BAB II KAJIAN TEORITIS 1.1 Pengertian Implementasi

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORITIS
1.1 Pengertian Implementasi.
Dalam kamus Webster pengertian implementasi dirumuskan secara
pendek, dimana “to implementasi” (mengimplementasikan) berarti i “to provide
means for carrying out; to give pratical effect to” (menyajikan alat bantu untuk
melaksanakan; menimbulkan dampak/berakibat sesuatu).2
Implementasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Implementasi merupakan suatu
tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang
dan terperinci.
2.2 Pengertian Informed Consent
Informed consent merupakan hak asasi manusia, untuk menentukan sikap
dan menjadi saat dimulaimya “transaksi terapeutik” dalam praktek sehari-haripun
informed consent wajib dilakukan sebelum tindakan dan transaksi medis
dilakukan. Kedatangan seseorang dikamar praktek dokter sudah mencerminkan
tindakan informed consent secara tidak langsung dan tergolong implied (tacit)
consent. Dengan menyapaikan keluhan kepada dokter, berarti ada suatu
„penyerahan diri‟ untuk dilakukan pemeriksaan oleh dokter agar penyakitnya
dapat disembuhkan. Pemeriksaan rutin yang dilakukan dalam upaya menetukan
2
Abd Muhaimin Doholio, 2011, Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2010
Tentang Tugas Dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja Dalam Rangka Penegakan Peraturan
Daerah Dikecamatan Lemiti Pohuwato. Hlm 9.
6
penyakit tidak memerlukan informed consent, kecuali bila hendak melakukan
tindakan tambahan seperti penyuntikan, pengambilan cairan atau jaringan.3
Informed Consent adalah suatu komunikasi antara dokter dengan pasien,
dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan, dan tidak akan dilakukan
terhadap pasien, dilihat dari Informed Consent bukan lah suatu perjanjian antara
dua pihak, melainkan melahirkan suatu persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan. Informed consent sebagai alat untuk memunkinkan penentuan nasib
sendiri pada pasien, juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak
atas integritas pribadi pasien termaksud. Salah satu cara yang dilakukan untuk
melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, didalam Informed Consent
tersebut dicantumkan bahwa dokter tidak akan dituntut dikemudian hari,
hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik
menimulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pihak pemberi
pelayanan (medical provider) dan pihak penerima pelayanan (medical receivers)
dan ini harus dihormati oleh para pihak.4
A.) Pengertian Informed Consent Menurut Para Ahli.
Menurut Hanafiah mengemukakan informed artinya telah diberitahukan /
telah disampaikan atau telah diinformasikan, Consent artinya pertujuan yang
diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Secara istilah Informend
3
Ida Bagus Gde Manuaba, 1999, Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Dokter Umum. Hlm 21.
4
Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter Buku 1, hlm 126
7
Consent, dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan pada pasien kepada
dokter setelah menerima penjelasan.5
Menurut Komalawati yang dimaksud dengan Informed Consent adalah
suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya medis yang dilakukan oleh
dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.6
Menurut Guwandi Consent (persetujuan) merupakan dasar yuridis untuk
pembenaran dilakukannya tindakan medik atau operasi, Untuk melakukan
tindakan pembedahan, dokter akan melalui pasien dengan pasien, sehingga bila
persetujuan (consent) tidak ada, dokter dapat dianggap melakukan penganiayaan,
karena tindakan medis yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur pasal 351
KUHP.7
B.) Tujuan dari Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan :
1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan
pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid. hlm 129
8
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau yang sebenarnya
tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya.
2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang
tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta
sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas
tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar
karena kelalaian atau karena ketidaktahuan yang sebenarnya tidak akan dilakukan
demikian oleh teman sejawat lainnya.8
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed
consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.9
8
http://mengertimedis.wordpress.com/2010/06/30/kedudukan-hukum-informed-consent-dalam-halpembuktian dipengadilan. diakses tnggal 19 desember 2012, hlm 4
9
Ibid, hlm 5
9
Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh
dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan informed consent sangat terasa dalam
kasus-kasus sebagai berikut :
1. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai
teknologi baru yang sepenuhnya belum dipahami efek sampingnya
3. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak
efek samping, seperti terapi dengan sinar laser.
