ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hutan Dan Reklamasi Hutan
Hutan didefinisikan menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang yang
berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Reklamasi hutan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : P. 60/Menhut-II/2009 adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai
peruntukannya. Kriteria keberhasilan reklamasi hutan yaitu penataan lahannya,
pengendalian erosi dan sedimentasinya, serta revegetasi atau penanaman
pohonnya. Penataan lahan meliputi pengisian kembali lubang bekas tambang,
penataan permukaan tanah, kestabilan lereng, dan penaburan tanah pucuk.
Pengendalian erosi dan sedimentasi meliputi pembuatan bangunan konservasi
tanah (checkdam, dam penahan, pengendali jurang, drop structure, saluran
drainase), penanaman cover crops untuk memperkecil kecepatan air limpasan dan
meningkatkan infiltrasi, serta kejadian erosi dan sedimentasi (diamati dari
terjadinya erosi alur dan erosi parit). Revegetasi atau penanaman pohon terdiri
dari luas areal penanaman, persentase tumbuh tanaman, jumlah tanaman per
hektar, komposisis jenis tanaman, dan pertumbuhan atau kesehatan tanaman.
2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen)
Paraserianthes falcataria L Nielsen dikenal juga dengan Albizia
falcataria (L) Fosberg, Moluccana Mig. falcataria backer, sedangkan
berdasarkan nama lokal sengon dikenal dengan nama albisia, jeunjing (Jawa
Barat), sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Tengah dan
Jawa Timur), jing laut (Madura) dan tedehu pute (Sulawesi). Sedangkan di
Malaysia dan Brunei, sengon dikenal dengan nama puak, batai atau kayu macis
(Atmosuseno 1998).
Sengon tergolong kayu ringan dengan berat jenis rata-rata yaitu 0,33 (0,24–
0,49), dengan kelas awet IV–V dan kelas kuat IV –V (Mandang dan Pandit 1997).
4
Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol yang
bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah
sekitar pH 6–7. Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0–
800 m dpl. Walapun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai
ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis,
sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18–27 °C. Tanaman sengon
membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam
4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu basah, dan memiliki curah hujan
tahunan yang berkisar antara 2000–4000 mm. Kelembaban juga mempengaruhi
setiap tanaman. Reaksi setiap tanaman terhadap kelembaban tergantung pada jenis
tanaman itu sendiri. Tanaman sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50%–
75% (Martawijaya et al. 1989).
Martawijaya et al. (1989) mengatakan bahwa kayu sengon dapat
mencapai ketinggian 40 m dengan batang bebas cabang 10–30 m, diameter
sampai 80 cm, kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak
mengelupas, tidak berbanir. Ciri umum yang lain pada kayu sengon adalah kayu
teras berwarna hampir putih atau coklat muda, sedangkan warna kayu gubal
tidak jauh berbeda dengan wana kayu teras. Tajuk pohon sengon berbentuk
perisai, agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang jarang ini memungkinkan
beberapa jenis tumbuhan bawah untuk dapat hidup di bawahnya. Bentuk daun
majemuk , panjang bisa mencapai 40 cm, terdiri dari 8–15 pasang anak tangkai
daun, setiap anak tangkai terdiri dari 15–25 daun dan bentuk daun lonjong
(Atmosuseno, 1998). Sengon mempunyai berat jenis 0,24–0,29, berserat
panjang dan termasuk kedalam kelas kuat IV–V, penyusutan sampai kering
tanur 2,5% pada sisi radial dan 5,2% pada sisi tangensial. Sengon mengandung
49,4% selulosa, 26% lignin,15,6% pentosan, 0,6% abu dan 0,2% silika.
Kelarutan dalam alkohol-benzen sebesar 3,4%, air dingin 3,4%, air panas 4,3%
serta NaOH sebesar 19,6%. Nilai kalor dari kayu sengon sebesar 4,664 kal/g
(Martawijaya et al. 1989).
