BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tulang merupakan jaringan ikat tubuh terspesialisasi yang terdiri dari matriks
ekstraseluler organik dan anorganik. Matriks organik tulang terdiri atas kolagen
(90-95% merupakan tipe I), glikoprotein dan proteoglikan. Matriks anorganik
yang menyusun berupa garam kalsium seperti hidroksiapatit yang menyebabkan
tulang menjadi kuat dan keras (Anusavice dkk., 2013). Sebagai jaringan keras
tubuh, tulang berperan penting sebagai penyangga struktur tubuh, pelekatan otot,
perlindungan organ-organ vital tubuh, pembentukan eritrosit, serta penyimpanan
kalsium dan fosfor (Gibson, 2002; Suratun dkk., 2008).
Tulang dapat mengalami kerusakan pada kondisi tertentu walaupun memiliki
struktur yang kuat dan keras. Dalam tindakan di bidang kedokteran gigi, kasus
kerusakan tulang yang paling sering ditemui adalah fraktur mandibula,
maksilofasial dan defek pasca ekstraksi gigi (Abdurachman, 2007). Mengingat
pentingnya fungsi tulang dalam tubuh manusia, kerusakan tulang akan
menimbulkan efek negatif jika tidak diikuti dengan proses penyembuhan yang
sempurna (Lewandrowski dkk., 2004).
Proses penyembuhan tulang terdiri dari 4 tahap, yaitu pembentukan
hematoma, pembentukan kalus fibrocartilaginea, osifikasi dan remodelling.
Pembentukan hematoma merupakan tahapan yang menginisiasi aktivitas seluler
proses penyembuhan tulang yang terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-2 pasca
kerusakan tulang. Pembentukan kalus fibrocartilaginea merupakan tahapan
pembentukan jaringan granulasi (kalus primer) yang berfungsi dalam stabilisasi
1
2
daerah tulang yang rusak. Pada tahapan tersebut terjadi pembentukan woven bone.
Tahap osifikasi (osteogenesis) terjadi setelah minggu ke-3 atau ke-4. Pada tahap
tersebut terjadi deposisi mineral sehingga tulang yang matur mulai menggantikan
kalus fibrocartilaginea (Porth, 2011). Pada tahap remodelling, kalus akan
mengalami maturasi sehingga woven bone akan digantikan oleh tulang lamelar
(Lewandrowski dkk., 2004).
Osteogenesis merupakan salah satu proses pembentukan tulang oleh sel
osteoblas pada daerah luka maupun daerah yang diberi graft (Hollinger dkk.,
2012). Terdapat 2 jenis osteogenesis, yaitu osteogenesis membranacea dan
osteogenesis cartilaginea. Osteogenesis membranacea adalah pembentukan
tulang dari jaringan ikat, sedangkan osteogenesis cartilaginea terjadi melalui
perubahan tulang kartilago menjadi tulang keras (Platzr, 2009). Salah satu tahapan
yang terjadi dalam proses osteogenesis adalah proses diferensiasi osteoblas
menjadi osteosit (Djuwita dkk., 2012).
Osteoblas berperan penting dalam osteogenesis. Osteoblas merupakan hasil
differensiasi sel mesenkhim pada proses osteogenesis. Sel ini akan mensekresi
glikoprotein dan proteoglikan yang berfungsi sebagai prekursor serabut kolagen.
Kolagen selanjutnya akan mengalami mineralisasi kemudian terbentuk tulang
yang kompak (Ahn dan Shin, 2008; Kuehnel, 2003).
Dewasa ini para peneliti tengah mengembangkan usaha untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi pada tulang, salah satunya adalah melalui penggunaan
bone graft. Bone graft merupakan suatu material yang berfungsi untuk
3
mempercepat
pembentukan tulang. Bone graft juga dapat digunakan dalam
rekonstruksi kerusakan tulang akibat infeksi, trauma dan tumor (Herkowitz,
2004). Di bidang kedokteran gigi, bone graft diperlukan dalam beberapa tindakan
di bidang bedah mulut seperti augmentasi lengkung alveolar, augmentasi sinus,
penanganan fraktur dan rekonstruksi. Penggunaan bone graft pasca ekstraksi juga
mengalami peningkatan karena bermanfaat dalam mencegah hilangnya tulang
kortikal yang berlebihan sehingga mempermudah prosedur pemasangan implan
(Anusavice dkk., 2003).
Bone graft yang ideal harus memiliki sifat osteogenik, osteoinduksi, dan
osteokonduksi (Cypher dan Grossman, 1996). Bone graft juga seharusnya
memiliki sifat bioabsorbable, mudah digunakan secara klinis, memiliki struktur
yang efektif sehingga dapat disesuaikan dengan segala situasi klinis, tidak
menularkan penyakit, dan murah (Herkowitz, 2004). Tingkat keberhasilan
implantasi bone graft pada peningkatan proses osteogenesis dapat dilihat dari
jumlah osteoblas pada daerah implantasi bone graft (Hollinger dkk., 2012).
Secara garis besar terdapat 4 jenis bone graft, yaitu autograft, allograft,
xenograft dan material sintetis (Lewandrowski dkk., 2004). Autograft adalah jenis
bone graft yang didapatkan dari pengambilan jaringan tulang bagian lain pada
individu yang sama. Allograft merupakan jenis material bone graft yang didapat
dari individu lain yang masih dalam satu spesies, sedangkan jenis xenograft
didapatkan dari individu dari spesies yang berbeda, contohnya dari hewan ke
manusia (Parija, 2009).
