kampanye komunikasi pemasaran sumatera barat melalui branding

advertisement
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
KAMPANYE KOMUNIKASI PEMASARAN SUMATERA BARAT
MELALUI BRANDING COMMUNICATION:
ANALISIS PEKERJA KREATIF INDUSTRI PARIWISATA
Fitri Adona
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email: [email protected]
Arni Utamaningsih
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email: [email protected]
Buyung Sidik
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Akuntansi
ABSTRACT
Marketing of West Sumatra is conventionally considered less effective because it is
poorly understood by investors and have not been able to save the region from poverty.
The main factors associated with the marketing of this area are: (1) the value of the
product and how to communicate it, and (2) branding communication.
This study intends to look at the effectiveness of marketing communications campaigns
through branding of West Sumatra government communication in overcoming poverty.
This study was conducted over two years, the first year in the area to help define and
communicate its brand well and advised marketing campaign to communicate the
various potential regions to the consumer market and investors; and the second year to
evaluate whether the area of marketing actors already empowered and able to reduce
poverty? The evaluation plan is divided into two criteria, namely the pre-test and posttest. With the study of local government is expected to increase the number of investors
and solve the problem of poverty. Marketing area by itself able to increase
empowerment, partnership, participation and social advocacy become a strategy in
overcoming poverty.
Keywords: marketing campaigns, brand, poverty
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
kewenangan pada kabupaten dan kota di seluruh Indonesia untuk mengelola sumber
daya dan kekayaannya dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masing-masing.
Otonomi daerah sekaligus juga menempatkan kabupaten dan kota sebagai pusat-pusat
(center) pertumbuhan.
Motor utama pertumbuhan ekonomi daerah adalah investasi. Pemerintah daerah
(Pemda) telah merancang berbagai penawaran kepada calon investor untuk
ISSN 1858–3717
89
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
menanamkan modal di daerahnya. Promosi investasi di daerah ini didukung oleh
pemerintah pusat dengan menjadikan tahun 2004 sebagai tahun investasi.
Dalam ukuran ekonomi, kepariwisataan nasional sukses mencatat peningkatan
pertumbuhan kunjungan wisatawan dan penerimaannya. Tahun 2008, saat krisis
ekonomi global, jumlah wisman (wisatawan mancanegara) justru meningkat 13,2% dan
devisa mencapai 37,4%. Wisnus (wisatawan nusantara) juga merupakan komponen
penting bagi pembangunan pariwisata nasional, terutama karena pola pembelanjaannya
yang langsung dapat menyentuh masyarakat lokal. Walaupun dari sisi pertumbuhan
hanya terjadi peningakatan sebesar 1,5%, jumlah absolut wisnus itu sendiri sangat tinggi
yaitu, dengan jumlah perjalanan 225 juta, jumlah wisatawan 117,2 juta dan jumlah
belanja Rp. 123,2 triliun.
Namun di balik itu sebenarnya masih banyak persoalan terkait dengan distribusi
manfaat dari pembangunan pariwisata. Devisa yang diterima dari wisman tercatat cukup
besar, namun penelitian OECD menyebutkan bahwa di negara berkembang terjadi
kebocoran devisa rata-rata 50-75% terutama dalam hal tenaga kerja dan produk impor
lainnya, bahkan pembelanjaan wisatawan di tingkat atas tidak terkait langsung dengan
penduduk miskin.
Pembangunan kepariwisataan nasional juga ditandai dengan ketidakseimbangan
distribusi spasial dalam hal penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Hanya DKI
Jakarta dan Bali yang memiliki presentase tinggi dari total PAD. Itu pun dengan selisih
persentase yang sangat besar. Kecuali Banten (kategori sangat rendah), seluruh provinsi
di Jawa tercatat memiliki persentase penerimaan PAD dari nasional dalam kategori
sedang dan rendah. Provinsi di luar Jawa yang masuk dalam kategori rendah pun
terbatas hanya pada provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Perhatian terhadap persoalan distribusi dan faktor-faktor lain di luar faktor
ekonomi menjadi perhatian penting dalam pembangunan pariwisata ke depan. Dalam
kurun waktu RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025 juga
diupayakan meningkatkan daya saing pariwisata. Artinya, perhatian tidak hanya
diarahkan semata-mata untuk kepentingan kunjungan, namun juga pada kenyamanan,
perlindungan terhadap pelestarian lingkungan alam dan budaya, iklim investasi dan
sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahannya sebagai
berikut:
1. Bagaimana daerah Sumatera Barat mendefinisikan dan mengkomunikasikan brandnya?
2. Bagaimana daerah Sumatera Barat merancang branding communication sebagai
merk induk (mother brand) kampanye komunikasi profil dan potensi suatu daerah?
3. Bagaimana daerah Sumatera Barat membuat kampanye melalui merk-merk
sekunder dengan mengkomunikasikan tiap sektor produk atau jasa setempat yang
cukup potensial untuk dijual ke pasar, misalnya wisata budaya, agroindustri, dan
lainnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan kampanye komunikasi pemasaran daerah ini antara lain untuk
mengetahui:
1. Bagaimana pemerintah mengkomunikasikan aneka potensi daerah kepada pasar
konsumen maupun investor luar
ISSN 1858–3717
90
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
2. Bagaimana pemerintah menjadikan nama suatu daerah sebagai sebuah nama
merk yang kuat di mata calon investor, wisatawan, maupun masyarakat umum
lainnya
3. Bagaimana pemerintah menempatkan suatu daerah dengan positioning yang
khas, jelas dan tajam di mata pasar maupun investor, di tengah persaingan
antardaerah yang cukup ketat.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemiskinan
Kemiskinan tidak terbatas hanya pada statistik ekonomi dalam hal pendapatan
saja. Bank dunia menjelaskan bahwa kemiskinan adalah juga berupa kondisi
kekurangan pangan, papan, pekerjaan dan ketidakberdayaan lainnya (Hermantoro: 141).
Penyebab kemiskinan meliputi tiga hal utama:
1. Keterbatasan pendapat dan kepemilikan pada kebutuhan dasar seperti makan,
hunian, sandang, tingkat kesehatan dan pendidikan. Ini akan menyebabkan
rendahya kualitas kesehatan, keterbatasan keahlkian untuk mendapatkan pekerjaan,
ketidakmampuan untuk kepemilikan lahan/rumah, keterbatasan akses ke prasarana
dasar, ketidakmampuan untuk memiliki tabungan dan aset sosial lainnya.
2. Ketidakberdayaan dan ketidakdidengarkannya suara mereka pada institusi sosial.
Ini berupa perlakuan yang tidak sama atas mereka, keterbatasan proteksi terhadap
kekerasan, dan sebagainya.
3. Kerentanan terhadap guncangan yang merugikan terkait dengan ketidakberdayaan
mereka. Penduduk miskin mudah terkena risiko kesehatan, bencana alam,
ketidakmampuan untuk segera pulih ketika menghadapi guncangan ekonomi,
sosial, fisik, dan emosional.
