BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Tanah
Dalam pengertian secara umum, tanah didefinisikan sebagai material yang
terdiri dari agregat (butiran) mineral – mineral padat yang tidak tersementasi
(terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah
melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang kosong diantara
partikel – partikel padat tersebut. Tanah berguna sebagai bahan bangunan pada
berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah berfungsi juga sebagai
pendukung pondasi dari bangunan.
Ukuran partikel tanah beragam antara lebih besar dari 100 mm sampai
dengan kurang dari 0.001 mm. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari campuran dari
beberapa ukuran dan biasanya lebih dari dua rentang ukuran. Secara umum, tanah
disebut kohesif bila partikel – partikelnya saling melekat setelah dibasahi
kemudian dikeringkan dan diperlukan gaya yang cukup besar untuk meremas
tanah tersebut. Tanah non – kohesif apabila partikel tanah tidak mempunyai
lekatan antar partikel.
Ukuran partikel dari tanah adalah sangat beragam dengan variasi yang
cukup besar. Tanah umunya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand),
lanau (silt), atau lempung (clay). Klasifikasi ini bergantung pada ukuran partikel
yang paling dominan pada tanah tersebut. Untuk menerangkan tentang tanah
berdasarkan
ukuran
–
ukuran
partikelnya,
beberapa
organisasi
telah
mengembangkan batasan – batasan ukuran golongan jenis tanah (soil-separatesize limits). Tabel berikut merupakan pengklasifikasian jenis tanah menurut
beberapa organisasi :
3
Tabel 2.1 Batasan – batasan Ukuran Golongan Tanah
Nama Golongan
Massachusetts Institute of
Techonology
U.S. Departement of Agriculture
Ukuran butiran (mm)
Kerikil
Pasir
Lanau
Lempung
>2
2 – 0.06
0.06 – 0.002
<0.002
>2
2 – 0.05
0.05 – 0.002
<0.002
76.2 -2
2 – 0.075
0.075 – 0.002
< 0.002
American Asosiation of State
Highway and Transportation Officials
(AASHTO)
Unified Soil Clasification System
76.2 – 4.75
4.75 –
Halus (Lanau dan
0.075
Lempung < 0.075)
Sumber : Craig dan Susilo (1989)
Analisis ukuran partikel dari sebuah contoh tanah melibatkan penentuan
presentase berat partikel dalam rentang ukuran yang berbeda. Distribusi ukuran
partikel tanah berbutir kasar dapat ditentukan dengan metode pengayakan (sieving
analysis). Contoh tanah dilewatkan melalui satu set saringan standar yang
memiliki lubang yang makin kecil ukurannya dari atas ke bawah. Berat tanah
yang tertahan di setiap saringan ditentukan dan presentase kumulatif dari berat
tanah yang melewati tiap saringannya dihitung. Jika terdapat partikel – partikel
halus pada tanah, contoh tanah tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu dari
butiran halus tersebut dengan cara mencucinya dengan air melalui saringan
berukuran terkecil.
Distribusi ukuran partikel tanah berbutir halus atau fraksi butir halus dari
tanah berbutir kasar dapat ditentukan dengan metode pengendapan (sedimentasi).
Metode ini didasarkan atas hukum Stokes. Apabila suatu contoh tanah dilarutkan
dalam air, partikel – partikel tanah akan mengendap dengan kecepatan yang
berbeda – beda tergantung dari bentuk, ukuran, dan beratnya. Untuk lebih
mudahnya partikel tanah dapat dianggap berbentuk bulat (bola). Contoh tanah
yang akan diuji terlebih dahulu dibersihkan dari material organik dengan
menggunakan hydrogen peroksida. Contoh tersebut kemudian dibuat menjadi
suspensi di dalam larutan air suling dari larutan pemisah butir – butir ditambahkan
agar partikel – partikel satu sama lain saling terpisahkan.
Distribusi ukuran partikel tanah dapat digambarkan dengan sebuah kurva
diatas kertas semi logaritmik, dimana ordinatnya adalah presentase berat
4
partikelnya yang lebih kecil dari ukuran absisnya yang diketahui. Makin landai
kurva distribusinya, makin besar rentang distribusinya; makin curam kurva, makin
kecil rentang distribusinya. Tanah berbutir kasar dideskripsikan bergradasi baik
jika tidak ada partikel – partikel yang ukurannya mencolok dalam suatu rentang
distribusi dan jika masih terdapat partikel yang berukuran sedang. Secara umum
tanah bergradasi baik diwakili oleh kurva distribusi yang cembung dan mulus.
Tanah berbutir kasar dideskripsikan bergradasi buruk, jika ukurannya seragam
atau jika tidak atau jarang terdapat partikel berukuran sedang (terdapat loncatan
ukuran tanah). Ukuran partikel digambar (pada kurva) dengan skala logaritmik
sebagai absis.
