I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Sawah organik

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Sawah organik dan non-organik
Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang
menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida kimia dan hasil rekayasa
genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Pertanian organik
meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia.
Sistem pertanian yang menggunakan masukan dari luar yang menyebabkan
degradasi sumber daya alam tidak dikategorikan sebagai pertanian organik.
Sebaliknya sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun
mengikuti aturan pertanian organik dimasukkan dalam pertanian organik,
meskipun agroekosistemnya tidak memperoleh sertifikasi organik. Pertanian
organik dinilai lebih menguntungkan karena nilai jual produknya lebih tinggi
dibandingkan produk pertanian non-organik. Keuntungan yang diperoleh dari
pertanian organik lebih tinggi 15-20% dibanding pertanian non-organik (Sutanto,
2002; Mutiarawati, 2006; Kunia, 2011).
Dalam pelaksanaan sistem pertanian organik kondisi lingkungan sangat
diperhatikan
dengan
pengembangan
metode
budidaya
dan
pengelolaan
berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem pertanian organik diterapkan
berdasarkan atas interaksi tanah, tanaman, hewan, manusia, mikroorganisme,
ekosistem dan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan dan keragaman
hayati. Sistem ini secara langsung diarahkan pada usaha meningkatkan proses
daur ulang alami (Sutanto, 2002; Mutiarawati, 2006).
1
Pertanian organik banyak memberikan kontribusi pada perlindungan
lingkungan dan masa depan kehidupan, juga menjamin kerberlanjutan bagi
agroekosistem dan kehidupan petani. Sumber daya alam lokal dipergunakan
sedemikian rupa sehingga unsur hara, biomassa, energi, dimanfaatkan seoptimal
mungkin serta mampu mencegah pencemaran lingkungan. Pertanian organik
diyakini merupakan cara untuk mengurangi gas rumah kaca yang menyebabkan
pemanasan global (Kunia, 2011).
Pengembangan pertanian organik sebagai salah satu teknologi alternatif
untuk menanggulangi persoalan lingkungan sangat diperlukan. Persoalan
lingkungan yang terjadi disebabkan karena pencemaran tanah, air, dan udara,
sehingga menyebabkan terjadinya degradasi dan kehilangan sumber daya alam
serta penurunan produktivitas tanah. Pertanian non-organik (konvensional)
berbasis kimia sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia berpengaruh
kurang baik terhadap kualitas dan keamanan produk, kesehatan dan kehidupan
lainnya (Sutanto, 2002). Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang terus
menerus telah menimbulkan dampak negatif, seperti resistensi serangga target,
ledakan hama, dan pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia. Dalam
pertanian organik, penggunaan pupuk kimia diganti dengan pupuk organik, pupuk
kandang atau pipuk hijau, penggunaan pestisida kimia diganti dengan penggunaan
pestisida organik yaitu pestisida nabati. Pertanian organik yang meminimalkan
penggunaan bahan kimia menjadi alternatif untuk memperoleh bahan pangan yang
sehat, aman dan ramah lingkungan. Kenyataannya sampai sekarang belum ada
penelitian mendalam pada sawah organik baik tentang produksi, populasi
2
serangga hama, populasi serangga musuh alami serangga hama, juga dampak
residu pada lingkungan. Fluktuasi populasi serangga hama tanaman padi sangat
tergantung pada kuantitas dan kualitas tanaman padi, fluktuasi faktor abiotik
lingkungan seperti suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan curah hujan.
Serangga hama dan musuh alami merupakan bagian dari keragaman
hayati yang saling berinteraksi membentuk keseimbangan. Keseimbangan alami
antara serangga hama dan musuh alami di ekosistem sawah sering dikacaukan
oleh penggunaan insektisida kimia (Sutanto, 2002; Sriyanto, 2010).
Masa konversi atau masa transisi sawah dari non-organik ke organik
berlangsung selama 2-3 tahun sebelum panen pertama. Kesuburan tanah dan
kegiatan biologis tanah harus dipertahankan dan ditingkatkan antara lain dengan
penanaman tanaman legume, menambah bahan organik ke dalam tanah, baik
dalam bentuk bahan yang telah dikomposkan maupun tidak. Hama, penyakit dan
gulma dikendalikan berdasarkan konsep pengelolaan hama terpadu (PHT).
Perpaduan yang kompatibel dari jenis dan variasi cara pengendalian yang tepat,
seperti pergiliran tanaman yang tepat, teknik pengendalian secara mekanik,
pemeliharaan dan konservasi musuh alami, diaplikasikan dalam sistem pertanian
organik (Sutanto, 2002; Sriyanto, 2010; Kunia, 2011).
