ISLAM: GENDER DAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT

advertisement
GENDER DALAM SEJARAH SOSIAL ISLAM
Samsinas*
Abstrak
Gender is one of social problems, specificly struggle for
rule of woman in their social political lives maximaly. One
who valued become couses of gender bias is couse of the
wrong interpretation of religion theaching. More specificly
interpretation of Quran and Hadis text. Interpretations
should to be objective, not only textualy, contextualy but
also substantial onto-historicaly in learn every happen of
history arising Quran dan hadis text. For example about
poligamy and any other problems who notabene gender
bias. It has to be done to break in to culture and thinking
who had structured and in the name of religion in Islamic
society passed of the history periods.
Kata Kunci: Gender, Sejarah Sosial Islam
Pendahuluan
Agama, secara empiris mengalami proses perubahan selaras
dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam realitas
masyarakat modern, agama cenderung diterima dengan lebih
subyektif. Hal ini telah melahirkan berbagai perubahan obyektif dalam
lembaga-lembaga dan berbagai tradisi keagamaan secara umum.
Adapun pluralitas pandangan serta bervariasinya ekspresi
keberagaman manusia modern merupakan potret gambling
kecenderungan masyarakat. Namun kendati pun telah terjadi berbagai
perubahan dalam realitas keagamaan masyarakat, sebagai institusi
yang hidup dalam kungkungan lingkungan yang masih didominasi
nilai-nilai patriarkis, agama masih saja tak dapat menjadi otoritas
secara menyeluruh dan bersih
174 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
Islam merupakan agama mayoritas masyarakat dunia, yang
dalam pengamalannya bersentuhan langsung dengan fakultas rasional
tentang hak-hak kemanusiaan dalam berbagai kepentingan. Sejarah
menggambarkan bagaimana penafsiran terhadap agama menjadi
komoditas kalangan tertentu tanpa memikirkan akibatnya bagi
masyarakat perempuan dan generasinya. Islam yang begitu
dimuliakan kemudian dipandang sebagai agama yang meremehkan
perempuan. Tentu saja bukan Islam yang salah, tetapi penafsiran
terhadap teks Alquran dan matan hadislah yang belum tepat, seiring
dengan itu, merupakan tuntutan bahwa umat Islam harus
mengamalkan ajaran Islam mereka sesuai kemampuan penafsiran
terhadap ajaran Islam yang ada, terlepas dari persoalan kepentingan
politik umat dan kepentingan lain dalam sejarahnya.
Pada masa awal kemunculan Islam, memang pernyempurnaan
pemahaman belumlah prioritas, karena dakwah Islam yang selalu
mendapat tantangan dan perlawanan dari masyarakat non Islam.
Setelah ada kelonggaran ruang untuk pengamalannya kemudian
penasiran terreduksi oleh berbagai kepentingan, termasuk
kepentingan politik yang bias gender dan selalu berorientasi pada
kelaki-laki-an (male oriented)1. Hal ini dapat dilahat pada instensnya
perdebatan tentang lekatan patriarkis yang terdapat pada institusi
agama. Kenyataan ini pulalah yang membuat sementara pejuang
gerakan perempuan (baik laki-laki maupun perempuan) tidak kritis
kepada institusi sosial agama.
Penafsiran agama yang male oriented membentuk pemahaman dan
memberi pengaruh terhadap masalah ketimpangan gender, bahkan
hampir semua agama seakan-akan melegitimasi bangunan budaya dan
institusi-institusi Islam. Misalnya; ada dalil-dalil yang cukup ampuh
memberikan indikasi posisi dan peran laki-laki dan perempuan yang
bias gender. Salah satu hadis yang biasa digunakan adalah al-mar’atu
1
Budi Munawar Rachman, Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban
Masyarakat Moderen, (Cet. I; Yogyakarta: 1996), 62
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 175
ra’iyatu fi baiti zaujiha wa waladiha (Perempuan adalah pemimpin dalam
rumah suami dan anak-anaknya). Berdasarkan hadis ini, maka
perempuan “hanya” berperan dalam urusan domestik bukan diluar
rumah. Jadi bangunan budaya dan pemahaman agama seperti ini
berpengaruh kuat terhadap terjadinya ketimpangan gender. Keluarga
adalah lembaga yang paling berperan dan mempertahankan dan
mengaplikasikan hasil bangunan budaya dan pemahaman agama
tersebut sehingga benar-benar mengkristal. Atau hadis dan teks
Alquran yang berkaitan dengan poligami.
Kaum feminis mengatakan untuk dapat menetukan identiatas
dirinya, seorang perempuan harus menjadi dirinya sendiri (otonom)
dan lepas dari pengaruh alam (lingkungannya). Simon de Beuvoir,
pengagum existensialisme mengajak wanita untuk memperkuat
fakultas rasionalnya untuk mencapai subjek yang memiliki power.
