BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hak

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Hak asasi merupakan sesuatu yang inheren, tidak dapat dicabut, dan
universal. Seluruh manusia dilahirkan bebas serta memiliki hak dan martabat yang
sama. Enam puluh tahun pasca hal ini diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, ternyata masih banyak perempuan masih memperjuangkan hak
dasar mereka setiap harinya. Perempuan tidak selalu bisa memiliki kesempatan
dan kemampuan untuk mengakses ataupun memperjuangkan hak mereka seperti
yang dimiliki oleh laki-laki. Mereka masih harus berjuang untuk hidup dengan
aman, memperoleh penghidupan yang layak dan memadahi, dimana mereka
dirugikan maupun mengalami kekerasan karena gender mereka. Hal ini
disebabkan oleh struktur sosial, tradisi, stereotip, dan aturan bagi perempuan
dalam lingkungan mereka.
Itu sebabnya perlu dukungan dari hukum dan peraturan sehingga
persamaan gender ini dapat dijalankan. Keberadaan peraturan yang mengikat dari
negara sangat membantu meningkatkan perlindungan terhadap perempuan. Untuk
itu peran aktif dari dunia internasional, negara baik melalui pemerintah baik pusat
maupun daerah, para penegak hukum, masyarakat, maupun keluarga sangat
dibutuhkan demi terciptanya persamaan hak tanpa adanya diskriminasi gender.
Namun apa jadinya apabila hukum dan peraturan yang dibuat justru membuat
posisi perempuan semakin rentan? Fenomena yang dialami oleh perempuan Aceh
akan menjadi suatu kajian yang menarik untuk diteliti, dimana peraturan dan
hukum yang dibuat pasca Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa pada tahun
1999, justru menjadi bumerang bagi perempuan Aceh.
Aceh adalah propinsi yang kaya akan sumber daya alam dan merupakan
salah satu dari propinsi terkaya di Indonesia. Nangroe Aceh Darussalam atau
Aceh merupakan provinsi yang memberikan kontribusi besar terhadap pemerintah
Indonesia berupa sumber daya alam mineral LNG dan minyak bumi. Namun
kebijakan pemerintah akan distribusi hasil sumber daya alam, dianggap banyak
menuai kekecewaan bagi masyarakat Aceh dan bahkan dianggap tidak berpihak
bagi masyarakat Aceh sendiri. Eksploitasi terhadap sumber daya alam yang tidak
memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh ini telah
menjadi penyebab utama konflik Aceh selama 30 tahun.
Konflik antara RI-GAM merupakan konflik yang berkepanjangan.
Dengan dukungan dari pemimpin GAM yang berada di Swedia, pada sekitar
tahun 1980-an GAM menguat. Hingga pada tahun 1989 sampai dengan Agustus
1998, Presiden Suharto memberlakukan Daerah Operasi Militer atau yang
terkenal dengan sebutan DOM. Operasi militer yang diluncurkan untuk melawan
gerakan separatis Aceh ini disinyalir sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Baik militer Indonesia maupun tentara GAM sama-sama melakukan pelanggaran
hak asasi manusia yang sangat berat seperti eksekusi sewenang-wenang,
penculikan, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan dan pembakaran desa 1.
Dengan adanya penetapan DOM ini, semakin memperburuk catatan hubungan
antara pemerintah pusat dengan masyarakat Aceh dan juga GAM 2.
Pasca lengsernya Soeharto sebagai presiden RI pada tahun 1998, status
Daerah Operasi Militer di Aceh dicabut. Namun demikian, ini merupakan salah
satu pencapaian terburuk dari Indonesia dalam perlindungan hak asasi manusia.
Penganiayaan dan pelanggaran HAM di Aceh menjadi sorotan publik terutama.
Kedua pihak baik pemerintah Indonesia maupun GAM, telah melanggar hukum
kemanusiaan internasional atas pelanggaran berat hak asasi manusia.
Seiring dengan penegakan demokrasi melalui desentralisasi sekaligus
untuk meredakan gejolak disintegrasi Aceh dari Indonesia, maka pada tahun 1999
melalui UU No 44 Tahun 1999 pemerintah Indonesia memberikan kewenangan
bagi Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah melalui otonomi daerah
1
“Indonesia: "Shock therapy": Restoring order in Aceh 1989-1993”, Amnesty International
(daring), 23 Juli 1993, https://www.amnesty.org/en/library/info/ASA21/007/1993/en (diakses
pada tanggal 25 Juli 2015)
2
“Pemasok Senjata ke GAM dari Yon Armed 7”, 7 Maret 2000,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/01/0475.html (diakses pada tanggal 23 Juli 2015)
istimewa. UU No 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh ini sesuai dengan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 18 B
ayat (1) dimana negara mengakui keistimewaan masyarakat di suatu daerah:
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang.”
Melalui UU No 44 Tahun 1999 ini juga secara detail menyatakan Aceh
memperoleh hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat, pendidikan
dan mengakui peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah 3. Dengan kata lain
Pemerintah Daerah diberikan wewenang untuk menciptakan peraturan lokal.
