Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER

advertisement
J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA
ADHAPER
Vol. 1,
No.
Juli
Desember 2015
2015
Vol.
1, 2,
No.
1, –
Januari-Juni
•
Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan
Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata
Efa Laela Fakhriah
ISSN. 2442-9090
Vol. 1, No.2, Juli – Desember 2015 ISSN 2442-9090
JURNAL HUKUM ACARA PERDATA
ADHAPER
DAFTAR ISI
1. Problematika Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2008 dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia
Candra Irawan............................................................................................................... 61–73
2. Tipologi Sengketa Tanah dan Pilihan Penyelesaiannya (Studi pada Kantor
Pertanahan Kabupaten Semarang)
Aprila Niravita dan Rofi Wahanisa............................................................................... 75–85
3. Pemutusan Hubungan Kerja pada Badan Usaha Milik Negara: Studi Kasus
Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Pelindo II (Persero)
Sherly Ayuna Putri......................................................................................................... 87–100
4. Sidang Keliling dan Prinsip-prinsip Hukum Acara Perdata: Studi Pengamatan
Sidang Keliling di Pengadilan Agama Tasikmalaya
Hazar Kusmayanti, Eidy Sandra, dan Ria Novianti...................................................... 101–116
5. Proses Kepailitan oleh Debitor Sendiri dalam Kajian Hukum Acara Perdata dan
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
Rai Mantili..................................................................................................................... 117–134
6. Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan
Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata
Efa Laela Fakhriah........................................................................................................ 135–153
7. Rekaman Pembicaraan Telepon sebagai Alat Bukti Perjanjian Bank dengan
Nasabah pada Bancassurance
Nancy S. Haliwela......................................................................................................... 155–170
8. Mengevaluasi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan sebagai Perlindungan
terhadap Dunia Usaha di Indonesia
Mulyani Zulaeha........................................................................................................... 171–187
9. Patologi dalam Arbitrase Indonesia: Ketentuan Pembatalan Putusan Arbitrase
dalam Pasal 70 UU No. 30/1999
Sujayadi......................................................................................................................... 189–213
10. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata
Herowati Poesoko......................................................................................................... 215–237
Printed by: Airlangga University Press. (OC 198/11.15/AUP-B2E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: [email protected]
EDITORIAL
Dalam edisi kedua volume pertama ini, Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER
akan menyajikan tulisan-tulisan hasil Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata yang
diselenggarakan di Ambon (2014) dan Surabaya (2015) yang merupakan artikel konseptual
dan terdapat pula artikel hasil penelitian.
Artikel pertama akan mengulas permasalahan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi.
Artikel kedua, ketiga, keempat dan kelima merupakan hasil penelitian empiris yang membahas
berbagai prosedur penegakan hukum perdata, mulai dari sengketa pertanahan, perselisihan
hubungan industrial, pelaksanaan sidang keliling Pengadilan Agama, dan prosedur kepailitan
yang dimohonkan oleh Debitor sendiri. Artikel keenam dan ketujuh secara khusus berfokus pada
perkembangan alat bukti dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang saat ini tidak
saja terbatas pada lima alat bukti sebagaimana diatur di dalam HIR, RBG dan KUH Perdata.
Artikel kedelapan akan mengulas permasalahan pembuktian sederhana dalam kepailitan
sebagai upaya perlindungan bagi pelaku usaha. Artikel kesembilan menyoroti permasalahan
yang ada di dalam ketentuan mengenai pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur
di dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Rangkaian artikel dalam jurnal ditutup dengan satu artikel yang membahas mengenai
penemuan hukum dalam penyelesaian perkara perdata dengan merujuk pada prinsip-prinsip
yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata.
Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam artikel tersebut semoga dapat memberikan
manfaat dan tentunya dorongan bagi berbagai pihak untuk memberikan perhatian pada
pembaharuan Hukum Acara Perdata Indonesia yang harus diakui sudah cukup usang serta
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pembaharuan Hukum Acara Perdata
diharapkan memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum perdata di Indonesia
serta mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman. Selamat membaca!
Surabaya, Oktober 2015
Redaktur
PERKEMBANGAN ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN
PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENUJU
PEMBARUAN HUKUM ACARA PERDATA
Efa Laela Fakhriah*
ABSTRAK
Dalam era perdagangan bebas yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan
industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan
dan perbankan. Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan, terutama di bidang perdagangan
dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan yang konkrit, kontan dan
komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan dan bersifat individual. Hal ini
juga dipengaruhi oleh pergaulan hidup internasional dalam era globalisasi. Sampai saat ini alat
bukti yang diatur dalam undang-undang adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan,
sumpah, pemeriksaan setempat, keterangan saksi ahli, dan secara khusus media elektronik yang
menyimpan dokumen perusahaan (menurut undang-undang Dokumen Perusahaan) seperti microfilm
dan media penyimpan lainnya yaitu alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai
tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan ke dalamnya. Dalam
praktik muncul berbagai jenis yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik seperti
misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video conference (teleconference), sistem layanan
pesan singkat/SMS, hasil rekaman kamera tersembunyi/cctv, informasi elektronik, tiket elektronik,
data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpan data. Dengan
semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan secara
hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan
hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat
bukti sah secara hukum.