Upaya untuk memenuhi produksi padi di Indonesia masih terkendala
oleh kehadiran organisme pengganggu tanaman (OPT) di ekosistem sawah,
kekeringan, banjir dan lain sebaginya. Salah satu OPT yang sering mengganggu
produksi padi di Indonesia adalah Penggerek batang padi (PBP).
3
2. Penggerek batang padi
Penggerek batang padi (PBP) kuning terdapat sepanjang tahun dan
menyebar di seluruh Indonesia pada ekosistem sawah yang beragam. Ulat PBP
kuning memakan titik tumbuh tanaman padi stadia vegetatif sehingga
menimbulkan gejala sundep, dan memakan pangkal bulir padi sehingga
menyebabkan gejala beluk. Intensitas kerusakan tanaman padi akibat PBP pada
tahun 1998 mencapai 20,5% dengan luas daerah yang rusak mencapai 151.577 ha.
Kehilangan hasil akibat PBP pada fase vegetatif memang tidak terlalu besar
karena tanaman masih dapat membentuk anakan baru.
Kerusakan pada fase
generatif menyebabkan malai yang muncul berwarna putih dan hampa. Kerugian
hasil yang disebabkan gejala beluk berkisar antara 1-3% atau rata-rata 1,2%
(Anonymous, 2009a, b). Kerusakan tanaman padi akibat PBP selalu dilaporkan
hampir di seluruh daerah di Indonesia dan di beberapa daerah menunjukkan
cenderung meningkat dari waktu ke waktu (Kalshoven, 1981; Hatori & Siwi,
1986; Urip, 2009). Kerusakan akibat PBP kuning berfluktuasi dari tahun ke tahun.
Hal ini diduga ada hubungannya dengan peran musuh alami yang berupa
parasitoid dan predator sebagai faktor pengendali hayati.
Pada tahun 2005 sampai dengan 2013 semua persawahan di
kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami kerusakan akibat PBP dengan
intensitas yang bervariasi (Lampiran 1). Di Kabupaten Semarang, kerusakan
akibat PBP terjadi setiap tahun selama tahun 2005 s.d. 2013 (Gambar 1 dan
Lampiran 2). Selama
tahun 2005 s.d. 2013 di Kabupaten Semarang terjadi
kerusakan ringan (kerusakan 0 hingga 25%) pada setiap tahun dengan jumlah luas
4
kerusakan 2814 Ha dengan rata-rata per tahun 312,67 Ha. Kerusakan sedang
(kerusakan >25 hingga 50%) terjadi tidak setiap
tahun dengan kisaran luas
kerusakan antara 0 – 130 Ha dengan rata-rata 23,22 Ha, kerusakan berat
(kerusakan >50 – 90%) hanya terjadi pada 2 tahun (tahun 2005 dan 2011) dengan
kisaran luas kerusakan 0 – 34 Ha, dengan rata-rata 4,11 Ha.
Data tahun 2005 s.d. 2013 sejak tahun 2011, 2012, 2013 ada
kecenderungan peningkatan luas kerusakan tanaman padi oleh PBP (Gambar 2).
Kecenderungan peningkatan kerusakan tanaman padi diduga akibat populasi PBP
yang juga cenderung meningkat. Peningkatan populasi PBP diduga karena
keragaman dan kelimpahan PBP, musuh alami, dan pesaing, serta faktor
kelembaban dan suhu udara, juga kecepatan angin. Faktor biotik dan abiotik ini
diduga menyebabkan populasi serangga PBP meningkat sejak tahun 2011 s.d.
2013 (Gambar 1).
Luas Kerusakan (Ha)
500
400
300
200
100
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Ringan
Sedang
Berat
Puso
Jumlah
Gambar 1. Luas kerusakan akibat PBP pada berbagai tingkat intensitas kerusakan
di Kabupaten Semarang Tahun 2005-2013 (Anonymous, 2013).
5
Fluktuasi kerusakan tanaman padi akibat PBP dari bulan ke bulan selama
tahun 2007-2012 menunjukkan pola yang relatif sama (Gambar 2). Kerusakan
akibat PBP naik pada bulan November hingga Januari dan turun pada bulan
Februari hingga Maret. Kerusakan kembali naik pada bulan April hingga Juni
sebagai puncak kedua, kemudian menurun kembali sejak Juli hingga Oktober.
Pengelolaan hama terpadu (PHT) PBP didasarkan pada prinsip kaidah
ekonomi, ekologi, dan sosial. Dalam ekosistem padi terjadi proses aliran energi
yang dikenal dengan istilah rantai makanan dan jejaring makanan. Penggerek
batang padi adalah serangga herbivor, mendapatkan energi dengan makan
tanaman padi. Serangga PBP merupakan sumber energi bagi karnivor yang
dikenal dengan musuh alami, antara lain dalam bentuk parasitoid dan predator.
