gaya komunikasi politik megawati dan iklan politk - E

advertisement
GAYA KOMUNIKASI POLITIK MEGAWATI DAN IKLAN POLITK PARTAI
DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN
PADA KAMPANYE TAHUN 2009
Anisti
Akom BSI Jakarta
Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abstract
Political goals require political communication, especially in the era of mass media as it is today. Communication style is an element of political communication can also be applied to get sympathetic audience in order to increase the participation and support of the current political elections. Style
of political communication as chairman Megawati who criticize policies PDIP direct cash assistance
(BLT) in the 2009 election campaign played a role in the political disorientation and simpatisasn supporters of Megawati and PDI-P. Because at the same time a political PDIP advertising BLT instead support policies that made the incumbent Susilo Bambang Yudhoyono. In fact it brought disappointment and
manifested in the election results of 2009 and the PDI-P is in the third position and the defeat Megawati.
Keyword: communication style, political communication
Abstraksi
Mencapai tujuan politik membutuhkan komunikasi politik, terlebih di era media massa seperti sekarang
ini. Gaya komunikasi yang merupakan elemen dari komunikasi politik bisa juga diaplikasikan dalam menarik
simpatik khalayak dalam rangka meningkatkan partisipasi serta dukungan politik saat menjelang pemilihan
umum. Gaya komunikasi politik Megawati sebagai ketua umum PDIP yang mengkritik kebijakan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dalam dalam kampanye pemilu 2009 turut berperan dalam disorientasi politik para pendukung dan simpatisasn Megawati serta PDIP. Sebab disaat yang sama iklan politik PDIP malah mendukung
kebijakan BLT yang dibuat incumbent Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan hal ini memunculkan kekecewaan
dan terwujud dalam hasil Pemilu tahun 2009 lalu , yakni PDIP ada di posisi ketiga dan kalahnya Megawati.
Kata Kunci: gaya komunikasi, komunikasi politik
I. PENDAHULUAN
Kampanye politik tidak ada bedanya dengan
sebuah adegan drama yang dipentaskan oleh para aktor-aktor politik, tulis Richard A. Joslyn dalam David
L. Swanson dan Nimmo (1990). Pernyataan diatas
sangat tepat, dimana kampanye politik adalah suatu
peristiwa yang didramatisasi.
Opinion leader merupakan salah satu
aspek yang tidak bisa dipisahkan saat mengkaji komunikasi politik. Sebab, tanpa hadirnya
opinion leader, komunikasi politik jadi kurang
lengkap. Hal ini bisa kita simak dalam kampanye politik pada tahun 2009, dimana seorang opinion leader
dalam hal ini tokoh kharismatik yang sangat mempengaruhi perhatian publik terhadap partai tersebut.
Dalam beberapa hal Megawati sebagai
128
sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa ditempatkan sebagai pemimpin
opini dalam politik, sebab megawati bisa menentukan sikap dan perilaku pengikutnya. Megawati bisa
“memaksa” pengikutnya untuk memilih PDIP apapun
yang terjadi pada partai itu.
Mengapa Megawati dianggap sebagai
pemimpin opini ? Setidak-tidaknya ada alasan (Nurudin, 2004) yang menyertainya yakni, Megawati
menjadi panutan pengikutnya. Panutan ini tidak
berdasarkan ketundukan rasional, tetapi ketundukan irrasional. Dengan kata lain, apa yang dilakukan pemimpin itu, baik atau buruk, cenderung diikuti pengikutnya. Bahkan kepemimpinan mereka
lebih didasarkan pada kepemimpinan kharismatis.
Megawati ikut menentukan apa yang harus dilakukan para pengikutnya, jika ia bilang massa harus
bergerak ke kiri, mereka akan bergerak ke kiri. Jika
bilang tidak, pengikutnya akan bilang tidak pula.
Kampanye politik pemilu legislatif 2009 yang dilakukan di Jember, Jawa Timur. Sebagai Ketua Umum
PDIP, Megawati Soekarnoputri meminta rakyat bisa
membandingkan mana emas dan loyang saat memilih pemimpin dalam pemilu. Pada saat ia kampanye
di Mojokerto mengatakan bahwa ibu-ibu yang tidak
memilih dirinya adalah bodoh dan kebanyakan nonton sinetron karena tidak mengerti politik. Kampanyenya tentang kritikan terhadap Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ia mengatakan, “dimana harga diri bapak
ibu mau menerima uang 200 ribu rupiah tanpa harus
bekerja”. Sementara Iklan Politik PDIP sangat berseberangan dengan apa yang dikatan oleh ketua umumnya, yakni mendukung adanya BLT.
