Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS dengan Pembelajaran

advertisement
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hasil Belajar
a). Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan menurut
Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar
mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan,
(3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22). Hasil belajar menurut Murjono (1996
: 178) adalah hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya
sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Menurut Nurkancana
(1990:11), mendefinisikan hasil belajar adalah suatu tindakan atau proses untuk
menentukan nilai keberhasilan seseorang untuk menentukan nilai keberhasilan
belajar seseorang setelah ia mengalami proses belajar selama satu periode tertentu.
Setiap guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa
yang dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang
dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses belajar mengajar
keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.
Menurut Mudjiono (1999), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari
dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan
tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat
sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar
merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran. Klasifikasi hasil belajar menurut
Bloom dalam Agus Suprijono (2009) secara garis besar membagi menjadi 3
ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris.
7
1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.
3. Ranah
psikomotorik,
berkenaan
dengan
hasil
belajar
keterampilan dan kemampuan bertindak.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil akhir dari proses kegiatan
belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran di kelas, yaitu menerima suatu
pelajaran untuk mencapai kompetensi yang akan dicapai dengan menggunakan
alat penilaian yang disusun oleh guru berupa tes yang hasilnya berupa nilai
kemampuan siswa setelah tes diberikan sebagai perwujudan dari upaya yang telah
dilakukan selama proses belajar mengajar. Hasil belajar siswa dihitung
berdasarkan evaluasi, pengukuran dan asesmen.
Untuk mengukur hasil belajar siswa dalam sebuah pembelajaran agar
dapat mengetahui apakah materi yang disampaikan sudah mencapai tujuan
pembelajaran, bisa dilakukan dengan menggunakan dua tekhnik yaitu, tes dan non
tes.
1. Tes
Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang harus
dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-tugas
yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek
tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut adalah
indikator pencapaian kompetensi. Tes berasal dari bahasa Perancis yaitu “testum”
yang berarti piring untuk menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir,
batu, tanah, dan sebagainya. Kemudian diadopsi dalam psikologi dan pendidikan
untuk menjelaskan sebuah instrumen yang dikembangkan untuk dapat melihat dan
mengukur dan menemukan peserta tes yang memenuhi kriteria tertentu. Menurut
Ebster’s Collegiate (dalam Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan
atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu
atau kelompok (Endang Poerwanti, dkk. 2008).
8
Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk
memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap
butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap
benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dilihat dari tujuannya dalam bidang pendidikan,
tes dapat dibagi menjadi 7, antara lain sebagai berikut:
a. Tes Kecepatan (Speed Test)
Tes ini bertujuan untuk mengases peserta tes (testi) dalam hal kecepatan
berpikir atau keterampilan, baik yang bersifat spontanitas (logik) maupun hafalan
dan pemahaman dalam mata pelajaran yang telah dipelajarinya.
b. Tes Kemampuan (Power Test)
Tes ini bertujuan untuk mengases peserta tes dalam mengungkapkan
kemampuannya (dalam bidang tertentu) dengan tidak dibatasi secara ketat oleh
waktu yang disediakan.
c. Tes Hasil Belajar (Achivement Test)
Tes ini dimaksudkan untuk mengases hal yang telah diperoleh dalam
suatu kegiatan seperti Tes Hasil Belajar (THB), tes harian (formatif) dan tes akhir
semester (sumatif). Tes ini bertujuan untuk mengases hasil belajar setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran dalam suatu kurun waktu tertentu.
d. Tes Kemajuan Belajar (Gains/Achivement Test)
Tes kemajuan belajar disebut juga dengan tes perolehan. Tes ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi awal testi sebelum pembelajaran dan
kondisi akhir testi setelah pembelajaran. Untuk mengetahui kondisi awal testi
digunakan pre-tes dan kondisi akhir post-tes.
e. Tes Diagnostik (Diagnostic Test)
Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk mendiagnosis atau
mengidentifikasi kesukaran-kesukaran dalam belajar, mendeteksi faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya kesukaran belajar, dan menetapkan cara mengatasi
kesukaran atau kesulitan belajar tersebut, seperti tes diagnostik matematika, tes
diagnostik IPA.
