INTERNATIONAL HUMAN RESOURCE MANAGEMENT: Analisis

advertisement
INTERNATIONAL HUMAN RESOURCE
MANAGEMENT:
Analisis Budaya Perusahaan MNC (Multinational
Corporation) Berbasis Jepang di Indonesia
Abstract
Globalization creates the entrance wave of multinational companies to a country,
including Indonesia. The presence of MNC brings consequence of international human
resource managemen integration or what is called IHRM Japanese Companies in
Indonesia have philosophy, culture, strong valued and mantained, such as 5C (sairi,
seton, seiso, seiketsu, shitsuke). Organizational socialiation is considered as important
for Japanese countries so that there are special activities designed as a facility to
socialize with employees. Japan MNC is also known to set out Work-life balance, which
is an important factor for each employee, so that they have balance life quality between
family relation and job.
PENDAHULUAN
Era globalisasi merupakan era yang sedang kita hadapi saat ini. Globalisasi
sering dikatakan sebagai suatu proses atau keadaan dimana batas antar negara
1
dianggap menjadi lebih tidak kentara. Hal ini dikarenakan interaksi yang terjalin
antar negara semakin mudah, baik itu kemudahan dalam bertukar informasi,
perdagangan, teknologi, gaya hidup dan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Selain
itu, dengan terjadinya globalisasi maka pengalaman kehidupan sehari-hari, ideide, dan informasi di seluruh dunia menjadi bernilai standar. Keadaan demikian
dipengaruhi oleh teknologi komunikasi dan komunikasi yang semakin canggih
serta kegiatan perekonomian yang semakin luas dan merambah pasar dunia.
Dengan adanya globalisasi, perusahaan multinasional (multinational corporation/
MNC) dapat lebih bebas melakukan ekspansi negara-negara lain. Alasan untuk
mendapatkan sumber daya baru, mengurangi resiko politik, perluasan pangsa
pasar, dan lain sebagainya – merupakan hal-hal yang melandasi perusahaan
multinasional untuk memperluas operasinya. Hadirnya perusahaan multinasional
tersebut, tentu saja berkaitan dengan aspek SDM (sumber daya manusia) yang
dikelola sebagai penggerak bisnisnya tersebut. IHRM atauInternational Human
Resource Management menurut Lado & Wilson (1994) merupakan sejumlah
aktivitas, fungsi dan proses tertentu yang mengatur proses untuk menarik
(attracting), mengembangkan (developing) dan mempertahankan (maintaining)
sumber daya manusia di perusahaan multinasional. Dengan begitu IHRM
merupakan agregat dari sejumlah sistem pengelolaan SDM yang digunakan
untuk mengelola sumber daya manusia di lingkungan perusahaan multinasional,
baik di bagian local maupun di bagian internasional. Pengelolaan SDM pada
perusahaan multinasional melibatkan pengaturan yang lebih kompleks, seperti
masalah peraturan tenaga kerja yang berlaku, konversi upah & transfer pricing,
ekspatriat, hingga masalah budaya, yang pada akhirnya mempengaruhi budaya
perusahaan.
Budaya perusahaan merupakan satu set nilai, penuntun kepercayaan akan suatu
hal, pengertian dan cara berpikir yang dipertemukan oleh para anggota
orgaanisasi dan diterima oleh anggota baru seutuhnya[1]. (W. Jack Duncan:
1989). Tujuan budaya adalah untuk melengkapi para anggota dengan rasa
(identitas) organisasi dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang dianut
oleh organisasi.
Budaya perusahaan mampu memberi arah bagi kelangsungan hidup perusahaan
dan memberi suatu identitas khas baginya. Jepang merupakan salah satu negara
dengan perusahaan multinasional yang terbanyak di Indonesia. Tercatat, pada
tahun 2006 jumlah perusahaan Jepang yang ada di Indonesia berjumlah 783
banyaknya. Dan hal tersebut mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun
2014. Jepang juga dikenal sebagai negara yang memiliki nilai-nilai, filosofi, dan
semangat yang terkuat, yang ditularkan ke seluruh dunia melalui budaya
perusahaan pada perusahaan multinasional yang tersebar, termasuk di
2
Indonesia. Misalnya saja kehadiran perusahaan multinasional dari Jepang di
Indonesia mencontohkan nilai-nilai baik rakyat Jepang. Hal ini dikenal dengan
budaya Kaizen. Kaizen merupakan istilah dalam budaya Jepang yang bermakna
perbaikan secara berkesinambungan. [2] Dalam budaya Kaizen, semua cara
hidup baik itu dalam hal bekerja atau kehidupan social atau bahkan kehidupan
berumah tangga perlu disempurnakan setiap saat. Pandangan tersebut
menyiratkan bahwa setiap orang harus menyempurnakan hidup dan
kehidupannya. Budaya Kaizen yang selalu diterapkan oleh masyarakat Jepang
memiliki 5 nilai luhur yang sering disebut juga sebagai gerakan 5S. Nilai-nilai
tersebut dijadikan filosofi dalam kehidupan sehari-hari mereka dan merupakan
nilai yang kuat serta terus dipertahankan di sepanjang hidup mereka. Gerakan 5
S yakni berupa (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke). Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut : [3]





Seiri (ringkas) merupakan aktivitas menyingkirkan barang-barang yang tidak diperlukan
sehingga segala barang yang ada di lokasi kerja hanya barang yang benar-benar
dibutuhkan dalam aktivitas kerja.
Seiton (rapi) yakni segala sesuatu harus diletakkan sesuai posisi yang ditetapkan sehingga
siap digunakan pada saat diperlukan.
Seiso (resik) merupakan kegiatan membersihkan peralatan dan daerah kerja sehingga
segala peralatan kerja tetap terjaga dalam kondisi yang baik
Seiketsu (rawat) merupakan kegiatan menjaga kebersihan pribadi sekaligus mematuhi
ketiga tahap sebelumnya.
Shitsuke (rajin) yaitu pemeliharaan kedisiplinan pribadi masing-masing pekerja dalam
menjalankan seluruh tahap 5S.