Berdasarkan kasus diatas komunikasi politik
yang dilakukan oleh Megawati menimbulkan kontroversi di masyarakat, khususnya kaum perempuan dan
masyarakat kecil. Pernyaataan Megawati yang mengkritik BLT dan munculnya iklan dukungan BLT yang
dibuat oleh PDIP juga membuat bingung masyarakat
kepada arah politik PDIP.
Kampanye politik merupakan suatu usaha
yang dikelola oleh suatu kelompok (agen perubahan)
yang bertujuan untuk membujuk target sasaran agar
sikap dan prilaku tertentu. Kampanye politik ibarat
make up seorang tata rias wajah. Sang perempuan
akan menjadi lebih menarik setelah sentuhan-sentuhan make up memoles wajahnya. Penampilan menarik sang perempuan merupakan keberhasilan sang
penata rias. Dalam prakteknya, tidak sedikit kampanye politik yang dilakukan menemui kegagalan. Akan
tetapi banyak juga yang mengalami keberhasilan,
karena dirancang dengan baik. Demikian pula dengan
para tokoh dan partai politik. Mereka akan menjadi
lebih menarik ketika kampanye dikemas dengan baik.
Melihat komunikasi politik yang dilakukan Megawati
ini, tentu berhubungan dengan pencitraannya sebagai calon presiden 2009 sekaligus citra partai politik
yang diusungnya.
II. PEMBAHASAN
2.1. Komunikasi Politik
Secara umum komunikasi politik dipandang
sebagai proses. Komunikasi politik merupakan kegiatan yang terus-menerus berlangsung. Artinya, apa
yang terjadi sekarang sebenarnya merupakan kelan-
jutan dari apa yang terjadi sebelumnya dan akan
disambung
dengan apa yang terjadi di waktu yang akan datang. Seperti yang dikatakan
Pawito, dalam bukunya komunikasi politik “Media Massa dan Kampanye Pilihan” mengatakan,
sebagai suatu proses, komunikasi politik dapat dipahami dengan melibatkan setidaknya lima unsur :
a. Pelibat (aktor atau partisipan), pelibat atau aktor komunikasi politik adalah semua pihak
yang terlibat atau mengambil peran dalam
proses penyampaian dan penerimaan pesan.
b. Pesan, suatu komunikasi dapat dikatakan sebagai komunikasi politik, apabila pesan yang saling dipertukarkan di antara partisipan, setidaknya sampai tingc. Saluran (chanel) komunikasi politik dapat
diibaratkan seperti jaringan pembuluh yang
harus dipilih oleh seorang dokter ketika hendak memasukan obat atau vaksin ke dalam sistem tubuh seorang pasien.
d. Situasi atau konteks komunikasi politik adalah
keadaan dan kecenderungan lingkungan yang
melingkupi proses komunikasi politik. Dalam
arti luas, yang dimaksud dengan situasi atau
konteks pada dasarnya adalah sistem politik
dimana komunikasi politik berlangsung dengan segala keterkaitan dengan nilai-nilai, baik
e. Pengaruh (effect), dalam situasi normal, komunikasi politik berproses dalam suatu sistem politik yang mapan. Pertukaran tanda-tanda pesan
terjadi diantara para aktor atau partisipan. Dalam
situasi ini, terjadi penyampaian pesan-pesan yang
ini kemudian direspon oleh pihak-pihak terkait,
atau setidaknya yang memiliki kepentingan .
Dari sinilah terjadi pengaruh (Pawito: 2009).
Komunikasi politik merupakan jalan mengalirnya informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam sistem politik. Fungsi
komunikasi politik adalah struktur politik yang menyerap berbagai aspirasi, pandangan dan gagasan yang
berkembang dalam masyarakat dan menyalurkannya
sebagai bahan dalam penentuan kebijakan. Dengan
demikian fungsi membawakan arus informasi baik
dari masyarakat ke pemerintah dan dari pemerintah
ke masyarakat.
Fungsi komunikasi politik itu terutama dijalankan oleh media massa, baik itu media cetak
maupun media elektronik. Dengan demikian,
media massa itu memiliki peranan yang strategis dalam sistem politik. Berarti, kegiatan membaca koran, mendengarkan radio, menonton TV
129
memiliki frekuensi dan intensitas yang lebih besar.
Disamping perasaan “sadar informsi” hal itu juga
didukung oleh tersedianya fasilitas yang memadai.
Tujuan komunikasi politik sangat terkait dengan pesan politik yang disampaikan komunikator
politik. Sesuai dengan tujuan komunikasi , maka tujuan politik, pembentukan citra politik, pembentukan
pendapat umum dan bisa pula mengarahkan pendapat
atau tuduhan lawan politik . Selanjutnya komunikasi
politik bertujuan menarik simpatik khalayak dalam
rangka meningkatkan partisipasi politik saat menjelang pemilihan umum oleh seorang ahli yang berperan sebagai spin doctor (Ardila:2009).
