1 mengukur kompetensi unit riset

advertisement
MENGUKUR KOMPETENSI UNIT RISET
Direktorat Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
ABSTRAKS
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor SDM, standard
operating procedure (SOP)/manajemen, sarana dan prasarana serta pembiayaan
terhadap keberhasilan manejemen suatu unit riset , yang diukur dari indikator
kompetensi unit riset. Kemudian berupaya memahami secara mendalam faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kompetensi unit Litbang.
Metode kajian yang digunakan adalah survai bersifat deskriptif analitis, studi
literatur terhadap kebijakan iptek dan literatur yang berkaitan dengan pengembangan
kompetensi suatu organisasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner,
observasi langsung, dan wawancara mendalam (depth interview) terhadap pelaku
Litbang, mulai dari Kepala Puslitbang, Kepala Tata Usaha, dan Kepala Divisi Teknis
serta peneliti. Teknik analisis yang dipakai bersifat kuantitatif dan kualiatif; dengan
populasi penelitian meliputi Puslitbang di LPND Ristek (LIPI, LAPAN, BATAN,
BPPT). Sampel diambil secara acak, dan terpilih 10 Puslitbang.
Kesimpulan dari kajian ini antara lain sebagai berikut: (1) faktor SDM dan
Manajemen berpengaruh kuat terhadap penguatan kompetensi unit riset, dibanding
faktor fasilitas dan pembiayaan; (2) pada faktor manajemen, aspek yang paling
menonjol adalah terjadinya benturan antara tuntutan birokrasi dengan tuntutan
profesional yang memunculkan kondisi kurang berkembangnya iklim inovasi; (3)
kelengkapan peralatan laboratorium dan pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan
menjadi faktor utama fasilitas Litbang yang berpengaruh terhadap penguatan
kompetensi; (4) sehubungan dengan faktor pembiayaan, aspek fleksibilitas penggunaan
dana menjadi tuntutan utama pelaku Litbang dalam upaya penguatan kompetensi
mereka.
Beberapa langkah yang direkomendasikan dalam rangka peningkatan kualitas
dan kapasitas SDM Litbang adalah perlu pengembangan program kemitraan dan
penguatan kapasitas SDM; serta memberi kesempatan kepada tenaga peneliti maupun
tenaga administratif untuk melakukan on the job traning pada industri atau sektor riil.
Dalam upaya mengatasi persoalan faktor sarana dan prasarana, langkah-langkah
untuk mendorong kompetensi unit riset adalah, disusun aturan main yang memberi
keleluasaan untuk memanfaatkan sarana dan prasarana Litbang di berbagai instansi,
sehingga memungkinkan kemudahan akses dan pemanfaatan, sesuai dengan ketentuan
yang disepakati bersama.
1. LATAR BELAKANG
Perlu pengkajian mendalam mengenai visi, misi, tujuan serta sasaran
pencapaian tiap Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang), bila kita ingin
memahami kompetensi unit penelitian dan pengembangan (Litbang) yang terdapat di
berbagai lembaga Litbang, khususnya lembaga Litbang pemerintah yang berada di
bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.
Penggambaran kajian kompetensi unit Litbang tidak dapat digeneralisir, karena
begitu beragamnya bidang yang digarap. Namun demikian kompetensi lembaga dapat
diukur dengan melihat indikator keluaran secara berjenjang, mulai dari indikator
keluaran program-program yang ditetapkan tiap unit Litbang, sampai kepada indikator
1
keluaran yang menjadi target kedeputian, maupun lembaga yang besangkutan.
Dalam kajian ini pembahasan masih dalam tahap analisis dalam lingkup unit
Litbang, belum mengaitkan unit Litbang itu secara makro, dengan target tingkat
kedeputian maupun lembaga.
Yang dimaksud unit riset dalam kajian ini adalah suatu unit dalam lembaga
Litbang, yang tugas dan fungsinya melakukan penelitian dan pengembangan. Pada
beberapa organisasi Litbang pemerintah, unit riset tersebut tercermin dalam bentuk
Puslitbang atau pusat penelitian (Puslit). Jelaslah unit analisis dalam kajian ini adalah
Puslitbang dan Unit Pelaksana Teknis (UPT).
Unit-unit lain yang secara operasional tidak memiliki fungsi Litbang, seperti
unit perencanaan, dokumentasi, kelembagaan dan organisasi yang juga bagian dari
sebuah lembaga Litbang tidak menjadi fokus kajian.
Kelihatannya banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kreativitas unit
riset: ada faktor internal dan eksternal. Berbagai faktor internal antara lain masalah
struktur organisasi unit/pusat riset, masalah yang terkait dengan sistem (sistem
rekruitment, sistem pengembangan karir, sistem penilaian, sistem kompensasi, sistem
diseminasi dan pengembangan produk), keahlian, staf, mekanisme pendanaan riset,
sistem kerja, sistem reward, model kelembagaan Litbang, dll.
Sedangkan faktor eksternal antara lain terkait dengan masalah ekonomi
nasional, politik dan hukum, ekologi dan lain-lain.
Adapun secara umum pokok persoalan yang melatarbelakangi kajian ini adalah
• Rendahnya tingkat kreativitas dan produktivitas unit Litbang, ditandai dengan
minimnya produk Litbang yang sampai di pemakai.
• Belum optimalnya kinerja sumber daya manusia (SDM) Litbang.
• Pola manajemen dan status unit Litbang yang cenderung birokratis dan
struktural berdampak pada tidak berkembangnya iklim inovasi dalam
Puslitbang.
• Keterbatasan sumber pembiayan Litbang berdampak pada keterbatasan fasilitas
Litbang dan biaya operasi dan pemiliharaan.
• Terbatasnya mekanisme antara (intermediary mechanism) dalam proses
transaksi hasil Litbang dengan pemakai, terkait dengan dukungan kelembagaan
dan infra struktur iptek
Kajian ini difokuskan pada pembahasan berbagai faktor internal maupun
eksternal yang berpengaruh terhadap suatu aktivitas proses riset dalam suatu unit riset.
Analisis terhadap faktor-faktor tersebut akan digambarkan sebagai suatu unsur-unsur
yang berpengaruh dalam suatu sistem riset serta dorongan terhadap munculnya suatu
invensi (temuan) maupun inovasi. Kajian juga menyoroti bentuk-bentuk temuan yang
berhasil diciptakan suatu unit riset, serta mengkaji pendekatan dari unit riset tersebut
dalam proses diseminasinya kepada pasar sebagai pengguna, baik melalui pendekatan
yang bersifat komersial maupun non-komersial
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan beberapa permasalahan penelitian, yakni:
1. Bagaimana pengaruh faktor SDM, Manajemen, Fasilitas Litbang dan Pembiayaan
terhadap penguatan kompetensi unit riset?
2. Bagaimana model pengelolaan kompetensi pada suatu unit Litbang?
3. Bagaimana dukungan struktur kelembagaan terhadap penguatan kompetensi unit
riset pada suatu organisasi Litbang ?
2. TUJUAN
Tujuan riset ini terbagi dua: umum dan khusus. Secara umum riset ini bertujuan,
1. Mengetahui pengaruh variabel faktor SDM, standard operating procedure
2
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
(SOP)/manajemen, sarana dan prasarana serta pembiayaan terhadap keberhasilan
manejemen, yang diukur dari indikator kompetensi unit riset.
Memahami secara mendalam aspek-aspek yang terkait dengan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kompetensi unit Litbang.
Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah,
Mengidentifikasi variabel dan sub-variabel dominan dari sumberdaya manusia
(SDM), manajemen (SOP), fasilitas riset (sarana dan prasarana) serta pendanaan
Litbang yang berpengaruh terhadap siklus Litbang.
Mengidentifikasi tolok ukur utama untuk mengukur tingkat kompetensi unit
Litbang.
Elaborasi secara mendalam sub-variabel faktor kompetensi yang memiliki kontrbusi
terhadap penguatan kompetensi unit Litbang.
Mengidentifikasi sistem pengelolaan kompetensi dalam sebuah Puslit dan Balai
serta UPT.
Penelaahan struktur, visi, misi Puslitbang/Balai/UPT, data SDM, sumber pendanaan
dan jumlah dana per tahun; fasilitas Puslitbang, fasilitas Diklat maupun fasilitas
penelitian, berupa laboratorium serta peralatan dan bahan-bahan pendukungnya.
Juga jenis-jenis hasil Litbang yang dicapai.
Terumuskannya konsep awal kebijakan penguatan kompetensi unit Litbang.
3. METODOLOGI
1. Metode kajian dilakukan dengan survai bersifat deskriptif analitis, studi literatur
terhadap kebijakan iptek dan literatur yang berkaitan dengan pengembangan
kompetensi suatu organisasi.
2. Teknik Pengumpulan Data dilakukan melalui penyebaran kuesioner, observasi
langsung ke lapangan, wawancara mendalam (depth interview) terhadap pelaku
Litbang, mulai dari kepala Puslitbang, Kepala Tata Usaha, dan Kepala Divisi
Teknis serta peneliti.
3. Teknik Analisis bersifat kuantitatif dan kualiatif. Analisis kuantitatif menggunakan
analisis hirarki (AHP) untuk mengetahui persepsi responden terhadap faktor-faktor
dominan yang berpengaruh pada penguatan kompetensi unit riset. Analisis kualitatif
untuk pendalaman dan penajaman, dilakukan melalui wawancara mendalam (depth
interview), diskusi terbatas (focussing group discussion) di bidang pengelolaan dan
kebijakan teknologi, dan studi pustaka.
4. Populasi penelitian meliputi Puslitbang di LPND Ristek (LIPI, LAPAN, BATAN,
BPPT). Sampel diambil secara acak, dan terpilih 10 Puslitbang. Sedang responden
adalah Kepala Puslitbang, Peneliti, Kepala Divisi Tata Usaha dan Divisi Teknis
setiap Puslitbang, dengan total responden berjumlah 70 orang (S3, S2. S1)
3.1 KERANGKA ANALISIS
Kompetensi teknis sebuah lembaga riset merupakan faktor penting yang dapat
memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas hasil Litbang (Olson and
Bolton, 2002). Selanjutnya Jordan et al. (1999) mengidentifikasi beberapa atribut
organisasi yang dapat mengkaitkan konsep kompetensi yang cukup esensial dalam
menciptakan aktivitas riset yang baik (excelence).
Atribut tersebut mencakup: kualitas organisasi berbasis pengetahuan, fasilitas,
peralatan dan personil pendukung, serta kompetensi laboratorium dan reputasinya.
Seperti diakui, pengetahuan yang baik memerlukan ilmuwan yang baik dan tentunya
seorang ilmuwan yang bagus membutuhkan dukungan yang cukup untuk memastikan
berhasil tidaknya aktivitas mereka.
3
Sedikit yang dapat membuktikan bahwa hanya peringkat kompetensi teknis
suatu unit riset dapat meningkatkan produktivitas Litbangnya (Ellis, 1997). Proses
seleksi peneliti, pengelolaan dan pengorganisasin teknis serta kompetensi teknis lainnya
merupakan aspek penting sebagai kelengkapan proses Litbang. Tantangan utama pada
sebuah organisasi Litbang adalah penyeimbangan antara pengembangan kepemimpinan
yang dapat membangun kebutuhan kompetensi, dengan bagaimana men”generate”
knowledge itu sediri, hingga hasilnya sampai pada tahapan komersialisasi dan
kompetitif di pasar.
Ada dua pengertian mengenai kompetensi, yaitu kompetensi individu dan
kompetensi organisasi. Kompetensi individu mencakup pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skills) dan kemampuan (abilities) yang dimiliki seseorang dalam sebuah
organisasi. Sedangkan kompetensi organisasi merupakan tindakan kolektif dari
karakteristik kompetensi individu dalam tingkatan organisasi.
Dalam konteks kompetensi individu, beberapa literatur mengidentifikasi
cakupan yang cukup luas mengenai faktor-faktor yang penting untuk kesuksesan staf
dan manajemen dalam sebuah organisasi. Literatur tersebut juga memberi contoh
bagaimana menganalisis pekerjaan spesifik dan posisi untuk menentukan pengetahuan,
keahlan dan kemampuan apa yang paling tepat untuk suatu pekerjaan tertentu (Harvey,
1991)
Namun tiap organisasi memiliki perspektif berbeda dalam menetapkan
kompetensinya dan memiliki nilai strategis bagi organisasi bersangkutan. Olson dan
Bolton (2002) mengilustrasikan cakupan konsep kompetensi dalam literatur organisasi
yang diadaptasi dari Green (1999). Ditunjukkan bahwa kompetensi merujuk pada
individu maupun organisasi. Karakteristik individu mencakup pengetahuan teknis dan
keterampilan (knowledge technical and skills) dan keterampilan kinerja, serta
kompetensi penyumbang individu (performance skills and competencies of individual
contributors).
Meskipun keterampilan teknis yang mencakup pengetahuan berbasis disiplin,
serta keterampilan riset merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan
saintifik, beberapa literatur R&D menekankan pentingnya keterampilan kinerja dan
kompetensi penyumbang individu (performance skills and competencies of individual
contributors), yang mencakup ketrampilan berkomunikasi dan kemampuan kerja tim
sebagai faktor-faktor yang berperan dalam produktivitas organisasi Litbang dan
merupakan bentuk organisasi yang diharapkan oleh pekerjanya (Jonnach and
Sommerlatte, 1999).
Lebih lanjut Prahalad dan Hamel (1999) mendefinisikan kompetensi inti (core
competencies) sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan
suatu organisasi memberi manfaat tertentu untuk pelanggan agar bersaing lebih
efektif. Organisasi mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies)
dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies). Kompetensikompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai,
sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang
memberi organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif
(misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah). Kompetensi yang membedakan ini
adalah apa yang Itami (1987) sebut sebagai senjata kompetitif organisasi, dan
apa yang Stalk et al. (1992) dan Lawler et al. (2001) sebut sebagai basis untuk
kompetisi di masa datang.
Hamel dan Prahalad (1994) kemudian mengatakan, suatu organisasi perlu
memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk
pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan
4
jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan
para menajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti
organisasi dan mengelakkan kecocokan lengkap strategi dan kerja sama sumber
daya di dalam pencarian, untuk keberhasilan pasar (Hamel dan Prahalad tahun
1994, Collis dan Montgomery tahun 1998).