Kata kunci: alat bukti, pembaharuan hukum, hukum acara perdata
LATAR BELAKANG
Pembangunan hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat, khususnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan munculnya
berbagai fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi.
∗ Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung dapat dihubungi melalui e-mail
[email protected].
135
136
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat global, adalah
perkembangan teknologi dan informasi, yang antara lain ditandai dengan era teknologi
informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan hadirnya interconnected
network (internet) yang mempergunakan komunikasi tanpa kertas (paperless document).
Kemajuan teknologi akhir-akhir ini menimbulkan banyak kemajuan di segala bidang,
termasuk dalam kontak seseorang dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia maya merupakan
salah satu contoh dari perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Sebenarnya aktivitas
dunia maya sangat luas mencakup banyak hal dan di berbagai bidang. Melalui media elektronik
masyarakat memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat
dan waktu.
Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan
antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial negara
(borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti:
e-mail, chating video, video teleconference, dan situs website (www), telah memungkinkan
dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas negara. Fenomena ini merupakan
salah satu bagian dari globalisasi yang melanda dunia.
Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi
elektronik, seperti misalnya layanan ATM (Anjungan Tunai Mandiri), transaksi bisnis
melalui handphone, mobile banking, internet banking, e-commerce, dan lain-lain; ternyata
belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti percepatan kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu diperlukan kehadiran hukum yang dapat
menyelesaikan permasalahan/ sengketa yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif
yang ada belum sepenuhnya dapat menjangkaunya.
Perkembangan teknologi yang menimbulkan kemajuan di bidang komunikasi dan
informasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak hanya harus ditunjang oleh perangkat
hukum materiil saja (cyber law), tetapi juga harus didukung oleh perangkat hukum formal,
dalam hal ini Hukum Acara Perdata, sebagai sarana untuk melaksanakan hukum perdata
materiil.
Terjadinya berbagai perubahan yang disebabkan oleh perkembangan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan hukum ini, memengaruhi sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia awalnya berkiblat pada
Man S. Sastrawidjaja, 2005, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, h. 171, dikutip dari Mariamdarus
Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Siber (Cyber Law) di Indonesia, Pidato diucapkan pada upacara memasuki masa
Purna Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Selasa 13 November
2001, Medan, h. 3.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
137
negara-negara Eropa Continental dengan sistem civil law. Hal ini disebabkan karena sebagai
Negara bekas jajahan Belanda, hukum tertulis di Indonesia banyak diadopsi dari hukum
Belanda berdasarkan asas konkordansi, yang sampai saat ini masih banyak yang dijadikan
hukum positif, namun dalam perkembangannya, sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat,
telah terjadi pergeseran kiblat sistem hukum Indonesia yang tidak lagi secara penuh mengarah
pada Eropa Continental dengan sistem civil law, melainkan kombinasi dengan sistem common
law dari Anglo Saxon.
Dalam era perdagangan bebas yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi
dan industri, telah memengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan
perdagangan dan perbankan. Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan, terutama di
bidang perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan
yang konkret, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan
dan bersifat individual. Hal ini juga dipengaruhi oleh pergaulan hidup internasional dalam
era globalisasi. Sebagaimana dikatakan bahwa, interaksi antara ketentuan hukum nasional
dengan kaidah-kaidah hukum internasional akan semakin bertambah karena berkembangnya
lalu lintas pergaulan hidup internasional.
Terdapat pengaruh sistem common law terhadap pembangunan hukum di Indonesia, hal
ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dilakukan secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebagaimana telah
diuraikan di atas. Demikian pula terhadap cara penyelesaian sengketa perdata, khususnya
sengketa bisnis, dengan dikenal adanya alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute
resolution) dan gugatan perwakilan kelompok (class action) serta perkembangan/pembentukan
badan-badan penyelesaian sengketa baik pengadilan maupun di luar pengadilan, seperti antara
lain Pengadilan Niaga, Pengadilan Pajak, Pengadilan Hubungan Industrial, Arbitrase, dan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Hal ini berpengaruh pula terhadap hukum acara perdata yang berlaku, termasuk juga
terhadap sistem pembuktian perdata. Dalam penyelesaian perkara di pengadilan, acara
pembuktian merupakan tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu
peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh
penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Melalui tahap pembuktian, hakim akan
memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.
Dalam tulisan ini akan diuraikan berbagai masalah yang berkenaan dengan perkembangan
alat bukti yang digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, berkenaan
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, h. 55.
138
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik dalam lalu lintas hukum keperdataan,
khususnya perdagangan/transaksi yang dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik,
dihubungkan dengan sistem pembuktian perdata.
PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum, kepada hakim
yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang
dikemukakan. Sementara itu Subekti berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses
bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan sesuatu hukum
acara yang berlaku.
Dalam proses pembuktian ada kegiatan membuktikan. Membuktikan adalah meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan,
sehingga tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau
perkara di muka hakim atau pengadilan.