Posisi Keistimewaan Aceh diperkuat lagi dengan penerbitan UU No 18 tahun
2001 yaitu tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejak Aceh menyandang status istimewa, ada lima peraturan daerah atau
Qanun4 yang diterbitkan antara lain Qanun No. 11/2002 tentang penerapan
Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah), dan penyebaran
(syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami; Qanun No. 12/2003
melarang konsumsi dan penjualan alkohol; Qanun No. 13/2003 melarang
perjudian; Qanun No. 14/2003 melarang “perbuatan bersunyi-sunyian”; dan
Qanun No. 7/2004 tentang pembayaran zakat. Namun, sebelum qanun-qanun ini
3
Terdapat dalam UU No 44 Tahun 1999, pasal 1 ayat 8 yang menyatakan bahwa “Keistimewaan
adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan
ulama dalam penetapan kebijakan Daerah”. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam UU No 11
Tahun 2006, pasal 16 ayat 2 menyatakan bahwa: “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan
Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari‟at Islam bagi
pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai
dengan syari‟at Islam;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh ...”
4
Penggunaan kata Qanun berlaku sejak ditetapkannya UU No 18 tahun 2001 mengenai Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu
pada pasal 1 butir 8 yang menyatakan bahwa “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah
Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.
ditetapkan, muncul berbagai laporan yang mengatakan adanya main hakim sendiri
dari beberapa kelompok dalam rangka penegakan peraturan Syariah. Para penegak
hukum Syariah ini melakukan razia jilbab pada perempuan-perempuan yang tidak
mengenakan busana muslim maupun yang mengenakan busana muslim namun
tidak sesuai dengan hukum Syariah, melakukan pelecehan verbal, menggunting
rambut, mengecat pakaian yang dianggap terlalu ketat, dan melakukan aksi
kekerasan lain terhadap perempuan-perempuan tersebut 5.
Pasca qanun-qanun atau peraturan daerah ditetapkan, frekuensi
terjadinya kejadian-kejadian semacam ini meningkat. Adanya perbedaan tafsir
dalam pelaksanaan qanun ini memunculkan banyak pelanggaran hak asasi
manusia terutama dua qanun yang sangat bertentangan dengan semangat
perlindungan hak asasi perempuan yaitu Qanun No. 11/2002 tentang penerapan
Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah), dan penyebaran
(syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami dan Qanun No. 14/2003
melarang “perbuatan bersunyi-sunyian” atau khalwat. Pada prakteknya, perbedaan
tafsir qanun ini sering muncul praktek main hakim sendiri dan memunculkan
aturan-aturan tidak tertulis atas nama pelaksanaan hukum Syariah.
Pelaksanaan qanun busana islami dan qanun khalwat yang dipandang
lebih mementingkan hak laki-laki dan tidak mempertimbangkan hak-hak
perempuan dan berkontribusi pada sejumlah kasus pelecehan, penganiayaan,
bahkan kekerasan terhadap perempuan. Selain pelaksanaan qanun-qanun ini,
muncul juga pelanggaran-pelanggaran lain yang mengatasnamakan penegakan
hukum Syariah seperti poligami, tidak diperbolehkannya perempuan menjadi
pemimpin, pelaksanaan sunat perempuan dan pembatasan bagi perempuan yang
belum menikah terhadap akses kesehatan reproduksi . Hal ini dikarenakan
5
Human Rights Watch, “Menegakkan Moralitas, Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh,
Indonesia”, Desember 2010, hal 16. Merujuk juga pada laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang perempuan yang menjadi korban kekerasan
razia jilbab oleh beberapa orang pemuda dengan menggunting rambut, menyiram cat dan
melakukan pelecehan seksual.
regulasi yang muncul lebih cenderung melakukan diskriminasi dan pembatasanpembatasan pada perempuan6.
Selain itu, hukuman yang ditimpakan kepada pelaku pelanggaran
terhadap Qanun busana dan Qanun larangan khalwat ini cenderung lebih berat
kepada perempuan. Hal ini berdasarkan data yang dimuat dalam majalah Gatra,
dimana seorang wanita diduga melanggar Qanun larangan khalwat karena duduk
berdua dengan lawan jenisnya. Setelah dia diduga melanggar Qanun tersebut, dia
mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh pihak pamong praja dan
wilayatul hisbah dalam proses pemeriksaan7. Hal lain yang tertuang dalam Qanun
larangan khalwat adalah adanya hukuman cambuk bagi pelaku yang diduga
berbuat mesum8, namun pada pelaksanaan hukuman, pelaku pelanggaran Qanun
khalwat akan diarak didepan umum atau juga disiram dengan air kotor.
Keseluruhan pelaksanaan hukuman ini dilakukan didepan umum dengan harapan
menimbulkan efek jera bagi para pelaku.