Merujuk pada pernyataan di atas jelas komunikasi timbul karena adanya komunikator, pesan, saluran, komunikan dan efek. Dimana efek dapat muncul berdasarkan pertukaran tanda-tanda pesan terjadi
diantara para aktor dalam hal ini megawati atau partisipan. Dalam situasi ini, terjadi penyampaian pesanmenarik simpatik para pendukungnya. Pesan-pesan
ini kemudian direspon oleh pihak-pihak terkait, atau
setidaknya yang memiliki kepentingan. Motivasi komunikasi tersebut sangat erat kaitannya pembetukan
citra politik yang berujung kepada pendapat umum.
Komunkasi politik Megawati merupakan tanda-tanda
pesan yang terjadi antara aktor dengan massa pendukungnya yang kemudian direspon oleh masyarakat
yang akhirnya berujung kepada pendapat umum, baik
yang bersifat positif maupun negatif.
2.2. Citra Politik
Dalam konteks kampanye pemilihan, citra
adalah bayangan, kesan, atau gambaran tentang suatu
objek terutama partai politik, kandidat, elite politik,
dan pemerintah. Citra, sejauh ada kebebasan yang
memadai, dapat menentukan cara berpikir dan cara
berperilaku seseorang termasuk dalam mengambil
keputusan dalam pemilihan.
Kenneth E. Boulding (1957) dalam bukunya
The Image: Knowledge In Life and Society menuturkan pengertian citra, yakni yang dibentuk sebagai hasil dari pengetahuan masa lalu pemilik citra. Selanjutnya dia menyatakan bagian dari citra sejarah dari citra
itu sendiri. Berdasarkan penjelasan Boulding tersebut,
dapat disimpulkan, citra adalah serangkaian pengetahuan dan pengalaman serta perasaan (emosi) maupun
penilaian yang diorganisasikan ke dalam sistem kognisi manusia; atom pengetahuan pribadi yang sangat
diyakini kebenarannya.
Pembentukan citra politik sangat terkait dengan sosialisasi politik. Ini disebabkan karena citra
130
politik terbentuk melalui proses pembelajaran
politik secara langsung maupun melalui penegaskan, citra politik mencakup tiga hal, yaitu :
a. Seluruh pengetahuan politik seseorang
(kognisi),
baik
benar
maupun keliru.
b. Semua referensi (afektif) yang melekat pada tahap tertentu dari peristiwa politik yang menarik.
c. Semua pengharapan (konasi) yang dimiliki
orang tentang apa yang mungkin terjadi jika
ia berperilaku dengan cara berganti-ganti terhadap objek dalam situasi itu. (Ardial;2009)
Citra positif diyakini sebagai bagian terpenting dari
tumbuhnya preferensi-preferensi calon pemilih terhadap partai atau kandidat. Misalnya kalau seseorang
memiliki citra yang lebih positif terhadap partai politik atau seorang kandidat tertentu (dibandingkan
dengan partai-partai atau kandidat-kandidat lainnya
yang berkompetisi), maka orang bersangkutan akan
memberikan suara kepada partai politik atau kandidat
bersangkutan asalkan tidak ada persoalan-persoalan
yang membebani atau mengikatnya. (Pawito:2009)
Pada kenyataannya seseorang seringkali tidak
dapat terbebas sama sekali dari beban atau ikatan-ikatan tersebut, sehingga pilihan atau suara orang bersangkutan tidak diberikan kepada partai atau kandidat
yang lebih dinilai positif tadi. Beban atau ikatan tersebut misalnya ikatan ideologis, organisasi, etnik dan
sosio kultural, ikatan kelurga dan kekerabatan, dan
ikatan-ikatan lain yang terbangun secara relatif mendadak seperti , berhutang budi atau pemberian uang
yang disertai dengan permohonan (secara terangterangan atau samar-samar) untuk memilih partai atau
kandidat tertentu.