9
f. Tes Formatif
Tes formatif adalah tes hasil belajar yang digunakan untuk mengetahui
sejauh mana kemajuan belajar yang telah dicapai peserta didik dalam suatu
program pembelajaran tertentu seperti tes harian, ulangan harian.
g. Tes Sumatif
Istilah sumatif berasal dari kata sum yang berarti jumlah. Dengan
demikian tes sumatif berarti tes yang ditujukan untuk mengetahui penguasaan
peserta didik terhadap sekumpulan materi pelajaran (pokok bahasan) yang telah
dipelajari seperti UAN (Ujian Akhir Nasional), THB.
Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Ada instrumen butir-butir soal
apabila cara pengukurannya menggunakan tes, apabila pengukurannya dengan
cara mengamati atau mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar
pengamatan atau observasi, pengukuran dengan cara/teknik skala sikap akan
menggunakan instrumen butir-butir pernyataan.
Instrumen sebagai alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan
pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid,
artinya instrumen ini adalah instrumen yang dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur. Menurut Arikunto, S dalam Wardani, dkk (2010, 4.30) langkah-langkah
yang harus dilalui dalam menyusun instrumen adalah:
1. Merumuskan tujuan. Contoh tujuan menyusun angket untuk mengumpulkan data tentang besarnya minat belajar dengan modul.
2. Membuat kisi-kisi. Membuat kisi-kisi yang mencanangkan tentang
perincian SK/KD dan indikator dan jenis instrumen yang akan digunakan
untuk mengukur setiap indikator yang bersangkutan.
3. Membuat butir-butir instrumen. Menyusun instrumen bukanlah pekerjaan
yang mudah. Bagi penilai pemula, tugas menyusun instrumen merupakan
pekerjaan yang membosankan dan menyebalkan. Sebelum memulai
pekerjaannya, mereka menganggap bahwa menyusun instrumen itu
mudah. Setelah tahu bahwa langkah awal adalah membuat kisi-kisi yang
10
menuntut kejelian yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau banyak di
antara penilai yang merasa kesulitan.
4. Menyunting instrumen. Langkah ini merupakan pekerjaan terakhir dari
penyusunan instrumen. Hal-hal yang dilakukan dalam penyuntingan
instrumen adalah:
a. Mengurutkan butir menurut sistematika yang dikehendaki penilai atau
pengawas untuk mempermudah pengolahan data.
b. Menuliskan petunjuk pengisian, identitas dan sebagainya.
c. Membuat pengantar permohonan pengisian bagi angket yang diberikan
kepada orang lain.
Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau matriks
pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau
pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan
tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini dimaksudkan sebagai pedoman merakit atau
menulis soal menjadi perangkat tes. Langkah-langkah untuk menyusun kisi-kisi
soal menurut Wardani, dkk (2010, 3.5-3.6) adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan sampel atau contoh materi yang akan ditulis
Butir soalnya hendaknya dilakukan dengan mengacu pada tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai.
2. Jenis asesmen yang akan digunakan.
Pemilihan jenis asesmen berhubungan erat dengan jumlah sampel materi
yang dapat diukur, tingkat kognitif yang akan diukur, jumlah peserta tes, serta
jumlah butir soal yang akan dibuat, dan juga sangat terkait dengan tujuan
pembelajaran yang akan di ukur.
3. Jenjang kemampuan berpikir atau perilaku yang ingin dicapai.
Setiap kompetensi mempunyai penekanan kemampuan yang berbeda
dalam mengembangkan proses berpikir peserta didik. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa kumpulan butir soal yang akan digunakan dalam tes, harus dapat
mengukur proses berpikir yang relevan dengan proses berpikir yang
dikembangkan selama proses pembelajaran. Dalam Standar Isi, kemampuan
11
berpikir yang akan diukur dapat dilihat pada "perilaku yang terdapat pada
rumusan kompetensi dasar atau pada standar kompetensi".
4. Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan
soal yang dikehendaki.
Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus memperhatikan
materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi dasar, dan standar
kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singkat dan jelas. Dalam
hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh
Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll
(2001). Revisi Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan
(C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi
(C6).
5. Sebaran tingkat kesukaran butir soal.
Dalam menentukan sebaran tingkat kesukaran butir soal dalam set soal,
harus mempertimbangkan interpretasi hasil tes mana yang akan dipergunakan,
interpretasi hasil tes lebih kepada ketercapaian tujuan yang telah
ditetapkan dalam pembelajaran.
