Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Bangunan Gedung

advertisement
WALIKOTA PALEMBANG
PROVINSI SUMATERA SELATAN
PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG
NOMOR 1 TAHUN 2017
TENTANG
BANGUNAN GEDUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PALEMBANG,
Menimbang:
Mengingat:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 109 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Bangunan Gedung;
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan
Daerah Tingkat II dan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1821);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014
tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
8398, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4532);
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan
Gedung (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016
Nomor 276);
Dengan…………..
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG
dan
WALIKOTA PALEMBANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Kota adalah Kota Palembang
2. Pemerintah Kota adalah Walikota Palembang dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Walikota adalah Walikota Palembang
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palembang, yang
selanjutnya disingkat DPRD adalah adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
5. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam
tanah dan/atau air yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya, maupun kegiatan khusus.
7. Bangunan Gedung Umum adalah Bangunan Gedung yang
fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi
keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.
8. Bangunan Gedung Tertentu adalah Bangunan Gedung yang
digunakan untuk kepentingan umum dan Bangunan Gedung
fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau
pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau
memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan
dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.
9. Bangunan Gedung adat merupakan Bangunan Gedung yang
didirikan menggunakan kaidah/norma adat masyarakat
setempat sesuai dengan budaya dan sistem nilai yang berlaku,
untuk dimanfaatkan sebagai wadah kegiatan adat.
10. Bangunan
Gedung
dengan
gaya/langgam
tradisional
merupakan Bangunan Gedung yang didirikan menggunakan
kaidah/norma tradisional masyarakat setempat sesuai dengan
budaya yang diwariskan secara turun temurun, untuk
dimanfaatkan sebagai wadah kegiatan masyarakat sehari-hari
selain dari kegiatan adat.
11. Prasarana……..
11. Prasarana dan sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas
kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang
mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi gedung.
12. Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi
Bangunan
Gedung
berdasarkan
pemenuhan
tingkat
persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.
13. Keterangan
Rencana
Kota
adalah
informasi
tentang
persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan
oleh Pemerintah Kota pada lokasi tertentu.
14. Izin Mendirikan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat
IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
kepada Pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru,
mengubah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat
Bangunan Gedung sesuai dengan persyaratan administratif
dan persyaratan teknis.
15. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung adalah
permohonan yang dilakukan Pemilik Bangunan Gedung kepada
Pemerintah Daerah untukmendapatkan izin mendirikan
Bangunan Gedung.
16. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disingkat GSB
adalah garis maya pada persil atau tapak sebagai batas
minimum diperkenankannya didirikan Bangunan Gedung,
dihitung dari garis sempadan jalan, tepi sungai atau tepi pantai
atau jaringan tegangan tinggi atau garis sempadan pagar atau
batas persil atau tapak.
17. Ruang Milik Jalan yang selanjutnya disebut RUMIJA adalah
ruas sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi
tertentu yang di kuasai oleh pembina jalan guna peruntukan
daerah manfaat jalan dan pelebaran jalan maupun
menambahkan jalur lalu lintas di kemudian hari serta
kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
18. Koefisien Dasar Bangunan, yang selanjutnya disingkat KDB
adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh
lantai
dasar
Bangunan
Gedung
dan
luas
lahan/tanahperpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan rencana tatabangunan dan
lingkungan.
19. Koefisien Lantai Bangunan, yang selanjutnya disingkat KLB
adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh
lantai Bangunan Gedung dan luas tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan.
20. Koefisien Daerah Hijau, yang selanjutnya disingkat KDH adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang
terbuka di luar Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi
pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan.
21. Koefisien Tapak Basement, yang selanjutnya disingkat KTB
adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak
basement
dan
luas
lahan/tanah
perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan.
22. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan, yang selanjutnya disingkat
RTHP adalah ruang terbuka hijau yang berhubungan langsung
dengan bangunan gedung dan terletak pada persil yang sama.
23. Pedoman……..
23. Pedoman Teknis adalah acuan teknis yang merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan pemerintah dalam
bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan Bangunan Gedung.
24. Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai
standar tata cara, standar spesifikasi, dan standar metode uji
baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun standar
internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan
Bangunan Gedung.
25. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, yang selanjutnya disebut
RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah kota yang
telah ditetapkan dengan peraturan daerah.
26. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, yang
selanjutnya disebut RDTR adalah penjabaran dari Rencana
Tata Ruang Wilayah kota ke dalam rencana pemanfaatan
kawasan perkotaan.
27. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan
pemanfaatan
ruang
dan
ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang.
28. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, yang selanjutnya
disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu
kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang
memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana
umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan
pengendalian
rencana
dan
pedoman
pengendalian
pelaksanaan.
29. Penyelenggaraan
Bangunan
Gedung
adalah
kegiatan
pembangunan Bangunan Gedung yang meliputi proses
Perencanaan Teknis dan pelaksanaan konstruksi serta kegiatan
pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran.
30. Perencanaan Teknis adalah proses membuat gambar teknis
Bangunan Gedung dan kelengkapannya yang mengikuti
tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan
gambar kerja yang
terdiri atas: rencana
arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal,
rencana tata ruang luar, rencana tata ruang-dalam/interior
serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan
perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan Standar
Teknis yang berlaku.
31. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli
Bangunan Gedung yang disusun secara tertulis dan profesional
terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis Bangunan
Gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan,
pelestarian maupun pembongkaran Bangunan Gedung.
32. Pemanfaatan
Bangunan
Gedung
adalah
kegiatan
memanfaatkan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang
telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan,
dan pemeriksaan secara berkala.
33. Pemeriksaan Berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan
seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan
bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang
waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi Bangunan
Gedung.
34. Laik Fungsi adalah suatu kondisi Bangunan Gedung yang
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi Bangunan Gedung yang ditetapkan.
35. Sertifikat…..
35. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung, yang selanjutnya
disebut SLF Bangunan Gedung adalah sertifikat yang
diterbitkan oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan
gedung fungsi khusus oleh pemerintah untuk menyatakan
kelaikan fungsi suatu bangunan gedung baik secara
administratif maupun teknis, sebelum pemanfaatannya.
36. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan Bangunan
Gedungbeserta prasarana dan sarananya agar selalu Laik
Fungsi.
37. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti
bagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan,
dan/atau prasarana dan sarana agar Bangunan Gedung tetap
Laik Fungsi.
38. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta
pemeliharaan Bangunan Gedung dan lingkungannya untuk
mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan
aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang
dikehendaki.
39. Pemugaran Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan
adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali Bangunan
Gedung ke bentuk aslinya.
40. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan
seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan
bangunan dan/atau prasarana dan sarananya.
41. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah pemilik, Penyedia
Jasa Konstruksi dan Pengguna Bangunan Gedung.
42. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum,
kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah
sebagai Pemilik Bangunan Gedung.
43. Pengguna Bangunan Gedung adalah Pemilik Bangunan Gedung
dan/atau bukan Pemilik Bangunan Gedung berdasarkan
kesepakatan dengan Pemilik Bangunan Gedung yang
menggunakan dan/atau mengelola Bangunan Gedung atau
bagian Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang
ditetapkan.
44. Penyedia Jasa Konstruksi Bangunan Gedung adalah orang
perorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan
layanan jasa konstruksi bidang Bangunan Gedung, meliputi
perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen
konstruksi, termasuk Pengkaji Teknis Bangunan Gedung dan
Penyedia Jasa Konstruksi lainnya.
45. Tim Ahli Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat TABG
adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan
penyelenggaraan Bangunan Gedung untuk memberikan
Pertimbangan Teknis dalam proses penelitian dokumen
rencanateknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga
untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah
penyelenggaraan Bangunan Gedung Tertentu yang susunan
anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan
dengan kompleksitas Bangunan Gedung Tertentu tersebut.
46. Pengkaji Teknis adalah orang perorangan, atau badan hukum
yang mempunyai sertifikat keahlian untuk melaksanakan
pengkajian teknis atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
47. Pengawas adalah orang yang mendapat tugas untuk mengawasi
pelaksanaan mendirikan bangunan sesuai dengan IMB yang
diangkat oleh Pemilik Bangunan Gedung.
48. Masyarakat……
48. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau
usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di
bidang Bangunan Gedung, termasuk masyarakat hukum adat
dan
masyarakat
ahli,
yang
berkepentingan
dengan
penyelenggaraan Bangunan Gedung.
49. Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung
adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan
perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk
memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan,
menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan
Gugatan Perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan
Bangunan Gedung.
50. Dengar Pendapat Publik adalah forum dialog yang diadakan
untuk mendengarkan dan menampung aspirasi masyarakat
baik berupa pendapat, pertimbangan maupun usulan dari
masyarakat umum sebagai masukan untuk menetapkan
kebijakan
Pemerintah/Pemerintah
Daerah
dalam
penyelenggaraan Bangunan Gedung.
51. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Bangunan Gedung yang diajukan oleh satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan
gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus
mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta
atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok yang dimaksud.
52. Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah
kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga
setiap penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat berlangsung
tertib dan tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai
dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
53. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan peraturan
perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan Standar Teknis
Bangunan Gedung sampai di daerah dan operasionalisasinya di
masyarakat.
54. Pemberdayaan adalah kegiatan untuk menumbuh kembangkan
kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran para Penyelenggara
Bangunan Gedung dan aparat Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan Bangunan Gedung.
55. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan
penerapan peraturan perundang-undangan bidang Bangunan
Gedung dan upaya penegakan hukum.
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Lingkup
Paragraf 1
Maksud
Pasal 2
Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai acuan untuk mengatur
dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung sejak dari
perencanaan, perizinan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan,
serta kelaikan bangunan gedung agar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 2 ……
Paragraf 2
Tujuan
Pasal 3
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk:
a. mewujudkan Bangunan Gedung yang fungsional dan sesuai
dengan tata Bangunan Gedung yang serasi dan selaras dengan
lingkungannya;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan Bangunan Gedung yang
menjamin keandalan teknis Bangunan Gedung dari segi
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;
c. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan
Bangunan Gedung.
Paragraf 3
Lingkup
Pasal 4
(1) Lingkup Peraturan Daerah ini meliputi ketentuan mengenai
fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung, persyaratan
Bangunan Gedung, penyelenggaraan Bangunan Gedung, TABG,
Peran Masyarakat, pembinaan dalam penyelenggaraan
Bangunan Gedung, sanksi administratif, penyidikan, pidana,
dan peralihan.
(2) Penyelenggaraan bangunan gedung merupakan satu kesatuan
sistem yang meliputi kegiatan: pembangunan, pemanfaatan,
pelestarian, pembongkaran bangunan gedung.
(3) Penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikendalikan melalui: IMB, SLF, bukti
kepemilikan
bangunan
gedung,
persetujuan
teknis
pembongkaran bangunan gedung.
BAB II
FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Fungsi Bangunan Gedung
Pasal 5
(1) Fungsi Bangunan Gedung merupakan ketetapan mengenai
pemenuhan persyaratan teknis Bangunan Gedung ditinjau dari
segi tata bangunan dan lingkungan maupun keandalannya
serta sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam
RTRW, RDTR dan/atau RTBL.
(2) Fungsi Bangunan Gedung meliputi:
a. bangunan Gedung fungsi hunian, dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia tinggal;
b. bangunan Gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan ibadah;
c. bangunan Gedung fungsi usaha dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan kegiatan usaha;
d. bangunan……..
d. bangunan Gedung fungsi sosial dan budaya dengan fungsi
utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial
dan budaya;
e. bangunan Gedung fungsi khusus dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan kegiatan yang
mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi dan/atau tingkat
risiko bahaya tinggi; dan
f. bangunan Gedung lebih dari satu fungsi.
Pasal 6
(1) Bangunan Gedung fungsi hunian dengan fungsi utama sebagai
tempat manusia tinggal dapat berbentuk:
a. bangunan rumah tinggal tunggal;
b. bangunan rumah tinggal deret;
c. bangunan rumah tinggal susun;
d. bangunan rumah tinggal sementara; dan
e. bangunan rumah tinggal kategori khusus.
(2) Bangunan Gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan ibadah keagamaan dapat
berbentuk:
a. bangunan masjid, mushalla, langgar, surau;
b. bangunan gereja, kapel;
c. bangunan pura;
d. bangunan vihara;
e. bangunan kelenteng; dan
f. bangunan keagamaan dengan sebutan lainnya.
(3) Bangunan Gedung fungsi usaha dengan fungsi utama sebagai
tempat manusia melakukan kegiatan usaha dapat berbentuk:
a. bangunan
Gedung
perkantoran
seperti
bangunan
perkantoran non-pemerintah dan sejenisnya;
b. bangunan Gedung perdagangan seperti bangunan pasar,
pertokoan, pusat perbelanjaan, mal dan sejenisnya;
c. bangunan Gedung pabrik;
d. bangunan Gedung perhotelan seperti bangunan hotel,
motel, hostel, penginapan dan sejenisnya;
e. bangunan Gedung wisata dan rekreasi seperti tempat
rekreasi, bioskop dan sejenisnya;
f. bangunan Gedung terminal seperti bangunan stasiun
kereta api, terminal bus angkutan umum, halte bus,
terminal peti kemas, pelabuhan laut, pelabuhan sungai,
pelabuhan perikanan, bandar udara;
g. bangunan Gedung tempat penyimpanan sementara seperti
bangunan gudang, gedung parkir dan sejenisnya; dan
h. bangunan Gedung tempat penangkaran atau budidaya
seperti bangunan sarang burung walet, bangunan
peternakan sapi dan sejenisnya.
(4) Bangunan Gedung sosial dan budaya dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan
budaya dapat berbentuk:
a. bangunan Gedung pelayanan pendidikan seperti bangunan
sekolah taman kanak kanak, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, pendidikan tinggi, kursus dan semacamnya;
b. bangunan……
b. bangunan Gedung pelayanan kesehatan seperti bangunan
puskesmas, poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit
termasuk panti-panti dan sejenisnya;
c. bangunan Gedung kebudayaan seperti bangunan museum,
gedung kesenian, Bangunan Gedung adat dan sejenisnya;
d. bangunan
Gedung
laboratorium
seperti
bangunan
laboratorium fisika, laboratorium kimia, dan laboratorium
lainnya, dan
e. bangunan Gedung pelayanan umum seperti bangunan
stadion, gedung olah raga dan sejenisnya.
(5) Bangunan fungsi khusus dengan fungsi utama yang
memerlukan tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan
nasional dan/atau yang mempunyai tingkat risiko bahaya yang
tinggi, meliputi:
a. bangunan gedung untuk reaktor nuklir;
b. bangunan gedung untuk instalasi pertahanan dan
keamanan;
c. dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh Menteri.
(6) Bangunan Gedung lebih dari satu fungsi dengan fungsi utama
kombinasi lebih dari satu fungsi dapat berbentuk:
a. bangunan rumah dengan toko (ruko);
b. bangunan rumah dengan kantor (rukan);
c. bangunan Gedung mal-apartemen-perkantoran;
d. bangunan Gedung mal-apartemen-perkantoran-perhotelan;
dan sejenisnya.
Bagian Kedua
Klasifikasi Bangunan Gedung
Pasal 7
(1) Klasifikasi Bangunan Gedung menurut kelompok fungsi
bangunan didasarkan pada pemenuhan syarat administrasi
dan persyaratan teknis Bangunan Gedung.
(2) Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat
permanensi, tingkat risiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi,
ketinggian, dan/atau kepemilikan.
(3) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi:
a. bangunan Gedung sederhana, yaitu Bangunan Gedung
dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitas
dan teknologi sederhana dan/atau Bangunan Gedung yang
sudah memiliki desain prototip;
b. bangunan Gedung tidak sederhana, yaitu Bangunan
Gedung dengan karakter tidak sederhana serta memiliki
kompleksitas dan atau teknologi tidak sederhana; serta
c. bangunan Gedung khusus, yaitu Bangunan Gedung yang
memiliki penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam
perencanaan
dan
pelaksanaannya
memerlukan
penyelesaian/teknologi khusus.
(4) Klasifikasi……..
(4) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi meliputi:
a. Bangunan Gedung darurat atau sementara, yaitu Bangunan
Gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai
umur layanan sampai dengan 5 (lima) tahun;
b. Bangunan Gedung semi permanen, yaitu Bangunan Gedung
yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur
layanan di atas 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun;
serta
c. Bangunan Gedung permanen, yaitu Bangunan Gedung yang
karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan di
atas 20 (dua puluh) tahun.
(5) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran meliputi:
a. Tingkat risiko kebakaran rendah, yaitu Bangunan Gedung
yang karena fungsinya, disain penggunaan bahan dan
komponen unsur pembentuknya, serta kuantitas dan
kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah
terbakarnya rendah;
b. Tingkat risiko kebakaran sedang, yaitu Bangunan Gedung
yang karena fungsinya, disain penggunaan bahan dan
komponen unsur pembentuknya, serta kuantitas dan
kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah
terbakarnya sedang; serta
c. Tingkat risiko kebakaran tinggi, yaitu Bangunan Gedung
yang karena fungsinya, dan disain penggunaan bahan dan
komponen unsur pembentuknya, serta kuantitas dan
kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah
terbakarnya sangat tinggi dan/atau tinggi.
(6) Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa meliputi tingkat zonasi
gempa di wilayah Kota Palembang berdasarkan tingkat
kerawanan bahaya gempa.
(7) Klasifikasi berdasarkan lokasi meliputi:
a. Bangunan Gedung di lokasi renggang, yaitu Bangunan
Gedung yang pada umumnya terletak pada daerah
pinggiran/luar kota atau daerah yang berfungsi sebagai
resapan;
b. Bangunan Gedung di lokasi sedang, yaitu Bangunan Gedung
yang pada umumnya terletak di daerah permukiman;serta
c. Bangunan Gedung di lokasi padat, yaitu Bangunan Gedung
yang pada umumnya terletak di daerah perdagangan/pusat
kota.
d. Bangunan gedung di lahan basah, yaitu Bangunan Gedung
yang terletak diarea rawa, tepian sungai, dan daerah
genangan.
(8) Klasifikasi berdasarkan ketinggian Bangunan Gedung meliputi:
a. Bangunan Gedung bertingkat rendah, yaitu Bangunan
Gedung yang memiliki jumlah lantai sampai dengan 4 lantai;
b. Bangunan Gedung bertingkat sedang, yaitu Bangunan
Gedung yang memiliki jumlah lantai mulai dari 5 lantai
sampai dengan 8 lantai; serta
c. Bangunan Gedung bertingkat tinggi, yaitu Bangunan
Gedung yang memiliki jumlah lantai lebih dari 8 lantai.
(9) Klasifikasi……..
(9) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan meliputi:
a. Bangunan Gedung milik negara, yaitu Bangunan Gedung
untuk keperluan dinas yang menjadi/akan menjadi
kekayaan milik negara dan diadakan dengan sumber
pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau APBD,
dan/atau sumber pembiayaan lain, seperti: gedung kantor
dinas, gedung sekolah, gedung rumah sakit, gudang, rumah
negara, dan lain-lain;
b. Bangunan Gedung milik perorangan, yaitu Bangunan
Gedung yang merupakan kekayaan milik pribadi atau
perorangan dan diadakan dengan sumber pembiayaan dari
dana pribadi atau perorangan; serta
c. Bangunan Gedung milik badan usaha, yaitu Bangunan
Gedung yang merupakan kekayaan milik badan usaha non
pemerintah dan diadakan dengan sumber pembiayaan dari
dana badan usaha non pemerintah tersebut.
Pasal 8
(1) Penentuan Klasifikasi Bangunan Gedung atau bagian dari
gedung ditentukan berdasarkan fungsi yang digunakan dalam
perencanaan, pelaksanaan atau perubahan yang diperlukan
pada Bangunan Gedung.
(2) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung harus sesuai dengan
peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR, dan/
atau RTBL.
(3) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung diusulkan oleh
Pemilik Bangunan Gedung dalam bentuk rencana teknis
Bangunan Gedung melalui pengajuan permohonan izin
mendirikan Bangunan Gedung.
(4) Penetapan fungsi Bangunan Gedung dilakukan oleh
Pemerintah Daerah melalui penerbitan IMB berdasarkan
RTRW, RDTR dan/atau RTBL, kecuali Bangunan Gedung
fungsi khusus oleh Pemerintah
Bagian Ketiga
Perubahan Fungsi Bangunan Gedung
Pasal 9
(1) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung dapat diubah dengan
mengajukan permohonan IMB baru.
(2) Perubahan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh pemilik
dalam bentuk rencana teknis Bangunan Gedung sesuai
dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR
dan/atau RTBL.
(3) Perubahan…….
(3) Perubahan fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung
harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif
dan persyaratan teknis Bangunan Gedung yang baru.
(4) Perubahan fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung
harus diikuti dengan perubahan data fungsi dan/atau
Klasifikasi Bangunan Gedung.
(5) Perubahan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung
ditetapkan oleh Pemerintah Kota dalam IMB Gedung kecuali
Bangunan Gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.
BAB III
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
(1) Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi
Bangunan Gedung.
(2) Persyaratan administratif Bangunan Gedung meliputi:
a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari
pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan Bangunan Gedung, serta
c. IMB.
(3) Persyaratan teknis Bangunan Gedung meliputi:
a. persyaratan tata bangunan dan lingkungan;
b. persyaratan keandalan Bangunan Gedung.
Bagian Kedua
Persyaratan Administratif
Paragraf 1
Status Kepemilikan Hak Atas Tanah
Pasal 11
(1) Setiap Bangunan Gedung harus didirikan di atas tanah yang
jelas kepemilikannya, baik milik sendiri atau milik pihak lain.
(2) Status hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk dokumen sertifikat hak atas tanah
atau bentuk dokumen keterangan status tanah lainnya yang
sah.