4. Dalam kasus-kasus penolakan oleh klien
5. Dalam kasus-kasus dimana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset
dan eksperimen dengan berobjekan pasien.10
2.3 Aspek-Aspek Hukum dari Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek
hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek
hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur
oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.11
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
10
Ibid.
11
Ibid.
10
dokter, juga tetap tidak melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi sepanjang hal itu diterapkan.12
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan
adanya Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
Penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya
izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 351 KUHP.13
Aspek Hukum Administrasi, izin praktek yang dikeluarkan pihak Depkes
harus dimiliki oleh setiap dokter yang berpraktek. Sehingga apapun tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter dapat dilaksanakan dan sah menurut hukum.
Seperti halnya informed consent yang dikeluarkan oleh dokter merupakan salah
satu bentuk tindakan yang dilakukan oleh dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis.14
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan
hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan
kewajiban
masing-masing
pihak
yang
seimbang
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini
sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
11
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan
secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan
pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan
dengan informed consent ini.15
2.4 Informed Consent Dalam Peraturan Perundang-undangan diindonesia
Ada 3 peraturan perundang-undangan yang mengatur informed consent
diindonesia yang dapat kita jadikan bahan rujukan untuk landasan hukum bagi
praktik pelayanan medis yaitu:
1. Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU
Praktik Kedokteran) pasal 45 ayat (1) sampai dengan (6).
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/
Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggeraan Praktik Kedokteran.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/
Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.16
Peraturan Dan Dasar Hukum
Adanya pengaturan mengenai Informed Consent yang terdapat dalam
Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada
Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
15
16
Ibid.
Op. cit, hlm 136.
12
Pasal 45 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
Pasal 45 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
Pasal 45 ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Pasal 45 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
Pasal 45 ayat (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Pasal 45 ayat (6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran tersebut terutama pada Pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa
13
pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informend
consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
Persetujuann
tindakan
medis
dalam
Permenkes
Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 belum menjelaskan aturan yang rinci tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Secara tersirat, persetujuan disebutkan dalam Pasal
13 ayat (1) yang berbunyi: “Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan pengobatan penyakit dan pemulihan.” Sedangkan tentang
Persetujuan Tindakan Medik atau informed consent disebutkan secara eksplisit
dalam Pasal 17 sebagai berikut: (1) Dokter atau Dokter Gigi dalam memberikan
pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus
memberikan penjelesan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan.(2) Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dapat
persetujuan pasien.(3) Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundangundangan.17
2.5 Bentuk Informed Consent
1. Informed Consent lisan
Tambahan pemeriksaan atau pengobatan perlu mendapatkan persetujuan
baru seperti : a. apakah bersedia untuk mendapatkan suntikan?
17
Ibid, hlm 140
14
b. apakah bersedia untuk dilakukan pemeriksaan USG/HSG atas
dirinya?
Permintaan informed consent ini diperlukan oleh karena:
a. Terdapat kemungkinan komplikasi.
b. Terdapat tambahan biaya pemeriksaan pengobatan18
2. Informed Consent tertulis.
Informed consent tertulis yang lazim disebut informed consent karena
besarnya tindakan pengobatan, tidak dapat lepas dari:
a. Komplikasi yang mungkin terjadi.
b. Kemungkinan kematian
c. Biaya yang besar.19
Untuk mendapatkan informed consent yang sesuai dengan hak
penderita dan mengambil sikap, diperlukan informasi mengenai
penyakit, yaitu tentang :
a. Jenis penyakit (diagnosa)
b. Tindakan baku menurut standar tertinggi.
c. Kemungkinan terjadi komplikasi sampai kematian.
d. Kemungkinan akibat yang dapat terjadi setelah tindakan medis
dilakukan.
e. Lama perawatan inap.
f. Biaya yang diperlukan.20
18
Ida Bagus Gde Manuaba, 1999, Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Dokter Umum. Hlm 22
19
Ibid.