KERANGKA PIKIR KAJIAN digambarkan sebagai berikut:
Identifikasi Faktor-faktor Dominan
Berpengaruh Dalam Kompetensi Unit
Riset
Model Sintesa Hirarki dan Sistem
Pakar
Interpretasi hasil Interview dan Data
Sekunder (laporan tahunan)
Faktor Input
Faktor Output
Kompetensi
Konsep Awal Kebijakan
Penguatan Kompetensi
Unit Litbang
Faktor Proses Kompetensi
Wawancara Mendalam dan Data
Sekunder (laporan tahunan)
Faktor Dominan
Berpengaruh Dalam
Pengembangan Kompetensi
Unit Riset
4. HASIL KAJIAN
4.1.TOLOK UKUR UTAMA UNTUK MENGUKUR TINGKAT KOMPETENSI UNIT RISET
Untuk mengukur tingkat kompetensi unit riset, bentuk keluaran kegiatan
Litbang menjadi tolok ukur kompetensi. Ada delapan tolok ukur yang disampaikan
kepada responden untuk dipilih, sesuai dengan derajat kepentingannya, yaitu: (1) paket
teknologi; (2) produk baru; (3) layanan jasa; (4) HAKI/paten; (5) disain/sistem/model;
(6) rekomendasi/kebijakan/studi kelayakan; (7) prototipe; (8) publikasi ilmiah.
Berdasarkan pilihan 60 responden, diperoleh bobot prioritas pilihan sebagai
berikut:
Tabel 1
Tolok Ukur Utama untuk Mengukur Tingkat Kompetensi Unit Riset
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
Tolok Ukur
Paket Teknologi
Produk Baru
Prototipe
HAKI/Paten
Rekomendasi
Layanan Jasa
Disain/system/model
Publikasi Ilmiah
Pioritas
0.2612
0.2021
0.1606
0.1083
0.1074
0.0888
0.0877
0.0519
5
Paket Teknologi
0,3
Produk Baru
0,25
Prototipe
0,2
HAKI/Paten
0,15
Rekomendasi
0,1
Layanan Jasa
0,05
Disain/system/model
0
Publikasi Ilmiah
Berdasarkan analisis kuantitatif yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa
tolok ukur utama dalam mengukur tingkat kompetensi unit riset adalah paket teknologi,
produk baru dan prototipe, dengan bobot masing-masing 0.2612, 0.2021 dan 0.1606.
FAKTOR-FAKTOR YANG
KOMPETENSI UNIT RISET
4.2
BERPENGARUH
TERHADAP
INDIKATOR
TINGKAT
Berdasarkan analisis kuantitatif, diketahui bahwa faktor sumberdaya manusia
memiliki pengaruh dominan terhadap tingkat kompetensi unit riset. Faktor kedua
adalah manajemen atau standard operating procedure (SOP); aspek ketiga adalah
anggaran riset; keempat adalah sarana prasarana.
Tabel 2.
Prioritas-prioritas Lokal untuk Kompetensi Unit Riset
AR
SDM
M/SOP
S&P
PPT
PPB
PLJ
0.1965
0.3779
0.2655
0.1621
0.1603
0.4239
0.2650
0.1536
0.1764
0.3934
0.2602
0.1734
PP/HaK
i
0.1775
0.4034
0.2576
0.1635
PD/S/m Ppr
Pr/k/sk
PPi
0.1634
0.4195
0.2631
0.1563
0.1744
0.4023
0.2562
0.1703
0.1816
0.3959
0.2588
0.1661
0.1899
0.3802
0.2551
0.1776
0,5
0,4
AR
0,3
SDM
0,2
M/SOP
0,1
S&P
0
PPT
PPB
PLJ
PP/HaKi PD/S/m
Ppr
Pr/k/sk
PPi
Keterangan:
AR
= Anggaran Riset
SDM = Sumber Daya Manusia
M/SOP= Manajemen/Standar Operasi Pekerjaan
S&P = Sarana dan Prasarana
6
PPT = Pengembangan Paket Teknologi
PPB = Pengembangan Produk Baru
PIJ
= Pengembangan Layanan Jasa
PP/HAKI= Peningkatan Paten/HaKi
PD/S/m= Pengembangan Disain/Sistem/Model
Ppr
= Pengembangan Prototipe
Prk/k/sk= Penyusunan Rekomendasi/Kebijakan/Studi Kelayakan
Ppi
= Penyusunan Publikasi Ilmiah
Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa faktor Sumberdaya Manusia (SDM) paling
dominan mempengaruhi semua aspek tolok ukur tingkat kompetensi unit riset, yakni
untuk pengembangan paket teknologi memiliki bobot kriteria 0.3779, pengembangan
produk baru 0.4239, pengembangan layanan jasa 0.3934, peningkatan paten/HAKI
0.4034, Pengembangan desain/sistem/model 0.4195, pengembangan prototipe 0.3802,
penyusunan rekomendasi/ kebijakan/studi kelayakan 0.4023, dan penyusunan publikasi
ilmiah dengan bobot prioritas 0.3959.
Aspek kedua yang dominan terhadap semua indikator tolok ukur tingkat
kompetensi unit riset adalah manajemen/SOP. Hal ini terlihat dari bobot prioritas untuk
masing-masing tolok ukur tersebut, dimana untuk pengembangan paket teknologi
memiliki bobot kriteria 0.2655, pengembangan produk baru 0.2650, pengembangan
layanan jasa 0.2602, peningkatan paten/HAKI 0.2576, Pengembangan
desain/sistem/model 0.2631, pengembangan prototipe 0.2551, penyusunan
rekomendasi/kebijakan/studi kelayakan 0.2562, dan penyusunan publikasi ilmiah
dengan bobot prioritas 0.2588..
Dari hasil kajian model diperoleh informasi, SDM ternyata memiliki pengaruh
sangat besar terhadap pencapaian indikator kompetensi (deliverables). Hal ini
menunjukkan bahwa pengembangan SDM harus menjadi prioritas utama oleh
pemegang manajemen di lembaga riset. Rata-rata pengaruh SDM terhadap
deliverables, baik terhadap jumlah produk baru, jumlah teknologi, layanan jasa, dan
publikasi ilmiah serta tingkat keahlian yang dihasilkan, jauh lebih tinggi dibanding
pengaruh variabel faktor pembiayaan, fasilitas serta SOP.
Model pengembangan SDM di dalam lembaga riset di Indonesia dapat dilakukan
dengan pendekatan intellectual capital dari dua sumber, yaitu modal SDM dan modal
struktural. Modal SDM diperoleh dari tiga sumber yaitu kompetensi, perilaku, dan
kemampuan intelektual, sedangkan structural capital diperoleh dari tiga sumber pula,
yaitu hubungan, organisasi, pembaruan dan pengembangan.
Human capital merupakan modal dasar dalam kontek organisasi riset, karena
menjadi sumber pengetahuan, inovasi dan pembaharuan. Kemampuan individual
menjadi aset yang dibutuhkan organisasi untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Model manajemen lembaga riset, khususnya di lembaga pemerintah, aset SDM sangat
dipengaruhi oleh kompetensi dan komitmen.
Kompetensi SDM tidak diragukan lagi, baik dari segi jumlah dan kualitas, karena
SDM yang ada, telah mengenal dunia pendidikan hingga strata yang tertinggi (S-3) di
dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini akan membawa hasil optimal bila dilakukan
dengan sentuhan manajemen yang pas.
Namun dengan pendidikan yang tinggi, bisa juga berdampak sangat buruk
terhadap hasil organisasi lembaga riset, jika masing-masing menonjolkan ego,
kepentingan individual, sulit diatur, yang pada intinya memiliki komitmen rendah
terhadap pengembangan institusi.