Kurva distribusi ukuran butiran dapat digunakan untuk membandingkan
bebrapa jenis tanah yang berbeda – beda. Selain itu ada 3 parameter dasar yang
dapat ditentukan dari kurva tersebut, dan parameter tersebut dapat digunakan
dalam pengklasifikasian tanah berbutir kasar. Parameter tersebut antara lain :
a. Ukuran efektif (effective size)
b. Koefisien keseragaman (uniformly coefficient)
c. Koefisien Gradasi (coefficient of gradation)
Diameter dalam kurva distribusi ukuran butiran yang bersesuaian dengan
10% yang lebih halus (lolos ayakan) didefinisikan sebagai ukuran efektif atau
D10. Koeisien keseragaman diberikan dengan hubungan:
(2.1)
Dimana :
Cu
= Koefisien keseragaman
D60
= Diameter yang bersesuaian dengan 60% lolos ayakan yang
ditentukan dari kurva distribusi ukuran butiran
Koefisien gradasi dinyatakan sebagai
(2.2)
5
Dimana:
Cc = Koefisien gradasi
D30 = diameter yang bersesuaian dengan 30% lolos ayakan
Makin tinggu harga Cu, makin besar rentang distribusi partikel tanah. Tanah
bergradasi baik biasanya memiliki Cc sekitar 1 sampai 3.
2.2.
Tegangan Dalam Tanah
Besarnya gaya – gaya yang menjalar dari partikel ke partikel lainnya
dalam kerangka tanah telah diketahui sejak tahun 1923, ketika Terzaghi
mengemukakan prinsip tegangan efektif yang didasarkan pada data hasil
percobaan. Untuk rentang tegangan yang biasa dijumpai dalam praktek, masing –
masing partikel padat dan air dapat dianggap tak kompresibel, di lain pihak, udara
bersifat sangat kompresibel. Tanah dapat divisualisasikan sebagai suatu kerangka
partikel tanah yang membatasi pori – pori yang mana pori – pori tersebut
mengandung air dan udara. Volume kerangka tanah secara keseluruhan dapat
berubah akibat penyusunan kembali partikel – partikel padat pada posisinya yang
baru, terutama dengan cara menggelincir yang menyebabkan terjadinya perubahan
gaya – gaya yang bekerja diantara partikel – partikel tanah. Kompresibilitas
kerangka tanah yang sesungguhnya tergantung pada susunan struktural tanah
tersebut.
2.2.1
Tegangan Efektif
Tegangan efektif adalah gaya per satuan luas yang dipikul oleh butir –
butir tanah. Perubahan volume dan kekuatan tanah tergantung pada tegangan
efektif di dalam masa tanah, makin tinggi tegangan efektif suatu tanah, makin
padat tanah tersebut.
Prinsip tersebut hanya berlaku untuk tanah yang jenuh sempurna.
Tegangan – tegangan yang berhubungan dengan prinsip tersebut adalah :
a) Tegangan normal total (σ) , pada bidang di dalam tanah, yaitu gaya per
satuan luas yang ditransmisikan pada arah normal bidang dengan
mengangggap bahwa tanah adalah material padat saja
6
b) Tekanan air pori (u), merupakan tekanan air pengisi pori – pori udara
diantara partikel – partikel padat
c) Tegangan normal efektif (σ‟) pada bidang yang mewakili tegangan yang
dijalarkan hanya melalui kerangka tanah saja.
Hubungan ketiga tegangan diatas adalah :
σ = σ‟ + u
2.2.2
(2.3)
Tegangan Horisontal (Tegangan Lateral)
Dalam bidang hidrolika, diketahui bahwa tekanan pada benda cair akan
memili nilai yang sama pada berbagai arah. Namun, berbeda dengan tanah, sangat
jarang terjadi pada lapisan tanah alam yang bagian dasarnya memiliki tegangan
horizontal yang sama nilainya dengan tegangan vertikalnya. Adapun persamaan
dari perbandingan tegangan horizontal dan vertikal adalah :
σh = Kσv
(2.4)
Dimana K merupakan koefisien tekanan tanah. Karena permukaan air
tanah dapat berfluktuasi sehingga dapat merubah nilai tegangan total, maka
koefisien K tidak konstan nilainya pada lapisan tanah. Untuk menghindari
masalah muka air yang fluktuatif sehingga dapat merubah nilai tegangan total,
maka koefisien K tidak konstan nilainya pada lapisan tanah. Untuk menghindari
masalah muka air tanah yang fluktuatif, perbandingan tersebut harus dalam
keadaan efektif.
σh‟ = Koσv‟
(2.5)
Ko adalah koefisien penting dalam bidang geoteknik. Biasa dinamakan
koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam (coefficient of earth pressure at
rest). Hal tersebut menyatakan kondisi tegangan dalam tanah berada dalam
keadaan efektif dan tidak tergantung dari level muka air. Bahkan jika kedalaman
berubah, Ko tetap konstan selama lapisan tanah dan kepadatan yang sama.
7
2.3
Kekuatan Geser Tanah
Salah satu sifat yang terpenting adalah kekuatan geser atau kemampuan
tanah untuk menahan gesekan sepanjang bidang geser dengan massanya.
Kekuatan geser merupakan karakteristik tanah yang dapat menjaga keseimbangan
pada permukaan lereng. Keruntuhan geser tanah terjadi bukan disebabkan karena
hancurnya butir – butir tanah, tetapi karena adanya gerak relatif antara butir –
butir tanah terserbut.
Pada tanah berbutir halus (kohesif) misalnya lempung, kekuatan geser
yang dimiliki tanah disebabkan oleh adanya gaya kohesi atau lekatan antara butir
– butir tanah (c soil). Pada tanah berbutir kasar (non kohesif), kekuatan geser
disebabkan karena adanya gesekan antara butir – butir tanah sehingga sering
disebut sudut geser dalam (υ soil). Pada tanah yang merupakan campuran antara
tanah halus dan tanah kasar (c dan υ soil), kekuatan geser disebabkan karena
adanya lekatan (karena kohesi) dan gesekan antara butir – butir tanah (karena υ
soil).