Implementasi nilai 5S ini selalu dibarengi dengan penerapan budaya Kaizen. Hal
ini dilakukan dalam rangka untuk mencapai efektivitas pelaksanaan 5S. Selain
itu, penerapan 5S juga harus dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
urutannya. Oleh karenanya, hasil dari implementasi nilai sebelumnya akan
mempengaruhi tindakan implementasi nilai berikutnya. Contohnya yaitu jika nilai
pertama (seiri - ringkas) tidak dilaksanakan dengan baik, maka nilai berikutnya
(seiton – rapi) tidak akan dapat dijalankan secara maksimal, begitu seterusnya.
Dengan demikian maka penerapan nilai 5S ini juga mengajarkan tentang arti
kedisiplinan.
Negara Jepang mampu menjadikan berbagai perusahaannya menjadi
perusahaan multinasional raksasa di Asia. Jepang merupakan salah satu negara
Asia yang miskin akan sumber daya alam (SDA), namun dengan keunggulan
sumber daya manusia yang mereka miliki, mereka mampu menjadikan
negaranya menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Tulisan ini berusaha untuk menganalisis budaya perusahaan multinasional
3
(multinational corporation)berbasis Jepang yang ada di Indonesia, sebagai
langkah untuk pengelolaan IHRM (International Human Resource Management).
LANDASAN TEORI
IHRM (International Human Resources Management)
Menurut Taylor, Beechler, et al. 1996: 960), International Human Resources
Management(IHRM) dapat didefinisikan sebagai
“The set of distinct functions and provess that are directed at attracting, developing, and
maintanining on MNC’s human resources. It is agfregate of the various HRM systems
used to manage people in the MNC, both at home and overseas”.
Artinya adalah IHRM merupakan sekumpulan aktivitas, fungsi-fungsi, proses
yang berbeda yang diarahkan untuk menarik, mengembangkan, dan memelihara
sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan multinasional. IHRM terdiri
dari berbagai macam sistem SDM yang digunakan untuk mengelola orang-orang
yang terdapat dalam perusahaan multinasional, baik di negara asalnya maupun
di luar negeri.
Menurut Dowling – Welch (2004), model IHRM dapat dijelaskan pada tiga
dimensi berikut[4]:



Kategori aktivitas HRM tipikal HRM yang lebih luas (rekrutmen, ekpatriatisasi, dan
kepegawaian secara lebih lanjut)
Kagegori negara yang lebih luas, dimana aktivitas IHRM dilakukan (negara induk/ negara
asal, negara tujuan, negara lainnya)
Kategori negara dan asal kelompok karyawan yang lebih luas.
Faktor-Faktor yang Mendiferensiasikan antara HRM Lokal dan IHRM
1. Ekspatriat
Faktor perbedaan yang sangat kuat antara HRM domestik dan internasional
adalah eksistensi dan peran yang disebut ekspatriat, yang pindah dari satu
negara ke negara lain, dan disana mereka memiliki pekerjaan selama periode
waktu singkat atau lama, menjadi penghuni negara yang menerimanya. Konsep
ekspatriat tradisional diperluas di beberapa negara, dan banyak negara yang
mulai menyebutnya dengan international assigner. Konsep baru lainnya juga
berkaitan dengan penugasan orang lokal dari negara yang menerima ke negara
induk, yang disebut impatriates (Dowling-Welch, 2004).
2. Aktivitas HR
Departemen HR pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi pada lingkungan
internasional melakukan beberapa aktivitas yang tidak diperlukan pada tataran
4
domestik. Contoh klasiknya adalah perpajakan internasional, yang berarti bahwa
departemen HR tidak hanya familiar dengan pajak pendapatan domestik, tetapi
juga dengan praktek di negara tersebut, dimana ekspatriat perusahaan bekerja.
3. Insight (Wawasan) pada Kehidupan Pribadi Karyawan
Departemen HR pada perusahaan yang beroperasi di beberapa negara di
seluruh dunia memperluas perhatian mereka pada semua negara yang
terpengaruh, dan untuk semua karyawan yang diawasi secara langsung.
Teknologi informasi saat ini memberikan kemungkinan tracking, artinya database
sumber daya manusia secara global dan survey kepuasan pelanggan dilakukan
pada skala global dengan dukungan IT. Terdapat interferensi yang lebih luas
dengan kehidupan pribadi karyawan. Ini merupakan masalah yang menarik
dalam IHRM. Karakteristik ini berkaitan dengan fakta bahwa seringkali kegagalan
ekspatriat tidak dihasilkan oleh kinerja yang buruk, tetapi adaptasi yang kurang
tepat dengan anggota keluarga mereka (Dowling-Welch, 2004). Jadi, perusahaan
multinasional harus memberikan penekanan lebih luas pada anggota keluarga
mereka.
4. Fase Kematangan Anak Cabang Asing
Perubahan pada maturitas subsidiari lokal mempengaruhi manajemen dan
kebijakan SDM yang berlaku. Karakteristik lain dari kematangan subsidiari dapat
dicapai apabila karyawan lokal dipindahkan atau menjadi statis inpatriate.
5. Resiko Pekerjaan
Dimensi-Dimensi HRM
1. Formalitas, didefinisikan sebagai perluasan dimana aktivitas-aktivitas HRM dikodifikasi
dan/atau mengikuti sekumpulan prosedur dan rangkaian tertentu. Misalnya, untuk
penilaian kinerja, beberapa organisasi menggunakan bentuk yang telah baku dan
melakukan wawancara pada interval yang reguler; sementara lainnya bersifat sistematis,
dengan sedikit dokumentasi (Bird & Beechler, 1992).
2. Eksplisitas, merujuk pada kebijakan HRM, kriteria pengambilan keputusan, dan aktivitas
HRM manakah yang secara jelas dinyatakan dan dikomunikasikan untuk semua anggota
organisasi. Beberapa kebijakan dapat dinyatakan dengan detail yang jelas, walaupun
mereka masih dapat dipahami dengna baik, diartikulasikan dengan baik atau dijelaskan
secara eksplisit.