Luas Kerusakan (Ha)
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Jan
Peb
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
Bulan
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 2. Fluktuasi luas kerusakan akibat PBP di Jawa Tengah setiap bulan, tahun
2007-2012 (Anonymous, 2013)
Fluktuasi kerusakan padi dari bulan ke bulan (Gambar 2) cenderung
memiliki pola yang sama, sepanjang tahun eksistensi PBP tetap ada walaupun
tanaman padi sedang kondisi bero, populasi serangga PBP tetap tinggi walaupun
6
tidak ada tanaman padi. Serangga PBP masih dapat memperoleh pakan dari
tanaman padi di sekitarnya sebagai pakan alternatifnya, dengan demikian
populasinya tetap berpotensi menjadi hama tanaman padi. Data tahun 2005 s.d.
2012, tingkat kerusakan terendah masih di atas 1000 Ha dan tertinggi 6000
(Lampiran 2). Fluktuasi kerusakan tanaman padi berbanding lurus dengan
fluktuasi populasi serangga PBP, fluktuasi populasi PBP berbanding lurus dengan
populasi musuh alami dan pesaingnya.
3. Musuh alami PBP
Praktek budidaya padi diduga berpengaruh terhadap musuh alami PBP.
Upaya peningkatan produktivitas padi masih terdapat banyak kendala diantaranya
adalah masalah gangguan serangga hama. Dalam mengendalikan hama padi,
teknik yang umum dilakukan adalah dengan cara non-organik (konvensional)
dengan pemakaian pestisida sintetik secara intensif. Pemakaian pestisida sintetik
yang intensif telah menimbulkan pencemaran lingkungan, resistensi serangga
hama dan terbunuhnya musuh alami serangga hama, seperti parasitoid, predator
dan kompetitor (Siregar, 1981; Anonymous, 1983; Andoko, 2004).
Musuh alami serangga PBP adalah parasitoid dan serangga predator.
Parasitoid dan serangga predator, keduanya merupakan agen pengendali biologis
berperan meregulasi perkembangan populasi serangga pengganggu tanaman.
Parasitoid bersifat spesifik dengan kisaran inang yang sempit. Parasitoid jenis
tertentu hanya menjadi parasit pada jenis serangga pengganggu tertentu bahkan
pada stadia perkembangan tertentu pula (Santoso & Sulistyo, 2007; Sofa, 2008).
Jenis parasitoid berdasarkan preferensinya sebagai parasit dalam stadia
7
perkembangan serangga, yaitu parasitoid telur, parasitoid larva, parasitoid pupa,
dan parasitoid imago (Price, 1997). Populasi parasitoid dan predator serta
serangga pengganggu tanaman di lapangan berfluktuasi tergantung pada berbagai
faktor lingkungan yang berpengaruh, seperti suhu, kelembaban udara, hujan,
intensitas cahaya, kecepatan dan arah angin, serta interaksi parasitoid dengan
inang. Pola fluktuasi serangga PBP dan musuh alaminya pada sawah organik dan
non-organik perlu dikaji lebih dalam.
Ekologi PBP merupakan hubungan aksi dan atau interaksi antara PBP
dengan berbagai faktor lingkungannya, baik lingkungan abiotik maupun biotik
dan inangnya. Khusus faktor biotik pada ekologi PBP di ekosistem sawah organik
dan non-organik belum diketahui sepenuhnya. Faktor biotik terkait PBP di sawah
organik dan sawah non organik adalah keragaman dan kelimpahan parasitoid dan
serangga predator sebagai musuh alami, juga keragaman dan kelimpahan
serangga herbivor lain sebagai pesaing PBP. Faktor abiotik lingkungan terkait
PBP adalah suhu, kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin. Karakteristik
ekologis meliputi struktur, fungsi dan proses. Karakteristik struktur adalah jumlah
jenis, jumlah individu, keragaman dan kelimpahan. Karakteristik fungsi adalah
serangga PBP, kelompok herbivor, predator, dan parasitoid. Karakteristik proses
adalah interaksi PBP dengan faktor lingkungan biotik (serangga herbivor lain,
predator, dan parasitoid) dan abiotik (suhu, kelambaban udara, kecepatan angin,
dan curah hujan).
