurva
pertumbuhan yang khas, berbentuk sigmoid, yang dicirikan dengan
5 fase pertumbuhan. Pada saat inokulasi, sel-sel pada medium
kultur berada dalam tahap persiapan untuk membelah, sel-sel
berada pada lag phase. Sel-sel kemudian mengalami fase
pertumbuhan eksponensial (exponential growth phase) yang
pendek, ditandai dengan laju pembelahan yang maksimal.
Kemudian diikuti dengan fase pertumbuhan linier (linear growth
phase), pembelahan sel melambat tetapi laju ekspansi/
pembentangan sel meningkat. Pembelahan dan pembentangan sel
menurun selama fase deklarasi progresif (progressive deceleration
phase). Akhirnya sel-sel masuk ke fase tetap (stationary phase).
Selama fase stationary jumlah sel pada kultur kurang lebih konstan
karena sel-sel tidak membelah lagi. Siklus ini dapat diulang
bilamana pada awal fase stationary sel-selnya disubkultur pada
medium segar.
Pada setiap metode pengukuran pertumbuhan, kultur
suspensi sel mempunyai kurve pertumbuhan yang berbeda. Pada
suatu kultur suspensi sel mungkin saja didapatkan lag phase yang
sangat pendek, setelah mencapai fase stationary kemudian
menurun sangat drastis, ini menunjukkan adanya sejumlah sel yang
mengalami lisis. Pada kultur yang lain setelah fase stationary,
kurva naik lagi, ini disebabkan karena sel-selnya membesar.
Metode sederhana untuk mengukur laju pertumbuhan pada
kultur suspensi sel dikem-bangkan oleh Dr. Christianson dari
Michigan State University. Dasar teknik ini adalah pengukuran
volume sel yang terendapkan pada periode waktu tertentu. Sebagai
contoh: 50 ml suspensi sel dimasukkan ke dalam gelas ukur atau
tabung sentrifugasi yang berskala, sel-sel dibiarkan mengendap
sampai tidak ada penambahan volume sel-sel yang mengendap.
Waktu pengendapan sel untuk setiap kali pengukuran harus sama,
Kultur Jaringan Tanaman
95
misalnya V30 artinya volume pengendapan sel-sel selama 30 menit.
Waktu yang diperlukan untuk mengendapkan sel-sel ini berbedabeda, tergantung dari tipe kultur suspensinya. Metode ini sangat
menguntungkan karena kecepatannya dan tidak ada sampel yang
terbuang.
Hal yang perlu diperhatikan pada proses pemeliharaan
kultur suspensi sel adalah menyeleksi tipe-tipe sel yang tumbuh
dan membelah pada medium cair. Laju pertumbuhan sel yang
sangat cepat dapat diseleksi dengan sering melakukan subkultur
dengan hanya menggunakan sel-sel tunggal atau agregat-agregat
kecil sebagai inokulum. Untuk memisahkan sel-sel dari agregatagregat besar dan kecil dapat dilakukan dengan menyaring
suspensi sel menggunakan nilon filter atau stainless steel filter
sebelum disubkultur. Penyaringan ini biasanya hanya dilakukan
pada subkultur yang pertama, subkultur yang ke dua dan
seterusnya tidak perlu dilakukan penyaringan, teknik penyaringan
ini merupakan salah satu usaha sinkroninasi kultur suspensi sel.
Kultur sel yang sinkron adalah jika sebagian terbesar dari
populasi sel melewati setiap fase dari siklus sel (G1, S, G2 dan M)
secara serentak. Untuk mempelajari pembelahan sel dan
metabolisme sel pada kultur suspensi sel, sebaiknya digunakan
kultur suspensi sel yang sinkron, yang memperlihatkan amplifikasi
dari setiap kejadian dari siklus sel dibandingkan dengan kultur
yang tidak sinkron. Pada umumnya kultur suspensi sel itu tidak
sinkron, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi. Ada dua metoda
yang dapat digunakan untuk sinkronisasi pada kultur suspensi sel:
(1) pelaparan (starvation). Metode ini dikerjakan pertama, dengan
menahan sel-sel pada G1 atau G2 dari siklus sel dengan
mengkulturkan sel-sel pada medium starvasi hormon dan
nutrien. Proses pelaparan ini akan mengakibatkan sel-sel
berada pada fase pertumbuhan yang stasioner. Setelah periode
starvasi dilewati, sel-sel kemudian disubkultur dengan
Kultur Jaringan Tanaman
96
medium yang mengandung nutrien penuh dan hormon, sel-sel
yang berada pada fase stationary akan membelah bersamasama. Kultur suspensi sel Ace pseudoplatanus yang
ditumbuhkan dengan medium starvasi nitrogen berada pada
fase stationary: dapat membelah lebih lanjut setelah
disubkultur pada medium segar yang diperkaya. Sel-sel yang
berada pada fase stationary tertahan pada fase G1 dari siklus
sel, yang kemungkinan disebabkan karena ketiadaan ion nitrat
pada medium starvasi. Pada kultur sel A. pseudoplatanus
dengan skala besar, derajat sinkronitas dapat dipertahankan
lebih dari lima siklus hidup sel, seperti yang ditunjukkan
dengan adanya peningkatan jumlah sel pada setiap tahapan
sitokinesis yang berurutan. Hal serupa juga terjadi pada kultur
sel Vinca rosea yang dikulturkan pada medium starvasi
phosphate selama 4 hari kemudian ditransfer ke dalam
medium yang mengandung phosphate;
(2) penghambatan (inhibition). Penghambat sintesis DNA seperti
5-aminouracil, FUdR, hydroxyurea, thymidine dan aphidicolin, sering digunakan untuk sinkronisasi kultur sel. Sel-sel
yang diperlakukan dengan bahan-bahan kimia tersebut hanya
akan melanjutkan siklus selnya sampai pada fase G1 dan
semua sel akan terkumpul pada batas G1/S. Penghilangan
inhibitor akan menyebabkan pembelahan sel-sel terjadi secara
sinkron. Dengan metoda ini pembelahan sel yang sejalan
dibatasi hanya sebanyak satu siklus sel.
Kultur suspensi sel memungkinkan dilakukannya seleksi
sel dan membuat klon dari sebuah sel dengan teknik cell plating.
Sel disuspensikan di dalam medium cair dengan kerapatan dua kali
lipat dari kerapatan akhir yang dibutuhkan untuk cell plating.
Suspensi sel kemudian dicampur dengan medium yang
mengandung agar-agar yang masih mencair (35°C) dengan
perbandingan 1 : 1.
Kultur Jaringan Tanaman
97
Gambar 6.3. Diagram cara pembuatan cell plating (George et
al., 2008)
Suspensi sel yang sudah bercampur medium yang
mengandung agar, kemudian segera dituang ke dalam petridish.
Petridish di segel dengan parafilm dan diinkubasi 25°C dalam
kondisi gelap, koloni sel akan tumbuh dari sebutir sel pada
permukaan medium agar. Untuk penghitungan efisiensi plating
digunakan formula:
Jumlah koloni pada akhir kultur
Plating efficiency (PE) = --------------------------------------- x 100
Jumlah awal sel/plate
Kultur suspensi sel dapat diinisiasi dari kalus. Tahapan pekerjaan
dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Pembuatan kultur suspensi sel dan sel plating dilaksanakan
dengan prosedur:
1. Kalus wortel yang dibuat seperti yang dijelaskan pada bahasan
Kultur Jaringan Tanaman
98
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
sebelumnya
Siapkan medium cair MS dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D 1
mg.L-l di dalam Erlenmeyer 100 ml. Tiap Erlenmeyer berisi 50
ml medium cair
Siapkan medium MS padat dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D
mg.L-l di dalam petridish .
Pilihlah kalus yang lunak dan berwarna putih cerah, timbang
secara aseptis sebanyak (1-1,5) gram, masukkan kalus ke dalam
Erlenmeyer yang berisi medium MS cair, tutup yang rapat dan
beri label.
Letakkan Erlenmeyer yang sudah berisi kalus pada penggojok
(shaker), atur kecepatan 120 rpm, inkubasi dilakukan pada
suhu 25oC pada kondisi gelap.
Setelah 2-3 minggu akan terbentuk suspensi sel, lakukan
subkultur di dalam Laminar Air Flow Cabinet, dengan
menyaring suspensi sel menggunakan nilon filter porositas 80
μm, bagilah filtratnya menjadi dua bagian, biarkan selama 3050 menit, supaya sel-sel meng-endap, buanglah medium lama
dengan cara menuang, tambahkan medium baru sebanyak 100
ml, kembalikan salah satu Erlenmeyer yang berisi sel-sel
dengan medium baru di atas shaker.
Pindahkan sisa filtrat ke dalam tabung sentrifugasi, endapkan
dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit, buanglah
supernatant.
Resuspensikan pellet dengan 1 ml medium cair baru, taburkan
di atas petridish yang telah berisi medium MS padat, ratakan
dengan menggoyang petridish pelan-pelan, tutuplah petridish
dan segel dengan parafilm, beri label dan tempatkan kultur di
dalam inkubator 25oC pada kondisi gelap.
Kultur Jaringan Tanaman
99
Gambar 6.4. Prosedur kultur suspensi sel (George and
Sherrington, 1984)
Kultur Jaringan Tanaman
100
6.3. Kultur Antera
Pada perkembangan normal gametofit tanaman berbunga,
mikrospora telah diprogram untuk berdiferensiasi menjadi serbuk
sari dan menghasilkan 2 sel sperma. Di bawah kondisi yang khusus
perkembangan gametofit ini dapat dihambat dan dibelokkan ke
arah perkembangan sporofitik untuk menghasilkan tanaman
haploid melalui jalur embriogenesis. Jalur perkembangan alternatif
ini, yang menghasilkan embrio dan plantlet dengan jumlah
kromosom haploid, disebut androgenesis atau embriogenesis
mikrospora. Mekanisme yang ikut berperan dalam pembelokan
program gametofitik ke arah perkembangan sporofitik telah
menarik perhatian banyak peneliti. Embriogenesis mikrospora
dapat dilakukan dengan membuat kultur antera atau dengan cara
mengisolasi mikrospora dari antera dan mengkulturkannya secara
in vitro.
a. Embriogenesis Mikrospora
Sejarah penelitian pada transformasi dari mikrospora
menjadi embrioid dimulai dengan suatu penemuan yang tidak
disengaja oleh Guha dan Maheshwari (1964). Peneliti ini
mendapatkan bahwa jika antera dari Datura innoxia pada stadium
mikrospora dikulturkan pada medium yang mengandung garamgaram mineral, casein hydrolysat, IAA dan kinetin dan diberi
suplemen air kelapa, ekstrak anggur atau ekstrak plum. Setelah
dikulturkan selama kira-kira enam sampai tujuh minggu struktur
seperti embrio (ELS, embrio-like structure) akan muncul dari
bagian antera. Pengamatan lebih lanjut membuktikan bahwa
embrio tersebut berasal dari mikrospora, oleh karena itu bersifat
haploid.