(3) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, Bangunan Gedung
hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dalam bentuk
perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau
pemilik tanah dengan Pemilik Bangunan Gedung.
(4) Perjanjian……..
(4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas,
letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi Bangunan Gedung
dan jangka waktu pemanfaatan tanah.
(5) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas,
letak, dan batas-batas tanah serta fungsi Bangunan Gedung
dan jangka waktu pemanfaatan tanah.
(6) Bangunan Gedung yang karena faktor budaya atau tradisi
setempat harus dibangun di atas air sungai, air laut, air danau
harus mendapatkan izin dari Walikota.
(7) Bangunan Gedung yang karena pertimbangan tertentu harus
dibangun di atas jalan, di bawah tanah, di area bandara harus
mendapatkan pertimbangan dari instansi terkait serta
mendapatkan izin dari Walikota.
(8) Bangunan Gedung yang akan dibangun di atas tanah milik
sendiri atau di atas tanah milik orang lain yang terletak di
kawasan rawan bencana alam harus mengikuti persyaratan
yang diatur dalam Keterangan Rencana Kota.
Paragraf 2
Status Kepemilikan Bangunan Gedung
Pasal 12
(1) Status kepemilikan Bangunan Gedung dibuktikan dengan
surat bukti kepemilikan Bangunan Gedung yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Kota, kecuali Bangunan Gedung fungsi
khusus oleh Pemerintah.
(2) Penetapan status kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat proses IMB
dan/atau pada saat pendataan Bangunan Gedung, sebagai
sarana tertib pembangunan, tertib pemanfaatan dan kepastian
hukum atas kepemilikan Bangunan Gedung.
(3) Status kepemilikan Bangunan Gedung adat pada masyarakat
hukum adat ditetapkan oleh masyarakat hukum adat
bersangkutan berdasarkan norma dan kearifan lokal yang
berlaku di lingkungan masyarakatnya.
(4) Kepemilikan Bangunan Gedung dapat dialihkan kepada pihak
lain.
(5) Pengalihan hak kepemilikan Bangunan Gedung kepada pihak
lain harus dilaporkan kepada Walikota untuk diterbitkan surat
keterangan bukti kepemilikan baru.
(6) Pengalihan hak kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) oleh Pemilik Bangunan Gedung yang
bukan pemegang hak atas tanah, terlebih dahulu harus
mendapatkan persetujuan pemegang hak atas tanah.
(7) Status……..
(7) Status kepemilikan Bangunan Gedung adat pada masyarakat
hukum adat ditetapkan oleh masyarakat hukum adat
bersangkutan berdasarkan norma dan kearifan lokal yang
berlaku di lingkungan masyarakatnya.
(8) Tata cara pembuktian kepemilikan Bangunan Gedung kecuali
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Izin Mendirikan Bangunan
Pasal 13
(1) Setiap orang atau badan wajib memiliki IMB dengan
mengajukan permohonan IMB kepada Walikota untuk
melakukan kegiatan:
a. pembangunan Bangunan Gedung dan/atau prasarana
Bangunan Gedung.
b. rehabilitasi/renovasi
Bangunan
Gedung
dan/atau
prasarana
Bangunan
Gedung
meliputi
perbaikan/perawatan,
perubahan,
perluasan/pengurangan; dan
c. pemugaran/pelestarian dengan mendasarkan pada surat
Keterangan
Rencana
Kota
untuk
lokasi
yang
bersangkutan.
(2) IMB Gedung diberikan oleh Pemerintah Kota,
Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.
kecuali
(3) Pemerintah Kota wajib memberikan informasi secara cumacuma Keterangan Rencana Kota untuk lokasi yang
bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan
permohonan IMB sebagai dasar penyusunan rencana teknis
Bangunan Gedung
(4) Keterangan Rencana Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang
bersangkutan dan berisi:
a. fungsi Bangunan Gedung yang dapat dibangun pada lokasi
bersangkutan;
b. ketinggian maksimum Bangunan Gedung yang diizinkan;
c. jumlah lantai/lapis Bangunan Gedung di bawah
permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum Bangunan
Gedung yang diizinkan;
e. KDB maksimum yang diizinkan;
f. KLB maksimum yang diizinkan;
g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KTB maksimum yang diizinkan; dan
i. jaringan utilitas kota.
(5) Dalam Keterangan Rencana Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat juga dicantumkan ketentuan khusus yang
berlaku untuk lokasi yang bersangkutan.
Bagian Ketiga……..
Bagian Ketiga
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
Paragraf 1
Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan
Pasal 14
Persyaratan tata bangunan dan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a meliputi:
a. persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung;
b. persyaratan arsitektur bangunan gedung;
c. persyaratan pengendalian dampak lingkungan; dan
d. rencana tata bangunan dan lingkungan.
Paragraf 2
Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung
Pasal 15
(1) Bangunan Gedung harus diselenggarakan sesuai dengan
peruntukan lokasi yang telah ditetapkan dalam peraturan
zonasi, RTRW, RDTR dan/atau RTBL.
(2) Pemerintah Kota wajib memberikan informasi mengenai RTRW,
RDTR dan/atau RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi
keterangan mengenai peruntukan lokasi, intensitas bangunan
yang terdiri dari kepadatan bangunan, ketinggian bangunan,
dan garis sempadan bangunan.
(4) Bangunan Gedung yang dibangun:
a. di atas prasarana dan sarana umum;
b. di bawah prasarana dan sarana umum;
c. di bawah atau di atas air;
d. di daerah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi;
e. di daerah yang berpotensi bencana alam; dan
f. di Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan.
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan memperoleh pertimbangan serta persetujuan
dari Pemerintah Kota dan/atau instansi terkait lainnya.
(5) Dalam
hal
ketentuan
mengenai
peruntukan
lokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan maka
ketentuan mengenai peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diatur sementara dalam peraturan
Walikota.
Pasal 16
(1) Dalam hal terjadi perubahan RTRW, RDTR dan/atau RTBL
yang mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi
Bangunan Gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang
baru harus disesuaikan.
(2) Terhadap……….
(2) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan
lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Kota
memberikan penggantian yang layak kepada Pemilik Bangunan
Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 17
(1) Bangunan Gedung yang akan dibangun harus memenuhi
persyaratan intensitas Bangunan Gedung yang meliputi
persyaratan kepadatan, ketinggian dan jarak bebas Bangunan
Gedung, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam RTRW,
RDTR, dan/atau RTBL.
(2) Kepadatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
ketentuan KDB dan KDH pada tingkatan tinggi, sedang dan
rendah.
(3) Ketinggian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
ketentuan tentang jumlah lantai bangunan, tinggi bangunan
dan KLB pada tingkatan KLB tinggi, sedang dan rendah.
(4) Ketinggian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak boleh mengganggu lalu lintas penerbangan.
(5) Jarak bebas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi ketentuan tentang Garis Sempadan Bangunan
Gedung dan jarak antara Bangunan Gedung dengan batas
persil, jarak antarbangunan, dan jarak antara as jalan dengan
pagar halaman.
(6) Dalam hal ketentuan mengenai persyaratan intensitas
Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
ditetapkan, maka ketentuan mengenai persyaratan intensitas
Bangunan Gedung dapat diatur sementara untuk suatu lokasi
dalam Peraturan Walikota yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan
pendapat TABG.
Pasal 18
(1) KDB ditentukan atas dasar kepentingan daya dukung
lingkungan,
pencegahan
terhadap
bahaya
kebakaran,
kepentingan ekonomi, fungsi, fungsi bangunan, keselamatan
dan kenyamanan bangunan.
(2) Ketentuan besarnya KDB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL
dan/atau pengaturan sementara persyaratan intensitas
Bangunan Gedung dalam Peraturan Walikota.
Pasal 19
(1) KDH ditentukan atas dasar kepentingan daya dukung
lingkungan, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, kesehatan
dan kenyamanan bangunan.
(2) Ketentuan……..
(2) Ketentuan besarnya KDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL
dan/atau pengaturan sementara persyaratan intensitas
Bangunan Gedung dalam Peraturan Walikota.
Pasal 20
(1) KLB ditentukan atas dasar daya dukung lingkungan,
pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi,
fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan
kenyamanan bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum.
(2) Ketentuan besarnya KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL
dan/atau pengaturan sementara persyaratan intensitas
Bangunan Gedung dalam Peraturan Walikota.
Pasal 21
(1) Jumlah lantai Bangunan Gedung dan tinggi Bangunan Gedung
ditentukan atas dasar pertimbangan lebar jalan, fungsi
bangunan, keselamatan bangunan, keserasian dengan
lingkungannya serta keselamatan lalu lintas penerbangan.
(2) Bangunan Gedung dapat dibuat bertingkat ke bawah tanah
sepanjang memungkinkan untuk itu dan tidak bertentangan
dengan ketentuan perundang undangan.
(3) Bangunan Gedung bertingkat ke bawah tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dimungkinkan dengan tetap
memperhatikan keseimbangan lingkungan disekitarnya.
(4) Ketentuan besarnya jumlah lantai Bangunan Gedung dan
tinggi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL
dan/atau pengaturan sementara persyaratan intensitas
Bangunan Gedung dalam Peraturan Walikota.
Pasal 22
(1) GSB ditentukan atas pertimbangan keamanan, kesehatan,
kenyamanan dan keserasian dengan lingkungan dan ketinggian
bangunan.
(2) GSB meliputi ketentuan mengenai jarak Bangunan Gedung
dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, rel kereta api
dan/atau
jaringan
listrik
tegangan
tinggi,
dengan
mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan.
(3) GSB yang berbatasan dengan tepi sungai disesuaikan dengan
ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL, dan/atau peraturan
daerah yang telah ditetapkan.
(4) GSB meliputi garis sempadan bangunan untuk bagian muka,
samping, dan belakang.
(5) Penetapan……..
(5) Penetapan GSB berlaku untuk bangunan di atas permukaan
tanah maupun di bawah permukaan tanah.
(6) Penetapan GSB juga meliputi kawasan yang dilalui jalur pipa
gas dibawah permukaan tanah.
(7) Ketentuan besarnya GSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL
dan/atau pengaturan sementara dalam Peraturan Walikota.
(8) Walikota dapat menetapkan lain untuk kawasan tertentu dan
spesifik.
Pasal 23
(1) Jarak antar bangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar
halaman ditetapkan untuk setiap lokasi sesuai dengan
peruntukannya atas pertimbangan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, kemudahan, dan keserasian dengan lingkungan
dan ketinggian bangunan.
(2) Jarak antar bangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar
halaman yang diberlakukan per kapling/persil dan/atau per
kawasan.
(3) Penetapan jarak antar bangunan, dan jarak antara as jalan
dengan pagar halaman berlaku untuk di atas permukaan tanah
maupun di bawah permukaan tanah (besmen).
(4) Penetapan jarak antar bangunan, dan jarak antara as jalan
dengan pagar halaman untuk di bawah permukaan tanah
didasarkan pada pertimbangan keberadaan atau rencana
jaringan pembangunan utilitas umum.
(5) Ketentuan besarnya jarak antar bangunan, dan jarak antara
as jalan dengan pagar halaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR,
RTBL dan/atau pengaturan sementara persyaratan intensitas
Bangunan Gedung dalam Peraturan Walikota.
(9) Walikota dapat menetapkan lain untuk kawasan-kawasan
tertentu dan spesifik.
Paragraf 3
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung
Pasal 24
Persyaratan arsitektur Bangunan Gedung meliputi persyaratan
penampilan Bangunan Gedung, tata ruang dalam, keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan Bangunan Gedung dengan
lingkungannya, serta memperimbangkan adanya keseimbangan
antara nilai-nilai adat/tradisional sosial budaya setempat terhadap
penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.
Pasal 25 ………..
Pasal 25
(1) Persyaratan penampilan Bangunan Gedung disesuaikan
dengan penetapan tema arsitektur bangunan di dalam
peraturan zonasi dalam RDTR dan/atau Peraturan Walikota
tentang RTBL.
(2) Penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan kaidah estetika bentuk,
karakteristik arsitektur, dan lingkungan yang ada di sekitarnya
serta dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian.
(3) Penampilan Bangunan Gedung yang didirikan berdampingan
dengan Bangunan Gedung yang dilestarikan, harus dirancang
dengan mempertimbangkan kaidah estetika bentuk dan
karakteristik dari arsitektur Bangunan Gedung yang
dilestarikan.
(4) Penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat juga mempertimbangkan adaptasi penampilan
bangunan terhadap lingkungan sekitar demi menjaga
keselarasan lingkungan.
(5) Pemerintah Daerah dapat mengatur kaidah arsitektur tertentu
pada suatu kawasan setelah mendengar pendapat TABG dan
pendapat masyarakat dalam Peraturan Walikota.
Pasal 26
(1) Bentuk denah Bangunan Gedung sedapat mungkin simetris
dan sederhana guna mengantisipasi kerusakan akibat bencana
alam gempa.
(2) Denah Bangunan Gedung yang tidak simetris diperkenankan
dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah arsitektur serta
pertimbangan struktur yang benar demi menjamin keandalan
bangunan gedung.
(3) Bentuk
Bangunan
Gedung
harus
dirancang
dengan
memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur di
sekitarnya dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar
bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya.
(4) Atap dan dinding Bangunan Gedung harus dibuat dari
konstruksi dan bahan yang aman dari kerusakan akibat
bencana alam.
Pasal 27
(1) Persyaratan tata ruang dalam Bangunan Gedung harus
memperhatikan fungsi ruang, arsitektur Bangunan Gedung,
dan keandalan Bangunan Gedung.
(2) Bentuk……..
(2) Bentuk Bangunan Gedung harus dirancang agar setiap ruang
dalam dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan
penghawaan alami, kecuali fungsi Bangunan Gedung yang
memerlukan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan.
(3) Ruang dalam Bangunan Gedung harus mempunyai tinggi yang
cukup sesuai dengan fungsinya dan arsitektur bangunannya.
(4) Konstruksi Bangunan Gedung dengan kondisi lahan yang
basah, daerah rawa, atau genangan harus menggunakan
konstruksi rumah panggung untuk menjaga keseimbangan
lingkungan.
(5) Perubahan fungsi dan penggunaan ruang Bangunan Gedung
atau bagian Bangunan Gedung harus tetap memenuhi
ketentuan penggunaan Bangunan Gedung dan dapat menjamin
keamanan,
keselamatan
bangunan
dan
kebutuhan
kenyamanan bagi penghuninya.
Pasal 28
(1) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Bangunan
Gedung
dengan
lingkungannya
harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar dan ruang terbuka
hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya
yang diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah
resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan
manusia serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana
luar Bangunan Gedung.
(2) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Bangunan Gedung dengan lingkungannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. persyaratan ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP);
b. persyaratan ruang sempadan Bangunan Gedung;
c. persyaratan tapak besmen terhadap lingkungan;
d. ketinggian pekarangan dan lantai dasar bangunan;
e. daerah hijau pada bangunan;
f. tata tanaman;
g. sirkulasi dan fasilitas parkir;
h. pertandaan (Signage); serta
i. pencahayaan ruang luar Bangunan Gedung.
Pasal 29
(1) Apabila pekarangan/persil memiliki lebih dari satu akses jalan
dan memiliki kemiringan yang tidak sama, maka tinggi lantai
dasar ditentukan dari rata-rata permukaan jalan yang paling
besar.
(2) Titik lantai dasar pekarangan/persil bangunan gedung yang
berada dibawah titik ketinggian peil banjir dapat digunakan
sebagai ruangan.
(3) Bagian…….
(3) Bagian bangunan gedung yang berada dibawah peil banjir tidak
diperhitungkan sebagai lapis bangunan.
(4) Ruang terbuka hijau diantara GSJ dan GSB dapat digunakan
sebagai unsur penghijauan dan/atau daerah resapan air hujan
serta kepentingan umum lainnya.
Pasal 30
(1) Setiap bangunan bukan rumah tinggal wajib menyediakan
fasilitas parkir yang proporsional untuk kendaraan sesuai
jumlah luas lantai bangunan berdasarkan Standar Teknis yang
telah ditetapkan.
(2) Fasilitas parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh mengurangi daerah hijau yang telah ditetapkan dan
harus
berorientasi
pada
pejalan
kaki,
memudahkan
aksesibilitas serta tidak mengganggu sirkulasi kendaraan dan
jalur pejalan kaki.
(3) GSB sebagai daerah hijau dapat juga dimanfaatkan sebagai
area parkir.
(4) Sistem sirkulasi harus saling mendukung antara sirkulasi
ekternal dan sirkulasi internal Bangunan Gedung serta antara
individu pemakai bangunan dengan sarana transportasinya.
Pasal 31
(1) Pertandaan (Signage) yang
ditempatkan pada bangunan,
pagar, kaveling dan/atau ruang publik tidak boleh berukuran
lebih besar dari elemen bangunan/pagar serta tidak boleh
mengganggu karakter yang akan diciptakan/dipertahankan.
(2) Pertandaan (Signage) yang ditempatkan pada bangunan juga
tidak boleh menutupi bukaan/sirkulasi udara pada bangunan
serta tidak berpotensi membahayakan pengguna bangunan
didalamnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pertandaan (signage)
Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diatur dalam Peraturan Walikota.
Pasal 32
(1) Pencahayaan ruang luar Bangunan Gedung harus disediakan
dengan memperhatikan karakter lingkungan, fungsi dan
arsitektur bangunan, estetika amenitas dan komponen
promosi.
(2) Pencahayaan yang dihasilkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari
dalam bangunan dan pencahayaan dari penerangan jalan
umum.
Paragraf 4……..
Paragraf 4
Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan
Pasal 33
(1) Setiap perencanaan bangunan dan/atau lingkungannya yang
mengganggu atau menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup harus dilengkapi dengan dokumen
lingkungan hidup dan/atau izin lingkungan.
(2) Setiap perencanaan bangunan yang dapat menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(3) Dokumen lingkungan hidup dan/atau izin lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL),
dan Surat pernyataan Pengelolaan lingkungan Hidup (SPPL).
(4) Setiap perencanaan bangunan gedung yang tidak menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
UKL-UPL atau SPPL.
(5) Bangunan Gedung yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup dikecualikan dari kewajiban menyusun
Amdal apabila :
a. lokasi bangunan gedung berada pada lokasi atau kawasan
yang telah memiliki amdal kawasan;
b. lokasi rencana bangunan gedung berada pada kota yang
Telah memiliki RDTR dan/atau rencana tata ruang
kawasan strategis; dan
c. Bangunan Gedung dilakukan dalam rangka tanggap
darurat bencana.
(6) Bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib
menyusun UKL-UPL berdasarkan dokumen RKL-RPL kawasan
atau RDTR dan atau rencana tata ruang kawasan strategis.
(7) Persyaratan dokumen lingkungan
lingkungan
disesuaikan
dengan
perundang-undangan.
hidup dan/atau izin
ketentuan
peraturan
Pasal 34
(1) Setiap kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang
mengganggu atau menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lalu lintas harus dilengkapi dengan dokumen Analisis
Dampak Lalu Lintas (Andalalin).
(2) Analisa dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud ayat (1)
berlaku bagi setiap peruntukan bangunan yang dapat
menimbulkan bangkitan dan tarikan terhadap lalu lintas
sekitarnya dan wajib menyediakan tempat parkir kendaraan
sesuai dengan jumlah kebutuhan.
(3) Persyaratan…….
(3) Persyaratan dokumen Andalalin berpedoman dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) Setiap bangunan gedung dan persilnya wajib mengelola air
hujan sebagai upaya dan kegiatan untuk mempertahankan
kondisi hidrologi alami, dengan cara memaksimalkan
pemanfaatan air hujan, infiltrasi air hujan, dan menyimpan
sementara air hujan untuk menurunkan debit banjir melalui
optimasi pemanfaatan elemen alam dan pemanfaatan elemen
buatan.
(2) Instrumen pelaksanaan Pengelolaan Air Hujan Pada Bangunan
GedungDan Persilnya meliputi:
a. informasi karakteristik wilayah terkait dengan karakteristik
tanah, topografi, muka air tanah, dan jenis sarana
pengelolaan air hujan;
b. instrumen Pelaksanaan Pengelolaan Air Hujan pada
bangunan gedungbaru; dan
c. instrumen Pelaksanaan Pengelolaan Air Hujan pada
bangunan gedungeksisting.
(3) Tahapan Penyelenggaraan Pengelolaan Air Hujan
bangunan gedung dan persilnya terdiri atas:
a. tahapan penyelenggaraan untuk gedung baru; dan
b. tahapan penyelenggaraan untuk gedung eksisting.
pada
(4) Status Wajib Kelola Air Hujan pada bangunan gedung dan
persilnya ditetapkan oleh pemerintah daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan air hujan pada
bangunan gedung dan persilnya diatur dalam Peraturan
Walikota.
Paragraf 5
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
Pasal 36
(1) Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan atau RTBL
merupakan pengaturan persyaratan tata bangunan sebagai
tindak lanjut dari RTRW/RDTR kota Palembang yang
digunakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang suatu
kawasan dan sebagai panduan rancangan kawasan untuk
mewujudkan kesatuan karakter serta kualitas bangunan
gedung dan lingkungan yang berkelanjutan.
(2) RTBL memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan
lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana
investasi, ketentuan pengendalian rencana dan pedoman
pengendalian pelaksanaan.
(3) Penyusunan RTBL didasarkan pada pola penataan bangunan
gedung
dan
lingkungan
yang
meliputi
perbaikan,
pengembangan kembali, pembangunan baru, dan/atau
pelestarian untuk:
a. Kawasan……..
a.
b.
c.
d.
kawasan
kawasan
kawasan
kawasan
terbangun,
yang dilindungi dan dilestarikan,
baru yang potensial berkembang, dan/atau
yang bersifat campuran.