Dengan ukuran pendapatan di bawah standar kemiskinan ekstrem PBB, jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada 2008 tercatat 34,96 juta atau sebesar 15,42% jumlah
penduduk, turun sebesar 5,94% dibanding tahun sebelumnya. Dengan standar garis
kemiskinan yang lebih rendah (di bawah standar PBB), jumlah penduduk miskin di desa
tercatat hampir dua kali jumlah penduduk miskin di kota. Penelitian Bank Dunia juga
memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin terbesar adalah mereka yang bekerja
di sektor pertanian. Mereka yang bekerja di sektor formal dan non agraris memiliki
peluang lebih besar untuk menjadi tidak miskin.
Fenomena yang menarik, Jawa memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, sebesar
4,93% pada 2007 namun daerah itu justru memiliki penduduk miskin terbanyak. Hal
yang sama juga berlaku di Kawasan Barat Indonesia yang tercatat memilkiki jumlah
penduduk miskin hampir empat kali jumlah penduduk miskin di Kawasan Indonesia
Timur.
Indikator pengentasan kemiskinan dari variabel ekonomi adalah: volume
penjualan, jenis dan nilai produk UMKM pariwisata (akomodasi, warung,
cenderamata); volume penjualan, jenis dan nilai produk UMKM pendukung pariwisata
(bahan makanan, bahan pakaian, dsb); jumlah dan jenis lapangan kerja yang dihasilkan
oleh aktivitas pariwisata; jumlah penduduk miskin yang bekerja di sektor pariwisata;
jumlah kegiatan UMKM terkait pariwisata; tingkat pendapatan penduduk miskin; jenis
dan nilai konsumsi penduduk miskin; nilai tanah setelah ada kegiatan pariwisata; bentuk
dan jumlah keuntungan kolektif untuk komunitas (parkir, dsb); bentuk dan jenis charity
untuk penduduk miskin; bentuk dan jenis penyediaan ruang publik bagi penduduk
miskin terkait pariwisaata (arena budaya dan ruang terbuka lainnya); bentuk dan jenis
ISSN 1858–3717
91
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
dukungan pemasaran bagi produk UMKKM dan atraksi lokal; bentuk dan jenis
promosdi bagi pasar penduduk miskin; dan bentuk dan jenis upaya perkuatan lembaga
ekonomi rakyat (koperasi).
Dari variabel kesejahteraan non finansial indikatornya adalah: bentuk dan jenis
pelaksanaan konsep “green tourism” pada industri pariwisata (sampah yang dihasilkan
dari induastri pariwisata, polusi air, polusi udara dari kendaraan wisata, dsb); jumlah
dan jenis pelatihan terkait dedngan pariwisata bagi penduduk miskin; jumlah dan jenis
dukungan pengembangan budaya lokal; jumlah dan jenis sarana sosial publik MCK,
puskesmas, agama, internet, dsb); jumlah dan sarana ekonomi publik (pasar tradisional,
lelang ikan, dsb); jumlah dan bentuk sarana lingkungan (sanitasi, drainase, listrik,
telepon, dsb); kualitas fisik pemukiman penduduk miskin; jumlah dan jenis dukungan
pada pelestarian lingkungan hidup; junmlah penduduk yang mengikuti dan menerapkan
program Sapta Pesona; jumlah promosi terkait dengan program “green tourism”; jumlah
dan promosi citra produk UMKM; bentuk dan dukungan terhadap lembaga sosial
masyarakat (kesenian, PKK, dsb); kemampuan berkomunikasi; penurunan/peningkatan
perkara kriminal; jaringan sosial; partisipasi wisatawan dan industri pariwisata untuk
komunitas (donasi, dsb); dan trafik (Hermantoro: 150).
2.2. Reinventing Government dan Perubahan Strategi Pemasaran Daerah
Perubahan mendasar dalam pemerintahan daerah telah terjadi dengan
munculnya paradigma baru wirausaha yang menggeser paradigma pemerintahan
birokratis. Inti reinventing government adalah mentransformasikan semangat wirausaha
ke dalam sektor publik (mewirausahakan birokrasi).
Berikut sepuluh ciri dari reinventing government atau sering dikenal dengan
pemerintahan wirausaha (Osbone dan Gabler, 1995):
1. Pemerintah katalis: pemerintah lebih diharapkan berperan sebagai katalisator dan
bukan sebagai pemain di pasar.
2. Pemerintahan milik masyarakat: pemerintah diharapkan memberikan sebagian
wewenangnya kepada lembaga-lembaga sosial ekonomi untuk menjalankan
kehidupan ekonomi dan sosial di daerahnya.
3. Pemerintahan yang kompetitif: pemerintah diharapkan menyuntikkan persaingan
ke dalam pemberian pelayanan.
4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: kegiatan pemerintahan tidak lagi
digerakkan oleh peraturan namun pada misi yang hendak dicapai.
5. Pemerintahan yang berorientasi hasil: pemerintah membiayai outcome dan bukan
output.
6. Pemerintahan yang berorientasi pelanggan: pemerintah lebih memenuhi
kebutuhan pelanggan dan bukan birokrasi.
7. Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan.
8. Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati.
9. Pemerintah desentralisasi: pemerintah mendesentralisasikan organisasi publik ke
dalam manajemen partisipatif.
10. Pemerintah berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
Ada enam unsur pasar yang dikemukakan Osborne dan Gabler (1995), yaitu:
penawaran, permintaan, aksesibilitas, informasi, peraturan daan dan penjagaan.
1. Pemerintah daerah dalam hal penawaran harus mampu menciptakan penawaran
yang dibutuhkan dalam pasar. Produk/ jasa yang ditawarkan dalam hal ini adalah
potensi daerah yang diharapkan mampu diserap oleh pasar, dalam arti diminati
ISSN 1858–3717
92
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
investor. Produk yang ditawarkan akan dapat diserap pasar kjika produk tersebut
memiliki ciri khas dan berkualitas baik. Produk yang demikian itu akan memiliki
nilai tinggi, sehingga akan dihargai lebih tinggi pula. Pemerintah daerah harus
berupaya melakukan diferensiasi produknya menjadi produk yang memiliki
keunikan, kekhasan,dari daerah tersebut. Selain itu, produk yangditawarkan adalah
produk yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Pemerintah daerah juga bisa
melakukan positioning untuk melihat tingkat persaingan terhadap produk yang
ditawarkannya. Melalui positioning pemda dapat menentukan diferensiasi produk
seperti apa yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan.
2. Unsur kedua dari pasar adalah permintaan. Konsumen harus mempunyai daya beli
yang cukup untuk membeli produk atau jasa, dan mereka harus mempunyai
keinginan untuk menggunakan daya beli tersebut. Pemerintah daerah dalam hal ini
berarti harus jeli dalam melihat perilaku konsumen (investor). Pemerintah daerah
bisa melakukan segmentasi pasar terhadap produk-produk yang ditawarkannya.