Psykolog feminis juga mengusulkan adanya pendidikan androginy
yakni konsep pendidikan yang bebas gender yang berbeda dari konsep
pendidikan konvensional yang cenderung membedakan antara lakilaki dan perempuan. Meski teori-teori tersebut saling menentang dan
melawan alam, namun masing-masing pendukung menganggap
sebagai kebenaran dan harus diperjuangkan dalam bentuk gerakangerakan perempuan. Oleh karena itu bagaimana kita mengkaji hal
diatas dalam konteks Islam yang memiliki masyarakat tersendiri
ditengah masyarakat global. Tulisan ini akan mencoba menguraikan
bagaimana gender dalam sejarah sosial Islam dalam penafsiran yang
konteks gender.
Pembahasan
a. Konsep Dasar Gender (Base Concept Of Gender ).
Gender muncul semula dengan istilah “womanisme”,
“feminisme”, kemudian menjadi istilah gender. Gender berkembang di
Indonesia pada tahun 1990-an, pada mulanya gender hanyalah sebuah
wacana yang dikembangkan oleh para pemerhati perempuan yang
176 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
melihat adanya peran budaya dalam menentukan posisi laki-laki dan
perempuan melalui stereotipe-stereotipe tertentu. Kemudian para
pakar berupaya membangun definisi-definisi atau konsep gender yang
hingga kini masih “kabur” dalam rangka kesetaraan gender. Karena
masalah gender ini merupakan masalah “elite”, maka memerlukan
keseragaman definisi atau konsep dasar yang jelas sehingga tidak
terjadi tumpang tindih antara konsep dan bangunan realitas gender.
Secara etimologi, gender berasal dari bahasa Inggris yang
memiliki arti jenis kelamin (seks). Maka bahasan gender berkisar pada
masalah jenis kelamin baik berjenis kelamin laki-laki maupun berjenis
kelamin perempuan. Ada beberapa hal yang dibicarakan dalam
wilayah gender, antara lain; Pertama, Atribut gender, membicarakan
masalah aksesoris apa yang menyebabkan laki-laki dan perempuan
berbeda. Kedua, Identitas gender, membicarakan dalam hal harus
mengenakan apa orang yang beratribut gender laki-laki dan harus
mengenakan apa orang yang beratribut gender perempuan. Ketiga,
Beban gender, membicarakan “peran”, yakni seseorang yang beratribut
gender laki-laki atau perempuan harus berperan sebagai apa dalam
kehidupan sosialnya.
Atribut gender merupakan masalah seks dan bersifat kodrati
artinya ia ada tanpa keterlibatan lingkungan apa lagi untuk diubah.
Sedangkan masalah identitas gender dan beban gender adalah bersifat
non-kodrati yakni apa yang harus dikenakan oleh seorang laki-laki
atau perempuan adalah dapat dipengaruhi dan direkayasa, dibentuk
dan dikonstruksikan oleh lingkungan manusia. baik sebagai individu
maupun sosial. Begitu pula dengan beban gender yang mana laki-laki
maupun perempuan dapat berperan sesuai kemampuan masingmasing tanpa harus melihat apakah dia berjenis kelamin lakil-laki atau
perempuan dan lingkungan atau manusia sendiri bisa mengatur dan
menentukan peran-peran tersebut sesuai keinginan dan
kemampuannya. Sifat atribut gender yang kodrati menyebabkan
bahasannya terbatas sampai disitu, sedangkan masalah identitas
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 177
gender dan beban gender menjadi masalah yang wilayahnya tidak
terbatas sehingga memerlukan analisis dan kajian yang mendalam.
Dalam menetukan identitas gender dan beban gender, seorang
perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh beberapa faktor biologis
yakni berkaitan dengan fungsi atribut gender dan berpengaruh pada
pembentukan sifat kepada kecenderungan maskulin atau pun feminin.
Kecenderungan ini akan berproses mendukung konstruksi identitas
gender hingga seorang perempuan dan laki-laki dapat menentukan
bahwa ia ingin mengenakan apa untuk menunjukan identitas dirinya.
Kedua adalah faktor lingkungan; menyangkut pengaruh geografi,
demografi, pendidikan, budaya, pemahaman agama dan lingkungan
sosial terutama keluarga.