8
B. Permasalahan
Permasalahan substansial dalam penelitian ini adalah bahwa karakteristik
ekologis PBP pada sawah organik dan non-organik belum diketahui secara
lengkap. Karakteristik ekologis tersebut meliputi jumlah jenis, jumlah individu,
keragaman, kemerataan persebaran, dan kelimpahan. Karakteristik ekologis PBP
berfluktuasi disebabkan oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik yang juga
berfluktuasi. Permasalahannya adalah:
1. Bagaimana karakteristik ekologis serangga PBP di sawah organik dan nonorganik.
2. Bagaimana fluktuasi populasi PBP, serangga herbivor lain, predator, dan
parasitoid di sawah organik dan non-organik.
3. Bagaimana dominansi jenis PBP, serangga herbivor lain, predator, dan
parasitoid di sawah organik dan non-organik.
4. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan biotik dan abiotik terhadap
fluktuasi PBP di sawah organik dan non-organik.
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik ekologis PBP di
sawah organik dan non-organik di Dusun Dolok, Desa Bakalrejo, Kecamatan
Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dengan mempelajari berbagai hal
sebagai berikut :
1. Mempelajari karakteristik ekologis PBP di sawah organik dan non-organik.
9
2. Mempelajari fluktuasi populasi PBP dan serangga herbivor lain serta musuh
alaminya di sawah organik dan non-organik.
3. Mempelajari dominasi jenis PBP dan serangga herbivor lain serta musuh
alaminya di sawah organik dan non-organik.
4. Mempelajari pengaruh faktor lingkungan biotik (parasitoid, serangga
predator dan serangga herbivor lain) dan abiotik (suhu, kelembaban udara,
curah hujan, dan kecepatan angin) terhadap fluktuasi PBP di sawah organik
dan non organik.
D. Keaslian penelitian
Pengamatan mengenai karakteristik ekologis PBP di Indonesia, pada
sawah organik dan non-organik sampai saat ini belum banyak dilakukan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Suhardjan (1983) berjudul Dinamika
populasi Penggerek Kuning padi Tryporiza incertulas (Walker) (Pyralidae,
Lepidoptera), menekankan pada dinamika populasi penggerek padi. Penelitian
tersebut tidak membandingkan antara sawah organik dan non-organik. Tryporiza
incertulas merupakan sinonim dari Schirpophaga incertulas (Walker).
Penelitian tentang PBP dan kompleks musuh alami sudah banyak
dilakukan di Indonesia, antara lain oleh Subiyakto (1982), Soehardjan (1983), dan
Sutrisno (2008) yang mengkaji dinamika populasi PBP, Soejitno (1986)
dan
Suharto & Usyati (2005) yang mengamati gangguan dan kerusakan akibat PBP,
Mahrub (1998) tentang pengendalian hayati PBP, sedangkan Wijayanti (1999),
Laba (2001), Herlinda, et al., (2004 & 2008), Lubis (2005), Santoso & Sulistyo
10
(2007), Effendy, et al., (2013), Aminah & Hadi (2010), Yunus, et al., (2011),
Maramis, et al., (2011) perihal musuh alami (parasitoid dan predator). Terbukti
bahwa penelitian tentang PBP sebelumnya, semuanya dilakukan pada sawah nonorganik. Penelitian ini mengkaji tentang karakteristik ekologis, fluktuasi populasi,
faktor pendukung dan penghambat perkembangan populasi serta pola distribusi
spatial dan temporal PBP di sawah organik dan non-organik. Karakteristik
ekologis yang dimaksud meliputi struktur, fungsi dan proses. Faktor biotik
meliputi PBP, serangga herbivor lain, parasitoid dan predator, sedangkan faktor
abiotik yang berpengaruh terhadap karakteristik ekologis adalah suhu,
kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin.
E. Manfaat penelitian
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi berarti dalam memperkaya ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
masalah karakteristik ekologis PBP dan ekologi sawah, khususnya interaksi
tanaman padi sebagai penyedia pakan dengan PBP sebagai herbivor yang
memakannya berikut parasitoid dan predator sebagai musuh alami yang
mengendalikan populasi PBP.
2. Data karakteristik ekologis, fluktuasi PBP, musuh alami dan serangga herbivor
lainnya pada ekosistem sawah organik dan non-organik dari waktu ke waktu,
digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi petani dalam pengendalian
hayati PBP yang ramah lingkungan.
11
3. Data hubungan karakteristik ekologis PBP dengan faktor biotik dan abiotik
lingkungan di sawah organik dan non-organik
digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengembangan sistem budidaya padi yang mampu
menghasilkan produk pangan yang sehat, aman dan ramah lingkungan.
4. Hasil penelitian bermanfaat dalam mendukung usaha pertanian organik yang
ramah lingkungan dan menghasilkan bahan pangan yang sehat.
12
Download