Dengan banyaknya jumlah pelanggaran hak asasi terhadap perempuan
pasca penetapan Aceh sebagai daerah istimewa ini, penulis akan secara lebih
6
“Perda syariat 'sumbang' kekerasan terhadap perempuan Aceh”, BBC, 5 Juni 2013,
Http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130605_acehwomen/shtml (diakses
pada 10 Oktober 2014)
Seperti yang tercantum pada Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam NO 11 tahun 2002
mengenai Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi‟ar Islam yang
memberlakukan ketentuan pidana seperti yang tercantum pada pasal 23 yaitu “Barang siapa yang
tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman
ta‟zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah”
7
Arsip
Gatra
(daring),
21
Desember
2010,
Http://arsip.gatra.com/2010-1221/versi_cetak.php?id=143697 (diakses pada 10 Oktober 2014)
8
Qanun Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam NO 14 tahun 2003 mengenai Khalwat
(Mesum) pada bab VII pasal 22 memberlakukan hukuman bagi para pelanggar Qanun yaitu:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan
„uqubat ta‟zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau
denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua
juta lima ratus ribu rupiah).
2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan
„uqubat ta‟zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima
juta rupiah).
3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah
ta‟zir.
Bahkan pada pasal 28 ayat yang ke 6, hukuman ini masih tetap akan diberlakukan untuk wanita
hamil dengan ketentuan “Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam
puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.”
detail membahas peraturan daerah atau qanun di Aceh dan penerapannya serta
pelanggaran-pelanggaran lain yang mengatasnamakan penegakan hukum Syariah,
lalu meninjaunya dari sudut pandang Konvensi internasional CEDAW yang telah
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984. Kajian tentang signifikansi dampak
pembuatan peraturan daerah dan implementasinya di masyarakat masih sangat
minim kita temukan di Indonesia. Seperti fenomena yang terjadi di Aceh ini,
dapat digunakan untuk melihat proses marginalisasi isu-isu perempuan ditengah
perang ideologi laki-laki serta dampaknya terhadap perlindungan hak asasi
perempuan. Kajian ini sangat penting untuk dijadikan acuan dalam merumuskan
strategi dan kebijakan dalam pembuatan peraturan daerah dalam kaitannya dengan
penghormatan hak asasi manusia. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk
menghindarkan kaum perempuan dari kekerasan struktural dan kultural yang
biasa terjadi pasca penetapan peraturan daerah.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Mengapa terjadi pelanggaran hak asasi perempuan pada pelaksanaan
hukum Syariah pasca penetapan otonomi khusus pada tahun 1999?
1.3
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan
penelusuran terhadap beberapa penelitian yang membahas mengenai budaya islam
dalam kaitannya dengan hak perempuan.
Beberapa jurnal dan penelitian tersebut adalah:
1.3.1. Jurnal Deniz Kandiyoti yang berjudul “Between The Hammer and The
Anvil: Post-Conflict Reconstruction, Islam and Women’s Right”.
Dalam jurnal ini Kandiyoti menganalisa bagaimana penyelesaian politik di
lingkungan yang beresiko tinggi dan tidak aman (seperti yang terjadi di daerah
konflik) dapat membahayakan komitmen internasional terhadap agenda mengenai
hak-hak perempuan. Fakta menyatakan bahwa sangat sedikit perhatian dicurahkan
pada dimensi gender untuk merekonstruksi di wilayah pasca konflik, padahal
keterlibatan perempuan sangat penting untuk mencapai perdamaian yang
berkelanjutan. Seperti pendapat Galtung dimana perdamaian tidak hanya terwujud
dengan ketiadaan kekerasan atau ketiadaan perang (negative peace) namun juga
berupa positive peace sebagai integration of human society9. Hal ini juga
diabadikan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 yang disahkan pada
Oktober 2000 yang menegaskan mengenai kebutuhan pengakuan gender dalam
usaha perdamaian.
Negara yang terkoyak oleh perang dan perselisihan internal diselesaikan
dengan senjata demokratisasi, perubahan rezim maupun monopoli kekerasan dari
aparat seperti tentara, polisi dan dinas keamanan. Penyelesaian situasi konflik dan
ketidakstabilan politik kronis dengan cara tersebut tidak akan mengakomodasi
agenda hak-hak perempuan sehingga positive peace tidak akan pernah terwujud.
Kandiyoti memandang bahwa hukum Islam dijadikan sebagai political
stakes dan menjadi masalah yang paling mendasar dari adanya peraturanperaturan yang dibuat oleh pemerintah pasca konflik justru akan merugikan
perempuan10. Hal ini terjadi karena bangunan negara mengacu pada kekuatan
sosial yang terbentuk oleh warisan politik dan kekuatan sosial yang cenderung
menolak partisipasi perempuan dalam masyarakat, politik dan kekuatan ekonomi.
Perempuan akhirnya menjadi kaum marginal yang berada diantara palu dan
landasan,
sehingga
solusi
hukum
yang
ditawarkan
oleh
kaum
yang
memperjuangkan persamaan gender akan bertentangan dengan „politik nyata‟ dari
lingkungan tersebut.