3. Unsur ketiga adalah aksesibilitas, produk/ jasa yang ditawarkan harus mudah
diakses oleh konsumen.
4. Terkait dengan aksesibilitas ini tentunya Pemda harus menyediakan informasi yang
lengkap, sehingga unsur berikutnya dalam pasar adalah informasi. Ketika
konsumen tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai produk/jasa yang
ditawarkan, mereka tidak akan melakukan transaksi. Menawarkan berbagai produk
termasuk di dalamnya peluang-peluang investasi kepada calon investor tidak cukup
hanya dengan membagikan buku/ brosur. Konsumen atau investor membutuhkan
informasi yang jauh lebih lengkap dari foto-foto dan keterangan yang ada pada
brosur.
5. Unsur kelima adalah peraturan, harus diciptakan peraturan yang mendorong
terciptanya mekanisme pasar yang berjalan dengan baik.
6. Peraturan yang telah dibuat harus ditegakkan secara konsisten, sehingga unsur
keenam dalam pasar adalah penjagaan. Investor selama ini kadang mengalami
kebingungan dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum.
Ada tujuh konsep inti pemasaran, yakni: 1) kebutuhan, keinginan dan
permintaan; 2) produk (barang, jasa dan gaagasan); 3) nilai, biaya dan kepuasan; 4)
pertukaran dan transaksi; 5) hubungan dan jaringan; 6) pasar; dan 7) pemasar dan calon
pembeli (Kotler, 1997).
Realisasi dari pemerintahan yang berorientasi pasar adalah pemerintah daerah
mampu menjual produk/ jasanya (potensi daerah) kepada pasar (investor). Pemahaman
akan potensi daerahnya dan pasar (investor) akan mempermudah pemerintah daerah
untuk menarik investor ke daerahnya. Memasarkan potensi daerah kepada investor
harus harus dilakukan dengan dengan strategi pemasaran yang tepat. Keberhasilan
pemerintah daerah dalam menjual potensi daerahnya ditentukan oleh dua hal:
1) Bagaimana memahami investor
2) Bagaimana menyampaikan upaya pemasaran dengan efektif (Sutisna, 2001).
Komunikasi dengan demikian merupakan unsur penting dalam menunjang
pemasaran yang efektif. Munculnya komunikasi sebagai unsur yang menunjang
pemasaran akan membentuk segitiga pemasaran, yatu: produk/ jasa; komunikasi; dan
pasar/investor.
ISSN 1858–3717
93
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Komunikasi berfungsi untuk mengoptimalkan interaksi antara pemerintah
daerah dan investor sehingga tercipta interaksi di antara keduanya. Melalui strategi
komunikasi yang tepat, pemerintah daerah dapat menginformasikan dengan baik potensi
di daerahnya kepada investor. Melalui hal yang sama investor dapat dengan mudah
nmenangkap peluang-peluang bisnis di suatu daerah. Salah satu pilihan strategi
komunikasi yang baik adalah menciptakan branding communication daerah.
2. 3 Branding Communication
Branding bukan sekedar mengikuti mode saja atau bahkan iseng saja. Branding
merupakan strategi mendasar untuk membuat hubungan emosional dengan konsumen
supaya konsumen menjadi lebih suka memilih produk dan jasa yang ditawarkan.
Branding daerah dengan demikian mengungkap karakteristik daerah tersebut,
bagaimana daerah tersebut menciptakan ciri khas yang berbeda dengan daerah lainnya,
dan apa harapan daerah tersebut.
Branding menggabungkan unsur-unsur yang meliputi perencanaan strategis,
komunikasi pemasaran, penelitian pasar dan pengembangan organisasi. Ada lima hal
yang harus dilakukan untuk membuat sebuah brand yaitu: riset pasar, membaca secara
sepintas lingkungan, jalur konsumen, kontrak brand dan proposisi nilai brand. Brand
yang kuat memiliki ciri-ciri antara lain (Marketing Partner, Inc, 2003):
1. Membuat dan menjaga janji-janji pada konsumen; pemda tidak boleh hanya
membuat janji-janji saja dalam menawarkan produknya namun juga harus bisa
memegang janji tersebut. Misalnyaa, akan memberikan kemudahan dalam
pengurusan perizinan investasi, namun dalam kenyataan investor harus cukup lama
untuk mengurus izin investasi. Apabila pemda dapat merealisasikan janjinya, maka
daerah tersebut akan memperoleh nilai lebih dari pasar/ investor.
2. Merepresentasikan karakteristik dan aspirasi institusi. Setiap daera sebenarnya
memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan sejarah, kondisi wilayah, sosial
dan budaya daerah tersebut. Setiap daerah juga mempunyai aspirasi berbeda yang
berkembang di masyarakatnya sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Kedua
hal inilah yang harus diangkat sehingga orang mengenal dan mudah mengingat
daerah tersebut.
3. Menjadikan institusi tersebut berbeda dengan pesaing. Pemda harus mencitrakan
bahwa daerahnya berbeda dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tentunya
merupakan perbedaan yang positif.
4. Menciptakan hubungan emosional dengan konsumen; kemampuan untuk
memelihara hubungan dengan konsumen sangat diperlukan. Kekhasan suatu daerah
akan sangat berkesan bagi konsumen. Ciri keberhasilan dari faktor ini di mana
konsumen akan kembali lagi ke daerah tersebut.
5. Menjadi petunjuk bagi institusi dan anggota institusi tersebut; pemda berserta
stafnya senantiasa terus-menerus membangun brand bersama-sama. Setiap aktivitas
ISSN 1858–3717
94
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
di pemda selalu berorientasi atau mempunyai misi untuk memperkuat brand yang
telah diciptakannya.
Brand dapat dibangun apabila pemda dapat membangun dan
mengkomunikasikan nilai daerah tersebut. Pemerintah daerah tidak dapat membangun
nilai hanya dengan menyebarkan brosur ataupun membuat website mengenai daerah
tersebut. Jika nilai tidak dapat dibangun maka pemda tidak akan efektif
mengkomunikasikan daerahnya. Membangun nilai dan mengkomunikan nilai akan
membentuk brand daerah tersebut. Apabila brand telah terbentuk, maka brand tersebut
harus dikomunikasikan (branding communication) pada stakeholders. Dalam
membentuk branding suatu daerah, harus dikomunikasikan secara terus-menerus.