6. Waktu atau durasi yang disediakan untuk pelaksanaan tes.
Lamanya waktu tes merupakan faktor pembatas yang harus diperhatikan
dalam membuat perencanaan tes. Waktu pelaksanaan tes, disesuaikan dengan
jenis tes yang ditentukan. Jika asesmen formatif yang akan diterapkan kepada
peserta didik, maka asesmen dilaksanakan setelah guru selesai mengajarkan satu
unit pembelajaran, atau diterapkan pada akhir setiap standar kompetensi ataupun
kompetensi dasar pada setiap satuan pembelajaran (RPP), atau dilakukan di
tengah-tengah perjalanan program pengajaran atau tengah semester.
7. Jumlah butir soal.
Penentuan jumlah butir soal yang tepat dalam satu kali tes tergantung pada
beberapa hal, antara lain tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, ragam soal yang
akan digunakan, proses berpikir yang ingin diukur, dan sebaran tingkat kesukaran
dalam set tes tersebut. Contoh format kisi-kisi soal untuk penilaian proses
pembelajaran dalam tabel ini.
12
Tabel 2.1
Format Kisi-Kisi Soal
Sekolah
:
Jumlah soal
:
Kelas
:
Bentuk soal/tes
:
Mapel
:
Pengajar/guru
:
Waktu
: …. Menit
Catatan : Bentuk soal objektif,
jika tujuan pembelajaran mengukur proses
berfikir rendah dan sedang, dan bentuk uraian, jika tujuan pembelajaran
mengukur proses berfikir tinggi (analisis, evaluasi dan kreasi). Ditentukan juga
oleh jumlah soal yang akan diujikan.
Pokok
Kompeten
Bahasan
si Dasar/
/
Bentuk
Tingkat
Proses Berfikir
Kesukaran
Soal
Sub
Indikator
Instrumen
Pokok
C
C C C C C Rend
Seda
Ting
Bahasan
1
2
ng
gi
3
4
Kolom proses berfikir
Catatan :
5 6
ah
dan tingkat kesukaran soal diisi dengan
jumlah soal
Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau
evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Stufflebeam
(Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran,
pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil
keputusan dalam menentukan alternatif keputusan (judgement alternative).
Sedangkan Tyler seperti dikutip oleh Mardapi, D. (2004) menyatakan bahwa
evaluasi merupakan proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah
tercapai. Menurut Wardani, dkk (2010, 2.8) bahwa evaluasi itu merupakan proses
13
untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara
membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria
sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan
sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran.
Kriteria ini dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan
seperti KKM, atau batas keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata
unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas
kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak
disebut dengan Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria
(PAP/PAK), sedang kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran
dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut
dengan Penilaian Acuan Norma/ Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR).
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan
minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh
satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok
mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas
ambang kompetensi.
2. Non Tes
Tekhnik nontes sangat penting dalam mengases peserta didik pada
ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan tekhnik tes yang lebih menekankan
pada aspek kognitif. Ada beberapa macam tekhnik non tes, yaitu: unjuk kerja
(performance), penugasan (proyek), tugas individu, tugas kelompok, laporan,
ujian praktik dan portofolio.
Dari keterangan di atas, penulis memutuskan dalam mengukur hasil
belajar siswa dengan menggunakan tekhnik tes, yaitu tes formatif yang
dilaksanakan dalam setiap akhir pertemuan atau akhir pelajaran.
b). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
14
Menurut Slameto (2003) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu:
1). Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu
(Intern), yang meliputi :
a. Faktor
biologis,
meliputi:
kesehatan,
gizi,
pendengaran
dan
penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan
mempengaruhi hasil prestasi belajar.
b. Faktor Psikologis, meliputi: intelegensi, minat dan motivasi serta
perhatian ingatan berfikir.
c. Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan
jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta
mengantuk. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya
kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk
mengahsilkan sesuatu akan hilang.
2). Faktor yang ada pada luar individu yang disebut dengan faktor Ekstern, yang
meliputi:
a. Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama
dan terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil
tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar.
b. Faktor Sekolah, meliputi : metode mengajar, kurikulum, hubungan
guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah.
c. Faktor Masyarakat, meliputi : bentuk kehidupan masyarakat sekitar
dapat mempengaruhi prsetasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa
adalah lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan
mendorong untuk lebih giat belajar.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar diatas dapat dikaji bahwa
belajar itu merupakan proses yang cukup kompleks. Aktivitas belajar individu
memang tidak selamanya menguntungkan. Kadang-kadang juga lancar, kadang
mudah menangkap apa yang dipelajari, kadang sulit mencerna mata pelajaran.