Sumber masalah ketimpangan gender adalah hasil bangunan
budaya dan pemahaman agama yang “salah”, seorang bayi yang
beratribut perempuan, maka lingkungan langsung mengenakan
pakaian yang berwarna lembut dan kalem seperti warna merah muda,
biru muda dan lain-lain. Sebaliknya jika bayi itu beratribut laki-laki
maka lingkungan mengenakannya dengan pakaian berwarna cerah
seperti warna merah, kuning maupun biru. Begitu pula dengan
pemberian nama. Lingkungan sosial secara budaya berperilaku seperti
itu karena dianggap itulah yang sepantasnya dilakukan pada bayi lakilaki dan perempuan hingga dia dewasa. Begitu pula dalam persoalan
peran, masyarakat membangun stereotipe-stereotipe tertentu tentang
peran perempuan dan laki-laki baik dalam rumah tangga maupun
sosial. Pemahaman agama pada masalah-masalah tertentu yang
berkaitan dengan peran perempuan dan laki-laki mendukung
stereotype stereotype tersebut. Namun bersamaan dengan
perkembangan zaman dan tuntutan global perempuan Islam perlu
memahami secara tajam dan obyektif terhadap pola-pola kehidupan
masyarakat Islam yang “bias gender” yang terbangun dalam sejarah
dan institutif. Misalnya pada persoalan poligami adalah persoalan
yang sudah menyejarah sejak zaman Rasul dan mungkin akan terus
178 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
terjadi, karena kenyataannya sekarang semakin ditentang oleh
masyarakat anti poligami, malah semakin marak meskipun dengan
alasan-alasan nikah siri dan lain sebagainya, bahkan poligami menjadi
nyanyian yang “menghibur” bagi kalangan pencinta seni bahkan
mungkin bagi pelaku poligami.
b.
Islam Tentang Kesetaraan Gender (Islam About Gender
Equality)
Secara global dan trend besar memandang Islam sebagai
streotipikal. Islam cenderung diidentikkan sebagai gerakan radikal
yang dicap sebagai fundamentalisme Islam, sinisme terhadap Islam
dikembangkan secara mondial. Dalam konteks ini pula, Islam telah
dituduh sebagai institusi agama yang telah melakukan repressi akut
terhadap kaum perempuan melalui isu dan praktik pembatasan peran
publik, masalah kerudung (cadar), kekerasan terhadap perempuan di
ruang publik maupun prifat.
Reaksi balik para “pembela” Islam muncul pertama dari
kalangan fundamentalisme, modernis dan feminis Islam. Kelompok
fundamentalisme dan sebagian modernis mencurugai adanya hidden
agenda dibalik kebencian terhadap nilai-nilai Islam yang dibarengi
desakan diimplementasikannya konsep liberalisasi perempuan.
Menurut mereka hal itu merupakan usaha Barat (kelompok Kristen
dan Yahudi) untuk mengahncurkan Islam dari dalam, melalui
pengrusakan kultur Islam fundamental yang berhubungan dengan
peran dan fungsi serta etika relasi antara laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu penulis mencoba menggambarkan suatu pemikiran
yang mudah-mudahan ada yang baru yang berkaitan dengan Islam
dalam sejarah yang konteks gender.
Islam adalah agama yang paling akhir diturunkan Allah kepada
manusia melalui Rasulullah Muhammad Saw, dibanding agama-agama
lain, menunjukkan bahwa selain Islam merupakan agama yang
ajarannya tidak akan musnah dan terreduksi seperti yang dialami oleh
agama-agama terdahulu. Tetapi juga ajarannya tidak pernah kaku dan
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 179
dapat menjawab masalah-masalah manusia pada setiap zamannya,
termasuk didalamnya masalah-masalah perempuan dan atau gender
yang kini berkembang ditengah masyarakat dalam berbagai lini.
Kata atau frame gender tentu saja tidak ada disebutkan dalam
Alquran dan Hadis, tetapi jika teks nash dan matan yang berkaitan
dengan itu cukup banyak diuraikan didalamnya. Laki-laki dan
perempuan selalu diungkapan secara seimbang dalam konteks yang
berbeda. Dalam konteks seks, laki-laki dan perempuan disebut
muzzakkar dan mua’annas. (atau dalam bahasa inggris disebut dengan
weman dan man). Dalam konteks general, laki-laki dan perempuan
disebut dengan muslimin dan muslimat dalam bingkai Islam (artinya
berbeda dengan ladies and gent dalam bahasa Inggris yang berarti lakilaki dan perempuan tanpa dalam bingkai agama tertentu tapi juga
tidak umum sebagaimana weman dan man), dalam konteks sosial
politik disebutkan dengan nisa’ dan laki-laki disebut rijal. Dan dalam
konteks yang lebih spesifik lagi yakni rumah tangga dan suami istri
disebut dzauj (suami) dan dzaujiha (istri) atau mar’ah sebagai
perempuan dalam konteks keluarga muslim. Namun laki-laki dan
perempuan secara simbolik memuncak pada kelelakian nama-nama
suci untuk Tuhan, seperti; Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Qahhar dan
sebagainya. Juga pada nama-nama para malaikat dan para nabi, dan
pula pada Maryam, Ma’syitha, Khadijah, Rabi’ah al-‘adawiyah jika hendak
diyakini sebagai nabi.2
Dari segi fiqh, laki-laki dan perempuan dalam Islam masih
dipersoalkan kesetaraannya, meskipun secara teks dan maknawi tetap
pada posisi subordinat dari laki-laki. Kitab-kitab tafsir yang bertahan
hingga kini umumnya ditulis oleh kaum laki-laki. Tafsir mereka tentu
diwarnai oleh maskulinitas dan histories yang mereka alami sendiri
terikat dalam budaya patriarki mereka dan sulit untuk bisa
melepaskan diri dari hal itu- suatu keadaan yang bisa dicapai hanya
2
Mansour Fakih, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam, (cet. I;
Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 169.