Mengenai pengertian bukti dan alat bukti dapat disimak pendapat dari Subekti yang
menyatakan bahwa bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau
pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian adalah alat yang dipergunakan
untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan, misalnya: bukti tulisan, kesaksian,
persangkaan, sumpah dan lain-lain.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, Andi Hamzah juga memberikan batasan
hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu
dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaan
di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan
petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.
Dengan demikian Bambang Waluyo menyimpulkan bahwa alat bukti adalah suatu hal
(barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan
untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tuntutan
Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, h. 55.
Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 7. Lihat juga: Soepomo, 2010, Hukum Acara
Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 62.
Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandungh. 78.
Subekti, 2003, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 17.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 99.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
139
atau gugatan. Jenis-jenis alat bukti sangat tergantung pada hukum acara yang dipergunakan,
misalnya apakah acara pidana, perdata atau tata usaha negara.
MACAM-MACAM ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA
Pasal 164 HIR/ 284 RBg mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata,
yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan
dan sumpah. Di luar itu, terdapat alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk memperoleh
kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan
setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg. dan keterangan ahli/ saksi
ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg.
1. Alat Bukti Tertulis (Surat)
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 137, 138, 165, 167 HIR; Pasal 164, 285, 305 RBg.
Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda baca, dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu
yang tidak memuat tanda-tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca akan tetapi
tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau
surat.
Surat (tulisan) merupakan alat bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan
(seperti jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya), orang memang dengan
sengaja membuat alat-alat bukti yang akan digunakan (dipersiapkan) untuk membuktikan
perbuatan hukum yang ia lakukan di kemudian hari seandainya timbul perselisihan, dan bukti
yang disediakan tadi lazimnya berbentuk tulisan.10
Alat bukti surat dibagi menjadi dua, yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat
lainnya yang bukan akta (surat biasa), sedangkan akta juga dibagi dua, yaitu akta otentik dan
akta di bawah tangan. Akta ialah surat yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan, yang sejak semula dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dan ditandatangani
oleh pembuatnya.11 Jadi untuk dapat digolongkan ke dalam pengertian akta maka surat
Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3.
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty, Yogyakarta, h. 141.
10 Subekti, 1982, Op.cit., h. 89. Lihat juga: Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 559.
11 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 142; Subekti, 1982, Op.cit., h. 89; Taufik Makarao, 2004, Pokok-pokok Hukum
Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, h. 99.
140
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
tersebut harus ditandatangani, keharusan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1869 BW
yang menerangkan bahwa seandainya pembuatan akta otentik dilakukan oleh pejabat yang
tidak berwenang, namun akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, maka akta tersebut
mempunyai kekuatan alat bukti tertulis.
Akta otentik yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dan dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum (pejabat umum) yang berkuasa untuk itu di tempat
di mana akta dibuatnya.12 Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akta otentik
dapat dibagi menjadi akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk) yaitu: pertama, akta yang
dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu serta pejabat tersebut menerangkan apa
yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi di sini inisiatif tidak berasal dari orang yang
namanya diterangkan dalam akta tersebut, misalnya berita acara di kepolisian; kedua, akta
yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang (acte partij), yaitu akta yang
dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu atas permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan, misalnya akta notaris tentang jual beli atau sewa menyewa.
Selain akta otentik juga ada akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.
Segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan, atau
dengan kata lain segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
termasuk rumpun akta di bawah tangan.
Surat yang bukan akta diatur secara khusus dalam Pasal 1881 BW (294 RBg) dan 1883
BW (297 RBg), yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan
yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya.
2. Alat Bukti Keterangan Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa
yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.13 Keterangan yang diberikan
oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat
atau dugaan yang diperoleh melalui berpikir tidaklah merupakan kesaksian. Demikian dapat
disimpulkan dari bunyi Pasal 171 ayat (2) HIR, 308 ayat (2) RBg, dan 1907 BW.
Selain itu, keterangan saksi harus disampaikan secara lisan dan pribadi di persidangan,
jadi harus diberitahukan sendiri oleh saksi dan tidak diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara
tertulis. Pada asalnya setiap orang yang bukan merupakan salah satu pihak yang berperkara,
12 13 Pasal 165 HIR; 285 RBg; 1868 BW.
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 159.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
141
dapat didengar sebagai saksi, dan apabila ia telah dipanggil oleh pengadilan untuk memberi
kesaksian maka ia wajib memberi kesaksian. Kewajiban untuk memberi kesaksian ini diatur
dalam Pasal 139 HIR (165 RBg/1909 BW) yang juga menjelaskan tentang sanksinya apabila
mereka tidak memenuhinya. Terhadap kewajiban memberi kesaksian ini ada pembatasannya,
yaitu mereka yang oleh undang-undang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi,
baik tidak mampu secara mutlak seperti keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan
yang lurus dari salah satu pihak, dan suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah
bercerai; maupun yang tidak mampu secara relatif yaitu mereka yang boleh didengar tetapi
tidak sebagai saksi seperti anak-anak yang belum mencapai umum 15 tahun dan orang gila
meskipun kadang-kadang ingatannya sehat. Keterangan mereka hanya boleh dianggap sebagai
penjelasan saja.
