Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan

advertisement
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan
Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
Elfa Adila
SLB Negeri Serdang Bedagai
I. PENGANTAR
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang
lebih humanis dan inovatif dalam memperluas akses pendidikan bagi semua
anak berkebutuhan khusus termasuk anak dengan disabilitas. Dalam konteks
yang lebih luas, pendidikan inklusif juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk
reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan
persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan
bagi semua, serta peningkatan mutu pendidikan. (Ilahi, 2013:72).
Pendidikan
inklusif
adalah
sistem
layanan
pendidikan
yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat
di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil,
1994). Inklusi merupakan pendidikan yang mengakomodasi semua anak
tanpa melihat multidimensi perbedaan, dimana disini sistem menyesuaikan
dengan kebutuhan setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi
untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat
menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari
anak dan masyarakat (Stubbs.2002). Pendidikan inklusif menjamin akses dan
kualitas. Hak semua anak untuk berpartisipasi dalam pendidikan berkualitas
yang bermakna untuk setiap individu. Sekolah inklusi bukan hanya
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
1
memindahkan anak disabilitas ke sekolah biasa, tetapi inklusi mengandung
makna bagaimana memandang anak berdasarkan individunya bukan secara
klasikal. Hal ini sesuai dengan salah satu Salamanca Statement yang
berbunyi :
“Inclusive education means that... schools should accommodate all
children regardless of their physical, intellectual, social, emotional,
linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted
children, street and working children, children from remote or nomadic
populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and
children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.. (The
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs
Education, part 3)”
Filosofi pendidikan inklusif adalah melaksanakan pendidikan dengan
semangat kebersamaan dalam perbedaan. Sekat-sekat yang membatasi
perolehan hak pendidikan seperti kondisi kelainan atau tingkat kemampuan
belajar yang berbeda dihilangkan dengan memberi kesempatan yang sama
kepada mereka untuk turut belajar bersama dengan anak seusianya dalam
kelas yang sama. Semua anak terlepas dari abilitas maupun disabilitasnya,
latar belakang sosial ekonomi, suku, bahasa atau budaya, agama atau jenis
kelamin merasakan sebagai anggota komunitas sekolah yang sama
(Watterdal et al., 2010)
Pendidikan Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal, yang
diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua terutama anakanak berkebutuhan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya
untuk memperoleh pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak lain.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusif merupakan salah satu syarat yang
harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive
society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan
menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
2
Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem
pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang
melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang
mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik
dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan
bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun konon telah
dilakukan. Berdasarkan Undang-undang itu Indonesia terus bergerak
mengembangkan sekolah inklusif, walaupun secara nyata sekolah inklusif
belum secara merata ada di seluruh kabupaten di Indonesia.
Kebijakan nasional tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Indonesia
telah
ditetapkan
dengan
diterbitkannya
Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 sebagai turunan
dari Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional yang sebelumnya memuat
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Peraturan tersebut
mengatur tentang pelaksanaan pendidikan inklusif dan memuat kewajiban
pemerintah daerah untuk turut mengembangkan pendidikan inklusif. Pasal 4
Permendiknas tersebut menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib
menunjuk sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang Sekolah Dasar
(SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) disetiap kecamatan dan satu
satuan pendidikan menengah ditingkat kabupaten untuk menyelenggarakan
pendidikan inlusif. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat sebuah kewajiban
agar pendidikan inklusif dapat terselenggara dan dikembangkan mulai pada
tingkat kecamatan (Jananto : 2016)
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
3
II. PERMASALAHAN
Penyelenggaraan pendidikan inklusif saat ini semakin berkembang di
Indonesia. Tercatat 2.400 sekolah inklusif telah diselenggarakan yang
melayani lebih dari 125.000 anak berkebutuhan khusus, sehingga angka
partisipasi anak berkebutuhan khusus meningkat dari 10% pada awal tahun
2000 menjadi sekitar 34% (Tarsidi, 2015). Pertumbuhan ini menunjukkan
bahwa pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang saat ini
dikembangkan di Indonesia dan menjadi arah perubahan sistim pendidikan
yang dilakukan.