Tesis ini akan melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kandiyoti
sebelumnya. Namun berbeda dengan kondisi yang melatar belakangi konflik
dalam tesis ini, penelitian yang dilakukan oleh Kandiyoti mengambil kondisi yang
terjadi di negara-negara Muslim yang berkonflik seperti Afganistan dan Irak yang
memiliki banyak latar belakang yang sangat berbeda dengan penelitian dalam
tesis ini. Konflik Aceh yang akan menjadi objek dari penelitian ini berada di
9
Galtung, J. (1964). An Editorial. Journal for Peace Research, 1(1), 1-4
Deniz Kandiyoti (2007), “Between The Hammer and The Anvil: Post-Conflict Reconstruction,
Islam and Women’s Right”, Third World Quarterly vol 28, No 3
10
negara demokrasi ditambah lagi Indonesia telah meratifikasi CEDAW, yang
merupakan suatu instrumen internasional yang diadopsi oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan11. Indonesia yang merupakan salah satu dari
Negara Peserta Konvensi, telah meratifikasi CEDAW (Comittee on the
Elimination of Discrimination Againts Women ) melalui UU No. 7 tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan12.
1.3.2. Susan Blackburn dalam jurnal yang berjudul “Indonesian Women and
Political Islam”.
Dalam penelitiannya, Susan menggali lebih dalam bagaimana hubungan
antara perempuan dan politik Islam Indonesia. Perempuan diperlakukan adalah
suatu isu dimana kelompok Islam selalu bersikap defensif dalam menghadapi
kritik luar terhadap budaya dalam agama mereka seperti praktek poligami dan
pembatasan gerak bagi perempuan sehingga peran perempuan menjadi terbatas
merupakan bukti bahwa budaya ini telah keluar dari dunia modern 13.
Namun, dalam jurnalnya Susan membagi Islam kedalam 2 kelompok yaitu
radikal dan moderat. Menurutnya, islam moderat jauh lebih memberikan ruang
kepada partisipasi perempuan Islam. Berbeda dengan kelompok moderat, Susan
melihat bagaimana Islam radikal lebih menutup diri dari peran perempuan
terutama dalam bidang politik. Keberadaan dari partai politik berbasis Islam
radikal atau kelompok berbasis Islam yang berada di Indonesia menjadi
problematika tersendiri di Indonesia, karena kelompok-kelompok ini berusaha
untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan (policy-making) di Indonesia. Dalam
11
CEDAW mulai diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku
pada 3 Desember 1981. Lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan
Negara Peserta Konvensi. http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf
12
“Pernyataan Media tentang Peringatan 29 Tahun Ratifikasi CEDAW”, Komnas Perempuan
(daring), http://www.komnasperempuan.or.id/2013/07/pernyataan-media-tentang-peringatan-29tahun-ratifikasi-cedaw/ (diakses pada 17 Oktober 2010)
13
Susan Blackburn (2008), „Indonesian Women and Political Islam‟, Journal of Southeast Asian
Studies, Vol. 39, No. 1, pp. 83-105
doktrinnya, mereka menjanjikan kepada perempuan kenyamanan yang berbudi
luhur dan keamanan bagi dukungan dan pelindungan laki-laki terhadap anak
perempuan, istri maupun ibunya. Sehingga tidak heran, seperti didokumentasikan
oleh Saba Mahmood, bagaimana wanita Islam Indonesia mencari petunjuk
bagaimana hidup yang berbudi luhur sesuai dengan doktrin tersebut, dan hal ini
tercermin seperti dari busana Islam yang mereka kenakan.
Menjadi menarik ketika Susan melihat bagaimana Islam radikal berjuang
demi kemenangan global untuk agama mereka jauh melampaui negara mereka.
Bagaimana mereka menanamkan doktrin agama mereka dan berusaha
berpengaruh pada kehidupan politik sehingga mereka menempati tempat-tempat
strategis sebagai pengambil keputusan. Sehingga muncul pertanyaan apakah
meningkatnya pakaian „Islami‟ oleh perempuan Indonesia bisa menjadi tolak ukur
bahwa Islam radikal telah membuat terobosan.
Jurnal ini memang tidak membahas secara spesifik mengenai Islam radikal
yang berada di Aceh, dan apakah mereka benar-benar menutup pintu bagi peran
wanita Aceh untuk berkontribusi. Namun, jurnal ini sangat membantu untuk
melihat hubungan antara political Islam yang tercermin dalam kesepakatan yang
dibuat pasca konflik dan perempuan di Aceh.
1.4
KERANGKA KONSEPTUAL
1.4.1. Feminisme
Dunia internasional selalu digambarkan sebagai hubungan politik yang
beresiko dimana masing-masing negara memperjuangkan kepentingan mereka,
dan secara lebih jelas bahwa dominasi laki-laki bertindak untuk negara.