Jika pada suatu titik tertentu pada masa tanah, tegangan geser bernilai
sama dengan kuat gesernya, maka saat itulah terjadi keruntuhan. Menurut
Coloumb, kuat geser tanah pada suatu titik pada bidang tertentu, dapat
diekpresikan sebagai suatu fungsi linier dari tegangan normal pada saat
keruntuhan pada titik yang sama pada bidang tersebut.
τf = c + σf tan υ
(2.6)
Dimana c (kohesi) dan υ (sudut geser) merupakan parameter kuat geser.
Berdasarkan prinsip bahwa tegangan geser pada tanah hanya dapat ditahan oleh
partikel padatnya, maka kuat geser harus diekspresikan sebagai suatu fungsi
dalam kondisi efektifnya, yaitu sebagai berikut :
τf = c‟+q‟tan υ
Hubungan parameter kuat geser dengan prinsip tegangan efektif pada saat
keruntuhan dapat dilihat pada gambar berikut, dimana lingkaran Mohr
menunjukkan kasus dengan c‟>0.
8
Gambar 2.1 Kriteria Keruntuhan Mohr – Coloumb
Sumber : Braja M. Das (2008)
2.4
Likuifaksi
Likuifaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan tanah yang terjadi di tanah
non-kohesif karena adanya penambahan tekanan pori akibat gempa bumi.
Tegangan pori yang meningkat mengakibatkan penurunan dari kekuatan geser,
dan bahkan dapat hilang sama sekali. Tanah yang kehilangan semua kekuatan
gesernya akan berlaku seperti cairan vicious. Pada fenomena likuifaksi tanah akan
menyerupai “pasir hisap”. Oleh karena „terhisapnya‟ bangunan ke dalam tanah
dapat merusak struktur secara keseluruhan, missal : retak, miring pada bangunan,
dan keruntuhan.
2.4.1
Definisi Likuifaksi
Likuifaksi merupakan kondisi dimana tanah mendapat beban siklik,
misalnya beban yang diakibatkan oleh gempa bumi, sehingga mengakibatkan
tanah tersebut berdeformasi dari solid menjadi cair (Liquefied). Dalam hal ini,
tanah yang mengalami likuifaksi adalah tanah non-kohesif yang tersaturasi (celah
– celah partikelnya terisi oleh air). Kandungan air tersebut akan memberikan
tekanan pada partikel tanah sehingga menyebabkan hilangnya ikatan pada partikel
– partikel tanah tersebut. Sebelum terjadi gempa tekanan air pori relatif rendah,
namun guncangan dari gempa dapat memicu kenaikan tekanan air dalam tanah
sampai pada titik dimana partikel – partikel tanah dapat saling bergerak atau
kehilangan ikatannya.
9
Beban yang bekerja merupakan beban siklik (dinamik) yang umumnya
diakibatkan oleh gempa. Pada saat beban gempa bekerja dalam kondisi undrained
sedangkan tanah berjenis pasir berada dalam kondisi tersaturasi, maka tegangan
air pori akan naik, sehingga tanah tersebut akan kehilangan kekuatannya atau
dalam kondisi extreme kekuatan gesernya dapat mencapai nol.
Fenomena yang terkait dengan likuifaksi adalah flow liquefaction dan
cyclic mobility. Keduanya sangat penting untuk diperhatikan dalam mengevaluasi
bahaya likuifaksi. Flow liquefaction adalah peristiwwa dimana terjadi aliran –
aliran tanah. Hal ini terjadi apabila teganan geser statis yang diperhitungkan untuk
mencapai kesetimbangan pada suatu masa tanah jauh lebih besar daripada
tegangan geser tanah dalam kondisi cair (liquefied). Dengan kata lain, deformasi
yang terjadi merupakan akibat dari teganan geser statik (static shear stress). Pada
peristiwa flow liquefaction ini, terdapat dua karakteristik yang dapat dilihat yaitu
kecepatan aliran dan perpindahan material tanah yang sangat besar.
Cyclic
mobility
merupakan
fenomena
lainnya
yang juga
dapat
menyebabkan deformasi permanen yang sangat besar akibat adanya guncangan
gempa. Berbeda dengan flow liquefaction, dalam static mobility kondisinya adalah
tekanan geser statis lebih kecil dibandingkan dengan tegangan geser tanah cair.
Pada fenomena ini, deformasi yang terjadi diakibatkan oleh pembebanan siklik
dan teganan geser statik. Dalam hal ini, deformasi yang terjadi adalah deformasi
lateral (lateral spreading).
Tercatat bahwa likuifaksi sebagai akibat dari gempa telah banyak terjadi di
seluruh dunia. Beberapa diantaranya adalah gempa Alaska, AS (1964), Niigata,
Jepang (1964) dan Kobe, Jepang (1995).