Dengan bertambahnya layanan pendidikan inklusi dan banyaknya
sekolah-sekolah inklusi yang tersebar di Indonesia adalah suatu trend yang
positif, dimana telah banyak sekolah yang sudah memperhatikan hak-hak
anak dan sudah banyak sekolah yang mau menerima anak berkebutuhan
khusus untuk bisa belajar bersama dengan anak reguler. Namun, semakin
berkembangnya dan bertambahnya jumlah sekolah inklusif di beberapa
daerah, tidak diimbangi dengan meningkatnya pelayanan dan kualitas
sekolah inklusif sesuai dengan prinsip-prinsip inklusif. Harapan pendidikan
inklusif adalah pendidikan untuk semua tanpa memandang anak “normal”
ataupun anak “tidak normal” masih menyimpan berbagai permasalahan yang
banyak ditemui di lapangan. Permasalahan yang sering ditemui dalam
menerapkan pendidikan inklusif di sekolah adalah ditemui adanya sekat
untuk anak berkebutuhan khusus dan anak regular, dimana anak
berkebutuhan khusus ditempatkan diruangan yang berbeda dengan anak
normal dan disatukan pada pelajaran tertentu.
Senada dengan hal tersebut, sekolah inklusi yang seakan-akan hanya
memasukkan anak disabilitas / anak berkebutuhan khusus ke dalam sekolah
umum, tanpa adanya sistem yang dibuat khusus untuk menunjang belajar
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
4
anak, seperti kurikulum, sarana, maupun prasarananya. Selanjutnya yang
banyak juga ditemui adalah sekolah inklusif lebih memperhatikan anak-anak
disabilitas saja, belum memperhatikan anak-anak regular yang bersekolah
disitu. Selayaknya anak disabilitas, dan anak-anak regular merupakan satu
kesatuan dari sistem penyelenggaraan sekolah inklusif.
Sasaran pendidikan inklusif adalah semua anak usia sekolah termasuk
anak berkebutuhan khusus (ABK), yang terdiri atas anak yang mengalami
hambatan permanen, temporer, maupun dalam perkembangan. Anak-anak
dengan kebutuhan khusus yang dapat dilayani pendidikan inklusif adalah
hambatan fisik, intelektual, social, emosional, cerdas dan bakat istimewa,
anak yang tinggal di daerah terpencing atau terbelakang, suku terasing,
korban bencana alam, tunawisma, anak terbuang, anak daerah konflik, anak
pengemis dan anak terkena dampak HIV/AIDS dan lainnya sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya (Alimin,2005) . Prinsip sekolah inklusi adalah
menerima semua keadaan anak dan memberikan layanan yang sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Sebuah sekolah inklusi yang baik
dan ideal adalah sekolah yang tidak memandang anak berdasarkan ras,
ekonomi, prestasi maupun fisiknya.
Namun, ditemui di lapangan, ada fenomena sekolah yang berlabel
sekolah inklusi memilah milih peserta didik yang akan masuk ke sekolah.
Anak
berkebutuhan
khusus
yang
diterima
hanya
anak-anak
yang
hambatannya ringan, seperti tunarungu, tunanetra maupun yang lamban
belajar (Slow Learner). Dan anak tunagrahita ataupun anak-anak lain yang
hambatannya lumayan berat seringkali ditolak oleh sekolah berlabel inklusi
dengan alasan belum adanya guru pendamping khusus, maupun alasan anak
tidak mampu mengikuti pembelajaran di kelas reguler. Selanjutnya
permasalahan yang sering ditemui di sekolah-sekolah yang berlabel inklusi
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
5
adalah penolakan dari guru reguler untuk memasukkan anak ABK ke kelas
mereka karena ditakutkan akan menghambat penyampaian materi sehingga
tingkat ketuntasan pembelajaran tidak tercapai, hal ini terjadi karena belum
adanya pembekalan yang diberikan kepada guru-guru tentang sekolah
inklusif dan pembelajaran yang bersifat inklusif. Selain itu ada beberapa
kasus yang ditemui, sekolah memungut biaya ataupun mensyaratkan orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk pembiayaan guru
pendamping khusus yang mendampingi anaknya di kelas reguler.
Dari beberapa gambaran permasalahan diatas, dapat dilihat bahwa
selayaknya dalam mendirikan atau membangun sekolah yang berlabel
inklusi, hendaklah dibangun, didirikan, dan dikembangkan dengan prinsipprinsip inklusif, bukan hanya sekolah yang berlabel inklusi tetapi masih
membedakan hak-hak belajar anak. Hendaklah para stakeholder, baik itu
dinas pendidikan, kepala sekolah, dan para guru memahami prinsip-prinsip
pembangunan sekolah inklusif, sehingga berbagai permasalahan diatas
dapat dihindari. Selanjutnya dalam pendirian dan pelaksanaan sekolah
inklusif di Indonesia belum ada ketentuan yang baku dalam prasyarat sekolah
layak dijadikan sekolah inklusif, dan ini sangat jauh berbeda dengan
pengembangan sekolah inklusi yang ada di luar negeri, seperti halnya inggris
dan amerika yang memberikan garis atau aturan yang jelas dalam pendirian
dan pengembangan sekolah inklusif. Berdasarkan masalah diatas, penulis
ingin
mengangkat
tema
tentang
“Pendekatan
Sistematis
untuk
Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif”, dimana
penulis akan menjabarkan bagaimana sebaiknya sekolah inklusi itu didirikan
dan dikembangkan sehingga nantinya menjadi sekolah inklusif yang
memegang prinsip-prinsip inklusi sesuai dengan amanat undang-undang.