3. Horizon waktu, merujuk pada perluasan fokus aktivitas HRM manakah yang berlawanan
dengan perhatian masa depan. Misalnya, komponen insentif dari paket kompensasi dapat
didasarkan pada pencapaian tujuan jangka pendek (3-6 bulan) atau jangka panjang (18-24
bulan).
5
4. Partisipasi, merupakan perluasan dimana karyawan dan departemen-departmen
berpartisipasi dalam keputusan HRM. Misalnya, beberapa keputusan perekrutan di
organisasi ditangani secara keseluruhan oleh personnel office; sementara dalam
keputusan perekrutan lainnya dilakukan secara gabungan oleh personnel office dan unit
bisnis dimana karyawna baru tersebut akan bekerja.
5. Scope, mengarah pada kedalaman fokus aktivitas-aktivitas HRM, perluasan dimana
aktivitas yang dikonsentrasikan atau diarahkan pada tujuan atau sasaran terbatas.
6. Frame of Reference, merupakan derajat untuk basis perbandingan atau evaluasi manakah
dari aktivitas-aktivitas HRM yang berada dalam organisasi ketimbang antara organisasi.
7. Keadilan
8. Individualisme, maksudnya adalah aktivitas HRM manakah yang diarahkan terhadap,
atau diorientasikan sekitara individu yang bertentangan dengan kelompok.
Delapan dimensi tersebut dapat diterapkan pada masing-masing fungsi HRM,
misalnya:planning, staffing, compensation, appraisal, dan training.
Budaya Perusahaan
Untuk memahami kelompok manusia dan masyarakat diperlukan pengetahuan
tentang budaya. Budaya. dalam hal ini adalah kehidupan manusia itu sendiri
yang meliputi pikiran, karya dan hasil karyanya. Budaya itu terdiri dari sesuatu
yang tidak bisa diraba seperti nilai, kepercayaan, norma perilaku dan pola sikap.
Kesemuanya disebut intangible things, tidak bisa dilihat, diamati secara kasat
mata. Namun demikian dalam perusahaan kesemuanya itu merupakan kekuatan
yang selalu berada dibelakang kegiatan perusahaan yang dapat dilihat dan
diamati oleh kita.
Budaya perusahaan merupakan energi yang dapat menggerakkan orang-orang
untuk bekerja. Budaya perusahaan sering juga disebut budaya korporat
merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan
digunakan sebagai acuan atau pedoman kerja karyawan. Schein (1985),
berpendapat bahwa budaya korporat mengacu kepada suatu sistem makna
bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu
dengan organisasi lainnya. Sedangkan menurut Robbins (1990), budaya korporat
disebut juga sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan
organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah.
Ada tujuh karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Inovasi dan keberanian mengambil resiko.
Perhatian terhadap detail.
Berorientasi pada hasil.
Berorientasi pada manusia.
Berorientasi tim.
Agresif.
6
7. Stabil (Robbins, 2001).
Terdapatnya nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh anggota
organisasi, merupakan hal yang urgen dalam budaya korporat. Nilai-nilai itu
menjadi perekat organisasi untuk mengikat anggota-anggota organisasi. Ditinjau
dari sistem informasi, budaya korporat berguna sebagai instrumen untuk
mempertahankan dan menyebarkan pengetahuan, kepercayaan, dan tingkah
laku. Matsumoto dalam Moeljono (2003), mendefinisikan budaya korporat
sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang dipegang
oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi
berikutnya. Dengan demikian, budaya korporat tidak hanya menekankan pada
sistem nilai-nilai yang diyakini, tetapi juga diajarkan untuk semua anggota
organisasi. Peran budaya dalam perusahaan dapat dibagi dalam lima peran:
1. Budaya memberikan rasa memiliki identitas dan kebanggaan bagi karyawan, yaitu
menciptakan perbedaan yang jelas antara organisasinya dengan yang lain.
2. Budaya mempermudah terbentuknya komitmen dan pemikiran yang lebih luas daripada
kepentingan pribadi seseorang.
3. Memperkuat standar perilaku organisasi dalam membangun pelayanan superior pada
pelanggan.
4. Budaya menciptakan pola adaptasi.
5. Membangun sistem kontrol organisasi secara menyeluruh.(Poerwanto, 2008)
Para pendiri perusahaan merupakan faktor penting terbentuknya budaya awal
perusahaan, Mereka membentuk visi dan misi perusahaan yang akan
memberikan bentuk perusahaan. Menurut Schein (dalam Robbins, 1990),
budaya perusahaan merupakan hasil dari interaksi antara (1) bias dan asumsi
para pendirinya dan (2) apa yang dipelajari oleh para anggota pertama
perusahaan yang dipekerjakan oleh para pendiri, dari pengalaman mereka
sendiri. Budaya perusahaan yang dibangun oleh para pendiri merupakan jiwa
bagi anggota-anggotanya, karena itu perlu contoh atau keteladanan dari para
pendiri kepada anggota organisasi sehingga budaya yang telah ada dapat
menjadi moral dalam menjalankan perusahaan. Dalam hal ini, pendiri harus
mampu membangun komunikasi organisasi yang dapat dijadikan sebagai
instrumen untuk melanggengkan budaya perusahaan. Budaya perusahaan yang
sudah terbentuk, perlu dipertahankan agar dia tetap hidup. Pemberian
pengalaman yang sama kepada sejumlah pegawai merupakan cara agar budaya
perusahaan tetap eksis. Bentuknya dapat berupa sosialisasi budaya.
Robbins (2001), mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan proses adaptasi
karyawan terhadap budaya yang diciptakan organisasi. Poerwanto (2008),
mengemukakan sosialisasi terdiri dari dua tahap pokok: pembelajaran dan
7
adaptasi. Tahap pembelajaran adalah waktu karyawan belajar tentang pola
kehidupan organisasi. Karyawan mempelajari berbagai aturan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas serta pola perilakuorganisasional. Tahap adaptasi
merupakan waktu karyawan sudah melakukan penyesuaian terhadap sistem
keorganisasian yang merupakan suatu proses. Proses adaptasi karyawan
dilakukan dengan berbagai cara seperti keteladanan dari para pemimpin,
penokohan yaitu cerita tentang para pendahulu dalam membesarkan
perusahaan, rutinitas, simbol dan slogan atau kredo.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik observasi
dan studi literatur. Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan
pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang
akan diteliti. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara pengamatan dan
pencatatan mengenai pelaksanaan praktek pengelolaan SDM pada perusahaan
multinasional berbasis Jepang yang ada di Jakarta dan Bekasi, khususnya yang
berkaitan dengan budaya perusahaan. Sedangkan studi pustaka (literature
study) merupakan segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun
informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang
diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian,
karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapanketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak
maupun elektronik lain.
Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari
suatu penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan
diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang
peneliti dapat memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau
yang ada kaitannya dengan penelitiannya. Dan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat
memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan
penelitiannya. Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan
suatu tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang
relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan (Roth
1986)[5].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Perusahaan Multinasional Berbasis Jepang di Indonesia
Berdasarkan data tahun 2006, jumlah perusahaan Jepang yang ada di Indonesia
adalah sebanyak 783 perusahaan yang tersebar di Indonesia, belum termasuk
dengan anak-anak cabang yang ada di kota-kota lainnya. Sementara itu, di tahun
2014, Teikoku Data Bank (TDB) mengumumkan bahwa jumlah
8
perusahaan Jepang yang berinvestasi di Indonesia dalam tahun ini, naik 1,4 kali
dibandingkan tahun 2012. Paling banyak dari sektor manufaktur, tetapi bidang
jasa akhir-akhir ini juga semakin banyak mengincar Indonesia[6]. Survei TDB ini
berdasarkan file pada laporan terhadap credit check report (CCR) sebanyak 1,6
juta perusahaan yang berinvestasi di perusahaan lokal Indonesia per Mei 2014,
termasuk juga kantor perwakilan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Data
ditabulasikan dan dianalisa lebih lanjut berdasarkan juga asal
perusahaan Jepang tersebut, penjualan tahunan, lokasi kantor pusat dan
sebagainya. Survei ini kedua kali sejak Maret 2012.Di Indonesia saat ini ternyata
ada 1.763 perusahaan Jepang, yang disurvei TDB. Ternyata jumlah
perusahaanJepang yang berinvestasi di Indonesia itu meningkat 39,3 persen
dibandingkan survei Maret 2012 yang hanya sebanyak 1.266
perusahaan.Sebanyak 52,9 persen atau 932 perusahaan adalah perusahaan
manufaktur, 34,7 persen meningkat dibandingkan sebelumnya. Sedangkan
berdasarkan nilai penjualan tahunan, antara 10 miliar yen sampai dengan 100
miliar yen, jumlah perusahaan naik 73 persen dari 345 perusahaan menjadi 597
perusahaan saat ini yang investasi di Indonesia.
Dimensi-Dimensi SDM pada Perusahaan Jepang
a. Time Horizon
Perusahaan-perusahaan Jepang diidentifikasi memiliki time horizon jangka
panjang. Mereka merekrut fresh graduates dan mempertahankan pola hubungan
pekerjaan jangka panjang, memberikan penekanan yang kuat pada training dan
pengembangan karierk karyawan. Komitmen lifetime employment (pekerjaan
seumur hidup) dan mutual timeline dari karyawan serta perusahaan dianggap
sebagai batu penjuru yang penting bagi kohesivitas dan antara karyawan dan
perusahaan. Dalam praktek HRM, perusahaan Jepang dikenal memiliki praktek
perekrutan yang berkesinambungan dan konsisten untuk mengantisipasi
kebutuhan mendatang, dan hanya dilakukan dengan sedikit variasi. On-the-job
training pada perusahaan Jepang bersifat intensif dan dirancang untuk melatih
karyawan dengan keterampilan yang berbeda-beda agar mereka produktiv dalam
berbagai macam kapabilitas yang dimiliki untuk waktu yang cukup lama.
Beberapa perusahaan Jepang suka mempraktekkan rotasi kerja antara karyawan
pada satu departemen ke departemen lainnya. Kompensasi diberikan juga
berdasarkan premis long-term employment dengan peningkatan gaji secara
gradual (berangsur-angsur) pada tingkat minimal selama bagian pertama masa
jabatan karyawan, sehingga karyawan yang memiliki masa kerja yang lebih lama
pun akan mendapatkan pay package yang lebih besar. Gaji awal (starting
salary) biasanya rendah, dan pada beberapa perusahaan Jepang seringkali
memiliki komponen senioritas pada gaji yang ditawarkan, yang jumlahnya relatif
besar.
b. Partisipasi
9
Pendekatan partisipatif pada pengambilan keputusan merupakan karakteristik
organisasi Jepang yang paling membedakan dan paling banyak dikenal.
Komunikasi tatap muka pada perusahaan Jepang tidak berkaitan dengan
persepsi karyawan mengenai tingkat partisipasi mereka dalam pengambilan
keputusan. Manajer Jepang lebih konsultatif ketimbang partisipatif; mereka
enggan berbagi kekuasaan dalam hal pengambilan keputusan dengan karyawan.
c. Scope
Perusahaan Jepang menentukan cakupan yang lebih luas, berfokus pada
aktivitas dan tujuan/ sasaran yang berbeda. Misalnya, bonus bagi karyawan
Jepang selalu memiliki korelasi dengan kinerja organisasi yang meningkat, dan
bonus tersebut biasanya besarnya adalah sekian persen dari take home pay yang
jumlahnya cukup lumayan (signifikan). Fokus yang luas ini juga dapat dilihat
pada praktek rotasi pekerjaan (job rotation) dan aktivitastraining yang lebih
dilakukan secara general ketimbang terspesialisasi. Penilaian kinerja yang
dilakukan seringkali didasarkan atas performa business unit atau group, ketimbang
kemampuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh karyawan.
d. Frame of Reference
Perbedaan pada mobilitas pasar tenaga kerja bagi perusahaan Jepang lebih
sering terfokus secara internal. Misalnya, berkaitan dengan masalah promosi,
pada perusahaan Jepang biasanya dilakukan metode mengisi sebagianbesar
posisi manajemen lini tengah dan lini atas, dan terdapat syarat masa kerja
minimum yang diperlukan untuk mencapai peringkat status organisasional
tertentu, setelah itu karyawan baru dapat dipromosikan secara otomatis ke
pangkat yang lebih tinggi.