Salah satu masalah pada kultur antera dalam menginduksi
perkembangan mikrospora yang embriogenik adalah mikrospora
Kultur Jaringan Tanaman
101
berada di dalam locule yang tertutup oleh dinding antera selama
periode yang kritis ketika pembelahan awal pada jalur embriogenik
terjadi. Hal ini menyulitkan analisis pengaruh dinding antera dan
tapetum pada pembelahan embriogenik mikrospora dibandingkan
dengan efek yang lebih jelas dari komponen medium kultur.
Dinding antera jelas berperan sebagai penghalang aliran nutrisi
dari medium kultur ke mikrospora.
Dinding antera juga mengeluarkan substansi-substansi
(yang belum diketahui dengan jelas) yang bersifat memacu
maupun menghambat mikrospora embriogenesis (Heberle-Bors,
1989). Kultur mikrospora dapat digunakan sebagai alternatif untuk
memproduksi tanaman haploid ganda jika kultur antera gagal
dikerjakan. Pada Brassica napus tanaman haploid ganda tidak bisa
diproduksi dengan kultur antera, jadi harus dikerjakan dengan
kultur mikrospora (Takahata dan Keller, 1991). Untuk analisis
perkembangan sporofitik pada mikrospora, dengan tidak adanya
pengaruh dari jaringan somatik antera, kultur mikrospora
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kultur antera. Secara
umum kelebihan kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur
antera adalah:
1) ketergantungan pada pengaruh genotipe dapat ditiadakan;
2) kompetisi di antara mikrospora yang disebabkan karena
keterbatasan ruang dan nutrisi di dalam antera (locule) dapat
ditiadakan, semua mikrospora mendapat akses yang sama
terhadap nutrien yang tersedia;
3) semua kemungkinan kontaminasi oleh jaringan somatik, sel-sel
diploid dari antera, dapat ditiadakan, oleh karena itu semua
faktor in vitro dapat langsung mempengaruhi mikro-spora;
4) perkembangan mikrospora dapat diamati secara langsung, ini
penting untuk menge-tahui proses induksi dari mikrospora
yang embriogenik sampai permulaan dari pembelahan sel dan
perkembangan embrio selanjutnya;
Kultur Jaringan Tanaman
102
5) mikrospora dapat dikulturkan sebagai organisme sel tunggal,
oleh karena itu dapat diaplikasikan dengan teknik
mikrobiologi;
6) karena kultur mikrospora merupakan sistim sel tunggal, seleksi
pada tingkat sel lebih mudah dikerjakan selanjutnya
memberikan prospek baru pada manipulasi genetik (misalnya,
mutagenesis, transformasi);
7) teknik kultur mikrospora memiliki kelebihan dan keunikan
tersendiri dibandingkan kultur antera pada transformasi DNA
dun seleksi in vitro dari transforman, dan
8) mikrospora dapat berkembang langsung menjadi embrio dan
plantlet, oleh karena itu mikro-spora embriogenesis menjadi
model yang bagus sekali untuk memahami proses fisiologi dan
biokimia pada androgenesis.
Jalur pembelokan sporofitik
Asal embrioid pada mikrospora embriogenesis telah
diuraikan pada berbagai varietas tanaman dengan menggunakan
mikroskop elektron dan cahaya. Tiga jalur utama androgeneik dari
mikrospora embriogenesis telah diuraikan oleh Sunderland et al.
(1979), pembelahan embriogenik pertama dapat simetris atau
asimetris.
Mikrospora yang membelah secara asimmetris, disebut
sebagai “A pathway” menghasilkan struktur yang tampak seperti
tipe serbuk sari pada umumnya, terdiri dari sel generatif yang lebih
kecil di dalam sel vegetatif yang lebih besar. Pada tanaman seperti
Nicotiana tabaccum, Datura, Zea mays dan gandum sel vegetatif
membelah menghasilkan prekursor embriogenik sedangkan sel
generatif mengalami degenerasi. Variasi dari “A pathway” atau
A1 ini terdapat pada Hyocyamus niger, sel generatif, ketika masih
melekat pada dinding mikrospora sebelah dalam (intine),
membelah secara berulang-ulang dan menghasilkan proembrio.
Kultur Jaringan Tanaman
103
Hal ini menunjukkan bahwa sel generatif juga mampu membelah
secara independen untuk menghasilkan embrioid atau sel induk
kalus.
Fusi antara inti sel generatif dengan inti sel vegetatif,
menghasilkan prekursor embrio non-haploid, disebut “C pathway”
atau A2. Mikrospora yang membelah simetris disebut “B
pathway”, menghasilkan suatu struktur dengan dua sel atau inti
(nuclei) yang sepadan. Meskipun kedua inti/sel yang dihasilkan
tampak sangat mirip dan sepadan, pengamatan secara sitologis dan
fisiologis menunjukkan bahwa mikrospora multiselular dihasilkan
oleh pembelahan inti sel yang tampak mirip dengan inti sel
vegetatif dari hasil pembelahan asimetris pada mikrospora.
Gambar 6.5. Jalur pembelokan sporofitik (Reinold, 1997).
Kultur Jaringan Tanaman
104
Albinisme
Albinisme (defisiensi klorofil) adalah fenomena yang
umum dijumpai di antara plantlet yang dihasilkan pada kultur
antera dan mikrospora, terutama pada tanaman serealia. Albinisme
merupakan salah satu faktor penghambat utama penggunaan teknik
kultur mikrospora pada program pemuliaan tanaman serealia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi derajad albinisme antara lain
genotipe dan kondisi fisiologis antera dari tanaman donor, stadium
perkembangan mikrospora, cold pretreatment dan temperatur
selama inkubasi dari kultur.
Penelitian pada barley menunjukkan bahwa plantlet yang
berasal dari kultur antera bervariasi dapat hijau, putih, atau kuning.
Perkembangan kloroplas dihambat pada berbagai stadia. Kloroplas
pada sel-sel mesofil dari plantlet yang berwarna hijau berkembang
secara normal sedangkan pada mesofil sel dari tanaman yang
berwama kuning, kloroplas mempunyai tylakoid yang kurang
berkembang. Plastida pada plantlet albino mempunyai sedikit
struktur internal.
Pengamatan secara biokimiawi menunjukkan bahwa
plantlet albino pada padi kehilangan produk utama gen plastid
seperti 23S dan 16S rRNA (Sun et al., 1979). Berbagai usaha telah
dilakukan untuk meneliti plantlet albino produk dari kultur antera
dan mikrospora pada tingkatan molekuler. Sebagian terbesar
penelitian difokuskan pada struktur dari plastida genom. Hasil
studi menunjukkan adanya bentuk-bentuk delesi yang ekstensif
dari plastida genom pada plantlet albino dari serbuk sari gandum
dan barley (Day dan Ellis, 1984). Hal serupa juga dilaporkan
terjadi pada padi, plantlet albino yang berasal dari kultur
mikrospora mengandung delesi pada skala yang sangat besar dari
plastida genom sirkuler (Harada et al., 1991).
Permasalahan mendasar apakah delesi merupakan hasil dari
Kultur Jaringan Tanaman
105
perkembangan mikro-spora in vivo atau kalus atau embrio yang
berkembang secara in vitro belum dapat dipecahkan, penelitian
mengenai hal ini telah dan sedang dilakukan oleh grup riset yang
dipimpin oleh Heberle-Bors di Vienna Biocenter-Austria.
Tingkatan ploidi plantlet yang berasal dari kultur mikrospora
Plantlet yang berasal dari mikrospora tidak selalu
mempunyai jumlah kromosom haploid. Diploid, triploid dan
tetraploid sering kali dijumpai dengan frekuensi yang sangat
bervariasi. Variasi genetik yang ada di antara tanaman regenerasi
yang berasal dari sel-sel gamet yang dikulturkan secara in vitro
dikenal sebagai variasi gametoklon, gametoclonal variation
(Morrison dan Evans, 1988). Pada Datura innoxia, proporsi dari
plantlet non-haploid yang berasal dari kultur antera sangat
bervariasi, tergantung dari umur antera pada saat dikulturkan.
Tanaman haploid terutama diperoleh dari antera yang
mengandung mikrospora pada stadium awal (early stage), produksi
tanaman haploid menjadi berkurang seiring dengan peningkatan
jumlah plantlet non-haploid dengan tingkatan ploidi yang lebih
tinggi pada antera yang mengandung mikrospora pada stadium
akhir (later stage). Frekuensi plantlet non-haploid pada kultur
antera dan mikrospora sangat bervariasi pada jenis tanaman yang
berbeda. Pada kultur antera gandum dari beberapa genotipe,
plantlet yang haploid ganda bervariasi antara 20-51% (Indrianto et
al., 1999).
Sementara itu, pada barley plantlet yang spontan haploid
ganda mencapai 87% dan pada padi mencapai 72%. Pada jagung
frekuensi plantlet yang spontan haploid ganda sangat rendah.
Nitsch et al. (1986) pada penelitiannya masing-masing
mendapatkan hanya 6,3% dan 4,5% saja yang spontan haploid
ganda di antara populasi plantlet pada kultur antera jagung. Buktibukti dari analisis sitologi dan ultrastruktur menunjukkan bahwa
timbulnya embrioid dan plantlet non-haploid adalah dari fusi inti
Kultur Jaringan Tanaman
106
se1 (Indrianto, et al., 1999). Fusi dapat terjadi antara dua inti sel
yang secara morfologis serupa atau antara inti generatif dan
vegetatif setelah mikrospora menyelesaikan pembelahan mitosis
yang pertama. Fusi antara inti sel generatif dan vegetatif telah
diamati pada kultur mikrospora barley, wheat dan tembakau. Hal
ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah ploidi pada plantlet
terjadi pada awal dari kultur.
Kemungkinan lain timbulnya plantlet non-haploid adalah
endomitosis. Hal ini diperlihatkan dengan morfologi dan
kenampakan dari kromosom pada waktu mikrospora membelah.
Duplikasi kromosom terjadi secara normal, tetapi pergerakan
kromosom terhambat karena kegagalan dalam mensintesis dan
menyusun kembali aparatus mitosis, akibatnya jumlah kromosom
menjadi dua kali lipat. Plantlet non-haploid juga dapat terjadi
karena adanya endoreduplikasi. Endoreduplikasi melibatkan satu
atau beberapa kali sintesis DNA tanpa pembelahan kromosom dan
sel dan menyebabkan terjadinya poliploidi. Namun demikian bukti
langsung mengenai kejadian-kejadian tersebut di atas belum dapat
dikonfirmasikan dan kontrol dari endocycle pada tanaman belum
diketahui dengan jelas.