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
6
III. PEMBAHASAN DAN SOLUSI
Menurut McLeskey dan Waldron (2000) dalam bukunya inclusive
school in action making differences ordinary, ada beberapa langkah untuk
mendirikan dan mengembangkan sekolah inklusif yang banyak digunakan
oleh sekolah-sekolah inklusi di luar negeri. McLeskey mengatakan, langkah
ini bukanlah resep, tetapi sebagai bentuk masukan, kerangka kerja dalam
perencanaan dan pengembangan sekolah inklusi yang nantinya bisa
disesuaikan dengan karakteritik sekolah, kearifan lokal, dan kebutuhan.
Singkatnya, pendekatan sistematis diperlukan, tetapi harus disesuaikan
dengan kebutuhan individu sekolah setempat. Berikut langkah sistematis
dalam mendirikan dan mengembangkan sekolajh inklusif, Berikut langkahlangkah pendirian dan pengembangan sekolah inklusif yang penulis jabarkan
dalam beberapa langkah, sebagai berikut:
A. Langkah 1, Memulai Diskusi Tentang Sekolah Inklusif
Sebagai guru, administrator, dan stakeholder lainnya hendaknya
memahami apa program yang diperlukan dan yang akan dikembangkan oleh
sekolah. Para stakeholder sekolah harus memutuskan perubahan-perubahan
apa yang perlu dikembangkan untuk pembangunan sekolah inklusi ini.
mereka harus mengembangkan pernyataan visi awal untuk melayani sebagai
pedoman. Selanjutnya mereka tidak boleh terjebak dan harus menghindari
isu-isu yang akan menghambat dalam pengembangan sekolah inklusif, misal
isu finansial, isu-isu dari sekolah lain, dan lainnya. "Tujuan dari sekolah
inklusif adalah untuk mempersiapkan dan mendukung guru untuk lebih
memenuhi kebutuhan semua siswa yang masuk ke kelas mereka.
Dari semua siswa di sekolah, bukan hanya mereka yang disabilitas.
Perubahan yang dilakukan sekolah untuk menuju sekolah inklusif sekecil
apapun akan mempengaruhi pendidikan untuk semua siswa. Selain itu
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
7
perubahan harus berusaha untuk meningkatkan pendidikan untuk semua
siswa, tidak hanya untuk satu kelompok kecil siswa saja. Diskusi awal ini
diharapkan dapat membentuk satu visi dan misi yang baik yang
menggambarkan tujuan sekolah, praktik pembelajaran yang mendukung
keberagaman siswa, dan kerja sama tim guru, kepala sekolah, administrator
maupun dinas pendidikan.
B. Langkah 2, Pembentukan Tim
Menurut (Jenlink, Reigeluth, Carr, &Nelson, 1998) idealnya dalam
pembentukan dan perencanaan sekolah inklusif harus melibatkan seluruh
orang yang ada di sekolah. Dalam pembentukan tim yang dipilih harus
mewakili sekolah. Misalnya, guru kelas, guru dari pendidikan umum, guru
khusus, guru dengan spesialis subjek, dan guru dari pendidikan khusus harus
terwakili dalam pembuatan tim ini. Tujuan utama dari tim adalah untuk
membimbing komunitas sekolah dalam mengembangkan dan melaksanakan
program inklusif yang sukses.
C. Langkah 3, Peninjauan Kemampuan Sekolah
Sebelum mendirikan dan mengembangkan sekolah inklusif, hendaknya
para stakeholder dan tim harus memahami dan melihat potensi sekolah yang
akan dijadikan sekolah inklusi. Hal yang harus dipersiapkan adalah
memastikan bahwa program dan sekolah inklusi yang dikembangkan harus
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, Memiliki pondasi yang kuat
untuk menentukan sumber belajar yang efektif dan harus memiliki
stakeholder yang mampu mengembangkan rencana bagi sekolah inklusif.