Komunikasi seharusnya:
1. Menjadikan audience berhenti dan memperhatikan apa yang dipesankan oleh
komunikan. Pesan yang disampaikan dapat dituangkan dalam bentuk audiovisual,
harus menarikm dan mudah diingat
2. Menarik emosi, komunikasi yang dilakukan harus dapat membangkitkan emosi
audience, berbagai cara dapat dilakukan seperti menggunakan humor, contohcontoh aktual
3. Melibatkan audience dalam menyampaikan pesan, audiencediajak terlibat dalam
penyusunan komunikasi dengan menyusun pesan yang dialogis;
4. Menunjukkan kesederhaan dan kekuatan, tidak harus menunjukkan gebyar
kemewahan dengan berbagai macam aksesorisnya, cukup sederhana mudah diingat
dan cukup kuat tertanam di perasaan audience; dan
5. Mendemonstrasikan manfaat utama pada konsumen.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Data
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan data primer dengan melakukan
observasi langsung ke lapangan. Data diperoleh melalui wawancara dengan narasumber.
Narasumber adalah pelaku bisnis pariwisata.
Evaluasi kampanye program merupakan jenis penelitian yang dapat dilakukan
pada saat mengembangkan strategi pesan merk dan setelah kampanye selesai dilakukan.
Tujuannya adalah untuk meramalkan atau menentukan hasil seperti perubahan perilaku
yang diciptakan oleh kegiatan promosi, kampanye, maupun pesan dari merk.
Dalam mengevaluasi kegiatan komunikasi pemasaran, analisis yang dilakukan
meliputi aktivitas pasar, kondisi persaingan, dan analisis khalayak sasaran untuk
mendapatkan informasi yang mendetail. Informasi tersebut akan membantu dalam
perencanaan program komunikasi pemasaran berikutnya. Rencana evaluasi tersebut
terbagi menjadi dua kriteria, yaitu Pre-test dan Post-test.
Pre-test bertujuan untuk memahami apakah konsep maupun eksekusi program
cukup tepat. Pre-test dilakukan sebelum program kampanye berlangsung. Dalam tahap
ini, pengiklan melakukan pengujian terhadap semua materi kampanye program yang
telah dibuat, menyangkut sesuai tidaknya dengan strategi yang telah dirumuskan.
Tujuan Pre-test adalah sebagai berikut:
1. melakukan pengujian materi kampanye program “Kampanye Komunikasi
Pemasaran Sumatera Barat Melalui Branding Communication” yang telah
dirancang. Apakah dapat diterima dan dengan mudah ditangkap oleh khalayak
sasaran. Hasil pengujian menjadi masukan dalam strategi kampanye program.
ISSN 1858–3717
95
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
2. Mengetahui reaksi responden terhadap materi kampanye program. Reaksi
merupakan faktor penting yang harus diukur dalam Pre-test. Melalui pengukuran
ini dapat diketahui apakah materi kampanye program berpengaruh kuat dalam
membujuk khalayak untuk melakukan pembelian terhadap paket wisata Sumatera
Barat; dan apakah pesan dalam materi tersebut melekat di benak khalayak serta
memiliki arti yang sama di benak khalayak yang lain.
3.2 Metode Penelitian
Pre-test terhadap“Kampanye Komunikasi Pemasaran Sumatera Barat Melalui
Branding Communication” dilakukan dengan menggunakan focus Group Discussion
(FGD). FGD disebut juga group interview yang tergolong dalam jenis wawancara
terfokus atau terstruktur. FGD menurut Hoed, 1995: 1 dalam Harahap (2012: 60)
dirancang dengan tujuan mengungkap persepsi kelompok mengenai suatu masalah.
Peneliti mengambil anggota FGD berdasarkan kriteria yang telah disepakati. Hoed
menyatakan “menempatkan antara 7 sampai 10. Pastinya jumlah yang terlalu besar
(lebih dari 12 orang) akan menyulitkan jalannya diskusi atau analisis” (1995:7). Diskusi
FGD biasanya makan waktu maksimum 2 jam, setelah itu biasanya diskusi menjadi
tidak efektif.
3.3 Strategi Penentuan Informan
FGD akan diterapkan pada dua kategori kelompok, yaitu pengguna (user) dan
bukan pengguna (non user). Untuk pengguna, informan yang dipilih merupakan
responden atau wisatawan yang telah pernah berkunjung ke Sumatera Barat. Sementara
untuk kelompok yang bukan pengguna, informan yang dipilih adalah orang yang belum
pernah mendatangi Sumatera Barat. Karakteristik informan sesuai dengan karakteristik
pasar sasaran dan khalayak sasaran kepariwisataan Sumatera Barat.
3.4 Mekanisme Penelitian
Pada saat FGD berlangsung, kepada informan akan diperlihatkan materi
kampanye program “Kampanye Komunikasi Pemasaran Sumatera Barat Melalui
Branding Communication”. FGD dilaksanakan selama kampanye berlangsung yaitu
awal sampai pertengahan 2014.
Untuk mendukung penelitian penulis menambahkan data sekunder (data yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber
yang telah ada) berupa data kredit Bank Nagari. Data ini biasanya diperoleh dari studi
pustaka seperti artikel, majalah, dan buku-buku yang erat kaitannya dengan penelitian
ini, serta sumber-sumber data dari internet yang releven atau dari laporan-laporan
penelitian terdahulu (Hasan, 2006).
4. PEMBAHASAN
Pada tahun pertama, penelitian ini akan membantu daerah dalam
mendefinisikan dan mengkomunikasikan brand-nya dengan baik; menyarankan
kampanye pemasaran yang mampu mengkomunikasikan aneka potensi daerah kepada
pasar konsumen dan investor; dan mempertimbangkan definisi dan saran tersebut
berdasarkan indikator pengentasan kemiskinan. Pada tahun kedua, dilakukan evaluasi
teknis terhadap kinerja komunikator pemasaran Sumatera Barat; perbaikan dari
komunikasi pemasaran yang ada untuk mendapatkan kemampuan komunikasi
pemasaran yang optimal; dan mengevaluasi apakah pelaku pemasaran daerah tersebut
sudah berdaya dan mampu mengurangi kemiskinan?
ISSN 1858–3717
96
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Dengan demikian, hasil survey awal program kampanye melalui branding
communication yang didapatkan hingga penghujung 2013 akan dikembangkan,
dievaluasi, dimonitoring dan dikontrol pada 2014 untuk selanjutnya dievaluasi akhir,
dianalisis dan diperbaiki proses desain/ perancangan, pembuatan kampanye komunikasi
pemasaran daerah tersebut untuk mendapatkan kondisi maksimal pada 2015.
4.1 Rincian Masalah Sumatera Barat
4.1.1 Daya Saing dan Indikator
Daya Saing Daerah (DSD) adalah kemampuan suatu daerah dalam
menghasilkan pndapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka n
terhadap persaingan domstik maupun internasional (UK-DTI). Daya saing daerah
adalah kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam
menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk
penduduknya (CURDS). Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian suatu
daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan
berkelanjutan dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik dan internasional
(BI).