2.4.2
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Likuifaksi
Untuk dapat memahami likuifaksi, diperlukan pengenalan kondisi yang
terdapat pada tanah sebelum terjadinya gempa. Tanah terdiri dari partikel –
partikel yang menyusunnya. Jika dilihat lebih dekat maka akan terlihat bahwa
setiap partikel berhubungan dengan partikel – partikel yang lainnya. Karena
adanya gaya berat dari partikel tanah, maka terdapatlah gaya antar partikel. Gaya
10
inilah yang membuat setiap partikel tanah dapat berada tetap pada posisinya
sehingga ada yang dimaksud dengan kekuatan tanah.
Likuifaksi terjadi apabila suatu pasir yang tersaturasi strukturnya terpecah
akibat adanya pembebanan yang berlebihan dan terus – menerus. Karena
strukturnya hancur, maka partikel – partikel penyusun pasir tersebut akan terus
bergerak cenderung membentuk suatu konfigurasi baru yang lebih keras. Pada
saat terjadinya gempa, air yang berada dalam pori – pori tanah non-kohesif tidak
sempat mengalir keluar, dan terperangkap sehingga partikel – partikel tanah tidak
dapat bergerak dan merapat untuk membentuk konfigurasi yang lebih padat.
Dengan adanya pembebanan akibat gempa, tekanan air dalam tanah akan
meningkat sehingga memperkecil gaya partikel tanah sehingga kekuatannya
tanahnya menjadi menurun. Pada kasus – kasus yang ekstrim, tekanan air pori
akan menjadi sangat tinggi sehingga partikel – partikel tanah kehilangan kontak
satu sama lainnya. Jika hal itu terjadi, maka tanah akan kehilangan kekuatannya
dan berlaku seperti cairan, maka peristiwa tersebut dinamakan likuifaksi.
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya likuifaksi pada
tanah antara lain adalah jenis tanah, kedalaman air tanah, kepadatan tanah, umur
dari deposit, fabrik dan gradasi partikel, riwayat tegangan, nilai Over
Consolidation Ratio (OCR), kondisi tegangan in situ, bentuk dari partikel.
Kepadatan dari tanah pasir dapat dinyatakan dengan nilai relative density
(Dr). Semakin besar nilai Dr, maka akan semakin besar tahanannya terhadap
bahaya likuifaksi. Likuifaksi umumnya terjadi pada tanah yang bergradasi
seragam (uniformly graded soil). Sementara tanah yang bergradasi baik (well
graded soil) umumnya mempunyai tahanan terhadap likuifaksi lebih besar
dibandingkan dengan tanah bergradasi buruk. Hal ini disebabkan oleh partikel –
partikel kecil yang terdapat pada tanah bergradasi baik akan dapat mengisi rongga
yang ada diantara partikel yang besar, sehingga potensi untuk mengalami
perubahan volume pada kondisi drain akan menjadi lebih kecil akibat undrained
loading.
Semakin tua umur deposit tanah maka akan semakin besar tahannya
terhadap bahaya likuifaksi. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya proses
sementasi antara partikel. Semakin besar nilai OCR maka semakin besar nilai K o
11
yang mana akan menaikkan tegangan eketif rata – rata. Tahanan terhadap
likuifaksi akan meningkat dengan meningkatnya tegangan efektif confining. Suatu
daerah dimana level muka airnya tinggi atau dekat ke permukaan akan lebih
mudah mengalami proses likuifaksi dibandingkan dengan daerah dimana muka air
terdapat pada posisi yang cukup dalam.
Tanah dengan partikel yang berbentuk bundar akan lebih mudah
mengalami likuifaksi dibandingkan dengan tanah dengan partiket bersudut. Hal
ini disebabkan tanah dengan partikel berbentuk bundar lebih mudah untuk
dipadatkan.
2.5
Gempa Bumi
2.5.1
Teori Lempeng Tektonik
Teori lempeng tektonik yang dikembangkan sejak tahun 1960-an
merupakan teori yang menggambarkan bagaimana gempa bumi terjadi. Menurut
teori lempeng tektonik, permukaan bumi terdiri dari lempeng – lempeng tektonik
yang berbeda – beda, biasa disebut dengan lempeng lithosphere, dengan masing –
masing pelat memiliki kerak atau lapisan dan bagian yang lebih kaku pada mantel
terluar. Lempeng – lempeng tektonik ini bergerak aktif dan menimbulkan
pelepasan energi akibat tekanan yang dihasilkan oleh pergerakan lempeng –
lempeng tersebut. Tekanan tersebut kian membesar dan mencapai keadaan dimana
tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempeng, pada saat itulah
gempa bumi terjadi. Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan – perbatasan
lempeng tersebut.
Batas lempeng (plate boundaries) dibedakan menjadi tiga jenis
berdasarkan cara lempengan tersebut bergerak relatif satu sama lain. Tiga jenis
lempeng tersebut adalah :
a) Batas Divergen (Divergent Boundaries)
Batas Divergen terjadi ketika dua lempeng bergerak saling menjauhi satu
sama lain. Magma panas yang keluar ke permukaan akibat pergerakan dua
lempeng ini akan mengalami proses pendinginan dan membentuk
punggung – punggung bukit. Gempa bumi yang terjadi akibat
pembentukkan punggung bukit ini hanya terjadi di sekitar puncak bukit,
12
pada saat kerak baru terbentuk. Gempa ini relatif kecil dan terjadi pada
kedalaman yang dangkal
b) Batas Kovergen (Covergent Boundaries)
Berbeda dengan batas Divergen, batas Covergent ini terjadi ketika dua
lempeng bergerak bergesekan saling mendekati satu sama lain sehingga
membentuk zona subduksi (subduction zone) ketika salah satu lempeng
bergerak di bawah lempeng lainnya.
c) Batas Transform (Transform Boundaries)
Batas transform atau biasa disebut Patahan (Fault) terjadi pada saat
lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain tanpa
menimbulkan efek konstruktif ataupun destruktif pada lapisan bumi seperti
yang terjadi pada Batas Divergen dan Kovergen. Pada saat pergerakan
relatif kedua lempeng sejajar satu sama lain, zona patahan strike-slip
(strike-slip fault zone) terbentuk pada Batas Transform.