Kendati demikikan upaya menumbuhkan citra
positif di mata khalayak calon pemilih tetap dinilai
sebagai bagian yang sangat penting dalam kampanye
pemilihan. Citra terbentuk oleh paduan antara informasi dengan pengalaman. Artinya, informasi yang
ada atau diterima oleh seseorang mengenai suatu hal
atau objek biasanya menumbuhkan persepsi-persepsi
tertentu mengenai objek bersangkutan dan akhirnya
membentuk citra tertentu pula terhadap objek bersangkutan. Akan tetapi dalam hal ini terbentuknya
persepsi juga sangat dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman. Orang yang memiliki pengalaman yang
buruk terhadap partai atau kandidat tertentu biasanya
akan sangat sulit untuk dapat memiliki persepsi yang
positif terhadap partai atau kandidat bersangkutan betapapun informasi yang bernuansa positif menerpanya (Pawito:2009)
Berdasarkan pendapat diatas jelas bahwa citra
positif di mata khalayak atau calon pemilih didasar-
kan pada informasi yang diterimannya yang berhubungan dengan kognisi dan pengalaman yang
berhubungan dengan afektif. Merujuk kepada kasus
megawati mengenai kritiknya terhadap BLT terlihat
bahwa pendukung Megawati yang sebagian besar
adalah rakyat kecil, mereka umumnya pernah menerima BLT yang memang di tujukan bagi rakyat miskin.
Megawati selalu menggunakan jargon-jargon partai
wong cilik dan menolak (mengkritik) BLT tentu akan
berbenturan dengan pengalaman pendukungnya yang
menyukai adanya program BLT.
2.3. Opini Publik
Sebagaimana telah disinggung di muka, selain
citra politik, komunikasi politik juga bertujuan membentuk dan membina opini publik (pendapat umum)
serta mendorong partisipasi politik. Bahkan, dapat
dikatakan citra politik dan pendapat umum merupakan konsekuensi dari proses komunikasi politik yang
bersifat mekanistis.
Konsep opini publik bertitik tolak dari asasi
yang ada pada diri manusia, yaitu hak kebebasan
mengeluarkan pendapat, menyatakan kehendak, ide,
atau gagasan. Hak asasi manusia telah diusahakan perumusannya jauh sebelum ‘Universal Declaration of
Human Right’ lahir. Sebagai faktor yang mengilhami
lahirnya berbagai perumusan hak-hak asasi manusia,
seperti Piagam Agung di Inggris. Walaupun piagam
tersebut tidak berkaitan dengan kepentingan seluruh lapisan masyarakat pada waktu itu, namun jiwa
‘Piagam Agung’ tersebut merupakan ‘tonggak aspirasi demokrasi’ yaitu adanya pengakuan pendapat dan
usulan yang diajukan oleh kelompok bangsawan terhadap raja.
Terbentuknya pendapat umum senantiasa melibatkan proses yang relatif kompleks. Gagasan seringkali muncul secara individual atau berasal dari
perorangan (pendapat dalam tingkat mikro). Bentuk
paling nyata dari proses ini adalah misalnya seorang
anggota parlemen yang membuat pernyataan mengenai kebijakan publik tertentu yang baginya mungkin
tidak adil. Perbincangan mengenai hal ini mungkin
dimulai dari tingkat komunikasi antar pribadi atau
mungkin kelompok. Akan tetapi ketika kebijakan
publik bersangkutan mengandung hal yang bersifat
krusial, maka media massa melalui wartawan tertarik
untuk mewawancarai tokoh bersangkutan dan kemudian memberitakannya. Sampai tahap ini pendapat
yang sebenarnya masih merupakan pendapat individual, kecuali kelompok-kelompok tertentu atau
organisasi yang memang telah membicarakan atau
membahasnya.
Pada tahap berikutnya, pernyataan bersangkutan serta kebijakan publik yang menjadi pokok
pemberitaan, kemudian mulai ramai diperbincangkan dan menjadi perdebatan di dalam masyarakat.
Pendapat atau pandangan yang berbeda atau mungkin
yang sama mengenai satu persoalan semakin banyak
disebarluaskan oleh media massa dengan bersumber
pada tokoh atau aktor yang berasal dari pihak atau kalangan yang berbeda-beda, telah mendiskusikan dan
menyatakan pendapat-pendapatnya.
Diskusi di ruang publik tersebut, tentu menjadi perhatian masyarakat. Berbagai wacana terungkap
ke publik. Sehinggga menjadi isu publik. Pada tahap
ini, pendapat individual bersangkutan mengalami
metamorfosa dan menjadi pendapat umum. Hal ini
tentu saja melalui, perdebatan dan negosiasi di dalam
masyarakat yang kemudian mengerucut menjadi hasil
berupa tuntutan-tuntutan atau saran-saran.
Media massa dalam hubungan ini berperan
ganda yang pertama sebagai institusi yang memfasilitasi debat publik dan sekaligus sebagai unsur yang
mempengaruhi terbentuknya pendapat umum.