e. Keadilan
Perusahaan-perusahaan Jepang secara luas dikenal lebih
mengejar equality (keadilan & kesetaraan) ketimbang equity (ekuitas). Misalnya,
perusahaan Jepang cenderung menghargai karyawan secara adil, ketimbang
melakukan evaluasi secara fair. Sistemequality-based pay untuk senioritas
ketimbang kinerja individu lebih berkembang pada masyarakat dimana kontribusi
nilai-nilai kelompok lebih dihargai daripada pengakuan individual. Gaji diputuskan
berdasarkan keseimbangan dengan orang lain dalam satu tim, dan secara
praktis semua karyawan pada unit tersebut diberikan paket gaji yang sama.
Bonus dan benefit fleksibel yang sifatnya group-based lebih umum
diimplementasikan daripada program insentif individu karena kecenderungan
perusahaan Jepang untuk melatih kerjasama dan suportivitas diantara
karyawannya, ketimbang prestasi kerja secara individual.
Akan tetapi, pada beberapa perusahaan Jepang lainnya, sistem seperti ini mulai
bergeser, khususnya ketika diaplikasikan di Indonesia, karyawan di Indonesia
10
lebih menyukai pay for performance ketimbang pay for seniority dan team-based
pay. Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan antara ekuitas dan equality itu
berubah.
f. Individualitas/ Kelompok
Orientasi kelompok yang kuat merupakan label umum yang masih banyak
diterapkanpada perusahaan Jepang, mungkin karena budaya yang masih sangat
kolektif. Misalnya, penting bagi orang Jepang untuk menciptakan budaya
perusahaan (corporate culture) yang mempromosikan nilai-nilai kerjasama.
Terdapat preferensi yang kuat untuk tanggung jawab bersama pada perusahaan
Jepang, seperti konsensus dalam pengambilan keputusan pada sebuah budaya
yang memiliki mentalitas groupthink yang kuat.
Penerapan Filosofi, Nilai, Budaya Organisasi Jepang di Indonesia
Pentingnya MNC dalam transmisi nilai-nilai juga dicatat oleh Dunning (1993)
dalam Bosch & Matsuo (2011: 137) yang menekankan bahwa MNC dapat
“mengjinjeksi” nilai-nilai dari Negara asal mereka ke dalam aktivitas mereka di
negara tujuan (host countries). Secara historis, studi empiris mengenai nilai-nilai
telah dilakukan oleh psikolog lintas budaya seperti McClelland et al. (1953),
Rokeach (1973), Inglehart (1977), dan Hofstede (1980). Pada sebuah
perusahaan, nilai-nilai social secara sentral berada pada praktek SDM, dimana
SDM merujuk pada semua kebijakan dan praktek yang berorientasi pada
organisasi (Strauss, 2001, p. 874).
Jepang misalnya, seperti tulisan dalam Kompas 14 Januari 2013, memiliki etos
kerja, semangat juang dan disiplin tinggi yang kesemuanya sudah menjadi nilainilai untuk menjadi pedoman dan diterapkan dalam perilaku keseharian
masyarakatnya. Beberapa nilai yang diterapkan yaitu bushido,kai zen, keisan dan
kedisiplinan ala samurai. Bushidodiartikan sebagai semangat kerja keras. Jepang
dikenal sebagai bangsa yang mau terus menerus belajar dan mengembangkan
diri. Perusahaan-perusahaan di Jepang tidak cepat puas diri. Mereka selalu
melakukan inovasi-inovasi. Kai zen adalah komitmen. Dalam dunia usaha, semua
pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien. Masuk dan pulang kerja tepat
waktu. Tak hanya dalam dunia usaha, di lingkungan sekolahpun, siswa masuk
dan pulang tepat waktu, jarang dijumpai mereka yang terlambat. Keisan diartikan
sebagai kesungguhan dengan minat yang tinggi. Jepang sangat ambisius untuk
melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Kemudian
kedisiplinan ala samurai, yaitu berani bertanggung jawab bila melakukan
kesalahan atau kekalahan. Sikap inilah yang membuat bangsa Jepang memiliki
dan menjaga harga diri.
Bangsa Jepang tidak memulai kebangkitannya dengan suatu sistem yang
canggih dan tidak ingin mencapai sesuatu dengan jalan pintas. Mereka
membangun kekayaan dengan sederhana, seperti dengan sistem 5S yaitu untuk
memelihara kondisi yang mantap dan memelihara kebiasaan yang diperlukan
11
untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Nilai-nilai asli Jepang yang hingga
ini masih diterapkan pada perusahaan-perusahaan MNC Jepang adalah 5S,
yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke, yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
a. SEIRI
(Arti: Organize/Organisir; konversi dalam Bahasa Inggris: Sort atau Sorting)
Lingkungan kantor di Jepang yang super-sibuk sangat rentan akan penumpukan
dokumen, kertas-kertas, dan media kerja lainnya. Masalah serius yang dapat
terjadi ketika dokumen menumpuk adalah banyaknya pekerjaan, pengajuan,
atau approval yang tertunda. Lama-kelamaan, akan sulit untuk memisahkan
antara dokumen yang membutuhkan aksi lebih lanjut, dan mana yang sudah
tidak diperlukan dan harus dibuang. Tumpukan inilah yang akan menghalangi
karyawan untuk bekerja secara efisien.
Prinsip dasar SEIRI adalah memastikan bahwa tumpukan semacam itu tidak
terjadi. Sangat penting untuk memilah sejak awal, mana yang diperlukan untuk
disimpan dan mana yang tidak. Perusahaan Jepang melakukan SEIRI dengan
memberikan tanda (dapat berupa label warna, kotak wadah, dan sebagainya)
yang akan memberi petunjuk, dokumen/barang apa yang harus disimpan dan
mana yang harus dibuang.
b. SEITON
(Arti: Neatness/Kerapian; konversi dalam Bahasa Inggris: Set in Order atau Simplify)
Setelah semua dokumen dan benda disortir (mana yang disimpan dan mana
yang dibuang), maka kini saatnya untuk bergerak ke tahap seiton. Disadari atau
tidak, kita banyak membuang jam-jam produktif di kantor untuk mencari atau
menjangkau berbagai barang yang berbeda yang diperlukan untuk pekerjaan.