(4) RTBL yang didasarkan pada berbagai pola penataan Bangunan
Gedung dan lingkungan ini ditujukan bagi berbagai status
kawasan seperti kawasan baru yang potensial berkembang,
kawasan terbangun, kawasan yang dilindungi dan dilestarikan,
atau kawasan yang bersifat gabungan atau campuran dari
ketiga jenis kawasan pada ayat ini.
(5) RTBL ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 6
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
Pasal 37
Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b meliputi:
a. persyaratan keselamatan bangunan gedung;
b. persyaratan kesehatan bangunan gedung;
c. persyaratan kenyamanan bangunan gedung; dan
d. persyaratan kemudahan bangunan gedung.
Paragraf 7
Persyaratan Keselamatan Bangunan Gedung
Pasal 38
Persyaratan keselamatan Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud meliputi persyaratan kemampuan Bangunan Gedung
terhadap beban muatan, persyaratan kemampuan Bangunan
Gedung terhadap bahaya kebakaran dan persyaratan kemampuan
Bangunan Gedung terhadap bahaya petir.
Pasal 39
(1) Persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap beban
muatan meliputi persyaratan struktur Bangunan Gedung,
pembebanan pada Bangunan Gedung, struktur atas Bangunan
Gedung, struktur bawah Bangunan Gedung, pondasi langsung,
pondasi dalam keselamatan struktur, keruntuhan struktur dan
persyaratan bahan.
(2) Struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus kuat/kokoh, stabil dalam memikul beban dan
memenuhi persyaratan keselamatan, persyaratan kelayanan
selama umur yang direncanakan dengan mempertimbangkan:
a. fungsi
Bangunan
Gedung,
lokasi,
keawetan
dan
kemungkinan pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung;
b. pengaruh aksi sebagai akibat dari beban yang bekerja
selama umur layanan struktur baik beban muatan tetap
maupun sementara yang timbul akibat gempa, angin,
korosi, jamur dan serangga perusak;
c. pengaruh……..
c. pengaruh gempa terhadap substruktur maupun struktur
Bangunan Gedung sesuai zona gempanya;
d. struktur bangunan yang direncanakan secara daktail pada
kondisi pembebanan maksimum, sehingga pada saat terjadi
keruntuhan, kondisi strukturnya masih memungkinkan
penyelamatan diri penghuninya;
e. struktur bawah Bangunan Gedung pada lokasi tanah yang
dapat terjadi likulfaksi, dan;
f. keandalan Bangunan Gedung.
(3) Pembebanan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dianalisis dengan memeriksa respon
struktur terhadap beban tetap, beban sementara atau beban
khusus yang mungkin bekerja selama umur pelayanan,tata
cara perencanaan pembebanan untuk rumah dan gedung, atau
standar baku dan/atau Pedoman Teknis.
(4) Struktur atas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi konstruksi beton, konstruksi baja, konstruksi
kayu, konstruksi bambu, konstruksi dengan bahan dan
teknologi khusus dilaksanakan dengan menggunakan pedoman
dan standar teknis terkait.
(5) Struktur bawah Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pondasi langsung dan pondasi dalam.
(6) Pondasi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
direncanakan sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah
yang mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat dan
selama berfungsinya Bangunan Gedung tidak mengalami
penurunan yang melampaui batas.
(7) Pondasi dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan
dalam hal lapisan tanah dengan daya dukung yang terletak
cukup jauh di bawah permukaan tanah sehingga pengguna
pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang
berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.
(8) Keselamatan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu penentuan tingkat keandalan struktur
bangunan yang diperoleh dari hasil Pemeriksaan Berkala oleh
tenaga ahli yang bersertifikat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan.
(9) Keruntuhan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu kondisi yang harus dihindari dengan
cara melakukan Pemeriksaan Berkala tingkat keandalan
Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan.
(10) Persyaratan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan lingkungan
dan Pengguna Bangunan Gedung serta sesuai dengan SNI edisi
terbaru dan/atau Standar Teknis lainnya.
Pasal 40……..
Pasal 40
(1) Persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya
kebakaran meliputi sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif,
persyaratan jalan ke luar dan aksesibilitas untuk pemadaman
kebakaran, persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah ke
luar dan sistem peringatan bahaya, persyaratan komunikasi
dalam Bangunan Gedung, persyaratan instalasi bahan bakar
gas dan manajemen penanggulangan kebakaran.
(2) Setiap Bangunan Gedung kecuali rumah tinggal tunggal dan
rumah deret sederhana harus dilindungi dari bahaya
kebakaran dengan sistem proteksi aktif yang meliputi sistem
pemadam kebakaran, sistem diteksi dan alarm kebakaran,
sistem pengendali asap kebakaran dan pusat pengendali
kebakaran.
(3) Setiap Bangunan Gedung kecuali rumah tinggal tunggal dan
rumah deret sederhana harus dilindungi dari bahaya
kebakaran dengan sistem proteksi pasif, Tata cara perencanaan
sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran
pada Bangunan Gedung, Tata cara perencanaan dan
pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan
terhadap bahaya kebakaran pada Bangunan Gedung.
(4) Persyaratan jalan ke luar dan aksesibilitas untuk pemadaman
kebakaran meliputi perencanaan akses bangunan dan
lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran dan
perencanaan
dan
pemasangan
jalan
keluar
untuk
penyelamatan, tata cara perencanaan bangunan dan
lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan rumah dan gedung, tata cara perencanaan sistem
proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
Bangunan Gedung.
(5) Persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah ke luar dan
sistem peringatan bahaya dimaksudkan untuk memberikan
arahan bagi pengguna gedung dalam keadaaan darurat untuk
menyelamatkan diri, tata cara perancangan pencahayaan
darurat, tanda arah dan sistem peringatan bahaya pada
Bangunan Gedung.
(6) Persyaratan komunikasi dalam Bangunan Gedung sebagai
penyediaan sistem komunikasi untuk keperluan internal
maupun untuk hubungan ke luar pada saat terjadi kebakaran
atau kondisi lainnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai telekomunikasi.
(7) Persyaratan instalasi bahan bakar gas meliputi jenis bahan
bakar gas dan instalasi gas yang dipergunakan baik dalam
jaringan gas kota maupun gas tabung mengikuti ketentuan
yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
(8) Setiap Bangunan Gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas,
jumlah lantai dan/atau jumlah penghuni tertentu harus
mempunyai unit manajemen proteksi kebakaran Bangunan
Gedung.
Pasal 41……..
Pasal 41
(1) Persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya
petir dan bahaya kelistrikan meliputi persyaratan instalasi
proteksi petir dan persyaratan sistem kelistrikan.
(2) Persyaratan instalasi proteksi petir harus memperhatikan
perencanaan sistem proteksi petir, instalasi proteksi petir,
pemeriksaan dan pemeliharaan serta Standar Teknis lainnya.
(3) Persyaratan
sistem
kelistrikan
harus
memperhatikan
perencanaan instalasi listrik, jaringan distribusi listrik, beban
listrik, sumber daya listrik, transformator distribusi,
pemeriksaan, pengujian dan pemeliharaan dan/atau Standar
Teknis lainnya.
Pasal 42
(1) Setiap Bangunan Gedung untuk kepentingan umum harus
dilengkapi dengan sistem pengamanan yang memadai untuk
mencegah terancamnya keselamatan penghuni dan harta
benda akibat bencana bahan peledak.
(2) Sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan kelengkapan pengamanan Bangunan Gedung
untuk kepentingan umum dari bahaya bahan peledak, yang
meliputi prosedur, peralatan dan petugas pengamanan.
(3) Prosedur pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan tata cara proses pemeriksanaan pengunjung
Bangunan Gedung yang kemungkinan membawa benda atau
bahan berbahaya yang dapat meledakkan dan/atau membakar
Bangunan Gedung dan/atau pengunjung di dalamnya.
(4) Peralatan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan peralatan detektor yang digunakan untuk
memeriksa pengunjung Bangunan Gedung yang kemungkinan
membawa benda atau bahan berbahaya yang dapat
meledakkan dan/atau membakar Bangunan Gedung dan/atau
pengunjung di dalamnya.
(5) Petugas pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan orang yang diberikan tugas untuk memeriksa
pengunjung Bangunan Gedung yang kemungkinan membawa
benda atau bahan berbahaya yang dapat meledakkan dan/atau
membakar Bangunan Gedung dan/atau pengunjung di
dalamnya.
(6) Persyaratan sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) yang meliputi ketentuan mengenai tata cara
perencanaan, pemasangan, pemeliharaan instalasi sistem
pengamanan disesuaikan dengan pedoman dan Standar Teknis
yang terkait.
Paragraf 8…….
Paragraf 8
Persyaratan Kesehatan Bangunan Gedung
Pasal 43
Persyaratan kesehatan Bangunan Gedung meliputi persyaratan
sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan
bangunan.
Pasal 44
(1) Sistem penghawaan Bangunan Gedung dapat berupa ventilasi
alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan
fungsinya.
(2) Bangunan Gedung tempat tinggal dan Bangunan Gedung
untuk pelayanan umum harus mempunyai bukaan permanen
atau yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami dan
kisi-kisi pada pintu dan jendela.
(3) Persyaratan teknis sistem dan kebutuhan ventilasi harus
mengikuti Tata cara perancangan sistem ventilasi dan
pengkondisian udara pada Bangunan Gedung, standar tentang
tata cata perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan sistem
ventilasi dan/atau Standar Teknis terkait.
Pasal 45
(1) Sistem pencahayaan Bangunan Gedung dapat berupa sistem
pencahayaan alami dan/atau buatan dan/atau pencahayaan
darurat sesuai dengan fungsinya.
(2) Bangunan Gedung tempat tinggal dan Bangunan Gedung
untuk pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami yang optimal disesuaikan dengan fungsi
Bangunan Gedung dan fungsi tiap ruangan dalam Bangunan
Gedung.
(3) Sistem pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan:
a. mempunyai tingkat iluminasi yang disyaratkan sesuai
fungsi ruang dalam dan tidak menimbulkan efek silau/
pantulan;
b. sistem pencahayaan darurat hanya dipakai pada Bangunan
Gedung fungsi tertentu, dapat bekerja secara otomatis dan
mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk
evakuasi;
c. harus dilengkapi dengan pengendali manual/otomatis dan
ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh
pengguna ruangan.
(4) Persyaratan teknis sistem pencahayaan harus mengikuti Tata
cara perancangan sistem pencahayaan alami pada Bangunan
Gedung, atau Tata cara perancangan sistem pencahayaan
buatan pada Bangunan Gedung, atau Standar Teknis terkait.
Pasal 46………
Pasal 46
(1) Sistem sanitasi Bangunan Gedung dapat berupa sistem air
bersih dalam Bangunan Gedung, sistem pengolahan dan
pembuangan air limbah/kotor, persyaratan instalasi gas medik,
persyaratan penyaluran air hujan, persyaratan fasilitasi
sanitasi dalam Bangunan Gedung (saluran pembuangan air
kotor, tempat sampah, penampungan sampah dan/atau
pengolahan sampah).
(2) Sistem air bersih dalam Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus direncanakan dengan
mempertimbangkan sumber air bersih, kualitas air bersih,
sistem distribusi dan penampungannya.
(3) Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan
gedung harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem
pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan
sampah, serta penyaluran air hujan.
(4) Persyaratan air bersih dalam Bangunan Gedung harus
mengikuti:
a. kualitas air bersih sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai persyaratan kualitas air
minum dan Pedoman Teknis mengenai sistem plambing;
b. Pedoman dan/atau Pedoman Teknis terkait.
Pasal 47
(1) Sistem pengolahan dan pembuangan air limbah/kotor pada
bangunan gedung harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya yang
diwujudkan
dalam
bentuk
pemilihan
sistem
pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang
dibutuhkan dan sistem pengolahan dan pembuangannya.
(2) Air limbah beracun dan berbahaya tidak boleh digabung
dengan air limbah rumah tangga, yang sebelum dibuang ke
saluran terbuka harus diproses sesuai dengan pedoman dan
Standar Teknis terkait.
(3) Persyaratan teknis sistem air limbah harus mengikuti Standar
Teknis terkait disertai rekomendasi instansi yang berwenang.
Pasal 48
(1) Persyaratan
instalasi
gas
medik
sebagaimana
wajib
diberlakukan di fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit,
rumah perawatan, fasilitas hiperbank, klinik bersalin dan
fasilitas kesehatan lainnya.
(2) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan
sistem perpipaan gas medik dan sistem vacum gas medik harus
dipertimbangkan pada saat perancangan, pemasangan,
pengujian, pengoperasian dan pemeliharaannya.
(3) Persyaratan………
(3) Persyaratan instansi gas medik harus mengikuti Pedoman
Teknis terkait.
Pasal 49
(1) Sistem air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan
mempertimbangkan
ketinggian
permukaan
air
tanah,
permeabilitas tanah dan ketersediaan jaringan drainase
lingkungan/kota.
(2) Setiap Bangunan Gedung dan pekarangannya harus dilengkapi
dengan sistem penyaluran air hujan baik dengan sistem
peresapan air ke dalam tanah pekarangan dan/atau dialirkan
ke dalam sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan
drainase lingkungan.
(3) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah
terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran.
(4) Persyaratan penyaluran air hujan harus mengikuti ketentuan
Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan, Spesifikasi sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan, atau edisi terbaru, dan standar tentang tata cara
perencanaan,
pemasangan
dan
pemeliharaan
sistem
penyaluran air hujan pada Bangunan Gedung atau standar
baku dan/atau pedoman terkait.
Pasal 50
(1) Sistem pembuangan kotoran, dan sampah dalam Bangunan
Gedung
harus
direncanakan
dan
dipasang
dengan
mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.
(2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam
bentuk penyediaan tempat penampungan kotoran dan sampah
pada Bangunan Gedung dengan memperhitungkan fungsi
bangunan, jumlah penghuni dan volume kotoran dan sampah.
(3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam
bentuk penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya yang
tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan
lingkungannya.
(4) Pengembang perumahan wajib menyediakan wadah sampah,
alat pengumpul dan tempat pembuangan sampah sementara,
sedangkan pengangkatan dan pembuangan akhir dapat
bergabung dengan sistem yang sudah ada.
(5) Potensi reduksi sampah dapat dilakukan dengan mendaur
ulang dan/atau memanfaatkan kembali sampah bekas.
(6) Sampah beracun dan sampah rumah sakit, laboratoriun dan
pelayanan medis harus dikelola sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 51…..
Pasal 51
(1) Bahan Bangunan Gedung harus aman bagi kesehatan
Pengguna Bangunan Gedung dan tidak menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan serta penggunannya dapat
menunjang pelestarian lingkungan.
(2) Bahan bangunan yang aman bagi kesehatan dan tidak
menimbulkan dampak penting harus memenuhi kriteria:
a. tidak mengandung bahan berbahaya/beracun bagi
kesehatan Pengguna Bangunan Gedung;
b. tidak menimbulkan efek silau bagi pengguna, masyarakat
dan lingkungan sekitarnya;
c. tidak menimbulkan efek peningkatan temperatur;
d. sesuai dengan prinsip konservasi; dan
e. ramah lingkungan.
Paragraf 9
Persyaratan Kenyamanan Bangunan Gedung
Pasal 52
Persyaratan kenyamanan Bangunan Gedung meliputi kenyamanan
ruang gerak dan hubungan antar ruang, kenyamanan kondisi
udara dalam ruang, kenyamanan pandangan, serta kenyamanan
terhadap tingkat getaran dan kebisingan.
Pasal 53
(1) Persyaratan kenyamanan ruang gerak dan hubungan
antarruang merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh
dari dimensi ruang dan tata letak ruang serta sirkulasi antar
ruang yang memberikan kenyamanan bergerak dalam ruangan.
(2) Persyaratan kenyamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mempertimbangkan fungsi ruang, jumlah pengguna,
perabot/Peralatan, aksesibilitas ruang dan persyaratan
keselamatan dan kesehatan.
Pasal 54
(1) Persyaratan kenyamanan kondisi udara di dalam ruang
merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh dari
temperatur dan kelembaban di dalam ruang untuk
terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
(2) Persyaratan
kenyamanan
kondisi
udara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti Konservasi energi
sistem tata udara pada Bangunan Gedung, atau edisi terbaru,
Prosedur audit energi pada Bangunan Gedung, atau edisi
terbaru, Tata cara perancangan sistem ventilasi dan
pengkondisian udara pada Bangunan Gedung, atau edisi
terbaru dan/atau standar baku dan/atau Pedoman Teknis
terkait.
Pasal 55…….
Pasal 55
(1) Persyaratan kenyamanan pandangan merupakan kondisi dari
hak pribadi pengguna yang di dalam melaksanakan
kegiatannya di dalam gedung tidak terganggu Bangunan
Gedung lain di sekitarnya.
(2) Persyaratan kenyamanan pandangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempertimbangkan kenyamanan
pandangan dari dalam bangunan, ke luar bangunan, dan dari
luar ke ruang-ruang tertentu dalam Bangunan Gedung.
(3) Persyaratan kenyamanan pandangan dari dalam ke luar
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempertimbangkan:
a. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang
dalam dan luar bangunan dan rancangan bentuk luar
bangunan;
b. pemanfaatan potensi ruang luar Bangunan Gedung dan
penyediaan RTH.
(4) Persyaratan kenyamanan pandangan dari luar ke dalam
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempertimbangkan:
a. rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan
dan rancangan bentuk luar bangunan;
b. keberadaan Bangunan Gedung yang ada dan/atau yang
akan ada di sekitar Bangunan Gedung dan penyediaan
RTH.
c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.
(5) Persyaratan kenyamanan pandangan pada Bangunan Gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus
memenuhi ketentuan dalam Standar Teknis terkait
Pasal 56
(1) Persyaratan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan
kebisingan merupakan tingkat kenyamanan yang ditentukan
oleh satu keadaan yang tidak mengakibatkan pengguna dan
fungsi Bangunan Gedung terganggu oleh getaran dan/atau
kebisingan yang timbul dari dalam Bangunan Gedung maupun
lingkungannya.
(2) Untuk mendapatkan kenyamanan dari getaran dan kebisingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara Bangunan
Gedung harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan
peralatan dan/atau sumber getar dan sumber bising lainnya
yang berada di dalam maupun di luar Bangunan Gedung.
(3) Persyaratan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan
kebisingan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan dalam Standar
Teknis mengenai tata cara perencanaan kenyamanan terhadap
getaran dan kebisingan pada Bangunan Gedung
Paragraf 10……..
Paragraf 10
Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung
Pasal 57
Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari
dan di dalam Bangunan Gedung serta kelengkapan sarana dan
prasarana dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung.
Pasal 58
(1) Kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam Bangunan
Gedung meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang
mudah, aman dan nyaman termasuk penyandang cacat, anakanak, ibu hamil dan lanjut usia.
(2) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempertimbangkan tersedianya hubungan
horizontal dan vertikal antar ruang dalam Bangunan Gedung,
akses evakuasi termasuk bagi penyandang cacat, anak-anak,
ibu hamil dan lanjut usia.
(3) Bangunan Gedung Umum yang fungsinya untuk kepentingan
publik, harus menyediakan fasilitas dan kelengkapan sarana
hubungan vertikal bagi semua orang termasuk manusia
berkebutuhan khusus.
(4) Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan
kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya pintu
dan/atau koridor yang memadai dalam jumlah, ukuran dan
jenis pintu, arah bukaan pintu yang dipertimbangkan
berdasarkan besaran ruangan, fungsi ruangan dan jumlah
Pengguna Bangunan Gedung.
(5) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antar ruang
dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang dan
jumlah pengguna.
(6) Kelengkapan sarana dan prasarana harus disesuaikan dengan
fungsi Bangunan Gedung dan persyaratan lingkungan
Bangunan Gedung.
(7) Ketentuan mengenai tata cara perencanaan pintu dan koridor
mengikuti pedoman dan Standar Teknis yang berlaku.
Pasal 59
(1) Setiap bangunan bertingkat harus menyediakan sarana
hubungan vertikal antar lantai yang memadai untuk
terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung berupa tangga,
ram, lift, tangga berjalan (eskalator) atau lantai berjalan
(travelator).
(2) Jumlah, ukuran dan konstruksi sarana hubungan vertikal
harus berdasarkan fungsi Bangunan Gedung, luas bangunan
dan jumlah pengguna ruang serta keselamatan Pengguna
Bangunan Gedung.
(3) Bangunan…..
(3) Bangunan Gedung dengan ketinggian di atas 5 (lima) lantai
harus menyediakan lift penumpang.
(4) Setiap Bangunan Gedung yang memiliki lift penumpang harus
menyediakan lift khusus kebakaran, atau lift penumpang yang
dapat difungsikan sebagai lift kebakaran yang dimulai dari
lantai dasar Bangunan Gedung.
(5) Persyaratan kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti SNI edisi
terbaru dan/atau Standar Teknis lainnya tentang tata cara
perancangan sistem transportasi vertikal dalam gedung (lift),
atau edisi terbaru, atau penggantinya.
(6) Ketentuan mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan
pemeliharaan lif mengikuti pedoman dan standar teknis yang
berlaku.
Bagian Keempat
Persyaratan Bangunan Gedung Hijau
Pasal 60
Prinsip bangunan gedung hijau meliputi:
a. perumusan kesamaan tujuan, pemahaman serta rencana
tindak;
b. pengurangan penggunaan sumber daya, baik berupa lahan,
material, air, sumber daya alam maupun sumber daya
manusia;
c. pengurangan timbulan limbah, baik fisik maupun non-fisik;
d. penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan
sebelumnya;
e. penggunaan sumber daya hasil siklus ulang;
f. perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup
melalui upaya pelestarian;
g. mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim, dan
bencana;
h. orientasi kepada siklus hidup;
i. orientasi kepada pencapaian mutu yang diinginkan;
j. inovasi teknologi untuk perbaikan yang berlanjut; dan
k. peningkatan dukungan kelembagaan, kepemimpinan dan
manajemen dalam implementasi.