Disini sekolah sangat tidak disarankan untuk membuat sekolah inklusif
ataupun mengklaim telah menjadi sekolah inklusi tanpa adanya kesiapan dan
kecakapan menjalankan sekolah inklusi yang sesuai dengan kebutuhan dan
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
8
prinsip inklusif yang baik yang memperhatikan kebutuhan anak dan kesiapan
semua stakeholder sekolah.
D. Langkah 4, Peninjauan Sekolah Inklusi Lain
Salah satu strategi sukses dalam mengembangkan sekolah inklusi
adalah melihat sekolah inklusif lain yang telah ada terlebih dahulu dan sukses
menjalankan programnya. Menurut Roach (1995) banyak guru yang tidak
memiliki gambaran inti tentang sekolah inklusif dan bagaimana pelaksanaan
sekolah inklusif, sehingga dengan adanya observasi, studi lapangan, maupun
wawancara kepada sekolah yang telah terlebih dahulu sukses dengan
program inklusif sangat mampu menggambarkan pelaksanaan sekolah
inklusif.
Selain itu, tujuan lain peninjauan sekolah ini adalah untuk melihat
bagaimana program atau sistem belajar yang inklusif, pengaturan kelas,
pengaturan kegiatan belajar, penanganan peserta didik dan program-program
lain yang dirasa perlu untuk mengembangan sekolah inklusif yang baik.
E. Langkah 5, Mengembangkan Rencana Pembentukan Sekolah Inklusif
Mengembangkan
rencana
pembentukan
sekolah
inklusif
harus
berdasarkan sumber daya, kebutuhan, dan preferensi sekolah. Hasil
informasi yang telah dikumpulkan pada langkah sebelumnya harus sebagai
dasar untuk perencanaan. Tim perencanaan inti hendaknya mengambil
tanggung jawab utama untuk membimbing rencana pembentukan sekolah ini.
Menurut Sunaryo (2009) Rencana pembentukan sekolah inklusif
hendaknya membahas tentang kurikulum, pengajaran, penempatan siswa,
dan perubahan organisasi sekolah untuk memenuhi kebutuhan siswa yang
lebih baik. Rencana pembentukan sekolah inklusif hendaknya mampu
menjawab semua isu yang ada di sekolah, seperti : (1) Bagaiman kurikulum
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
9
yang cocok diadaptasi untuk siswa disabilitas?, (2) Bagaimana penyesuaian
program individual (IEP)?, (3) Bagaimana penyesuaian penilaian, (4)
Bagaimana seleksi dan penerimaan siswa disabilitas?, dan (5) Bagaimana
evaluasi?
Jadi hendaknya sebelum sekolah inklusif dijalankan, perencanaan
yang disusun harus mampu memenuhi prinsip-prinsip dari sekolah inklusif.
F. Langkah 6, Publikasi kepada Seluruh Komunitas Sekolah
Publikasi ini dilaksanakan setelah semua rencana yang diusulkan
selesai dengan matang. Langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa
semua stakeholder di sekolah, seperti guru , penjaga sekolah, orang tua, dan
karyawan tata usaha memahami bagaimana perencanaan pelaksanaan
sekolah inklusif yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Tujuan utama
publikasi ini adalah untuk menginformasikan kepada seluruh stakeholder
yang
ada
di
sekolah
tentang
perencanaan
sekolah
inklusif
dan
mendengarkan masukan atau saran yang dapat diberikan sehingga dalam
pelaksanaannya nantinya dapat berjalan sesuai dengan konsep sekolah
inklusif yang diharapkan.
G. Langkah 7,
Pelaksanaan,
Pengawasan,
dan
Evaluasi
Sesuai
Kebutuhan
Setelah melaksanakan persiapan pembentukan sekolah inklusif secara
sistematis, langkah terakhir adalah melaksanakan program yang telah
disusun, melakukan pengawasan dan melaksanakan evaluasi. Hal yang perlu
diperhatikan disini adalah : (1) apakah siswa berkebutuhan khusus mendapat
keuntungan atau manfaat dari program sekolah inklusif ini, baik dari segi
akademik maupun social, (2) Apakah siswa yang tidak berkebutuhan khusus
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
10
atau siswa reguler mendapat manfaat dari program sekolah inklusi ini, dan (3)
Apakah guru mendukung program sekolah inklusi.
Pelaksanaan pengawasan dan evaluasi sangat penting dilaksanakan
untuk meninjau sejauh mana program dapat dijalankan dan perbaikanperbaikan yang diperlukan, sehingga program sekolah inklusif ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak yang terlibat.