Agensia pengganda kromosom yang umum dipergunakan
adalah colchicine. Colchicine mengganggu mitosis dengan
mengikat pada tubulin protein subunit dari mikrotubul. Oleh
karena itu menghambat pembentukan mikrotubul migrasi polar
dari kromosom sebagai hasilnya adalah jumlah kromosom menjadi
dua kali lipat di dalam sel. Pada umumnya perlakuan colchicine
dilakukan dengan mencelupkan seluruh tanaman selama beberapa
jam di dalam larutan encer colchicine.
Perlakuan colchicine pada tanaman agak rumit dan tingkat
mortalitasnya tinggi karena efek toksik dari agensia tersebut. Pada
kultur antera gandum colchicine ditambahkan langsung pada
medium kultur pada konsentrasi sekitar 0,2 g.L-l. Setelah 24 jam,
Kultur Jaringan Tanaman
107
antera kemudian ditransfer pada medium bebas colchicine,
hasilnya frekuensi tanaman yang fertil mencapai 70%.
Penggandaan kromosom dengan colchicine pada mikrospora
sebelum mitosis yang pertama tampaknya lebih effisien
dibandingkan dengan teknik konvensional yang biasa digunakan.
Di bandingkan dengan colchicine, beberapa herbisida
antimikrotubul mengikat secara lebih spesifik pada tubulin
tanaman. Empat herbisida antimikrotubul yaitu amiprophosmethyle, pronamide, oryzalin dan trifluralin telah dievaluasi
melalui studi yang mendalam tentang kemampuannya untuk
menginduksi penggandaan kromosom pada kalus haploid dari
antera jagung, tetapi hanya amiprosphosmethyl dan pronamide
yang secara efektif mampu menginduksi penggandaan kromosom.
Herbisida ini mempunyai efek yang mirip dengan colchicine tetapi
hanya memerlukan konsentrasi yang sangat kecil. Sebagai
alternatif selain perlakuan konvensional dengan colchicine, gas
nitrous oxide (NO2), juga telah dicobakan. Plantlet dari antera
gandum diinkubasi di dalam lingkungan dengan gas NO2. Metoda
ini telah terbukti sama efisiennya dengan colchicine tetapi tidak
toksik.
Aplikasi embriogenesis mikrospora
Aplikasi embriogenesis mikrospora telah tercatat pada lebih
dari 170 spesies Angiospermae yang tersebar pada 68 genera dan
28 famili. Asal embyo adalah dari sel tunggal haploid, ini berarti
embrio yang muncul adalah haploid. Penggandaan kromosom yang
terjadi secara spontan atau dengan agensia pengganda
menyebabkan tanaman menjadi homozigot. Embrio haploid dan
haploid ganda yang dihasilkan dalam jumlah besar, mempunyai
nilai yang sangat berharga bagi pemulia tanaman. Pada beberapa
tanaman serealia, penggandaan kromosom terjadi secara spontan,
sehingga dapat langsung digunakan pada program pemuliaan
tanaman.
Kultur Jaringan Tanaman
108
Varietas-varietas komersil telah diproduksi pada pemuliaan
dengan menggunakan tanaman haploid ganda, misalnya gandum
varietas "Florin" di Perancis (Henry dan De Buyser, 1990).
Keunggulan utama dari tanaman haploid ganda tampak pada
cepatnya homozigositas diperoleh yang menunjukkan sampel acak
dari rekombinasi gamet secara meiosis dan ekspresi dari gen-gen
resesif. Untuk pengembangan varietas pada kebanyakan tanaman,
tahapan kritis adalah pembentukan galur murni. Tanaman
homozigot yang stabil adalah galur murni, tanaman seperti itu
digunakan sebagai varietas akhir atau sebagai induk untuk
memproduksi biji hibrida.
Secara tradisional, para pemulia mendapat tanaman
homozigot dengan cara "self-fertilization" atau "back cross",
proses yang memerlukan banyak waktu (Morrison dan Evans,
1988). Effisiensi seleksi juga dapat ditingkatkan dengan produksi
tanaman haploid, karena fenotipe dari tanaman tidak tertutupi oleh
efek dominan, sifat resesif dan dominan sama-sama terekspresi dan
karenanya lebih mudah diseleksi.
Untuk penelitian dasar, embriogenesis mikrospora
memungkinkan studi mekanisme biologis pada tingkatan seluler
dan molekuler berkaitan dengan induksi embriogenesis atau
totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan dari setiap sel tanaman
untuk berkembang menjadi tanaman lengkap. Faktor kunci yang
umum untuk induksi embriogenesis mikrospora adalah stres.
Tanpa stres, mikrospora berkembang menjadi serbuk sari normal
yang masak. Mikrospora yang diberi perlakuan stres akan
berkembang menjadi embrio (Heberle-Bors, 1999). Kultur
mikrospora memungkinkan suplai sel-sel embriogenik dan embrio
dalam jumlah yang tak terbatas, oleh karena itu memungkinkan
dilakukannya penelitian mengenai proses-proses perkembangan
yang relevan dengan embriogenesis zigotik. Hal yang tidak
Kultur Jaringan Tanaman
109
mungkin atau secara teknis sangat sulit untuk mendapatkan cukup
bahan dari embrio zigotik, karena sulitnya mengambil embrio
zigotik di dalam nucelus yang terbenam cukup dalam di dalam
jaringan induknya.
Mikrospora adalah sel tunggal haploid, totipoten dan
tersedia dalam jumlah yang hampir tak terbatas, sehingga
merupakan target ideal untuk percobaan-percobaan manipulasi
genetik seperti transformasi. Ada dua metode yang berbeda untuk
transfonnasi via mikrospora. Pertama, male germ line
transformation (MAGELITR) adalah dengan memanfaatkan
kemampuanya untuk berkembang menjadi serbuk sari yang normal
pada kultur in vitro (Heberle-Bors, 1991; Touraev et al., 1997).
Mikrospora diisolasi dan DNA ditransfer, mikrospora yang
sudah ditransfer dengan DNA dimasakkan secara in vitro dan
serbuk sari masak yang dihasilkan digunakan untuk polinasi in
vivo. Metoda ini mempunyai banyak keunggulan: tidak perlu
dilakukan kultur sel yang berkepanjangan karena biji transgenik
langsung diperoleh dari tanaman. Karena tanaman langsung
dihasilkan dari biji, vigor dan fertilitasnya dapat dijamin
dibandingkan tanaman transgenik yang dihasilkan melalui
regenerasi in vitro. Resiko terjadinya variasi dan transformasi
chimeric juga dapat diminimalkan. Teknik ini dapat diaplikasikan
pada semua tanaman jika pemasakan in vitro mikrospora sudah
berhasil dicapai. Metode yang ke dua, transformasi pada
mikrospora yang embriogenik selanjutnya, setelah mengalami
diploidisasi. Tanaman transgenik homozigot dapat diperoleh dalam
satu tahap saja, oleh karena itu dapat menghemat waktu pada
program pemuliaan (Steger et al., 1995).
Ada beberapa strategi yang dirancang untuk mentransfer
gen ke dalam mikrospora atau serbuk sari. Transformasi dengan
menginkubasi serbuk sari di dalam larutan DNA dan co-cultivasi
dengan suspensi Agrobacterium (Hess, 1987), mikroinjeksi
Kultur Jaringan Tanaman
110
(Neuhaus et al., 1987) dan elektroporasi (Saunders et al., 1991)
merupakan teknik yang menjanjikan untuk transformasi serbuk
sari. Partikel bombardment terbukti merupakan metoda paling
handal untuk mengirimkan DNA ke dalam mikrospora (Steger et
al., 1992).
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Embriogenesis
Mikrospora
Para peneliti telah membuktikan bahwa embriogenesis dan
regenerasi tanaman dapat diperoleh dari kultur mikrospora. Induksi
pembelahan sporofitik pada mikrospora bukanlah sebagai akibat
dari isolasi organ dan penggunaan zat pengatur tumbuh semata,
tetapi memerlukan praperlakuan khusus pada tanaman donor,
kuncup bunga, antera atau mikrospora. Diketahui bahwa
praperlakuan stres berfungsi sebagai pemicu untuk induksi
perkembangan sporofitik dan menghambat perkembangan
gametofit pada serbuk sari. Stres secara fisiologis dapat
menginduksi pembentukan/produksi suatu set protein yang sama
sekali baru, protein ini berperan penting pada metabolisme sel.
Pada tembakau, karbohidrat dan nitrogen starvation yang
diperlakukan pada mikrospora biselular dapat menginduksi
pembentukan mikrospora yang embriogenik. Setelah dipindah
pada medium sederhana yang mengandung sukrosa dan nitrogen,
membelah secara berulang-ulang dan menghasilkan embrio. Heat
shock treatment kurang efektif pada stadium mikrospora biselular,
embriogenesis dapat diinduksi pada stadium yang lebih awal yaitu
uniseluler. Kombinasi starvation dan heat shock stress dapat
menginduksi embriogenesis pada hampir semua mikrospora yang
hidup pada tembakau dan gandum. Mikrospora yang diisolasi pada
stadium yang sama bila dikulturkan pada kondisi tanpa stres akan
berkembang menjadi serbuk sari yang fertil. Pada Brassica napus,
heat shock treatment pada 32°C selama 8 jam mampu menginduksi
Kultur Jaringan Tanaman
111
embriogenesis sampai 40% dari mikrospora yang diisolasi dan
dikulturkan pada medium sederhana tanpa zat pengatur tumbuh.
Pada suhu 18°C, mikrospora melanjutkan perkembangan normal
gametofitiknya dan menghasilkan serbuk sari yang masak.
Faktor-faktor ekstra dan intraseluler sangat berpengaruh
pada induksi mikrospora embriogenesis. Beberapa parameter
penting yang harus dipertimbangkan untuk mengoptimasi efisiensi
induksi adalah: kondisi fisiologis tanaman donor, stadium
perkembangan mikrospora, metoda isolasi, stress pretreatment,
dan medium kultur.
Tanaman donor
Kualitas tanaman donor sangat berpengaruh pada kultur
mikrospora. Kemampuan mikrospora untuk membelah secara
sporofitik dan menghasilkan regenerasi tanaman sangatlah
bervariasi di dalam suatu varietas, disebabkan karena faktor
lingkungan tempat tanaman donor tumbuh. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi vigor tanaman donor termasuk fotoperiodisitas, intensitas sinar, temperatur dan nutrisi.
Telah diketahui bahwa mikrospora yang kompeten untuk
membelah secara sporofitik, secara alami sebenarnya telah ada di
dalam antera, mikrospora tersebut berbeda ukuran dan sifat
pengecatannya, kultur dari antera selanjutnya memberikan
lingkungan yang dapat memacu ekspresi mikrospora yang secara
alami kompeten untuk membelah secara sporofitik tersebut
menjadi embrio. Adanya variasi mikrospora yang berbeda dari
populasi serbuk sari yang normal disebut dimorphism microspore.