Dalam keadaan dimana anak didik/siswa dapat belajar sebagaimana mestinya,
itulah yang disebut belajar.
15
2.1.2. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning)
a. Pengertian
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran
kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya. Menurut Slavin (2009:103)
pembelajaran kooperatif adalah suatu solusi terhadap masalah meniadakan
kesempatan berinteraksi secara kooperatif dan tidak dangkal kepada para siswa
dari latar belakang etnik yang berbeda. Metode-metode kooperatif secara khusus
menggunakan kekuatan dari sekolah yang menghapuskan perbedaan-perbedaan
para siswa dari latar belakang ras etnik yang berbeda untuk meningkatkan
hubungan antar kelompok.
Anita Lie (2008:7) menyatakan bahwa suasana belajar kooperatif
menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan
penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh
dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa. Pembelajaran kooperatif
merupakan strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada pengelompokkan
siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompokkelompok kecil. Kepada siswa diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar
dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada
teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur,
siswa yang pandai membantu yang lebih lemah.
Agar terlaksana dengan baik strategi ini dilengkapi dengan LKS yang
berisi tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan siswa. Selama bekerja dalam
kelompok, setiap anggota kelompok berkesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya dan memberikan respon terhadap pendapat temannya.
Menurut Slavin (2009:103) bahwa ada empat prinsip pembelajaran
kooperatif jika kita ingin menerapkannya, yaitu:
16
1. Terjadinya saling ketergantungan secara positif (positive interdependence).
Siswa berkelompok, saling bekerja sama dan mereka menyadari bahwa
mereka saling membutuhkan satu sama lain.
2. Terbentuknya tanggung jawab personal (individual accountability).
Setiap anggota kelompok merasa bertanggung jawab untuk belajar dan
mengemukakan pendapatnya sebagai sumbang saran dalarn kelompok.
3. Terjadinya keseimbangan dan keputusan bersama dalam kelompok (equal
participation).
Dalam kelompok tidak hanya seorang atau orang tertentu saja yang
berperan, melainkan ada keseimbangan antarpersonal dalam kelompok. Interaksi
menyeluruh (simultaneous interaction).
Setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing secara
proporsional dan secara simultan mengerjakan tugas atau menjawab pertanyaan.
Pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada
pembelajaran IPA. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama
dalam kelompok-kelompok kecil saling membantu satu sama lain. Kelas disusun
dalarn kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 siswa, dengan kemampuan yang
heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan
siswa, jenis kelamin dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima
perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar
dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik,
memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, siswa diberi
lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk
diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai
ketuntasan.
17
Perlu ditekankan kepada siswa bahwa mereka belum boleh mengakhiri
diskusinya sebelum mereka yakin bahwa seluruh anggota timnya menyelesaikan
seluruh tugas. Siswa diminta menjelaskan jawabannya di Lembar Diskusi Siswa
(LDS). Apabila seorang siswa memiliki pertanyaan, teman satu kelompok diminta
untuk menjelaskan, sebelum menanyakan jawabannya kepada guru. Pada saat
siswa sedang bekerja dalam kelompok, guru berkeliling di antara anggota
kelompok, memberikan pujian dan mengamati bagaimana kelompok bekerja.
Pembelajaran kooperatif dapat membuat siswa menverbalisasi gagasan-gagasan
dan dapat mendorong munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep
secara aktif.
Pada saatnya, kepada siswa diberikan evaluasi dengan waktu yang cukup
untuk menyelesaikan tes yang diberikan. Diusahakan agar siswa tidak
bekerjasama pada saat mengikuti evaluasi, pada saat ini mereka harus
menunjukkan apa yang mereka pelajari sebagai individu.
Menurut Johnson (1994), terdapat lima unsur penting dalam belajar
kooperatif, yaitu seperti berikut ini:
1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antar siswa
Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja
sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak
akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa
bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil
terhadap suksesnya kelompok.
2. Interaksi antar siswa yang semakin meningkat
Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antar siswa. Hal ini, terjadi
dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota
kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah
karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya
18
kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan
mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar
kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai masalah yang sedang
dipelajari bersama.
3. Tanggung jawab individual
Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa
tanggung jawab siswa dalam hal membantu siswa yang membutuhkan bantuan
dan bahwa siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja
teman sekelompoknya.
4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang
diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan
siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota
kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan
khusus.