KESIMPULAN
Pendidikan Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal, yang
diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua terutama anakanak berkebutuhan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya
untuk memperoleh pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak lain.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang
harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive
society).Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang memperhatikan
kesamaan hak anak secara individu. Dengan adanya program sekolah
inklusif, diharapkan semua anak mendapatkan haknya untuk mendapatkan
pendidikan, tanpa memandang ras, suku, agama, ekonomi, letak geografis,
keadaan fisik, maupun status sosial. Sekolah inklusif diharapkan mampu
memberikan
pelayanan
pendidikan
keanekaragaman kebutuhannya.
untuk
semua
anak
dengan
Dalam menyusun, mendirikan dan
melaksanakan sekolah inklusif hendaknya memperhatikan beberapa hal atau
langkah dalam pelaksanaan sekolah inklusif, sehingga program sekolah
inklusi dapat berjalan dengan baik dan memegang prinsip-prinsip inklusif.
Ada tujuh langkah yang harus diperhatikan sebagai langkah sistematis dalam
mengembangkan sekolah inklusif. Ketujuh langkah-langkah yang sudah
dijabarkan di atas merupakan rujukan dalam menyusun sekolah inklusif
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
11
sehingga sekolah inklusif mampu mewujudkan pendidikan untuk semua
(Education For All).
Harapan Penulis
Dalam pengembangan sekolah inklusif yang ideal memerlukan
rencana dan persiapan yang matang dari semua aspek penunjang
pendidikan anak, Hendaknya sekolah-sekolah yang telah melaksanakan
program inklusif harus memikirkan rencana yang matang, sehingga pada
aplikasi di lapangan program-program inklusif yg direncanakan bisa
dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya
pengembangan sekolah inklusif,
hendaknya semua aspek harus inklusif, baik dari pelayanan kepada anak,
pembelajaran kepada anak, dan aspek lain. Jadi sekolah inklusif bukan
hanya sekedar project pemerintah dan bukan untuk mendatangkan
keuntungan kepada beberapa pihak, tapi layaknya suatu sekolah inklusif bisa
memandang seorang anak berdasarkan potensi individu yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Alimin,Z. (2010). Menjangkau Anak-anak Yang Terabaikan Melalui
Pendekatan Inklusif Dalam Pendidikan. Bandung. http://zalimin.blogspot.co.id/2010/03/Menjangkau-anak-anak-yangterabaikan.html.diakses 19-3-2016
Ilahi,M.T. (2013). Pendidikan Inklusif : Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta:
ARuzz Media.
Jenkins, J,.Jewell,M., Leicester,N.,O’Conner. (1994). Accommodations for
Individuals Differences Without Class Room Ability Group: An
experiment in school restructuring. Exceptional Children.
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
12
McLenskey,J & Waldron,N.L. (2000). Inclusive School In Action, Making
Differences Ordinary. USA: Association For Supervision and
Curriculum Development.
McLenskey,J & Waldron,N.L. (2002). School Change and inclusive
schools:Lessons Learned From Practice. Phi Delta Kappan, 6572.
O’Neil. (1994). Can Inclusive Work? A Conversation With James Kauffman
and Mara Sapon-Shevin. Boston: Educational Leadership.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa.
Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There Few Resources Norway:
The Atlas Alliance.
Sunaryo.(2010). Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan
Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa). Bandung:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR_PEND_LUAR_BIASA/195607221
985031-Sunaryo.Makalah. Diunduh : 3-11-2015.
Tarsidi,D. (2002). Jaringan Kerja untuk Inklusi. Disajikan pada Seminar
Pendidikan Inklusif Peringatan hari Kelahiran Louis Braille.Bandung :
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR_PEND_LUAR_BIASA/1956072219
85031-Artikel-Tarsidi. Diunduh : 9-3-2016.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
UNESCO. (1994). The Salamca Statement And Framework For Action, On
Special Needs Education Salamanca, Spain: United Nations
Educational, Scientific And Cultural Organization.
Richards,G,.& Armstrong,F. (2010). Teaching And Learning In Diverse And
Inclusive Classroom. New York: Routledge.
Roach,V. (1995). Supporting Inclusion: Beyond the Rhetoric. Phi Delta
Kappan.77,295-299.
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
13
Watterdal, T. Skjorten,M,.Hauschild,A,.Sletmo,E.,& Tahir,M. (2010) List Of
Concepts & Terminologies Education For All Inclusive Education
Child-Friendly Education Disabilities Disabling Health Conditions.
Kabul: UNESCO Kabul.
Pendekatan Sistematis untuk Mengembangkan dan Melaksanakan Sebuah Sekolah Inklusif
14
Download