Di samping itu, mereka yang atas permintaan sendiri dibebaskan dari kewajibannya
untuk memberi kesaksian (mempunyai hak undur diri/hak ingkar), yaitu: saudara laki-laki dan
perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak, keluarga sedarah menurut
keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu
pihak, semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan
menyimpan rahasia seperti dokter, advokat, notaris dan polisi.14
3. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan
Persangkaan pada hakikatnya merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung, karena
alat bukti persangkaan tidak dapat berdiri sendiri melainkan dengan perantaraan alat bukti
lain. Dengan persangkaan, suatu peristiwa dibuktikan secara tidak langsung, artinya dengan
melalui pembuktian peristiwa lain. Misalnya untuk membuktikan ketidakhadiran seseorang
pada suatu waktu di tempat tertentu, dilakukan dengan cara membuktikan kehadirannya pada
waktu yang sama di tempat lain.15
Pengertian persangkaan tidak diatur dalam HIR, melainkan terdapat pada Pasal 1915 BW
yang menyebutkan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau
hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang belum
terang kenyataannya. Oleh karena itu, alat bukti persangkaan-persangkaan dapat dibedakan
menjadi:
a. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens)
Pada persangkaan berdasarkan kenyataan atau persangkaan hakim, hakim yang
memutuskan berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauh
14 15 Idem., h. 165-166.
Idem., h. 169; Mohon dilihat juga Subekti, Op. Cit., Hukum Acara Perdata, h. 107.
142
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan peristiwa lain.
Hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan, setiap peristiwa
yang telah dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan.
b. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke vermoedens atau rechtsvermoedens).
Pada persangkaan berdasarkan hukum, undang-undanglah yang menetapkan hubungan
antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan.
Persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan
(praesumptiones juris tantum).
2) Persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan
(praesumptiones juris et de jure).
HIR hanya mengatur tentang persangkaan yang didasarkan pada kenyataan (feitelijke atau
rechterlijke vermoedens) saja yang diatur dalam Pasal 173 HIR yaitu bahwa persangkaan saja
yang tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim
pada waktu menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan
ada hubungannya satu sama lain.
4. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum
yang diajukan oleh pihak lawan. Karenanya dengan adanya pengakuan maka sengketa dianggap
selesai sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak perlu
meneliti kebenaran pengakuan tersebut. Oleh karena itu, pada hakikatnya pengakuan bukanlah
merupakan pernyataan tentang kebenaran akan tetapi lebih merupakan pernyataan kehendak
untuk menyelesaikan perkara. Maka sekalipun dimasukkan sebagai alat bukti dalam Pasal 164
HIR (284 RBg, 1866 BW), pada hakikatnya pengakuan bukanlah merupakan alat bukti.16
Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi tiga, yaitu: pengakuan murni, pengakuan
dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula. Demikian pula Pitlo menyatakan bahwa,
“Er zijn drie soorten bekentenissen: de zuivere bekentenis, de gequalificeerde bekentenis, de
geclausuleerde bekentenis”.17
Pengakuan murni adalah pengakuan terhadap tuntutan pihak lawan sepenuhnya sesuai
dengan tuntutan, tanpa ada tambahan apa pun; Sedangkan pengakuan dengan kualifikasi dan
pengakuan dengan klausula merupakan pengakuan dengan tambahan. Pengakuan dengan
16 17 No. 126.
Sudikno Mertokusumo, op.cit., Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 174.
Pitlo, 1981, Bewijs en Verjaring, Deel 4 Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Zesde Druk, Gouda Quint, Arnhem,
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
143
kualifikasi (gequalificeerde bekentenis) adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan
terhadap sebagian dari tuntutan. Pada hakikatnya pengakuan dengan kualifikasi merupakan
jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian lagi terdiri dari sangkalan.
Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis) adalah pengakuan yang disertai
dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan kewajiban yang mengakui. Pada
hakikatnya dalam pengakuan dengan klausula, jawaban tergugat merupakan pengakuan
tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat tetapi disertai dengan tambahan penjelasan
yang menjadi dasar penolakan gugatan.
Terhadap pengakuan dengan tambahan sebagaimana telah diuraikan di atas, hakim harus
menerimanya secara bulat, tidak boleh dipisahkan atau dipecah antara pengakuan dengan
tambahannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 176 HIR (313 RBg) yang menyatakan bahwa: “Tiap
pengakuan harus diterima keseluruhannya dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian
dan menolak selebihnya, sehingga merugikan yang memberi pengakuan, hal demikian itu
hanya boleh dilakukan kalau orang yang berutang, dengan maksud membebaskan dirinya,
menyebutkan peristiwa yang terbukti tidak benar.”