Kondisi yang memungkinkan pembentukan mikrospora
dimorphism pada tanaman dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan
tanaman donor. Dengan kata lain, tanaman donor dapat diberi
perlakuan stres untuk menginduksi embrio-genesis. Pada tembakau
fotoperiodik dan temperatur berperan dalam evolusi dari serbuk
sari yang kompeten pada embriogenesis. Tanaman yang
Kultur Jaringan Tanaman
112
ditumbuhkan pada hari pendek (8 jam periode terang) pada
temperatur rendah (l8°C) menghasilkan daun-daun yang
jumlahnya lebih sedikit dengan ukuran yang lebih kecil sampai
periode berbunga, anteranya lebih kecil dan mengandung banyak
serbuk sari yang mempunyai potensi embriogenik yang sangat
besar (p-grain). Embrioid akan dihasilkan dalam jumlah sangat
besar jika antera atau mikrospora yang ada di dalamnya diisolasi
dan dikulturkan. Faktor lingkungan lain (edafik) yang dapat
meningkatkan frekuensi embriogenik p-grain adalah nitrogen
starvation.
Growth substances yang diketahui dapat mengurangi
fertilitas jantan, seperti auxin dan antigibberellin jika di
semprotkan pada tananan dapat meningkatkan mikrospora yang
embriogenik pada tembakau dan kentang. Pada gandum,
penyemprotan dengan ethylene releasing agent ethrel juga
meningkatkan frekuensi mikrospora yang embriogenik.
Pada
padi,
penyemprotan
ethrel
meningkatkan
pembentukan, tanaman haploid pada kultur antera. Gametocide
juga telah digunakan untuk meningkatkan pembentukan tanaman
haploid pada kultur antera. Gametocide ini sebelumnya
dikembangkan untuk menghambat perkembangan gametofit jantan
yaitu untuk menghambat self-pollination pada produksi biji
hibrida. Jika gametocide ini disemprotkan pada gandum dapat
meningkatkan produksi tanaman haploid pada kultur antera.
Stadium perkembangan mikrospora
Stadium perkembangan mikrospora di dalam antera pada
saat dikulturkan merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam menginduksi pembelahan sporofitik. Stadium ini bervariasi
pada setiap jenis tanaman, biasanya di antara haploid mitosis yang
pertama (late unicelular atau early bicellular) diketahui merupakan stadium yang sangat kritis untuk induksi androgenesis.
Sunderland dan Wick (1971) menunjukkan bahwa pada tembakau,
Kultur Jaringan Tanaman
113
antera dapat dikulturkan pada stadium perkembangan apa saja
mulai dari tetrad sampai late bisellular microspore, tetapi jumlah
embrioid terbanyak diperoleh jika digunakan antera yang
mengandung mikrospora yang telah menyelesaikan mitosis yang
pertama. Pada Brassica napus atau rapeseed, stadium late
unicellular atau early bicellular adalah yang paling kompeten
untuk pembentukan tanaman, sedangkan pada barley stadium midlate sampai late unicellular adalah yang optimal. Pada gandum dan
padi stadium late unicelular sampai premitosis adalah yang
optimal untuk percobaan-percobaan kultur mikrospora.
Gambar 6.6. Fase-fase perkembangan bunga pada tanaman
tembakau yang khas untuk menentukan tahap perkembangan
mikrospora yang sesuai bagi pelaksanaan kultur antera atau kultur
mikrospora (Touraev et al., 1977).
Dengan kemajuan teknologi kultur mikrospora, batasan
stadium perkembangan mikrospora menjadi kurang penting.
Percobaan-percobaan yang dilakukan Touraev et al. (1977)
menunjukkan bahwa pada kultur mikrospora tembakau yang
populasinya terdiri dari mikrospora yang stadiumnya sangat
heterogen, mulai dari mikrospora yang unicellular sampai early
Kultur Jaringan Tanaman
114
bicellular dapat diinduksi menjadi embriogenik. Binarova et al.,
(1997) menunjukkan bahwa pada Brassica napus stadium late
bicellular mikrospora juga dapat diinduksi menjadi embriogenik.
Membahas stadium perkembangan mikrospora tidak dapat
lepas dari siklus hidup sel. Dediferensiasi sel tanaman dapat
didefinisikan sebagai reinisiasi dari pembelahan sel.
Perkembangan normal mikrospora dicirikan dengan peristiwaperistiwa siklus se1 yang dikendalikan secara ketat. Setelah
pembelahan asimetris yang pertama dari mikrospora, sel generatif
dengan cepat mengalami replikasi DNA dan tertahan pada fase G2
dari siklus sel. Sementara itu sel vegetatif tertahan pada fase G1
dari siklus sel (Zarsky et al., 1992). Tergantung dari jenis tanaman,
sel generatif membelah lagi, baik selama perkembangan
mikrospora (pada kebanyakan rumput-rumputan) atau setelah
berkecambah di dalam buluh kecambah (pada tembakau).
Kemampuan mikrospora atau mikrospora bicellular untuk
masuk siklus sel yang baru selama stress pretreatment atau setelah
dibebaskan dari stres merupakan salah satu aspek yang sangat
penting di dalam mikrospora embriogenesis. Mikrospora pada
tembakau yang diisolasi pada fase G1 mengalami replikasi DNA
selama induksi stress (starvation dan heat shock) treatment,
kemudian berhenti dan tertahan pada fase G2. Hanya setelah
dibebaskan dari stres (dipindah ke medium yang diperkaya pada
temperatur kamar), siklus sel dapat dilanjutkan, yaitu mitosis.
Mikrospora yang diisolasi pada fase G2 mengalami mitois selama
stress pretreatment. Sel generatif langsung masuk siklus sel baru
kemudian berhenti dan tertahan pada fase G2, sedangkan sel
vegetatif tidak masuk replikasi DNA (Touraev et al., 1997).
Penelitian yang dilakukan Zarsky et al. (1992) pada
mikrospora tembakau yang bicellular menunjukkan, sel vegetatif
mengalami replikasi DNA selama stress pretreatment (nitrogen/
carbohydrate starvation) dan tertahan lagi pada fase G2. Sel
Kultur Jaringan Tanaman
115
generatif tidak terpengaruh oleh stress pretreatment dan tetap
tertahan pada fase G2 setelah dipindah ke medium yang diperkaya,
atau dengan kata lain sel generatif tidak memberikan kontribusi
pada pembentukan embrio pada tembakau.
Stress pretreatment
Agar program genetik pada mikrospora dapat diubah dari
perkembangan gametofitik ke arah perkembangan sporofitik,
diperlukan suatu sinyal. Sinyal ini dapat diberikan dengan berbagai
cara melalui stres pada mikrospora. Berbagai stress pretreatment
terbukti telah berhasil menginduksi mikrospora menjadi
embriogenik dengan frekuensi yang cukup tinggi, antara lain: cold
shock pada jagung, gandum, barley, padi dan masih banyak
spesies yang lain; heat shock pada Brassica, gandum dan
tembakau; carbohydrate dan nitrogen starvation pada tembakau,
gandum, padi dan barley, dan colchicine pretreatment pada
Brassica. Beberapa stres yang lain seperti ethanol dan irradiasi
sinar gamma pada Brassica, -stres air, kondisi aerobik, dan
atmosfer jenuh air pada tembakau, tidak dapat diaplikasikan
secara meluas.
Stress pretreatment ini dapat diaplikasikan pada tanaman
donor, kuncup bunga atau spike, antera atau secara langsung pada
mikrospora yang sudah diisolasi. Peranan dari trauma fisik atau
termal atau kemis dalam memicu androgenesis masih menjadi
spekulasi dan belum diketahui secara pasti. Bukti-bukti yang
terkumpul menunjukkan peranan cytoskeleton pada pengaturan
posisi inti sel yang mendahului terjadinya pembelahan mitosis
yang pertama, dan keterlibatannya pada embriogenesis mikrospora.
Zhao et al. (1996) menguji pengaruh colchicine pada antera dan
embriogenesis mikrospora pada Brassica napus. Dari hasil
penelitiannya didapatkan bahwa agensia anti mikrotubul ini dapat
meningkatkan frekuensi induksi embriogenesis pada kultur antera
Kultur Jaringan Tanaman
116
dan mikrospora dengan meningkatkan jumlah sel-sel yang
membelah simetris. Mereka menyimpulkan bahwa colchicine
bekerja dengan cara menghambat penyusunan mikrotubul,
mikrospora yang diperlakukan dengan colchicine, sebelum
pembelahan mitosis yang pertama, akan menekan penyusunan
mikrotubul yang diperlukan untuk menempatkan inti sel pada
posisinya diperiferi untuk membelah secara asimetris.
Penelitian yang terbaru dari Zhao (1996) menunjukkan
bahwa colchicine sendiri dapat memicu embriogenesis mikrospora
pada Brassica napus yang dikulturkan pada temperatur noninduktif (mikrospora pada Brassica dapat diinduksi menjadi
embriogenik, dengan meng-kulturkan pada temperatur 33°C)
menunjukkan bahwa stimulus heat shock mungkin beraksi pada
tingkatan cytoskeleton yang menyebabkan mikrospora masuk ke
jalur embriogenik. Cordewener et al. (994) menyatakan bahwa
sintesis tubulin isoform tidak berubah selama induksi embriogenik
dibandingkan dengan kondisi non-embriogenik pada mikrospora
Brassica napus. Penelitian ini mendukung dugaan bahwa stimulus
shock lingkungan untuk embriogenesis berperan secara langsung
dengan adanya komponen dari cytoskeleton pada stadium awal
embriogenesis.
Juga dengan menggunakan kultur mirospora Brassica
napus, penelitian yang dilakukan Simmond (1994) menunjukkan
bahwa bersamaan dengan pergerakan inti sel pada posisi di tengah
dari mikrospora, perubahan struktur pertama yang menunjukkan
reprogram-ming seluler untuk masuk ke jalur sporofitik adalah
adanya preprophase band (PPB) dari mikrotubul. Selama ontogeni
perkembangan mikrospora yang normal, PPB tidak berpartisipasi
pada pembelahan mitosis yang pertama dari mikrospora Brassica.
Penelitian ini menegaskan bahwa cytoskeleton berperan penting
pada stadium awal embriogenesis pada mikrospora Brassica.
Pada sel somatik, pembentukan phragmosome merupakan
Kultur Jaringan Tanaman
117
fenomena yang tampak pertama kali bila sel-sel dikulturkan pada
kondisi yang memungkinkan sel-sel mengalami reinisiasi untuk
membelah. Phragmosome merupakan suatu lapisan sitoplasma
padat yang menyelimuti inti sel yang bergerak pada posisi di
tengah-tengah sel dan dipertahankan pada posisi tersebut dengan
mikrotubul yang memancar secara radial dari inti sel.