15
Dalam memberikan keterangan penyakit diperlukan bahasa yang dapat
dimengerti oleh penderita, berdasarkan hasil informasi tersebut penderita
dapat mengambil dua sikap;
1. Menolak tindakan medis yang akan dilakukan.
2. Menyetujui memberikan ijin serta melimpahkan wewenang untuk
mengambil tindakan medis.21
3. Informed Consent. dalam keadaan gawat darurat.
Penderita yang dalam keadaan gawat darurat, dimana keluarganya tidak
ikut serta mendampingi, karena setiap penundaan tindakan medis dapat
berakibat fatal. Oleh sebab itu dokter dapat mengambil tindakan penyelamatan
dari ancaman bahaya yang lebih besar. Tindakan pertolongan darurat yang
dilakukan dokter sangat didukung dan dibenarkan sehingga informed consent
atau yang dalam keadaan darurat diberi nama
presumed consent atau
constructive consent.22
Dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan syok, tidak sadar
sampai koma, patah tulang, atau keadaan kesakitan yang tidak tertahankan
dalam situasi demikian, keputusan dokter untuk segera mengambil tindakan
medis dapat dibenarkan, sehingga jiwa penderita dapat diselamatkan.23
20
Ibid.
21
Ibid. hlm 23
22
Ibid.
23
Ibid.
16
2.6 Hak dan Kewajiban
A. Dokter
Dokter memiliki profesi yang berhadapan lansung dengan begitu banyak
sakit penyakit manusia, profesi krdokteran tanggung jawab dan tuntutan
masyarakat terhadapnya adalah sebagai penolong dan pihak yang selalu lebih
mengutamakan kewajiban diatas hak-hak atau pun kepentingan pribadinya..24
Kode Etik Kedokteran Indonesia mengatur kewajiban dokter, yaitu
1. Kewajiban Umum.
2. Kewajiban dokter terhadap pasien.
3. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat.
4. Kewajiban dokter diri sendiri.25
Menyinggung hak-hak dokter sesungguhnya merupakan sesuatu yang
tidak lazim mengingat umumnya masyarakat lebih suka menyoroti segi
kewajiban-kewajiban saja. Namun, secara prinsip dalam hal apa pun kewajibaan
tidak pernah berdiri sendiri tanpa diikuti oleh hak-hak. Dokter dikenal sebagai
seorang professional yang harus selalu bersedia melayani masyarakat setiap saat.
Dipihak lain, dokter adalah manusia biasa yang mempunyai tanggung jawab
terhadap pribadi dan keluarga, selain itu dalam menjalankan tugas-tugasnya, juga
harus ditegaskan hak-haknya sehingga dokter dapat menjaga martabat profesi
kedokteran. Beberapa hak dokter dalam melakukan profesinya.26
24
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo,Jakarta, 2001, hlm 37
25
Ibid. Hlm 38
26
Ibid.
17
1. Hak untuk menolak bekerja diluar standar profesi medik.
Seorang dokter dapat saja menolak untuk melakukan tindakan medik
tertentu walaupun pihak pasien mendesaknya. Penolakan ini berdasarkan
pada pertimbangan bahwa pasien ini meminta tindakan medik yang
menurut prosedur yang dikenal dan dilakukan dalam profesi medik. Bila
tindakan itu dilakukan juga, akibat-akibat yang timbul tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara medik. Hal ini diperlu ditegakkan agar
setiap dokter memperoleh kepastian bahwa tindakan-tindakannya perlu
dipercayai sebagai suatu tindakan medik professional.27
2. Hak untuk menolak tindakan yang tidak sesuai dengan kode atik profesi
dokter.
Hak ini dimiliki dokter agar setiap dokter diberi kesempatan untuk
menjaga martabat profesinya.28
3. Hak untuk memilih pasien dan mengakhiri hubungan dengan pasien,
kecuali dalam keadaan gawat darurat.
Hak ini dimiliki dokter untuk memiliki hak pribadinya, berdasarkan
pertimbangan dokter itu sendiri. Misalnya, hubungan itu timbul hal-hal
yang kurang baik yang akan menganggu integritas profesi kedokteran.
Akan tetapi, hak ini hanya terbatas pada keadaan yang bukan termasuk
keadaan gawat darurat. Pasien masih berkesempatan untuk mencari dokter
lain tanpa resiko pada keselamatannya.29
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.