Pergeseran aktor yang terjadi pada abad inipun memperlihatkan dimana para
kelompok yang didominasi oleh laki-laki memperjuangkan kepentingan
kelompoknya. Bahkan ketika menempuh jalan damai dalam suatu konflik, para
aktor tetap berusaha untuk memperjuangkan hak kelompoknya. Mereka bertindak
berdasarkan cara pandang laki-laki.
Lalu yang menjadi pertanyaan menarik adalah dimanakah perempuan?
Apabila dibandingkan dengan laki-laki, perempuan adalah kelompok yang sangat
tidak diuntungkan didunia dan dianggap sebagai jenis kelamin kedua. Hegemoni
maskulinitas dikaitkan dengan otonomi, kedaulatan, objektifitas, kemampuan
logika, universalitas, dan dengan pola berpikir ini, untuk menjadi maskulin adalah
dengan tidak menjadi feminine, karena apabila tumbuh sisi femininitas nya, lakilaki akan kehilangan sisi maskulinitasnya. Pandangan ini sangat marak dalam
kehidupan masyarakat kita.
Penelitian
feminisme
mencoba
menyelidiki
bagaimana
sistem
internasional maupun sistem nasional ikut andil dalam subordinasi perempuan dan
kelompok marginal lainnya. Feminisme menyelidiki bagaimana struktur dan
proses global menghambat keamanan perempuan dan jenis kekuasaan yag ada
sehingga ketidak setaraan struktur gender terjadi. Seperti dalam buku Global
Gender Issue yang ditulis oleh Peterson dan Runyan, mengklaim bahwa kita
hidup dalam gendered world dimana nilai yang diasosiasikan sebagai maskulin
dinilai lebih tinggi dari pada feminine 14. Dengan mengetahui bagaimana struktur
itu terbentuk, memungkinkan kita untuk melihat bahwa apa yang terjadi atau apa
yang diterima begitu saja mengenai bagaimana dunia ini diatur, pada
kenyataannya adalah pengesahan pola-pola sosial tertentu yang ikut andil dalam
subordinasi kaum marginal seperti perempuan. Ini menjadi point awal dalam
memperkenalkan gender dalam hubungan international adalah seringnya
perdebatan mengenai basic inequality antara laki-laki dan perempuan dan
konsekuensinya seperti dalam ketidakseimbangan dalam dunia politik.
Pada tahun 1950an sampai dengan 1960an, pembangunan selalu
didasarkan pada ideologi Barat, sehingga tercipta suatu definisi negara-negara
yang baru saja merdeka bisa lepas landas menuju pertumbuhan ekonomi untuk
menopang diri sendiri adalah dengan bantuan Barat yang dibarengi dengan
penerapan ideologi Barat 15. Sangat sedikit literatur yang menaruh perhatian
14
Burchill, S. And Linklater,A.(1996) Teori-Teori Hubungan Internasional, Nusa Media:
Bandung.
15
Carlsnaes,W., Risse, T., and Simmons, B.A. (2004) Handbook of International Relations,
London: SAGE Publications
(bahkan
cenderugn
mengabaikan)
pada
kontribusi
perempuan
dalam
pembangunan. Untuk itu munculah feminisme liberal yang bertujuan membuat
perempuan terlihat dalam proses pembangunan tersebut.
Ester Boserup dalam bukunya yang berjudul Women’s Role in Economic
Development
yang
diterbitkan
pada
1970,
menyatakan
bahwa
model
pembangunan awal tidak hanya mengabaikan kontribusi perempuan tetapi juga
merancang proyek yang sering merugikan perempuan. Lalu pada perkembangan
selanjutnya, muncullah kritik dari kaum feminis terhadap kapitalisme yang justru
menggunakan perempuan sebagai tenaga kerja yang murah.
Feminisme liberal juga menyatakan bahwa perempuan memiliki hak yang
sama dalam hal berpolitik. Dalam struktur sosial, politik dan ekonomi yang
hierarkis, fakta mengakui mengenai kurangnya pemberdayaan perempuan16. Lakilaki yang lebih memiliki hak istimewa terutama dalam hak pilih, bisa menduduki
kursi di pemerintahan atau sebagai pengambil keputusan, namun tidak ada hak
untuk perempuan dalam berpolitik dan bernegara.. Hal ini menyebabkan negara
didominasi oleh kaum laki-laki yang terefleksi menjadi kepentingan yang bersifat
maskulin. Perempuan cenderung berada “didalam negara hanya sebatas sebagai
warga negara. Sehingga ada ketidaksetaraan perempuan dalam berpolitik dan
bernegara”. Maka muncullah gerakan feminis untuk memperjuangkan hak pilih
atau berpolitik, namun gerakan-gerakan ini bukan untuk memperjuangkan
perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dan memaksa
perempuan mencapai karakter maskulin, dan menjadikan karakter maskulin
sebagai standar netral umum agar perempuan setara dengan laki-laki. Akar
pandangan ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas.