180 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
oleh sedikit orang biasanya para nabi dan wali. 3 Meski demikian
nampak kesetaraan dalam pemikiran kitab kuning, tetapi ketika
mereka memandang setara pada kedua makhluk itu dari kacamata
spiritualitas ke-Tuhan-an4 atau tasawuf.
Pada persoalan tauhid, Islam mengajarkan bagaimana
berhubungan dengan Tuhan dan bagaimana berhubungan dengan
sesama manusia tanpa memandang seks, gender, suku, ras bangsa dan
agama, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing manusia
untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah,
sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar
akan mengantar manusia pada kehidupan yang lebih baik di dunia dan
kebahagiaan hakiki di akhirat 5. Selanjutnya menurut Musda, Tauhid
membimbing manusia untuk bersikap adil, menjamin keadilan
terhadap mustad’afiin (yang tertindas), terhadap perempuan dan untuk
menjadikan manusia setara6 antara satu dengan lainnya karena pada
hakekatnya semua manusia hanyalah hamba (QS. Adz-Dzariyaat 51 :
56)7 dan khalifah Allah (QS. Al.Baqarah 2: 30)8, tanpa ada perbedaan
seks. Demikian pula hadis al-mar’atu ra’iyatu fi baiti zaujiha wa waladiha
(Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suami dan anakanaknya), seyogyanya dimaknai secara sosiologis bahwa hadis ini
mengandung pengertian yang kongkrit dan statemen yang tegas
tentang fungsi perempuan sebagai pemimpin atau kepala rumah
tangga.
Dari pandangan theosofi tentang keserataan gender, dimana
perempuan dan laki-laki adalah pasangan setara yang memiliki peran
3
Dr. Lynn Wilcox, Wanita dan Alquran dalam Perspektif Sufi, (cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001), 21.
4
Faqih, Membincang, 178
5
Musda Mulya, Tauhid dan Risalah Keadilan Gender, “Makalah” disampaikan
pada Dawrah Fiqh Perempuan, (Jakarta: 2004), 39.
6
Ibid., h. 49-54.
7
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta, 1971), 524
8
Ibid. h. 7
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 181
yang sama secara bio-sosial dalam hal penciptaan manusia. Laki-laki
berperan menuankan bahan materi berupa sperma untuk beradaptasi
dengan salah satu dari sekian ribu ovum yang ada pada rahim
perempuan dengan kualitas yang setara. Dan pada rahim
perempuanlah Tuhan memproses manusia sebagai miniatur alam
semesta (microcosmos9), dapat kita bayangkan sekian lama manusia
dikandung dalam rahim perempuan selama itu pula perempuan dalam
pengawasan dan jamahan Tuhan dalam alam spiritual, itulah kenapa
tesa Max Weber10 mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi kualitas
ibadahnya atau keberagamaanya (dibanding laki-laki). Pendapat ini
mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan hal ini, karena dalam
proses kehamilan itulah menyebabkan perempuan lebih peka secara
psykologis dan spiritual. Tetapi kualitas ibadah laki-laki juga dapat
terbangun lebih baik, salah satunya karena kemampuannya membaca
kekuasaan Tuhan lewat kehamilan perempuan dan kelahiran manusia
sebagai miniatur dari dirinya atau representasi dari diri Tuhan, akibat
dari perannya dalam bentuk pelayanan terhadap seluruh kebutuhan
psykis dan materi perempuan dan bayinya sebagai apresiasi cinta
dengan kualitas yang setara pula. Keadaan ini akan menjadi dasar bagi
setiap aktivitas dan kehidupan sosial politik masing-masing.
Sebagaimana dalam konsep Thao Cina, yin dan yang itu benar-benar
setara dan harmonis.
9
Istilah yang sama digunakan dengan Perkawinan Mikrokosmik dalam Tao,
Sachiko Murata, A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, diterjemahkan
oleh Rahmani Astuti dan MS. Nasrullah, “The Tao of Islam; Kitab Rujukan Tentang
Relasi gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam” (cet. IX; Bandung: Mizan, 2004),
197
10
Weber Mengatakan bahwa wanita memperlihatkan “sifat menerima yang
besar” terhadap “semua risalat keagamaan kecuali agama yang berorientasi militer”.