18
4. Hak atas privacy dokter.
Dalam hubungan dokter dengan pasien dapat saja pasien ingin mengetahui
kehidupan pribadi dokter. Dalam hal ini dokter pun mempunyai hak atas
privacy tentang kehidupan pribadinya sehingga pasien pun harus
menghormati hak dokter atas privacy.30
5. Hak untuk menerima balasan jasa atau honorarium yang pantas.
Hak ini telah diakui dan diterima sejak dulu. Permasalahan dapat timbul
apabila besarnya imbalan itu tidak dapat ditetapkan dengan pasti. Untuk it,
kode etik kedokteran akan memberikan patokan-patokan tertentu. Yang
jelas adalah besar atau kecilnya imbalan itu tidak boleh mempengaruhi
mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Mutu tersebut akan diberikan
setinggi-tingginya tanpa terpengaruh hanya oleh adanya suatu imbalan.31
Hubungan dokter dengan pasien pada dasarnya karena saling percaya
kedua belah pihak telah hilang sehingga masing-masing, terutama pasien,
menuntut haknya dapat dipenuhi. Pasien mengutamakan hak-haknya, sedangkan
dokter harus menjalankan kewajibannya. Jika pasien tidak menyadari bahwa ia
juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi, maka timbul kesalahpahaman
dan rasa tidak puas pun rasa dirugikan. Oleh karena itu, masing-masing
hendaknya berusaha mengembalikan hubungan itu pada keadaan yang semula
yaitu hubungan yang didasari rasa saling percaya.32
30
Ibid
31
Ibid.
32
Ibid, hlm 39
19
Selain itu, pihak dokter pun harus benar-benar menyadari dan memahami
hak dan kewajibannya serta hak dan kewajiban pasien. Hal itu penting sebab
sekarang ini banyak dokter yang memiliki begitu banyak pasien sehingga
komunikasi dokter-pasien yang baik tidak terjadi.33
Pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Perlindungan Pasien Pasal 56.
1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke
dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
290/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
33
Ibid.
20
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien.
4. Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis
yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter
gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di
dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
21
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit
mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
Persetujuan Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
Pasal 5 Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali
oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
1. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
2. Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang
membatalkan persetujuan.
Penolakan Tindakan Kedokteran Pasal 16
1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga
terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan.
2. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat
(1) harus dilakukan secara tertulis.
22
3. Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab pasien.
4. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memutuskan hubungan dokter dan pasien.
Tanggung Jawab Pasal 17.
1. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi
tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.
2. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan
tindakan kedokteran
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat beberapa Pasal
yang berkaitan dengan informed consent, khususnya Pasal 351 tentang
Penganiyaan, Pada suatu pembedahan atau tindakan medis, dokter melakukan
sayatan atau tusukan, jika pasien memberikan izin pada dokter untuk melakukan
tindakan medis, tindakan tersebut nyata atau konkret dan sesuai yang diakui
dalam dunia kedokteran maka dokter itu tidak dapat dituntut untuk perbuatan
penganiayaan terhadap pasien.
Tetapi perbuatan yang dilakukan seseorang harus memenuhi persyaratan
supaya dinyakan sebagai peristiwa pidana. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagai peristiwa pidana.34
1. Harus ada suatu perbuatan, maksudnya bahwa memang benar-benar
ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang.
34
Eka Julianta Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik. Bandung, 2012, Hlm
120.
23
Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat
dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.35
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan hukum. artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum
memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelaku
benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib
mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.
Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada
suatu perbuatan yang tidak disalahkan dan terhadap pelakunya tidak
perlu mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang
dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain
yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat. 36
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
disalahkan oleh ketentuan hukum.37
4. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang
berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyatanyata bertentangan dengan aturan hukum.38
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid, Hlm 120
38
Ibid.
24
5. Harus tersedia ancaman hukumannya, maksudnya kalau ada ketentuan
yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan
tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumnya.
Ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal hukumnya
yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau didalam suatu
perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya
tidak perlu melaksanakan hukuman.39
B. Pasien
Hak pasien merupakan hak asasi dan bersumber dari hak
individual, hak untuk menentukan nasib sendiri lebih dekat artinya dengan
hak pribadi, yaitu hak atas keamanan pribadi yang berkaitan erat dengan
hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan, serta hak atas kebebasan
pribadi.40
Pasien selalu ikut apa yang akan dikatakan oleh dokter tanpa
bertanya apapun, sekarang dokter adalah patner pasien dan keduanya
memiliki kedudukan yang sama sacara hukum, sering kali pasien
menurunkan derajat dirinya sebagai objek bagi suatu yang seharusnya
diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang kuat tanpa menyadarai apa
motif dan konsekuensi dari keputusan itu, pasien seharusnya mendapat
informasi yang cukup untuk dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan.41
39
Ibid
40
Ari yunanto dan helmi, Hukum pidana malpraktik medic, Yogyakarta, 2010, hlm 18
41
Ibid, hlm 19
25
Pasien satu-satunya orang yang dapat memberikan keputusan akhir
sehingga pasien perlu dan berhak atas informasi untuk mengambil
keputusan dengan tepat, pada Pasal 52 Undang-undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan pasien mempunyai hak:42
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat 3.
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medic.
4. Menolak tindakan medic.
5. Mendapatkan isi rekam medik.43
Kewajiban pasien, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran Pasal 53 menyebutkan:
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya.
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku disaran pelayanan kesehatan, dan
4. Member imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.44
2.7 Implikasi Keberadaan informed Consent.
Hal yang timbul berkaitan dengan keberdaan informed consent dalam
khasanah hukum kedokteran, misalnya:
42
Ibid, hlm 20
43
Ibid, hlm 21
44
Ibid, hlm 22
26
1. apakah dengan informed consent itu dokter kemudian dapat bertindak
sehendak hatinya?
2. Apakah informed consent itu juga berarti bahwa pasien menyetujui
tindakan-tindakan dokter yang bertentangan dengan standar profesi
medik?
3. Apakah dengan keberadaan informed consent, segala akibat (terutama
yang negatif) yang timbul kemudian tetap menjadi tanggung jawab dokter
seluruhnya, meskipun dokter telah memenuhi standar profesi medik?45
Uraian implikasi keberadaan informed Consent. , sebenarnya telah jelas
bahwa dari suatu persetujuan tindak medik yang akan dilakukan terhadap pasien,
tetap tidak memberikan hak kepada dokter untuk bertindak yang bertentangan
dengan standar profesi medik. Meskipun mungkin tidak dinyatakan secara
eksplisit, namun secara tersirat pasien memberikan izin kepada dokter dengan
syarat tindakan tersebut haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah medik.46
Apabila informed cosent telah terpenuhi lalu dokter bertindak menyimpan
atau bertentangan dengan standar profesi medik dan timbul akibat yang
merugikan pasien, maka dokter itu harus mempertanggung jawabkan perbuatan
atau tindakannya itu didepan hukum, tetapi timbul juga akibat negative yang tidak
sesuai dengan harapan, maka dokter tersebut tidak dapat dipidana ataupun
membayar kerugian apa pun. Harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan tujuan
tindak medic tidak tercapai ataupun resiko-resiko yang tidak dapat diperkirakan
atau hal-hal lain yang secara hukum tidak dapat dilimpahkan tanggung jawabnya
45
46
Chrisdiono M. Achadiat, 2006, Dinamika Etika dan hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman. Hlm 46
Ibid.hlm 47
27
kepada dokter yang melakukan tindak medic tersebut. Semua itu dengan satu
syarat yang tidak dapat ditawar sedikit pun, yaitu pemenuhan standar profesi dan
informed consent.47
Dalam keadaan darurat sekalipun, ketika informed consent tidak lagi
diperlukan, tetap disyaratkan untuk memenuhi standar profesi medic agar sifat
bertentangan dengan hukum dari suatu tindak medic (khusus operasi) menjadi
hilang. Bila dokter menyimpan dari standar profesi medik pada keadaam gawat
darurat.48
47
Ibid.
48
Ibid.
28
Download