Asas pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) ini berlaku terhadap
pengakuan dengan tambahan, baik pengakuan dengan kualifikasi maupun pengakuan dengan
klausula haruslah diterima bulat dan tidak boleh dipisahkan dari keterangan tambahannya
sehingga merugikan pihak yang memberi pengakuan. Maksud pembentuk undang-undang
tidak lain adalah agar jangan sampai hakim memisah-misahkan pengakuan itu menjadi
bagian yang berisikan pengakuan yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, dan bagian
tambahannya dibebankan kepada pihak yang memberikan pengakuan untuk membuktikan
kebenarannya.18
5. Alat bukti sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, diberikan atau diucapkan
pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa dari Tuhan,
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji atau keterangan yang tidak
benar akan dihukum oleh Tuhan.19 Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan ada dua macam
sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu disebut sumpah
promissoir, dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu
benar atau tidak yang disebut sumpah assertoir. Sumpah yang diucapkan oleh seorang saksi
atau saksi ahli sebelum memberi kesaksian atau pendapatnya, termasuk ke dalam sumpah
18 19 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 174.
Ibid., h. 179.
144
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
promissoir karena diakhiri dengan janji akan memberikan keterangan yang benar dan tidak
lain dari yang sebenarnya; sedangkan sumpah sebagai alat bukti termasuk ke dalam sumpah
assertoir karena fungsinya untuk meneguhkan suatu peristiwa.
HIR/RBg menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap
(suppletoir eed), sumpah pemutus (decisoir eed) dan sumpah penaksir (aestimatoir eed), yang
diatur dalam Pasal 155–158, Pasal 177 HIR; dan Pasal 182–185, Pasal 314 RBg.
Suppletoir eed atau sumpah pelengkap yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi
sengketa sebagai dasar putusannya. Untuk dapat diperintahkan bersumpah suppletoir kepada
salah satu pihak, harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tetapi belum mencukupi
dan tidak ada alat bukti lain, sehingga apabila ditambah dengan sumpah maka pemeriksaan
perkara menjadi selesai dan hakim dapat menjatuhkan putusannya.20
Decisoir eed atau sumpah pemutus yang bersifat menentukan dan menyelesaikan sengketa
(litis decisoir), yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada
lawannya. Sumpah ini dapat diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali,
karenanya sumpah ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
Akibat mengucapkan sumpah ini adalah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah
menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu (tanpa
mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu), sehingga sumpah
decisoir merupakan bukti yang bersifat menentukan, berarti orang yang menyuruh bersumpah
harus dikalahkan tanpa dimungkinkan untuk mengajukan alat bukti lainnya.
Aestimatoir eed atau sumpah penaksir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan besarnya uang ganti kerugian
yang belum secara jelas dimintakan/disebutkan dalam gugatannya. Sumpah ini baru dapat
dibebankan oleh hakim kepada penggugat bila penggugat telah dapat membuktikan haknya
atas ganti kerugian tersebut.
Di luar Pasal 164 HIR/180 RBg, terdapat pula pemeriksaan setempat dan keterangan ahli
yang dapat d igunakan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara perdata. Pemeriksaan
(descente) setempat diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg ialah pemeriksaan perkara oleh
hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan,
agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi
kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.21 Tujuan pemeriksaan setempat adalah
20 21 NJ, HR 3 April 1890, W 5856; P.T. Bandung 24 Juni 1971 No. 285/1969 dalam Ibid., h. 180.
Ibid., h. 187. Lihat juga: M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 780.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
145
agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, oleh karena itu
fungsi pemeriksaan setempat pada hakikatnya adalah sebagai alat bukti meskipun tidak dimuat
dalam Pasal 164 HIR sebagai alat bukti.
Keterangan ahli (expertise) diatur dalam Pasal 154 HIR/ 181 RBg, ialah keterangan pihak
ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan perkara, guna
menambah pengetahuan hakim.22 Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang
ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki
oleh seorang ahli tertentu, bahkan mengenai hukum pun hakim dapat meminta bantuan seorang
ahli hukum tertentu.
PERKEMBANGAN ALAT BUKTI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA
PERDATA
Sampai saat ini, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 di
Indonesia, Hukum Acara Perdata yang berlaku adalah HIR (Stb. 1848 No. 16 jo Stb. 1941
No. 44) untuk wilayah Jawa dan Madura; serta RBg (Stb. 1927 No. 227) untuk wilayah luar
Jawa dan Madura; Rv. (Stb. 1847 No. 52 jo. Stb. 1849 No. 63) ditambah dengan berbagai
peraturan tentang acara perdata lainnya, sehingga terjadi pluralisme hukum.
HIR dan RBg merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda karena merupakan
produk pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku sampai sekarang. Bangsa Indonesia
sejak merdeka sampai saat ini belum membentuk hukum acara perdata yang baru sebagai
pembaruan atas hukum acara perdata yang sekarang berlaku yaitu HIR/RBg, meskipun
demikian upaya untuk membentuknya sudah lama dilakukan, terbukti dengan sudah
dimilikinya rancangan undang-undang tentang Hukum Acara Perdata yang sampai saat ini
masih dalam proses penyusunan.23
Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat yang disertai dengan perkembangan
teknologi informasi dan telekomunikasi, timbul pula bermacam alat bukti dalam hubungan
hukum keperdataan di luar yang telah diatur dalam peraturan acara perdata (HIR/RBg).
Dimulai dengan munculnya fotokopi sampai dengan dikenal dan digunakannya alat bukti
elektronik.