Dia juga menyatakan wanita cenderung berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan
dengan keterlibatan emosional yang sangat tinggi, bahkan sampai mendekati tingkat
histeria. Lihat Thomas F O‟Dea “The Sociology Of Religion” yang diterjemahkan dengan
“Sosiologi Agama” oleh Yasogama (Ed.) (cet. VI; Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
1995), 114-115.
182 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
c.
Gender dalam Sejarah Sosial Islam (Gender in Social Islamic
History)
Dalam sejarah dakwah Islam periode Mekah, dimana selama 3
tahun seluruh aktivitas kaum muslimin diboikot oleh kaum Kafir
Quraisy, kemudian Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat
agar hijrah ke Habasyah yang diketahui dipimpin oleh Raja yang Adil
dan beragama Nasrani. Rasulullah mengutus Ja‟ffar untuk meminta
suaka kepada raja Habasyah agar kaum muslimin yang hijrah dari
Mekah diijinkan tinggal di Habasyah, Negara yang ia pimpin. Sebagai
penganut nasrani dan pemimpin yang adil dan bijaksana beliau
membiarkan Ja‟ffar menjelaskan tentang ajaran yang dibawa
Muhammad. Salah satu dialog yang membuatnya takjub akan ajaran
Islam adalah ketika Ja‟ffar membacakan Alquran surah Maryam ayat 130. Disitu, Maryam dan Isa al-Masih begitu dimuliakan, kemudian raja
Habasyah berdiri didepan Ja‟ffar dan membuat garis diantara
keduanya ketika itu keduanya berdiri saling berhadapan, dan berkata
kepada Ja‟far, kamu dan saya tidak lebih dari batas garis ini. Akhirnya kaum
muslimin diijinkan untuk tinggal di Habasyah dalam
perlindungannya. Onto-historisnya adalah bukan pada siapa Ja‟ffar
dan raja Habasyah atau terjadinya kelahiran Rasul tanpa Ayah, tetapi
secara implisit menjelaskan pada kita, bahwa Maryam sebagai
perempuan dan Isa al-Masih sebagai laki-laki merupakan dua sosok
agung yang setara (equal) dalam kacamata agama-agama tauhid atau
agama-agama samawi, khususnya pada agama Nasrani dan Islam.
Karena Maryam dan Isa al-Masih memiliki peran yang luar biasa bagi
kehidupan umat manusia.
Pandangan ini hemat penulis sangat konteks gender. Demikian
pula pada Siti Ma‟syita (istri Fir‟aun) dan Siti Hajar pada ribuan abad
Sebelum Masehi, yang memiliki kepekaan sosial dan spiritual dalam
membesarkan, mendidik dan menuntun Musa dan Ismail kepada jiwa
ke-Nabi-annya. Maka sudah sepantasnyalah jika perempuanperempuan ini disebut Nabi setara dengan Nabi-Nabi yang lahir
ditangan mereka.
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 183
Hindun, istri Abu Sofyan yang kisahnya banyak menjadi asbabul
wurud dari hadis-hadis Rasulullah yang berkaitan dengan persoalan
rumah tangga, merupakan perempuan Pagan Quraisy yang pintar dan
pemberani meski keberaniannya tidak dilandasi oleh perintah Allah,
karena konteksnya beliau belum masuk Islam pada masa itu,
kemudian merupakan perempuan protectif setelah beliau masuk Islam
terutama dalam masalah rumah tangganya, bahkan beliau dapat
menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan “cerdas” masa kini.
Dalam persoalan poligami, Rasulullah menikahi istri-istrinya,
bukan sekedar alasan bahwa mereka adalah janda-janda sahabat yang
sahid di medan perang, tetapi mereka memang memiliki kemuliaan
yang layak bersanding dengan Rasulullah dibanding banyak jandajanda lain pada masa itu. Jaenab misalnya; dikenal sebagai ummul
masakin, perempuan pekerja keras dan hasilnya dibagikan kepada
orang-orang miskin, Ummu Salamah, dikenal sebagai perempuan yang
matang, cerdas dan bijaksana, sehingga ia menjadi panutan bagi istriistrinya yang lain termasuk „Aisyah. Demikian pula dengan „Aisyah
yang dikenal banyak meriwayatkan Hadis, menunjukan beliau sangat
cerdas, teliti dan mengetahui Islam lebih luas. Dalam hal
meriwayatkan Hadis „Aisyah setara dengan Abu Hurairah, bahkan
juga menjadi guru bagi Abu Hurairah dan sahabat-sahabat lain pasca
wafatnya Rasulullah Saw.