2.5.2
Sumber Gempa
Pada prinsipnya gempa merupakan suatu peristiwwa pelepasan energi
pada perbatasan lempeng lempeng tektonik, oleh karena itu lokasi sumber gempa
umunya berada pada perbatasan pelat – pelat tektonik yang mengalami patahan
atau gesekan. Berikut merupakan istilah – istilah yang sering terkait dengan
sumber gempa
a) Tempat sumber gempa didalam bumi disebut focus atau hypocenter
b) Titik di permukaan bumi yang letaknya tepat diatas sumber gempa disebut
epicenter
c) Jarak antara sumber gempa dengan tempat di permukaan bumi yang
terlanda gempa disebut jarak hypocenter
13
2.5.3
Besaran Kekuatan Gempa
Terdapat dua cara dalam mengukur kekuatan gempa, yaitu berdasarkan
magnitude gempa (earthquake magnitude) dan berdasarkan intensitas kerusakan
yang diakibatkan (earthquake intensity). Magnitude gempa tidak bergantung pada
kepadatan populasi suatu wilayah, maupun jenis konstruksi suatu bangunan yang
ada di wilayah tersebut, sedangkan intensitas mengukur bahaya kerusakan yang
diakibatkan oleh gempa pada bangunan dan reaksi orang – orang di suatu wilayah.
a) Local Earthquake Magnitude
Pada tahun 1935, Prof. Charles Richter mengembangkan skala
besaran gempa untuk gempa dangkal serta memiliki episentrum
berjarak kurang dari 600 km. Skala besaran gempa ini
dikembangakan sebagai skala besaran Richter. Karena skala
besaran ini dikembangkan untuk gempa dangkal dan lokal, skala
ini juga dikenal sebagai Local Magnitude Scale (ML). Richter
mendefinisikian magnitude lokal gempa sebagai logaritma berbasis
10 dari amplitude gelombang gempa maksimum dalam mikron
direkam menggunakan seismograf Wood-Anderson yang terletak
pada jarak 100 km dari episentrum gempa
ML = log A – log Ao = log A/Ao
(2.7)
Dengan :
ML
: Besaran Gempa
A
: Amplitudo jejak gempa maksimum (mm) yang direkam
seismograf
Ao
: 0,001 mm (skala gempa lokal nol yang berhubungan
dengan besaran gempa terkecil yang pernah direkam)
Pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya berpengaruh dari
jumlah energi yang dilepaskan (Gempa Skala Richter), akan tetapi
juga bergantung dari jarak episenter gempa dan jarak hypocentre
gempa. Gempa yang melepaskan energi sangat bersar tetapi kadang
14
– kadang kurang terasa di permukaan tanah karena jarak sumber
gempa yang sangat jauh di dalam bumi.
b) Earthquake Intensity
Ukuran gempa yang dapat langsung mempengaruhi struktur adalah
intensitas lokal gempa yaitu besar kecilnya getaran di permukaan
tanah di daerah yang dilanda gempa. Karena besar atau intensitas
getaran tanah pada saat dilanda gempa tidak sama maka disebut
intensitas lokal. Intensitas gempa lokal berhubungan langsung
dengan percepatan tanah maksimum yang berarti berhubungan pula
dengan besar kecilnya kerusakan bangunan. Untuk skala standar
internasional digunakan skala Modified Mercalli dan dinyatakan
dalam symbol MM. Skala Modified Mercalli terdiri dari 12
tingkatan.
2.6 Tes CPT (Cone Penetrometer Test)
Tes CPT (Cone Penetrometer Test) atau yang lebih sering disebut tes
sondir merupakan penetrometer statis yang dipakai secara luas di Indonesia. Alat
ini berasal dari negeri Belanda dan dikenal dengan sebutan Dutch-cone
Penetrometer Test. Prinsip kerja alat ini adalah menekan ujung penetrometer
(konus) ke bawah dengan mesin penekan yang dijangkarkan pada tanah. Ada dua
macam ujung penetrometer yang biasa dipakai, yaitu konus (standard type) dan
bikonus (friction sleeve atau adhesion jacket type).
Konus ini berupa kerucut dengan sudut 60° dengan luas penampang
2
10cm , yang dipasang pada suatu rangkaian stang dalam dan selubung luar. Pada
tipe standar, hasil pengukuran berupa perlawanan ujung saja (nilai konus). Hal ini
didapatkan dengan cara menekan hanya pada stang dalam saja. Gaya yang
diperlukan untuk menekan ujung konus diukur dengan alat pengukur tekanan
yang diapasang pada mesin penekan. Pengukuran dilakukan pada kedalaman –
kedalaman tertentu yang telah ditetapkan dan biasanya dilakukan setiap
kedalaman 20cm. Setelah pengukuran pada suatu kedalaman dilakukan, maka
selubung luar ditekan sampai kedalaman berikutnya, kemudian pengukuran
15
selanjutnya dilakukan dengan cara menekan stang dalam dan gaya yang
diperlukan diukur dengan membaca alat pengukur tekanan.