Kompensasi dan reward adalah perangsang yang penuh kekuatan, tetapi jika
7
digunakan tidak efektif dapat menjadi penghalang. Sebagai contoh pegawai-pegawai
sering dihargai setelah menyelesaikan tugas-tugas, kendati tugas itu tidak penting, tidak
perlu dan tidak berhubungan dengan pekerjaannya.
Berikut ini akan digambarkan secara mendalam faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja lembaga Litbang sebagai akumulasi dari suatu kompetensi unit
Litbang. Pembahasan yang disajikan merupakan penggabungan analisis antara temuan
dari analisa kuantitatif dalam bentuk perhitungan hirarki, dengan analisis kualitatif
yang merupakan temuan dari hasil wawancara dan diskusi mendalam dengan beberapa
peneliti maupun staf senior pada beberapa Puslitbang, yaitu LIPI, BPPT, dan LAPAN.
Penggambaran analisa kedua pendekatan tersebut juga diperkuat dengan mengaitkan
pemahaman teoritis dari berbagai literatur yang ada, baik dalam bentuk tex book
maupun artikel.
4.3 FAKTOR SDM
Dalam menganalisis pengaruh SDM, dilakukan pengelompokan berdasarkan
jenjang pendidikan dan bidang keahlian. Kedua aspek tersebut memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap kinerja pusat Litbang. Keberadaan peneliti dengan tingkat
pendidikan yang tinggi serta relevansi keahlian dengan kompetensi inti dari unit
Litbangnya, memiliki kontribusi cukup signifikan terhadap performance unit Litbang
tersebut. Langkah lebih lanjut ketika kondisi tersebut telah dimiliki adalah bagaimana
mengelola kapasitas tersebut menjadi suatu potensi yang dapat didayagunakan secara
optimal. Dalam rangka optimalisasi potensi tersebut harus diarahkan perhatian pada
bagaimana manajemen potensi tersebut. Faktor kepemimpinan (leadership) menjadi
sangat krusial untuk dapat mencapai kondisi itu.
Gambaran kondisi SDM beberapa Puslitbang yang menjadi fokus kajian
mengisyaratkan, ditinjau dari strata pendidikan, secara kuantitatif kondisi Puslitbang
relatif memadai untuk memberikan kontribusi pada produktivitas Litbang. Namun
gambaran strata pendidikan ternyata tidak cukup memberikan kondisi kualitatif
memberikan jaminan akan kinerja lembaga unit Litbang tersebut. Faktor-faktor lain
memiliki banyak pengaruh terhadap kinerja dari Puslitbang tersebut, antara lain sistem
kelembagaan, sistem insentif dan model kepemimpinan dari manajer unit Litbang, serta
keberadaan fasilitas, termasuk kebijakan lain yang mendorong iklim inovasi, seperti
kebijakan sistem anggaran dan kebijakan.
Mengamati kondisi SDM pada unit Litbang yang disurvai, maka kebijakan
perlu ditekankan terhadap kualitas. Indikasi jumlah SDM peneliti yang relatif banyak
pada satu Puslit mengisyaratkan bahwa perhatian dalam pengembangan SDM tertuju
pada bagaimana peningkatan kualitas SDM tersebut, agar lebih fokus pada kebutuhan
benar-benar terkait pada kepentingan pengguna (demand pull).
Temuan lain adalah adanya indikasi bahwa kinerja Puslitbang sangat ditentukan
sejauhmana komitmen peneliti terhadap pelaksanaan riset yang sudah diagendakan.
Komitmen tersebut antara lain ditunjukkan dalam bentuk motivasi yang tinggi terhadap
tugas. Pengakuan dari beberapa kepala Puslitbang maupun pejabat Puslit menyatakan
bahwa SDM yang memiliki komitmen dan motivasi tinggi kontribusinya terhadap
kinerja Litbang adalah tenaga peneliti dengan status honorer (fresh graduate). Tenaga
honorer tersebut dipekerjakan oleh koordinator peneliti sebagai bagian dari tim kerja.
Dari survai dan wawancara, diketahui bahwa secara kuantitatif jumlah tenaga
honorer cukup signifikan, dan untuk beberapa Puslitbang komposisinya bisa 1:1 dalam
tiap aktivitas penelitian. Namun secara formal keberadaan tenaga honorer tidak
terlaporkan secara jelas. Meski demikian sejumlah responden mengakui bahwa
kontribusi tenaga honorer tersebut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
8
berpengaruh cukup signifikan terhadap kinerja Puslitbang, tidak kalah dengan tenaga
peneliti yang berstatus sebagai pegawai tetap.
Dari kondisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam faktor SDM
Litbang, selain aspek kualitas yang berkaitan dengan strata pendidikan dan bidang
keahlian yang dimiliki menjadi penentu kinerja Litbang, karakteristik SDM lain yang
menjadi pendorong terhadap kinerja unit Litbang, adalah komitmen dan motivasi.
Jika dikaitkan dengan manajemen kepegawaian, kondisi tenaga peneliti-nonformal tersebut dapat dianalogikan dengan “tenaga kontrak” –out-sourcing, yang
keberadaannya didasarkan pada kebutuhan. Tenaga-tenaga non-formal tersebut tidak
sulit didapat, mengingat sulitnya mencari pekerjaan formal, serta makin meningkatnya
lulusan perguruan tinggi. Tenaga non-formal tersebut secara kualitas tidak kalah
dengan tenaga-tenaga peneliti formal, malah untuk kasus tertentu memiliki banyak
kelebihan.
Jelaslah bahwa kondisi SDM Litbang, khususnya peneliti, persoalannya bukan
hanya pada faktor jumlah (kuantitas) maupun mutu (kualitas), tapi pada aspek yang
bersifat komitmen dan motivasi. Kuantitas maupun kualitas dapat dibentuk dan
diarahkan, namun motivasi dan komitmen perlu pengelolaan (manajemen) strategis.
Dengan kata lain pembentukannya dapat dilakukan melalui pendekatan fungsional dan
struktural. Pendekatan fungsional ini berhubungan juga dengan sijstem insentif, pola
manajemen, serta pola interaksi dalam sebuah unit Litbang.
4.4 FAKTOR MANAJEMEN
Faktor utama lainnya yang memiliki kontribusi cukup kuat terhadap
terbangunnya kompetensi unit Litbang adalah faktor manajemen. Faktor manajemen ini
mencakup: (1) visi pemimpin; (2) keterbukaan; (3) otonomi/kebebasan; (4) orientasi
prestasi; (5) proaktif; (6) kepercayaan/saling percaya; (7) orientasi nilai dasar manusia;
(8) kebenaran/objektif; (9) brainstorming/bertukar pikiran; (10) kerjasama.
Berdasarkan analisis kuantitatif, faktor dominan dalam manajemen (SOP) yang
memiliki bobot prioritas tertinggi adalah visi pemimpin, dengan bobot nilai 0.2083.
Posisi kedua adalah aspek keterbukaan, dengan bobot nilai 0.1604 dan ketiga adalah
aspek otonomi/kebebasan, dengan bobot nilai 0.1384.
Visi pemimpin menduduki peringkat tertinggi dan hal ini diperkuat dengan hasil
wawancara dan diskusi dengan beberapa responden. Ada dugaan cukup kuat bahwa visi
pemimpin tersebut dicerminkan oleh faktor kepemimpinan dari manajer Litbang atau
Kapuslit yang menjadi kunci utama keberhasilan kinerja sebuah unit Litbang.