Untuk menghindarinya, perusahaan Jepang memastikan barang dan dokumen di
kantor mereka harus ditata sedemikian rupa, berdasarkan kepentingan/frekuensi
penggunaannya. Mereka meletakkan barang yang sering dipakai di tempat yang
dekat dengan workstation sehingga mudah dijangkau, dan barang-barang yang
jarang digunakan diletakkan di tempat penyimpanan yang lebih jauh.
Selain meletakkan barang berdasarkan frekuensi penggunaannya, perusahaan
Jepang juga memastikan bahwa penyusunan barang serta dokumen tersebut
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah dikeluarkan/diambil; tidak
perlu usaha ekstra untuk memindahkan/mengeluarkan barang lain yang tidak
diperlukan lalu mengembalikannya lagi. Mereka benar-benar memastikan
efisiensi waktu dan tenaga. Posisi ideal penyimpanan adalah tempat yang masih
berada diantara mata dan pinggul manusia; tidak terlalu tinggi atau rendah.
c. SEISO
12
(Arti: Cleaning/Membersihkan; konversi dalam Bahasa Inggris: Shine atau Sweep)
Di Jepang, orang memiliki prinsip bahwa akan lebih sulit untuk mengembalikan
sesuatu benda kepada kondisi prima setelah beberapa lama terabaikan,
dibanding menjaga kondisi barang tersebut tetap prima. Menjaga setiap benda
tetap berada dalam kondisi terbaik mereka akan memperpanjang waktu pakai
dari barang-barang tersebut dan bahkan dapat mempermudah pekerjaan lainnya.
Perusahaan Jepang melakukan seiso; memastikan setiap benda berada dalam
kondisi terbaiknya sedapat mungkin. Mereka melakukannya dengan
menggabungkan rutinitas pembersihan dan perawatan (maintenance).
d. SEIKETSU
(Arti: Standardisasi; konversi Bahasa Inggris: Standardize)
Tanpa adanya struktur, mungkin tidak banyak hasil yang telah didapat dari setiap
inisiatif yang pernah dilakukan akan mampu bertahan. Mereka menyadari, tanpa
adanya struktur dan proses, hasil positif yang telah didapat akan cepat terkikis,
sementara banyak kebingungan yang terjadi, yang akan melempemkan inisiatif
5S. Karena itulah, mereka melakukan standardisasi dan dokumentasi proses
yang akan memastikan berjalannya SEIRI, SEITON, dan SEISO secara
konsisten dengan adanya SOP.
e. SHITSUKE
(Arti: Disiplin; konversi Bahasa Inggris: Sustain / Self-discipline)
Memulai inisiatif yang positif bisa jadi merupakan perkara mudah, namun
mempertahankan konsistensi dan hasil dari inisiatif tersebut bisa jadi merupakan
aspek yang paling sulit. Untuk meraih SHITSUKE, perusahaan Jepang
mengintegrasikan aktifitas dan penataan 5S kepada proses bisnis untuk memantau
kepatuhan setiap departemen dan sendi organisasi terhadap 5S.
Banyak perusahaan Jepang menggunakan strategi rewarding, yaitu memberikan
penghargaan kepada orang-orang yang telah berperan dalam implementasi 5S
sebagai aktifitas harian, disamping melakukan aktifitas dan pekerjaan mereka
sendiri. Organisasi harus mencari cara agar integrasi 5S menarik untuk
memastikan keterlibatan seluruhstakeholder.
Selain itu, mereka selalu mengadepankan perubahan/ perbaikan terus menerus
untuk mencapai dan mendapatkan segala sesuatu yang lebih baik di tempat
kerja. Mereka mau belajar seumur hidup, bahkan mau bekerja lembur tanpa
menuntut upah lembur. Jelas terlihat bahwa secara umum, perusahaan Jepang,
misalnya Idemitsu menuntut adanya kinerja tinggi, oleh sebab itu tingkah laku
dan kedisiplinan karyawan pun tidak luput diperhitungkan oleh perusahaan.
Kemampuan Idemitsu bertahan tidak lepas dari peran budaya dan filosofinya
yang begitu kukuh. Kedisiplinan merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar
lagi dalam sistem penilaian kinerja.
13
Perusahaan Jepang tidak menawarkan opsi kepemilikan saham bagi
karyawannya, akan tetapi mereka menawarkan benefit, seperti antara lain:
tempat tinggal dan transportasi,peningkatan gaji, asuransi kesehatan, fasilitas
rekreasi, family security, dan lain sebagainya. Pada perusahaan Jepang,
keputusan dibuat oleh semua departemen yang disebut denganRingi, yaitu
sebuah praktek yang kurang umum diterapkan pada MNC Jepang.
Sosialisasi organisasional dianggap penting bagi perusahaan Jepang, sehingga
memang ada kegiatan-kegiatan khusus yang dirancang sebagai sarana untuk
bersosialisasi antar karyawan, misalnya:
- Apel pagi (morning meeting), khususnya bagi pekerja pabrik, dengan tujuan
untuk menciptakan rasa memiliki dan mempertahankan tatanan sosial (social
order).
- Manajer dan staff kantor melakukan makan siang atau makan malam bersama
agar menciptakan equality (kesetaraan) antara atasan dan bawahan dan sense of
belonging.
Hubungan industri pada perusahaan Jepang cenderung mengutamakan adanya
serikat pekerja, dan hal tersebut sangat disambut antusias oleh karyawannya.
Diskusi antara manajemen dengan karyawan yang disebut dengan Roushi
Kyougi juga dilakukan untuk mengutarakan pendapat, kebijaksanaan, serta ikatan
dalam perusahaan. Selain itu juga terdapat collective bargaining (forum) yang
dilakukan setiap tahun, yang disebut denganDantai Koushou, yang mana dapat
memupuk sense of belonging, hubungan sosial, serta tatanan sosial.