Pembentukan phragmosome diikuti dengan pembelahan sel dengan
arah yang ditentukan oleh PPB yang terletak pada sisi dengan
phragmosome menyentuh dinding sel.
Medium kultur
Medium untuk kultur antera dan mikrospora bukan
merupakan fakror yang kritis pada induksi embriogenesis.
Mikrospora dari beberapa spesies tanaman dapat diinduksi menjadi
embriogenik dengan mengkulturkan pada medium sederhana yang
hanya terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, besi, vitamin,
myo-inositol dan gula. Penelitian rutin yang dilakukan di beberapa
laboratorium bahkan menggunakan medium yang sama untuk
kultur mikrospora tembakau dan padi-padian. Namun demikian
komposisi medium masih dipandang penting, berbagai usaha telah
dilakukan untuk mengoptimasi komposisi medium untuk kultur
antera dan mikrospora.
Telah diketahui bahwa komposisi nitrogen pada medium
kultur berperan sangat penting pada androgenesis. Peningkatan
jumlah plantlet pada kultur antera barley diperoleh dengan
mengurangi konsentrasi ammonium nitrat pada medium dan
menggunakan glutamin sebagai sumber nitrogen non-toxic.
Penelitian yang sangat intensif mengenai kebutuhan nitrogen
menunjukkan bahwa inisiasi pembelahan, proliferasi lebih lanjut,
dan regenerasi menjadi plantlet pada kultur mikrospora barley
merupakan peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri yang mungkin
dapat dimanipulasi dengan nitrogen.
Kultur Jaringan Tanaman
118
Sumber karbohidrat yang berbeda juga telah dicoba,
sukrosa tidak umum digunakan untuk antera kultur barley, kentang
dan gandum, sebagai gantinya digunakan maltosa. Perbedaan
metabolisme sukrosa dan maltasa pada kultur mikrospora barley
menjadi alasan utama keunggulan dari maltosa dibandingkan
dengan sukrosa. Telah diketahui bahwa maltosa dimetabolisasikan
lebih lamban. Sukrosa yang dimetabolisasikan lebih cepat,
menyebabkan terakumulasinya sejumlah ethanol yang berakibat
toksik di dalam mikrospora.
Tekanan osmotik pada media juga diketahui merupakan
parameter yang penting. Pada tekanan osmotik yang tinggi,
peningkatan jumlah plantlet hijau bersamaan dengan penurunan
jumlah plantlet albino telah diamati pada kultur mikrospora barley.
Penambahan Fikoll pada medium kultur juga diketahui dapat
meningkatkan persentase plantlet hijau pada kultur antera gandum.
Penggunaan Polyethyleneglycol (PEG)-400, yang tidak dapat
dimetabolisasikan, sebagai osmotikum pada medium kultur juga
diketahui dapat menginduksi peningkatan jumlah embrio pada
kultur mikrospora Brassica napus.
Diketahui bahwa zat pengatur tumbuh bukan merupakan
komponen yang esensil pada medium untuk menginduksi
embriogenesis. Pada kultur mikrospora beberapa jenis tanaman,
misalnya barley, jagung, gandum dan tembakau, digunakan
medium tanpa hormon. Condi-tioning pada medium kultur dengan
ovary terbukti sangat bermanfaat untuk kultur mikrospora. Manfaat
penggunaan ovary-conditioned medium pada kultur mikrospora
telah dilaporkan pada barley dan gandum.
Pada kultur mikrospora gandum, co-culture dengan ovary
dari barley atau gandum menyebabkan lingkungan menjadi cocok
untuk pembentukan embrio dan regenerasi plantlet yang fertil.
Koehler dan Wenzel, (1985) menyatakan bahwa pada gandum, coKultur Jaringan Tanaman
119
culture dengan ovary mengakibatkan medium menjadi terkondisi
dengan substansi-substansi yang dipro-duksi oleh ovary, misalnya
auxin-like hormon yang memacu embriogenesis. Kombinasi zat
pengatur tumbuh dengan bahan-bahan tambahan seperti air kelapa,
ekstrak yeast, atau ekstrak kentang diketahui dapat memacu
induksi pembentukan embrio dan plantlet dari mikrospora.
6.4. Kultur Protoplas
Salah satu karakteristik sel tumbuhan adalah terdapatnya
dinding sel yang tebal dan kaku mengelilingi dan melindungi
membran plasma serta bagian dalam dari sel. Sebagai pendukung
mekanik dari jaringan tanaman, dinding sel sangat komplek dan
sangat tinggi diferensiasinya. Pada sel-sel tertentu dinding sel
primer, sekunder dan tertier terkumpul secara berlapis-lapis selama
pertumbuhan.
Protoplas adalah sel hidup yang telah dihilangkan dinding
selnya sehingga sebagai satu satunya pembatas antara faktor
lingkungan luar dengan bagian dalam dari sel hidup hanya berupa
membran plasma saja. Protoplas sudah berhasil diisolasi dari
banyak spesies tumbuhan, ketiadaan dinding sel sebagai barier
mekanik memungkinkan dilakukannya peleburan protoplas yang
diperoleh dari sel-sel somatik dari jenis tanaman yang berbeda.
Sebagai hasil dari hibridisasi somatik, dimungkinkan terjadinya
kombinasi genetik baru.
Protoplas pada dasarnya adalah sel hidup dikurangi dinding
selnya atau sering disebut sebagai sel telanjang dan sebagai satusatunya pembatas adalah membran plasma. Sel yang sudah
kehilangan dinding selnya akan menghadapi perubahan tekanan
osmotik yang sangat drastis dan berbeda dengan lingkungannya
semula. Tekanan osmotik yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
dapat merusakkan viabilitas protoplas, namun pada lingkungan
Kultur Jaringan Tanaman
120
dengan tekanan osmotik yang cocok dapat memelihara kestabilan
protoplas lebih lama. Dinding sel yang harus dihilangkan pada
isolasi protoplas terdiri dari suatu senyawa yang komplek. Struktur
utamanya berupa selulosa dan hemiselulosa dengan substansi
pektat sebagai bahan pengikat antar sel tanaman. Penghilangan
dinding sel dapat dilakukan secara mekanik atau enzimatik,
sedangkan eksplan yang dapat digunakan untuk isolasi protoplas
adalah semua bagian tanaman yang masih muda.
Isolasi Protoplas
Karakteristik sel tumbuhan adalah adanya dinding sel yang
tebal dan kaku mengelilingi dan melindungi membran plasma serta
bagian dalam dari sel hidup. Apabila sel telah kehilangan dinding
selnya, maka satu-satunya pembatas antara lingkungan luar dengan
bagian dalam dari sel yang hidup adalah membran plasma atau
plasmalemma. Membran plasma adalah suatu selaput yang terdiri
dari protein, lemak dan oligosakharida. Oligosakharida yang
mengikat lemak disebut glikolipid, dan yang mengikat protein
disebut glikoprotein. Glikolipid dan glikoprotein membentuk suatu
lapisan yang disebut glikokalik.
Sebagai pendukung mekanik dari jaringan tanaman,
dinding sel sangat komplek dan sangat tinggi diferensiasinya.
Proses pembentukan dinding sel dimulai pada saat sel membelah,
terjadi dinding yang pertama yaitu dinding primitif yang tersusun
atas pektin atau protopektin, disebut lamella tengah. Kemudian
diikuti dengan penebalan primer yaitu pelapisan selulosa
mikrofibril (secara aposisi). Penebalan sekunder juga dikerjakan
dengan cara aposisi tetapi zatnya adalah lignin. Penebalan dinding
sel dapat terjadi dengan cara: penebalan primer secara aposisi
dengan zat selulose, kemudian penebalan sekunder dengan lignin
disisipkan di antara serabut selulose (intussuscepsi), dan penebalan
tersier secara aposisi lagi dengan zat lignin.
Kultur Jaringan Tanaman
121
Permasalahan yang dijumpai pada isolasi protoplas adalah
sebagai berikut. Penghilangan dinding sel, dinding sel yang harus
dihilangkan pada isolasi protoplas umumnya terdiri dari suatu
senyawa yang komplek. Penghilangan dinding sel harus diikuti
dengan terbebasnya protoplas dalam jumlah yang cukup banyak.
Protoplas yang sudah tidak berdinding akan menghadapi
perubahan tekanan osmosa yang sangat drastis dan berbeda dengan
lingkungannya semula, sehingga di dalam medium untuk isolasi
maupun budidaya harus ditambahkan zat anti blasting untuk
mencegah pecahnya protoplas. Biasanya digunakan sorbitol atau
mannitol (0,5-0,7 M).
Protoplas sebagai sel telanjang harus tetap mampu
mengadakan reproduksi, dan pada waktunya harus dapat
membentuk dinding selnya kembali apabila dibudidayakan pada
medium yang sesuai. Untuk mendapatkan protoplas yang
maksimal, diperlukan bahan tanam atau eksplan yang cocok.
Protoplas dapat diisolasi dengan cara mekanik atau ensimatik. Cara
mekanik dikerjakan dengan memotong eksplan di dalam larutan
plasmolitikum. Protoplas akan mengkerut, sehingga dapat ditekan
keluar dari dinding sel. Deplasmolisis selanjutnya akan
menyebabkan terlepasnya protoplas dari sel-sel. Kelemahan
penggunaan teknik ini adalah relatif sukar, jumlah protoplas yang
dihasilkan tidak banyak, keefektifannya dibatasi hanya pada sel-sel
yang dapat diplasmolisa seperti jaringan penyimpan dan tidak
dapat digunakan pada jaringan meristem karena dinding selnya
masih sangat erat berhubungan dengan protoplas. Kelebihannya
dapat meniadakan efek dari aktifitas ensim yang kadang-kadang
merusak atau mengganggu metabolisme yang sangat komplek di
dalam protoplas.
Sejak ditemukan o1eh Cocking pada tahun 1960, isolasi
protoplas secara enzimatik hampir selalu digunakan untuk setiap
Kultur Jaringan Tanaman
122
jenis tanaman sampai sekarang. Dengan teknik tersebut dapat
dihasilkan populasi protoplas dengan jumlah kerapatan yang tinggi
(2,5 x l06 protoplas gram-1 jaringan daun). Larutan enzim yang
digunakan untuk isolasi protoplas komposisinya bermacammacam. Untuk melisiskan dinding sel dengan baik dapat dilakukan
dengan meng-gunakan kombinasi dua macarn enzim yaitu
Cellulase dan Pectinase secara simultan. Pektinase akan
melonggarkan ikatan antara sel yang satu dengan sel yang lain atau
melepaskan sel, sedangkan Cellulase akan menghancurkan dinding
selulosa sehingga sel menjadi telanjang.