Penggunaan material sintesis dewasa ini semakin
meningkat karena material ini memiliki keunggulan dari segi ketersediaan yang
4
tinggi, stabilitas mekanis dan biokompatibilas tulang dan gigi karena
kesamaannya dengan fase mineral tulang. Salah satu material sintetis pengganti
tulang yang saat ini sering digunakan dan dikembangkan adalah hidroksiapatit
(Ca10(PO4)6(OH)2) (Ivankovic, 2010; Earl, 2006 sit. Istifarah dkk., 2013). Bovine
HA merupakan salah satu hidroksiapatit yang sering digunakan karena memiliki
kandungan kalsium sebesar 47,94% (Tontowi, dkk., 2012). Kebutuhan bone graft
hidroksiapatit sebagai material implan semakin meningkat, tetapi Indonesia masih
harus mengimpor material bone graft dari negara lain, sehingga harganya relatif
mahal (Hamdy dkk., 2014). Oleh karena itu dibutuhkan bone graft berbahan dasar
sumber daya alam lokal untuk meminimalisir biaya sehingga penggunaannya akan
semakin luas.
Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) banyak ditemukan di daerah perairan
subtropis sampai tropis dengan suhu 15-31oC,
salah satunya di
Indonesia
(Collete dan Nauen, 1983; Ghufran, 2010). Menurut data dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan (2012), total penangkapan tuna di perairan Indonesia pada
tahun 2004-2011 mencapai 1.297 ton, dan 69% di antaranya adalah tuna sirip
kuning. Ikan tuna ini sebagian besar hanya dikonsumsi dagingnya saja sebagai
bahan pangan yang bernilai gizi tinggi, namun tulangnya masih dibuang tanpa
dimanfaatkan (Orias, 2008). Meningkatnya konsumsi daging ikan tuna akan
menghasilkan jumlah limbah tulang ikan tuna yang meningkat pula.
Tulang merupakan bagian dari ikan tuna sirip kuning yang mengandung
mineral terutama kalsium dalam jumlah paling tinggi, yaitu sebesar 62,12%
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012; Venkatesan dan Kim, 2010). Hal
5
tersebut menunjukkan bahwa kandungan kalsium pada tulang ikan tuna sirip
kuning lebih tinggi dibandingkan Bovine HA. Selain mengandung mineral dalam
jumlah yang tinggi, kandungan kalsium pada tulang ikan akan membentuk
kompleks dengan fosfor menjadi apatit atau trikalsiumfosfat yang mudah diserap
tubuh hingga 60-70% (Orias, 2008). Menurut Barrow dan Shahidi (2007), tulang
ikan tuna merupakan sumber alami hidroksiapatit yang dapat digunakan sebagai
material pengganti tulang.
Berkaitan dengan adanya kandungan kalsium yang tinggi pada tulang ikan
tuna sirip kuning, peneliti bermaksud untuk memanfaatkan bahan ini sebagai
material alternatif bone graft yang mampu mempercepat proses osteogenesis
dengan parameter jumlah sel osteoblas. Pengembangan dari inovasi ini di waktu
yang akan datang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bone graft yang
semakin meningkat dan dengan harga yang lebih terjangkau
B. Perumusan Masalah
Bagaimana pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip
kuning terhadap jumlah osteoblas pada osteogenesis dalam proses penyembuhan
tulang pada tikus wistar.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai sintesis hidroksiapatit dari tulang ikan tuna pernah
dilakukan oleh Riyanto dkk. (2013). Penelitian tersebut bertujuan untuk
6
mensintesis dan mengetahui karakteristik material berbasis hidroksiapatit tulang
ikan tuna yang diperoleh melalui metode sintering dengan suhu 700oC. Dari
metode tersebut didapatkan material biokeramik dengan rendemen tinggi (65,61 ±
2,21)% dan berwarna putih. Adanya serbuk berwarna putih tersebut menunjukkan
bahwa serbuk hidroksiapatit yang berasal dari tulang ikan tuna sudah terbentuk
sempurna tanpa kandungan air dan material organik. Penelitian Venkatesan dan
Kim (2010) menunjukkan bahwa tulang ikan tuna sirip kuning mengandung
kalsium sebesar 62,12%, sedangkan menurut Tontowi, dkk. (2012) kandungan
kalsium pada Bovine HA sebesar 47,94% (lebih rendah dibandingkan tulang ikan
tuna sirip kuning).
Penelitian mengenai pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna
sirip kuning terhadap jumlah osteoblas dalam proses osteogenesis pada tikus
wistar, sejauh penulis ketahui belum pernah dilakukan sebelumnya.
D. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip
kuning terhadap jumlah osteoblas pada osteogenesis dalam proses penyembuhan
tulang tikus wistar.
E. Manfaat Penelitian
7
1.
Untuk membuktikan adanya pengaruh implantasi bone graft berbasis tulang
ikan tuna sirip kuning terhadap jumlah osteoblas pada osteogenesis dalam
proses penyembuhan tulang tikus wistar.
2.
Dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai efektivitas
implantasi bone graft berbasis tulang ikan tuna sirip kuning terhadap
peningkatan jumlah osteoblas pada proses osteogenesis tikus wistar.
3.
Dapat memberikan informasi ilmiah dalam bidang Kedokteran Gigi mengenai
manfaat tulang ikan tuna sebagai bahan dasar alternatif dalam sintesis bone
graft yang dapat dikembangkan melalui penelitian selanjutnya.
4.
Dapat meningkatkan nilai guna tulang ikan tuna sirip kuning yang tidak
dimanfaatkan.
Download