Selain isu politik, ekonomi, sosial dan keterlibatan perempuan dalam
proses pembangunan, berkembang juga issue mengenai keamanan nasional yang
berbasis gender. Rebecca Grant mengklaim bahwa dasar asumsi realis mengenai
perilaku negara tergantung pada representasi laki-laki mengenai bagaimana
individu berfungsi dalam masyarakat. Hal ini juga berpengaruh pada perilaku
16
Rathgeber, Eva M. (1995) Gender and Development in Action, in Marianne H. Marchand and
Jane L. Parpart (eds), Feminism/Postmodernism/Development. London: Routledge.
negara dalam mengejar keamanan, yang tercermin dari kebijakan-kebijakan
keamanan nasional negara yang sering dilegitimasi dengan daya tarik pada
karakteristik maskulin yang hegemonik 17.
Namun disisi lain, berkembang mitos yang luas bahwa perang itu
dilakukan, terutama oleh laki-laki, untuk melindungi kelompok rentan, yang
mengarah pada perempuan dan anak-anak. Gagasan bahwa lelaki muda berperang
untuk melindungi kelompok lemah seperti perempuan dan anak-anak, telah
menjadi motivator penting dalam perekrutan pasukan militer. Kenyataannya,
terlepas dari mitos tersebut yang terjadi adalah perempuan dan anak-anak
merupakan bagian terbesar dari korban perang atau konflik dewasa ini.
Kaum feminis percaya bahwa dengan melihat dampak perang terhadap
perempuan, merupakan bukti dan telah mematahkan mitos bahwa perang
dilakukan untuk melindungi kaum rentan, dan justru mendukung legitimasi
perang dan kemustahilan perdamaian. Perempuan menurut kaum feminis, harus
dilibatkan aktif dalam rangka mewujudkan perdamaian. Merujuk pada karakter
feminin, banyak perempuan dalam gerakan perdamaian melihat diri mereka
berbeda dengan laki-laki. Seperti aksi yang dilakukan oleh para perempuan dalam
gerakan pemogokan untuk perdamaian di Amerika Serikat pada awal tahun
1960an dimana para perempuan menolak senjata nuklir, karena berpikir bahwa
perang nuklir justru akan menjadi ancaman terbesar bagi keluarga 18. Para
perempuan ini menentang gagasan bahwa perang itu adalah untuk melindungi
perempuan.
Para peneliti perdamaian seperti Betty Reardon juga menyerukan perlunya
nilai-nilai feminim dalam dunia politik 19. Ketika perempuan diberikan bagian
dalam hak pilih, diberi suara dan diijinkan untuk lebih banyak memperngaruhi
kebijakan, maka perdamaian akan tercipta. Ruddick juga percaya bahwa ada
17
Cohn, Carol (1993) Wars Wimps and Women: Talking Gender and Thinking War. In Miriam
Cooke and Angela Wollacott (eds), Gendering War Talk. Princeton: Princeton University Press.
18
Swerdlow, Amy (1990) Motherhood and the Subversion of the Military State: Women’s Strike
for Peace Confronts the House Committee on Un-America Ativities, in Jean Bethke Elshtain and
Sheila Tobias (eds), Women, Militarism and War: Essay in History. Politics and social Theory.
Savage: Rowman and Littlefield.
19
Reardon, Betty (1985) Sexism and The War System. New York: Teachers College Press.
hubungan antara perdamaian dengan perempuan, yang merupakan hasil dari
hubungan sosialisasi perempuan.
1.4.2. Hak asasi manusia
Hak asasi manusia adalah suatu jenis tuntutan khusus dalam masyarakat,
yang berhubungan dengan sifat kemanusiaan sehingga memungkinkan manusia
untuk hidup bebas dan bermartabat. Hak ini secara inheren melekat pada seluruh
umat manusia, tanpa memperdulikan kewarnegaraan, tempat tinggal, jenis
kelalmin, etnis, warna kulit, agama, bahasa ataupun status lain. Ciri-ciri penting
dan prinsip dalam hak asasi manusia adalah:
a. Universal
Prinsip universalitas berarti bahwa hak-hak tersebut dimiliki dan untuk
dinikmati oleh semua manusia tanpa ada pembedaan apapun, seperti ras, warna,
jenis kelamin, bahasa, agama, anutan politik dan lainnya, latar belakang bangsa
dan sosial, harta benda, status kelahiran dan status-status lainnya. Dengan kata
lain, hak asasi manusia adalah persamaan hak dan martabat semua manusia untuk
dinikmati dimanapun dan selama-lamanya. Hak asasi manusia diakui secara
internasional dan merupakan aturan dasar yang harus dijalankan bagi setiap
manusia dimanapun tanpa memandang perbedaan wilayah.