Pasal 61
(1) Bangunan gedung yang dikenai persyaratan bangunan gedung
hijau meliputi bangunan gedung baru dan bangunan gedung
yang telah dimanfaatkan.
(2) Bangunan gedung yang dikenai persyaratan bangunan gedung
hijau dibagi menjadi kategori:
a. wajib;
b. disarankan dan
c. sukarela.
(3) Bangunan…..
(3) Bangunan gedung yang dikenakan persyaratan bangunan
gedung hijau diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Pasal 62
(1) Setiap bangunan gedung hijau harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung.
(2) Selain persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bangunan gedung hijau juga harus memenuhi persyaratan
bangunan gedung hijau.
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan bangunan gedung
hijau diatur dalam Peraturan Walikota.
Bagian Kelima
Persyaratan Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan
Pasal 64
Setiap bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan harus
memenuhi persyaratan:
a. administratif; dan
b. teknis.
Pasal 65
(1) Persyaratan administratif bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan meliputi:
a. status bangunan gedung sebagai bangunan gedung cagar
budaya;
b. status kepemilikan; dan
c. perizinan
(2) Keputusan penetapan status bangunan gedung sebagai
bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang cagar budaya.
(3) Status kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi status kepemilikan tanah dan status
kepemilikan bangunan gedung cagar budaya yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.
(4) Tanah dan bangunan gedung cagar budaya dapat dimiliki oleh
negara, swasta, badan usaha milik negara/daerah, masyarakat
hukum adat, atau perseorangan.
Pasal 66
(1) Persyaratan teknis bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan meliputi:
a. persyaratan……..
a. persyaratan tata bangunan;
b. persyaratan keandalan bangunan gedung cagar budaya;
dan
c. persyaratan pelestarian.
(2) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terdiri atas:
a. peruntukan dan intensitas bangunan gedung;
b. arsitektur bangunan gedung;dan
c. pengendalian dampak lingkungan.
(3) Persyaratan keandalan bangunan gedung cagar budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. keselamatan;
b. kesehatan;
c. kenyamanan; dan
d. kemudahan.
(4) Persyaratan pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. keberadaan bangunan gedung cagar budaya; dan
b. nilai penting bangunan gedung cagar budaya.
(5) Persyaratan keberadaan bangunan gedung cagar budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus dapat
menjamin keberadaan bangunan gedung cagar budaya sebagai
sumberdaya budaya yang bersifat unik, langka, terbatas, dan
tidak membaru.
(6) Persyaratan nilai penting bangunan gedung cagar budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b harus dapat
menjamin terwujudnya makna dan nilai penting yang meliputi
langgam arsitektur, teknik membangun, sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta
memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan bangunan gedung
cagar budaya yang dilestarikan diatur dalam peraturan walikota.
Bagian Keenam
Persyaratan Pembangunan Bangunan Gedung di Atas atau di
Bawah Tanah, Air atau Prasarana/Sarana Umum, dan pada
Daerah Hantaran Udara Listrik Tegangan Tinggi atau Ekstra
Tinggi atau Ultra Tinggi dan/atau Menara Telekomunikasi
dan/atau Menara Air
Pasal 68
(1) Pembangunan Bangunan Gedung di atas prasarana dan/atau
sarana umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. sesuai……..
a. sesuai dengan RTRW, RDTR dan/atau RTBL;
b. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang
berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya;
c. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap
lingkungannya;
d. mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang; dan
e. mempertimbangkan
pendapat
TABG
dan
pendapat
masyarakat.
(2) Pembangunan Bangunan Gedung di bawah tanah yang
melintasi prasarana dan/atau sarana umum harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. sesuai dengan RTRW, RDTR, dan/atau RTBL;
b. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;
c. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang
berada di bawah tanah;
d. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan
keselamatan bagi pengguna bangunan;
f. mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang; dan
e. mempertimbangkan
pendapat
TABG
dan
pendapat
masyarakat.
(3) Pembangunan Bangunan Gedung di bawah dan/atau di atas
air harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. sesuai dengan RTRW, RDTR, dan/atau RTBL;
b. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan fungsi
lindung kawasan;
c. tidak menimbulkan pencemaran;
d. telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan,
kesehatan dan kemudahan bagi pengguna bangunan;
g. mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang; dan
e. mempertimbangkan
pendapat
TABG
dan
pendapat
masyarakat.
(4) Pembangunan Bangunan Gedung pada daerah hantaran udara
listrik tegangan tinggi/ekstra tinggi/ultra tinggi dan/atau
menara telekomunikasi dan/atau menara air harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. sesuai dengan RTRW, RDTR, dan/atau RTBL;
b. telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan,
kesehatan dan kemudahan bagi pengguna bangunan;
c. khusus untuk daerah hantaran listrik tegangan tinggi
harus mengikuti pedoman dan/atau Standar Teknis
tentang ruang bebas udara tegangan tinggi dan SNI edisi
terbaru dan.atau Standar Teknis lainnya tentang Saluran
Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (SUTET) - Nilai ambang batas medan listrik
dan medan magnet;
d. khusus menara telekomunikasi harus mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pembangunan
dan penggunaan menara telekomunikasi;
e. mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang; dan
f. mempertimbangkan pendapat Tim Ahli Bangunan Gedung
dan pendapat masyarakat.
Bagian Ketujuh……..
Bagian Ketujuh
Persyaratan Bangunan Gedung Adat, Bangunan Gedung
Tradisional, Pemanfaatan Simbol dan Unsur/Elemen
Tradisional serta Kearifan Lokal
Paragraf 1
Bangunan Gedung Adat
Pasal 69
(1) Bangunan Gedung adat dapat berupa bangunan ibadah, kantor
lembaga
masyarakat
adat,
balai/gedung
pertemuan
masyarakat adat, atau sejenisnya.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung adat dilakukan oleh
masyarakat adat sesuai ketentuan hukum adat yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Penyelenggaraan Bangunan Gedung adat dilakukan dengan
mengikuti persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(4) Pemerintah Daerah dapat mengatur persyaratan administratif
dan persyaratan teknis lain yang besifat khusus pada
penyelenggaraan Bangunan Gedung adat dalam Peraturan
Walikota.
Pasal 70
Ketentuan mengenai kaidah/norma adat dalam penyelenggaraan
Bangunan Gedung adat terdiri dari ketentuan pada aspek
perencanaan, pembangunan, dan pemanfaatan, yang meliputi:
a. penentuan lokasi,
b. gaya/langgam arsitektur lokal,
c. arah/orientasi Bangunan Gedung,
d. besaran dan/atau luasan Bangunan Gedung dan tapak,
e. simbol dan unsur/elemen Bangunan Gedung,
f. tata ruang dalam dan luar Bangunan Gedung,
g. aspek larangan,
h. aspek ritual
Pasal 71
Penentuan lokasi pada Bangunan Gedung adat memiliki ketentuan
sebagai berikut:
a. ditetapkan berdasarkan temuan yang ada berdasarkan hasil
identifikasi dan kajian akan keberadaan Bangunan Gedung
adat yang masih asli dan terjaga keberlangsungannya.
b. ditetapkan berdasarkan klasifikasi bangunan adat yang identik
dengan peruntukan ruang dan aktifitas masyarakatnya.
c. ditetapkan berdasarkan lokasi dimana bangunan adat berada
yang disesuaikan dengan karakter kota Palembang sebagai
kota tepian sungai dengan rentan waktu umur bangunan yang
sebenarnya.
d. ditetapkan……..
d. ditetapkan lokasi Bangunan Gedung adat baru harus sesuai
dengan peruntukan ruang berdasarkan RTRW, RDTR,
dan/atau RTBL yang telah ditetapkan.
Pasal 72
Gaya/langgam arsitektur lokal pada Bangunan Gedung adat
memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan cerminan dari arsitektur nusantara yang menjadi
kultur langgam arsitektur lokal.
b. merespon iklim tropis sebagai wujud dari sebuah adaptasi
Bangunan Gedung terhadap alam.
c. memiliki makna-makna simbolis sebagai unsur penguat
identitas Bangunan Gedung.
Pasal 73
Arah/orientasi Bangunan Gedung pada Bangunan Gedung adat
memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. disesuaikan dengan kondisi yang ada pada Bangunan Gedung
adat yang masih asli dan terjaga keberadaannya.
b. disesuaikan dengan jenis dan karakter aktifitas yang
berlangsung pada Bangunan Gedung adat.
Pasal 74
(1) Besaran dan/atau luasan Bangunan Gedung pada Bangunan
Gedung adat memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. disesuaikan berdasarkan kebutuhan ruang gerak aktifitas
penghuni di dalamnya.
b. mampu mewadahi beragam aktifitas dengan zona-zona yang
jelas sesuai dengan peruntukannya.
(2) Besaran dan/atau luasan tapak pada Bangunan Gedung adat
memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. dapat mewadahi dan menunjang kebutuhan luasan
Bangunan Gedung adat baik yang menyangkut aktifitas
ruang luar, ruang terbuka hijau, maupun penyediaan area
parkir.
b. adanya pengembangan dari kebutuhan ruang luar sebagai
unsur penataan tambahan pada bangunan adat.
Pasal 75
(1) Simbol Bangunan Gedung pada Bangunan Gedung adat
memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. disesuaikan dengan peruntukan dan fungsi Bangunan
Gedung adat yang ada.
b. tidak mengandung unsur pertentangan dan sentimen
tertentu yang dapat mengandung unsur SARA.
(2) Unsur/elemen Bangunan Gedung pada Bangunan Gedung adat
memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan…….
a. merupakan wujud dari tataran filosofis dan konseptual
Bangunan Gedung adat.
b. memiliki bentuk dan dimensi yang dapat menaungi aktifitas
didalam Bangunan Gedung adat.
c. memiliki kekuatan dan kekokohan sebagai wujud
perlindungan terhadap penggunan Bangunan Gedung adat.
Pasal 76
(1) Tata ruang dalam pada Bangunan Gedung adat memiliki
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki zonasi yang jelas sebagai respon keragaman
aktifitas pada Bangunan Gedung adat.
b. bersifat informatif dalam merespon jalur-jalur aktifitas
pengguna bangunan dan responsif terhadap kondisi darurat
yang memudahkan evakuasi.
(2) Tata ruang luar pada Bangunan Gedung adat memiliki
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki zonasi yang jelas.
b. memudahkan akses dan pencapaian pada bangunan
gedung adat.
c. tersedianya jalur-jalur pedestrian yang memadai.
d. tersedianya kelengkapan elemen-elemen ruang luar seperti
vegetasi dan street furniture lainnya.
e. Keseimbangan antara material softscape dan hardscape.
Pasal 77
Ketentuan dan tata cara penyelenggaraan Bangunan Gedung adat
dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Paragraf 2
Bangunan Gedung dengan Gaya/Langgam Tradisional
Pasal 78
(1) Bangunan Gedung dengan gaya/langgam tradisional dapat
berupa fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi
perkantoran, dan/atau fungsi sosial dan budaya.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dengan gaya/langgam
tradisional
dilakukan
oleh
perseorangan,
kelompok
masyarakat, lembaga swasta atau lembaga pemerintah sesuai
ketentuan kaidah/norma tradisional yang tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dengan gaya/langgam
tradisional
dilakukan
dengan
mengikuti
persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
(4) Pemerintah Daerah dapat mengatur persyaratan administratif
dan persyaratan teknis lain yang besifat khusus pada
penyelenggaraan Bangunan Gedung dengan gaya/langgam
tradisional dalam Peraturan Walikota.
Pasal 79………
Pasal 79
Ketentuan
mengenai
kaidah/norma
tradisional
dalam
penyelenggaraan Bangunan Gedung dengan gaya/langgam
tradisional terdiri dari ketentuan pada aspek perencanaan,
pembangunan, dan pemanfaatan, yang meliputi:
a. penentuan lokasi,
b. gaya/langgam arsitektur lokal,
c. arah/orientasi Bangunan Gedung,
d. besaran dan/atau luasan Bangunan Gedung dan tapak,
e. simbol dan unsur/elemen Bangunan Gedung,
f. tata ruang dalam dan luar Bangunan Gedung,
g. aspek larangan,
i. aspek ritual,
Pasal 80
Penentuan lokasi pada Bangunan Gedung dengan gaya/langgam
tradisional memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. ditetapkan berdasarkan temuan yang ada berdasarkan hasil
identifikasi dan kajian akan keberadaan Bangunan Gedung
tradisional yang masih asli dan terjaga keberlangsungannya.
b. ditetapkan berdasarkan klasifikasi bangunan tradisional yang
identik dengan peruntukan ruang dan aktifitas masyarakatnya.
c. ditetapkan berdasarkan lokasi dimana bangunan tradisional
berada yang disesuaikan dengan karakter kota Palembang
sebagai kota tepian sungai dengan rentan waktu umur
bangunan yang sebenarnya.
Pasal 81
Gaya/langgam arsitektur tradisional pada Bangunan Gedung
dengan gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan sebagai
berikut:
a. merupakan cerminan dari arsitektur nusantara yang menjadi
kultur langgam arsitektur lokal.
b. merespon iklim tropis sebagai wujud dari sebuah adaptasi
Bangunan Gedung terhadap alam.
c. memiliki makna-makna simbolis sebagai unsur penguat
identitas Bangunan Gedung.
Pasal 82
Arah/orientasi Bangunan Gedung pada Bangunan Gedung dengan
gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. disesuaikan dengan kondisi yang ada pada Bangunan Gedung
tradisional yang masih asli dan terjaga keberadaannya.
b. disesuaikan dengan jenis dan karakter aktifitas yang
berlangsung pada Bangunan Gedung tradisional.
Pasal 83
(1) Besaran dan/atau luasan Bangunan Gedung pada Bangunan
Gedung dengan gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan
sebagai berikut:
a. disesuaikan……
a. disesuaikan berdasarkan kebutuhan ruang gerak aktifitas
masyarakat didalamnya.
b. mampu mewadahi beragam aktivitas dengan zona-zona
yang jelas sesuai peruntukan.
(2) Besaran dan/atau luasan tapak pada Bangunan Gedung
dengan gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan sebagai
berikut:
a. dapat mewadahi dan menunjang kebutuhan luasan
Bangunan Gedung tradisional baik yang menyangkut
aktifitas ruang luar maupun penyediaan area parkir.
b. adanya pengembangan dari kebutuhan ruang luar sebagai
unsur penataan tambahan pada bangunan tradisional.
Pasal 84
(1) Simbol Bangunan Gedung pada Bangunan Gedung dengan
gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. disesuaikan dengan peruntukan dan fungsi Bangunan
Gedung tradisonal khas Palembang yang khas akan ukiranukiran.
b. tidak mengandung unsur pertentangan dan sentimen
tertentu yang dapat mengandung unsur SARA.
(2) Unsur/elemen Bangunan Gedung pada Bangunan Gedung
dengan gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan sebagai
berikut:
a. merupakan wujud dari tataran filosofis dan konseptual
Bangunan Gedung tradisional.
b. memiliki bentuk dan dimensi yang dapat menaungi aktifitas
didalam Bangunan Gedung tradisional.
c. memiliki kekuatan dan kekokohan sebagai wujud
perlindungan terhadap penggunan Bangunan Gedung
tradisional.
d. memperkuat unsur dan pengetahuan membangun yang
didasari dari filosofis ketukangan dan kesadaran material
pada Bangunan Gedung tradisional.
Pasal 85
(1) Tata ruang dalam pada Bangunan Gedung dengan
gaya/langgam tradisional memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki zonasi yang jelas sebagai warisan budaya dan adat
pada Bangunan Gedung tradisional.
b. bersifat informatif dalam merespon jalur-jalur aktifitas
pengguna bangunan dan responsif terhadap kondisi darurat
yang memudahkan evakuasi.
(2) Tata ruang luar pada Bangunan Gedung dengan gaya/langgam
tradisional memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki zonasi yang jelas.
b. memudahkan akses dan pencapaian pada bangunan
gedung tradisional.
c. tersedianya jalur-jalur pedestrian yang memadai.
d. tersedianya kelengkapan elemen-elemen ruang luar seperti
vegetasi dan street furniture lainnya.
e. Keseimbangan antara material softscape dan hardscape.
Pasal 86…….
Pasal 86
Ketentuan dan tata cara penyelenggaraan Bangunan Gedung
dengan gaya/langgam tradisional dapat diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Walikota.
Paragraf 3
Penggunaan Simbol dan Unsur/Elemen Tradisional
Pasal 87
(1) Perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga swasta atau
lembaga pemerintah dapat menggunakan simbol dan
unsur/elemen tradisional untuk digunakan pada Bangunan
Gedung yang akan dibangun, direhabilitasi atau direnovasi.
(2) Penggunaan simbol Bangunan Gedung tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan.
(3) Penggunaan unsur/elemen Bangunan Gedung tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan.
(4) Penggunaan simbol dan unsur/elemen tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melestarikan simbol
dan unsur/elemen tradisional serta memperkuat karakteristik
lokal pada Bangunan Gedung.
(5) Penggunaan simbol dan unsur/elemen tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan makna dan filosofi
yang terkandung dalam simbol dan unsur/elemen tradisional
yang digunakan berdasarkan budaya dan sistem nilai yang
berlaku.
(6) Penggunaan simbol dan unsur/elemen tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan aspek
penampilan dan keserasian Bangunan Gedung dengan
lingkungannya.
(7) Penggunaan simbol dan unsur/elemen tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diwajibkan untuk Bangunan
Gedung milik Pemerintah Daerah dan/atau Bangunan Gedung
milik Pemerintah di daerah dan dianjurkan untuk Bangunan
Gedung milik lembaga swasta atau perseorangan.
(8) Ketentuan dan tata cara penggunaan simbol dan unsur/elemen
tradisional dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Paragraf 4
Kearifan Lokal
Pasal 88
(1) Kearifan lokal merupakan petuah atau ketentuan atau norma
yang
mengandung
kebijaksanaan
dalam
berbagai
perikehidupan masyarakat setempat sebagai sebagai warisan
turun temurun dari leluhur.
(2) Penyelenggaraan…….
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dilakukan dengan
mempertimbangkan kearifan lokal yang berlaku pada
masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kearifan lokal dapat diterapkan berdasarkan kesesuaian
dengan alam setempat, ketersediaan material, serta cerminan
budaya kehidupan masyarakat setempat.
(4) Penggalian akan kearifan lokal dapat dilakukan berdasarkan
penterjemahan dari wujud fisik ataupun filosofi-filosofi yang
terkandung didalamnya sebagai warisan turun temurun.
(5) Ketentuan dan tata cara penyelenggaraan kearifan lokal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Bagian Kedelapan
Persyaratan Bangunan Gedung Semi Permanen dan
Bangunan Gedung Darurat
Pasal 89
(1) Bangunan
Bangunan
ditetapkan
yang dapat
Gedung semi permanen dan darurat merupakan
Gedung yang
digunakan untuk fungsi yang
dengan konstruksi semi permanen dan darurat
ditingkatkan menjadi permanen.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus tetap dapat menjamin keamanan,
keselamatan, kemudahan, keserasian dan keselarasan
Bangunan Gedung dengan lingkungannya.
(3) Tata cara penyelenggaraan Bangunan Gedung semi permanen
dan darurat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Bagian Kesembilan
Persyaratan Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Bencana Alam
Paragraf 1
Umum
Pasal 90
(1) Kawasan rawan bencana alam meliputi kawasan rawan tanah
longsor, kawasan rawan gelombang pasang, kawasan rawan
banjir, kawasan rawan angin topan dan kawasan rawan
bencana alam geologi.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di
bencana alam sebagaimana dimaksud pada
dengan
memenuhi
persyaratan
mempertimbangkan
keselamatan
dan
kepentingan umum.
kawasan rawan
ayat (1) dilakukan
tertentu
yang
keamanan
demi
(3) Kawasan……
(3) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi dan/atau
penetapan dari instansi yang berwenang lainnya.
(4) Dalam hal penetapan kawasan rawan bencana alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan,
Pemerintah Daerah dapat mengatur suatu kawasan sebagai
kawasan rawan bencana alam dengan larangan membangun
pada batas tertentu dalam peraturan walikota dengan
mempertimbangkan
keselamatan
dan
keamanan
demi
kepentingan umum.
Paragraf 2
Persyaratan Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Tanah Longsor
Pasal 91
(1) Kawasan rawan tanah longsor merupakan kawasan berbentuk
lereng yang rawan terhadap perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material
campuran.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan tanah
longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW, RDTR, peraturan
zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang berwenang
lainnya.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum ditetapkan, Pemerintah Kota dapat mengatur mengenai
peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan
rawan tanah longsor dalam Peraturan Walikota.
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan tanah
longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki
rekayasa teknis tertentu yang mampu mengantisipasi
kerusakan Bangunan Gedung akibat kejatuhan material
longsor dan/atau keruntuhan Bangunan Gedung akibat
longsoran tanah pada tapak.
Paragraf 3
Persyaratan Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Banjir
Pasal 92
(1) Kawasan
rawan
banjir
merupakan
kawasan
yang
diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami
bencana alam banjir.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan banjir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW, RDTR, peraturan
zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang berwenang
lainnya.
(3) Dalam……..
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat mengatur
mengenai peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di
kawasan rawan banjir dalam Peraturan Walikota.
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan banjir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki rekayasa
teknis tertentu yang mampu mengantisipasi keselamatan
penghuni dan/atau kerusakan Bangunan Gedung akibat
genangan banjir.