22 Ibid., h. 188. Lihat juga: Taufik Makarao, Op.cit., h.120; dan Yahya Harahap, Op.cit., h. 789.
Himpunan Risalah Rapat Panitia Penyusunan RUU tentang Hukum Acara Perdata, Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Proyek Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, 2004.
23 146
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
Fotokopi suatu surat atau akta sudah umum digunakan dalam kehidupan bermasyarakat,
termasuk pengajuan alat bukti surat dalam pembuktian di pengadilan. Putusan Mahkamah
Agung tanggal 14 April 1976 No. 71 K/Sip/1974, menyebutkan bahwa fotokopi dapat diterima
sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai keterangan atau dengan jalan apa pun secara
sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya.24
Pada waktu pengajuan alat bukti, seluruh surat baik yang berbentuk akta (otentik dan
di bawah tangan) maupun bukan akta yang dijadikan alat bukti tertulis dalam pemeriksaan
perkara di pengadilan, harus difotokopi kemudian dimateraikan (nazegelen) ke kantor pos agar
sah sebagai alat bukti. Di muka hakim, hasil fotokopi bukti surat tersebut harus disamakan
dengan aslinya yang kemudian disahkan oleh hakim sebagai alat bukti dengan menyatakan
bahwa sesuai dengan aslinya dan kemudian diparaf di atas fotokopi bukti surat tersebut.
Foto (potret) dan hasil rekaman suara atau gambar (dalam perkembangannya termasuk
hasil rekaman CCTV), berdasarkan literatur tidak dapat dijadikan alat bukti karena dapat saja
merupakan hasil rekayasa sehingga tidak dapat membuktikan apa yang sebenarnya terjadi.
Namun dalam perkembangannya dewasa ini, dengan kemajuan teknologi di bidang informasi
dan telekomunikasi, asli atau tidaknya suatu foto dan hasil rekaman suara atau gambar dapat
diketahui dengan menggunakan teknik tertentu.
Hasil print-out dari mesin faximili (dikenal dengan fax), banyak digunakan dalam
hubungan surat menyurat jarak jauh dalam waktu yang singkat, demikian pula dengan
microfilm atau microfische yang digunakan untuk menyimpan data, apakah dapat dianggap
sebagai alat bukti tertulis. Kalau dianalogkan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung
14 April tahun 1976 (yurisprudensi) di atas, maka fax, dan microfilm atau microfische dapat
dianggap sebagai alat bukti tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat
sebagai alat bukti tertulis terletak pada aslinya, oleh karena itu baik fax maupun microfilm
atau microfische harus sesuai dengan aslinya. Kalau aslinya hilang maka harus disertai dengan
keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah menyatakan bahwa fax atau microfilm tersebut
sesuai dengan aslinya.
Mahkamah Agung RI dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari 1988
No. 39/TU/88/102/Pid., mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan
alat bukti surat, dengan catatan microfilm itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat
24 Yurisprudensi Indonesia, 1976, h. 549. Lihat juga: Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 157.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
147
ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadap perkara perdata berlaku pula
pendapat yang sama.25
Jika pendapat MARI itu sudah dapat diterima, maka sesuai dengan pendapat Paton
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, alat bukti dapat bersifat: oral yaitu merupakan
kata-kata yang diucapkan di muka persidangan seperti keterangan saksi, documentary yaitu
berupa surat, dan demonstrative evidence yaitu alat bukti yang berupa material dan barang
fisik lainnya seperti misalnya foto, film, CD dan lain sebagainya.26
Perkembangan juga terjadi dalam hal macam-macam alat bukti yang dapat digunakan
dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, dengan dikenal dan digunakannya
alat bukti elektronik di masyarakat. Baik HIR/RBg maupun peraturan lainnya tentang acara
perdata sampai saat ini belum mengatur tentang dokumen/data elektronik sebagai salah satu
alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi keberadaan
dokumen/data elektronik sebagai alat bukti. Sementara dalam perkembangannya sekarang
dikenal adanya bukti elektronik (dianggap sebagai alat bukti) seperti misalnya data/dokumen
elektronik yang dikaitkan dengan tanda tangan digital dan peraturan bea materai yang harus
dipenuhi oleh alat bukti surat, pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconference, di
samping bukti-bukti lain seperti misalnya rekaman radio kaset, VCD/DVD, foto, faximili,
CCTV, bahkan sistem layanan pesan singkat (short massage system/sms).
Hukum pembuktian yang berlaku saat ini, secara formal belum mengakomodasi dokumen
elektronik sebagai alat bukti, sedangkan dalam praktiknya di masyarakat melalui transaksi
perdagangan secara elektronik, alat bukti elektronik sudah banyak digunakan, terutama dalam
transaksi bisnis modern. Sementara itu dalam hukum pembuktian perdata, hakim terikat
pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan
berdasarkan pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang saja.
Sampai saat ini alat bukti yang diatur dalam undang-undang adalah surat, saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat, keterangan saksi
ahli, dan secara khusus media elektronik yang menyimpan dokumen perusahaan (menurut
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan) seperti microfilm dan media
penyimpan lainnya yaitu alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat
pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan ke dalamnya.