Paling tidak, setiap pemerintah harus mentaati dan memberlakukan
standar-standar hak asasi manusia yang telah diadopsi sebagai hukum
internasional. Pemerintah tidak memiliki kewenangan memutuskan hak apa yang
akan ditaati dan hak apa yang tidak akan ditaati. Dengan demikian, pendekatan
selektif (discretionary approach) dalam pemberlakukan hak asasi manusia
dianggap sebagai kegagalan negara memenuhi kewajibannya.
b. Tidak dapat dicabut
Hak tidak dapat dicabut/dibatalkan (inalienable); dengan kata lain, setiap
orang memiliki hak karena dia adalah manusia. Hak tidak dapat dbeli, dijual,
diwariskan, atau dinegosiasikan; artinya tidak dapat dihadiahkan, dibatalkan atau
dicabut. Hak asasi manusia sudah ada dan melekat pada setiap manusia tanpa
memandang status dalam suatu sistem budaya, hukum atau politik dimana dia
berada. Keberadaan hak asasi manusia tergantung pada adanya orang yang
bersangkutan, bukan pada konteks atau sistem dimana yang bersangkutan berada.
c. Tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung
Prinsip tidak dapat dipisah-pisahkan (indivisibility) dan interdependensi
hak asasi manusia berarti bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya saling terkait satu sama lain dan memiliki nilai kepentingan yang sama.
Kesemuanya membentuk suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan
(indivisible) dan seseorang akan dapat hidup layak dan bermartabat hanya jika
semua hak tersebut terjamin. Hal ini dimuat baik dalam hukum maupun kebijakan
internasional.
Pengetahuan tentang hak asasi manusia adalah penting karena setiap orang
memiliki tanggung jawab terhadap orang lain dan masyarakat. Hak asasi manusia
ini mencakup hak sipil dan politik, hak ekonomi dan sosial, hak individual, hak
kolektif dan hak untuk ikut serta dalam pembangunan. Perlindungan hak asasi
manusia ini akan memajukan kesejahteraan setiap orang dan prinsip-prinsip hak
asasi manusia ini dapat memajukan resolusi konflik seperti toleransi dan
kesetaraan.
HAM secara universal diekpresikan dan dijamin oleh undang-undang, baik
dalam bentuk perjanjian, hukum kebiasaan internasional, prinsip umum dan
sumber hukum internasional. Hukum HAM internasional juga mewajibkan setiap
negara untuk bertindak dengan cara tertentu atau menahan diri dari tindakan
tertentu dalam rangka mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar individu maupun kelompok.
Hukum HAM internasional pertama kali ditekankan dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, telah menegaskan dalam berbagai
konvensi internasional hak asasi manusia, deklarasi, dan resolusi. Adapun
instrumen yang akan dipergunakan untuk menganalisa kasus pelanggaran hak
terhadap perempuan pasca konflik Aceh ini adalah konvensi internasional tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
atau CEDAW mengkonteksualisasikan standar netral hak asasi manusia ke dalam
situasi perempuan. Berbeda dengan instrumen hak asasi manusia pada umumnya
yang menyatakan bahwa 'diskriminasi berdasarkan jenis kelamin' dalam arti
netral/umum, CEDAW menyatakan bahwa perempuan adalah kelompok yang
dirugikan karena tindak diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
CEDAW lebih memberikan perhatian pada adanya tekanan sosial dan
budaya pada perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, dan dengan demikian
memperluas aplikasi hak asasi manusia ke dalam ruang privat perempuan. Lebih
penting lagi, adalah ditunjukannya kaitan antara ruang publik dengan ruang privat
perempuan, dan lebih penting lagi ialah diberikannya tekanan pada kaitan antara
ruang publik dan ruang privat. Sumber dari dasar ideologi ketidaksetaraan
perempuan dalam keluarga, tempat kerja, dan dalam kehidupan publik adalah
konstruksi sosial, atau anggapan sosial dan budaya yang dibangun mengenai
kemampuan dan peran perempuan.
Selain menekankan pada kesetaraan laki-laki dan perempuan sehingga
tidak ada lagi pelanggaran hak dan penghargaan martabat perempuan, CEDAW
juga menegaskan terhadap pemberantasan apartheid, rasisme, diskriminasi ras,
kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan asing dan dominasi campur
tangan dalam urusan internal negara sehingga menjamin penikmatan hak-hak lakilaki dan perempuan20. Dan yang terpenting dari semua itu adalah CEDAW
menekankan peran serta aktif dari perempuan untuk perwujudan perdamaian dan
kesejahteraan atas dasar kesetaraan dengan laki-laki di segala bidang.
1.5
HIPOTESA
Pelanggaran hak asasi perempuan pasca penetapan otonomi khusus tahun
1999 terjadi karena adanya politisasi tubuh perempuan yang muncul pada
peraturan-peraturan yang muncul di daerah. Perempuan Aceh diberi peran
20
United Nations Children‟s Fund (UNICEF), Convention on the Elimination of all forms of
Discrimination Against Women Policy and Pratice, New York, 2011
tertentu, untuk bertindak maupun tidak bertindak dengan cara tertentu melalui
peraturan daerah yang muncul sehingga tercapailah tujuan dari pihak yang
memiliki kuasa. Dengan demikian perempuan dijadikan sebagai alat politik dan
nasionalisme. Tubuh perempuan juga digunakan sebagai alat kontrol sosial saat
moral panic dialami oleh masyarakat Aceh.