Paragraf 4
Persyaratan Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Bencana Angin
Topan
Pasal 93
(1) Kawasan rawan bencana angin topan merupakan kawasan
yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi
mengalami bencana alam angin topan.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan
bencana angin topan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,
RDTR, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang
berwenang lainnya.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum ditetapkan, Pemerintah Kota dapat mengatur mengenai
persyaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan
rawan bencana angin topan dalam Peraturan Walikota.
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan
bencana angin topan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memiliki rekayasa teknis tertentu yang mampu
mengantisipasi keselamatan penghuni dan/atau kerusakan
Bangunan Gedung akibat angin puting beliung.
Paragraf 5
Persyaratan Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Bencana Alam
Geologi
Pasal 94
Kawasan rawan bencana alam geologi meliputi:
a. kawasan rawan gempa bumi;
b. kawasan rawan gerakan tanah;
c. kawasan rawan abrasi; dan
d. kawasan rawan bahaya gas beracun.
Pasal 95
(1) Kawasan rawan gempa bumi merupakan kawasan yang
berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bumi dengan
skala VII sampai dengan XII Modified Mercally Intensity (MMI).
(2) Kawasan……
(2) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dalam Peta Zonasi Gempa Kota.
(3) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan gempa
bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan dalam SNI edisi terbaru
dan/atau Standar Teknis lainnyatentang tata cara perencanaan
ketahanan gempa untuk rumah dan gedung atau edisi
terbarunya.
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan gempa
bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
rekayasa teknis tertentu yang mampu mengantisipasi
kerusakan dan/atau keruntuhan Bangunan Gedung akibat
getaran gempa bumi dalam periode waktu tertentu.
Pasal 96
(1) Kawasan rawan gerakan tanah merupakan kawasan yang
memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan gerakan
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW, RDTR, peraturan
zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang berwenang
lainnya.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum ditetapkan, Pemerintah Kota dapat mengatur mengenai
peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan
rawan gerakan tanah dalam Peraturan Walikota.
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan gerakan
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
rekayasa teknis tertentu yang mampu mengantisipasi
kerusakan dan/atau keruntuhan Bangunan Gedung akibat
gerakan tanah tinggi.
Pasal 97
(1) Kawasan rawan abrasi merupakan kawasan pantai yang
berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan abrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW, RDTR, peraturan
zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang berwenang
lainnya.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat mengatur
mengenai peryaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di
kawasan rawan abrasi dalam Peraturan Walikota.
(4) Penyelenggaraan……
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan abrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki rekayasa
teknis tertentu yang mampu mengantisipasi kerusakan
dan/atau keruntuhan Bangunan Gedung akibat abrasi.
Pasal 98
(1) Kawasan rawan bahaya gas beracun merupakan kawasan yang
berpotensi dan/atau pernah mengalami bahaya gas beracun.
(2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan bahaya
gas beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW, RDTR,
peraturan zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang
berwenang lainnya.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum ditetapkan, Pemerintah Kota dapat mengatur mengenai
persyaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan
rawan bahaya gas beracun dalam Peraturan Walikota.
(4) Penyelenggaraan Bangunan Gedung di kawasan rawan bahaya
gas beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki rekayasa teknis tertentu yang mampu mengantisipasi
keselamatan penghuni Bangunan Gedung akibat bahaya gas
beracun.
Pasal 99
Tata cara dan persyaratan penyelenggaraan Bangunan Gedung di
kawasan rawan bencana alam diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Walikota.
BAB IV
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 100
(1) Penyelenggaraan Bangunan Gedung terdiri atas kegiatan
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.
(2) Kegiatan pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui proses
Perencanaan Teknis dan proses pelaksanaan konstruksi.
(3) Kegiatan Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pemeliharaan,
perawatan, pemeriksaan secara berkala, perpanjangan
Sertifikat Laik Fungsi, dan pengawasan Pemanfaatan
Bangunan Gedung.
(4) Kegiatan
pelestarian
Bangunan
Gedung
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan penetapan dan
pemanfaatan termasuk perawatan dan pemugaran serta
kegiatan pengawasannya.
(5) Kegiatan……..
(5) Kegiatan pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan pembongkaran dan
pelaksanaan pembongkaran serta pengawasan pembongkaran.
(6) Di dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara Bangunan Gedung wajib
memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis
untuk menjamin keandalan Bangunan Gedung tanpa
menimbulkan dampak penting bagi lingkungan.
(7) Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh perorangan atau
penyedia jasa di bidang penyelenggaraan gedung.
Bagian Kedua
Kegiatan Pembangunan
Paragraf 1
Perencanaan Teknis
Pasal 101
(1) Setiap kegiatan mendirikan, mengubah, menambah dan
membongkar Bangunan Gedung harus berdasarkan pada
Perencanaan Teknis yang dirancang oleh penyedia jasa
perencanaan Bangunan Gedung yang mempunyai sertifikasi
kompetensi di bidangnya sesuai dengan fungsi dan
klasifikasinya.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) perencanan teknis untuk Bangunan Gedung hunian tunggal
sederhana, Bangunan Gedung hunian deret sederhana, dan
Bangunan Gedung darurat.
(3) Perencanaan Teknis Bangunan Gedung dirancang oleh
penyedia
jasa
perencanaan
Bangunan
Gedung
yang
mempunyai sertifikasi kompetensi di bidangnya sesuai dengan
klasifikasinya.
(4) Penyedia jasa perencana Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. Perencana arsitektur;
b. Perencana stuktur;
c. Perencana mekanikal;
d. Perencana elektrikal; dan
e. Perencana pemipaan (plumber);
f. Perencana proteksi kebakaran;
g. Perencana tata lingkungan.
(5) Pemerintah Kota dapat menetapkan perencanan teknis untuk
jenis Bangunan Gedung yang dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur dalam
Peraturan Walikota.
(6) Lingkup layanan jasa Perencanaan Teknis Bangunan Gedung
meliputi:
a. penyusunan konsep perencanaan;
b. prarencana;
c. pengembangan rencana; ............
c.
d.
e.
f.
pengembangan rencana;
rencana detail;
pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi;
pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa
pelaksanaan;
g. pengawasan berkala pelaksanaan konstruksi Bangunan
Gedung, dan
h. penyusunan petunjuk Pemanfaatan Bangunan Gedung.
(7) Perencanaan Teknis Bangunan Gedung dilakukan berdasarkan
kerangka acuan kerja dan dokumen ikatan kerja dengan
penyedia jasa perencanaan Bangunan Gedung yang memiliki
sertifikasi sesuai dengan bidangnya.
(8) Perencanaan Teknis Bangunan Gedung harus disusun dalam
suatu dokumen rencana teknis Bangunan Gedung.
Paragraf 2
Dokumen Rencana Teknis
Pasal 102
(1) Dokumen rencana teknis Bangunan Gedung dapat meliputi:
a. gambar rencana teknis berupa: rencana teknis arsitektur,
struktur dan konstruksi, utilitas (mekanikal/elektrikal);
b. gambar detail;
(2) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperiksa, dinilai, disetujui dan disahkan sebagai dasar untuk
pemberian IMB dengan mempertimbangkan kelengkapan
dokumen sesuai dengan fungsi dan klasifkasi Bangunan
Gedung, persyaratan tata bangunan, keselamatan, kesehatan,
kenyamanan dan kemudahan.
(3) Penilaian dokumen rencana teknis Bangunan Gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
a. pertimbangan dari TABG untuk Bangunan Gedung yang
digunakan bagi kepentingan umum;
b. pertimbangan dari TABG dan memperhatikan pendapat
masyarakat
untuk
Bangunan
Gedung
yang
akan
menimbulkan dampak penting;
c. koordinasi dengan Pemerintah Kota, dan mendapatkan
pertimbangan dari TABG serta memperhatikan pendapat
masyarakat untuk Bangunan Gedung yang diselenggarakan
oleh Pemerintah.
(4) Persetujuan dan pengesahan dokumen rencana teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan secara tertulis
oleh pejabat yang berwenang.
(5) Dokumen rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan
dikenakan biaya retribusi IMB yang besarnya ditetapkan
berdasarkan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung.
(6) Berdasarkan pembayaran retribusi IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) Walikota menerbitkan IMB.
Paragraf 3……..
Paragraf 3
Ketentuan Penghitungan Besaran Retribusi IMB
Pasal 103
(1) Untuk setiap penerbitan IMB dikenakan retribusi.
(2) Jenis kegiatan penyelenggaraan Bangunan Gedung yang
dikenakan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pembangunan baru;
b. rehabilitasi/renovasi (perbaikan/perawatan, perubahan,
perluasan/pengurangan); dan
c. pelestarian/pemugaran.
(3) Prasarana dan sarana Bangunan Gedung
melampaui GSB dan dikenakan retribusi adalah:
a. konstruksi pembatas/penahan/pengaman;
b. konstruksi penanda masuk lokasi;
c. konstruksi perkerasan;
d. konstruksi penghubung;
e. konstruksi kolam reservoir bawah tanah;
f. konstruksi menara;
g. konstruksi monumen;
h. konstruksi instalasi/gardu; dan
i. konstruksi reklame/papan nama.
yang
dapat
(4) Besarnya retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(5) Penghitungan besaran
perundang – undangan.
IMB
berpedoman
pada
peraturan
Bagian Ketiga
Tahapan Penyelenggaraan IMB
Paragraf 1
Umum
Pasal 104
Tahapan penyelenggaraan IMB meliputi:
a. proses prapermohonan IMB;
b. proses permohonan IMB;
c. proses penerbitan IMB; dan
d. pelayanan administrasi IMB.
Paragraf 2
Proses Prapermohonan IMB
Pasal 105
Proses prapermohonan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal
104 huruf a meliputi:
a. permohonan KRK oleh pemohon kepada pemerintah daerah;
dan
b. penyampaian informasi persyaratan permohonan penerbitan
IMB oleh pemerintah daerah kepada pemohon.
Pasal 106……..
Pasal 106
(1) Pemohon harus mengajukan
mengajukan permohonan IMB.
permohonan
(2) Pemohon KRK harus mengisi
mengikuti ketentuan dalam KRK.
surat
KRK
pernyataan
sebelum
untuk
(3) Pemerintah daerah harus memberikan KRK untuk lokasi yang
bersangkutan kepada pemohon.
(4) KRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi ketentuan
meliputi:
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi
bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan
tanah dan KTB yang diizinkan;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan
gedung yang diizinkan;
e. KDB maksimum yang diizinkan;
f. KLB maksimum yang diizinkan;
g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KTB maksimum yang diizinkan;
i. jaringan utilitas kota; dan
j. keterangan lainnya yang terkait.
(5) Dalam KRK dicantumkan ketentuan khusus yang berlaku
untuk lokasi yang bersangkutan antara lain:
a. lokasi yang terletak pada kawasan rawan bencana gempa;
b. kawasan rawan longsor;
c. kawasan rawan banjir; dan
d. lokasi yang kondisi tanahnya tercemar.
(6) KRK digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis
bangunan gedung.
Pasal 107
(1) Pemerintah
daerah
harus
menyampaikan
informasi
persyaratan permohonan penerbitan IMB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 huruf b.
(2) Dalam hal rencana pengajuan permohonan IMB bangunan
gedung sederhana, pemerintah daerah harus menyampaikan
informasi mengenai desain prototipe dan persyaratan pokok
tahan gempa.
Pasal 108
(1) Pemohon harus mengurus perizinan dan/atau rekomendasi
teknis lain dari instansi berwenang untuk permohonan IMB
bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dan bangunan khusus sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Perizinan…….
(2) Perizinan dan/atau rekomendasi teknis lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL-UPL);
c. Ketentuan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); dan
d. Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT).
Paragraf 3
Proses Penerbitan IMB
Pasal 109
(1) Permohonan IMB disampaikan kepada walikota dengan
dilampiri persyaratan administrasi dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung.
(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. data pemohon;
b. data tanah; dan
c. dokumen dan surat terkait.
(3) Data pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terdiri dari:
a. Formulir data pemohon; dan
b. Dokumen identitas pemohon.
(4) Data tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri
dari:
a. surat bukti status hak atas tanah yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah dan/atau pejabat lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan;
b. data kondisi atau situasi tanah yang merupakan data teknis
tanah; dan
c. surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa.
(5) Dokumen dan surat terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c terdiri dari:
a. surat pernyataan untuk mengikuti ketentuan dalam
Keterangan Rencana Kota (KRK);
b. surat pernyataan untuk menggunakan persyaratan pokok
tahan gempa;
c. surat pernyataan menggunakan desain prototipe.
d. data perencana konstruksi jika menggunakan perencana
konstruksi;
e. surat pernyataan menggunakan perencana konstruksi
bersertifikat;
f. surat pernyataan menggunakan pelaksana konstruksi
bersertifikat.
(6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari:
a. data umum Bangunan Gedung, dan
b. dokumen rencana teknis Bangunan Gedung.
(7) Data………
(7) Data umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a,
berisi informasi mengenai:
a. nama Bangunan Gedung;
b. alamat lokasi Bangunan Gedung;
c. fungsi dan/atau klasifikasi Bangunan Gedung;
d. jumlah lantai Bangunan Gedung;
e. luas lantai dasar Bangunan Gedung;
f. total luas lantai Bangunan Gedung;
g. ketinggian/jumlah lantai Bangunan Gedung;
h. luas basement;
i. jumlah lantai basement; dan
j. posisi Bangunan Gedung.
(8) Rencana teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf b, terdiri dari:
a. rencana arsitektur;
b. rencana struktur; dan
c. rencana utilitas.
Pasal 110
(1) Pemerintah Daerah memeriksa dan menilai syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 serta status/keadaan
tanah dan/atau bangunan untuk dijadikan sebagai bahan
persetujuan pemberian IMB.
(2) Pemerintah Daerah menetapkan retribusi IMB berdasarkan
bahan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemeriksaan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan penetapan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 3 (tiga) hari kerja untuk Bangunan Gedung
Sederhana 1 (satu) lantai terhitung sejak tanggal diterima
permohonan IMB.
(4) Pemeriksaan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan penetapan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 4 (empat) hari kerja untuk Bangunan Gedung
Sederhana 2 (dua) lantai terhitung sejak tanggal diterima
permohonan IMB.
(5) Pemeriksaan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan penetapan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 12 (dua belas) hari kerja untuk Bangunan
Gedung Tidak Sederhana untuk kepentingan umum dengan
ketinggian 1 (satu) sampai dengan 8 (delapan) lantai terhitung
sejak tanggal diterima permohonan IMB.
(6) Pemeriksaan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan penetapan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja untuk Bangunan
Gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dan
Bangunan Gedung Khusus dengan ketinggian lebih dari
8 (delapan) lantai terhitung sejak tanggal diterima permohonan
IMB.
(7) Pemeriksaan………..
(7) Pemeriksaan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan penetapan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 18 (delapan belas) hari kerja untuk IMB pondasi
Bangunan Gedung Tidak Sederhana untuk kepentingan umum
dan Bangunan Gedung Khusus terhitung sejak tanggal
diterima permohonan IMB.
(8) Berdasarkan penetapan retribusi IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pemohon IMB melakukan pembayaran retribusi
IMB ke kas daerah dan menyerahkan tanda bukti
pembayarannya kepada Pemerintah Kota.
(9) Ketentuan mengenai IMB berlaku pula untuk rumah adat
kecuali ditetapkan lain oleh Pemerintah Kota dengan
mempertimbangkan faktor nilai tradisional dan kearifan lokal
yang berlaku di masyarakat hukum adatnya.
Pasal 111
(1) Sebelum
memberikan
persetujuan
atas
persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis Pemerintah Kota dapat
meminta pemohon IMB untuk menyempurnakan dan/atau
melengkapi persyaratan yang diajukan.
(2) Pemerintah Kota dapat menyetujui, menunda, atau menolak
permohonan IMB yang diajukan oleh pemohon.
Pasal 112
(1) Pemerintah Kota dapat menunda menerbitkan IMB apabila:
a. Pemerintah Kota masih memerlukan waktu tambahan untuk
menilai,
khususnya
persyaratan
bangunan
serta
pertimbangan nilai lingkungan yang direncanakan;
b. Pemerintah Kota sedang merencanakan rencana bagian kota
atau rencana terperinci Kota.
(2) Penundaan penerbitan IMB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali untuk jangka
waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan terhitung sejak penundaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah Kota dapat menolak permohonan IMB apabila
Bangunan Gedung yang akan dibangun:
a. tidak memenuhi persyaratan administratif dan teknis;
b. penggunaan tanah yang akan didirikan Bangunan Gedung
tidak sesuai dengan rencana kota;
c. mengganggu atau memperburuk lingkungan sekitarnya;
d. mengganggu lalu lintas, aliran air, cahaya pada bangunan
sekitarnya yang telah ada, dan
e. terdapat keberatan dari masyarakat.
(4) Penolakan permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 113………
Pasal 113
(1) Surat penolakan permohonan IMB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (2) harus sudah diterima pemohon dalam
waktu paling lama 7(tujuh) hari setelah surat penolakan
dikeluarkan Pemerintah Kota.
(2) Pemohon dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
setelah menerima surat penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan kepada Pemerintah
Kota.
(3) Pemerintah Kota dalam waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah menerima keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memberikan jawaban tertulis terhadap keberatan
pemohon.
(4) Jika pemohon tidak melakukan hak sebagaimana maksud pada
ayat (2) pemohon dianggap menerima surat penolakan tersebut.
(5) Jika Pemerintah Kota tidak melakukan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Kota dianggap menerima
alasan keberatan pemohon sehingga Pemerintah Kota harus
menerbitkan IMB.
(6) Pemohon dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara apabila Pemerintah Kota tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 114
(1) Pemerintah Kota dapat mencabut IMB apabila:
a. pekerjaan Bangunan Gedung yang sedang dikerjakan
terhenti selama 3 (tiga) bulan dan tidak dilanjutkan lagi
berdasarkan pernyataan dari pemilik bangunan.
b. IMB diberikan berdasarkan data dan informasi yang tidak
benar.
c. pelaksanaan pembangunan menyimpang dari dokumen
rencana teknis yang telah disahkan dan/atau persyaratan
yang tercantum dalam izin.
(2) Sebelum pencabutan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada pemegang IMB diberikan peringatan secara tertulis
3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari dan diberikan kesempatan untuk mengajukan
tanggapannya.
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diperhatikan dan ditanggapi dan/atau tanggapannya tidak
dapat diterima, Walikota dapat mencabut IMB bersangkutan.
(4) Pencabutan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dituangkan dalam bentuk Keputusan Walikota yang memuat
alasan pencabutannya.
Pasal 115
Pasal 115
IMB tidak diperlukan untuk pekerjaan tersebut di bawah ini:
a. memperbaiki Bangunan Gedung dengan tidak mengubah
bentuk dan luas, serta menggunakan jenis bahan semula
antara lain:
1) Memlester;
2) Memperbaiki retak bangunan;
3) Melakukan pengecatan ulang;
4) Memperbaiki daun pintu dan/atau daun jendela;
5) Memperbaiki penutup udara tidak melebihi 1 m2;
6) Membuat pemindah halaman tanpa konstruksi;
7) Memperbaiki langit-langit tanpa mengubah jaringan
utilitas;
8) Mengubah bangunan sementara.
b. memperbaiki saluran air hujan dan selokan dalam pekarangan
bangunan;
c. membuat bangunan yang sifatnya sementara bagi kepentingan
pemeliharaan ternak dengan luas tidak melebihi garis
sempadan belakang dan samping serta tidak mengganggu
kepentingan orang lain atau umum;
d. membuat pagar halaman yang sifatnya sementara (tidak
permanen) yang tingginya tidak melebihi 120 (seratus dua
puluh) centimeter kecuali adanya pagar ini mengganggu
kepentingan orang lain atau umum.
e. membuat bangunan yang sifat penggunaannya sementara
waktu.
Paragraf 4
Pelayanan Administrasi IMB
Pasal 116
Pelayanan administrasi IMB meliputi:
a. pembuatan duplikat dokumen IMB yang dilegalisasikan sebagai
pengganti dokumen IMB yang hilang atau rusak, dengan
melampirkan surat keterangan hilang dari instansi yang
berwenang;
b. pemecahan dokumen IMB sesuai dengan perubahan
pemecahan dokumen IMB dan/atau kepemilikan tanah dan
perubahan data lainnya, atas permohonan yang bersangkutan;
dan
c. permohonan IMB untuk bangunan gedung yang sudah
terbangun dan belum memiliki IMB.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Konstruksi
Paragraf 1
Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 117
(1)
Pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung meliputi kegiatan
pembangunan
baru,
perbaikan,
penambahan,
perubahan
dan/atau pemugaran Bangunan Gedung dan/atau
instalasi
dan/atau perlengkapan Bangunan Gedung.
(2) Pelaksanaan………..
(2)
Pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung dimulai setelah Pemilik
Bangunan
Gedung
memperoleh
IMB
dan
dilaksanakan
berdasarkan dokumen rencana teknis yang telah disahkan.
(3)
Pelaksanaan Bangunan Gedung dikoordinasikan dengan Bidang
Pengawasan dan Penertiban pada instansi terkait.
(4)
Pelaksana Bangunan Gedung adalah orang atau badan hukum
yang telah memenuhi syarat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan kecuali ditetapkan lain oleh Pemerintah
Kota.
(5)
Dalam melaksanakan pekerjaan, pelaksana bangunan wajib
mengikuti semua ketentuan dan syarat-syarat pembangunan yang
ditetapkan dalam IMB.
Pasal 118
(1)
Kegiatan pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung terdiri atas
kegiatan pemeriksaan dokumen pelaksanaan oleh Pemerintah
Kota, kegiatan persiapan lapangan, kegiatan konstruksi, kegiatan
pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi dan kegiatan penyerahan
hasil akhir pekerjaan.
(2)
Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pemeriksaan kelengkapan, kebenaran dan
keterlaksanaan konstruksi dan semua pelaksanaan pekerjaan.