25 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 158. Lihat juga: Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara
Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, h. 41.
26 Ibid.
148
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat
digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk
memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen elektronik tersebut
juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum.
Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat
memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat
dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu
keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa
informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.27
Dengan belum diakomodasinya alat bukti elektronik secara formal dalam ketentuan acara
perdata, akan menyulitkan bagi hakim dalam menyelesaikan dan memutus sengketa apabila
para pihak mengajukan dokumen elektronik sebagai bukti atau mengajukan pemeriksaan
saksi dengan menggunakan teleconference, karena belum ada aturannya. Akan tetapi hal ini
tidak dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk tidak menerima serta memeriksa dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya sekalipun dengan dalih undang-undangnya tidak jelas atau
belum ada pengaturannya.
Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam Pasal 10 (1) Undang Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa pengadilan (hakim)
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya
sekalipun dengan dalih hukumnya tidak jelas atau tidak ada. Karenanya hakim harus tetap
menerima untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya sekalipun
tidak ada undang-undangnya, untuk itu hakim harus melakukan penemuan hukum.
Selanjutnya Pasal 5 (1) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sekalipun undang-undangnya tidak
jelas atau tidak ada, namun hakim harus berupaya menemukan hukumnya, karena hakim
memutus perkara berdasarkan hukum yang terdiri dari hukum tertulis (undang-undang) dan
hukum tidak tertulis (nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat).
Mengenai masalah dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan yang sampai
saat ini belum diatur secara formal, tidak dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk tidak
menyelesaikan sengketa yang alat buktinya berupa bukti elektronik, karena pada dasarnya
hakim dilarang menolak untuk mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
27 Ibid., h. 14.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
149
belum ada pengaturan hukumnya. Selain itu hakim juga dituntut untuk melakukan penemuan
hukum (rechtsvinding) dengan mengkaji norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa.
Terkait dengan kewajiban hakim untuk melakukan penemuan hukum, maka terhadap hasil
print-out dari mesin faximili (dikenal dengan fax) yang banyak digunakan dalam hubungan
surat menyurat jarak jauh dalam waktu yang singkat, demikian pula dengan microfilm
atau microfische yang digunakan untuk menyimpan data, apakah dapat dianggap sebagai/
dipersamakan dengan alat bukti tertulis (surat/dokumen).
Kalau dianalogikan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung 14 April tahun 1976
(yurisprudensi) di atas, maka fax, dan microfilm atau microfische dapat dianggap sebagai alat
bukti tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti
tertulis terletak pada surat aslinya, oleh karena itu baik fax maupun microfilm atau microfische
harus sesuai dengan aslinya. Kalau aslinya hilang maka harus disertai dengan keterangan
atau dengan jalan apa pun secara sah menyatakan bahwa fax atau microfilm tersebut sesuai
dengan aslinya.
Hukum pembuktian di Indonesia, secara yuridis formal belum mengakomodasi dokumen
atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Namun demikian, melalui pembentukan hukum materiil sebenarnya di Indonesia telah ada
beberapa tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap dokumen
elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya dengan dikenalnya online trading dalam
bursa efek dan pengaturan mikro film serta sarana elektronik sebagai media penyimpan
dokumen perusahaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen
Perusahaan.
Pengaturan tentang Dokumen Perusahaan telah mulai menjangkau bukti elektronik,
karena telah memberi kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan
sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro
film. Selanjutnya terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik (paperless)
tersebut (mikro film) dapat dijadikan alat bukti yang sah seandainya kelak terjadi sengketa
ke pengadilan.
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik melalui Pasal 5, dikatakan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. Diakui pula
oleh ketentuan tersebut bahwa informasi dan/ atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
150
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
Indonesia. Adapun syarat agar informasi dan/ atau dokumen elektronik dapat dinyatakan sah
apabila menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa secara umum bentuk dari alat bukti
elektronik itu adalah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Menurut Pasal 1 angka 3
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya yang telah diolah sehingga mempunyai arti. Batasanmengenai
Dokumen Elektronik, menurut Pasal 1 angka 14 adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal atau sejenisnya; yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer
atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat difahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Di samping itu, dalam praktik terjadi pula pemeriksaan saksi sebagai alat bukti dengan
menggunakan perangkat elektronik yang dinamakan video conferences (atau pemeriksaan saksi
melalui teleconference). Hal ini dilakukan manakala saksi yang akan diperiksa tidak dapat
hadir dipersidangan karena berada di luar negeri, sementara kesaksiannya sangat diperlukan di
persidangan yang sedang berlangsung di pengadilan. Pemeriksaan saksi jarak jauh ini dalam
praktik pernah dilakukan pada perkara pidana, tentunya hal ini dapat saja dilakukan dalam
pemeriksaan sengketa perdata di pengadilan.
PENUTUP
Pada sistem pembuktian perdata berdasarkan sistem HIR, dalam proses pembuktian hakim
terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil atau
menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang
saja. Alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (Pasal 164 HIR,
284 RBg, 1866 BW) ialah surat, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah. Di luar itu dalam HIR dan RBg juga diatur mengenai pemeriksaan setempat dan
keterangan saksi ahli yang juga dapat merupakan alat bukti.