5
2.3 Akasia (Acacia mangium Willd)
Habitat terestrial, sebaran di Timur Laut Queensland Australia, Propinsi
Barat Papua Nugini, Papua dan Pulau Maluku Timur, ketinggian tempat 500-1000
m dari permukaan laut, musim berbunga dan musim berbuah sepanjang tahun.
Habitus pohon, tinggi 500–700 cm. Daun majemuk, terdiri dari petiolus
communis, foliolum, petiololus, panjang tangkai (petiolus) 5 cm, panjang helaian
(lamina) 14 cm, lebar helaian (lamina) 3,5 cm ; sifat daun : bentuk daun (circum
scriptio) lanset (lanceolatus), pangkal daun (basis folii) runcing (acutus), tepi
daun (margo folii) rata (integer), ujung daun (apex folii) runcing (acutus), tulang
daun (nervatio) sejajar (rectinervis), daging daun kertas (papyraceus), permukaan
daun licin (laevis), warna daun hijau tua. Diameter batang 50 cm, permukaan
batang kulit menelupas, bentuk batang bulat (teres), arah tumbuh batang tegak
(erectus), percabangan batang monopodial.
Sistem perakaran tunggang (radix primeria), bagian-bagian akar : pangkal
akar (collum), ujung akar (apex radicis), batang akar (corpus radicis), cabangcabang akar (radix lateral), serabut akar (fibrilla radicalis), rambut-rambut akar
(pilus radicalis), tudung akar (calyptra).
Letak bunga diketiak daun (flos lateralis), tipe bunga untai (amentum),
bentuk karangan bunga malai rata, simetris bunga polysimetris, warna bunga
kuning. Tipe buah sejati tunggal kering, bentuk buah polong (legumen), panjang
5–7 cm., lebar 3 cm, warna hijau dan coklat tua, permukaan buah tipis, kaku,
bagian-bagian buah : kulit luar (testa), kulit dalam/kulit ari (tegmen). Bentuk biji
bulat pipih, jumlah biji 7–10 buah, diameter 0,5 cm, warna biji hitam, permukaan
biji halus berkilap, bagian-bagian biji : kulit biji (spermodermis), tali pusar
(funiculus), inti biji (nucleus seminis).
A. mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43–0,66), dengan kelas
awet III dan kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 1997). Kayu mangium baik
dijadikan sebagai bahan baku pulp karena memiliki kadar selulosa tinggi, lignin
sedang, pentosan rendah, ektraktif tinggi dan abu sedang (Siagian et al. 1999).
Akan tetapi pembuatan pulp dari kayu mengium ini perlu diperhatikan karena
kadar ekstraktifnya tinggi.
6
2.4 Biomassa
Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang
dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Menurut
Chapman (1976) biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan
unit area pada suatu saat, berat bahan organik dinyatakan dengan satuan berat
kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free
dry weight).
Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa
tumbuhan di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di
bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa
di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada
waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan
hutan dan distribusi organik (Kusmana 1993).
Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari
udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses
fotosintesis. Laju pengikatan biomasa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini
tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran,
suhu dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang
dilakukan tumbuhan disebut produksi primer bersih. Lebih lanjut disebutkan
bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara
produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses
penebangan (Whitten et al. 1984).
Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan
cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah
sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan
penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al.
2001).
Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang
mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon (Kusmana 1993).
Semakin tinggi suhu akan menyebabkan kelembaban udara relatif semakin
berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini
7
disebabkan udara relatif yang tinggi akan memiliki tekanan udara uap air parsial
yang lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara pasial CO2 sehingga
memudahkan uap air berdifusi melalui stomata. Akibat selanjutnya laju
fotosintesis akan menurun (Siringo & Ginting 1997 diacu dalam Ojo 2003). Selain
curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan
adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas
tempat tumbuh (Satoo & Madgwick 1982).