Tabel 6.1. Enzim yang umum digunakan untuk isolasi protoplas
Cellulase
Pectinase
Hamicellulase
Cellulase Onozuka R-10
Cellulysin
Driselase
Meicelase
Pectinase
Pectyolase Y-23
MaceraseMacerocym R-10
Pectinol
Rhozyme HP150
Hamiselulase
Enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas harus
dilarutkan di dalam larutan plasmolitikum. Untuk memperoleh
protoplas yang masih berkemampuan hidup dianjurkan untuk
menggunakan konsentrasi enzim minimal. Konsentrasi dapat
bervariasi antara 0,25-5%, tergantung pada beberapa faktor yaitu
macam enzim, sumber protoplas, temperatur dan lamanya
inkubasi. Beberapa peneliti telah menggunakan kombinasi ensim;
Larkin (1976) menggunakan Cellulase Onozuka P1500 3% dan
Macerozym 0,25% untuk mengisolasi protoplas daun Nicotiana
Kultur Jaringan Tanaman
123
dan perhiasan bunga Petunia. Hahne et a1. (1982) menggunakan
larutan enzim yang terdiri dari Cellulase (Roem, Darmstadt) 1%,
Pectinase (PATE, Hoeschst) 0,1%, Macerozyme Rl0 0,1% dan
mannitol 0,4 M pada pH 5,8. Ensim Cellulase yang sering
digunakan ialah Driselase, Sellulisin dan Cellulase Onozuka R-10.
Sedangkan enzim lain yang sering digunakan bersama
Cellulase ialah Hemisellulase (Rhozyme HP 150) dan Pectinase
(Macerase, Macerozyme, Pectiol AC, Pectolyase Y-23, Pectinase,
Pectic Acid asetic Transferase). Enzim-enzim yang digunakan
untuk isolasi protoplas merupakan produk dari beberapa jenis
mikroorganisme (terutama sejenis jamur). Enzim-enzirn tersebut
umumnya diperdagangkan dengan tingkat kemurnian yang
berbeda-beda, hal ini menunjukkan masih adanya komponenkomponen lain di dalamnya misalnya, sellulase mungkin di
dalamnya juga terdapat hemisellulase.
Ketersediaan enzim yang tidak murni sebenarnya juga
menguntungkan karena dapat menghidrolisis komponen dinding
sel yang bukan merupakan substrat dari enzim utama. Enzim
Cellulase Onozuka R-10 misalnya, diketahui mengandung
hemisellulase, enzim ini memang paling sering digunakan untuk
isolasi protoplas dari berbagai jenis tanaman. Sterilisasi enzim
dilakukan dengan menggunakan filter yang porositasnya 0,22-0,24
μm, karena enzim bersifat termolabil. Filter diletakkan pada ujung
alat injeksi, larutan enzim dilewatkan pada filter tersebut, sehingga
larutan yang keluar adalah larutan enzim steril.
Sel yang sudah kehilangan dinding selnya akan
menghadapi perubahan tekanan osmosa yang sangat drastis dan
berbeda dengan lingkungannya semula. Tekanan osmotik yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat merusakkan viabilitas
protoplas, namun di dalam lingkungan dengan tekanan osmotik
yang cocok dapat memelihara kestabilan protoplas lebih lama.
Oleh karena itu protoplas membutuhkan proteksi osmotik di dalam
Kultur Jaringan Tanaman
124
medium sampai dinding sel terbentuk, osmotikum dibutuhkan
mulai dari isolasi sampai kultur. Di dalam medium kultur biasanya
digunakan osmotikum Mannitol atau Sorbitol (0,5-0,7 M), osmotikum lain yang juga sering digunakan adalah glukosa dan sukrosa.
Protoplas yang sudah dikulturkan secara perlahan mulai
meregenerasikan dinding selnya, sintesis dinding sel baru
umumnya berlangsung beberapa jam setelah protoplas dikulturkan
dan akan terus berlangsung selama 2-3 minggu. Pada saat ini,
tekanan osmotik medium perlahan-lahan harus diubah (diturunkan)
dengan jalan meneteskan medium tanpa mannitol atau sorbitol.
Bila tekanan osmotik medium tidak diubah, tekanan osmotik yang
tinggi dapat menghambat pembelahan sel. Strategi yang digunakan
untuk mengurangi osmotikum secara gradual adalah dengan
mencampur osmotikum mannitol dan sukrosa di dalam medium
kultur. Sukrosa akan dengan cepat dimetabolisasikan oleh
protoplas sehingga dapat mengurangi osmolaritas dari medium
kultur.
Sebagai eksplan yang digunakan untuk isolasi protoplas
sebaiknya dipakai jaringan atau organ yang sel-selnya masih muda.
Sel-sel yang masih muda atau meristem diperkirakan dinding
selnya baru sampai penebalan primer dari zat pektin dan selulosa,
sehingga relatif lebih mudah untuk dihancurkan. Eksplan yang
demikian berasal dari jaringan parenkim primer, daun atau organ
tanaman yang lain, kalus dari hasil budidaya jaringan dan kultur
suspensi sel. Mesofil daun adalah yang paling banyak digunakan,
sel-sel mesofil daun mem-punyai keistimewaan, yaitu mengandung
kloroplas atau plastida sehingga mudah diidentifikasi, letak sel
yang baru dengan sel yang lain relatif renggang (Gambar 6.1)
sehingga memudahkan penetrasi larutan enzim.
Kultur Jaringan Tanaman
125
Gambar 6.7. Struktur anatomi daun, jaringan mesofil terdiri dari
palisade parenkim dan spon parenkhim (George et al., 2008).
Protoplas yang berasal dari mesofil daun akan berwarna
hijau, sedangkan yang berasal dari kalus atau kultur suspensi sel
hasil budidaya jaringan akan berwarna putih jernih. Hal ini sangat
penting untuk pemilihan pasangan fusi. Inkubasi eksplan dalam
larutan enzim biasanya bervariasi antara 2-24 jam tergantung dari
konsentrasi larutan enzim, macam bahan dan jenis tanaman yang
digunakan. Untuk bahan daun biasanya di inkubasi semalam atau
12-18 jam dalam larutan enzim, diletakkan di atas penggojok
berkecepatan rendah, kondisi gelap, pada suhu 28°C.
Kultur Jaringan Tanaman
126
Gambar 6.8. Prosedur isolasi protoplas secara enzimatik dengan
eksplan daun (George and Sherrington, 1984).
Setelah waktu inkubasi selesai, suspensi protoplas harus
dipisahkan dari larutan enzim. Masih terdapatnya sisa-sisa larutan
enzim dapat menghambat pembentukan sel kembali. Oleh karena
itu harus dilakukan prosedur pemurnian protoplas atau purifikasi.
Purifikasi dilakukan dengan penyaringan, centrifugasi dan
pencucian. Untuk mendapatkan protoplas intak dapat diberi
perlakuan gradient sukrosa. Sukrosa dengan berat molekul tertentu
akan dapat mengendapkan debris yang berupa sisa-sisa jaringan
epidermal, jaringan pengangkut. Protoplas yang rusak dan agregat
sel, sedangkan protoplas yang viabel akan tetap mengapung
dipermukaan larutan.
Kultur Jaringan Tanaman
127
Metode lain yang hampir sama dengan prinsip di atas
adalah dengan menggunakan larutan ficoll (polisukrosa). Hasil
protoplas intak yang diperoleh dapat bermacam-macam tergantung
dari sumber eksplannya. bila dilihat dengan mikroskop akan
tampak berbetuk bulat. Pada umumnya ditemukan adanya
vacuolated protoplast, protoplas dengan kloroplas yang tersebar di
sekitar membran plasma bagian dalam, protoplas dengan kloroplas
menggerombol dekat membran plasma secara monopolar,
protoplas yang mengandung zat warna antosianin dan protoplas
yang tidak berwarna.
Protoplas lengkap yang diperoleh setelah prosedur
purifikasi dapat dibudidayakan atau diinduksi ke arah fusi untuk
itu protoplas-protoplas harus berada dalam kondisi yang cukup
densitas maupun viabilitasnya. Biasanya dalam kisaran jumlah
tertentu untuk masing-masing tanaman. Apabila kurang atau lebih
dari kisaran tertentu protoplas akan sukar tumbuh dan berkembang.
Protoplas tembakau optimum pada kerapatan sekitar 105 protoplas
ml-1 atau 1-5 x l06 protoplas g-1 jaringan daun. Protoplas Petunia
optimum pada konsentrasi sekitar 2,5 x 106 protoplas ml-1.
Konsentrasi protoplas dapat dideterminasi dengan menggunakan
Haemositometer modifikasi Fuchs-Rosenthal dengan kedalaman
0,2 mm atau dengan manipulasi yang sama seperti penghitungan
populasi mikroorganisme dalam mikrobiologi.
Viabilitas protoplas dapat diuji dengan pengecatan
menggunakan cat Fluorescein, yaitu FDA (Fluoresceindiacetat),
Calcofluor White (untuk regenerasi dinding sel) atau pewarnaan
ganda FDA dengan PI (Propidium Iodide). Dua cat fluorescein
yang disebut pertama, hanya dapat mewarnai protoplas yang
viabel, karena cat hanya dapat terkumpul pada plasmalemma
protoplas yang masih hidup, dapat dideteksi dengan mikroskop
fluoresensi. PI dapat mewarnai sel-sel mati, dengan pewarnaan
ganda protoplas yang hidup maupun yang mati dapat dideteksi.
Kultur Jaringan Tanaman
128
Dodds dan Roberts (1983) menggunakan Evan's Blue 0,1% untuk
menguji viabilitas protoplas. Protoplas yang viabel akan mampu
menolak masuknya zat warna biologis tersebut. Impermeabilitas
sel untuk cat ini dapat digunakan sebagai indikator viabilitas
protoplas
Protoplas sudah berhasil diisolasi dari banyak spesies
tumbuhan, ketiadaan dinding sel sebagai barier mekanik
memungkinkan protoplas dipergunakan untuk berbagai keperluan:
(1) dilakukannya peleburan protoplas yang diperoleh dari sel-sel
somatik dari jenis tanaman yang berbeda, sebagai hasil dari
hibridisasi somatik, dimungkinkan terjadinya kombinasi
genetik baru;
(2) studi introduksi DNA asing, organel, partikel bakteri atau virus,
dan
(3) mendapatkan tanaman dengan sifat yang lebih baik melalui
variasi somaklon.