(3)
Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penyusunan program pelaksanaan, mobilisasi sumber daya dan
penyiapan fisik lapangan.
(4)
Kegiatan konstruksi meliputi kegiatan pelaksanaan konstruksi di
lapangan, pembuatan laporan kemajuan pekerjaan, penyusunan
gambar kerja pelaksanaan (shop drawings)
dan gambar
pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang telah dilaksanakan (as
built drawings) serta kegiatan masa pemeliharaan konstruksi.
(5)
Kegiatan pemeriksaaan akhir pekerjaan konstruksi meliputi
pemeriksaan hasil akhir pekerjaaan konstruksi Bangunan Gedung
terhadap kesesuaian dengan dokumen pelaksanaan yang berwujud
Bangunan Gedung yang Laik Fungsi dan dilengkapi dengan
dokumen pelaksanaan konstruksi, gambar pelaksanaan pekerjaan
(as built drawings), pedoman pengoperasian dan pemeliharaan
Bangunan Gedung, peralatan serta perlengkapan mekanikal dan
elektrikal serta dokumen penyerahan hasil pekerjaan.
(6)
Berdasarkan hasil pemeriksaan akhir sebagaimana dimaksud pada
ayat
(5),
Pemilik
Bangunan
Gedung
atau
penyedia
jasa/pengembang mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat
Laik Fungsi Bangunan Gedung kepada Pemerintah Kota.
Paragraf 2
Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 119
(1)
Pelaksanaan konstruksi wajib diawasi oleh petugas pengawas
pelaksanaan konstruksi.
(2) Pemeriksaan…………
(2)
Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung meliputi
pemeriksaan kesesuaian fungsi, persyaratan tata bangunan,
keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan, dan IMB.
Pasal 120
Pengawas berwenang:
a. memasuki dan mengadakan pemeriksaan di tempat pelaksanaan
konstruksi setelah menunjukkan tanda pengenal dan surat tugas;
b. menggunakan acuan peraturan umum bahan bangunan, rencana
kerja syarat-syarat dan IMB;
c. memerintahkan untuk menyingkirkan bahan bangunan dan
bangunan yang tidak memenuhi syarat, yang dapat mengancam
kesehatan dan keselamatan umum;
d. memberikan surat perintah penghentian pekerjaan pembangunan,
apabila berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada pasal ini ternyata diketahui pelaksanaan pekerjaan tidak
sesuai dengan IMB yang berlaku;
e. melaksanakan pemanggilan terhadap pelanggaran pelaksanaan
mendirikan bangunan, untuk diproses lebih lanjut sesuai
ketentuan yang berlaku; dan
f.
menghentikan pelaksanaan konstruksi, dan melaporkan kepada
instansi yang berwenang.
Paragraf 3
Pemeriksaan Kelaikan Fungsi Bangunan Gedung
Pasal 121
(1)
Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung dilakukan setelah
Bangunan Gedung selesai dilaksanakan oleh pelaksana konstruksi
sebelum diserahkan kepada Pemilik Bangunan Gedung.
(2)
Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian
teknis bangunan gedung, kecuali untuk rumah tinggal tunggal dan
rumah tinggal deret oleh Pemerintah Kota.
(3)
Segala biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan kelaikan fungsi
oleh penyedia jasa pengkajian teknis Bangunan Gedung menjadi
tanggung jawab pemilik atau pengguna.
(4)
Pemerintah daerah dalam melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi
bangunan gedung dapat mengikutsertakan pengkaji teknis
profesional, dan penilik bangunan yang bersertifikat sedangkan
pemilik tetap bertanggung jawab dan wajib untuk menjaga
keandalan bangunan gedung.
(5)
Dalam hal belum terdapat pengkaji teknis bangunan gedung,
pengkajian teknis dilakukan oleh pemerintah daerah dan dapat
bekerja sama dengan asosiasi profesi yang terkait dengan
Bangunan Gedung.
Pasal 122
(1)
Pemilik/pengguna bangunan yang memiliki unit teknis dengan
SDM yang memiliki sertifikat keahlian dapat melakukan
Pemeriksaan Berkala dalam rangka pemeliharaan dan perawatan.
(2) Pemilik………
(2)
Pemilik/pengguna bangunan dapat melakukan ikatan kontrak
dengan pengelola berbentuk badan usaha yang memiliki unit
teknis dengan SDM yang bersertifikat keahlian Pemeriksaan
Berkala dalam rangka pemeliharaan dan parawatan Bangunan
Gedung.
(3)
Pemilik perorangan Bangunan Gedung dapat melakukan
pemeriksaan sendiri secara berkala selama yang bersangkutan
memiliki sertifikat keahlian.
Pasal 123
(1)
Pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung
untuk proses penerbitan SLF Bangunan Gedung hunian rumah
tinggal tidak sederhana, Bangunan Gedung lainnya atau
Bangunan Gedung Tertentu dilakukan oleh penyedia jasa
pengawasan atau manajemen konstruksi yang memiliki sertifikat
keahlian.
(2)
Pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung
untuk proses penerbitan SLF Bangunan Gedung fungsi khusus
dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan atau manajemen
konstruksi yang memiliki sertifikat dan tim internal yang memiliki
sertifikat keahlian dengan memperhatikan pengaturan internal dan
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
fungsi khusus tersebut.
(3)
Pengkajian teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan
Gedung untuk proses penerbitan SLF Bangunan Gedung hunian
rumah tinggal tidak sederhana, Bangunan Gedung lainnya pada
umumnya dan Bangunan Gedung Tertentu untuk kepentingan
umum dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis konstruksi
Bangunan Gedung yang memiliki sertifikat keahlian.
(4)
Pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung
untuk proses penerbitan SLF Bangunan Gedung fungsi khusus
dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis konstruksi
Bangunan Gedung yang memiliki sertifikat keahlian dan tim
internal yang memiliki sertifikat keahlian dengan memperhatikan
pengaturan internal dan rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang fungsi dimaksud.
Hubungan kerja antara pemilik/Pengguna Bangunan Gedung dan
penyedia jasa pengawasan/manajemen konstruksi atau penyedia
jasa pengkajian teknis konstruksi
Bangunan Gedung
dilaksanakan berdasarkan ikatan kontrak.
(5)
Pasal 124
(1)
Pemerintah
Kota,
khususnya
instansi
teknis
pembina
penyelenggaraan Bangunan Gedung, dalam proses penerbitan SLF
Bangunan Gedung melaksanakan pengkajian teknis untuk
pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung hunian rumah
tinggal tunggal termasuk rumah tinggal tunggal sederhana dan
rumah deret dan Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung hunian
rumah tinggal tunggal dan rumah deret.
(2) Dalam………
(2)
(3)
Dalam hal di instansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak terdapat tenaga teknis yang cukup, Pemerintah
Daerah dapat menugaskan penyedia jasa pengkajian teknis
kontruksi Bangunan Gedung untuk melakukan pemeriksaan
kelaikan fungsi Bangunan Gedung hunian rumah tinggal tunggal
sederhana dan rumah tinggal deret sederhana.
Dalam hal penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum tersedia, instansi teknis pembina Penyelenggara Bangunan
Gedung dapat bekerja sama dengan asosiasi profesi di bidang
Bangunan Gedung untuk melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi
Bangunan Gedung.
Paragraf 4
Tata Cara Penerbitan SLF Bangunan Gedung
Pasal 125
(1)
Penerbitan SLF Bangunan Gedung dilakukan atas dasar
permintaan
pemilik/Pengguna
Bangunan
Gedung
untuk
Bangunan Gedung yang telah selesai pelaksanaan konstruksinya
atau untuk perpanjangan SLF Bangunan Gedung yang telah
pernah memperoleh SLF.
(2)
SLF Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan mengikuti prinsip pelayanan prima dan tanpa
pungutan biaya.
(3)
SLF Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah terpenuhinya persyaratan administratif dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi dan Klasifikasi Bangunan
Gedung.
(4)
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Pada proses pertama kali SLF Bangunan Gedung:
1) kesesuaian data aktual dengan data dalam dokumen status
hak atas tanah;
2) kesesuaian data aktual kepemilikan Bangunan Gedung;
3) melampirkan dokumen IMB;
4) melampirkan dokumen pengendalian dampak lingkungan
hidup dan dokumen pengendalian dampak lalu lintas.
b. Pada proses perpanjangan SLF Bangunan Gedung:
1) kesesuaian data aktual dan/atau adanya perubahan dalam
dokumen status kepemilikan Bangunan Gedung;
2) kesesuaian data aktual (terakhir) dan/atau adanya
perubahan dalam dokumen status kepemilikan tanah; dan
3) kesesuaian data aktual (terakhir) dan/atau adanya
perubahan data dalam dokumen IMB.
(5)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Pada proses pertama kali SLF Bangunan Gedung:
1) kesesuaian data aktual dengan data dalam dokumen
pelaksanaan konstruksi termasuk as built drawings,
pedoman pengoperasian dan pemeliharaan/perawatan
Bangunan Gedung, peralatan serta perlengkapan mekanikal
dan elektrikal dan dokumen ikatan kerja;
2) pengujian………
2) pengujian lapangan (on site) dan/atau laboratorium untuk
aspek
keselamatan,
kesehatan,
kenyamanan
dan
kemudahan pada struktur, peralatan dan perlengkapan
Bangunan Gedung serta prasarana pada komponen
konstruksi atau peralatan yang memerlukan data teknis
akurat sesuai dengan Pedoman Teknis dan tata cara
pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.
b. Pada proses perpanjangan SLF Bangunan Gedung:
1) kesesuaian data aktual dengan data dalam dokumen hasil
Pemeriksaan Berkala, laporan pengujian struktur, peralatan
dan perlengkapan Bangunan Gedung serta prasarana
Bangunan Gedung, laporan hasil perbaikan dan/atau
penggantian pada kegiatan perawatan, termasuk perubahan
fungsi, intensitas, arsitektrur dan dampak lingkungan yang
ditimbulkan;
2) pengujian lapangan (on site) dan/atau laboratorium untuk
aspek
keselamatan,
kesehatan,
kenyamanan
dan
kemudahan pada struktur, peralatan dan perlengkapan
Bangunan Gedung serta prasarana pada struktur,
komponen konstruksi dan peralatan yang memerlukan data
teknis akurat termasuk perubahan fungsi, peruntukan dan
intensitas, arsitektur serta dampak lingkungan yang
ditimbulkannya, sesuai dengan Pedoman Teknis dan tata
cara pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.
(6)
Data hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dicatat dalam daftar simak, disimpulkan dalam surat pernyataan
pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung atau rekomendasi
pada pemeriksaan pertama dan Pemeriksaan Berkala.
Bagian Kelima
Kegiatan Pemanfaatan Bangunan Gedung
Paragraf 1
Umum
Pasal 126
Kegiatan Pemanfaatan Bangunan Gedung meliputi pemanfaatan,
pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan secara berkala, perpanjangan
SLF, dan pengawasan pemanfaatan.
Pasal 127
(1)
Pemanfatan
Bangunan
Gedung
merupakan
kegiatan
memanfaatkan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang
ditetapkan dalam IMB setelah pemilik memperoleh SLF.
(2)
Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara tertib administrasi dan tertib teknis untuk menjamin
kelaikan fungsi Bangunan Gedung tanpa menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan.
(3)
Pemilik Bangunan Gedung untuk kepentingan umum harus
mengikuti program pertanggungan terhadap kemungkinan
kegagalan Bangunan Gedung selama Pemanfaatan Bangunan
Gedung.
Paragraf 2………..
Paragraf 2
Pemeliharaan
Pasal 128
(1)
Kegiatan pemeliharaan gedung meliputi pembersihan, perapian,
pemeriksaan, pengujian, perbaikan dan/atau penggantian bahan
atau perlengkapan Bangunan Gedung dan/atau kegiatan sejenis
lainnya berdasarkan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan
Bangunan Gedung.
(2)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung harus melakukan
kegiatan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dapat menggunakan penyedia jasa pemeliharaan gedung yang
mempunyai sertifikat kompetensi yang sesuai berdasarkan ikatan
kontrak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3)
Pelaksanaan
kegiatan
pemeliharaan
oleh
penyedia
jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menerapkan prinsip
keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
(4)
Hasil kegiatan pemeliharaaan dituangkan ke dalam laporan
pemeliharaan yang digunakan sebagai pertimbangan penetapan
perpanjangan SLF Bangunan Gedung.
Paragraf 3
Perawatan
Pasal 129
(1)
Kegiatan perawatan Bangunan Gedung meliputi perbaikan
dan/atau penggantian bagian Bangunan Gedung, komponen,
bahan bangunan dan/atau prasarana dan sarana berdasarkan
rencana teknis perawatan Bangunan Gedung.
(2)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung di dalam melakukan
kegiatan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan penyedia jasa perawatan Bangunan Gedung
bersertifikat dengan dasar ikatan kontrak berdasarkan peraturan
perundang-undangan mengenai jasa konstruksi.
(3)
Perbaikan dan/atau penggantian dalam kegiatan perawatan
Bangunan Gedung dengan tingkat kerusakan sedang dan berat
dilakukan setelah dokumen rencana teknis perawatan Bangunan
Gedung disetujui oleh Pemerintah Kota.
(4)
Hasil kegiatan perawatan dituangkan ke dalam laporan perawatan
yang akan digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan
penetapan perpanjangan SLF.
(5)
Pelaksanaan kegiatan perawatan oleh penyedia jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus menerapkan prinsip keselamatan
dan kesehatan kerja (K3).
Paragraf 4………
Paragraf 4
Pemeriksaan Berkala
Pasal 130
(1)
Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung dilakukan untuk seluruh
atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan,
dan/atau sarana dan prasarana dalam rangka pemeliharaan dan
perawatan yang harus dicatat dalam laporan pemeriksaan sebagai
bahan untuk memperoleh perpanjangan SLF Bangunan Gedung.
(2)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung di dalam melakukan
kegiatan Pemeriksaan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menggunakan penyedia jasa pengkajian teknis Bangunan
Gedung atau perorangan yang mempunyai sertifikat kompetensi
yang sesuai.
(3)
Lingkup layanan Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemeriksaan
dokumen
administrasi,
pelaksanaan,
pemeliharaan dan perawatan Bangunan Gedung;
b. kegiatan pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap
pemenuhan persyaratan teknis termasuk pengujian keandalan
Bangunan Gedung;
c. kegiatan analisis dan evaluasi, dan
d. kegiatan penyusunan laporan.
(4)
Bangunan rumah tinggal tunggal, bangunan rumah tinggal deret
dan bangunan rumah tinggal sementara yang tidak Laik Fungsi,
SLF Bangunan Gedung -nya dibekukan.
(5)
Dalam hal belum terdapat penyedia jasa pengkajianteknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengkajian teknis dilakukan
oleh Pemerintah Kota dan dapatbekerja sama dengan asosiasi
profesi yang terkait denganbangunan gedung.
Paragraf 5
Perpanjangan SLF
Pasal 131
(1)
Perpanjangan SLF Bangunan Gedung diberlakukan untuk
Bangunan Gedung yang telah dimanfaatkan dan masa berlaku SLF
Bangunan Gedung-nya telah habis.
(2)
Ketentuan masa berlaku SLF Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yaitu:
a. untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal
sederhana dan rumah deret sederhana tidak dibatasi (tidak
ada ketentuan untuk perpanjangan SLF Bangunan Gedung);
b. untuk Bangunan Gedung hunian rumah tinggal tunggal, dan
rumah deret sampai dengan 2 (dua) lantai ditetapkan dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun;
c. untuk………
c.
untuk untuk Bangunan Gedung hunian rumah tinggal tidak
sederhana, Bangunan Gedung lainnya pada umumnya, dan
Bangunan Gedung tertentu ditetapkan dalam jangka waktu
5 (lima) tahun.
(3)
Pengurusan perpanjangan SLF Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh)
hari kalender sebelum berakhirnya masa berlaku SLF Bangunan
Gedung dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4)
Pengurusan perpanjangan SLF Bangunan Gedung dilakukan
setelah pemilik/ pengguna/pengelola Bangunan Gedung memiliki
hasil pemeriksaan/kelaikan fungsi Bangunan Gedung berupa:
a. laporan Pemeriksaan Berkala, laporan pemeriksaan dan
perawatan Bangunan Gedung;
b. daftar simak pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung;
dan
c. dokumen surat pernyataan pemeriksaan kelaikan fungsi
Bangunan Gedung atau rekomendasi.
(5)
Permohonan perpanjangan SLF Bangunan Gedung diajukan oleh
pemilik/ pengguna/pengelola Bangunan Gedung dengan dilampiri
dokumen:
a. surat permohonan perpanjangan SLF Bangunan Gedung;
b. surat pernyataan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan
Gedung atau rekomendasi hasil pemeriksaan kelaikan fungsi
Bangunan Gedung yang ditandatangani di atas meterai yang
cukup;
c. as built drawings;
d. fotokopi IMB Bangunan Gedung atau perubahannya;
e. fotokopi dokumen status hak atas tanah;
f.
fotokopi dokumen status kepemilikan Bangunan Gedung;
g. rekomendasi dari instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang fungsi khusus; dan
h. dokumen SLF Bangunan Gedung yang terakhir.
(6)
Pemerintah Kota menerbitkan SLF Bangunan Gedung paling lama
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
(7)
SLF Bangunan Gedung disampaikan kepada pemohon selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerbitan
perpanjangan SLF Bangunan Gedung.
(8)
Ketentuan lebih lanjut tata cara perpanjangan SLF Bangunan
Gedung diatur dengan Peraturan Walikota.
Paragraf 6
Pengawasan Pemanfaatan Bangunan Gedung
Pasal 132
Pengawasan Pemanfaatan Bangunan Gedung dilakukan
Pemerintah Kota:
a. pada saat pengajuan perpanjangan SLF Bangunan Gedung;
b. adanya laporan dari masyarakat, dan
oleh
c. adanya………..
c.
d.
adanya indikasi perubahan fungsi dan/atau Bangunan Gedung
yang membahayakan lingkungan.
permintaan dari pihak Pemerintah Kota dengan alasan tertentu.
Paragraf 7
Pelestarian
Pasal 133
(1)
Pelestarian Bangunan Gedung meliputi kegiatan penetapan dan
pemanfaatan,
perawatan
dan
pemugaran,
dan
kegiatan
pengawasannya sesuai dengan kaidah pelestarian.
(2)
Pelestarian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan secara tertib dan menjamin kelaikan fungsi
Bangunan Gedung dan lingkungannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 8
Penetapan dan Pendaftaran Bangunan Gedung Cagar Budaya yang
Dilestarikan
Pasal 134
(1)
Bangunan Gedung dan lingkungannya dapat ditetapkan sebagai
bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan apabila
telah berumur paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili
masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologinya, serta
memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
(2)
Pemilik, masyarakat, Pemerintah Kota dapat mengusulkan
Bangunan Gedung dan lingkungannya yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk ditetapkan sebagai
bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan.
(3)
Bangunan Gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebelum diusulkan penetapannya harus telah
mendapat pertimbangan dari tim ahli pelestarian Bangunan
Gedung dan hasil dengar pendapat masyarakat dan harus
mendapat persetujuan dari Pemilik Bangunan Gedung.
(4)
Bangunan Gedung yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai
Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan klasifikasinya
yang terdiri atas:
a. klasifikasi utama yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya
yang bentuk fisiknya sama sekali tidak boleh diubah;
b. klasifikasi madya yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya
yang bentuk fisiknya dan eksteriornya sama sekali tidak boleh
diubah, namun tata ruang dalamnya sebagian dapat diubah
tanpa mengurangi nilai perlindungan dan pelestariannya;
c. klasifikasi………
c. klasifikasi
pratama
yaitu
Bangunan
Gedung
dan
lingkungannya yang bentuk fisik aslinya boleh diubah sebagian
tanpa mengurangi nilai perlindungan dan pelestariannya serta
tidak menghilangkan bagian utama Bangunan Gedung
tersebut.
(5)
Pemerintah Kota melalui instansi terkait mencatat Bangunan
Gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan serta
keberadaan Bangunan Gedung dimaksud menurut klasifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6)
Keputusan penetapan Bangunan Gedung dan lingkungannya yang
dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disampaikan secara tertulis kepada pemilik.
Paragraf 9
Penyelenggaraan Bangunan Gedung Cagar Budaya yang
Dilestarikan
Pasal 135
(1)
Penyelenggaraan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan
harus mengikuti prinsip:
a. sedikit mungkin melakukan perubahan;
b. sebanyak mungkin mempertahankan keaslian; dan
c. tindakan perubahan dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
(2)
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, atau Pemerintah Kota
dalam hal bangunan gedung cagar budaya dimiliki oleh
negara/daerah;
b. pemilik bangunan gedung cagar budaya yang berbadan hukum
atau perseorangan;
c. pengguna dan/atau pengelola bangunan gedung cagar budaya
yang berbadan hukum atau perseorangan; dan
d. penyedia jasa yang kompeten dalam bidang bangunan gedung.
(3)
Penyelenggaraan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan
meliputi kegiatan:
a. persiapan;
b. perencanaan teknis;
c. pelaksanaan;
d. pemanfaatan; dan
e. pembongkaran.
(4)
Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
dilakukan melalui tahapan:
a. kajian identifikasi; dan
b. usulan penanganan pelestarian.
(5)
Perencanaan teknis bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
dilakukan melalui tahapan:
a. penyiapan dokumen rencana teknis pelindungan bangunan
gedung cagar budaya; dan
b. penyiapan……….
b. penyiapan dokumen rencana teknis pengembangan dan
pemanfaatan bangunan gedung cagar budaya sesuai dengan
fungsi yang ditetapkan.