5. Proses kelompok
Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses
kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan
mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
Bila dicermati, cooperative learning adalah suatu model pembelajaran
yang memungkinkan siswa dapat belajar bersama dengan tanggung jawab pada
diri sendiri maupun pada kelompok dengan berinteraksi secara langsung serta
mempunyai peluang sukses bersama.
Pembelajaran
kooperatif
merupakan
strategi
pembelajaran
yang
mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan
19
diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuan
dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada
siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatankegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran berpusat
pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta berdiskusi untuk
memecahkan masalah.
2.1.3. Metode Numbered Head Together (NHT)
a. Pengertian
Salah satu metode pembelajaran cooperative yang cukup banyak
diterapkan di sekolah-sekolah adalah Numbered Head Together (NHT), tidak
hanya itu saja, NHT juga banyak sekali digunakan sebagai penelitian tindakan
kelas (PTK). Apa dan bagaimana NHT itu? Bagaimana menerapkan dan apa saja
keunggulannya?
Numbered Head Together adalah suatu model pembelajaran yang lebih
mengedepankan kepada aktifitas siswa dalam mencari, mengolah dan melaporkan
informasi dari berbagai sumber dan akhirnya dipresentasikan di depan kelas
(Tryana, 2008). NHT pertama kali dikenalkan oleh Kagan, dkk (1993).
Metode NHT adalah bagian dari model pembelajaran cooperative
structural yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki agar para siswa
bekerja saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif.
Struktur tersebut dikembangkan sebagai bahan alternatif dari struktur kelas
tradisional seperti mengacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk
oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Suasana seperti ini
menimbulkan kegaduhan dalam kelas karena siswa saling berebut dalam
mendapatkan kesempatan untuk menjawab pertanyaan (Tryana, 2008).
Menurut Kagan (2007) model pembelajaran NHT ini secara tidak langsung
melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta
berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam
pembelajaran. Lalu seperti apa langkah-langkah dalam penerapan NHT?
20
Sintaks NHT dijelaskan sebagai berikut:
1. Penomoran
Penomoran adalah hal utama dalam NHT, dalam tahap ini guru membagi
siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotkan 3-5 orang dan
memberi siswa nomor sehingga setiap siswa dalam tim mempunyai nomor
berbeda sesuai dengan jumlah siswa dalam kelompok.
2. Pengajuan pertanyaan.
Langkah berikutnya adalah pengajuan pertanyaan, guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan yang diberikan dapat diambil dari materi
pembelajaran yang memang sedang dipelajari, dalam membuat pertanyaan
usahakan dapat bervariasi dari yang spesifik sehingga bersifat umum dan dengan
tingkat kesulitan bervariasi pula.
3. Berpikir bersama
Setelah mendapat pertanyaan dari guru siswa berpikir bersama untuk
menemukan jawaban dan menjelaskan jawaban kepada anggota dalam timnya
sehingga semua anggota mengetahui jawaban dari masing-masing pertanyaan.
4. Pemberian jawaban
Langkah terakhir yaitu guru menyebut salah satu nomor dan setiap siswa
dari tiap kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban untuk seluruh kelas, kemudian guru secara random memilih kelompok
yang harus menjawab pertanyaan tersebut selanjutrnya siswa yang nomornya
disebut guru dari kelompok tersebut mengangkat tangan dan berdiri untuk
menjawab pertanyaan. Kelompok lain yang bernomor sama menanggapi jawaban
tersebut.
b. Manfaat Pembelajaran dengan Model Numbered Head Together (NHT)
Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT
terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren dalam
Ibrahim (2000: 18), antara lain adalah :
a. Nilai kerja sama antar siswa lebih teruji
b. Kreativitas siswa termotivasi dan wawasan siswa menjadi
berkembang
21
c. Memotivasi siswa yang berkemampuan lemah untuk memahami
materi dengan bekerja secara antusias dalam kelompok
d. Meningkatkan kepercayaan diri
e. Meningkatkan prestasi
Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagaimana
dijelaskan oleh Hill dalam Tryana (2008) bahwa model NHT dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa, mampu memperdalam pamahaman siswa, menyenangkan
siswa dalam belajar, mengembangkan sikap positif siswa, mengembangkan sikap
kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu siswa, meningkatkan rasa
percaya diri siwa, mengembangkan rasa saling memiliki, serta mengembangkan
keterampilan untuk masa depan.