Sebagai contoh, Kapuslit Kimia LIPI, secara tegas mengisyaratkan bahwa kunci
utama keberhasilan Puslitbang ada pada Kepala Puslit-nya. Mau dijadikan apa
organisasinya, tergantung keinginan Kapuslit. Temuan ini sejalan dengan berbagai
studi yang telah dilakukan bahwa kepemimpinan menjadi kunci utama dalam
keberhasilan pengelolaan organisasi Litbang, seperti juga halnya organisasi-organisasi
lainnya.
Dinamika Puslitbang dipengaruhi seberapa proaktif dan akomodatif serta
inovatifnya pimpinan Puslitbang. Yang dimaksud proaktif adalah bagaimana
menempatkan Puslitbang pada kondisi dinamika sebuah system, yang memerlukan
pengembangan terus-menerus. Dengan demikian, kuncinya adakah sejauhmana
pimpinan Puslitbang dapat mengembangkan network dalam bentuk interaksi dan
komunikasi terus menerus dengan berbagai pihak.
Sedangkan akomodatif dapat bersifat internal maupun eksternal. Internal lebih
kepada pemahaman keberadaan unit organisasinya dalam bentuk perhatian yang tinggi
terhadap keinginan peneliti, kemampuan serta kekurangan dan kelemahannya.
9
Akomodatif yang bersifat eksternal antara lain ditunjukkan dengan perhatian kepada
aturan main, terutama terkait dengan masalah administrasi keuangan.
Adapun inovatif terkait dengan nilai tambah yang harus menjadi trade mark dan
performance unit Litbang. Kondisi inovatif harus merupakan akumulasi dari kedua
kondisi di atas dan dicerminkan dalam bentuk langkah-langkah penyelesaian masalah
yang efektif, serta bentuk-bentuk keluaran yang kompetitif, sehingga menjadi suatu
aktivitas rutin.
Aspek lain yang cukup menonjol dari faktor manajemen adalah masalah
keterbukaan serta otonomi atau kemandirian. Dari wawancara dan diskusi dengan
pimpinan Puslitbang, nyatalah bahwa keterbukaan dalam sistem pengelolaan Litbang
sangat penting. Keterbukaan itu mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, serta
monitoring dan evaluasi, termasuk penetapan anggaran, penentuan pelaksanan
kegiatan, serta penetapan pelaksana kegiatan penelitian. Keterbukaan dituntut pada
berbagai tingkat, juga dalam memutuskan tiap kebijakan program.
Terkait dengan aspek keterbukaan, kepemimpinan organisasi Litbang juga
dituntut selalu dapat melayani dan memfasilitasi berbagai keperluan peneliti. Tidak
seperti lembaga publik (pemerintah) lainnya, organisasi Litbang pemerintah dituntut
lebih berperan sebagai organisasi fungsional. Hal ini didasarkan fungsi institusi yang
harus berproduksi berupa kegiatan Litbang, hingga menghasilkan produk riset
(inovasi). Organisasi Litbang harus berupaya menggalang segenap potensi dan
kemampuan untuk menghasilkan keluaran yang memiliki nilai tambah, baik dalam
bentuk produk teknologi, jasa, metode maupun informasi.
Namun kondisi di lapangan menunjukkan organisasi Litbang pemerintah
cenderung bersifat struktural dan pola manajemen bersifat birokratis lebih dominan
dijalankan. Keadaan ini akhirnya menimbulkan kondisi bertolak belakang dengan
fungsi utama organisasi Litbang, sehingga iklim dan system inovasi kurang dapat
berkembang. Inovasi yang seharusnya menjadi ciri organisasi Litbang terhambat oleh
kuatnya tuntutan dan perlakuan administratif birokrasi.
Akibatnya, semua pekerjaan yang seharusnya bersifat produktif dan
berbasiskan keluaran (output base) sebagai indikator keluaran kinerja organisasi
Litbang, berakhir pada pertanggungjawaban yang bersifat administratif.
Kondisi birokratis pada organisasi Litbang juga disebabkan belum
berkembangnya mekanisme monitoring dan evaluasi sebagai instrumen pengawasan
(control system) sistem produksi Litbang. Walaupun secara konseptual monitoring dan
evaluasi (monev) sudah tersedia, namun kenyataannya masih sulit diterapkan.
Banyak aspek yang menyebabkan proses monev tidak berjalan, antara lain: (1)
belum tersedia instrumen monev yang baku pada unit Litbang yang penerapannya bisa
mengaitkan kinerja Litbang, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai
kepada hasil yang didapat; (2) indikator kinerja belum dirumuskan dalam target
kongkret dan terukur, sehingga sulit untuk mengukur batasan capaiannya; (3) belum
ada pemahaman yang sama antara pihak perumus indikator dengan evaluator sehingga
terjadi “misinterpretasi”; (4) komitmen pimpinan (top manager) dalam organisasi
Litbang terhadap proses monev belum begitu kuat, sekaligus belum ada konsistensi
dengan berbagai tahapan manajemen lainnya.
Sementara itu ketika sebuah temuan (invention) berhasil didapat, namun sulit
menembus pasar, karena proses kemitraan yang seharusnya menjadi bagian yang
menyatu sejak proses awal Litbang, tidak terbangun secara memadai. Dengan demikian
aspek lain yang cukup penting dalam manajamen Litbang adalah kemitraan Litbang.
Kemitraan tersebut dapat berupa suatu jalinan aliansi, joint venture, partnering dan
lainnya.
10
4.5 FAKTOR SARANA DAN PRASARANA
Faktor sarana dan prasarana yang diukur dalam penelitian ini mencakup: (1)
kelengkapan fasilitas; (2) kemudahan penggunaan; (3) kecukupan bahan; (4)
terpelihara. Hasil analisis dengan AHP tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
sarana dan prasarana, ternyata aspek yang paling dominan mempengaruhi faktor sarana
dan prasarana adalah kelengkapan fasilitas dengan bobot nilai 0.4147. Aspek kedua
adalah kecukupan bahan, dengan bobot nilai 0.2617 dan aspek ketiga dan keempat
masing-masing adalah terpelihara dan kemudahan penggunaan.
Mengamati hasil analisis tersebut dapat dipahami bahwa unsur utama yang
menjadi penunjang konpetensi unit Litbang pada faktor sarana dan prasarana adalah
kelengkapan fasilitas. Dari wawancara dengan para nara sumber, diketahui bahwa
kelengkapan fasilitas dimaksud tidak selalu harus dalam bentuk ketersediaan secara
internal. Yang penting ketika akan riset dan memerlukan peralatan, maka peralatan bisa
digunakan, dimanapun alat itu berada.
Dengan demikian yang penting adalah ada akses yang tidak birokratis terhadap
pengggunaan alat, baik di internal Litbang, satu lembaga, maupun di tempat lain.
Ditekankan juga ketika fasilitas sarana tersebut berada di luar komunitas, maka jalinan
komunikasi dengan sumber yang memiliki peralatan tersebut menjadi sangat penting.
Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor manajemen yang telah diungkapkan
pada bagian sebelumnya bahwa unit Litbang yang dimotori manajer Puslitbang harus
memliki: (1) kemampuan memperluas jaringan (networking) kerja dan kompetensi
dengan berbagai relasi potensial maupun tidak potensial; (2) membangun kerjasama
(Cooperation) kuat antar berbagai kompetensi; (3) mengoptimalkan sharing
kompetensi dalam berbagai keterbatasan.
Dari temuan di lapangan dimana unit Litbang sudah cukup menerapkan prinsipprinsip tersebut, tidak ditemukan kesulitan dan keluhan dalam performance unit
Litbang tersebut, bahkan muncul prestasi yang brilliant.