Adapun indikator daya saing nasional adalah: kelembagaan, infrastruktur,
lingkungan ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan
pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, perkembangan pasar uang,
kesediaan teknologi, ukuran pasar, kerumitan bisnis, inovasi
Di sisi lain, indikator daya saing daerah adalah: perekonomian daerah,
keterbukaan, sistem keuangan, infrastruktur dan sumberdaya alam, ilmu pengetahuan
dan teknologi, sumberdaya manusia, kelembagaan, governance dan ekonomi mikro
4.1.2 Potensi Sumatera Barat
Saat ini Sumatera Barat adalah produsen terbesar untuk sektor pariwisata yang
mengutamakan objek alam. Secara geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak pada
garis 00 54’ Lintang Utara sampai dengan 30 30’ Lintang Selatan serta 980 36’ sampai
dengan 1010 53’ Bujur Timur dengan total luas wilayah sekitar 42.297,30 Km2 atau
4.229.730 Ha termasuk ± 391 pulau besar dan kecil di sekitarnya.
Secara administratif, Wilayah Provinsi Sumatera Barat berbatasan langsung
dengan:
1. Sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Utara.
2. Sebelah Selatan dengan Provinsi Bengkulu.
3. Sebelah Timur dengan Provinsi Riau dan Jambi.
4. Sebelah Barat dengan Samudera Hindia.
Provinsi ini total luasnya 42.297,30 km2 yang terdiri dari 12 kabupaten dan 7
kota. Kabupaten Mentawai luasnya 6.011,35 km2 atau 14,20%, Pesisir Selatan 5.794,95
km2 atau 13,70%, Solok 3.738,00 km2 atau 9,00%, Sawahlunto Sijunjung 3.130,80
km2 atau 7.40%, Tanah Datar 1.336,00 atau 3,10%, Padang Pariaman 1.328,70 km atau
3,10%, Agam 2.232,30 km2 atau 6,20%, 50 Kota 3.354,30 km2 atau 7,90%, Pasaman
4,447,63 km2 atau 10,50%, Solok Selatan 3.346,20 km2 atau 7,90%, Dharmasraya
2.961,13 km2 atau 7,00%, dan Pasaman Barat 3.387,77 atau 8,00%.
Kota Padang luasnya 694,96 km2 atau 1,60%, Solok 57,64 km2 atau 0,13,
Sawahlunto 273,45 km2 atau 0,70%, Padang Panjang 23 km2 atau 0,07%, Bukittinggi
25,24 km2 atau 0,10%, Payakumbuh 80,43 km2 atau 0,20%, dan Pariaman 73,36 km2
atau 0,20% (BPS Provinsi Sumatera Barat, 2007 dalam Ekspos Wakil Gubernur
Sumbar, 26 Oktober 2013).
ISSN 1858–3717
97
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
RPJMD Provinsi Sumatera Barat 2010-2015 dalam Perda No. 5 Tahun 2011
mencantumkan:
1. Visi Sumatera Barat adalah: Terwujudnya masyarakat Sumatera Barat Madani yang
adil, sejahtera dan bermartabat
2. Misi Sumatera Barat adalah:
1) Mewujudkan tata kehidupan yang harmonis, agamais, beradat dan berbudaya
berdasarkan falsafah ABS-SBK
2) Mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan profesional
3) Mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas
tinggi
4) Mewujudkan ekonomi masyarakat yang tangguh, produktif, berbasis
kerakyatan, berdaya saing regional dan global
5) Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
3. Agenda Sumatera Barat adalah:
1) Peningkatan Penerapan Ajaran Agama dan Budaya Daerah
2) Perbaikan Tata Kelola Pemerintah Daerah
3) Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Pengembangan Iptek
4) Pengembangan Kegiatan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat
5) Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup
4. Prioritas Sumatera Barat adalah:
1) Pengamalan Agama dan ABS-SBK dalam kehidupan masyarakat
2) Pelaksanaan reformasi birokrasi dalam pemerintahan
3) Peningkatan pemerataan dan kualitas pendidikan
4) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat
5) Pengembangan pertanian berbasis kawasan dan komoditas unggulan
6) Pengembangan industri olahan, perdagangan UMKM, dan iklim investasi
7) Pengembangan kawasan wisata alam dan budaya
8) Penurunan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan daerah tertinggal.
9) Pembangunan infrastruktur penunjang ekonomi rakyat
10) Penanggulangan bencana alam dan pelestarian lingkungan hidup
Target makro Sumatera Barat pada 2010 adalah IPM 73,44, pertumbuhan
ekonomi meningkat menjadi 5,93%, pendapatan per kapita 17,96 juta, penurunan
kemiskinan 9,50%, penurunan pengangguran 6,95%, lama SKLH 8,79 tahun, harapan
hidup 70,9 tahun dan disklaimer. Sedangkan pada 2015 IPM 75,84, pertumbuhan
ekonomi 7,46%, pendapatan per kapita 28.44 juta, penurunan tingkat kemiskinan
6,95%, penurunan pengangguran 5,13%, lama SKLH 10,75 tahun, tingkat harapaan
hidup 72,56 tahun dan WTP (Bappeda Sumbar).
Tabel 4.1 Capaian Kinerja
Indikator Makro
Indeks Pembangunan Manusia
Laju Pertumbuhan Ekonomi
PDRB Harga Berlaku (Triliun)
PDRB Per Kapita (Juta)
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
Umur Harapan Hidup (Tahun)
Tingkat Pengangguran (%)
Tingkat Kemiskinan (%)
Sumber: Bappeda Sumbar
ISSN 1858–3717
2010
73,78
05,94
87,22
17,93
08,48
69,50
06,95
09,50
2011
74,28
06,25
98,96
20,17
08,57
69,76
06,45
08,99
2012
74,28
06,35
110,10
22,21
08,68
69,76
06,52
08,00
98
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Adapun pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Sumatera Barat
seperti tergambar dalam tabel berikut.
Tabel 4.2 Capaian Kinerja
No.
1.
2.
Status
Jalan Nasional
Jalan Provinsi
Panjang Jalan
(Km)
1.212
1.153
2012
Baik
Km
831
129
Sedang
%
69
11
Km
247
938
%
20
81
Rusak
Ringan
Km
%
120
10
64
6
Rusak
Berat
Km
%
14
1
22
2
Adapun rencana pembangunan jalan antarprovinsi Sumatera Barat-Riau pada
2005-2025 adalah tergambar seperti denah berikut.
Khusus untuk rencana pembangunan jaringan keretapi seperti tergambar dalam
denah berikut.
Pembangunan keretapi Bandara Internasional Minangkabau dimaksudkan:
ISSN 1858–3717
99
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
1. Untuk mendukung aksesibilitas Bandara Internasional Minangkabau yang
direncanakan pembangunan jalan keretapi bandaranya: rel sekitar 4,2 km dari
jalan kereta api eksisting (Duku-Bandara).