Kelebihan model Cooperative Learning tipe Numbered Heads together:
1. Setiap siswa menjadi siap semua.
2. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
3. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
4. Tidak ada siswa yang mendominasi dalam kelompok
Kelemahan model Cooperative Learning tipe Numbered Heads together:
1. Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
2. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
2.1.4. Media Gambar
a. Pengertian media gambar
Menurut Hamalik (1986:43) berpendapat bahwa “ Gambar adalah segala
sesuatu yang diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan
perasaan atau pikiran”. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:
329) “ Gambar adalah tiruan barang, binatang, tumbuhan dan sebagainya.”
22
Menurut Sadiman, Dkk (2003: 28-29): Media grafis visual sebagaimana
halnya media yang lain. Media grafis untuk menyalurkan pesan dari sumber ke
penerima pesan. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang
akan disampikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual. Simbolsimbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampian pesan dapat
berhasil dan efisien.
Selain fungsi umum tersebut, secara khusus gambar berfungsi pula untuk
menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta
yang mungkin cepat akan dilupakan atau diabaikan tidak digambarkan. Gambar
termasuk media yang relatif mudah ditinjau dari segi biayanya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa media gambar adalah segala sesuatu yang
diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi dengan maksud untuk
mempermudah dalam penyampaian pesan sehingga penyampaian pesan dapat
berhasil dengan baik dan efisien.
b. Fungsi media gambar
Menurut Mc. Luhan dalam Sadiman (1984) mengemukakan fungsi media
gambar memiliki 4 fungsi, diantaranya:
1. Sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang
lebih aktif.
2. Bagian integral dari keseluruhan situasi mengajar.
3. Meletakkan dasar-dasar yang konkret dari konsep yang abstrak sehingga
dapat mengurangi pemahaman yang bersifat verbalisme.
4. Membangkitkan motivasi belajar peserta didik serta mempertinggi
keinginan peserta didik untuk belajar.
c. Prinsip penggunaan media gambar
Penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran akan
memberi kontribusi terhadap efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran.
23
Berbagai hasil penelitian pada intinya menyatakan bahwa berbagai macam media
pembelajaran memberikan bantuan sangat besar kepada peserta didik dalam
proses pembelajaran. Namun demikian peran tenaga pengajar itu sendiri juga
menentukan terhadap efektivitas penggunaan media dalam pembelajaran. Peran
tersebut tercermin dari kemampuannya dalam memilih media yang digunakan.
Hamalik (1994) menjelaskan bahwa penggunaan media pembelajaran
dalam proses pembelajaran perlu mempertimbangkan beberapa prinsip, yaitu:
1. Tidak ada satu media pun yang paling baik untuk semua tujuan. Suatu
media hanya cocok untuk tujuan pembelajaran tertentu, tetapi mungkin
tidak cocok untuk pembelajaran yang lain.
2. Media adalah bagian integral dari proses pembelajaran. Hal ini berarti
bahwa media bukan hanya sekedar alat bantu mengajar guru saja, tetapi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
Penetapan suatu media haruslah sesuai dengan komponen lain dalam
perancangan pembelajaran. Tanpa alat bantu mengajar mungkin
pembelajaran tetap dapat berlangsung, tetapi tanpa media itu tidak akan
terjadi.
3. Media apapun yang hendak digunakan, sasaran akhirnya adalah untuk
memudahkan belajar peserta didik. Kemudahan belajar peserta didik
haruslah dijadikan acuan utama pemilihan dan penggunaan suatu media.
4. Penggunaan berbagai media dalam satu kegiatan pembelajaran bukan
hanya sekedar selingan/pengisi waktu atau hiburan, melainkan mempunyai
tujuan yang menyatu dengan pembelajaran yang berlangsung.
5. Pemilihan media hendaknya objektif, yaitu didasarkan
pada tujuan
pembelajaran, tidak didasarkan pada kesenangan pribadi tenaga pengajar.
6. Penggunaan beberapa media sekaligus akan dapat membingungkan peserta
didik. Penggunaan multi media tidak berarti menggunakan media yang
banyak sekaligus, tetapi media tertentu dipilih untuk tujuan tertentu dan
media yang lain untuk tujuan yang lain pula.