Pada tipe bikonus, hasil pengukuran yang didapat adalah nilai konus dan
nilai hambatan lekat, yang dilakukan dengan dengan cara menekan stang dalam.
Pada awalnya, penekanan stang dalam hanya menyebabkan masuknya ujung
konus, sehingga dengan demikian hanya nilai konus yang diukur. Setelah konus
ditekan sedalam 4cm,maka penekanan selanjutnya akan menyebabkan tertekannya
konus dan selubung lekatan (friction sleeve) secara bersama – sama, sedalam 4cm.
Jadi nilai yang terbaca pada alat pengukur tekanan adalah jumlah dari nilai konus
dan hambatan lekat. Nilai hambatan lekat didapatkan dengan mengurangkan nilai
konus dari jumlah nilai konus dan hambatan lekat. Untuk mendapatkan
pembacaan berikutnya, selubung luar ditekan, sehingga konus, setang dalam dan
selubung lekatan akan tertekan bersama – sama. Selanjutnya setang dalam
ditekan, dan prosesnya berulang seperti yang telah dijelaskan diatas.
Ada dua jenis mesin penekan, yaitu tipe menengah dan tipe berat. Tipe
menengah dapat mengukur tekanan sampai 150kg/cm2, sedangkan tipe berat dapat
mengukur sampai 400kg/cm2. Kedalaman penetrasi dapat mencapai 30m bisa
lapisan berupa lapisan tanah lunak.
2.7
Tes SPT (Standard Penetration Test)
Uji penetrasi standar (SPT) adalah uji yang dilaksanakan bersamaan
dengan pengeboran untuk mengetahui baik perlawanan dinamik tanah maupun
pengambilan contoh terganggu dengan teknik penumbukan. Kelebihan dan alasan
utama tes ini digunakan secara luas karena tes ini murah dan sederhana. Parameter
kekuatan tanah yang didapat adalah perkiraan, tetapi dapat memberikan panduan
yang berguna dalam kondisi tanah dimana tidak memungkinkan untuk
mendapatkan sampel bor yang kualitasnya memadai. Prosedur tes SPT di
Indonesia mengacu pada SNI 4153 – 2008. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan
tabung belah dinding tebal ke dalam tanah dan disertai pengukuran jumlah
pukulan untuk memasukkan tabung belah sedalam 300 mm (1 ft) vertikal.
Uji penetrasi standar (SPT) dilaksanakan bersamaan dengan pengeboran
untuk mengetahui baik perlawanan dinamik tanah maupun pengambilan contoh
16
terganggu dengan teknik penumbukan. Uji SPT terdiri atas uji pemukulan tabung
belah dinding tebal ke dalam tanah dan disertai pengukuran jumlah pukulan untuk
memasukkan tabung belah sedalam 300 mm (1 ft) vertikal. Dalam sistem beban
jatuh ini digunakan palu dengan berat 63,5 kg (140 lb) yang dijatuhkan secara
berulang dengan tinggi 0,76 m (30 in). Pelaksanaan pengujian dibagi dalam tiga
tahap, yaitu berturut-turut setebal 150 mm (6 in) untuk masing – masing tahap.
Tahap pertama dicatat sebagai dudukan, sementara jumlah pukulan untuk
memasukkan tahap kedua dan ketiga dijumlahkan untuk memperoleh nilai
pukulan N atau perlawanan SPT (dinyatakan dalam pukulan /0,3 m atau pukulan
per feet). Uji SPT dilakukan pada setiap 2 meter pengeboran dan dihentikan pada
saat uji SPT N diatas 60 N berturut turut sebanyak 3 kali. Dari data/informasi
yang diperoleh dapat digunakan untuk menggambarkan profil daya dukung tanah
yang di gambarkan pada grafik SPT.
2.8
Metode Untuk Mengevaluasi Potensi Likuifaksi
Dalam menganalisis potensi likuifaksi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
tes uji laboratorium dan pendekatan perhitungan dari tes uji lapangan. Tugas akhir
ini bertujuan untuk mendapatkan hasil nilai potensi likuifaksi dari hasil uji
lapangan yaitu dengan data CPT (sondir) dan SPT serta membandingkan nilai
CRR yang didapat dari masing – masing data. Adapun untuk menganalisis potensi
likuifaksi dibutuhkan nilai rasio tegangan siklik (CSR) dan nilai rasio tahanan
siklik (CRR) yang bisa didapat dari nilai SPT dan CPT
Metode untuk mengevaluasi potensi likuifaksi adalah dengan cara
mendapatkan nilai faktor keamanan dari hasil perbandingan nilai CRR (Cyclic
Resistance Ratio) yaitu nilai yang mencerminkan kekuatan terhadap beban siklik
yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan nilai CSR (Cyclic Stress Ratio) yaitu
nilai tegangan yang disebabkan oleh gempa bumi. Faktor keamanan yang
digunakan tidak boleh kurang dari satu, karena jika kurang dari satu maka tanah
akan mengalami likuifaksi.