Salah satu teori yang sangat sering disebut
dan dikutip berkenaan dengan proses terbentuknya
pendapat umum adalah teori spiral keheningan atau
the spiral of silence yang dikembangkan oleh Elizabeth Noelle-Neumann di pertengahan dekade 1970an. Teori melibatkan empat unsur pokok yang saling mempengaruhi satu dengan lain: media massa,
komunikasi antarpribadi dan jalinan hubungan sosial, pernyataan individual mengenai peristiwa atau
persoalan-persoalan tertentu, dan persepsi-persepsi
yang dimiliki individu-individu mangenai kecenderungan situasi pendapat mengenai lingkungan sosial
terkait dengan peristiwa atau persoalan bersangkutan
(Warner:2008).
Berdasarkan pada uraian diatas menjelaskan bahwa pernyataan dari seseorang individual dalam hal ini Megawati yang menjadi pusat perhatian
masyarakat berupa permasalahan krusial akan menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat dan menjadi
isu publik, maka pada tahap ini pendapat individual
seseorang mulai mejadi pendapat umum. Bentuk nyata pada proses ini adalah permasalahan pernyataan
Megawati yang telah disebutkan diatas yakni pada
kalimat “wanita bodoh yang tidak memilih dia karena
banyak menonton sinetron”. Pernyataan ini menjadi
isu masyarakat khususnya wanita, sehingga muncul
pendapat umum yang menjadi diskusi dan perdebatan di tengah masyarakat dalam hal ini melalui media massa. Maka akan terbentuk persepsi-persepsi
masyarakat terhadap isu tersebut sehingga menumbuhkan opini publik terhadap Megawati.
131
2.4. Public Relations Politik
Berbicara masalah citra politik dan opini publik tidak terlebas dari peran public relations politik.
Kegiatan public relations menunjukkan ciri demokrasi, dengan faktor tekanan pada komunikasi timbal balik, dan memberi penghargaan kepada khalayak atau
masyarakat. Dalam hal ini, khalayak tidak dipandang
sebagai objek semata, tetapi juga dipandang sebagai subjek. Maksudnya public relations , disamping
memberikan penerangan-penerangan kepada publik,
juga memperhatikan dan meneliti sikap-sikap dan
pendapat publik, yang selanjunya disesuaikan dengan
kebijakan dan tindakan lembaga organisasi.
Menyangkut sikap dan pendapat publik tersebut, lembaga yang bersangkutan dapat menimbulkan
saling pengertian dan hubungan yang harmonis di
antara keduanya. Jadi, jelaslah bahwa public relations
politik bukan hanya mempengaruhi pendapat umum,
tetapi juga memupuk pendapat umum yang ada. Artinya, memelihara tindakan-tindakan terhadap pendapat tersebut.
Dalam komuniksi politik, usaha membentuk atau membina citra dan pendapat umum yang
positif dilakukan dengan persuasif positif, yaitu dengan metode komunikasi dua arah dalam arti menghargai pendapat dan keinginan khalayak. Dalam hal
ini public relations politik berbeda dengan kegiatan
propaganda politik, agitasi politik, dan penerangan.
public relations politik menggunakan metode komunikasi dua arah, sedangkan metode penerangan hanya menggunakan metode komunikasi satu arah saja
(Ardila:2009).
Dengan metode komunikasi dua arah itu, para
politikus, profesional, dan aktivitasnya selaku komunikator politik, memberikan kesempatan kepada
publik menentukan pendapat yang sehat secara bebas
tanpa paksaan. Peluang atau kesempatan itu dengan
memperhatikan pendapat-pendapat dan saran-saran
publik serta menyesuaikan dengan kebijakan dan
tindakan partai politik sehingga publik merasa turut
berkepentingan terhadap kepentingan partai politik
yang bersangkutan. Adanya perasaan turut berkepentingan atau sense of belonging itu, menyebabkan
pekerjaan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan.
Sebenarnya, public relations politik dalam praktiknya, bertindak seperti usaha-usaha kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini, usahanya ditujukan kepada manusia dan kemanusiaan, misalnya:
kepercayaan, pengertian, kerjasama, dan bagaimana
memuaskan harapan dan keinginan orang lain. Itulah
sebabnya para politikus, profesional atau aktivitas
132
sebagai komunikator politik harus memperhitungkan
perasaan, kemauan, kemampuan, keinginan, dan kebutuhan pokok rakyat, seperti keinginan dan kebutuhan akan ketenangan dan ketentraman, dan keinginan
untuk diakui sebagi manusia yang wajar.
Dengan demikian, public relations politik
merupakan usaha dan kegiatan yang dinamis dan
hidup, seperti juga dinamika politik yang terjadi dalam masyarakat. Public relations politik mempunyai
identitas tersendiri di dalam eksistensinya di tengahtengah kehidupan politik dan berbeda bentuk-bentuk
komunikasi politik yang dikenal, seperti propaganda,
penerangan, dan agitasi politik.