Sebagai salah satu MNC Jepang yang ada di Indonesia, Idemitsu
mengenal Three Sacred Treasures yang menggambarkan kaca, pedang, dan
perhiasan yang merupakan harga kerajaan Jepang – dan dalam sistem
manajemen Jepang adalah lifetime employment,pemberian upah berdasarkan
senioritas, dan serikat pekerja.
Perusahaan MNC Jepang lainnya, PT. Marumitsu Indonesia merupakan salah
satu perusahaan di bawah kelompok Nitori CO.,Ltd. Dimana Perusahaan Nitori
merupakan salah satu perusahaan terbesar dalam bidang pembuatan dan
penjualan furnitur di Jepang. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang
berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang. Oleh karena itu
perusahaan memiliki budaya yang harus disesuaikan di tiap negara. Alwi (Muba,
2009) menyatakan, begitu pula banyak organisasi di Jepang, utamanya
organisasi bisnis, memiliki tradisi yang tumbuh berdasarkan kekuatan
masyarakatnya yang mengandalkan nilai-nilai komitmen, dedikasi, loyalitas,
kompetensi yang tinggi dan hasrat yang kuat untuk menghasilkan kinerja
karyawannya. Maka, sedikit banyak budaya kerja yang dianut di Jepang akan
14
diterapkan di Indonesia. Secara umum budaya kerja di perusahaan Jepang
sangat mementingkan komitmen karyawan yang tinggi.
PT. Marumitsu Indonesia memberlakukan sistem absensi karyawan yang cukup
ketat sehingga komitmen karyawan terhadap perusahaan dapat dilihat melalui
rekapitulasi absensi karyawan. Pemeliharaan komitmen ini juga dilakukan
dengan pemberian kompensasi yang layak dan berimbang sesuai dengan kinerja
yang karyawan berikan pada karyawan. Kinerja karyawan pada PT. Marumitsu
Indonesia tidak dinilai secara formal, tetapi penilaian oleh atasan lewat ide-ide
(gagasan) pengembangan yang dikemukakan oleh karyawan. Gagasan yang
mampu menciptakan pengembangan bagi produk ataupun perusahaan akan
diberikan reward (penghargaan) oleh atasan. Kesan yang diterima seorang
bawahan tentang penilaian terhadap diri mereka berdampak kuat bagi mereka
dalam mengukur kemampuan mereka sendiri, dan yang lebih penting lagi, bagi
kinerja mereka untuk masa-masa yang akan datang. (Robbins,2002:269).
Sedangkan pada Idemitsu Indonesia, sebagai aturan umum, karyawan Idemitsu
mengelola jam kerja mereka sendiri dan melaporkan jam actual yang mereka
kerjakan pada supervisormereka. Hal ini telah dirintis sejak tahun 2009 yang
diperkenalkan dengan nama Work Management System, sebagai web tool untuk
mendukung manajemen diri karyawan dan self-reporting jumlah jam kerja.
Idemitsu menggunakan sistem ini untuk memahami kondisi kerja actual dari
karyawan dan berusaha mewujudkan work-life balance.
Work-life balance merupakan faktor penting bagi tiap karyawan, agar karyawan
memiliki kualitas hidup yang seimbang dalam berhubungan dengan keluarganya
dan seimbang dalam pekerjaan. Menurut Robbins dan Coulter (2012 : p358)
program work-life balance meliputi sumber daya pada perawatan orang tua dan
anak, perawatan, kesehatan dan kesejahteraan karyawan, dan relokasi dan lainlain. Dimana banyak perusahaan menawarkan programfamily-friendly benefitsyang
dibutuhkan karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan dan pekerjaan, yang
termasuk flextime, job sharing, telecommunicating dan lain-lain. Menurut Lockwood
(2003) work-life balance adalah suatu keadaan seimbang pada dua tuntutan
dimana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Dimana worklife balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban
kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan dalam
pandangan perusahaan work-life balance adalah tantangan untuk menciptakan
budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat fokuspada
pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja. Menurut Preeti Singh dan Parul
Khanna (2011), work-life balance adalah konsep luas yang melibatkan
penetapan prioritas yang tepat antara “ pekerjaan “(karir dan ambisi) pada satu
sisi dan “ kehidupan” (kebahagiaan, waktuluang, keluarga dan pengembangan
spiritual) disisi lain.
15
Work Management System dilakukan dengan cara mereview dan berusaha
meningkatkan efisiensi kerja, bekerja dengan karyawan individu dan supervisor
mereka, serta pada tempat kerja secara keseluruhan. Satu instrument yang
digunakan adalah lembar wawancara yang berguna untuk mendiskusikan hal-hal
yang sifatnya pribadi dan aspirasi karier, termasuk rotasi yang diinginkan
secara face-to-face dengan supervisornya. Wawancara ini dirancang untuk
memfasilitasi tukar pikiran dan pendapat, sehingga nantinya dapat menciptakan
lingkungan kerja yang baik untuk masing-masing karyawan. Metode ini juga
digunakan sebagai alat untuk meningkatkan komunikasi antara karyawan dan
Departemen HR. Idemitsu Group, termasuk Idemitsu Indonesia
menggunakan Work Management System yang diposting ke intranet perusahaan
untuk mengumpulkan data mengenai jam kerja actual yang dilaporkan oleh
karyawan sesuai dengan Standar Pengukuran.
SIMPULAN
Nasionalisme Jepang sangat tinggi, walaupun di perusahaan Jepang beroperasi
di negara lain, tetapi nilai-nilainya tetap dipegang teguh. Semangat yang terdapat
pada budaya organisasi perusahaan Jepang menular pada SDM lokal, dalam
bentuk nilai-nilai seperti disiplin, tidak mudah menyerah, dan lain sebagainya.
Budaya perusahaan merupakan energi yang dapat menggerakkan orang-orang
untuk bekerja. Budaya perusahaan sering juga disebut budaya korporat
merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan
digunakan sebagai acuan atau pedoman kerja karyawan.