Contohnya adalah Balai
Pengembangan Instrumentasi (LIN) LIPI yang berfungsi melayani jasa di bidang
instrumentasi. Fungsi pelayanan instrumentasi berkaitan dengan ketersediaan alat ukur
yang handal. Namun karena keterbatasan anggaran internal LIPI, sulit untuk memenuhi
kebutuhan peralatan tersebut. Untuk mengatasinya sudah lama dijalankan kemampuan
ketiga aspek tadi, yaitu network, cooperatif, dan sharing.
Keterbatasan fasilitas dipenuhi dengan pemanfaatan fasilitas di industri yang
lebih handal, termasuk juga menjadil kerjasama dalam proses Litbang-nya maupun
dalam peningkatan kemampuan SDM. Dengan kemampuan yang dimilikinya tersebut
Balai LIN mencatat berbagai prestasi antara lain dalam bentuk pengakuan terhadap
tingkat ketelitian produk instrumentasi yang dihasilkan dari berbagai industri dan
mendapat penghargaan dari berbagai badan standardisai dan instrumentasi nasional
maupun internasional.
Aspek lain yang menjadi perhatian dalam faktor sarana-prasarana adalah
kecukupan bahan serta pemeliharaan (operation and maintenance). Dari pengamatan
di lapangan serta hasil wawancara, didapat informasi umum bahwa kondisi tersebut
merupakan suatu yang krusial.
Walaupun kelihatannya sederhana, ketersediaan dan ketercukupan bahan untuk
menunjang proses Litbang seringkali menjadi kendala dalam mencapai target-target
riset. Kadang hal tersebut dijadikan justifikasi kurang optimalnya hasil Litbang.
Apabila dianalisis dari sisi ketersediaan biaya, sebenarnya selalu tercukupi, namun
untuk pemeliharaan rutin masih minimal penyediaannya. Itu sebabnya komitmen
pimpinan Puslitbang terhadap penyediaan biaya pemeliharaan menjadi prioritas untuk
11
mengoptimalkan dayaguna fasilitas Litbang. Pimpinan juga dituntut mampu
menetapkan prioritas yang selektif dalam pengadaan fasilitas baru dengan selalu
memperhitungkan kemampuan biaya pemeliharaannya.
4.6 FAKTOR PEMBIAYAAN
Faktor anggaran yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: (1) maksimum 100
juta/tolok ukur; (2) maksimum 300 juta/tolok ukur; (3) lebih dari 300 juta/tolok ukur;
(4) jangka waktu 1-2 tahun; (5) jangka waktu maksimum 3 tahun; (6) jangka waktu
lebih dari 5 tahun; (7) prestasi lembaga; (8) prioritas program; (9) seleksi kompetitif
dan otonomi peneliti; (10) hak eksekutif lembaga; (11) jangka waktu lebih dari 5 tahun.
Berdasar analisis kuantitatif tampak bahwa faktor utama yang perlu
diperhatikan dalam mengalokasikan anggaran riset adalah prestasi lembaga, dengan
bobot nilai 0.1729; aspek kedua adalah Jangka Waktu Maksimal 5 Tahun, dengan
bobot nilai 0.1625; dan aspek ketiga adalah Jangka waktu lebih dari 5 tahun, dengan
bobot nilai 0.1526.
Hasil analisis tersebut nyatalah bahwa prestasi lembaga menjadi faktor penting
dalam pengalokasian anggaran Litbang dan dapat disimpulkan bahwa faktor utama
yang selalu menjadi ukuran menetapkan anggaran adalah tuntutan prestasi atau lebih
dikenal dengan istilah kinerja (performance), baik dalam bentuk keluaran, maupun
proses yang bersifat inovatif. Di lapangan, masalah anggaran selalu dikaitkan dengan
prestasi. Jika hasil yang didapat kurang optimal, jumlah anggaran selalu menjadi
justifikasi pembenarannya.
Sejalan dengan kondisi tersebut, pemikiran menjadikan prestasi menjadi salah
satu alat ukur untuk alokasi anggaran telah dirumuskan dalam peraturan dengan istilah
“anggaran berbasis kinerja”. Peraturan tersebut akan mengatur bagaimana proses
penganggaran didasarkan prestasi atau keluaran suatu organisasi, yang nota bene tidak
hanya kewajiban lembaga Litbang saja, tapi untuk seluruh lembaga lainnya.
Walaupun mengoperasikan konsep “anggaran berbaisis kinerja” tidak mudah,
namun pemikiran itu sudah sejalan dengan tuntutan tranparansi dan akuntabilitas
penggunaan dana publik. Selain dituntut konsistensi dalam pengembangan dan
penggunaan alat ukur, juga diperlukan komitmen tinggi dari seluruh pelaku manajemen
pembangunan untuk merumuskan aplikasi konsep tersebut.
Tanpa dilengkapi instrumen pendukung, baik dalam bentuk indikator yang
terukur dalam berbagai tingkatan, proses monitoring yang konsisiten dan serta
instrumen evaluasi, sulit merealisasikan pendekatan tersebut. Dan tanpa komitmen serta
motivasi yang tinggi dari SDM yang terlibat, proses tersebut tidak lebih sekedar
persyaratan administratif yang akhirnya menjadi rutinitas belaka.
Aspek penting dalam penerapan anggaran berbasis kinerja atau prestasi tersebut
adalah, adanya pemahaman pada level kegiatan paling bawah terhadap pentingnya
disiplin kerja, sesuai dengan rencana kerja yang ditetapkan dan selalu
mendokumentasikan seluruh proses dalam logbook. Hal ini akan membantu berbagai
pihak, selain pelakunya sendiri, dalam melihat performance kerja.
Prestasi di sini tidak terbatas pada keberhasilan keluaran produk, tetapi
kegagalan juga merupakan suatu prestasi, kalau dilandasi argumen kuat mengapa hal
itu terjadi dan dapat dipertanggungjawabkan. Setidaknya tahapan proses kerja telah
sesuai dengan prosedur dan ketidakberhasilan lebih kepada akibat atau di luar kontrol
pelaksanaan.
Kemudian yang perlu dipikirkan adalah keluwesan pengelolaan anggaran. Riset
penuh dengan sifat “trial and error”, terkadang apa yang direncanakan berubah total
dan berakibat pada penggunaan anggarannya. Model anggaran swakelola yang masih
12
banyak digunakan dalam kegiatan Litbang sangat membebani pelaksanan Litbang,
terutama untuk mengurus pertanggungjawaban adiministrasinya. Apalagi ketika
pengurusan keuangan tidak sesuai, antara yang dikeluarkan dengan yang harus
dilaporkan, karena kondisi “trial and error”.
Dengan demikian fleksibilitas penggunaan anggaran serta pertanggungjawaban
yang berorientasi “output basis” menjadi harapan banyak peneliti. Konsentrasi peneliti
lebih diarahkan pada aspek substantif. Manajer Puslitbang juga dituntut memiliki
keluwesan anggaran untuk menyesuaikan target program dan anggaran, sesuai dengan
pecapaian target-target yang kongkret dan terukur.
Kondisi tersebut menuntut adanya pembiayaan yang bersifat “blockgrant” pada
unit Litbang. Tuntutan lain berkaitan dengan aspek penggunaan dana dari pemasukan
pelayanan jasa. Sesuai peraturan perudangan, dana hasil layanan Litbang tersebut
masuk dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga mekanisme
penggunaannya harus mengikuti aturan tersebut. Mekanisme DIKS menjadi instrumen
untuk penggunaannya.