7. Kebaikan dan kekurangan media tidak tergantung pada kekonkritan dan
keabstrakannya saja. Media yang konkrit wujudnya, mungkin sukar untuk
24
dipahami karena rumitnya, tetapi media yang abstrak dapat pula
memberikan pengertian yang tepat.
d. Prinsip pembuatan media gambar
Prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penggunaan media pada
setia kegiatan belajar mengajar adaalah bahwa media digunakan dan diarahkan
untuk mempermudah siswa belajar dalam upaya memahami ateri pelajaran.
Dengan demikian, penggunaan media harus dipandang dari sudut kebutuhan
siswa. Hal ini perlu ditekankan sebab sering media dipersiapkan hanya dilihat dari
sudut kepentingan guru. Contohnya, oleh karena guru kurang menguasai bahan
pelajaran yang akan diajarkan, maka guru persiapkan media OHP (Over Head
Proyektor), dan oleh sebab OHP digunakan untuk kepentingan guru, maka
transparansi
tidak
didesain
dengan
menggunakan
prinsip-prinsip
media
pembelajaran, melainkan seluruh pesan yang ingin disampaikan dituliskan pada
transparan hingga menyerupai koran.
Kejadian lain yang sering terjadi adalah ketika guru menggunakan media
film atau melakukan karyawisata. Oleh karena media digunakan tidak diarahkan
untuk mempermudah belajar, maka aik film maupun karyawisata sering hanya
dijadikan sebagai media hiburan saja.
Menurut Sadiman (2003) mengemukakan agar media pembelajaran benarbenar digunakan untuk membelajarkan siswa, maka ada sejumlah prinsip yang
harus diperhatikan, diantaranya:
1. Media yang akan digunakan oleh guru harus sesuai dan diarahkan untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Media tidak digunakan sebagai alat hiburan, atau tidak semata-mata
dimanfaatkan untuk mempermudah guru menyampaikan materi, akan tetapi
benar-benar untuk membantu siswa belajar sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
25
2. Media yang akan digunakan harus sesuai dengan materi pembelajaran.
Sesuai dengan materi pembelajaran. Media yang akan digunakan harus
sesuai
dengan
kompleksitas
materi
pembelajaran.
Contohnya
untuk
membelajarkan siswa memahami pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia,
maka guru perlu mempersiapkan semacam grafik yang mencerminkan
pertumbuhan itu.
3. Media pembelajaran harus sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kondisi
siswa.
Siswa yang memiliki kemampuan mendengarkan yang kurang baik, akan
sulit memahami pelajaran manakala digunakan media yang bersifat auditif.
Demikian juga sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan penglihatan yang
kurang. Akan sulit menangkap bahan pemebelajaran yang disajikan melalui media
visual. Setiap siswa memiliki kemampuan dan gaya yang berbeda. Guru perlu
memerhatikan setiap kemampuan dan gaya tersebut.
4. Media yang akan diguanakan harus memerhatikan efektivitas dan efisiensi.
Media yang memerlukan peralatan yang mahal belum tentu efektif untuk
mencapai tujuan tertentu. Demikian juga media yang sangat sederhana belum
tentu tidak memiliki nilai. Setiap media yag dirancang guru perlu memerhatiakan
efektivitas penggunanya.
5. Media yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan guru dalam
mengoperasikannya.
Sering media yang kompleks terurama media-media mutakhir seperti
media computer, LCD, dan media elektronik lainnya memerlukan kemampuan
khusus dlam mengoperasikannya. Media secanggih apapun tidak akan bisa
menolong tanpa kemampuan teknis mengoperasikan dan memanfaatkan media
yang akan digunakan. Hal ini perlu ditekankan, sebab sering guru melakukan
kesalahan-kesalahan yang prinsip dalam menggunakan media pembelajaran yang
pada akhirnya penggunaan media bukan menambah kemudahan siswa belajar,
malah sebaliknya mempersulit siswa.
26
2.1.5. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kajian (pembelajaran) yang pokokpokoknya berkaitan langsung dengan organisasi dan perkembangan masyarakat.
Seperti yang disimpulkan Tjipto Sumandi (2009) dalam standar penilaian buku
pelajaran pengetahuan sosial bahwa pengetahuan sosial merupakan kajian yang
selalu berkenaan dengan kehidupan nyata di masyarakat, yaitu kegiatan usaha
yang dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain,
pengetahuan ssosial merupakan usaha mempelajari, menelaah, dan mengkaji
kehidupan sosial menusia di muka bumi ini. Oleh karena itu pengetahuan sosial
merupakan pengetahuan praktis yang dapat diajarkan sejak tingkat sekolah dasar
hingga perguruan tinggi.