(6)
Pelaksanaan bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi pekerjaan:
a. arsitektur;
b. struktur;
c. utilitas;
d. lanskap;
e. tata ruang dalam/interior; dan/atau
f. pekerjaan khusus lainnya.
(7)
Pelaksanaan pemugaran bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(8)
Bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan dapat
dimanfaatkan oleh pemilik, pengguna dan/atau pengelola setelah
bangunan dinyatakan laik fungsi dengan harus melakukan
pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan berkala berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(9)
Pembongkaran bangunan gedung cagar budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat dilakukan apabila terdapat
kerusakan struktur bangunan yang tidak dapat diperbaiki lagi
serta membahayakan pengguna, masyarakat, dan lingkungan.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bangunan
Gedung cagar budaya diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Keenam
Pendataan Bangunan Gedung
Paragraf 1
Umum
Pasal 136
(1) Pendataan Bangunan Gedung wajib dilakukan pemerintah daerah
untuk keperluan tertib administratif Penyelenggaraan Bangunan
Gedung.
(2) Sasaran pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah seluruh bangunan gedung, yang meliputi
Bangunan Gedung baru dan Bangunan Gedung yang telah ada.
(3) Walikota wajib menyimpan secara tertib data Bangunan Gedung
sebagai arsip Pemerintah Kota.
(4) Pendataan Bangunan Gedung fungsi khusus dilakukan oleh
Pemerintah Kota dengan berkoordinasi dengan Pemerintah.
Pasal 137
Pendataan dan/atau pendaftaran Bangunan Gedung dilakukan pada
saat :
a. permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung;
b. Permohonan………..
b. Permohonan Perubahan Izin Mendirikan Bangunan Gedung , yaitu
pada waktu penambahan, pengurangan atau perubahan bangunan
gedung, yang telah memenuhi persyaratan IMB, perubahan fungsi
bangunan gedung, dan pelestarian bangunan gedung;
c. penerbitan SLF Bangunan Gedung pertama kali;
d. perpanjangan SLF Bangunan Gedung; dan
e. pembongkaran bangunan gedung.
Pasal 138
(1) Pemutakhiran data dilakukan oleh Pemerintah Kota secara aktif
dan berkala dengan melakukan pendataan ulang bangunan
gedung secara periodik yaitu:
a. setiap 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung fungsi nonhunian; dan
b. setiap 10 (sepuluh) tahun untuk bangunan gedung fungsi
hunian.
(2) Selain dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemutakhiran data juga oleh pemerintah daerah pada masa
peralihan yaitu selama 1 (satu) tahun terhitung sejak peraturan
daerah ini ditetapkan.
Paragraf 2
Proses Pendataan Bangunan Gedung
Pasal 139
(1) Proses pendataan bangunan gedung merupakan kegiatan
memasukan dan mengolah data bangunan gedung oleh pemerintah
daerah
sebagai
proses
lanjutan
dari
pemasukan
dokumen/pendaftaran bangunan gedung baik pada proses IMB
ataupun pada proses SLF dengan prosedur yang sudah ditetapkan.
(2) Output/hasil pendataan bangunan gedung dapat menjadi dasar
pertimbangan diterbitkannya Surat Bukti Kepemilikan Bangunan
Gedung (SBKBG), sebagai bukti telah terpenuhinya semua
persyaratan kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung.
Pasal 140
(1) Pendataan bangunan gedung dibagi
penyelenggaraan bangunan gedung yaitu:
a. tahap perencanaan;
b. tahap pelaksanaan; dan
c. tahap pemanfaatan.
dalam
tiga
tahap
(2) Pendataan
bangunan
gedung
pada
tahap
perencanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan pada saat
permohonan IMB, hasil akhir dari kegiatan pendataan bangunan
gedung pada pra konstruksi ini bisa menjadi dasar penerbitan
IMB.
(3) Pendataan………
(3) Pendataan
bangunan
gedung
pada
tahap
pelaksanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada akhir
proses pelaksanaan konstruksi yang menjadi dasar diterbitkannya
SLF Bangunan Gedung sebelum bangunan dimanfaatkan.
(4) Pendataan
bangunan
gedung
pada
tahap
pemanfaatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. pendataan bangunan gedung pada saat proses perpanjangan
SLF Bangunan Gedung, yaitu pada saat jatuh tempo masa
berlakunya SLF Bangunan Gedung dan pemilik/pengelola
bangunan gedung mengajukan permohonan perpanjangan SLF
Bangunan Gedung; dan
b. pendataan bangunan gedung pada saat pembongkaran
Bangunan Gedung, yaitu pada saat bangunan gedung akan
dibongkar akibat sudah tidak layak fungsi, membahayakan
lingkungan, dan/atau tidak memiliki IMB.
Paragraf 3
Sistem Pendataan Bangunan Gedung
Pasal 141
(1) Sistem yang digunakan dalam pendataan bangunan gedung
merupakan sistem terkomputerisasi.
(2) Sistem pendataan bangunan gedung merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam seluruh tahapan penyelenggaraan bangunan
gedung.
(3) Aplikasi yang digunakan dalam pendataan bangunan gedung
diarahkan untuk dapat dimanfaatkan pada seluruh tahap
penyelenggaraan bangunan gedung, yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan pembongkaran.
Pasal 142
(1) Data bangunan gedung terdiri atas:
a. data umum Bangunan Gedung;
b. data teknis Bangunan Gedung;
c. data status Bangunan Gedung;
d. data terkait proses IMB;
e. data terkait proses SLF Bangunan Gedung; dan
f. data terkait proses pembongkaran/pelestarian.
(2) Data umum Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. data perorangan;
b. data badan usaha;
c. data negara;
d. data tanah; dan
e. data bangunan gedung.
(3) Data teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. data teknis struktur;
b. data teknis arsitektur;
c. data…….
c. data teknis utilitas; dan
d. data penyedia jasa.
(4) Data status bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c meliputi:
a. data perorangan;
b. data badan usaha;
c. data negara; dan
d. data status administrasi bangunan gedung.
(5) Data terkait proses IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi:
a. data kelengkapan administrasi pemohon IMB; dan
b. data terkait kemajuan permohonan IMB.
(6) Data terkait proses SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f meliputi:
a. data kelengkapan administrasi pemohon SLF Bangunan
Gedung; dan
b. data kemajuan proses permohonan SLF Bangunan Gedung.
(7) Data terkait proses pembongkaran/pelestarian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
a. data
kelengkapan
administrasi
pemohon
pembongkaran/pelestarian; dan
b. data kemajuan proses permohonan pembongkaran/pelestarian.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan bangunan gedung
diatur dengan Peraturan Walikota.
Bagian Ketujuh
Pembongkaran
Paragraf 1
Umum
Pasal 143
(1)
Pembongkaran Bangunan Gedung meliputi kegiatan penetapan
pembongkaran dan pelaksanaan pembongkaran Bangunan
Gedung, yang dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah
pembongkaran
secara
umum
serta
memanfaatkan
ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(2)
Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan secara tertib dan mempertimbangkan
keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya.
(3)
Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus sesuai dengan ketetapan perintah pembongkaran
atau persetujuan pembongkaran oleh Pemerintah Kota, kecuali
Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.
Paragraf 2……..
Paragraf 2
Penetapan Pembongkaran
Pasal 144
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Kota mengidentifikasi Bangunan
Gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar berdasarkan hasil
pemeriksaan dan/atau laporan dari masyarakat.
(2)
Bangunan Gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Bangunan Gedung yang tidak Laik Fungsi dan tidak dapat
diperbaiki lagi;
b. Bangunan Gedung yang pemanfaatannya menimbulkan
bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya;
c. Bangunan Gedung yang tidak memiliki IMB; dan/atau
d. Bangunan Gedung yang pemiliknya menginginkan tampilan
baru.
(3)
Pemerintah Kota menyampaikan hasil identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik/Pengguna Bangunan
Gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar.
(4)
Berdasarkan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), pemilik/pengguna/pengelola Bangunan Gedung wajib
melakukan pengkajian teknis dan menyampaikan hasilnya kepada
Pemerintah Kota.
(5)
Apabila hasil pengkajian tersebut sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Kota menetapkan
Bangunan Gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat
penetapan pembongkaran atau surat pesetujuan pembongkaran
dari Walikota, yang memuat batas waktu dan prosedur
pembongkaran serta sanksi atas pelanggaran yang terjadi.
(6)
Dalam hal pemilik/pengguna/pengelola Bangunan Gedung tidak
melaksanakan perintah pembongkaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), pembongkaran akan dilakukan oleh Pemerintah
Daerah atas beban biaya pemilik/pengguna/pengelola Bangunan
Gedung, kecuali bagi pemilik bangunan rumah tinggal yang tidak
mampu, biaya pembongkarannya menjadi beban Pemerintah Kota.
Paragraf 3
Rencana Teknis Pembongkaran
Pasal 145
(1)
Pembongkaran Bangunan Gedung yang pelaksanaannya dapat
menimbulkan dampak luas terhadap keselamatan umum dan
lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis
pembongkaran yang disusun oleh penyedia jasa Perencanaan
Teknis yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai.
(2) Rencana…………
(2)
Rencana teknis pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disetujui oleh Pemerintah Kota, setelah mendapat
pertimbangan dari TABG.
(3)
Dalam hal pelaksanaan pembongkaran berdampak luas terhadap
keselamatan umum dan lingkungan, pemilik dan/atau Pemerintah
Daerah melakukan sosialisasi dan pemberitahuan tertulis kepada
masyarakat di sekitar Bangunan Gedung, sebelum pelaksanaan
pembongkaran.
(4)
Pelaksanaan
pembongkaran
mengikuti
keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
prinsip-prinsip
Paragraf 4
Pelaksanaan Pembongkaran
Pasal 146
(1)
Pembongkaran Bangunan Gedung dapat dilakukan oleh pemilik
dan/atau Pengguna Bangunan Gedung atau menggunakan
penyedia jasa pembongkaran Bangunan Gedung yang memiliki
sertifikat keahlian yang sesuai.
(2)
Pembongkaran Bangunan Gedung yang menggunakan peralatan
berat dan/atau bahan peledak harus dilaksanakan oleh penyedia
jasa pembongkaran Bangunan Gedung yang mempunyai sertifikat
keahlian yang sesuai.
(3)
Pemilik dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak
melaksanakan pembongkaran dalam batas waktu yang ditetapkan
dalam surat perintah pembongkaran, pelaksanaan pembongkaran
dilakukan oleh Pemerintah Kota melalui instansi terkait atas beban
biaya pemilik dan/atau Pengguna Bangunan Gedung.
Paragraf 5
Pengawasan Pembongkaran Bangunan Gedung
Pasal 147
(1)
Pengawasan pembongkaran Bangunan Gedung tidak sederhana
dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan yang memiliki sertifikat
keahlian yang sesuai.
(2)
Pembongkaran Bangunan Gedung tidak sederhana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana teknis
yang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Kota.
(3)
Hasil pengawasan pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada Pemerintah Kota.
(4)
Pemerintah Kota melakukan pemantauan atas pelaksanaan
kesesuaian laporan pelaksanaan pembongkaran dengan rencana
teknis pembongkaran.
Bagian …….
Bagian Kedelapan
Penyelenggaraan Bangunan Gedung Untuk Kebencanaan
Paragraf 1
Penanggulangan Darurat
Pasal 148
(1)
Penanggulangan darurat merupakan tindakan yang dilakukan
untuk mengatasi sementara waktu akibat yang ditimbulkan oleh
bencana alam yang menyebabkan rusaknya Bangunan Gedung
yang menjadi hunian atau tempat beraktivitas.
(2)
Penanggulangan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Kota dan/atau kelompok
masyarakat.
(3)
Penanggulangan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah
terjadinya bencana alam sesuai dengan
skalanya yang mengancam keselamatan Bangunan Gedung dan
penghuninya.
(4)
Skala bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dalam setiap tingkatan
pemerintahan yaitu:
a. Presiden untuk bencana alam dengan skala nasional;
b. Gubernur untuk bencana alam dengan skala provinsi;
c. Walikota untuk bencana alam skala kota.
(5)
Di dalam menetapkan skala bencana alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) berpedoman pada peraturan perundang-undangan
terkait.
Paragraf 2
Bangunan Gedung Umum Sebagai Tempat Penampungan
Pasal 149
(1)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Kota wajib melakukan upaya
penanggulangan darurat berupa penyelamatan jiwa danpenyediaan
bangunan gedung umum sebagai tempat penampungan.
(2)
Penyelenggaraan bangunan gedung umum sebagai tempat
penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada lokasi yang aman dari ancaman bencana dalam bentuk
tempat tinggal sementara selama korban bencana mengungsi
berupa tempat penampungan massal, penampungan keluarga atau
individual.
(3)
Bangunan Gedung umum yang digunakan sebagai tempat
penampungan
sementara
harus
memenuhi
persyaratan
administratif dan teknis bangunan gedung.
(4)
Bangunan gedung umum sebagai tempat sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas
penyediaan air bersih, fasilitas sanitasi dan penerangan yang
memadai.
(5) Penyelenggaraan………
(5)
Penyelenggaraan Bangunan Gedung Umum sebagai tempat
penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam peraturan Walikota berdasarkan persyaratan teknis sesuai
dengan lokasi bencananya.
Paragraf 3
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bangunan Gedung
Pasal 150
(1)
Bangunan Gedung yang rusak akibat bencana dapat diperbaiki
atau dibongkar sesuai dengan tingkat kerusakannya.
(2)
Bangunan Gedung yang rusak tingkat sedang dan masih dapat
diperbaiki, dapat dilakukan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota.
(3)
Rehabilitasi Bangunan Gedung yang berfungsi sebagai hunian
rumah tinggal pascabencana dapat berbentuk pemberian bantuan
perbaikan rumah masyarakat.
(4)
Bantuan perbaikan rumah masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat meliputi dana, peralatan, material, dan/atau
sumber daya manusia.
(5)
Persyaratan teknis rehabilitasi Bangunan Gedung yang rusak
disesuaikan dengan karakteristik bencana yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang dan dengan memperhatikan standar
konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan
ekonomi.
(6)
Pelaksanaan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui bimbingan
teknis dan bantuan teknis oleh instansi/ lembaga terkait.
(7)
Tata cara dan persyaratan rehabilitasi Bangunan Gedung
pascabencana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
(8)
Dalam melaksanakan rehabilitasi Bangunan Gedung hunian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Kota memberikan
kemudahan kepada Pemilik Bangunan Gedung yang akan
direhabilitasi berupa:
a. Pengurangan atau pembebasan biaya IMB, atau;
b. Pemberian desain prototip yang sesuai dengan karakter
bencana, atau;
c. Pemberian bantuan konsultansi penyelenggaraan rekonstruksi
Bangunan Gedung, atau;
d. Pemberian kemudahan kepada permohonan SLF Bangunan
Gedung;
e. Bantuan lainnya.
(9)
Untuk mempercepat pelaksanaan rehabilitasi Bangunan Gedung
hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) walikota dapat
menyerahkan kewenangan penerbitan IMB kepada pejabat
pemerintahan di tingkat paling bawah.
(10) Rehabilitasi………..
(10) Rehabilitasi rumah hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan melalui proses Peran Masyarakat di lokasi bencana,
dengan difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Kota.
(11) Tata cara penerbitan IMB Bangunan Gedung hunian rumah tinggal
pada tahap rehabilitasi pascabencana, dilakukan dengan
mengikuti ketentuan.
(12) Tata cara penerbitan SLF Bangunan Gedung hunian rumah tinggal
pada tahap rehabilitasi pascabencana, dilakukan dengan
mengikuti ketentuan.
Pasal 151
Rumah tinggal yang mengalami kerusakan akibat bencana dapat
dilakukan rehabilitasi dengan menggunakan konstruksi Bangunan
Gedung yang sesuai dengan karakteristik bencana.
BAB V
TABG
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 152
(1)
TABG dibentuk dan ditetapkan oleh Walikota.
(2)
TABG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
ditetapkan oleh walikota selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah Peraturan Daerah ini dinyatakan berlaku.
Pasal 153
(1)
Susunan keanggotaan TABG terdiri dari:
a. Pengarah
b. Ketua
c. Wakil Ketua
d. Sekretaris
e. Anggota
(2)
Keanggotaan TABG dapat terdiri dari unsur-unsur:
a. asosiasi profesi;
b. masyarakat ahli di luar disiplin Bangunan Gedung termasuk
masyarakat adat;
c. perguruan tinggi;
d. instansi Pemerintah Kota.
(3)
Keterwakilan unsur-unsur asosiasi profesi, perguruan tinggi, dan
masyarakat ahli termasuk masyarakat adat, minimum sama
dengan keterwakilan unsur instansi Pemerintah Kota.
(4)
Keanggotaan TABG tidak bersifat tetap.
(5) Setiap……….
(5)
Setiap unsur diwakili oleh 1 (satu) orang sebagai anggota.
(6)
Nama-nama anggota TABG diusulkan oleh asosiasi profesi,
perguruan tinggi dan masyarakat ahli termasuk masyarakat adat
yang disimpan dalam basis data daftar anggota TABG.
Bagian Kedua
Tugas dan Fungsi
Pasal 154
(1)
TABG mempunyai tugas:
a. memberikan Pertimbangan Teknis berupa nasehat, pendapat,
dan pertimbangan profesional pada pengesahan rencana teknis
Bangunan Gedung untuk kepentingan umum.
b. memberikan masukan tentang program dalam pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi instansi yang terkait.
(2)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, TABG mempunyai fungsi:
a. pengkajian dokumen rencana teknis yang telah disetujui oleh
instansi yang berwenang;
b. pengkajian dokumen rencana teknis berdasarkan ketentuan
tentang persyaratan tata bangunan.
c. pengkajian dokumen rencana teknis berdasarkan ketentuan
tentang persyaratan keandalan Bangunan Gedung.
(3)
Disamping tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
TABG dapat membantu:
a. pembuatan acuan dan penilaian;
b. penyelesaian masalah;
c. penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar.
Pasal 155
(1)
(2)
Masa kerja TABG ditetapkan selama 1 (satu) tahun anggaran.
Masa kerja TABG dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua)
kali masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Pembiayaan
Pasal 156
(1)
Biaya pengelolaan database dan operasional anggota TABG
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota.
(2)
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. biaya pengelolaan basis data.
b. biaya operasional TABG yang terdiri dari:
1) biaya sekretariat;
2) persidangan;
3) honorarium dan tunjangan;
4) biaya perjalanan dinas.
(3) Pembiayaan……….
(3)
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Walikota.
BAB VI
PERAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN BANGUNAN
GEDUNG
Bagian Kesatu
Lingkup Peran Masyarakat
Pasal 157
Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat
terdiri atas:
a. pemantauan
dan
penjagaan
ketertiban
penyelenggaraan
Bangunan Gedung;
b. pemberian masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman dan Standar
Teknis di bidang Bangunan Gedung;
c.
penyampaian pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang
berwenang terhadap penyusunan RTBL, rencana teknis bangunan
tertentu dan kegiatan penyelenggaraan Bangunan Gedung yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;
d. pengajuan Gugatan Perwakilan terhadap Bangunan Gedung yang
mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kepentingan
umum.
Pasal 158
(1)
Obyek pemantauan dan penjagaan ketertiban penyelenggaraan
Bangunan Gedung meliputi kegiatan pembangunan, kegiatan
pemanfaatan, kegiatan pelestarian termasuk perawatan dan/atau
pemugaran Bangunan Gedung dan lingkungannya yang dilindungi
dan dilestarikan dan/atau kegiatan pembongkaran Bangunan
Gedung.
(2)
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada
memenuhi persyaratan:
a. dilakukan secara objektif;
b. dilakukan dengan penuh tanggung jawab;
c. dilakukan dengan tidak menimbulkan
pemilik/Pengguna Bangunan Gedung,
lingkungan;
d. dilakukan dengan tidak menimbulkan
pemilik/Pengguna Bangunan Gedung,
lingkungan.
(3)
ayat
(1)
harus
gangguan kepada
masyarakat dan
kerugian kepada
masyarakat dan
Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
oleh perorangan, kelompok, atau organisasi kemasyarakatan
melalui kegiatan pengamatan, penyampaian masukan, usulan dan
pengaduan terhadap:
a. Bangunan Gedung yang ditengarai tidak Laik Fungsi;
b. bangunan………..
b. Bangunan
Gedung
yang
pembangunan,
pemanfaatan,
pelestarian
dan/atau
pembongkarannya
berpotensi
menimbulkan tingkat gangguan bagi pengguna dan/ atau
masyarakat dan lingkungannya;
c. Bangunan
Gedung
yang
pembangunan,
pemanfaatan,
pelestarian
dan/atau
pembongkarannya
berpotensi
menimbulkan tingkat bahaya tertentu bagi pengguna dan/atau
masyarakat dan lingkungannya.
d. Bangunan Gedung yang ditengarai melanggar ketentuan
perizinan dan lokasi Bangunan Gedung.
(4)
Hasil pantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan
secara tertulis kepada Pemerintah Kota secara langsung atau
melalui TABG.
(5)
Pemerintah Kota wajib menanggapi dan menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penelitian
dan evaluasi secara administratif dan secara teknis melalui
pemeriksaan lapangan dan melakukan tindakan yang diperlukan
serta menyampaikan hasilnya kepada pelapor.
Pasal 159
(1)
Penjagaan ketertiban penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat
dilakukan oleh masyarakat melalui:
a. pencegahan perbuatan perorangan atau kelompok masyarakat
yang dapat mengurangi tingkat keandalan Bangunan Gedung;
b. pencegahan
perbuatan
perseorangan
atau
kelompok
masyarakat
yang
dapat
menggangu
penyelenggaraan
Bangunan Gedung dan lingkungannya.