Dimensi-Dimensi SDM pada Perusahaan Jepang, mencakup time
horizon, partisipasi, scope, frame of references, keadilan, dan individualitas/
kelompok. Komitmen lifetime employment(pekerjaan seumur hidup) dan mutual
timeline dari karyawan serta perusahaan dianggap sebagai batu penjuru yang
penting bagi kohesivitas dan antara karyawan dan perusahaan. Manajer Jepang
lebih konsultatif ketimbang partisipatif; mereka enggan berbagi kekuasaan dalam
hal pengambilan keputusan dengan karyawan. Perusahaan Jepang menentukan
cakupan yang lebih luas, berfokus pada aktivitas dan tujuan/ sasaran yang
berbeda. Perbedaan pada mobilitas pasar tenaga kerja bagi perusahaan Jepang
lebih sering terfokus secara internal. Perusahaan-perusahaan Jepang secara
luas dikenal lebih mengejar equality(keadilan & kesetaraan)
ketimbang equity (ekuitas). Orientasi kelompok yang kuat merupakan label umum
yang masih banyak diterapkan pada perusahaan Jepang, mungkin karena
budaya yang masih sangat kolektif. Nilai-nilai asli Jepang yang hingga ini masih
diterapkan pada perusahaan-perusahaan MNC Jepang adalah 5S, yaitu Seiri,
Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke. Hubungan industri pada perusahaan Jepang
cenderung mengutamakan adanya serikat pekerja, dan hal tersebut sangat
disambut antusias oleh karyawannya. Diskusi antara manajemen dengan
16
karyawan yang disebut dengan Roushi Kyougi juga dilakukan untuk mengutarakan
pendapat, kebijaksanaan, serta ikatan dalam perusahaan.
DAFTAR REFERENSI
Bird, Allan & Schon Beechler. 1995. Links Between Business Strategy and
Human Resource Management Strategy in U.S-Based Japanese Subsidiaries:
An Empirical Investigation, Journal of International Business Studies, 26(1):2340.
Bosch, Reinoud; Hisako Matsuo & Haruhiko Kanegae. (2011). Values in Human
Resource Management of Japanese Multinational in the US: A Country-of-Origin Effect
or Local Responsiveness?. International Journal of Business and Social Science,
Vol. 2, No. 23 [ Special Issue – December 2011].
Dowling, P. & Welch, D. E. (2004) International Human Resource Management:
Managing People in a Multinational Context 4th edition, London UK, Thomson
Learning.
Dowling, Peter J, Marion Festing and Allen D. Engle, 2008. International Human
Resource Management : Managing People in a Multinational Context : Fifth
Edition, South- Western Cengage Learning, United Kingdom
Kompas. 14 Januari 2013. “Mari Belajar dari Bangsa Jepang”
Kotter, John. P, Heskett, James L. 1992. Corporate Culture and Performance.
New York. The Free Press A Division Simon and Schuster Inc.
Lado & Wilson. 1994. Human resource systems and sustained competitive
advantage: a competency-based perspective. Academy of Management Review. 19:
699-727
Lockwood, N. R., (2003), Work life balance: Challenges and solutions, HRMagazine,
Vol 48, Iss 6, p S1, Society for Human Resource Management, Alexandria
Masaaki Imai. 1991. Kaizen : The Key to Japan's Competitive Success.
Singapore, McGraw-Hill International
Masaaki Imai. 1998. Genba Kaizen : Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah Pada
Manajemen. Jakarta, Pustaka Brinaman Pressindo.
Moeljono, Djokosantoso. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi.
Jakarta. P.T. Elex Media Komputindo.
Muba, Wang. (2009). Pengertian Kinerja. [Online]. Diakses
darihttp://wangmuba.com/2009/03/04/pengertian-kinerja/
17
Poerwanto. 2008. Budaya Perusahaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Puspitasari, Intan; M. Al. Musadieq & Arik Prasetya. (n.d). Analisis Gaya
Kepemimpinan Lintas Budaya Ekspatriat (Studi Ekspatriat pada PT. Haier Sales
Indoneia, Jakarta Utara).Jurnal. Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya,
Malang.
Robbins, P. Stephen. 1990. Organization Theory: Structure, Design and
Applications. Englewood Cliffs, N.J. Prentice-Hall Inc.
Robbins, Stephen & Mary Coulter. (2004). Manajemen Jilid 1. Jakarta: Indeks.
Schein, E.H. (1985). Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: JosseyBass.
Stephens P. Robbins, 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, alih bahasa oleh
Halida dan Dewi Sartika, Edisi Kelima, Erlangga.
Taylor, S., Beechler, S., & Napier, N. 1996. Toward an integrative model of
strategic international human resource management. Academy of Management
Review, 21: 959-985
W. Jack Duncan. (1989). “Organizational Culture: Getting a Fix on an Elusive
Concept”, Academy of Managemenr Executive 3 – 1989).
Wardhani, Andy Corry. (1990). Membangun Budaya Perusahaan yang Kuat dengan
Basis Kearifan Lokal. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung.
http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan/#ixzz38S9TsEC3
http://www.tribunnews.com/internasional/2014/06/20/jumlah-perusahaan-jepang-yangberinvestasi-di-indonesia-naik-14-kali
[1] W. Jack Duncan. (1989). “Organizational Culture: Getting a Fix on an Elusive
Concept”, Academy of Management Executive 3 – 1989).
[2] Masaaki Imai. 1991. Kaizen : The Key to Japan's Competitive Success. Singapore,
McGraw-Hill International
[3] Masaaki Imai. 1998. Genba Kaizen : Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah Pada
Manajemen. Jakarta, Pustaka Brinaman Pressindo.
[4] Dowling, Peter J, Marion Festing and Allen D. Engle, 2008. International Human
Resource
Management : Managing People in a Multinational Context : Fifth Edition, SouthWestern
18
Cengage Learning, United Kingdom
[5] http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan/#ixzz38S9TsEC3
[6]http://www.tribunnews.com/internasional/2014/06/20/jumlah-perusahaan-jepangyang-berinvestasi-di-indonesia-naik-14-kali
19
Download