Dari berbagai pembahasan dengan pelaksana Litbang di lapangan didapat
informasi bahwa persoalan utama yang dihadapi dalam mekanisme DIKS adalah
adanya rigiditas prosedur operasionalnya. Dengan rigiditas prosedur memunculkan
rantai proses panjang yang terkait dengan waktu, sekaligus memunculkan cost baru. Di
sisi lain tuntutan untuk penyelesaian proses layanan dengan pihak ketiga menuntut
fleksibilitas dan gerak cepat, karena berkaitan dengan performance.
Dari analisisis terhadap kondisi tersebut, sebenarnya untuk menyikapi rigiditas
penggunaan dana hasil layanan jasa, yang perlu menjadi perhatian adalah,
1. Perlu redefinisi kegiatan jasa Litbang yang masuk dalam kategori PNBP.
Didefinisikan apa saja yang termasuk kategori kegiatan/pelayanan yang masuk
dalam lingkup PNBP. Kemudian PNBP seharusnya lebih kepada pemasukan yang
bersumber dari penyewaan, pelayanan dll. yang tidak bersifat proses produktif.
Sedangkan pendapatan dari kegiatan produktif dikelola sebagai kegiatan usaha.
2. Perlu penyederhanaan mekanisme pengelolaan dana PNBP dalam bentuk
penyederhanaan prosedur DIKS (administratif), yang mencakup fleksibilitas dalam
pengelolaan dana pendapatan hasil layanan iptek dan penyederhanaan proses revisi
DIKS.
3. Perlu mencari solusi lain dalam mengelola pendapatan hasil layanan jasa Iptek yang
tidak berbenturan dengan mekanisme keuangan. Antara lain perlu dibentuk
kelembagaan mandiri (Unit Spin Off atau unit antara) yang dapat mewadahi
aktivitas pelayanan jasa komersial lembaga Litbang
Masukan lain yang menjadi faktor utama adalah jangka waktu pembiayaan,
yaitu mekanisme pembiayaan Litbang tidak bersifat tahunan. Aktivitas Litbang bersifat
jangka panjang dan tidak bisa ditargetkan selesai dalam satu atau dua tahun, karena
perlu proses pengujian terus menerus untuk mencapai hasil optimal. Dengan demikian
makanisme pembiayaan bersifat “multiyears fund” perlu menjadi agenda.
Namun demikian melihat sulitnya merubah pola anggaran, agak sulit
mengalokasian dana multiyears tersebut. Mengambil contoh pola pembiayaan Riset
Unggulan Terpadu (RUT), maka yang paling mungkin adalah pembiayaan “multiyears
commitment fund”. Maksudnya, tiap kegiatan Litbang perlu ditetapkan kebutuhan
anggaran untuk suatu kurun waktu tertentu, katakan 3-4 tahun, namun pengalokasian
dalam dokumen anggaran tetap tahunan. Lantas secara substantif disepakati topik
tersebut akan dialokasikan untuk jangka waktu yang ditetapkan. Penetapan alokasi
anggaran itu dilakukan oleh suatu panel yang berkualitas.
13
Aspek lain yang berhubungan dengan pembiayaan Litbang adalah masalah unit
cost. Belum adanya keseragaman tentang pembiayaan Litbang memunculkan distorsi
dalam penghitungan alokasi Litbang, serta bagaimana mengukur keluarannya.
Penetapan standar unit cost paket Litbang yang proporsional menjadi begitu penting
untuk mengatasinya, termasuk menyempurnakan biaya honor peneliti sampai pada
tingkat wajar. Unit cost peneliti tersebut, perlu didasarkan pada penjenjangan agar lebih
memberi proporsi tepat dalam pembiayaan. Salah satu acuan untuk penghitungan
pembiayaan unit cost adalah penjenjangan jabatan fungsional peneliti.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor SDM dan Manajemen berpengaruh kuat terhadap penguatan kompetensi unit
riset, dibanding Fasilitas dan Pembiayaan. Faktor SDM yang paling berpengaruh
adalah komitmen dan motivasi pelaku Litbang terhadap kegiatannya. Tenaga
peneliti outsourcing/kontrak/honorer pada berbagai unit Litbang memiliki
komitmen dan motivasi tinggi mendorong peningkatan kinerja unit Litbang.
2. Pada faktor manajemen, aspek yang paling menonjol adalah terjadinya benturan
antara tuntutan birokrasi dengan tuntutan profesional yang memunculkan kondisi
kurang berkembangnya iklim inovasi.
3. Kelengkapan peralatan laboratorium dan pembiayaan untuk operasi dan
pemeliharaan menjadi faktor utama dalam fasilitas Litbang yang berpengaruh
terhadap penguatan kompetensi.
4. Pada faktor pembiayaan, aspek fleksibilitas penggunaan pembiayaan menjadi
tuntutan utama pelaku Litbang dalam upaya penguatan kompetensi kegiatan libang.
5.2 REKOMENDASI
Untuk mengatasi persoalan peningkatan kualitas dan kapasitas SDM Litbang,
langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah
1. Pengembangan program kemitraan, yang berarti perlu menonjolkan aspek
penguatan kapasitas SDM, selain kepada keluaran (output akhir).
2. Memberi kesempatan kepada tenaga peneliti maupun tenaga administratif untuk
melakukan on the job traning pada industri atau sektor riil agar lebih memahami
kondisi lapangan (pasar)
3. Sistem perekrutan tenaga peneliti sesuai kebutuhan program/kompetensi unit
Litbang (mempertimbangkan rasio antara ketersediaan dengan kebutuhan
pelaksanaan program/kompetensi terpenuhi)
4. Penyeimbangan wawasan ilmiah peneliti, versus wawasan bisnis peneliti antara
lain melalui pengembangan model spin-off.
5. Formalisasi terhadap mekanisme kerja Litbang melalui sistem kontrak sebagai
salah satu solusi adanya keterbatasan tenaga peneliti formal, serta sebagai upaya
meningkatkan fleksibilitas kerja dan kekakuan prosedur sistem rekrutmen pegawai.
Dalam rangka mengatasi persoalan faktor manajemen, langkah-langkah yang
perlu diantisipasi adalah:
1. Perlunya fungsionalisasi organisasi Litbang sampai pada level puslit (eselon 2)
secara proporsional, antara lain dalam bentuk perampingan struktur organisasi dan
proporsi SDM (proporsi tenaga peneliti harus lebih besar dibanding dengan tenaga
administrasi).
2. Fungsi-fungsi struktural pada organisasi Litbang perlu dikembangkan pada fungsi
yang dapat memberi fasilitasi aktivitas produktif Litbang. Kegiatan fungsional lebih
14
mendominasi kondisi organisasi Litbang, sehingga memungkinkan adanya
fleksibilitas dalam proses produksinya dan sekaligus menanamkan kemandirian.
3. Peningkatan kemampuan tenaga administratif menjadi tenaga teknisi yang bersifat
fungsional. Dengan kondisi SDM diberbagai organisasi Litbang, aspek yang perlu
dibangun adalah fungsionalisasi potensi SDM sebagai modal, bukan sebagai beban.
Peran manajemen begitu penting dalam mengelola kondisi tersebut.