Public relations politik dilakukan, baik di
dalam partai politik, misalnya (internal publik) maupun di luar partai politik (eksternal publik) seperti
masyarakat luas. Kegiatan yang bersifat internal adalah: (1) mengadakan analisis terhadap kebijakan partai politik yang sudah maupun sedang berjalan, dan
(2) mengadakan perbaikan sebagai kelanjutan analisis
yang dilakukan terhadap kebijaksanaan partai politik,
baik yang sedang berjalan maupun terhadapa perencanaan kebijakan baru (Ardila:2009)
Kegiatan public relations politik bersifat eksternal adalah memberikan atau menyebarkan pernyataan-pernyataan kepada publik. Adapun
ciri atau karakteristik pernyataan yang disampaikan itu adalah mencakup dua hal. Pertama, apabila
pernyataan itu berupa informasi, informasi itu harus
diberikan dengan jujur dan objektif, dengan dasar
mengutamakan kepentingan publik. Kedua, apabila
pernyataan tersebut ditujukan kepada usaha membangkitkan perhatian publik, pesan yang disampaikan
harus direncanakan secermat mungkin sehingga pada
tahap selanjutnya publik akan menaruh simpati dan
kepercayaan terhadap partai politik melalui penyebaran informasi.
(1988) membedakan antara hubungan di dalam dan
hubungan di luar. Ia menyebutkan public relations
(termasuk public relations politik) mengemban fungsi yaitu :
a. mengabdi kepada kepenting umum (it should
serve the public’s interest).
b. memelihara komunikasi yang baik (maintain a
good communication); dan
c. menitik beratkan pada moral dan tingkah laku
yang baik (to stress a good moral and manners
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa pentingnya
sebuah partai politik mengerti arti dan peran public
relations. Dimana peran public relations berfungsi
untuk menjaga citra partai politiknya karena tekhniktekhnik yang dilakukan public relations lebih
pendekatan secara persuasif, seperti halnya kampanye Megawati bagaimana megawati harus berorasi,
dari bahasa verbal (isi pesannya) sampai pada bahasa non verbal, hal itu semua mempunyai strategi
tersendiri dalam menciptakan citra megawati sekaligus partainya.
Public relations politik sering disebut juga
dengan spin doctor, pada mulanya, istilah spin doctor lebih dikenal dalam dunia kampanye politik sebagai konsultan public relations politik. Konsultan
ini bertugas membangun citra politik bagi kliennya
(biasanya seorang politisi tertentu). Sedangkan tugas
yang lainnya adalah memberikan kesan negatif pada
saingan politik kleinnya. (Handayani, 2005)
Profesi konsultan public relations politik atau
biasa disebut juga press agent atau publicist awalnya
dikembangkan oleh sepasang suami-istri Cleam Whitaker dan Leon Baxier di Los Angeles AS pada tahun
1933 dengan nama Campaign Inc. Istilah PR konsultan politik ini digunakan sampai tahun 1984, setelah
tim kampanye Ronald Reagan menggantikannya dengan istilah spin doctor. McNair dalam bukunya
troduction to Political Communication (2003) mendkemampuan menguasai publik, menggerakkan massa
dan menguasai media, sekaligus sebagai konseptor
politik yang bertujuan memengaruhi.
Spin doctor berada pada posisi tengah antara
politisi yang akan dipromosikan (dipasarkan) olehnya
dengan para jurnalis media yang akan mempromosikannya. Dengan demikian, banyak pihak yang menilai
bahwa profesi spin doctor yang biasa digunakan oleh
para politisi merupakan suatu keahlian di bidang komunikasi yang menggabungkan prinsip-prinsip public relations (kehumasan), advertising (periklanan),
dan marketing (pemasaran) (Changara, 2009).
Di Indonesia sendiri spin doctor lebih banyak
dikenal dengan istilah manajer kampanye, lembaga
pemenangan pemilu atau konsultan politik. Lembaga-lembaga ini biasanya bertugas menentukan pengarahan opini publik dalam pencitraan kandidat. Lembaga ini menggunakan semua jalur komunikasi untuk
membangun citra politik kliennya dengan membentuk dan mengarahkan opini guna memengaruhi publik dan memenangkan pemilihan.Menurut Eatman
dalam Louw (2005) dengan menggunakan media komunikasi dalam pembentukan opini publik tersebut,
spin doctor sesungguhnya tengah merekayasa caracara pemaksaan dalam kampanye menjadi sebuah bujukan.