Penetapan peran perempuan yang muncul pada peraturan-peraturan ini
merupakan pembatasan dan pemarginalan perempuan yang dalam hal ini sangat
bertentangan dengan semangat perlindungan hak asasi perempuan internasional.
Pertentangan ini terjadi karena aturan yang diberlakukan dalam hukum tersebut
melanggar pasal-pasal yang tertuang dalam Convention on the Elimination of All
Form of Discrimination Against Women (CEDAW).
1.6
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena penulis
ingin lebih melihat kasus yang terjadi di Aceh ini secara lebih mendalam. Dengan
metode ini penulis akan memperlihatkan bahwa pemberlakuan hukum Syariah
yang terjadi pasca penyelenggaraan keistimewaan Aceh ini mengabaikan hak
asasi perempuan dan melanggar pasal-pasal dalam CEDAW. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu:
1.6.1. Pre Empiric Research dengan literatur review.
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang akan digunakan adalah
penelitian eksplanatif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini penulis
akan menggali lebih dalam bagaimana kondisi Aceh pada waktu konflik dimana
ada dua kekuatan yang berkuasa di Aceh yaitu kekuatan militer pemerintah
Indonesia dan kekuatan patriarkal Islam dibawah Gerakan
Aceh Merdeka
(GAM). Dalam ranah kekuatan maskulin inilah perempuan Aceh bertahan hidup.
Penulis selanjutnya akan melihat bagaimana posisi wanita dalam hukum Syariah
terutama pada masa rekonstruksi pasca konflik.
Untuk itu peneliti akan memperdalam lagi pengamatan pada aturan dalam
hukum Syariah dan membandingkannya dengan pasal-pasal yang ada dalam
CEDAW. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang ada dari
peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah melalui sebuah literatur review dari
dokumen yang diterbitkan oleh organisasi hak asasi manusia, jurnal dan
organisasi wanita lokal mengenai informasi tindakan kekerasan pada perempuan
pasca pelaksanaan peraturan daerah. Hal ini juga dilakukan untuk membantu
persiapan field interviews di Aceh.
1.6.2. Field interviews
Field interviews dilakukan dengan memawancarai beberapa narasumber
kunci dari woman‟s NGOs, organisasi internasional, pemerintah dan institusi
penegakan hukum dan beberapa media. Interview ini akan menghasilkan
informasi mengenai status wanita dibawah hukum Syariah (hukum Islam yang
berlaku di Aceh). Beberapa wanita yang diwawancarai juga merupakan warga
sipil yang menjadi korban atas pelaksanaan hukum Syariah tersebut.
1.7
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam penelitian ini akan disusun sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi pelanggaran hak asasi
perempuan yang terjadi di Aceh pasca penetapan Aceh sebagai Daerah Istimewa
pada tahun 1999. Penulis tertarik untuk melihat lebih dalam hukum Syariah dan
penerapannya ini karena sarat akan pelanggaran hak perempuan terutama bila
ditinjau dari konvensi internasional. Penulis merumuskannya dalam sebuah
pertanyaan penelitian yang nantinya akan menjadi panduan penulis dalam
melakukan penelitian.
Dalam bab ini penulis juga akan meninjau beberapa penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya yaitu jurnal yang ditulis oleh Deniz Kandiyoti dan
Susan Blackburn dalam jurnal yang berjudul “Indonesian Women and Political
Islam”. Penulis memaparkan kerangka konseptual, hipotesa, dan metode
penelitian yang mencakup teknik pengumpulan data serta sistematika penelitian.
Bab II merupakan bab yang menyajikan gambaran lengkap mengenai
hukum Syariah yang diberlakukan di Aceh, mulai dari latar belakang,
pelaksanaan dan penerapan hukuman bagi para pelanggar hukum tersebut.
Penulis dalam bab ini akan memetakan daerah yang menerapkan hukum Syariah
serta jumlah pelanggar hukum untuk tiap-tiap Qanun. Dengan demikian, kita
bisa melihat bagaimana pelanggaran hak asasi ini terjadi saat penetapan aturan
yang sarat akan diskriminasi perempuan hingga penerapannya yang lebih
berpihak kepada laki-laki.
Bab III merupakan bab yang membahas mengenai perlindungan hak asasi
manusia internasional berdasarkan Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Karena
Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional CEDAW, berarti Indonesia
sepakat mematuhi aturan internasional untuk melindungi hak asasi perempuan di
Indonesia.
Bab IV merupakan analisa dibalik fenomena munculnya aturan-aturan
yang dibuat mendiskriminasi perempuan di daerah pasca otonomi. Pada bab ini
kita akan melihat bagaimana tubuh perempuan dipolitisasi yaitu dengan
menggunakannya sebagai alat politik untuk menggalang nasionalisme Aceh dan
sebagi alat kontrol sosial. Adanya politisasi ini berujung pada pelanggaran ham
yang dilakukan pemerintah terhadap perempuan melalui peraturan dan
perundang-undangan.
Bab V merupakan kesimpulan dari penelitian ini.
Download