2.5 Pengukuran Dan Pendugaan Biomassa
Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi
dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagianbagian tertentu seperti kayu yang sudah terekstraksi. Pengukuran biomassa
vegetasi pohon tidaklah mudah, khususnya pada hutan campuran dan tegakan
tidak seumur.
Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari
pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai
batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi kerapatan biomassa
(ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan
persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan Allometrik.
Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan berikut :
Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF (Brown et al. 1989).
Dimana : VOB = volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha),
WD
= kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume
biomassa (m3),
BEF
= perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah
dengan biomassa kering oven volume inventarisasi hutan.
Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan
persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari
persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon
menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap
kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas
diameter.
8
Brown (1997) telah membuat model penduga biomassa di hutan tropika
dengan model pangkat Y = a Db atau dengan model polynominal Y = a + bD +
cD2 berdasarkan zona wilayah hujan kering, lembab dan basah. Model yang
disulkan Brown untuk zona lembab adalah:
Y = 1,242 D2 – 12,8 D + 42,69 nilai R2 = 84% (untuk model polynomial)
Y = 0,118 D2,53 nilai R2 = 97% (untuk model pangkat)
Dimana: Y
D
2
R
= Biomassa pohon (kg)
= Diameter rata-rata pada setiap kelas diameter (cm)
= Nilai koefisien determinasi
a, b, c merupakan konstanta
Menurut Chapman (1976) diacu dalam Onrizal (2004) metode pendugaan
biomassa di atas tanah dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :
1. Metode pemanenan yang terdiri atas (a) metode pemanenan individu tanaman,
(b) metode pemanenan kuadrat dan (c) metode pemanenan individu pohon
yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata, dan
2. Metode pendugaan tidak langsung yang terdiri dari (a) metode hubungan
Allometrik, yakni dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi
pohon dan biomassanya, dan (b) crop meter, yaitu dengan cara mengunakan
seperangkat alat elektroda yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan
tanah pada jarak tertentu.
Menurut Hairiah et al. (2001), pendugaan biomassa di atas permukaan
tanah bisa diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan
metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk
menduga biomassa vegetasi yang berdiameter ≥ 5 cm, sedangkan untuk menduga
biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tumbuhan bawah)
menggunakan metode secara langsung.
Brown (1997) menyatakan bahwa pada pendugaan cadangan biomassa
atau karbon pada vegetasi, pengukuran diameter bervariasi yaitu untuk daerah
kering dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas
minimum 2,5 cm dan untuk daerah yang beriklim basah, batas minimum
pengukuran diameter yang digunakan 2,5–10 cm, akan tetapi secara umum biasa
digunakan ukuran diameter minimum 5 cm.
9
2.6 Kandungan Karbon
Kayu adalah bahan komposit alami yang terdiri dari bahan organik dengan
susunan unsur 49% karbon, 6% hidrogen, 44% oksigen dan sedikit unsur lain.
Kayu dapat pula disebut sebagai polimer alami mengingat 97-99% bobotnya
berupa polimer (90% untuk kayu tropis) (Achmadi 1990).
Umumnya karbon menyusun 45–50% bahan kering dari tanaman. Sejak
kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap
sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah
karbon yang tersimpan di hutan. Karbon dioksida (CO2) dan beberapa gas lainnya
mempunyai efek rumah kaca, dengan cara mengurangi jumlah radiasi gelombang
yang datang dari bumi, yang menyebabkan meningkatnya suhu bumi. Mekanisme
perubahan CO2 di atmosfer memicu perubahan suhu global (pemanasan global
atau pendinginan global) (Murdiyarso 2003).
Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a)
meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan
kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan
kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh
Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu,
sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah
dengan menanam dan memelihara pohon (Rahayu et al. 2004).
2.7 Pendugaan Karbon
Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas
permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan
karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman
hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan
bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun,
cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan
karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati,
organisme tanah dan bahan organik tanah (Rahayu et al. 2004). Kandungan
Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan
asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan (Brown 1997).
Download