FS=
17
Dimana :
jika FS = 1 (kondisi kritis)
jika FS > 1 (tidak terjadi likuifaksi)
jika FS < 1 (terjadi likuifaksi)
2.8.1
Metode Evaluasi CSR
Pada tahun 1971 Seed dan Idriss memformulasikan persamaan untuk rasio
tegangan siklik sebagai berikut :
(
)(
) rd
(2.8)
Dimana :
amax
: akselerasi puncak horizontal pada permukaan tanah yang disebabkan oleh
gempa
g
: gravitasi
σv
: tegangan overburden vertikal dan tegangan overburden vertikal efektif
σvo
: tegangan overburden vertikal efektif
rd
: koefisien tegangan reduksi
Idriss (1999) menunjukan bahwa nilai rd menunjukkan fungsi dari
kedalaman dan earthquake magnitude (Mw). Dan persamaan berikut menunjukkan
hasil dari analisis tersebut
rd = exp ( α(z) + β(z) M)
(2.9)
α(z) = -1.012 – 1.126 sin ( ((z)/11.73) + 5.133)
(2.10)
β(z) = 0.106 + 0.118 sin ( ((z)/11.38) + 5.412)
(2.11)
Dimana :
z
: kedalaman dalam meter
Mw
: Momen magnitude
18
Persamaan diatas secara matematik dapat diterapkan pada kedalaman < 34m.
Namun ketidakpastian nilai rd dengan meningkatnya kedalaman, maka persamaan
diatas sebenarnya hanya bisa diterapkan pada kedalaman kurang dari 20m.
2.8.2
Metode Evaluasi CRR
Dalam mengevaluasi nilai CRR dilakukan pendekatan perhitungan CRR
yang diambil dari consensus NCEER tentang ketahanan tanah terhadap Likuifaksi
tahun 1998 mengenai analisis likuifkasi dan literatur buku yang dibuat oleh I.M.
Idriss dan R.W. Boulanger yang berjudul “Soil Liquefaction During Earthquake”
tahun 2008
Beberapa uji lapangan telah memperoleh penggunaan umum untuk
evaluasi potensi likuifaksi, termasuk tes penetrasi standar (SPT), cone penetration
tes(CPT), kecepatan gelombang geser pengukuran (Vs), dan tes BPT. Namun
batasan pada tulisan ini hanya pada evaluasi data dari CPT dan SPT
2.8.2.1 Metode Evaluasi CRR Berdasarkan Data SPT
Diambil dari sebuah consensus NCEER tentang ketahanan tanah terhadap
Likuifkasi tahun 1998 mengenai analisis likuifkasi didapatkan metode evaluasi
CRR dengan kriteria untuk evaluasi tahanan likuifaksi berdasarkan nilai SPT telah
digunakan selama bertahun – tahun. Kriteria tersebut sebagian besar diwujudkan
dalam plot kurva antara nilai SPT terkoreksi (N1)60 dan nilai CSR.
Gambar 2.2 Kurva Hubungan CRR dengan nilai SPT terkoreksi dengan M=7.5
Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)
19
Kurva CRR pada grafik ini adalah diposisikan untuk memisahkan daerah
dengan data indikasi likuifaksi dengan data yang menunjukkan non-likuifaksi.
Kurva dikembangkan untuk tanah dengan fines content (FC) sebesar 5%. Kurva
CRR untuk fines content <5% adalah kriteria penetrasi dasar untuk
penyederhanaan prosedur dan selanjutnya disebut sebagai “kurva dasar SPT pasir
murni”.
Persamaan berikut ini dikembangkan oleh I.M. Idriss dan R.W. Boulanger
untuk faktor koreksi (N1)60 penyetaraan clean sand, (N1)60cs :
(N1)60cs = α + β (N1)60
(2.12)
Dimana α dan β adalah koefisien yang didapat dari hubungan persamaan berikut :
α=0
untuk FC < 5%
2
α = exp [1.76 – (190/FC )]
untuk 5% < FC < 35%
α = 5.0
untuk FC > 35%
β = 1.0
untuk FC < 5%
β = [0.99 + (FC1.5/1,00)]
untuk 5% < FC < 35%
β = 1.2
untuk FC > 35%
Adapun faktor koreksi lainnya yang dibutuhkan untuk perhitungan (N1)60.
(N1)60 = NMCNCECBCRCS
(2.13)
Dimana :
NM
: Nilai tahanan penetrasi standar
CN
: Faktor normalisasi Nm terhadapt tegangan overburden pada umumnya
CE
: Koreksi ratio energy hammer (ER)
CB
: Koreksi untuk diameter lubang bor
CR
: Faktor koreksi dari panjang batang
CS
: Koreksi untuk sampel
20
Berikut adalah tabel koreksi SPT yang dimodifikasi dari Skempton (1986).
Tabel 2.2 Nilai Koreksi untuk Nilai N SPT
Sumber Idriss dan Boulanger (2008)
I.M. Idriss dan R.W. Boulanger tahun 2008 telah memodifikasi nilai dari
beberapa parameter seperti (N1)60 , ∆(N1)60 dan CRR7.5 yang terangkum dalam
persamaan – persamaan berikut :
(N1)60 cs = (N1)60 + ∆ (N1)60
∆ (N1)60 =
(2.14)
–(
)
(2.15)
21
CRR7.5=
(
(
) – (
)
(
)
)
(2.16)
2.8.2.2 Metode Evaluasi CRR Berdasarkan Data CPT
Keuntungan utama dari test CPT adalah tahanan penetrasi profil tanah
yang terus menerus dapat dikembangkan menjadi interpretasi statigrafi. Data yang
dihasilkan oleh CPT umumnya lebih konsisten dan memiliki repeatability yang
baik sehingga data yang didapat relatif mendekati satu sama lain. Statigrafi yang
didapatkan dari CPT memiliki kemampuan lebih dalam interpretasi data tahanan
likuifakasi dibandingkan SPT.