4. Perlu dibangun mekanisme monev yang disepakati bersama, mengacu pada standar
audit yang benar, baik substantif maupun administratif. Termasuk komitmen tiap
pihak pada berbagai tingkatan untuk menjadikan monev sebagai dorongan
peningkatan kinerja karena memunculkan umpan balik sebagai masukan
perencanaan dan pelaksanaan selanjutnya. Namun monev tidak diarahkan untuk
menilai pelaksanaan kegiatan, apakah benar atau salah.
5. Perlu dibangun mekanisme riset kompetitif di setiap organisasi Litbang, agar
terciipta kesempatan bagi potensi-potensi internal untuk meningkatkan kreativitas
dan inovasi, serta mendorong keterbukaan.
6. Perlu dilakukan interaksi terus menerus dengan berbagai pihak dalam setiap proses
manajemen Litbang, sehingga terbangun network yang cukup kuat dan dapat
mengoptimalkan proses produksi unit Litbang sampai pada tahapan kompetitif.
Dengan demikian terjadi optimasi sumberdaya, serta mengurangi ketergantungan
pada satu sumber, baik dalam pendanaan Litbang, ketersediaan fasilitas riset,
maupun sumberdaya manusia terampil.
Dalam upaya mengatasi persoalan faktor sarana dan prasarana, langkah-langkah
untuk mendorong kompetensi unit riset adalah,
1. Ada aturan main yang memberi keleluasaan untuk memanfaatkan sarana dan
prasarana Litbang di berbagai instansi, sehingga memungkinkan kemudahan akses
dan pemanfaatan, sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama.
2. Aturan main tersebut, antara lain dalam bentuk komitmen dari setiap pemimpin
Puslitbang untuk mengupayakan terbangunnya network, cooperation, dan sharing
yang dibangun dengan berbagai pihak.
3. Pimpinan Puslitbang juga dituntut komitmennya dalam bentuk optimalisasi
penggunaan fasilitas, sehingga bisa didayagunakan maksimal, kalau mungkin dapat
“mengenerate income” untuk memenuhi biaya operasi dan pemeliharaannya.
4. Diciptakan program kemitraan yang sinergi secara substantif serta optimal dalam
pendayagunaan fasilitas Litbang.
Selanjutnya, dalam rangka mengatasi berbagai pokok persoalan dan masalah
dalam faktor pembiayaan, beberapa langkah-langkah yang perlu menjadi perhatian
adalah:
1. Diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja untuk memacu produktivitas unit
Litbang sampai pada level teknis dan dalam pelaksanaannya didukung komitmen
pimpinan.
2. Sehubungan dengan anggaran berbasis kinerja, terus diupayakan system
pertanggungjawaban kegiatan Litbang berbasis keluaran (output basis) dengan
meminimalisasi keterlibatan peneliti pada aspek administratif.
3. Pelaksanaan kegiatan berbasis keluaran tersebut didukung mekanisme pelaksanaan
kegiatan dalam bentuk paket kerjasama dengan model kontrak swakelola.
4. Untuk mendukung kegiatan Litbang dalam bentuk paket kerjasama tersebut, perlu
dikembangkan mekanisme pembiayaan pola blockgrant, sehingga memberi
keleluasaan kepada pimpinan Puslitbang untuk menetapkan indikator capaiannya,
sesuai dengan ketersediaan dana dan lebih terukur.
5. Dalam rangka tuntutan terwujudnya kemandirian dan keleluasaan pelaksanaan
15
Litbang, perlu dikembangkan mekanisme pembiayaan dengan pola “multiyears
commitment fund”, sehingga ada kepastian bagi peneliti untuk lebih konsentrasi
dalam proses penelitiannya.
6. Perlu dibuat standardisasi unit cost paket riset agar lebih memberi kepastian ukuran
dan keseragaman target capaian, sekaligus memudahkan dalam penilaian kinerja.
Untuk itu perlu disempurnakan standar unit cost peneliti berdasar jenjang
fungsional peneliti.
Dari rekomendasi yang disampaikan, secara umum faktor kelembagaan adalah
aspek utama yang harus dipikirkan lebih lanjut. Kondisi kelembagaan perlu
dirasionalisasi untuk mewujudkan unit Litbang yang memiliki kompetensi dan
berkontribusi terhadap tuntutan perubahan dalam bentuk temuan dan inovasi. Dalam
bentuk diagram, rekomendasi setiap faktor kompetensi yang mencakup usul
rasionalisasi kelembagaan Litbang digambarkan berikut.
Ilu s tras i F akto r B erp en g aru h D alam P en g u atan
K o m p eten s i
K U A N T IT A S
K O M IT M EN
K U A LIT A S
M O T IV A S I
SDM
L IT B A N G
K E M IT R A A N
M E K A N IS M E K O N T R O L
O TO N OM I
K O M U N IK A S I
PO LA
M A N A JE M E N
R A SIO N A LISA SI
O R G A N ISA SI
LITBA N G
KOM P ETEN SI
UNIT
L IT B A N G
K EB ER A DA AN
F A S IL IT A S
O PEN AC C ES S
N E T W O R K IN G
K O LA B O R A S I
1 4 -Ju n -0 4
PO LA
P E M B IA Y A A N
F L E K S IB ILIT A S
B LO C K G R AN T
S IS T E M IN S EN T IF
© 2 0 0 3 , D it. K i p te k B a p p e n a s
18
16
DAFTAR PUSTAKA
Bradley, S.P., J.A. Hausman, and R.L. Nolan., Globalization, Technology, and
Competiton. Harvard Busienss School Press, Boston
Brocklesby, J. and S. Cummings,
dalam Eriyatno,
Ilmu Sistem Meningkatkan
Mutu fan Efektifitas Manajemen. IPB Press, Bogor, 1996
Christiansen, James. A., Building The Innovative Organization, MacMillan Bussines,
New York, 2000
David F. R. Strategic Management, Prentice Hall International Inc., New Jersey.
Eriyatno. Ilmu Sistem (ed 2) IPB Press, Bogor, 1998
Gibson J. L., Ivancevich J. M. and J. H. Donnelly, Organisasi: Perilaku, Struktur dan
Proses. Terjemahan. Erlangga, Jakarta, 1996
Jain, R.K., H.C. Triandis, Management of Research and Development Organizations,
managing The Unmanageable, Wiley Interscience Pub, Canada, 1990
Kadarsah, S. dan Ali Ramdhani, Sistem Pendukung Keputusan. Rosda Bandung, 2002
Kim, Linsu and Nelson, Richard R., Technology, Learning and Innovation, Cambridge
University Press, London, 2000
Leigh W.E. and M. E. Doherty, Decision Support and Expert Systems. South-Western
Pub., Ohio, 1986
Marimin, Teori dan Aplikasi Sistem Pakar Dalam Teknologi Manajerial, TIP-IPB,
2001
Porter M. E.,
Keunggulan Bersaing: Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja
Unggul. Terjemahan. Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.
Saaty, Thomas L. and Vargas, Luis G., Decission Making in Economic, Political,
Social and Technological Environment, University of Pittsburgh, Pittsburgh,
1994
Setyawan, A.A., Pengembangan Kowledge Management di dalam Organisasi Bisnis.
Manajemen dan Usahawan Indonesia. Lembaga Manajmen FE-UI, Jakarta, .
2002
Songip, A.R., Moving Toward 4 Generation Innovation, BATC, UTM, 2002
Werkes, W. H., Living System Analysis and Neo Classical Economics. System
Practical Journal vol. 8, (1), 107:117, 1995..
Wetherbe J. C.,
Systems Analysis and Design. West Publishing Company, New
York, 1988.
17
Download