2. Tahapan yang telah dilaksanakan:
a. Studi Kelayakan Tahun 2006
b. Penyusunan Amdal Tahun 2010
c. Penyusunan DED Tahun 2010
3. Tahapan Pembangunan Fisik
Seyogyanya melalui APBN Kementerian Perhubungan telah direalisasikan pada
tahun anggaran 2011 karena rencana pembangunan fisik telah dibahas dan mendapat
persetujuan pada Rakorbangnas 2010. Selain itu pembangunan jaringan keretapi Trans
Sumatera mencakup:
1. Pengembangan Kereta Api Sumatera Barat sebagai Jaringan Kereta Api Trans
Sumatera, dengan dukungan Kementerian Perhubungan seyogyanya telah
dilaksanakan dengan tahapan kegiatan padaa pembangunan short cut jalan kereta
api Padang-Solok.
2. Tahapan yang telah dilaksanakan:
a. Studi Kelayakan Tahun 2007
b. Pra DED Tahun 2009
c. Penyusunan DED Tahun 2010
3. Rencana Pembangunan 2011
Diharapkan melalui APBN Kementerian Perhubungan untuk pelaksanaan studi
kelayakan dan DED pada lintas Solok-Sawahlunto Sijunjung-Dharmasraya-Muaro
Bungo (Provinsi Jambi).
Adapun pembangunan transportasi udara terbagi dalam tiga tahap. Pada tahun
rencana 2009 arah pengembangannya pembangunan fasilitas Bandara Internasional
Minangkabau (BIM) mencakup:
1. Pengamanan pantai sepanjang BIM
2. Penunjang pengamanan bandara dari ancaman lingkungan
3. Pembangunan Parallel Runway
4. Jalan alternatif BIM ke Padang
Selain itu juga dilakukan:
1. Pengembangan atau peningkatan fasilitas Bandara Rokot, Mentawai
2. Pengembangan fasilitas embarkasi haji
3. Pengembangan fasilitas kargo
Pada Tahun Rencana 2016 pengembangan fasilitas penerbangan menuju
bandara berstandar internasional, meliputi runway, taxiway, apron, dan terminal
penumpang. Selain itu juga dilakukan:
1. Pembangunan bandara baru di Siberut
2. Pembangunan bandara khusus di Dharmasraya
3. Pembangunan bandara khusus di Piobang
4. Pengembangan atau peningkatan fasilitas bandara eks Minas Lumber
5. Pengembangan atau peningkatan fasilitas bandara khusus Tidar Kerinci Agung.
Pada Tahun Rencana 2028 dilakukan peningkatan bandara di Dharmasraya. Di
sampingh itu juga dikembangkan pembangunan bandara udara baru yang berfungsi
three in one sebagai bandara darurat atau evakuasi bencana atau tsunami atau perang.
ISSN 1858–3717
100
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Penerbangan sipil dan fungsi jalan raya di Mentawai, di daerah Pei-pei (Siberut), Silabu
(Pagai Utara), dan SP-2 (Sipora) juga dilakukan.
Adapun transportasi laut pembangunannya mencakup penanganan upaya
jaringan prasarana yang meliputi peningkatan fasilitas utama dan fasilitas pendukung
pelabuhan. Pembangunan baru didasarkan pada proyeksi kebutuhan orang dan barang
yang akan diangkut melalui pelabuhan. Skenario penanganan jaringan prasarana
transportasi laut di Pelabuhan Teluk Bayur dibagi atas beberapa tahun rencana sebagai
berikut:
1. Tahun Rencana 2009 adalah Pembangunan Pelabuhan Teluk Tapang
2. Tahun Rencana 2011 adalah peningkatan pelabuhan-pelabuhan pengumpan feeder:
a. Painan
b. Sioban
c. Muara Sikabaluan
d. Tua Pejat
3. Tahun Rencana 2028 dilakukan
a. Pembangunan Pelabuhan Regional Pasaman dan Tiku
b. Peningkatan dan Pengembangan Pelabuhan Regional.
Dari segi potensi sumberdaya energi. Sumatera Barat mempunyai beberapa
sumberdaya yang sangat potensial digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, seperti
tenaga air dan batubara. Dewasa ini telah berjalan dua Pusat listrikj Tenaga Air, yaitu
PLTA Maninjau dan PLTA Singkarak dengan kapasitas yang cukup besar. Karena
daerah ini juga mempunyai tambang batubara, telah dibangun pula PLTU Ombilin dan
sedang dibangun pula PLTU Bungus yang keduanya juga mempunyai kapasitas cukup
besar. Potensi pembangkit tenanga listrik yang cukup besar.
Dari segi komoditas unggulan, Sumatera Barat mengunggulkan kakao, kopi,
manggis, jagung, sapi, unggas, kambing, tuna, nila, dan kerapu. Khusus untuk potensi
pariwisata, Sumatera Barat mengunggulkan Kota Padang dengan Pantai Air Manisnya,
Kota Bukittinggi dengan Panoramanya, Kota Sawahlunto dengan Wisata Tambang
Batubara Ombilinnya, Kabupaten 50 Kota dengan Lembah Haraunya, Kabupaten
Pesisir Selatan dengan Kawasan Mandehnya, Kabupaten Solok dengan Danau
Kembarnya, Kabupaten Tanah Datar dengan Istano Pagaruyungnya, Kabupaten Padang
Pariaman dengan Ulakan Tapakisnya, Kabupaten Agam dengan Danau Maninjaunya,
Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Sijunjung dengan Batang Kuantannya,
Kabupaten Pesisir Selatan dengan Jembatan Akarnya, Kabupaten Solok dengan Danau
Singkaraknya, Kota Padang Panjang dengan Pusat Dokumentasinya, Kota Payakumbuh
dengan Ngalau Indahnya, Kota Pariaman, Kota Solok dengan Pulau Belibisnya,
Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya, dan
Kabupaten Solok Selatan.
4.1.3 Peluang Investasi
Peluang investasi di Sumatera Barat mencakup:
1. Peluang Investasi infrastruktur
1) Pembangunan Jalan tol Padang-Batas Riau
2) Pembangunan Jalur Kereta Api Short Cut Padang-Solok
3) Pembangunan Bandar Udara Perintis Piobang, Kabupaten Lima Puluh Kota
4) Jembatan Ngarai Sianok
5) Jalan padang Monorail
6) Jalan Alternatif ke Teluk Bayur
ISSN 1858–3717
101
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
2.
3.
4.
5.
6.
Peluang Investasi Penyediaan Air Minum Kota Padang
Peluang Investasi Pengolahan Limbah Padat kota Padang
Peluang Investasi Ketenagalistrikan
Peluang Investasi Sumberdaya Mineral Non Logam dan Batuan
Peluang Investasi di Bidang Perikanan.