Poligami bukanlah tindakan yang menghinakan bagi Rasulullah
melainkan konsekwensi sosial dan spiritual dari kepetugasannya
sebagai Rasul Allah dan pemimpin ummat, selain membantu
meringankan beban sosial dan psykologis para perempuan, tetapi juga
menghargai nilai kemulian para perempuan yang menerima
konsekwensi dakwah Islamiyah yang tengah diperjuangkan
Rasulullah Saw., mereka menerima apapun akibatnya, meski
mengorbankan harta, anak dan suami sekalipun. Pernikahannya
terhadap janda-janda itu pula merupakan bentuk pelayanannya pada
hamba-hamba Tuhan yang mulia dengan kasih sayang dan cinta
sekaligus amanah dari Allah Swt.
184 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
Oleh karena itu, Rasulullah sangat melindungi dan menghormati
istri-istrinya. Dengan demikian, laki-laki yang boleh berpoligami
adalah laki-laki yang memiliki peran dan tanggungjawab sebagaimana
Rasulullah Saw, karena tidak mungkin perempuan-perempuan mulia
seperti itu dikumpulkan dirumahnya untuk dilindungi dan dilayani
tanpa pernikahan, itu akan lebih sulit difahami oleh fakutas rasional
kita dari pada berpoligami. Jadi poligami yang terjadi bagi Rasulullah
sangat konteks gender, bukan untuk mencari status sosial atau
kepentingan ego dan nafsu semata karena itu akan menjadi bencana
dalam sebuah rumah tangga dan kehidupan sosial serta penghinaan
sejarah bagi umatnya. Penegasan agar bersikap adil adalah peringatan
Allah dan Rasulnya agar laki-laki berfikir panjang untuk melakukan
poligami karena poligami bukan warisan budaya agama tetapi
berkaitan dengan tugas kerasulan dan wujud penghambaan Rasul dan
Istri-istrinya yang tidak terdapat pada masyarakat Islam pada
umumnya.
Pada pertengahan kejayaan Dinasti Umayyah Timur atau sekitar
abad 2 H, muncul komunitas sufisme yang melahirkan perempuan
mulia yang sangat terkenal, dia adalah Rabi‟atul Adawiyah yang
hidupnya hanya untuk melayani Tuhan dengan mahabbah. Yang
memiliki sya‟ir-sya‟ir indah yang masih dapat dinikmati sampai
sekarang. Kualitas maqam-nya bahkan diatas gurunya sendiri, Hasan
Basri yang nota- bene berjenis kelamin laki-laki. Karena di dunia
sufisme kepentingan individu atau ego-seks itu nihil maka tidak heran
kalau nama Rabi”atul Adawiyah awet hingga sekarang, berbeda
dengan para laki-laki yang dari kalangan tafsir dan fiqh yang sangat
bias gender.
Pada pemerintahan Umayyah Barat (Andalusia), muncul tokoh
perempuan dibidang kedokteran bernama Ummu al-Hasan binti Abi
Ja‟ffar. Pada Masa Kejayaan Islam di Mughal, lahir seorang perempuan
cerdas bernama Mumtaj Mahal yang menjadi inspirasi dan teman
diskusi bagi suaminya, Syah Jehan dalam memimpin negara sebagai
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 185
Sultan Mughal.11 Sehingga ketika Mumtaj wafat Syah Jehan merasa
sangat kehilangan sehingga dia mendirikan istana sebagai
penghargaan kepada istrinya. Istana tersebut bernama Taj Mahal yang
terletak di Agra, India pada era kejayaan Tiga Kerajaan Besar dalam
sejarah Islam.
Pada masa kolonial, atau sekitar abad 17 M di wilayah-wilayah
Islam, kaum perempuan hampir tenggelam, karena umumnya diambil
sebagai istri atau dijadikan pemuas nafsu para penjajah. Dan ketika
bangsa-bangsa di wilayah-wilayah Islam mulai bangkit dan mereka
menyadari perlunya perempuan berperan dalam melawan penjajah
sekaligus kebangkitan umat, maka muncullah pemikiran-pemikiran
yang konteks gender, seperti di Mesir, Qasim Amin melalui karyanya,
Tahrirul mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah, tentang pentingnya pendidikan
bagi perempuan untuk kepentingannya dalam kehidupan keluarga
dan sosial.12 Sementara di Indonesia, Cut Nyak Dien13, perempuan
yang sudah berumur tetapi dipercaya dan didukung oleh para lelaki
untuk memimpin perang melawan penjajah Belanda di Aceh., sangat
berbeda dengan RA Kartini dan perempuan umumnya yang tidak
memiliki kemerdekaan sosial politik ditengah masyarakat Indonesia
yang notabene masyarakatnya mayoritas muslim.