Korelasi empiris telah dikembangkan antara tipe tanah dengan nilai CPT.
Jadi tipe dari tanah dapat ditentukan tanpa menggambil sampel tanah. Gambar2.3
merupakan kurva empiris yang mengkategorikan tanah menjadi sembilan perilaku
tanah yang berbeda.
Gambar 2.3 Grafik Klasifikasi Tanah Berdasarkan qc dan Fr
Sumber Idriss dan Boulanger (2008)
Dalam buku Soil Liquefaction During Earthquake karangan I.M. Idriss
dan R.W. Boulanger diketahui bahwa nilai CRR7.5 sebagai berikut :
22
(
CRR7.5 =
(
)
(
)
(
)
) (2.17)
Jika nilai qc1Ncs < 211
CRR7.5 = 2
Jika nilai qc1Ncs > 211
Normalisasi dari tahanan cone penetration didapatkan sebagai berikut :
qc1N = CN
(2.18)
CN = (
(2.19)
)
Dimana :
CN
: Faktor Normalisasi tahanan ujung konus
n
: eksponen yang bergantung pada jenis tanah
qc
: tahanan ujung konus
Korelasi empiris telah dikembangkan antara tipe tanah dengan nilai CPT.
Jadi tipe dari tanah dapat ditentukan tanpa menggambil sampel tanah. Gambar ..
merupakan kurva empiris yang mengkatgorikan tanah menjadi sembilan perilaku
tanah yang berbeda. Rasio friksi CPT (fs) umumnya meningkat dengan
meningkatnya fines content dan sifat plastisitas tanah, yang memungkinkan
perkiraan kasar dari jenis tanah dan finest content dapat ditentukan dari data CPT.
Robertson dan Wride (1998) membuat kembali dengan penyempurnaan grafik
sebelumnya untuk mengestimasi jenis tanah. Batasan antara jenis tanah 2 – 7
dapat diperkirakan dari lingkaran konsentrik dan dapat digunakan untuk
memperhitungkan pengaruh karakteristik tanah terhadap qc1n dan CRR. Jari – jari
lingkaran tersebut, biasa didefinisikan indeks tipe perilaku tanah Ic dihitung dari
persamaan berikut :
Ic = [(3.47 – log Q)2 + (1.22 + log F)2]0.5
(2.20)
Q=(
)(
(2.21)
F=(
)
)
(2.22)
23
Dimana :
Ic
: Indek Perilaku Tipe Tanah
Q
: Tahanan Konus Ternormalisasi
F
: Friction Ratio
fs
: Friction Sleeve
Perhitungan nilai ekuivalen normalisasi CPT (qc1N)cs dapat ditentukan
dengan persamaan berikut :
qc1Ncs = qc1N + ∆qc1N
∆qc1N = (
(2.23)
)
(
(
) )
FC = 2.8 Ic2.6
(2.24)
(2.25)
2.8.3 Faktor Koreksi Untuk data CRR
Pada perhitungan CRR, baik menggunakan data SPT atau CPT, data yang
diperoleh merupakan perhitungan CRR pada Mw=7.5 dan tekanan 1atm
(100KPa). Jika perencanaan menggunakan gempa rencana selain dari momen
magnitude gempa 7.5 maka diperlukan faktor koreksi yaitu Magnitude Scaling
Factor (MSF). CRR juga harus dikoreksi terhadap Overburden Correction
Factor, yaitu faktor koreksi terhadap tegangan overburden sebesar 1atm.
2.8.3.1 Magnitude Scaling Factor (MSF)
Magnitude Scaling Factor digunakan untuk menyesuaikan perhitungan
CRR dengan gempa rencana yang ditentukan dengan nilai CRR 7.5. Perhitungan
nilai MSF dapatkan dari persamaan berikut :
MSF =
(
)
(2.26)
Dengan nilai MSF ≤ 1.8. Nilai MSF yang didapatkan pada rumus diatas
diperlihatkan pada gambar 2.4
24
Gambar 2.4 Magnitude Scaling Factor yang dikembangkan oleh beberapa peneliti
Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)
2.8.3.2 Overburden Correction Factor (Kσ)
Overburden correction factor (Kσ) telah diterangkan oleh Seed(1983)
untuk menyesuaikan nilai CRR tegangan overburden yang didapat dari pengujian
tanah dengan nilai CRR dengan nilai tegangan overburden 1atm (100KPa). Nilai
dari Kσ yang dianjurkan dihitung dengan persamaan berikut :
(
Kσ =
)
(2.27)
Dimana nilai dari koefisien Cσ bisa didapatkan dari Dr (kerapatan relatif) atau
nilai N penetrasi standar yang telah terkoreksi N1(60).
(2.28)
√
(2.29)
25
Gambar 2.5 Korelasi nilai Kσ dengan tegangan vertikal efektif
Sumber : Idriss dan Boulanger (2008)
26
Download