Saat ini Sumatera Barat adalah daerah tujuan wisata terbesar untuk jenis
keindahan alam dan atraksi wisatanya. Hal itu dapat dilihat dari Pantai Air Manis,
Panorama, Tambang Batubara Ombilin, Lembah Harau, Kawasan Mandeh, Danau
Kembar, Istano Pagaruyung, Ulakan Tapakis, Danau Maninjau, Kepulauan Mentawai,
Batang Kuantan, Jembatan Akar, Danau Singkarak, Pusat Dokumentasi, Ngalau Indah,
Kota Pariaman, Pulau Belibis, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat,
Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Solok Selatan.
Dengan hanya memasukkan Sumatera Barat sebagai salah satu daerah
transit_bukan daerah tujuan utama_dalam paket-paket tujuan wisata nusantara,
Sumatera Barat seakan tidak dikenal. Namanya tenggelam jika dibandingkan dengan
daerah tujuan wisata lainnya seperti Jawa dan Bali. Hal ini dapat dilihat dari daftar
peluang investasi di Sumatera Barat yang masih belum berubah banyak dari tahun ke
tahun serta kegiatan promosi yang dilakukan Departemen Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif untuk daerah ini.
Hal ini mengakibatkan ketidaktahuan wisatawan domestik dan mancanegara
akan keunggulan pariwisatanya dan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan aksi
pembelian (purchase) yang rendah sehingga target penjualan tidak terpenuhi. Upaya
promosi dari Pusat yang agak menonjol adalah memasukkan event tertentu di daerah ini
ke dalam Kalender Pariwisata 2014. Ini pun tidak menjamin wisatawan sebagai
konsumen akan mempunyai perilaku membeli produk wisatanya secara berulang
(repeat purchase). Berdasarkan data dari Focus Group Discussion, masalah yang
dialami oleh Sumatera Barat adalah masih belum kuatnya penyampaian informasi
pemasaran dalam pengenalan produk wisata dan kelebihannya.
4.2 Solusi Masalah
Solusi dari masalah yang dihadapi Sumatera Barat adalah menciptakan strategi
komunikasi yang berbeda. Komunikasi akan mengutamakan pengenalan yang bertujuan
untuk meningkatkan penjualan objek dan atraksi wisaata Sumatera Barat kepada
wisatawan domestik dan mancanegara sehingga mereka mengetahui keunggulan
Sumatera Barat dan menjadikannya sebagai pilihan daerah tujuan wisata. Strategi akan
dilakukan dengan Program Prerencanaan Komunikasi Terpadu (Integrated Marketing
Communication). Program ini bersifat hardsell, karena tujuan program ini adalah untuk
meningkatkan persentase penjualan produk.
Slogan di kabupaten dan kota di Sumatera Barat kurang mencerminkan
kekhasan daerah masing-masing, lebih terkesan sebagai pernyataan diri yang tidak
memperlihatkan karakter daerah tersebut. Misalnya: “Padang Kota Tercinta: Kujaga
dan Kubela”
Kebanyakan daerah di Sumatera Barat dalam melakukan branding belum
memikirkan logo dengan jelas, padahal logo penting untuk membangun ingatan
sekalkigus menunjukkan personalitas kota atau kabupaten yang bersangkutan. Hal ini
dimaklumi karena beberapa daerah di provinsi ini baru berdiri akibat pemekaran, seperti
Pasaman Barat dan Solok Selatan.
Kebanyakan daerah di Sumatera Barat masih terjebak pada promosi parsial
untuk kegiatan terjadwal secara reguler, seperti tourism exhibition dan seminar potensi
ISSN 1858–3717
102
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
daerah yang dimaksudkan sebagai investment exhibition di beberapa negara. Sumatera
Barat bahkan tidak dapat menyelenggarakan promosi-promosi parsial ini karena
statusnya tidak diundang, baik dari negara tuan rumah maupun Departemen Pariwisata
Indonesia.
Kegiatan yang dipadati peserta dari puluhan bahkan ratusan negara_sehingga
semakin sulit dalam bersaing_itu bahkan hanya diikuti oleh seorang staf departemen
pariwisata pusat dengan alasan anggaran yang terbatas. Dengan demikian semakin sulit
bagi daerah-daerah di Sumbar untuk mewujudkan city branding. “City branding
haruslah externally dan internally inspiring, secara eksternal memng berbeda dari
daerah atau negara lainnya dan secara internal menginspirasi masyarakat untuk berbuat
banyak bagi keberhasilan daerah itu” (Sumardy, Konsultan OctoBrand dalam SWA
13/XXIII/14-27 Juni 2007)
Berdasarkan pre-test yang dilakukan sebelum program kampanye berlangsung,
pengetahuan wisatawan terhadap objek dan atraksi wisata Sumatera Barat dinilai masih
rendah, karena kurangnya promosi program komunikasi Sumatera Barat. Dalam tahap
ini, pengiklan melakukan pengujian terhadap semua materi kampanye program yang
telah dibuat, menyangkut sesuai tidaknya dengan strategi yang telah dirumuskan. Untuk
meningkatkan pembelian khalayak sasaran serta menjadikan Sumatera barat sebagai
brand preference di antara pesaingnya, digunakan strategi Promosi Komunikasi
Pemasaran Terpadu atau Integrated Marketing Communication (IMC).
Kegiatan kampanye dibagi menjadi dua bagian: pertama kampanye tematik yang
bertujuan untuk mempopulerkan kampanye pemasaran Sumatera Barat sekaligus
memperluas informasi mengenai objek dan atraksi wisatanya. Kedua adalah kampanye
taktikal yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan sekaligus mengingatkan
konsumen terhadap brand Sumatera Barat agar awareness tetap terjaga (recall).
Dalam kampanye program komunikasi pemasaran terpadu dari Sumatera Barat
terdapat big idea atau inti pesan yang menjadi tema utama kampanye. Penentuan the
big idea diambil dari kekuatan Sumatera Barat yang mempunyai banyak keunggulan
dalam objek dan atraksi wisata yang dijual dengan harga yang terjangkau, dan
masyarakatnya yang ramah terhadap pendatang serta sedang membutuhkan investor.
Maka dirumuskan the big idea yang akan digunakan untuk tema pesan kampanye
komunikasi pemasaran terpadu Sumatera Barat yakni: “Berlibur dan Berinvestasi di
Kampung Halaman Para Leluhur”.
Rasional dari big idea tersebut adalah Sumatera Barat merupakan daerah tujuan
wisata yang memanjakan wisatawan dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
karena dianggap kampung halaman. Bagi wisatawan Eropa kedatangan mereka
umumnya ingin mengilas balik kehidupan nenek moyang mereka, seperti wisatawan
Belanda, Inggris, Jerman, Jepang dan Cina. Sehubungan dengan itu adalah strategi jitu
jika Sumatera Barat bisa membuat mereka seolah mendatangi kampung halaman leluhur
mereka dengan menyajikan atraksi dan objek wisata yang bisa membangkitkan
kenangan akan leluhur atau menciptakan suasana yang mewakili kehidupan nenek
moyang mereka saat berada di Indonesia.