Peranan spin doctor tidak hanya berdiri antara
parpol dengan media, tetapi memiliki peran yang
sangat penting dan menentukan dalam kancah per-
partai politik dan para politisi disuguhkan oleh banyak
pilihan lembaga-lembaga konsultan politik. Sebutlah
Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, LIPI, dan Reform Institute adalah beberapa
contoh dari sekian banyak lembaga konsultan politik
yang bermunculan di Indonesia. Oleh karena itu konsultan politik sebuah partai politik sebaiknya memilih
konsultan public relations politik yang baik.
Dalam konteks persoalan ini, peran spin doctor dalam Kampanye Megawati maupun iklan politik
PDIP pada Pemilu 2009 lalu harusnya seiring sejalan.
Munculnya inkonsistensi antara ucapan Megawati
saat kampanye dengan iklan politik PDIP yang merupakan partainya Megawati sendiri menjadi disorientasi politik pendukungnya bahkan lawan-lawan politiknya. Sebab kampanye Megawati tidak mendukung
BLT, namun iklan politik PDIP malah mendukung
BLT. Boleh jadi terdapat unsur kesengajaan yang
dibuat oleh pihak Megawati untuk mengempur lawan
politiknya dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sebagai incumbent yang memberikan kebijakan BLT di saat jelang pemilu. Megawati menganggap momen pemberian BLT bisa dijadikan kampanye
terselubung oleh SBY hingga Megawati perlu memberikan pencerahan kepada wong cilik akan hal ini.
Sehingga diprediksi bahwa gaya inkonsistensi antara
ucapan kampanye Megawati tentang BLT dengan
iklan politik PDIP terjadi akibat gaya komunikasinya
yang ofensif. Megawati menyerang lawan politiknya
untuk mendapat memastikan pendukungnya yang
telah mendapatkan BLT dari program SBY kembali
menjadi konstituentnya.
2.5. Kekuatan Media Massa
Gaya komunikasi politik seseorang dalam
pembentukan citra juga dipengaruhi oleh kekuatan
media. Tiga hal yang menandai kekuatan media massa ditengah masyarakat, yakni:
a. Mengkonsturksi dan mendekonstruksi realitas
hingga tercipat citra dan persepsi-persepsi tertentu pada khalayak,
b. Mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan atau tuntutan-tuntutan,
c . Memproduksi dan mereproduksi identitas budaya.
Kekuatan media masssa dalam mengkonstruksikan dan medekonstruksikan realitas terutama pada
pemberitaan, disamping bentuk isi lain seperti tajuk
(editorial), opini, dan karikatur pada media cetak,
dan talk show pada media elektronik. Dalam pemberitaan, media massa biasanya memberikan prioritas
liputan mengenai peristiwa ataupun isu tertentu dan
133
dan mengabaikan yang lain (agenda seting). Di samping ini, media massa juga memberikan penekanan
pada subtansi persoalan tertentu berkenaan dengan
peristiwa atau isu tertentu dan mangabaikan substansi
persoalan lain (framing). Dengan kedua cara ini media
massa mengkonstruksi dan mendekonstruksi realitas.
Framing dapat dimaknai secara umum sebagai
(Entman, 1993:51),
suatu bingkaian konseptualisasi di mana frame media
dapat diartikan sebagai “a central organizing idea or
story line that provides meaning to an unfolding strip
of events…. The Frame suggest what controversy is
about, the essence of issue” (pokok pengorganisasian pikiran atau penulisan berita yang memberikan
makna mengenai peristiwa-peristiwa…. Frame media
menunjukkan hal-hal seperti mengenai apa kontroversi berkembang dan esensi dari isu tersebut (Gramson dan Modigliani) dari pandangan ini, maka frame
media mengkonsturksikan dan mendekonstruksikan
realita dengan cara memberikan penonjolan terhadap
substansi-substansi persoalan dan esensi dari peristiwa-peristiwa atau isu yang diberitakan. Misalnya,
penelitian yang dilakukan oleh June Woong Rhee
(1997), mendapatkan menyimpulkan bahwa frame
pemberitaan kampanye mempengaruhi interpretasi
individu-individu mengenai kampanye bersangkutan.
Framing lebih menunjukkan pada “the effect
of some preceding stimulus or event on how we re(pengaruh dari stimuli yang diterima atau peristiwanisikan terhadap bagaimana orang memberikan reaksi
terhadap stimuli atau peristiwa-peristiwa selanjutnya.
Bertolak dari pandangan ini, maka cara pemberitaan
mengenai peristiwa-peristiwa mempengaruhi persepsi, penilaian dan respon terhadap peristiwa bersangkutan serta persepsi, penilaian dan respon terhadap
peristiwa-peristiwa selanjutnya.