Pasca kemerdekaan atau pada masa Orde Lama, sekolah-sekolah
didirikan dan melibatkan perempuan didalamnya, Selanjutnya
pengaruh feminisme mulai membonceng PKI dan gerakan-gerakan
sosial politik. Umat Islam yang semula melibatkan diri melalui
organisasi sosial keagamaan kemudian berkembang menjadi
organisasi politik Islam. Perempuan-perempuan Islam mulai terlibat
11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006),
150
12
Bahman, Qasim Amin dan Emansipasi, "Makalah" Diseminarkan pada PPS UMI
Makassar, 1998, 3.
13
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Historis, (cet. I; Yogyakarta:
Galanga Press, 2002), 287.
186 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
dalam pemerintahan dan organisasi politik serta organisasi sosial
keagamaan.
Pada masa Orde Baru perempuan menjadi salah satu prioritas
trilogi pembangunan, perempuan dianggap sebagai penunjang karir
dan pekerjaan suaminya, tetapi jika suaminya bermasalah maka
perempuan selalu ditempatkan sebagai penyebab. Stereotpe yang bias
gender inilah yang memicu gerakan feminis di Indonesia untuk
dihilangkan karena laki-laki bertanggung jawab penuh atas
pekerjaannya. Hal ini didukung pula oleh perempuan-perempuan
Islam melalui keterlibatan mereka melalui berbagai organisasi sosial
keagamaan.
Adanya kesadaran bahwa pemikiran-pemikiran yang bias
gender itu akibat dari bangunan budaya dan kesalahan penafsiran
terhadap ajaran agama, maka keterlibatan perempuan Islam dibidang
pendidikan dan politik ikut pula memberi warna bagi perkembangan
penafsiran terhadap Alquran dan Hadis para ulama di Indonesia
terutama terhadap persoalan-persoalan yang bias gender. Persoalan
yang sama terjadi pula dinegara-negara mayoritas muslim lainnya.
Sehingga secara simbolis-eksplisit muncul tokoh perempuan sebagai
pemimpin Negara seperti Pakistan, India, Mesir, Turki dan Indonesia.
Pembentukan atau keterlibatan dalam gerakan-gerakan perempuan
yang memperjuangkan kepentingan perempuan, termasuk berupaya
membongkar kesalahpahaman dalam menafsirkan Alquran dan Hadis
Rasulullah Saw, menjadi agenda utama para pejuang gender di dunia
Islam.
Kesadaran semacam ini semakin berkembang dalam berbagai
forum penting di tingkat dunia akhir-akhir ini, baik yang khusus
membicarakan perempuan (di Mexico tahun 1975, Kompenhagen
tahun 1980, Nairobi 1985 dan terakhir di Beijing 1995) juga dalam
berbagai konferensi tingkat dunia seperti konferensi hak-hak azasi
manusia, KTT perkembangan social, KTT bumi dan konferensi
kependudukan. Adanya konvesi PBB tentang penghapusan segala
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 187
“bentuk diskriminasi terhadap perempuan” (CEDAW) semakin
menunjukkan bahwa eksistensi perempuan telah diperhitungkan
dalam arus besar kebijakan global. Menjelang dilangsungkanya
konferensi perempuan sedunia tahap keempat di Beijing, Mahbub ul
Haq, menteri perencanaan dan keuangan Pakistan berasama team ahli
independen telah menerbitkan sebuah laporan pembangunan manusia
1995. pesan esensial yang dikemukakan team ini adalah pembangunan
manusia tidak akan mungkin tercapai tanpa kesetaraan gender.14
Tampilnya perempuan-perempuan dunia menjadi inspirasi bagi
beberapa kalangan untuk tidak menganggap remeh persoalan
“gender”. John Naisbitt bersama istrinya Patricia Aburdane dalam
bukunya megatrend 2000 dalam salah satu babnya yang berjudul “The
1990s: Decace of woman in Leadership”, menyebutkan bahwa satu dari
sepuluh kecenderungan besar dasawarsa 90-an sebagai dasawarsa
perempuan dan kepemimpinan. Dan memang secara kebetulan pada
era itu, beberapa perempuan terpilih sebagai kepala Negara seperti
Ny. Violetta Chammoro sebagai presiden Nikaragua, demikian pula di
India, Finlandia, Pakistan dan Filiphina juga dipimpin oleh
perempuan.15
Nasaruddin Umar, Salah seorang pakar gender Indonesia dalam
suatu kuliah umum di Pascasarjana UMI Makassar tahun 1999, juga
mengatakan tentang ramalan para pengamat bahwa tahun 2000/2001
adalah tahun gender. Rupanya ramalan ini sangat tepat bahkan pada
tahun 2002-2004 kesetaraan gender menjadi kebijakan politik di
Indonesia dengan tampilnya Megawati SP sebagai wakil presiden
yang kemudian menjadi presiden menggantikan H. Abdurrahman
Wahid serta diberikannya quota 30 persen kursi legislatif untuk
perempuan. Dan pada perkembangannya hingga sekarang ini, upaya
itu masih berjalan dan mengalami banyak perubahan yang cukup
signifikan, seperti dengan adanya agenda pemerintah dalam
14
15
Fakih, Mansour, Membincang, 57.