(2)
Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masyarakat dapat melaporkan secara lisan dan/atau tertulis
kepada:
a. Pemerintah Kota melalui instansi yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban,
serta
b. pihak pemilik, pengguna atau pengelola Bangunan Gedung.
(3)
Pemeritah Kota wajib menanggapi dan menindaklanjuti laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melakukan penelitian
dan evaluasi secara administratif dan secara teknis melalui
pemeriksaan lapangan dan melakukan tindakan yang diperlukan
serta menyampaikan hasilnya kepada pelapor.
Pasal 160
(1)
(2)
Obyek pemberian masukan atas penyelenggaraan Bangunan
Gedung meliputi masukan terhadap penyusunan dan/atau
penyempurnaan peraturan, pedoman dan Standar Teknis di bidang
Bangunan Gedung yang disusun oleh Pemerintah Kota.
Pemberian masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan menyampaikannya secara tertulis oleh:
a. perorangan;
b. kelompok masyarakat;
c. organisasi…….
c. organisasi kemasyarakatan;
d. masyarakat ahli; atau
e. masyarakat hukum adat.
(3)
Masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam
menyusun dan/atau menyempurnakan peraturan, pedoman dan
Standar Teknis di bidang Bangunan Gedung.
Pasal 161
(1)
Penyampaian pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang
berwenang terhadap penyusunan RTBL, rencana teknis bangunan
tertentu dan kegiatan penyelenggaraan Bangunan Gedung yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan bertujuan
untuk mendorong masyarakat agar merasa berkepentingan dan
bertanggungjawab dalam penataan Bangunan Gedung dan
lingkungannya.
(2)
Penyampaian pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. perorangan;
b. kelompok masyarakat;
c. organisasi kemasyarakatan;
d. masyarakat ahli, atau
e. masyarakat hukum adat.
(3)
Pendapat dan pertimbangan masyarakat untuk RTBL yang
lingkungannya berdiri Bangunan Gedung Tertentu dan/atau
terdapat kegiatan Bangunan Gedung yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan dapat disampaikan melalui TABG
atau dibahas dalam forum dengar pendapat masyarakat yang di
fasilitasi oleh Pemerintah Kota, kecuali untuk Bangunan Gedung
fungsi khusus di fasilitasi oleh Pemerintah melalui koordinasi
dengan Pemerintah Kota.
Hasil dengar pendapat dengan masyarakat dapat dijadikan
pertimbangan dalam proses penetapan rencana teknis oleh
Pemerintah atau Pemerintah Kota.
Bagian Kedua
Forum Dengar Pendapat
Pasal 162
(1)
Forum dengar pendapat diselenggarakan untuk memperoleh
pendapat dan pertimbangan masyarakat atas penyusunan RTBL,
rencana teknis Bangunan Gedung Tertentu atau kegiatan
penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
(2)
Tata cara penyelenggaraan forum dengar pendapat masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan terlebih
dahulu melakukan tahapan kegiatan yaitu:
a. penyusunan………
a. penyusunan
konsep
RTBL
atau
rencana
kegiatan
penyelenggaraan Bangunan Gedung yang menimbulkan
dampak penting bagi lingkungan;
b. penyebarluasan konsep atau rencana sebagaimana dimaksud
pada huruf a kepada masyarakat khususnya masyarakat yang
berkepentingan dengan RTBL dan Bangunan Gedung yang
akan menimbulkan dampak penting bagi lingkungan;
c. mengundang masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf b
untuk menghadiri forum dengar pendapat.
(3)
Masyarakat yang diundang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c adalah masyarakat yang berkepentingan dengan RTBL,
rencana teknis Bangunan Gedung Tertentu dan penyelenggaraan
Bangunan Gedung yang akan menimbulkan dampak penting bagi
lingkungan.
(4)
Hasil dengar pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dituangkan dalam dokumen risalah rapat yang ditandatangani oleh
penyelenggara dan wakil dari peserta yang diundang.
(5)
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi simpulan
dan keputusan yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh
Penyelenggara Bangunan Gedung.
(6)
Tata cara penyelenggaraan forum dengar pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Walikota.
Bagian Ketiga
Gugatan Perwakilan
Pasal 163
(1)
Gugatan Perwakilan terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung
dapat diajukan ke pengadilan apabila hasil penyelenggaraan
Bangunan Gedung telah menimbulkan dampak yang mengganggu
atau merugikan masyarakat dan lingkungannya yang tidak
diperkirakan pada saat perencanaan, pelaksanaan dan/atau
pemantauan.
(2)
Gugatan Perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh perseorangan atau kelompok masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan yang bertindak sebagai wakil para
pihak yang dirugikan akibat dari penyelenggaraan Bangunan
Gedung yang mengganggu, merugikan atau membahayakan
kepentingan umum.
(3)
Gugatan Perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada pengadilan yang berwenang sesuai dengan
hukum acara Gugatan Perwakilan.
(4)
Biaya yang timbul akibat dilakukan Gugatan Perwakilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan kepada pihak
pemohon gugatan.
(5) Dalam………
(5)
Dalam hal tertentu Pemerintah Kota dapat membantu pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan menyediakan
anggarannya di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kota.
Bagian Keempat
Bentuk Peran Masyarakat dalam Tahap Rencana Pembangunan
Pasal 164
Peran Masyarakat dalam tahap rencana pembangunan Bangunan
Gedung dapat dilakukan dalam bentuk:
a. penyampaian keberatan terhadap rencana pembangunan
Bangunan Gedung yang tidak sesuai dengan RTRW, RDTR,
Peraturan Zonasi dan/atau RTBL;
b. pemberian masukan kepada Pemerintah Kota dalam rencana
pembangunan Bangunan Gedung;
c. pemberian
masukan
kepada
Pemerintah
Kota
untuk
melaksanakan pertemuan konsultasi dengan masyarakat tentang
rencana pembangunan Bangunan Gedung.
Bagian Kelima
Bentuk Peran Masyarakat dalam Proses Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 165
Peran Masyarakat dalam pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung
dapat dilakukan dalam bentuk:
a. menjaga ketertiban dalam kegiatan pembangunan;
b. mencegah perbuatan perseorangan atau kelompok yang dapat
mengurangi tingkat keandalan Bangunan Gedung dan/atau
mengganggu penyelenggaraan Bangunan Gedung dan lingkungan;
c. melaporkan kepada instansi yang berwenang atau kepada pihak
yang berkepentingan atas perbuatan sebagaimana dimaksud pada
huruf b;
d. melaporkan kepada instansi yang berwenang tentang aspek teknis
pembangunan
Bangunan
Gedung
yang
membahayakan
kepentingan umum;
melakukan gugatan ganti rugi kepada Penyelenggara Bangunan
Gedung atas kerugian yang diderita masyarakat akibat dari
penyelenggaraan Bangunan Gedung.
Bagian Keenam
Bentuk Peran Masyarakat dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung
Pasal 166
Peran Masyarakat dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung dapat
dilakukan dalam bentuk:
a. menjaga ketertiban dalam kegiatan Pemanfaatan Bangunan
Gedung;
b. mencegah perbuatan perorangan atau kelompok yang dapat
mengganggu Pemanfaatan Bangunan Gedung;
c. melaporkan kepada instansi yang berwenang atau kepada pihak
yang berkepentingan atas penyimpangan Pemanfaatan Bangunan
Gedung;
d. melaporkan……..
d.
e.
melaporkan kepada instansi yang berwenang tentang aspek teknis
Pemanfaatan
Bangunan
Gedung
yang
membahayakan
kepentingan umum;
melakukan gugatan ganti rugi kepada Penyelenggara Bangunan
Gedung atas kerugian yang diderita masyarakat akibat dari
penyimpangan Pemanfaatan Bangunan Gedung.
Bagian Ketujuh
Bentuk Peran Masyarakat dalam Pelestarian Bangunan Gedung
Pasal 167
Peran Masyarakat dalam pelestarian Bangunan Gedung dapat
dilakukan dalam bentuk:
a. memberikan informasi kepada instansi yang berwenang atau
Pemilik Bangunan Gedung tentang kondisi Bangunan Gedung
yang tidak terpelihara, yang dapat mengancam keselamatan
masyarakat, dan yang memerlukan pemeliharaan;
b. memberikan informasi kepada instansi yang berwenang atau
Pemilik Bangunan Gedung tentang kondisi Bangunan Gedung
bersejarah yang kurang terpelihara dan terancam kelestariannya;
c. memberikan informasi kepada instansi yang berwenang atau
Pemilik Bangunan Gedung tentang kondisi Bangunan Gedung
yang
kurang
terpelihara
dan
mengancam
keselamatan
masyarakat dan lingkungannya;
d. melakukan gugatan ganti rugi kepada Pemilik Bangunan Gedung
atas kerugian yang diderita masyarakat akibat dari kelalaian
pemilik di dalam melestarikan Bangunan Gedung.
Bagian Kedelapan
Bentuk Peran Masyarakat dalam Pembongkaran Bangunan
Pasal 168
Peran Masyarakat dalam pembongkaran Bangunan Gedung dapat
dilakukan dalam bentuk:
a. mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang atas
rencana pembongkaran Bangunan Gedung yang masuk dalam
kategori cagar budaya;
b. mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang atau
Pemilik Bangunan Gedung atas metode pembongkaran yang
mengancam keselamatan atau kesehatan masyarakat dan
lingkungannya;
c. melakukan gugatan ganti rugi kepada instansi yang berwenang
atau Pemilik Bangunan Gedung atas kerugian yang diderita
masyarakat dan lingkungannya akibat yang timbul dari
pelaksanaan pembongkaran Bangunan Gedung;
d. melakukan pemantauan atas pelaksanaan pembangunan
Bangunan Gedung.
Bagian Kesembilan
Tindak Lanjut
Pasal 169
Instansi yang berwenang wajib menanggapi keluhan masyarakat
dengan melakukan kegiatan tindak lanjut baik secara teknis maupun
secara administratif untuk dilakukan tindakan yang diperlukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.
BAB VII……...
BAB VII
PEMBINAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 170
(1)
Pemerintah
Kota
melakukan
Pembinaan
Penyelenggaraan
Bangunan Gedung melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan,
dan pengawasan.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar
penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat berlangsung tertib dan
tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai dengan
fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada
Penyelenggara Bangunan Gedung.
Bagian Kedua
Pengaturan
Pasal 171
(1)
Pengaturan dituangkan ke dalam Peraturan Daerah atau Peraturan
Walikota
sebagai
kebijakan
Pemerintah
Kota
dalam
penyelenggaraan Bangunan Gedung.
(2)
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan
ke dalam Pedoman Teknis, Standar Teknis Bangunan Gedung dan
tata cara operasionalisasinya.
(3)
Di dalam penyusunan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mempertimbangkan RTRW, RDTR, Peraturan Zonasi
dan/atau RTBL serta dengan mempertimbangkan pendapat tenaga
ahli di bidang penyelenggaraan Bangunan Gedung.
(4)
Pemerintah Kota menyebarluaskan kebijakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Penyelenggara Bangunan Gedung.
Bagian Ketiga
Pemberdayaan
Pasal 172
(1)
Pemberdayaan
dilakukan
oleh
Penyelenggara Bangunan Gedung.
Pemerintah
Kota
kepada
(2)
Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melalui peningkatan profesionalitas Penyelenggara
Gedung dengan penyadaran akan hak dan kewajiban
dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung terutama
rawan bencana.
(3)
Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
melalui pendataan, sosialisasi, penyebarluasan dan pelatihan di
bidang penyelenggaraan Bangunan Gedung.
dilakukan
Bangunan
dan peran
di daerah
Pasal 173………..
Pasal 173
Pemberdayaan terhadap masyarakat yang belum mampu memenuhi
persyaratan teknis Bangunan Gedung dilakukan bersama-sama dengan
masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung melalui:
a. forum dengar pendapat dengan masyarakat;
b. pendampingan pada saat penyelenggaraan Bangunan Gedung
dalam bentuk kegiatan penyuluhan, bimbingan teknis, pelatihan
dan pemberian tenaga teknis pendamping;
c. pemberian bantuan percontohan rumah tinggal yang memenuhi
persyaratan teknis dalam bentuk pemberian stimulan bahan
bangunan yang dikelola masyarakat secara bergulir; dan/atau
d. bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang serasi dalam
bentuk penyiapan RTBL serta penyediaan prasarana dan sarana
dasar permukiman.
Pasal 174
Bentuk dan tata cara pelaksanaan forum dengar pendapat dengan
masyarakat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Bagian Keempat
Pengawasan
Pasal 175
(1)
Pengawasan
dilakukan
oleh
Pemerintah
Kota
terhadap
pelaksanaan Peraturan Daerah ini melalui mekanisme penerbitan
IMB, SLF, dan surat persetujuan dan penetapan pembongkaran
Bangunan Gedung.
(2)
Dalam pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di bidang penyelenggaraan Bangunan Gedung, Pemerintah Kota
dapat melibatkan Peran Masyarakat:
a. dengan mengikuti mekanisme yang ditetapkan oleh
Pemerintah Kota;
b. pada setiap tahapan penyelenggaraan Bangunan Gedung;
c. dengan mengembangkan sistem pemberian penghargaan
berupa tanda jasa dan/ atau insentif untuk meningkatkan
Peran Masyarakat.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 176
(1)
Pemilik dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang melanggar
ketentuan Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi administratif,
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian
sementara
atau
tetap
pada
pekerjaan
pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian……..
d. penghentian sementara atau tetap pada
Bangunan Gedung;
e. pembekuan IMB gedung;
f. pencabutan IMB gedung;
g. pembekuan SLF Bangunan Gedung;
h. pencabutan SLF Bangunan Gedung; atau
i. perintah pembongkaran Bangunan Gedung.
Pemanfaatan
(2)
Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah
dibangun.
(3)
Penyedia Jasa Konstruksi yang melanggar ketentuan Peraturan
Daerah ini dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
(4)
Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetor ke
rekening kas Pemerintah Kota.
(5)
Jenis pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) didasarkan pada berat atau ringannya pelanggaran yang
dilakukan setelah mendapatkan pertimbangan TABG.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif Pada Tahap Pembangunan
Pasal 177
(1)
Pemilik Bangunan Gedung yang melanggar ketentuan administratif
pada tahap pembangunan dikenakan sanksi peringatan tertulis.
(2)
Pemilik Bangunan Gedung yang tidak mematuhi peringatan
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu
masing-masing 7 (tujuh) hari kalender dan tetap tidak melakukan
perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenakan sanksi berupa pembatasan kegiatan pembangunan.
(3)
Pemilik Bangunan Gedung yang telah dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selama 14 (empat belas) hari
kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa
penghentian sementara pembangunan dan pembekuan izin
mendirikan Bangunan Gedung.
(4)
Pemilik Bangunan Gedung yang telah dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selama 14 (empat belas) hari
kelender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa
penghentian tetap pembangunan, pencabutan izin mendirikan
Bangunan Gedung, dan perintah pembongkaran Bangunan
Gedung.
(5)
Dalam hal Pemilik Bangunan Gedung tidak melakukan
pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, pembongkarannya dilakukan
oleh Pemerintah Kota atas biaya Pemilik Bangunan Gedung.
(5) Dalam……….
(6)
Dalam hal pembongkaran dilakukan oleh Pemerintah Kota, Pemilik
Bangunan Gedung juga dikenakan denda administratif yang
besarnya paling banyak 10 % (sepuluh per seratus) dari nilai total
Bangunan Gedung yang bersangkutan.
(7)
Besarnya denda administratif ditentukan berdasarkan berat dan
ringannya pelanggaran yang dilakukan setelah mendapat
pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung.
Pasal 178
(1)
Pemilik Bangunan Gedung yang melaksanakan pembangunan
Bangunan Gedungnya yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (1)
dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan
diperolehnya IMB Gedung.
(2)
Pemilik Bangunan Gedung yang tidak memiliki IMB Gedung
dikenakan sanksi perintah pembongkaran.
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif Pada Tahap Pemanfaatan
Pasal 179
(1)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung yang melanggar
ketentuan administratif pada tahap pemanfaatan dikenakan sanksi
peringatan tertulis.
(2)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak mematuhi
peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam
tenggang waktu masing-masing 7 (tujuh) hari kalender dan tidak
melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
kegiatan Pemanfaatan Bangunan Gedung dan pembekuan
sertifikat Laik Fungsi.
(3)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung yang telah dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selama 30 (tiga
puluh) hari kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan
sanksi berupa penghentian tetap pemanfaatan dan pencabutan
sertifikat Laik Fungsi.
(4)
Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung yang terlambat
melakukan perpanjangan sertifikat Laik Fungsi sampai dengan
batas waktu berlakunya sertifikat Laik Fungsi, dikenakan sanksi
denda administratif yang besarnya 1 % (satu per seratus) dari nilai
total Bangunan Gedung yang bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 180
(1)
Penyidikan terhadap suatu kasus dilaksanakan setelah diketahui
terjadi suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana
bidang penyelenggaraan Bangunan Gedung berdasarkan laporan
kejadian.
(2) Penyidikan…..
(2)
Penyidikan dugaan tindak pidana bidang penyelenggaraan
Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh penyidik umum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 181
(1)
Setiap pemilik dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak
memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tindak pidana yang telah diatur dengan ketentuan peraturan yang
lebih tinggi diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah
pelanggaran dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah kejahatan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 182
(1)
Bangunan Gedung yang sudah dilengkapi dengan IMB sebelum
peraturan daerah ini berlaku dan IMB yang dimiliki sudah sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan daerah ini maka IMB yang
dimilikinya dinyatakan tetap berlaku.
(2)
Bangunan Gedung yang sudah dilengkapi IMB sebelum peraturan
daerah ini berlaku namun IMB yang dimiliki tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini maka Pemilik Bangunan
Gedung wajib mengajukan permohonan IMB baru dan melakukan
perbaikan secara bertahap.
(3)
Bangunan Gedung yang sudah memiliki IMB sebelum peraturan
daerah ini berlaku namun dalam proses pembangunannya tidak
sesuai dengan ketentuan dan persyaratan dalam IMB maka
Pemilik Bangunan Gedung wajib mengajukan permohonan IMB
baru atau melakukan perbaikan secara bertahap.
(4)
Permohonan IMB yang telah masuk/terdaftar sebelum berlakunya
peraturan daerah ini tetap diproses dengan disesuaikan pada
ketentuan dalam peraturan daerah ini.
(5)
Bangunan Gedung yang pada saat berlakunya peraturan daerah
ini belum dilengkapi IMB maka Pemilik Bangunan Gedung wajib
mengajukan permohonan IMB.
(6)
Bangunan Gedung yang pada saat berlakunya peraturan daerah
ini belum dilengkapi IMB dan bangunan yang sudah berdiri tidak
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan daerah ini maka Pemilik
Bangunan wajib mengajukan permohonan IMB baru dan
melakukan perbaikan secara bertahap.
(7) Bangunan………
(7)
Bangunan Gedung pada saat berlakunya peraturan daerah ini
belum dilengkapi SLF maka pemilik/Pengguna Bangunan Gedung
wajib mengajukan permohonan SLF.
(8)
Permohonan SLF yang telah masuk/terdaftar sebelum berlakunya
Peraturan Daerah ini, tetap diproses dengan disesuaikan pada
ketentuan dalam peraturan daerah ini.
(9)
Bangunan Gedung yang sudah dilengkapi SLF sebelum peraturan
daerah ini berlaku namun SLF yang dimiliki tidak sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan daerah ini maka pemilik/Pengguna
Bangunan Gedung wajib mengajukan permohonan SLF baru.
(10) Bangunan Gedung yang sudah dilengkapi SLF sebelum peraturan
daerah ini berlaku, namun kondisi Bangunan Gedung tidak Laik
Fungsi maka pemilik/Pengguna Bangunan Gedung wajib
melakukan perbaikan secara bertahap.
(11) Bangunan Gedung yang sudah dilengkapi SLF sebelum peraturan
daerah ini berlaku dan SLF yang dimiliki sudah sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan daerah ini maka SLF yang dimilikinya
dinyatakan tetap berlaku.
(12) Pemerintah Kota melaksanakan penertiban kepemilikan IMB dan
SLF dengan ketentuan pentahapan sebagai berikut:
a. untuk Bangunan Gedung selain dari fungsi hunian,
penertiban kepemilikan IMB dan SLF Bangunan Gedung
harus sudah dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
sejak diberlakukannya peraturan daerah ini;
b. untuk Bangunan Gedung fungsi hunian dengan spesifikasi
non-sederhana, penertiban kepemilikan IMB dan SLF
Bangunan Gedung harus sudah dilakukan selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya peraturan
daerah ini;
c. untuk Bangunan Gedung fungsi hunian dengan spesifikasi
sederhana, penertiban kepemilikan IMB dan SLF Bangunan
Gedung harus sudah dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun sejak diberlakukannya peraturan daerah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 183
Dengan berlakunya peraturan daerah ini maka Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2010
tentang
Izin
Mendirikan
Bangunan
(Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2010 Nomor 5), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 184
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan instansi pelaksana
peraturan daerah ini ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Pasal 185……….
Pasal 185
Dengan berlakunya peraturan daerah ini maka segala ketentuan yang
bertentangan dan/atau tidak sesuai harus disesuaikan dengan
Peraturan Daerah ini.
Pasal 186
Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kota Palembang.
Ditetapkan di Palembang
pada tanggal 27 Januari 2017
WALIKOTA PALEMBANG,
Dto
HARNOJOYO
Diundangkan di Palembang
pada tanggal 27 Januari 2017
SEKRETARIS DAERAH KOTA PALEMBANG,
Dto
HAROBIN MASTOFA
LEMBARAN DAERAH KOTA PALEMBANG TAHUN 2017 NOMOR 1
NOREG PERATURAN DAERAH KOTA
SUMATERA SELATAN (2/PLG/2017)
PALEMBANG
PROVINSI
Download