Kekuatan media yang telah dijelaskan diatas
terlihat pada kasus megawati, dimana permasalahan
BLT yang menjadi kesalahan PDIP dalam melakukan komunikasi politik. Disaat Megawati mengkritik
habis program BLT, kemudian muncul iklan politik
PDIP yang mendukung program BLT. Sewajarnya
iklan kampanye harus berorientasi pada citra kandidat
dan orientasi pada isu. (Sumbo2009). Permasalahan
tersebut akan membingungkan pendukungnya, karena
tidak terjadi konsistensi arah politik dari PDIP. Walaupun sosok megawati adalah seorang opinion leader,
faktor pelaksanaan komunikasi politik sangat mempengaruhi pudarnya sosok seorang opinion leader,
dan harus menjadi pertimbangan bagi seorang opinion leader dalam melakukan komunikasi politiknya.
134
rus menjadi pertimbangan bagi seorang opinion leader dalam melakukan komunikasi politiknya.
Berkaitan dengan fokus pembahasan ini, yang
menjadi pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana
masa depan kepemimpinan opini leader di Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Nurudin , 2004 menyatakan setidak-tidaknya ada empat point penting :
1. Masuknya teknologi komunikasi di pedesaan telah menyebabkan munculnya jarak sosial antara
pemimpin opini dengan masyarakat.
2. Dengan msuknya teknologi komunikasi pula,
hubungan intim yang selama ini terbina antara
pemimpin opini dengan masyarakat atau antara
masyarakat itu sendiri sudah kian memudar.
3. Tak bisa dipungkiri teknologi komunikasi yang
masuk ke desa telah mengubah muatan penting
dalam komunikasi.
4. Meskipun terancam keberadaannya, yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang kian meningkat
atau masuknya teknologi komunikasi, pemimpin
opini di Indonesia masih sangat berperan dalam
mempengaruhi sikap dan perilaku pengikutnya di
desa.
Di sinilah perlunya membangun kredibilitas politik
agar mendapat kepercayaan publik. Upaya memperbaiki citra lewat iklan politik sesaat bagaimanapun
sulit menuai hasil maksimal ketika tidak dilakukan
bersamaan dengan upaya membangun kredibilitas
politik lebih permanen.
IV. PENUTUP
Megawati dan PDIP sudah terlanjur menjadi satu
kesatuan dalam benak masyarakat, adanya inkonsistensi ucapan Megawati saat berkampanye dengan
kampanye PDIP. Ucapan Megawati yang tidak setuju
akan BLT dan iklan politik PDIP yang mendukung
BLT menjadi kebingungan, khususnya pada pengikut
Megawati maupun masyarakat luas. Jika dikaitkan
dengan asumsi bahwa megawati dan PDIP merupakan suatu kesatuan, maka Megawati dan PDIP bersikap mendua akan kebijakan BLT yang dibuat SBY
sebagai lawan politiknya. Padahal seharusnya Megawati sebegai Ketua Umum PDIP bersikap satu suara
dengan PDIP terhadap dalam menanggapi isu apapun
termasuk BLT ini.
Gaya komunikasi politik Megawati yang ofensif dan mengkritik program BLT yang dibentuk oleh
incumbent sekaligus lawan politiknya menyebabkan
permasalahan dalam komunikasi politiknya. Karena dengan adanya kritik Megawati terhadap BLT
tentu membuat para konstituent Megawati sendiri
berpikir ulang dan menyimpulkan bahwa Megawati
atau PDIP bukanlah partainya wong cilik. Bukanlah
memperhatikan nasib rakyat kecil, kekecewaan mereka ini terwujudkan dalam hasil pemilihan legislatif
tahun 2009 yakni dengan perolehan suara PDIP dan
kalahnya Megawati.
DAFTAR PUSTAKA
Ardial, 2009, Komunikasi Politik, Jakarta, PT Indeks,.
McNair, Bryan, 2003,
Communication, Edisi Ketiga, London and
New York, Routledge.
Nimmo, Dan D. Dan Keith R. Sanders (eds). 1981,
Handbook of Political Communication, Beverly Hills, London, Sage Publications.
Nimmo, Dan. 2000, Komunikasi Politik (Khalayak
dan Efek), Terjemahan Tjun Sujaman, Bandung; Remaja Rosdakarya.
Pawito. 2009, Komunikasi Politik, Media Massa Dan
Kampanye Pemilihan, Yogyakarta, Jalasutra.
Putra, I Gusti Ngurah (editor), Effendy Gozali, 2008,
Media, Komunikasi, Dan Politik Sebuah Kajian Kritisi
Severin, Werner J. And James W. Tankard, Jr. 2008,
Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Kelima,
Media Group.
Tinarbuko, Sumbo. 2009, Iklan Politik Dalam Realitas Media, Yogyakarta, Jalasutra.
135
Download