Bukti yang berupa dokumen perusahaan, mikrofilm atau bentuk penyimpanan lain yang
berisi rekaman data/dokumen perusahaan, juga merupakan alat bukti yang sah menurut
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
151
Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Demikian pula dokumen
elektronik diakui sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun demikian pengaturan alat bukti
elektronik dalam kedua peraturan dimaksud merupakan pengaturan dalam bentuk hukum
materiil, bukan hukum formal (hukum acara perdata).
Secara khusus, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakui dokumen elektronik
serta hasil cetaknya sebagai alat bukti. Pengaturan bukti elektronik yang ada saat ini dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan
hukum materiil, padahal saat ini media elektronik telah banyak digunakan dalam kehidupan,
salah satunya dalam elektronik banking. Misalnya saja ketika seorang nasabah melakukan
transaksi melalui mesin ATM, semua transaksi yang dilakukan akan dicatat secara elektronik
oleh institusi keuangan atau bank yang bersangkutan.
Pembuktian dalam penggunaan ATM masih menjadi masalah penting, dikarenakan ATM
merupakan salah satu jenis layanan perbankan yang dapat melayani berbagai jenis transaksi
perbankan secara elektronik yang sifatnya paperless document, sehingga tidak mempunyai
bukti tertulis kecuali secarik kertas yang dinamakan receipt paper (resi) yang hanya berisi
uraian besarnya penarikan dana yang telah dilakukan serta jumlah sisa saldo tabungan nasabah
bank pemilik kartu ATM dimaksud.
Prosedur sistem perbankan modern saat ini seluruhnya menggunakan komputer sebagai
petugas yang secara otomatis mendebet rekening nasabah atau menambah bunga atas dana
nasabah. Seluruh proses ini dicatat oleh komputer dan disimpan dalam bentuk file, karenanya
proses pembuktian kasus-kasus perbankan dalam kaitannya dengan dana nasabah tidak
dapat didasarkan pada bukti aslinya berbentuk dokumen tertulis/ surat (paper document).
Kalaupun ada dokumen tertulis hanya merupakan cetakan file komputer data pada bank yang
bersangkutan.
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat
secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi
tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola
penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi
saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan
melawan hukum.
Saat ini terhadap hal yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi tidak lagi
dapat dilakukan pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak
152
JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153
lagi dapat dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dapat dengan mudah dilakukan dari
belahan dunia mana pun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain
yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya perkara pidana dalam pencurian dana
kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat
data elektronik yang bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara di Indonesia,
tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan
dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik, sehingga dampak yang
ditimbulkannya juga demikian cepat, bahkan sangat dahsyat. Teknologi informasi telah menjadi
instrumen efektif dalam perdagangan global.
Persoalan yang lebih luas juga terjadi dalam masalah keperdataan, karena saat ini transaksi
elektronik (e-commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional.
Misalnya untuk memesan obat-obatan orang cukup melakukannya melalui internet, bahkan
untuk membeli majalah orang dapat membayar tidak dengan uang tapi cukup dengan mendebet
pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS.28
Pelanggaran hukum di internet seringkali sulit dipecahkan, karena di samping perbuatan
melawan hukum itu dilakukan oleh subjek yang menggunakan sarana teknologi canggih
dan sulit dilacak keberadaannya, juga seringkali dilakukan di luar teritorial Indonesia atau
sebaliknya, subjeknya berada di Indonesia tetapi modusnya dan tempat kejadiannya di luar
Indonesia. Hal ini menyebabkan pembuktiannya menjadi lebih sulit dibandingkan dengan
pembuktian dalam perbuatan melawan hukum biasa. Oleh karena itu perbuatan melawan hukum
di dunia siber sangat tidak mudah diatasi jika hanya mengandalkan hukum konvensional.29
DAFTAR BACAAN
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung,
2000.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004, Himpunan Risalah Rapat
Panitia Penyusunan RUU tentang Hukum Acara Perdata, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Proyek Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,.
Hamzah, Andi, 2007, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
28 Ahmad M. Ramli, Pager Gunung, Indra Apriadi, 2005, Menuju Kepatuhan Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jakarta, h.1–2.
29 Ibid., h. 3.
Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata
153
Harahap, Yahya, 2005, Hukum Acara Perdata tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Mahkamah Agung, Yurisprudensi Indonesia, tahun 1976.
Makarao, Taufik, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty,
Yogyakarta.
Pitlo, Adriaan, 1981 Bewijs en Verjaring, Deel 4 Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Zesde
Druk, Gouda Quint, Arnhem.
Ramli, Ahmad M., Pager Gunung, Indra Apriadi, 2005, Menuju Kepatuhan Hukum di Bidang:
Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia, Jakarta.
Sasangka, Hari, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan
Praktisi, Mandar Maju, Bandung.
Sastrawidjaja, Man S., 2005, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung.
Soepomo, 2010, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung.
---------, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.
---------, 2003, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Syahrani, Riduan, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka
Kartini, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 1992, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Download