Ibnu Ahmad Dahri, Peran Ganda Wanita Moderen, (t.d.), 15
188 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
penerapkan pengarusutamaan gender dan para laki-laki ikut terlibat
didalamnya.
Dengan demikian masyarakat Islam, tidak lagi kaku untuk
mencari penafsiran yang konteks gender terhadap Alquran dan hadis,
demikian juga dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan dan
aktivitas sosial politik perempuan muslim dalam masyarakat lokal
maupun global.
Penutup
Sehubungan dengan uraian di atas, penting ditekankan di sini,
bahwa sebagaimana layaknya peralatan-peralatan konseptual yang
lain maka dikursus teoritik tentang persoalan perempuan dan agama
adalah juga merupakan produk kegiatan sosial yang seharusnya selalu
dikaitkan dengan berbagai aktifitas dan dimensi kehidupan
masyarakatnya, khususnya berkaitan dengan kekuasaan yang dimiliki
oleh orang-orang yang menggunakanya. Karena konfrontasi antara
berbagai macam konsepsi alternative yang muncul dalam masyarakat.
Namun beberapa upaya meruntuhkan bangunan pemahaman
dan terhadap ajaran Islam yang mengkristal ini sebagai produk sosial
sudah mulai digalakkan oleh masyarakat dalam berbagai kelompok
baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun para perempuan sendiri,
terlepas dari persoalan ada yang pantas dipertahankan dan ada yang
memang perlu dirombak, demi keharmonisan hidup yang benar dan
indah antara laki-laki dan perempuan dimuka bumi dalam ridha Ilahi.
Apa yang terjadi dalam sejarah adalah benar adanya tetapi
adalah banyak kemungkinan salah dalam penafsiran dan alasan-alasan
dalam realisasi nilai-nilai sejarah Islam yang terjadi dalam
masyarakatnya. Kunci memahami Islam atau ajarannya harus
dilakukan penafsiran yang obyektif baik secara tekstual, kontekstual
dan substansial onto-historis.
Penafsiran-penafsiran ini harus pula dilandasi dengan “cinta”
bukan sekedar aksi atau reaksi terhadap sesuatu yang dianggap bias
Samsinas, Gender dalam Sejarah Sosial Islam 189
gender semata. Cinta dan kebijaksanaan dapat melihat kebenaran
yang tersembunyi sekalipun, dapat melihat keadilan dan kesetaraan
dibalik ketidakadilan dan subordinat yang nampak (fisicaly). Secara
rasional maupun spiritual ajaran Islam pasti benar dan bijak bagi
penganutnya yang mempelajari dan melaksanakannya dengan dasar
cinta kepada Allah Maha Pencipta, bukan karena ego dan kepentingan
sesaat.
Daftar Pustaka
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam, , Islam Historis, Cet. I; Yogyakarta:
Galanga Press, 2002.
Amin, Qasim, Tahrir al-Mar’ah, Kairo: Darul Ma‟rif, t. th.
_______, al-Mar’ah al-Jadidah, t. d.
Bahman, Qasim Amin dan Emansipasi Wanita, “Makalah”, diseminarkan
pada Mahasiswa PPS UMI S2, Makassar, PPS UMI, 1998.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta, 1971.
Dahri, Abu Ahmad, Peran Ganda Wanita Moderen, t.tp, t. th.
Fakih, Mansour, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam,
Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Mulia, Sitti Musda, Tauhid dan Risalah Keadilan Gender, “Makalah”
disampaikan pada Dawrah Fiqh Perempuan”, Jakarta 2004.
Murata, Sachiko, A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought,
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan MS. Nasrullah, “The
Tao of Islam; Kitab Rujukan Tentang Relasi gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam” , Cet. IX; Bandung: Mizan, 2004
O‟Dea, Thomas F., “The Sociology Of Religion” yang diterjemahkan
dengan “Sosiologi Agama” oleh Yasogama (Ed.), Cet. VI; Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 1995.
Rachman-Munawar, Budi, Rekonstruksi Fiqh Perempuan Dalam Peradaban
Masyarakat Moderen, Cet. I; Yogyakarta: 1996.
190 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:173-190
Wilcox, Lynn,Dr., Wanita dan Alquran dalam Perspektif Sufi, Cet. I;
Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006

Dosen Tetap pada Jurusan Dakwah STAIN Datokarama Palu.
Download