Kultur protoplas dapat dilaksanakan derigan berbagai cara
misalnya dengan meneteskan suspensi protoplas pada dasar
petridish, atau dengan cara meneteskan pada dasar petridish
kemudian membaliknya (hanging drop culture). Protoplas juga
dapat dikulturkan dengan meneteskan suspensi protoplas di atas
medium padat sehingga membentuk lapisan tipis, atau dengan
meresuspensikan pada medium agar yang masih cair kemudian
dituangkan pada petridish sehingga membentuk lapisan tipis
protoplas yang terjerat di dalam matrik agar, cara ini mirip dengan
plating sel pada kultur suspensi sel. Medium yang digunakan untuk
kultur protoplas dapat menggunakan medium MS atau B5, di
dalam medium kultur harus mengandung osmotikum sorbitol atau
mannitol yang diperlukan sampai dinding sel terbentuk.
Perkembangan protoplas dapat diamati secara langsung di
bawah mikroskop inverted, dalam waktu 2-3 minggu protoplas
Kultur Jaringan Tanaman
129
yang viabel telah dapat meregenerasikan dinding selnya secara
penuh. Pada saat ini, tekanan osmotik medium perlahan-lahan
diubah dengan meneteskan medium tanpa mannitol atau sorbitol.
Bila tekanan osmotik medium tidak diubah dapat menghambat
pembelahan sel. Indikator terbaik untuk melihat perkembangan
protoplas adalah dengan pengecatan Calcofluor White (CW), cat
ini spesifik mengikat 1-3 glucan pada dinding sel. Protoplas yang
dicat dengan CW dapat divisualisasikan dengan mikroskop
fluorescent.
Tatalaksana isolasi dan kultur protoplas dikerjakan sebagai
berikut:
Persiapan larutan-larutan:
I. Larutan Enzim (LM)
1,2 % w/v Cellulase Onozuka R-10; 0,4 % w/v Macerozyme R10; 13 % w/v Mannitol; dilarutkan dalarn larutan CPW pH 5,8
Sterilisasi dengan millipore filter.
II. Larutan Pencuci (LP)
13 % w/v Mannitol;
dilarutkan dalam larutan CPW pH 5,8;
Sterilisasi dengan autoclave.
III. Larutan Sukrosa (LS)
0,6 M sucrose;
dilarutkan dalam larutan CPW
Sterilisasi dengan autoclave.
IV. Larutan CPW
27,2 mg.L-1 ;
KNO3
KH2PO4
-1
CaCl2.2H2O 1.480 mg.L ;
MgSO4.7H2O
-1
KJ
0,16 mg.L ;
CuSO4.5H2O
pH 5,8;
Sterilisasi dengan autoclave.
pH 5,8;
101 mg.L-1
246 mg.L-1
0,025 mg.L-1
Stok KJ : 0,6 mg.L-1 dibuat l00x = 200/2 x 0,16 = 16 mg/20ml
Untuk membuat 1 liter medium CPW dibutuhkan 2 ml stok KJ
Stok CuSO4.5H2O = 0.025 mg.L-1 dibuat 1000x = 500/0,5 x 0,025
= 25 mg/500 ml
Kultur Jaringan Tanaman
130
Untuk membuat 1 liter medium CPW dibutuhkan 0,5 ml Stok
CuSO4.5H2O
V. Medium Kultur (MSP)
Medium dasar MS dengan sukrosa 20 g.L-1 dan mannitol
50g.L-1, 2,4-D 1 mg.L-1, dipadatkan dengan 0.6 % Sea Plaque
Agarose. Medium MSP cair tanpa agarose. Sterilisasi dengan
autoclave.
Tata Laksana
I. Alat-alat yang dibutuhkan:
1. Centrifuge dengan tabung centrifugasi steril
2. Skalpel, pinset steril
3. Nylon filter 60 µm, corong steril
4. Petridish steril
5. Aquadest steril
6. Objek glas cekung
7. Pipet Pasteur
8. Erlenmeyer 50 ml
9. Millipore filter + alat suntik (syrink)
10. Aluminum foil, parafilm
11. Rak tabung reaksi
12. Mikroskop
13. Kertas tissue
14. Laminar Air Flow Cabinet
15. Autoclave
16. Timbangan analitik
17. Mikroskop
18. Haemocytometer
19. Shaker
Kultur Jaringan Tanaman
131
II. Larutan yang dipersiapkan:
1. Larutan Enzim (LM)
50 ml
2. Larutan Pencuci (LP)
l00 ml
3. Larutan Sukrosa (LS)
50 ml
4. Medium MSP padat dan cair, masing-masing l00 ml.
III. Eksplan
Digunakan eksplan daun dari tanaman anggrek bulan atau
plantlet tembakau in vitro, atau tanaman lain hasil kultur jaringan
in vitro yang tidak terkontaminasi (steril).
IV. Cara kerja
1. Penghilangan dinding sel
Ambil 5 helai daun anggrek masing-masing dengan
panjang ±3 cm, dengan menggunakan scalpel tajam daun diiris-iris
±1 mm, irisan segera dimasukkan dalam Erlenmeyer 50 ml yang
berisi larutan enzim sebanyak 25 ml, letakkan di atas shaker
(penggojok) 20 rpm dalam gelap selama 24 jam. Perlakuan lain
bisa juga tanpa penggojokan dengan variasi waktu yang berbedabeda dan diinkubasikan dengan pencahayaan 1000 lux.
2. Pencuciun protoplas
Erlenmeyer yang berisi suspensi protoplas digoyang pelanpelan supaya protoplas terlepas dari ikatan jaringan dan suspensi
menjadi homogen, kemudian disaring dengan nilon filter, protoplas
yang sudah disaring ditampung dalam tabung sentrifugasi.
Suspensi protoplas kemudian disentrifugasi 500 rpm selama 10
menit, protoplas akan mengendap. Dengan menggunakan pipet
Pasteur, supernatant (larutan bagian atas) dibuang. Masukkan
larutan pencuci secara perlahan, caranya dengan menggunakan
pipet, larutan pencuci diteteskan melalui dinding tabung,
resuspensikan dengan hati-hati sampai homogen. Suspensi
Kultur Jaringan Tanaman
132
protoplas kemudian disentrifugasi 500 rpm selama 5 menit,
protoplas akan mengendap, dengan pipet Pasteur supernatant
dibuang. Masukan 1 ml larutan pencuci, resuspensikan dengan
hati-hati sampai suspensi protoplas homogen.
3. Pemurnian protoplas
Dengan menggunakan pipet Pasteur, masukkan 3 ml larutan
sukrosa dengan cara memasukkan ujung pipet sampai ke dasar
tabung, kemudian dengan hati-hati larutan sukrosa di-keluarkan.
Suspensi protoplas akan mengapung di atas permukaan. Lakukan
sentrifugasi 500 rpm selama 10 menit, protoplas akan terpisah dari
debris. Protoplas murni ada di lapisan atas sedangkan debris ada di
dasar tabung. Dengan menggunakan pipet, ambillah suspensi
protoplas murni yang ada di permukaan, masukkan ke dalam
tabung sentrifugasi baru, tambahkan 1 ml medium MSP cair,
hitung kerapatan protoplas dengan haemocytometer, atur supaya
kerapatan protoplas 1 x 105 protoplas.ml-1 dengan menambahkan
medium kultur.
4. Kultur protoplas
Ambil protoplas dengan pipet mikro 100 μL teteskan 3-4
tetes ke dalam petridish berdiameter 3 cm, simpan di dalam
petridish berdiameter 5 cm yang berisi potongan kertas saring
basah kemudian disegel dengan parafilm, simpan di dalam
inkubator pada kondisi gelap dengan suhu 25oC. Amati
perkembangan protoplas setelah 2-3 hari dengan mikroskop
inverted.
Kultur Jaringan Tanaman
133
DAFTAR PUSTAKA
Binarova, P., Hause, G., Cenklova, V., Cordewener, I.H.G., dan
Van Lookern Campagne, M. M., 1997. A short severe heat
shock is required to induce embriogenesis in late bicellular
pollen of Brassica napus. Sex. Plant Reprod., 10: 200208.
Biondi, S. dan T.A., Thorpe, 1981. Requirements for a tissue
culture facility. Dalam: Plant Tissue Culture methods and
Applications in Agriculture, Thorpe, T.A. (ed), Academic
Press San Fransisco. pp: 1-20.
Bhojwani, S.S., dan M.K. Razdan, 1983. Plant tissue culture.
Theory and Practice. Elsevier Science publ. Co.
Amsterdam.
Constabel, F., 1984. Isolation and culture of plant protoplasts.
Dalam: Plant Tissue Culture Methods. Gamborg, O.L. dan
L.R. Wetter, (eds). National Research Council of Canada.
Prairie Regional Lab. Saskatoon Saschatchewan, pp: 11-21.
Cordewener, I.H.G., Busink, R., Trass, J.A., Custer, J.B.M., Dons,
H.I.M., dan Van Lookern Campagne, M.M., 1994.
Induction of microspore embriogenesis in Brassica napus is
accompanied by specific changes in protein synthesis.
Planta, 195: 50-56.
Day, A. dan T.H.N. Ellis, 1984. Chloroplast DNA deletions
associated with wheat plants regenerated from pollen
possible basis for maternal inheritance of chloroplast. Cell,
39: 359-368.
Dodds, H.I. dan L.W. Roberts, 1983. Experiments in plant tissue
culture. Cambridge Univ. Press. Cambridge.
Kultur Jaringan Tanaman
134
Gamborg, O. dan L.P. Shylluk, 1981. Nutrition media and
characteristic of plant cell and tissue culture. Dalam: Plant
Tissue Culture Methods and Applications in Agriculture,
Thorpe, T.A. (ed). Academic Press San Fransisco, Pp: 2144.
George, F.E. dan P.D. Sherrington, 1984. Plant propagation by
tissue culture. Handbook and Directory of Commercial
Laboratories. Exegetics Ltd. Eversly, Basingstoke, Hants.
England.
George, E.F., Hall, M.A. and De Klerk G-J., 2008. Plant
Propagation by Tissue Culture. 3rd Edition. Springer, The
Netherlands.
Guha, S.S. dan C. Maheshwari, 1966. In vitro production of
embrios from anthers in datura. Nature, 204: 497.
Hahne, G., Herth, H. dan F. Hoffmann, 1983. Wall formation and
cell division fluorescence labelled plant protoplast.
Protoplasma, 115: 217-221.
Harada, T., Sato, T., Asahaka, D. dan I. Matsukawa, 1991. Large
scale deletions of rice plastid DNA in anther culture.
Theor. Appl. Genet., 81: 157-161.
Heberle-Bors, E., 1999. Stres treatments for turning immature
pollen grains into plants. NRC's PBI Bull. January 1999, p.
9-10.
Heberle-Bors, E., 1991. Germ line transformation in higher plants.
IAPTC Newsletter, 64: 1-10.
Henry, Y. dan J. De Buyser, 1990. Wheat anther culture:
Agronomic performance of doubled haploid lines and the
release of variety "Florin". Dalam: Biotechnology in
Agriculture and Forestry: Wheat, Bajaj, Y.P.S (ed).