Dikemukakan
juga
oleh
Tjipto
Sumandi
(2009)
bahwa
tujuan
pembelajaran pengetahuan sosial:
a. Mengembangkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi,
sejarah,
kewarganegaraan
melalui
pendekatan
paedagogis
dan
psikologis.
b. Mengembangkan kemampuan berpikir dan kreatif, inkuiri, memecahkan
masalah, dan keterampilan sosial.
c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
d. Meningkatkan
kemampuan
bekerjasama
dan
kompetensi
dalam
masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.
Dari uraian diatas dapat dikatan bahwa pengetahuan sosial berfungsi untuk
mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa agar dapat
menganalisa keadaan sosial masyarakatnya yang direfleksikan dalam kehidupan
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
27
Tabel 2.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas V Semester II
Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial
Stándar Kompetensi
2.
Menghargai
tokoh
peranan 2.1 Mendiskripsikan perjuangan para tokoh pejuang
pejuang
masyarakat
Kompetensi Dasar
dan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang
dalam
mempersiapkan
2.2 Menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan
dan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
2.3 Menghargai jasa dan peranan tokoh dalam
memproklamasikan kemerdekaan.
2.4
Menghargai
perjuangan
para
tokoh
mempertahankan kemerdekaan.
2.2. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Media
Gambar dalam Pembelajaran IPS
Upaya yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa
adalah memiliki model dan media pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi
yang akan diajarkan. Sebagai contoh, penerapan pembelajaran kooperatif NHT
dengan menggunakan media berupa gambar dalam mata pelajaran IPS. Jadi,
dengan adanya penerapan model dan media pembelajaran yang tepat diharapkan
agar siswa lebih berkonsentrasi dan aktif kembali terhadap kegiatan belajar baik
secara individu maupun dalam kelompok sehingga peningkatan hasil belajar pun
dapat tercapai secara maksimal.
2.3. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Jumiyati, Universitas Terbuka
dengan judul Penerapan Model NHT Dalam Pembelajaran IPS Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa Kelas V SDN Kedondong 3 Kec. Gajah
Kab. Demak yang menyimpulkan bahwa melalui model pembelajaran kooperatif
dalam
28
tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV dalam pembelajaran
IPS pokok Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan.
Dapat dilihat dari kondisi awal atau pra siklus siswa yang nilainya diatas
KKM terdapat 16 siswa (67%). Siklus I menerapkan model NHT terjadi
peningkatan signifikan yaitu terdapat 18 siswa yang di atas KKM (75%) dan 9
siswa (25%) yang belum memenuhi KKM yang ditetapkan. Kemudian siklus II
terjadi peningkatan yaitu 21 (87%) siswa yang sudah memenuhi KKM dan 3
(13%) yang belum memenuhi KKM.
2.4. Kerangka Berpikir
Dalam meningkatkan hasil belajar siswa, adanya variasi model
pembelajaran dan pemanfaatan media sangat besar pengaruhnya dalam proses
belajar mengajar. Oleh karena itu, dimungkinkan dengan adanya variasi model
pembelajaran dan pemanfaatan media yang maksimal hasil belajar siswa akan
meningkat lebih baik dibanding dengan proses belajar mengajar yang monoton.
Penelitian ini mengarah pada mata pelajaran IPS. Pada awalnya guru
hanya menggunakan cara mengajar yang klasikal (ceramah) dan tidak
memanfaatkan media pembelajaran yang ada, maka salah satu akibat yang terjadi
adalah hasil belajar siswa masih rendah. Dengan menggunakan pembelajaran
kooperatif tipe NHT dan pemanfaatan media gambar diharapkan akan
meningkatkan hasil belajar siswa.
Kelas V
Guru mengajar secara
klasikal (ceramah) dan
belum memanfaatkan
media yang ada
TINDAKAN
Guru mengajar dengan
menggunakan model
pembelajaran tipe NHT
dan memanfaatkan media
gambar
Siswa
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Hasil belajar siswa
masih rendah
Terjadinya
perubahan hasil
belajar yang
dialami siswa yang
meningkat
29
2.5. Hipotesis Tindakan
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto,
2002:62). Maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah Penggunaan Pembelajaran
Kooperatif tipe NHT dan pemanfaatan media gambar pada mata pelajaran IPS,
hasil belajar siswa kelas V SDN Sumogawe 03 dapat meningkat.
Download