Kampanye Sumatera Barat Periode tahun 2014 memiliki positioning
berdasarkan penonjolan harga dan mutu. Upaya menjadikan Sumatera Barat menjadi
tujuan wisata dan daerah investasi adalah untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan
investor dari segi kepuasan berwisata dan berbisnis, atau secara positioning berdasarkan
penonjolan karakteristik produk dan penggunaannya.
Pengembangan strategi kreatif dituntun oleh tujuan dan sasaran serta didasari
oleh sejumlah faktor yang meliputi target, masalah dasar periklanan, dan sasaran pesan.
ISSN 1858–3717
103
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Adapun pendekatan dalam pengerjaan strategi kreatif untuk membuat eksekusi iklan
sebagai berikut.
1. Generic, yaitu menekankan pada faktor-faktor dan manfaat produk
2. Preemptive, serupa dengan strategi generik, tetapi strategi ini lebih menonjolkan
superioritas dan merupakan pernyataan yang unik, yang belum pernah diklaim
oleh produk dari kategori sejenis.
3. Informational, yaitu memberikan fakta mengenai produk dan atribut yang
dimiliki
4. Credibility, yaitu meningkatkan kepercayaan dan mengurangi persepsi mengenai
adanya risiko atau efek negatif dari produk.
5. Emotion, yaitu mengaitkan nilai afektif yang dimiliki konsumen dan prospek
agar dapat merespon pesan produk dengan perasaan atau emosi mereka.
6. Association, yaitu menciptakan hubungan psikologis antara produk dengan
konsumen dan prospek.
7. Lifestyle, yaitu menggunakan siatusi tertentu atau simbol dari sebuah gaya
hidup.
8. Incentive, yaitu dengan menciptakan ganjaran yang dirasakan apabila
menggunakan produk.
9. Reminder, yaitu menjaga produk agar tetap menjadi top of mind targetnya.
10. Interactive, yaitu menciptakan komunikasi dua arah yang bertujuan untuk
membuka jalan komunikasi dengan konsumen dan menjadikan feedback mereka
sebagai suatu masukan (Duncan, 2008: 288).
Hingga pelaksanaan event Tour de Singkarak, 7-15 Juni 2014 belum begitu
terlihat keikutsertaan masyarakat dari seluruh lapisan di Sumatera Barat untuk
mempromosikan
branding daerahnya masing-masing. Keterlibatan masyarakat
(horizontal branding) relatif masih kurang dibanding vertical branding (iklan-iklan).
Setelah event daerah Sumbar ini diambil alih Pusat, Yogya dengan seizin Pusat juga
melakukan intervensi dengan mencetak logo dan slogan daerah Sumbar di baju kaos,
topi dan cenderamata lainnya. Tidak bisa dikatakan masyarakat setempat bangga
dengan logo dan slogannya karena yang mensosialisasikannya bukanlah mereka,
bahkan harga yang dipatok pun relatif mahal. Sehelai baju kaos dengan mutu standar
yang mungkin bisa dijual standar Rp. 50.000 dijual menjadi Rp. 150.000, bahkan lebih.
Survey lapangan juga menunjukkan para birokrat Sumbar pun belumlah mampu
menjelaskan konsekuensi dari atau pemahaman terhadap logo daerah. Jadi cukup miris
jika mereka diamanatkan untuk merangkul (embarcing) turis dan investor. Perlu sebuah
kursus atau lokakarya terpadu untuk solusinya.
Karena tujuan komunikasi Sumatera Barat berada pada tahap konatif, maka
pendekatan yang digunakan dalam pengerjaan strategi kreatif kampanye Sumatera Barat
Periode Tahun 2014 adalah dengan memadukan strategi incentive, reminder, dan
interactive yang berfokus untuk menggerakkan khalayak untuk segera melakukan
pembelian atau berkunjung dan berinvestasi ke Sumatera Barat dan selalu ingat dengan
Sumatera Barat.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Pre-test bertujuan untuk memahami apakah konsep maupun eksekusi program
cukup tepat. Pre-test dilakukan sebelum program kampanye berlangsung. Dalam tahap
ini, pengiklan melakukan pengujian terhadap semua materi kampanye program yang
ISSN 1858–3717
104
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
telah dibuat, menyangkut sesuai tidaknya dengan strategi yang telah dirumuskan.
Tujuan Pre-test adalah sebagai berikut:
1. melakukan pengujian materi kampanye program “Kampanye Komunikasi
Pemasaran Sumatera Barat Melalui Branding Communication” yang telah
dirancang. Apakah dapat diterima dan dengan mudah ditangkap oleh khalayak
sasaran. Hasil pengujian menjadi masukan dalam strategi kampanye program.
2. Mengetahui reaksi responden terhadap materi kampanye program. Reaksi
merupakan faktor penting yang harus diukur dalam Pre-test. Melalui pengukuran
ini dapat diketahui apakah materi kampanye program berpengaruh kuat dalam
membujuk khalayak untuk melakukan pembelian terhadap paket wisata Sumatera
Barat; dan apakah pesan dalam materi tersebut melekat di benak khalayak serta
memiliki arti yang sama di benak khalayak yang lain.
Selanjutnya, penelitian ini menyarankan agar setelah kampanye
diselenggarakan, diselenggarakan pula post-testyang bertujuan untuk mengetahui
apakah tujuan program komunikasi pemasaran tercapai dengan melihat dampak kognisi,
afeksi, maupun konasi yang terjadi pada khalayak sasaran. Post-test dilakukan setelah
program komunikasi pemasaran diterapkan, baik pada saat periode kampanye berjalan
maupun setelah kampanye berakhir.
Post-test ini akan mengukur tingkat dorongan untuk melakukan pembelian
terhadap kepariwisataan Sumbar pada benak khalayak sasaran, sehingga akan terukur
efektifitas pesan dan pemilihan elemen promosi yang telah digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Kasali, Rhenald. 1995. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Grafiti.
Kasali, Rhenald. 2004. “Bukan Sekedar Promosi tapi Kredibilitas, Suara Pembaruan,
21 Januari.
Kottler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Prehalindo
Marketing
Partner,
Inc.
2003.
“Brand
Communication´,http://www.mpicompanies.com/Brand_comm.htm
Marketing
Partner,
Inc.
2003.
“Branding´,http://www.mpicompanies.com/Brand_comm.htm
Marketing Partner, Inc. 2003. “20 Question to Determine How Are You Building and
Communicating
Value
in
Your
Organization?´,
http://www.mpicompanies.com/Brand_comm.htm
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo.
Samuelson, Paul A. and William D. Nordhaus.2003. Economics, MC Graw Hill.
Sutisna. 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran. Remaja Rosdakarya.
Yuswohady.
2004.
’Branding
Indonesia”,
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=3&rid=172449&kat_i
d1=149&kat_id2=259
ISSN 1858–3717
105
Download