Kultur Jaringan Tanaman
135
Springer Verlag, pp: 185-352.
Hess, D., 1987. Pollen grains based techniques in genetic
manipulation. Int. Rev. Cytol., 107: 169-198.
Heyn, R.F., 1974. Protoplast and DNA studies toward the genetic
modification of plant cells. Leiden State Univ.
Indrianto, A., Heberle-Bors, E. dan A. Touraev, 1999. Assessment
of various streses and carbo-hydrates for their effect on the
induction of embriogenesis in isolated wheat microspore.
Plant Sci., 143: 71-79.
Kite, L., 1983. Plants from test tubes. An introduction to
micropropagation. Timber Press, Portland, Oregon.
Koehler, F. dan G. Wenzel, 1985. Regeneration of isolated barley
microspores in conditioned media and trial to characterize
the responsible factors. J. plant Physiol., 111: 181-191.
Larkin, P.J., 1976. Purification and viability determination of plant
protoplast. Planta, 118: 118-216.
Morrison, R.A. dan D.A. Evans, 1988. Haploid plants from tissue
culture: New plant varieties in a shortened time frame.
Biotechnology, 6: 684-690.
Nitsch, C., Andersen, S., Godard, M., Neuffer, M.G. dan W.F.
Sheridan, 1986. Production of haploid plants of Zea mays
and Pennisetum through androgenesis. Dalam: Crops I
(Biotechnology in Agriculture 2), Bajaj, Y.P.S. (ed).
Springer-Verlag, pp 168-180.
Neuhaus, G., Spangenberg, G., Mittelsten-Scheid, O. dan H.G.
Schweiger, 1987. Transgenic rape seed plants obtained by
the micro injection of DNA into microspore-derived
embrios. Theor. Appl. Genet., 75: 30-36.
Kultur Jaringan Tanaman
136
Pierik, R.L.M., 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus
Nijhoff Publ. Dordrecht, Boston, Lancaster.
Saunders, J.A., Matthews, B.F. dan S.L. Van West, 1991. Pollen
grains electro transformation for gene transfer in plants.
Dalam: Guide to electrophoration and electrofusion.
Chang, D. C., Chassy, B.M., Saunders, J.A. dan A.E.
Sower, (eds). Academic press, pp: 227-247.
Simmonds, D.H., 1994. Mechanism of induction of microspore
embriogenesis in Brassica napus. Significance of the
preprophase band of microtubules in the first sporophytic
division. Dalam: Biomechanics of active movement and
division of cells (NATO ASl series), Akkas, N. (ed).
Springer-Verlag, Berlin, pp: 569-574.
Stoeger, E., Benito-Moreno, R.M., Ylstra, B., Vicente, O. dan E.,
Heberle-Bors, 1992. Compa-rison of different techniques
for gene transfer into mature and immature tobacco Pollen
grains. Transgenic Res., 1: 71-78.
Stoeger, E., Fink, C., Pfosser, L.M. dan E. Heberle-Bors, 1995.
Plant transformation by particle bombardment of
embriogenic pollen grains. Plant Cell Rep., 14: 273-278.
Sun, C.S., Wu, S.C., Wang, C.C. dan C.C. Chu, 1979. The
deficiency of soluble proteins and plastids ribosomal RNA
in the albino pollen grains plastid of rice. Theor. Appl.
Genet., 55: 193-197.
Sunderland, N., 1978. Strategies on the improvement of yields in
anther culture. Dalam: Proc. Symp. Plant Tissue Culture.
Science Press, Peking, pp: 65-86.
Sunderland, N. dan F. Wick, 1971. Embrioid formation in pollen
grain of Nicotiana tabaccum. J. Exp. Bot., 22: 213-226.
Kultur Jaringan Tanaman
137
Takahata, Y. dan W.A. Keller, 1991. High frequency
embriogenesis and plant regeneration in isolated
microspore culture of Brassica oleracea L. Plant Sci., 74:
235-242.
Taniguchi, T., Sate, T., Maeda, K. dan E. Maeda, 1990.
Microscopic observations of fusion process of rice and
lecttuce protoplast. Dalam: The Impact of Biotechnology in
Agriculture. Sangwan, R.S. dan B.S. Sangwan (eds).
Kluwer Academic Publ. Netherland.
Touraev, A., Indrianto, A., Wratscho, I., Vicente, O. dan E.,
Heberle-Bors, 1996. Efficient microspore embriogenesis in
wheat (Triticum aestivum. L) induced by starvation at high
temperature. Sex Plant Repr., 9: 209-215.
Touraev, A., Stoeger, E., Voronin, V. dan E. Heberle-Bors, 1997.
Plant male germ line transfor-mation. The Plant Journal,
12(4): 949-956.
Zarsky, V., Garrido, D., Rihova, L., Tupy, J., Vicente, O. dan E.
HeberleBors, 1992. Derepres-sion of the cell cycle by
starvation is involved in the induction of tobacco pollen
grains embriogenesis. Sex Plant Repr., 5: 189-194.
Zhao, J-P., Simmond, D.H. dan W. Newcomb, 1996. Induction of
embriogenesis with colchicine instead of heat in
microspores of Brassica napus L. cv. Topas. Planta, 198:
433-439.
Kultur Jaringan Tanaman
138
INDEKS
2,4-dichlorophenoxy-acetic
acid, 4
A
aklimatisasi, 19, 20, 24, 83
androgenesis, 10, 101, 103,
113, 116, 118, 136
aneuploidi, 87
auksin, 4, 5, 8, 10, 35, 36, 37,
38, 75, 84, 86, 88, 94
autoclave, 20, 35, 47, 54, 55,
56, 130, 131
autotroph, 82
B
binocular microscope, 25
bud primordium, 57
C
centrifuge, 23
colchicine, 107, 108, 116,
117, 138
crown gall, 84
D
dediferensiasi, 3, 4, 6, 9, 83,
85, 86, 89
desinfektan, 50
dimorphism microspore, 112
dissecting microscope, 23
double haploid, 14
E
electrofusion chamber, 23
embrio asesori, 77, 79
Kultur Jaringan Tanaman
embriogenesis somatik, 6, 10,
36, 41
Embriogenesis somatik, 5
embriogenik, 5, 14, 78, 101,
102, 103, 109, 110, 111,
113, 114, 116, 117, 118
embryo rescue, 61
explant, 2, 57, 81
F
fluorescent, 23, 24, 25, 130
fusi protoplas, 11, 12, 25
G
gametocide, 113
gametoclonal variation, 106
gibberelic acid (GA3), 38
green house, 19
gynogenesis, 10
H
habituasi, 35, 36, 86
heterotrof, 3, 19, 83
heterotroph, 82
hibridisasi interspesifik, 11
hibridisasi somatik, 11, 120,
129
I
incompatibility, 15
Indole-3-acetic acid, 35, 39
indole-3-butyric acid, 35
inkubator, 19, 20, 49, 91, 99,
133
139
inokulum, 6, 81, 88, 93, 94,
96
inverted microscope, 25
J
jaringan meristematik, 29
K
kalus, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12,
15, 24, 26, 33, 35, 36, 37,
42, 66, 67, 69, 72, 75, 77,
78, 81, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 92, 93, 94,
98, 99, 104, 105, 108, 125,
126
kriopreservasi, 15
kultur embrio, 11, 42, 61, 62
kultur in vitro, 1, 2, 8, 9, 11,
12, 16, 17, 26, 27, 32, 33,
36, 39, 40, 81, 82, 83, 89,
110
kultur jaringan, 2, 3, 4, 6, 7,
10, 11, 15, 17, 18, 19, 22,
26, 27, 28, 34, 36, 39, 42,
49, 57, 61, 62, 71, 82, 84,
132, 144
kultur mikrospora, 10, 14, 21,
25, 33, 42, 102, 103, 105,
106, 107, 111, 112, 114,
118, 119
kultur organ, 10, 16, 61, 62
kultur ovule, 10, 14
kultur protoplas, 9, 11, 26,
41, 42, 129, 130
kultur pucuk, 62, 63, 64, 67,
69, 70, 72, 73, 74, 75
Kultur Jaringan Tanaman
kultur suspensi sel, 8, 9, 10,
13, 26, 42, 77, 84, 93, 94,
95, 96, 98, 100, 125, 126,
129
L
laminar air flow cabinet, 23
larutan stok, 21, 30, 43, 44,
46
l-naphthaleneacetic acid, 35
M
magnetic stirrer, 20, 22, 44,
45, 46
medium Gamborg, 42
medium kultur, 3, 4, 5, 8, 21,
22, 26, 27, 28, 29, 31, 32,
33, 34, 35, 36, 37, 38, 40,
42, 49, 50, 55, 56, 64, 67,
71, 83, 84, 85, 89, 93, 95,
102, 107, 112, 118, 119,
125, 129, 133
medium Murashige dan
Skoog, 42, 48
medium Vacint dan Went, 42
medium White, W63, 42
meristem aksiler, 57
meristem apikal, 57, 64
metabolit sekunder, 12, 87,
93
microinjection DNA, 25
morfogenesis, 4, 24, 36, 37
mutagenic agent, 4
N
N-6-benzyl-aminopurine, 36
140
O
Organogenesis, 4
P
parenchymatous, 86
phragmosome, 117
plantlet, 4, 5, 8, 9, 10, 12, 19,
20, 24, 62, 63, 71, 89, 101,
103, 105, 106, 107, 118,
119, 132
plantlet albino, 105, 119
poliembrioni, 77
poliploidi, 87, 107
proliferasi jaringan, 75, 78
protocorm, 78
R
rediferensiasi, 89
rekayasa genetika, 11
T
tekanan osmotik, 33, 119,
120, 124, 125, 130
teknik aseptik, 63
totipotensi, 2, 6, 7, 8, 9, 11,
109
transformasi sel, 11
V
vacum pump, 23
variasi somaklon, 11, 75, 129
Z
zat pengatur tumbuh, 3, 4, 5,
7, 8, 27, 31, 32, 33, 34, 38,
39, 45, 47, 64, 71, 74, 83,
86, 87, 88, 90, 94, 99, 111,
112, 119, 120
S
self-fertilization, 14, 109
shoot apical meristem, 57, 58
sitokinin, 5, 8, 10, 36, 37, 40,
64, 69, 71, 75, 76, 84, 86,
88, 94
sodium hypochlorite, 59
sterilisasi, 19, 20, 21, 22, 35,
47, 49, 50, 52, 54, 55, 56,
58, 59
sterilisasi eksplan, 49, 58, 59
stress pretreatment, 112, 115,
116
subkultur, 4, 22, 64, 66, 68,
69, 75, 78, 85, 86, 87, 88,
92, 94, 96, 99
Kultur Jaringan Tanaman
141
rsBN 978-602
-17 t7
6-4-6
Download